Jurnal 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 12

Volume 5, Issue 1, March 2023

E-ISSN 2721-0642

Membangun Kepekaan Gender di Lingkup Perguruan Tinggi


Jatayu Jiwanda DL
Program Studi Kepenyuluhan Buddha, STABN Sriwijaya Tangerang Banten
Email Korespondensi: [email protected]

Abstract
This research contains reflections and analysis of research on building gender sensitivity within
Sriwijaya Buddhist College. Gender issues are important considering the urgency of gender
equality must continue to be pursued, especially in the scope of higher education. Gender
sensitivity is important to become the mentality of each academic community so that gender
injustice and discrimination can be avoided in the implementation of campus life activities. With
gender sensitivity we become aware not to make or even criticize stereotypes that imply injustice
or inequality as an assumption that should be done or a truth. With campus academic community
informants, exposure is obtained regarding the forms and attitudes that can be a reference for
building gender sensitivity in the campus environment. This type of research is descriptive
qualitative through observation, interviews and documentation which will obtain an overview of
the meaning, forms and attitudes needed to build gender sensitivity in the campus environment.
Keywords: gender, sensitivity, equality

Abstrak
Penelitian ini berisi tentang refleksi dan analisis penelitian membangun kepekaan gender
di lingkup kampus STABN Sriwijaya. Isu gender adalah hal yang penting mengingat
urgensi kesetaraan gender haruslah terus diupayakan khususnya dalam lingkup
perguruan tinggi. Kepekaan gender penting menjadi mentalitas masing-masing sivitas
akademik sehingga ketidakadilan maupun diskriminasi gender dapat dihindarkan
dalam pelaksanaan kegiatan kehidupan kampus. Dengan kepekaan gender kita menjadi
sadar untuk tidak menjadikan atau bahkan mengkritisi stereotipe yang menyiratkan
ketidakadilan atau ketimpangan sebagai anggapan yang seharusnya dilakukan atau
sebuah kebenaran. Dengan informan sivitas akademik kampus, maka diperoleh paparan
mengenai bentuk dan sikap yang dapat menjadi acuan untuk membangun kepekaan
gender di lingkup kampus. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif melalui
observasi, wawancara dan dokumentasi yang nantinya memperoleh gambaran
mengenai makna, bentuk-bentuk dan sikap yang diperlukan untuk membangun
kepekaan gender di lingkup kampus.
Kata kunci: gender, kepekaan, kesetaraan.

Pendahuluan
Konsep gender tentu kini menjadi suatu yang penting untuk dibicarakan. Tidak
hanya mengenai problematikanya, namun juga pada kesetaraan gender sebagai hal yang
harus terus diperjuangkan. Selama ini, mungkin saja kita sering melihat gender hanya
sekedar kategori-kategori yang sering disematkan pada budaya atau kebiasaan tertentu,
namun justru di balik fenomena ini ada ketimpangan yang sangat merugikan
perempuan. Berkaca dari disahkannya Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual

85
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

pada April 2022, tentu menjadi pelecut untuk kita memahami gender sebagai problema
penting. Pasalnya, salah satu poin penting yang bisa menjadi unsur penyebab utama
terjadinya kekerasan seksual adalah adanya ketimpangan relasi gender itu sendiri yang
berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. Dampak negatif dan bahaya dari adanya
kekerasan seksual sangat menimbulkan sebuah pengalaman yang mencekam,
mengerikan dan bahkan mengancam jiwa seseorang (Post Traumatic Stress Disorder)
(Hardianti, Efendi, Lestari, & Puspoayu, 2021) Bentuk-bentuk kekerasan seksual bukan
hanya perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga saja, melainkan perbuatan yang
merendahkan, menghina, menyerang dan tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait
nafsu perkelaminan, Hasrat seksual seseorang, dan fungsi reproduksi yang dilakukan
secara paksa. Dominasi laki-laki terhadap perempuan kerap menjadi hal yang
menormalisasi tindak kekerasan, sehingga subordinasi terjadi dalam berbagai aktivitas
sosial karena seluruhnya cenderung dipandang dari sudut pandang laki-laki (Hardianti,
Efendi, Lestari, & Puspoayu, 2021). Konstruksi gender perempuan sangat tidak
menguntungkan posisi perempuan karena realitanya dalam masyarakat kita saat ini pun,
masih memandang perempuan sebagai objek pemuas, kaum marginal, dikuasai,
dieksploitasi dan diperbudak. Dalam Buku Kajian Indeks Ketimpangan Gender 2021
yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik dikatakan bahwa ketimpangan gender di
Indonesia Tahun 2019 dalam perhitungan GII (Gender Inequalities Index) berada di
peringkat 121 dari 162 negara dengan angka 0,480 (Statistik, 2021). Tentu indeks ini
diukur berdasarkan berbagai indikator seperti faktor risiko kematian ibu (proporsi
persalinan tidak di fasilitas kesehatan), fertilitas remaja (proporsi wanita berusia 15-49
tahun yang pernah kawin dan saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20
tahun), pendidikan (presentase penduduk laki-laki dan perempuan dengan pendidikan
minimal SMA), parlemen (presentase laki-laki dan perempuan yag duduk di parlemen),
dan pasar kerja (presentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja) (Statistik,
2021).
Ketimpangan gender ini juga diperparah dengan produk-produk budaya populer
seperti dalam iklan, film, tontonan tv dan sebagainya yang semakin mempertebal jurang
ketimpangan gender melalui stereotipe atau tanda-tanda yang mereka hasilkan dan
semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Kita dapat lihat misalnya penggambaran iklan
pembersih lantai yang menampilkan model perempuan sebagai istri yang sedang
mengepel dan disambut oleh sang suami karena lantai harum dan bersih. Sekilas
memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun di balik itu seolah-olah
menegaskan bahwa peran perempuan lekat dengan urusan-urusan domestik rumah
tangga seperti menyapu, mengepel dan sebagainya. Tidak hanya iklan pembersih lantai,
penggambaran ini juga terdapat di iklan-iklan lainnya yang berhubungan dengan urusan
domestik seperti alat elektronik, sabun cuci dan sebagainya. Stereotipe-stereotipe ideal
untuk perempuan juga digambarkan melalui iklan sabun maupun shampo di mana

