Modul Fiqh
Modul Fiqh
Modul Fiqh
DISUSUN OLEH:
TEAM SUPPORT SYSTEM YAYASAN AL-HUFFAZH
2020
1
Judul buku : Modul fiqh praktis ibadah harian
Penyusun : Irfan Idris S.Kom
Korektor : Ustadz Fauzan Hasyim Lc.
Desain cover : Irfan Idris S.Kom
Tata letak : Irfan Idris S.Kom
Penerbit : Al-Huffazh publishing
Ukuran : 21 x 30 cm
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada rasul
yang pungkasan, junjungan kita Muhammad – semoga shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan
padanya – beserta keluarga beliau yang suci, para shahabat beliau yang mulia beserta setiap ummatnya
yang teguh berpegang atas Sunnah-sunna beliau ‘alaihi afdhalus-shalaatu wa atammut-tasliim.
Buku modul ini merupakan panduan praktis fiqh-fiqh di lingkungan pesantren, khususnya di
Ma’had Mulazamah Al-huffazh. Penyusunan buku ini didasarkan pada fiqh Madzhab As-Syafi’i dan
disarikan dari kitab-kitab rujukan madzhab Imam As-Syafi’i untuk menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang mayoritasnya menganut madzhab Syafi’i.
Dalam buku ini materi setiap poin pembahasan fiqh di dalamnya dibahas dengan global sehingga
untuk penjelasannya seorang guru fiqh di lingkungan Yayasan Al-Huffazh juga dituntut untuk memiliki
pemahaman fiqh yang baik agar mampu menjelaskannya dengan tepat kepada para santri dan
menurunkan setiap kasus hokum fiqh yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dengan penjelasan
yang baik.
Pada akhirnya, dalam penyusunan buku ini kami menyadari masih ada berbagai kekurangan dan
kaidah-kaidah yang belum memuaskan dalam penerapan fiqh yang baik. Dibutuhkan masukan dari
berbagai pihak, terlebih kepada guru fiqh di lingkungan pendidikan Yayasan Al-Huffazh untuk ke
depannya bisa melengkapi berbagai kekurangan dalam buku ini.
Semoga Allah menjadikan setiap usaha kita mengajarkan ilmu yang bermanfaat ini kepada para
santri dan ummat Islam secara umumnya mendapatkan keridhaan dari Allah dan dibalas dengan
kebaikan-kebaikan yang jauh lebih besar di sisi-Nya, Amiin..
Team Penyusun
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
Data buku 2
Kata Pengantar 3
Daftar isi 4
Bab 1 Fiqh 7
Pengertian Fiqh 7
Makna Mukallaf 7
Hukum-hukum Syari’at 8
Bab 2 Thaharah9
Sunnah-sunnah fitrah 9
Pembagian Air 9
Adab menunaikan hajat 10
Pembagian najis dan cara membersihkannya 10
Membersihkan Najis 11
Istinjaa’ 11
Istijmaar 12
Media Thaharah 12
Wudhu 13
Rukun wudhu 13
Sunnah-sunnah wudhu 13
Syarat-syarat wudhu 14
Pembatal-pembatal wudhu 14
Kebolehan mengusap Khuf 14
Hal yang membatalkan mengusap Khuf 14
Perbuatan yang tidak boleh dilakukan saat berhadats 15
Tayammum 16
Mandi 17
Haidh, Nifas dan Istihaadhah 18
Bab 3 Shalat 20
4
Rukun Shalat 20
Syarat Sah Shalat 20
Sunnah Hai’at dalam shalat 21
Sunnah-sunnah Ab’adh dalam shalat 21
Sujud sahwi 21
Waktu-waktu shalat fardhu 22
Waktu-waktu yang tidak diperbolehkan untuk sholat 23
Pembatal sholat 23
Hal-hal yang makruh dalam sholat 24
Hal-hal yang diperbolehkan dalam sholat 25
Menjama’ shalat selain safar 25
Sholat Jama’ah 26
Masbuq 26
Bab 4 Sholat Jum’at 27
5
Puasa Wajib 37
Rukun puasa 38
Syarat Sah Puasa 38
6
BAB 1
FIQH
A. Pengertian Fiqh
Secara Bahasa fiqh memiliki 2 makna yaitu:
a. Pemahaman. Makna ini terdapat pada firman Allah :
ال ٰهَُٓؤٓاَل ِء ۡٱلقَ ۡو ِم اَل يَ َكا ُدونَ يَ ۡفقَهُونَ َح ِد ٗيثا
ِ فَ َم
“Maka mengapakah orang-orang ini hampir tidak memahami pembicaraan” (Q.S An-Nisaa’ :
78)
Dan dalam do’a Nabi kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu:
ِّين ِ ُاللَّهُ َّم فَقِّ ْهه
ِ في الد
“Yaa Allah berikanlah ia pemahaman dalam urusan agama” (H.R Bukhary dan Muslim)
b. Mengerti dengan baik terhadap pembicaraan orang lain. Seperti pada firman Allah:
ٗ ِوا ٰيَ ُش َع ۡيبُ َما ن َۡفقَهُ َكث
يرا ِّم َّما تَقُو ُل ْ ُقَال
“Mereka berkata wahai Syu’aib kami tidak mengerti kebanyakan ucapanmu” (Q.S Huud : 91)
7
B. Makna mukallaf
Makna mukallaf secara syari'at adalah seorang yang telah memasuki masa baligh lagi berakal
sehat yang telah sampai kepadanya risalah Islam.
Yang dimaksud ‘Aqil adalah seorang yang tidak hilang akalnya baik karena gila maupun sebab
lainnya. Kedua syarat jika terpenuhi ditambah dengan sampainya risalah Islam pada dirinya, maka
jadilah ia sebagai seorang yang mendapatkan beban syariat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya.
C. Hukum-hukum Syari’at
Hukum Syari’at terbagi menjadi lima, yaitu:
1. Wajib / Fardhu
Yaitu hukum yang memberikan konsekuensi kepada pelakunya jika dilakukan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan terancam dengan siksaan.
Fardhu terbagi menjadi dua, yaitu Fardhu ‘Ain dimana kewajibannya mengenai setiap indifidu
mukallaf. Dan yang kedua adalah fardhu Kifayah dimana kewajibannya hanya mengenai sebagian
orang dan hukumnya gugur jika telah dikerjakan sebagian orang.
2. Mandhub / Sunnah / Mustahab
Yaitu hukum yang memberikan konsekuensi kepada pelakunya jika dilakukan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan tidak terancam dengan siksaan.
3. Mubah / Jaiz
Yaitu hukum yang memperbolehkan pelakunya untuk melakukan dan meninggalkannya tanpa
adanya konsekuensi pahala ataupun siksa.
4. Makruh
Yaitu hukum yang memberikan konsekuensi kepada pelakunya jika tidak dilakukan mendapatkan
pahala dan jika dilakukan tidak terancam dengan siksaan.
5. Haram
Yaitu hukum yang memberikan konsekuensi kepada pelakunya jika tidak dilakukan mendapatkan
pahala dan jika dilakukan terancam dengan siksaan.