86
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

menampilkan perempuan yang berkulit putih, berambut panjang dengan bentuk tubuh
yang proporsional. Terlepas itu dikonstruksi untuk menampilkan fantasi akan
penggunaan produk, namun terlihat sekali seolah-olah menciptakan mitos ideal untuk
seorang perempuan. Tak heran jika kita sering mendengar percakapan bahwa model
iklan shampo ataupun sabun adalah hal yang ingin dicita-citakan atau diimitasi oleh
sebagian orang.
Fakta sosial yang ada di masyarakat kita memang menunjukkan adanya
perbedaan yang menimbulkan ketidakadilan hak maupun peran yang diterima antara
laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki melekat sehingga laki-laki dianggap memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat serta memiliki posisi dan
kedudukan yang lebih tinggi dibanding perempuan. Budaya patriarki tidak lain adalah
sistem yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki yang melekat dalam nilai-
nilai, norma-norma, kepercayaan, praktek dan kebijakan yang menyebabkan posisi
perempuan berada dalam subordinasi, dominasi dan kontrol laki-laki (Haryanto, 2017).
Kondisi akan jauh lebih parah jika pemahaman ini disosialisasikan dari satu generasi ke
generasi lainnya sehingga menjadi sebuah budaya dalam masyarakat (Farida, 2018).
Misalnya saja dalam budaya Jawa, perempuan ideal dibentuk dengan adanya kewajiban
memiliki sifat-sifat tertentu seperti berakal yang banyak, siap sedia jika diperintah suami,
menjadi penyeimbang, selalu bersikap/berwajah manis dan mampu mengatur atau
mengelola kehidupan rumah tangga (Haryanto, 2017). Tentu konsepsi ini dapat
dikatakan suatu hal yang bersifat subordinatif dan memiskinkan peran perempuan yang
hanya ada dalam wilayah domestik. Mies (dalam Farida, 2018) menggunakan istilah
housewifization untuk menunjukkan suatu kondisi bahwa peran perempuan sebagai ibu
rumah tangga dianggap sebagai peran utama sehingga segala aspek kehidupan sangat
diwarnai oleh anggapan ini. Ideologi familialisme ini pada akhirnya menubuh dan
menekankan posisi sentral laki-laki sebagai suami dan ayah sehingga kewibawaan, harga
diri, dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga.
Tentu kondisi ini justru membawa pada kondisi yang sangat tidak baik untuk
kesejahteraan dan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sejauh ini konsep
gender banyak dibicarakan dan didiskusikan seiring dengan kesadaran mengenai hak-
hak kaum perempuan dan kesetaraan dalam masyarakat. Peran perguruan tinggi harus
mulai aktif dalam menyosialisasikan konsep gender (kesetaraan) ke lingkup masyarakat
serta sikap kritis terhadap berbagai kebijakan maupun program pembangunan yang
membawa dampak ketidakadilan, ketimpangan maupun bias gender (Farida, 2018).
Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dikenal meliputi: marginalisasi atau
pemiskinan ekonomi, subordinasi (politik), stereotipe labelling (budaya), beban ganda
dan kekerasan (sosial). Marginalisasi adalah proses peminggiran atau penyisihan yang
mengakibatkan keterpurukan. Marginalisasi atau pemiskinan ekonomi misalnya ada
dalam program pemerintah seperti swasembada pangan atau revolusi hijau dengan
memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah dan pendekatan panen