8
BAB 2
THAHARAH
A. Sunnah-sunnah fitrah
Sunnah fitrah ada 8, yaitu:
1. Memotong kumis 5. Membasuh persendian
2. Memelihara jenggot 6. Mencabut bulu ketiak
3. bersiwak 7. Mencukur bulu kemaluan
4. Memotong kuku 8. Istinjaa' dengan air
B. Pembagian air
Air terbagi menjadi 4, yaitu:
1. Air Mutlaq (Air yang suci dan mensucikan)
Secara ringkas air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi
dengan sifat asli penciptaannya. Imam Al-Ghazali berkomentar: “Air yang dapat digunakan untuk
bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju,
dan air dari hasil hujan es.“
Jika air tercampur dengan sesuatu yang tidak merubah hakikat air tersebut keluar dari
definisinya sebagai air seperti bercampur dengan dedaunan, lumut, kayu gaharu dan sebagainya
maka tidak mengapa bersuci dengannya. Adapun jika tercampur dengan sesuatu yang
membuatnya keluar dari definisinya sebagai air seperti jika tercampur dengan the, kopi, obat dan
sejenisnya maka ia tidak boleh digunakan untuk bersuci
3. Air Musta’mal
9
Yakni air yang bekas dipakai bersuci seperti untuk berwudhu dan mandi dari seseorang
kemudian ia ditampung untuk digunakan bersuci orang yang lain maka ini tidak boleh digunakan
untuk berwudhu jika ia dalam keadaan sedikit.
a. Air mutanaajis
Yakni air yang tidak sah digunakan untuk bersuci karena telah bercampur dengan suatu
najis dalam keadaan airnya sedikit sehingga terjadi perubahan dari warna, aroma dan
rasanya dengan najis tersebut.
b. Air yang tidak mutanaajis
Yakni air yang terkena najis dalam keadaan lebih dari dua kullah atau jumlah yang cukup
banyak sehingga tidak merubah kondisi air tersebut dari sisi warna, aroma dan rasanya
dengan najis yang mengenainya. Bersuci menggunakan air ini boleh dilakukan.
10
E. Membersihkan najis
1. Najis besar (Mughallazoh), menyucikannya dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali, salah
satunya menggunakan debu, setelah hilang zat najisnya.
2. Najis ringan (Mukhaffafah), menyucikannya dengan memercikkan air secara menyeluruh dan
menghilangkan zat najisnya.
3. Najis sedang (Mutawassithoh) terbagi dua bagian, yaitu:
a. ‘Ainiyyah yaitu najis yang masih nampak warna, bau, atau rasanya, maka cara menyucikan
najis ini dengan menghilangkan warna, bau, dan rasanya.
b. Hukmiyyah, yaitu najis yang tidak nampak warna, bau dan rasanya, maka cara menyucikan
najis ini cukup dengan mengalirkan air pada benda yang terkena najis tersebut.
F. Istinja’
Istinja' adalah menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya air seni atau
kotoran. Berasal dari kata an-najaa’ yang berarti bersih atau selamat dari penyakit. Disebut
11
demikian, karena melakukan istinja' berarti orang itu mencari keselamatan dari penyakit dan
berbuat untuk menghilangkannya.
Cara beristinjaa’ bisa menggunakan air maupun batu. Tingkatan Istinjaa’ dari sisi
kesuciannya ada tiga, yaitu:
a. Membersihkan lubang keluarnya kotoran dengan menggunakan batu istinjaa terlebih
dahulu sebanyak 3 kali kemudian membasuhnya dengan air. Dan ini adalah tingkatan
yang lebih utama dilakukan
b. Membasuh dengan air saja sampai bersih
c. Beristinjaa’ dengan batu istinjaa’ saja.
G. Istijmar
Istijmar tidak berbeda dengan Istinjaa’. Jika Istinjaa’ bermakna membersihkan najis
secara umum baik menggunakan air maupun batu, Istijmar secara khusus adalah membersihkan
najis dengan mengggunakan batu istinjaa’
Batu Istinjaa’ adalah segala benda padat yang bersih, dapat digenggam (dipindah) dan
bukan barang yang berharga atau dihormati. Sehingga Istijmar tidak hanya terbatas pada
penggunaan batu saja tapi juga bisa dilakukan dengan tisu, kertas, dedaunan dan yang semisalnya.
Syarat penggunaan batu Istinjaa’ ini adalah:
1. Menggunakan tiga batu. Bisa juga dengan satu batu menggunakan tiga sisinya.
2. Mensucikan tempat keluar najis dengan batu tersebut.
3. Najis tersebut tidak mengering.
4. Najis tersebut tidak berpindah.
5. Tempat istinja tersebut tidak terkena benda yang lain sekalipun tidak najis.
6. Najis tersebut tidak berpindah tempat istinja (lubang kemaluan belakang dan lubang
kemaluan depan) .
7. Najis tersebut tidak terkena air .
8. Batu yang digunakan harus suci.
Jika syarat Istijmar tidak terpenuhi maka, ia wajib dibersihkan menggunakan air.
H. Media thaharah
Thaharah secara umum dapat dilakukan menggunakan 4 media, yaitu:
1. Air
Digunakan untuk membersihkan najis, berwudhu dan mandi
2. Debu
12
Digunakan sebagai pengganti air untuk tayammum
3. Batu Istinjaa’
Semua benda padat yang suci, bisa dipakai membersihkan najis dan bukan barang berharga.
Digunakan untuk Istijmar.
4. Menyamak
Menyamak adalah aktifitas membuang lemak dan bagian daging dari kulit hewan yang telah
mati. Jika hewan yang mati adalah bangkai maka ia bersifat najis dan kulitnya masih bisa
digunakan dengan disucikan terlebih dahulu dengan disamak.
I. Wudhu
Wudhu secara Bahasa artinya membasuh sebagian anggota tubuh. Secara istilah artinya
adalah membasuh sebagian anggota tubuh yang menjadi anggota wudhu dengan niat dan cara
tertentu.
Niat adalah menyengaja di dalam hati (untuk melakukan) suatu perbuatan bersamaan
ketika melakukannya. Adapun mengucapkan niat tersebut hukumnya sunnah, dan waktunya
ketika pertama kali membasuh sebagian muka.
Adapun tertib yang dimaksud adalah tidak mendahulukan satu anggota wudhu terhadap
anggota wudhu yang lain.
13
9. Membasuh anggota wudhu tiga kali 10. Bersegera.
Syarat– Syarat Wudhu` ada sepuluh, yaitu:
1. Islam.
2. Tamyiz (cukup umur dan ber’akal).
3. Suci dari haidh dan nifas.
4. Bersih dari segala sesuatu yang bisa
menghalangi sampainya air ke kulit.
5. Tidak ada sesuatu disalah satu anggota
wudhu` yang merubah keaslian air.
6. Mengetahui bahwa hukum wudhu`
tersebut adalah wajib.
7. Tidak boleh berkeyakinan bahwa salah
satu dari fardhu–fardhu wudhu` hukumnya
sunnah (tidak wajib).
8. Kesucian air wudhu` tersebut.
9. Masuk waktu sholat yang dikerjakan.
10. Terus menerus / Muwaalah1.
1
Makna Muwalah (terus menerus) adalah
seseorang tidak boleh menunda dalam
membasuh anggota wudhu sampai anggota
wudhu yang dibasuh sebelumnya mengering
2
Daimul hadats: orang-orang yang punya
penyakit dengan sistem pengeluaran tubuhnya
sehingga terus menerus berhadats.
14
Perkara yang membatalkan wudhu` ada empat, yaitu:
1- Apa bila keluar sesuatu dari salah satu dari dua alat kelamin; depan (qubul) belakang
(dubur)seperti angin dan lainnya, kecuali air mani.
2- Hilang akal seperti tidur dan lain lain, kecuali tidur dalam keadaan duduk yang mantap
dengan merapatkan duduknya ke tanah.
3- Bersentuhan antara kulit laki–laki dengan kulit perempuan dewasa yang bukan
muhrim tanpa ada penghalang.
4- Menyentuh kemaluan qubul dan dubur dengan telapak tangan atau telapak jarinya.
Seorang mukim dapat memakai khuf selama satu hari satu malam (24 jam). Sedangkan
untuk musafir selama tiga hari 3 malam. Masanya dihitung dari saat berhadats kecil setelah
memakai khuf. Apabila memakai khuf di rumah kemudian bepergian atau mengusap khuf di
perjalanan kemudian mukim maka dianggap mengusap khuf untuk mukim.