87
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi menggunakan ani-
ani padahal alat tersebut melekat dan sering digunakan kaum perempuan. Akibatnya
banya kaum perempuan di desa termarginalisasi artinya semakin tersingkir karena tidak
mendapatkan pekerjaan di sawah saat musim panen (Fakih, 2020).
Kemudian pada subordinasi, yakni adanya anggapan bahwa perempuan itu
irasional atau emosional sehingga tidak mampu menjadi pemimpin sehingga
memunculkan sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Hal
ini juga bermula dari adanya kultur budaya masyarakat bahwa perempuan itu tidak
mampu atau dapat berada di depan. Misalnya di Jawa, dulu ada anggapan bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena nanti akhirnya akan di dapur juga
ataupun juga dalam pemerintahan ada peratiran yang mengatur jika suami akan pergi
belajar (tugas belajar), maka ia dapat mengambil keputusan sendiri sedangkan jika
seorang istri harus sepenuhnya mendapat izin dari suami. Praktik-praktik tindakan yang
berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Farida, 2018). Melalui sejarah yang
panjang, perempuan dikonstruksikan dengan berbagai mitos. Murniati (dalam
Haryanto, 2017) mengidentifikasi paling tidak terdapat 3 (tiga) mitos yakni mitos
penciptaan yang menganggap perempuan sebagai pembantu laki-laki, mitos kecantikan
yang merupakan stereotipe perempuan dan mitos perempuan sebagai ibu bangsa. Mitos-
mitos ini hingga sekarang masih merupakan hasil asuhan dan dimanipulasi secara
politis. Sementara menurut Darwin (dalam Haryanto, 2017) mitos-mitos yang bernilai
positif, dimanfaatkan laki-laki sebagai pemanis untuk menenangkan perempuan, atau
sebagai pembungkus nilai-nilai patriaki yang sebenarnya mewarnai hubungan laki-laki
dan perempuan di masyarakat.
Stereotipe tidak lain adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu. Tidak hanya pada kelompok tertentu misalnya suku bangsa dan sebagainya,
penandaan juga mengarah pada jenis kelamin. Misalnya adanya penandaan yang berasal
dari asumsi bahwa perempuan harus mengerjakan pekerjaan di rumah (domestik)
seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah dan laki-laki identik sebagai pencari
nafkah yang utama sehingga harus diutamakan misalnya untuk makan ataupun
istirahat. Adapun asumsi lainnya seperti perempuan bersolek atau mempercantik diri
dengan menggunakan make up dan sebagainya adalah dalam rangka memancing
perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekearasan atau pelecehan seksual
selalu melekat stereotipe ini utamanya pada kecenderungan menyalahkan korban (yang
biasanya perempuan). Di dalam masyarakat pun juga berkembang pemahaman bahwa
tugas utama perempuan adalah melayani suami (Farida, 2018). Stereotipe yang
berkembang inilah mengakibatkan penomorduaan perempuan dan sering ditemukan
dalam tafsir keagamaan, kebiasaan di masyarakat hingga aturan baik pemerintah atau
keagamaan.
Selanjutnya pada kekerasan gender dan beban ganda, ada banyak macam dan
bentuk kejahatan yang bisa dilkategorikan sebagai kekerasan gender, seperti bentuk

88
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

pemerkosaan terhadap perempuan (termasuk perkosaan dalam perkawinan), tindakan


pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence),
bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation),
kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution), kekerasan dalam bentuk pornografi,
kekerasan dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization), kekerasan terselubung
(molestation) yakni memgang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan
dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan di pemilik tubuh, pelecehan
seksual dan kekerasan simbolik. Beban ganda tidak lain adalah adanya anggapan bahwa
kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala
keluarga sehingga berakibat pada semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab perempuan. Bias gender ini mengakibatkan adanya suatu pandangan di
masyarakat bahwa pekerjaan domestik tersebut adalah pekerjaan “perempuan” dan
dianggap tidak produktif serta bernilai rendah (Farida, 2018).
Jika menilik data yang dikeluarkan Komisi Nasional Perempuan (Komnas
Perempuan) atau yang dikenal sebagai catatan tahunan (Catahu) 2021
(https://komnasperempuan.go.id/) bahwa jumah kasus kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, yang terdiri dari kasus
yang ditangani oleh: 1) Pengadilan Negeri/ Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus,
2) Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumah 8.234 Kasus, 3) Unit Pelayanan
dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus. Dari data tersebut juga
tercatat bahwa 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus lainnya tidak
berbasis gender atau memberikan informasi. Dalam data Mitra Lembaga Layanan, dari
sejumlah 8.234 kasus, kasus yang paling menonjol adalah Kasus Dalam Rumah
Tangga/Ranah Personal (6.480 kasus), kemudian kekerasan dalam pacaran (1.309 kasus),
dan kekerasan terhadap anak perempuan (954 kasus). Sedangkan untuk ranah
publik/komunitas, kasus yang paling menonjol adalah kekerasan seksual yakni (962
kasus). Sebuah simpulan dalam data ini menunjukkan bahwa di masa pandemi,
perempuan dengan kerentanan berlapis menghadapi beragam kekerasan dan
diskriminasi.
Dengan melihat refleksi baik melalui data dan penjabaran gagasan mengenai
gender, pembagian peran berdasarkan gender dalam realitas sosial melahirkan suatu
keadaan yang tidak seimbang, di mana perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki-laki,
yang dapat disebut sebagai ketimpangan gender. Gender dalam kaitan ini bukanlah
sesuatu yang alamiah (kodrat), tetapi peran atau pun sifat yang dibentuk oleh nilai
budaya dan proses sosial di masyarakat. Dalam kondisi inilah, penulis memandang
bahwa kepekaan atau sensitif terhadap gender penting menjadi mentalitas. Sensitif
gender dapat dipahami sebagai suatu sikap, baik itu dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan yang mendukung kesetaraan gender, dan sangat menghindari diskriminasi
atas jenis kelamin tertentu (Haruna, 2018). Kepekaan dan kesadaran akan mendorong
untuk lebih berhati-hati dan kritis terhadap anggapan-anggapan bias gender yang sering

89
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

terlontar di keseharian kita. Dalam lingkup perguruan tinggi, meski dapat dikatakan
sebagai tempat lahirnya gagasan, ide dan solusi yang berbasis ilmu pengetahuan, namun
tidak bisa lepas dari terjadinya kekerasan ataupun hal-hal yang sifatnya bias gender.
Sehingga dibutuhkan kesadaran oleh sivitas akademika kampus dalam melek terhadap
gender ataupun menjadikan pemahaman gender sebagai sebuah literasi. Literasi gender
artinya memahami seluk-beluk tentang status perempuan dari justifikasi negatif yang
diproduksi kultur sosial, merekonstruksi realitas perspektif gender dan melakukan
dekonstruksi terhadap diskursus mapan terhadap perempuan (Aliah Darma & Astuti,
2021). Melalui literasi manusia diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidupnya
yang memungkinkan ia dapat mengakses serta memanfaatkan sains dan teknologi untuk
kehidupannya, memahami aturan hukum serta mampu memanfaatkan kekayaan
budaya dan daya guna media. Dalam lingkup negara, literasi pada hakekatnya sebagai
usaha dalam menciptakan kesejahteraan negara yang lebih baik seperti memberantas
kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, menghapus buta huruf dan sebagainya.
Pendidikan tidak hanya dianggap sebagai bagian dari unsur pencerdasan bangsa,
melainkan juga sebagai produk konstruksi sosial, sehingga seharusnya dunia pendidikan
juga memiliki andil dalam membentuk pemahaman maupun relasi gender (termasuk
perubahan pola relasi/posisi gender seperti pembagian peran, kerja, kekuasaan dan
sebagainya) untuk sivitas akademika maupun masyarakat. Paradigma literasi tidak
hanya sekedar melalui baca dan tulis, melainkan harus menghasilkan daya kritis peserta
didik dalam menghadapi isu atau persoalan yang ada di sekitarnya (tentu gender
menjadi salah satunya). Oleh karena itu, pengoptimalan literasi tidak hanya melalui
sumber buku, namun juga didorong dalam pembelajaran yang dialogis, aktif dan kritis
oleh peserta didik maupun pendidik. Kesadaran dan kepekaan gender juga bermuatan
pada kesetaraan pada asumsi persamaan kedudukan manusia dan kesederajatan artinya
adanya suatu sikap yang yang mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban sesama manusia. Harapannya kesetaraan menciptakan kondisi yang adil
(keadilan gender) yang menghapuskan marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, dan
kekerasan terhadap laki-laki maupun perempuan. Persamaan hak juga nantinya
menyangkut pada perjuangan pada hak dasar manusia.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.
Metode kualitatif digunakan dalam kerangka mendapatkan data yang mendalam serta
menggali makna sebagai nilai yang ada di balik data. Pemahaman makna akan dapat
diperoleh dengan ketajaman analisis dan penafsiran data-data penelitian yang berhasil
dikumpulkan oleh peneliti (Qomar, 2022). Tentunya penelitian ini dimulai dengan
melakukan tinjauan literatur guna mendapatkan kerangka dasar dan refleksi awal
terhadap tema penelitian dan kemudian dilanjutkan dengan teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (observasi, wawancara, dokumentasi) kepada informan

90
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

hingga pada penulisan guna mengkonstruksi fenomena dan menemukan hipotesis


(Sugiyono, 2020). Dengan model pendekatan fenomenologi, penulis dapat
mengembangkan narasi deskriptif pengalaman informan tentang apa yang dialami
ataupun fenomena yang ada di sekitarnya.