15
3- Menyentuh Mushaf Al-Qur`an 4. Membawa Mushaf Al Qur'an
Orang yang junub (hadats besar) dilarang untuk melakukan enam hal berikut:
1- Sholat. 4- Membawa Mushaf Al Qur'an
2- Thowaaf. 5- Berdiam diri (I'tikaf) di Masjid.
3- Menyentuh Mushaf Al Qur`an. 6- Membaca Al Qur'an.
Wanita yang sedang haid tidak boleh melakukan sepuluh hal berikut:
1- Sholat. 7- Puasa
2- Thowaaf. 8- Cerai
3- Menyentuh Mushaf Al-Qur`an. 9- Berjalan di dalam masjid – jika ia
4- Membawa Mushaf Al-Qur`an. takut akan mengotorinya
5- Berdiam diri (I'tikaf) di Masjid 10- Bersenang – senang dengan isteri di
6- Membaca Al Qur'an antara pusar dan lutut.
K. Tayammum
Tayamum secara bahasa berarti al qoshdu, yang artinya berniat atau bermaksud. Makna
ini sebagaimana terdapat dalam ayat,
“Dan janganlah kamu (berniat) memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya” (QS. Al Baqarah: 267)
Sedangkan secara istilah, tayamum bermaksud menggunakan shoid (debu atau tanah)
untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan niat untuk melaksanakan shalat dan
ibadah lainnya.
Syarat–Syarat mengerjakan tayammum ada sepuluh, yaitu:
1- Bertayammum dengan tanah.
2- Menggunakan tanah yang suci tidak terkena najis.
3- Tanahnya tidak pernah di pakai sebelumnya
4- Murni dari campuran yang lain seperti tepung dan seumpamanya.
16
5- Meniatkan tayammum
6- Menyapu muka dan dua tangannya dengan dua usapan berbeda.
7- Menghilangkan segala najis di badan terlebih dahulu.
8- Berusaha mencari arah qiblat sebelum memulai tayammum.
9- Tayammum dilakukan setelah masuk waktu shalat
10- Bertayammum untuk setiap satu shalat wajib
Orang yang memakai perban mengusap di atasnya, bertayammum dan shalat dan tidak
perlu mengulangi shalatnya apabila saat memakai perban dalam keadaan suci. Satu tayammum
berlaku untuk satu kali shalat fardhu dan satu shalat sunnah. Satu kali tayammum dapat dipakai
untuk beberapa kali shalat sunnah.
L. Mandi
Mandi dalam syariat Islam terbagi menjadi dua, yaitu mandi yang Sunnah dan mandi yang
wajib. Adapun mandi yang Sunnah dilakukan pada beberapa kesempatan yaitu:
1. Mandi dalam rangka shalat Jumat bagi yang melaksanakan, waktunya dimulai dari fajar
shadiq hingga waktu jumat.
2. Mandi dalam rangka shalat Idul Fitri, yang sunnah dilakukan mulai dari pertengahan
malam.
17
3. Mandi dalam rangka shalat Idul Adha, sama halnya dengan saat Idul Fitri, kesunnahannya
dimulai sejak pertengahan malam.
4. Mandi dalam rangka shalat istisqa, yakni shalat untuk memohon diturunkan hujan kepada
Allah.
5. Mandi ketika akan melaksanakan shalat gerhana bulan
6. Mandi saat akan mendirikan shalat gerhana matahari
7. Mandi setelah memandikan mayit, baik mayit orang muslim atau non muslim
8. Mandi orang yang baru masuk Islam. Kesunnahan ini jika orang tersebut tidak junub saat
masih belum masuk Islam, atau perempuan yang tidak haid. Jika orang tersebut junub atau
haid maka hukum mandinya menjadi wajib.
9. Mandinya orang yang gila, mabuk, dan epilepsi jika telah kembali sadar. Dan tidak terbukti
mengeluarkan sperma. Jika mengeluarkan sperma, maka mandinya menjadi wajib.