Hasil dan Diskusi


Penelitian ini memiliki tiga fokus dalam upaya mendeskripsikan membangun
kepekaan gender di lingkup kampus, yakni 1) makna kepekaan gender; 2) bentuk-bentuk
mewujudkan kepekaan gender; dan 3) usaha yang diperlukan serta implikasi
membangun kepekaan gender. Makna kepekaan gender dalam penelitian ini menjadi
fokus untuk menjawab bagaimana mengenai pentingnya membangun kepekaan gender,
sedangkan penggalian bentuk, usaha/sikap serta implikasi adalah mencari gagasan-
gagasan konkret dalam tindakan dan nilai atas tindakan tersebut dalam menjawab usaha
yang harus dilakukan untuk membangun kepekaan gender di lingkup kampus STABN
Sriwijaya. Penyelidikan terhadap makna juga dapat dikatakan sebagai usaha ontologis
untuk memahami kenyataan berdasarkan pemahaman dari informan penelitian
mengenai kepekaan gender. Dalam menelusuri sikap, dalam pertanyaan juga disisipkan
mengenai manfaat dan harapan sebagai refleksi dalam merenungkan peran yang
seharusnya dilakukan maupun keadaan yang hendaknya dicapai untuk mendukung
iklim ramah gender di kampus STABN Sriwijaya.
Berdasarkan analisis dan refleksi terhadap keterangan informan, kepekaan gender
penting dibangun dalam usaha mewujudkan kesetaraan gender sehingga ketidakadilan
maupun diskriminasi dapat dihindarkan dalam pelaksanaan kegiatan kehidupan
kampus. Diskriminasi dan ketidakadilan ini sering muncul dalam stereotipe sehari-hari
dan dikonstruksi bahkan dianggap hal yang umum. Dengan kepekaan gender kita
menjadi sadar untuk tidak menjadikan (bahkan mengkritisinya) stereotipe sebagai
anggapan yang seharusnya dilakukan atau bahkan kebenaran, menyadari akan hak dan
kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pentingnya membangun
kepekaan gender juga mengarah pada tidak adanya sebuah ukuran berdasarkan gender
tertentu dalam melaksanakan suatu hal atau pekerjaan yang selama ini menjadi sebuah
generalisasi akan stereotipe atas gender. Misalnya saja dalam berorganisasi tidak ada
sebuah ukuran bahwa ketua dari organisasi tersebut harus laki-laki karena anggapan
laki-laki lebih dianggap mampu. Sebaliknya, anggapan itu harus dikritisi bahwa
kemampuan memimpin tidak didasarkan pada stereotipe gender melainkan harus
melihat pada kemampuan dan kepekaan dari orang tersebut sehingga di sinilah peka
gender diwujudkan. Contoh lainnya adalah dalam perkuliahan, misalnya dalam
presentasi atau kegiatan kampus lainnya, tidak ada pembedaan tugas ataupun persiapan
presentasi dengan anggapan tugas berat harus diemban laki-laki seperti memasang LCD,
menyiapkan kursi ataupun menata sound system. Dari poin tersebut mengindikasikan
adanya subordinasi gender tertentu. Dalam kebiasaan kita sehari-hari, sering ada

91
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

anggapan bahwa pekerjaan berat harus dilakukan laki-laki sedangkan yang ringan
dilakukan oleh perempuan. Dominasi budaya partiarki sangat menggambarkan laki-laki
dengan ciri maskulinitasnya seperti aktif, kuat,besar dan berkuasa, sedangkan
perempuan sering dilekatkan dengan ciri feminin yang lemah, tertutup, pasif dan
sebagainya. Dengan anggapan ini saja sudah menunjukkan seolah-olah perempuan tidak
mampu dan sangat perlu untuk dikritisi.
Kepekaan gender juga dimaknai kemampuan kepekaan terhadap situasi dan
kondisi serta nilai-nilai etis dalam keseharian, misalnya dalam meski sudah memahami
kesetaraan gender namun kita perlu memahami batas-batas etis misalnya dalam
berbicara kita memahami betul hal-hal yang tidak boleh dibahas dengan lawan jenis
apalagi sampai melontarkan kata-kata yang menyudutkan gender melalui stereotipe
tertentu ataupun menjadikan privasi atau kesensitifan anggota tubuh sebagai bahan
pembicaraan. Tidak hanya itu, secara etis sangat perlu menghindari menyentuh anggota
tubuh yang dianggap memiliki kesensitifan tinggi. Hal ini dapat menjadi salah satu
penyebab terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual. Menurut Fakih (Fakih, 2020), ada
beberapa bentuk perlakuan yang bisa dikategorikan pelecehan seksual seperti: a)
menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara yang
dirasakan sangat ofensif; b) menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan
kotor; c) menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya, atau
juga kehidupan pribadinya, d) meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk
mendapatkan kerja atau mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya; e) menyentuh
atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau seizin dari yang bersangkutan.
Setelah menggali pentingnya kepekaan gender, fokus selanjutnya adalah pada
bentuk-bentuk kepekaan gender di lingkup kampus yang bertujuan untuk menggali
gambaran konkret dari gagasan peka gender di lingkup kampus. Adapun bentuk-bentuk
kepekaan gender di lingkup kampus seperti adanya tugas dan kewajiban yang sama,
perlakuan yang setara, kebebasan dalam mengemukakan pendapat dalam pelaksanaan
pembelajaran, adanya pergaulan dan pertemanan yang tidak membeda-bedakan dan
adanya kebersamaan dalam melaksanakan kegiatan baik perkuliahan maupun
nonperkuliahan sebagai landasan kesadaran empati dan simpati serta melihat
menghilangkan sekat-sekat perbedaan yang diakibatkan dari adanya stereotipe-
stereotipe mengenai gender. Adanya tugas dan kewajiban yang sama dan bebas
mengemukakan pendapat atau mengambil keputusan tanpa memandang gender dalam
kampus adalah wujud prinsip persamaan dan kesetaraan dalam memperoleh
pendidikan serta tidak adanya diskriminasi dalam melaksanakan pembelajaran.
Kebebasan dalam memperoleh akses pendidikan memang menjadi hal penting karena
dengan adanya persamaan maka mengimplikasikan adanya kesempatan yang sama
untuk berkembang dan maju sehingga tidak adanya taraf ukur dalam melakukan sesuatu
yang dilekatkan pada stereotipe gender dalam melakukan sesuatu, melainkan melihat
pada kemampuan yang dimiliki masing-masing peserta didik.

92
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

Kemudian bentuk selanjutnya adalah pergaulan dan pertemanan yang tidak


membeda-bedakan gender, tentu bukanlah hal yang asing dan sudah diajarkan sejak kita
menempuh pendidikan, namun kenyataanya masih saja ditemukan anggapan-anggapan
yang bisa saja menimbulkan ketidaknyamanan dari labeling atau bahkan stereotipe
gender yang berkembang (misalnya perempuan yang lebih sering bergaul dengan laki-
laki atau sebaliknya). Baiknya kita tidak mudah berprasangka apa yang ada di
permukaan karena alasan pertemanan semacam itu.
Selanjutnya adalah kesetaraan gender itu adanya di dalam perlakuan dan juga
penugasan yang mengimplikasikan pada peran pendidik, di mana pendidik harus
melepaskan pemahaman dari stereotipe-stereotipe yang sering berkembang terkait
peran gender dalam memperlakukan atau membimbing peserta didik maupun dalam
memberikan penugasan. Pendidik harus bisa menempatkan posisi dan peka dalam
melihat kemampuan peserta didik sehingga meminimalisir adanya kemungkinan
sebuah ketidakadilan atau bahkan diskriminasi. Dalam konteks ini, pendidik harus
memiliki wawasan akan kesetaraan gender karena pendidik adalah figur penting dan
menjadi pusat perhatian serta menjadi contoh untuk mengamalkan tindakan yang adil
dan tidak diskriminatif. Hal ini senada digagas Yaqin (Yaqin, 2019), bahwa pendidik juga
dituntut memahami nilai-nilai keadilan gender serta mempraktikkannya, kemudian
harus sensitif akan permasalahan gender yang ada di sekitarnya, di mana pendidik harus
dapat mencegah dan sekaligus menegur apabila ditemukan adanya ketidakadilan serta
perilaku yang diskriminatif.
Bentuk kepekaan gender selanjutnya adalah adanya kebersamaan yang
menyiratkan manusia sebagai mahluk sosial selalu akan membutuhkan bantuan satu
sama lainnya tidak peduli jenis kelamin, suku, budaya dan sebagainya. Kebersamaan
juga dimaknai adanya keinginan untuk saling bahu-membahu dalam seluruh kegiatan
yang dilaksanakan di kampus tanpa membeda-bedakan atau mengkotak-kotakan peran
berdasarkan gendernya. Akhirnya kepekaan gender akan terkondisi seiring dari adanya
pemahaman bahwa kita saling membutuhkan satu sama lainnya. Tidak hanya itu
kepekaan gender dibangun melalui kegiatan sosialisasi-sosialisasi seperti seminar
dengan tema-tema mengenai kesetaraan gender, sosialisasi undang-undang pencegahan
tindakan kekerasan seksual dan sebagainya. Perguruan tinggi ataupun sekolah sudah
seharusnya memiliki aturan yang salah satu isinya melarang keras adanya diskriminasi
gender di seluruh lini kegiatan kampus atau sekolah. Diharapkan dengan adanya aturan
tersebut maka peserta didik maupun sivitas akademik kampus taat hukum serta belajar
untuk selalu menjaga dan menghormati hak-hak individu yang lainnya (Yaqin, 2019).
Bentuk-bentuk di atas tentu tidak dapat dijalankan bila tidak ada sikap konkret
yang menopang akan kesadaran kepekaan gender. Sikap-sikap ini nantinya harus
menjadi pedoman dan harus terus dilakukan untuk menciptakan iklim yang ramah
gender di kampus. Sikap-sikap tersebut antara lain, sikap saling menghargai artinya peka
terhadap kondisi sekitar termasuk pada akhirnya berkaitan dengan gender. Menghargai