10. Mandi ketika akan melakukan ihram. Tidak ada perbedaan tentang kesunnahan mandi
ihram baik bagi orang dewasa atau yang belum, antara orang gila atau berakal, antara
orang suci atau haid. Bila ia tidak mendapati air maka disunnahkan untuk tayammum.
11. Mandi bagi orang yang hendak memasuki kota Makkah, baik haji atau umrah.
12. Mandi saat akan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah.
13. Mandi saat akan bermalam di Muzdalifah.
14. Mandi saat akan melempar Jumrah. Setiap hari melempar jumrah disunnahkan mandi satu
kali. Adapun dalam rangka melempar jumrah aqabah di hari nahar tidak disunnahkan
karena waktunya dekat dengan mandi wuquf.
15. Mandi dalam rangka thawaf qudum, yakni thawaf yang dilakukan ketika baru memasuki
ka’bah.
16. Mandi saat akan melaksanakan thawaf ifadhah, yakni thawaf yang menjadi rukun haji dan
dilakukan setelah kembali dari arafah.
17. Mandi dalam rangka thawaf wada’, yakni thawaf ketika akan meninggalkan ka’bah.
18
Rukun mandi junub adalah:
1. Niat
2. Menghilangkan najis yang terdapat pada badan
3. Mengalirkan air ke seluruh rambut dan kulit badan.
Ada tiga macam darah yang keluar dari kemaluan wanita, yaitu:
1. Darah haid
2. Darah nifas
3. Darah istihadlah.
Darah haid adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan dengan cara sehat bukan
karena melahirkan. Dan warnanya kehitam-hitaman, terasa panas dan diikuti mual-mual pada
perut. Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Darah Istihadlah adalah darah
yang keluar di selain hari-hari haid dan nifas.
Paling sedikitnya waktu keluar darah haid adalah satu hari satu malam. Dan yang paling
lama adalah 15 hari. Umumnya 6 atau 7 hari.
Paling sedikitnya waktu keluar darah nifas adalah sebentar saja, yang paling lama 60 hari
dan umumnya 40 hari.
Paling sedikitnya masa suci di antara dua masa haid adalah 15 hari. Dan tidak ada batas
waktu untuk paling lamanya.
Usia minimal wanita haid adalah 9 (sembilan) tahun. Paling sedikitnya usia kehamilan 6
bulan. Kehamilan paling lama berlangsung selama 4 tahun dan umumnya masa hamil adalah 9
bulan.
19
Bab 3
Shalat
A. Rukun sholat
Rukun shalat ada 17, yaitu:
1. Niat 10. Tuma'ninah saat sujud
2. Berdiri apabila kuasa 11. Duduk di antara dua sujud
3. Takbirotul ihram 12. Tuma'ninah duduk di antara dua sujud
4. Membaca al-fatihah dengan basmalah- 13. Duduk Tahiyat akhir
nya, 14. Tasyahud saat duduk terakhir
5. Ruku', 15. Membaca shalawat pada Nabi saat
6. Tumakninah dalam ruku' duduk tahiyat akhir
7. I'tidal (berdiri setelah ruku') 16. Salam pertama
8. Tuma'ninah saat I'tidal 17. Tertib sesusai urutan rukun di atas
9. Sujud
20
B. Syarat Sah Sholat
Syarat sah shalat ada delapan, yaitu:
1. Suci dari hadats besar dan kecil. 5. Masuk waktu sholat.
2. Suci pakaian, badan dan tempat dari 6. Mengetahui rukun-rukan sholat.
najis. 7. Tidak meyakini bahwa diantara rukun-
3. Menutup aurat. rukun sholat sebagai sunnah
4. Menghadap kiblat. 8. Menjauhi semua Pembatal sholat
21
3. Membaca selawat Nabi pada saat 6. Membaca selawat dan salam kepada
tasyahud awal Nabi pada saat qunut
4. Membaca selawat kepada keluarga 7. Membaca shalawat kepada keluarga
Nabi pada tasyahud akhir Nabi saat qunut
5. Membaca doa qunut
E. Sujud Sahwi
Sebab sujud sahwi ada empat, yaitu:
1. Meninggalkan sebagian dari sunnah-sunnah ab'aadh.
2. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan sholat dalam keadaan lupa (jika dikerjakan dengan
sengaja maka membatalkan sholat).