93
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

artinya tidak menjadikan gender sebagai sebuah persoalan apalagi batasan dalam
melakukan sesuatu. Menghargai mengimplikasikan semua manusia dipandang sama,
memiliki perasaan serta harkat dan martabat yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kemudian adalah menciptakan rasa adil dan anti diskriminasi, di mana terciptanya rasa
adil adalah harapan yang berimplikasi pada adil untuk gender. Namun untuk
menciptakan adil perlu juga dari sikap masing-masing pribadi, utamanya dalam lingkup
kampus yakni mahasiswa dan dosen. Misalnya saja untuk pendidik, dalam menciptakan
rasa adil dan tidak diskriminatif dalam pelaksanaan pembelajaran harus ditopang
dengan wawasan yang luas mengenai kesetaraan gender ataupun sensitif dengan
permasalahan gender yang menuntut adanya respon cepat dan upaya untuk
mencegahnya.
Sikap selanjutnya adalah tidak melakukan kekerasan atau penindasan yang
merendahkan gender tertentu (bisa saja fisik, verbal bahkan simbolik). Kekerasan diawali
dengan anggapan dirinya merasa lebih kuat dibanding yang lainnya (gender tertentu),
sehingga dapat memungkinkan melakukan kekerasan. Di samping itu, kurangnya
pengetahuan akan gender terkadang memungkinkan sivitas akademika melakukan
kekerasan terhadap hal-hal yang sensitif gender seperti hal-hal privasi hingga seksualitas
dalam ucapan maupun perbuatan. Pentingnya pengetahuan akan gender sangat
membutuhkan adanya keterbukaan (open mind) akan pemahaman gender, di mana
dalam analisis data wawancara, persepsi ini dipahami sikap kritis untuk meninggalkan
pikiran atau anggapan-anggapan gender yang sudah “kuno” utamanya terkait
perempuan. Membuka cakrawala terhadap gender artinya juga berhati-hati dalam
ucapan dan perbuatan apalagi yang mungkin memunculkan stereotipe-stereotipe
tertentu baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu pentingnya sebuah literasi gender
untuk mau melihat ketidakadilan atau ketimpangan yang ada terkait gender.
Ketimpangan inilah juga yang menjadi sebab dari terjadinya kekerasan seksual yang
penting untuk kita sadari dan cegah. Membuka diri sebaiknya kita tidak mudah menjudge
apa yang ada di permukaan melainkan tetap kritis terhadap hal-hal yang menyudutkan
atau mendiskriminasi gender tertentu. Kita harus bisa menjadi pendengar, mau
membuka diri dengan pengetahuan/wawasan untuk mengkritisi stereotipe-stereotipe
buruk yang sering ada di kita. Kita dapat juga merefleksikan sesungguhnya perlu adanya
sikap untuk tidak mengambil situasi atau keuntungan dari stereotipe-stereotipe yang
berkembang mengenai gender, karena jika itu terjadi tentunya sama saja kita
melanggengkannya.
Peka terhadap gender tentu harus menjadi nilai etis itu sendiri, karena secara
pribadi kita tetap perlu memahami bagaimana ketika kita bersosialisasi baik dengan jenis
kelamin sejenis ataupun lawan jenis, kita harus memahami ada yang berbeda (misalnya
berkaitan dengan hal-hal biologis, bentuk fisik dan sebagainya) dan ada yang setara
(secara kemampuan). Dengan memahami peka gender sebagai nilai etis tentunya akan
meningkatkan kedewasaan bagi sivitas akademika dan sangat bermanfaat untuk

94
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

pelaksanaan pembelajaran seperti tidak ada ucapan atau perbuatan yang merendahkan
gender tertentu dalam lingkup pergaulan di kampus yang dapat saja memicu adanya
kekerasan ataupun konflik. Hal ini pun berkaitan dengan pentingnya menahan ego,
bersikap simpati dan empati yang didasarkan dari hati nurani kita.
Untuk sikap yang terakhir adalah tidak menjadikan perbedaan gender itu menjadi
batasan seseorang untuk melakukan suatu hal. Dalam keseharian kita bisa melihat
bahwa segala jenis hobi, keahlian dan sebagainya selalu melekat pada identitas gender
tertentu. Dengan sikap semacam ini tentunya kita tidak menganggap adanya masalah
jika kita menemukan seorang laki-laki memiliki kemampuan yang baik atau lebih dalam
merias atau make up yang mungkin saja selama ini dianggap sebagai keahlian perempuan
dan begitupula dengan hal-hal yang biasanya dilekatkan sebagai hobi/keahlian laki-laki
dilakukan oleh perempuan. Kita harus memahami ini di dalam diri baru melihat ke luar,
artinya jangan sampai mungkin kita bisa ikut melanggengkan sterotipe-stereotipe
semacam itu. Sehingga untuk membangun konsep kepekaan gender juga membutuhkan
kesadaran bahwa karena perbedaan itu pasti ada namun bukan berarti seseorang tidak
dapat melampaui determinisme biologisnya.

Kesimpulan
Kepekaan gender adalah suatu hal yang penting untuk dibangun sehingga
ketidakadilan maupun diskriminasi dapat dihindarkan dalam pelaksanaan kegiatan
kehidupan kampus. Diskriminasi dan ketidakadilan ini sering muncul dalam stereotipe
sehari-hari dan dikonstruksi bahkan dianggap hal yang umum. Dengan kepekaan
gender kita menjadi sadar untuk tidak menjadikan (bahkan mengkritisinya) stereotipe
sebagai anggapan yang seharusnya dilakukan atau bahkan kebenaran, menyadari akan
hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pentingnya membangun
kepekaan gender juga mengarah pada tidak ada sebuah ukuran berdasarkan gender
tertentu dalam melaksanakan suatu hal atau pekerjaan tidak seperti apa yang selama ini
menjadi sebuah generalisasi akan stereotipe atas gender.
Usaha yang dibutuhkan adalah mewujudkan bentuk-bentuk kepekaan gender di
lingkup kampus seperti tugas dan kewajiban yang sama, perlakuan yang setara,
kebebasan dalam mengemukakan pendapat, adanya pergaulan dan pertemanan yang
tidak membeda-bedakan dan adanya kebersamaan dalam melaksanakan kegiatan baik
perkuliahan maupun nonperkuliahan sebagai landasan untuk mau melihat kondisi satu
sama lain yang menghilangkan sekat-sekat perbedaan yang diakibatkan dari adanya
stereotipe-stereotipe mengenai gender.
Sedangkan sikap konkret yang menunjang dalam mewujudkan kesetaraan
gender, yakni antara lain sikap menghargai tidak lain berhubungan dengan situasi
sederhana yang harus membudaya artinya peka terhadap kondisi sekitar termasuk pada
akhirnya berkaitan dengan gender. Menghargai artinya tidak menjadikan gender sebagai
sebuah persoalan apalagi batasan dalam melakukan sesuatu, menciptakan rasa adil dan

95
Volume 5, Issue 1, March 2023
E-ISSN 2721-0642

anti diskriminasi, tidak melakukan kekerasan atau penindasan yang merendahkan


gender tertentu (bisa saja fisik, verbal bahkan simbolik), open mind yang artinya terbuka
dengan wawasan akan gender, membuka diri sebaiknya kita tidak mudah menjudge apa
yang ada di permukaan melainkan tetap kritis terhadap hal-hal yang menyudutkan atau
mendiskriminasi gender tertentu, menanamkan pemahaman kepekaan gender menjadi
nilai etis dan moralitas, serta yang terakhir adalah tidak menjadikan perbedaan gender
itu menjadi batasan seseorang untuk melakukan suatu hal.

Referensi
Aliah Darma, Y., & Astuti, S. (2021). Pemahaman Konsep Literasi Gender. Tasikmalaya:
Langgam Pustaka.
Fakih, M. (2020). Analisis Gender & Transformasi Sosial. INSISTPress.
Farida, H. (2018). Kajian & Dinamika Gender. Malang: Intrans Publishing.
Hardianti, F. Y., Efendi, R., Lestari, P. D., & Puspoayu, E. S. (2021). Urgensi Percepatan
Pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jurnal Suara
Hukum, 26-52.
Haruna, R. (2018). Literasi Gender di Kalangan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi.
Jurnal Tabligh, 96-105.
Haryanto, S. (2017, November). Kekerasan Simbolik Berbasis Gender dalam Budaya
Pop Indonesia. In Seminar Nasional FISIP Unila.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif (Untuk Ilmu-Ilmu Sosial).
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Komnas Perempuan. (2021). Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan
2020: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual,
Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah
COVID-19. Jakarta. Komnas Perempuan.
Qomar, M. (2022). Metolodogi Penelitian Kualitatif. Inteligensia Media (Intrans
Publishing Group).
Shodiq, S. F. (2021). Pengaruh Kepekaan Sosial terhadap Pengembangan Pendidikan
Karakter Berbasis Masyarakat. Jurnal Basicedu, 5648-5659.
Statistik, B. P. (2021). Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2021. Jakarta:
BPS RI.
Sugiyono, P. D. (2020). Metode Penelitian Kualitatif : Untuk penelitian yang bersifat:
eksploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif). Bandung: Penerbit Alfabeta
Bandung.
Sumar, W. W. T. (2015). Implementasi kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan. Jurnal Musawa IAIN Palu, 7(1), 158-182.
Yaqin, M. A. (2019). Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. LKis.

96

Anda mungkin juga menyukai