3. Memindahkan rukun qauli (ucapan shalat ) bukan pada tempatnya.
4. Mengerjakan rukun fi'li (perbuatan shalat) dengan kemungkinan melebihkan (dari yang
seharusnya seperti menambah rakaat shalat).
Penerapan sujud sahwi jika melupakan Sunnah Hai’at, Ab’aadh dan rukun sholat.
1. Jika lupa mengerjakan Sunnah Ab’adh maka tidak harus mengulanginya namun disyariatkan
untuk melaksanakan sujud sahwi
2. Jika lupa melaksanakan Sunnah Hai’at maka tidak disunnahkan untuk sujud sahwi
3. Jika lupa melaksanakan rukun dalam keadaan masih sholat maka disunnahkan untuk
melaksanakan sujud sahwi sebelum salam dan menyempurnakan rukunnya.
4. Jika lupa melaksanakan salah satu rukun seperti lupa hitungan rakaat dan baru ingat ketika
setelah selesai shalat bahwa jumlah rakaatnya kurang maka wajib untuk menambah rakaat
yang kurang dan melaksanakan sujud sahwi
5. Jika lupa melaksanakan salah satu rukun sholat dan baru ingat setelah selesai sholat dan
meninggalkan tempat sholatnya maka wajib untuk mengulangi kembali sholatnya.
22
F. Waktu-waktu sholat fardhu
Waktu-waktu shalat fardhu
1. Shalat Dhuhur. Awal waktunya adalah condongnya matahari dan akhir waktu dzuhur adalah
apabila bayangan benda sama dengan ukuran bendanya.
2. Shalat Ashar. Awal waktunya adalah apabila bayangan lebih panjang sedikit dengan
bendanya. Akhir waktu Ashar dalam waktu ikhtiyar adalah apabila bayangan benda 2 (dua)
kali panjang benda; akhir waktu jawaz adalah sampai terbenamnya matahari.
3. Shalat maghrib. Dimulai ketika matahari terbenam dan berakhir dengan hilangnya mega
(sinar matahari senja) merah di langit
4. Shalat Isya'. Awal waktunya adalah apabila terbenamnya sinar merah sedangkan akhirnya
untuk waktu ikthiyar adalam sampai 1/3 (sepertiga) malan; untuk waktu jawaz adalah sampai
terbitnya fajar yang kedua (shadiq).
5. Shalat Subuh. Awal waktunya adalah terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) sedang akhirnya
waktu ikhtiyar adalah sampai isfar (terangnya fajar); akhir waktu jawaz adalah sampai
terbitnya matahari.
Namun perlu dijelaskan di sini bahwa shalat yang dilarang pada waktu-waktu di atas
bukan semua shalat, tetapi shalat yang dilarang adalah shalat rawatib setelah Subuh dan Ashar
serta shalat sunnah tanpa sebab. Shalat sunnah tanpa sebab adalah shalat sunnah mutlak, yaitu
shalat yang didirikan tanpa sebab apapun selain mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun shalat fardhu lima waktu yang tertinggal, demikian pula shalat-shalat sunnah
yang tertinggal, maka shalat-shalat tersebut boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang seperti
di atas. Setelah shalat Ashar didirikan umpamanya, apabila ada orang yang belum shalat Zhuhur
23
karena lupa atau tertidur maka ia harus segera shalat Zhuhur ketika mengingatnya, meskipun saat
itu adalah waktu terlarang.
H. Pembatal shalat
Pembatal-pembatal shalat ada 11, yaitu:
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar-pent.).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa memegang najis tersebut.
3. Terbuka aurat, jika tidak ditutup seketika.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difahami dengan sengaja.
5. Makan (sedikit) dengan sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
8. Melompat yang merusak shalat.
9. Memukul yang melampaui batas.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Lebih cepat atau lebih lambat dua rukun shalat dari imam dengan tanpa udzhur.
12. Berniat menghentikan shalat.
13. Menggantungkan shalat nya dengan suatu hal.
14. Ragu-ragu dalam menghentikan shalat (antara diteruskan atau dihentikan).
24
8. Menutup kedua mata. Jika khawatir ada bahaya, maka tidak makruh.
9. Menempelkan lengan atas ke lambung dalam rukuk dan sujud.
10. Menempelkan perut ke paha dalam rukuk dan sujud.
11. Duduk seperti duduknya anjing, yaitu menempelkan kedua pantat ke tanah, meluruskan
kedua betis dan meletakkan kedua tangan di tanah.
12. Mematuk seperti gagak, yaitu memukul tanah dengan dahinya ketika sujud.
13. Duduk seperti binatang buas di dalam sujud, yaitu meletakkan kedua lengan di tanah
sebagaimana yang dilakukan oleh binatang buas.
14. Terlalu menundukkan kepala ketika rukuk.
15. Memperpanjang tasyahud awal dengan menambah bacaan meskipun tambahan tersebut
adalah shalawat kepada keluarga Nabi Saw. atau doa.
16. Idhtiba’ atau meletakkan tengah selendang di bawah pundak kanan sedangkan kedua pucuk
selendang berada di sebelah kiri pundak.
17. Menjalin jari jemari atau memasukkan sebagian jari ke sebagian lainnya.
18. Menyembunyikan jari jemari.
19. Isbal atau membiarkan ujung kain bagian bawah sampai ke tanah.
20. Meludah ke depan dan ke kanan, bukan ke kiri.
21. Menahan baju atau rambut saat sujud bagi laki-laki.
22. Meletakkan tangan di atas mulut tanpa ada kebutuhan.
23. Menutupi mulut dengan kain atau lainnya.
25
K. Menjama’ shalat selain safar
Diperbolehkan untuk menjama’ dua sholat dengan beberapa keadaan, yaitu:
1. Karena Sakit
Sakit yang diperbolehkan untuk menjama’ sholat adalah sakit yang menyebabkan
penderitanya mengalami kesulitan untuk bisa melaksanakan sholat pada masing-masing
waktunya. Seperti orang yang sedang terbaring di rumah sakit akibat kecelakaan, setelah
operasi dan yang semacamnya. Pelaksanaannya bisa dilakukan dengan jama’ taqdim dan
Jama’ ta’khir
2. Karena Hujan
Diperbolehkan untuk menjama’ sholat karena hujan dengan Jama’ Taqdim saja.
Syaratnya adalah jika hujan terjadi di awal takbiratul ihram shalat yang pertama.
3. Istihadhah
Seorang wanita yang mengalami istihadhah sehingga kesulitan untuk shalat dalam
keadaan yang suci diperbolehkan untuk menjama’ sholat.
4. Kejadian-kejadian yang memberatkan
Diperbolehkan untuk menjama’ shalat dalam keadaan genting yang tidak memungkinkan
untuk bisa melaksanakan sholat dalam kondisi normal seperti dalam keadaan bencana
alam, kebakaran, kecelakaan dan yang semacamnya.
L. Sholat Jama’ah
Sholat Jama’ah hukumnya fardhu kifayah bagi setiap laki-laki yang muqim di suatu
daerah dengan anggota paling sedikit dua orang, yakni Imam dan Makmum.
Syarat sholat berjama’ah ada delapan, yaitu:
1. Niat pelaksanaan sholat dengan berjama’ah
2. Makmum tidak mendahului Imam
3. Makmum dapat mengetahui perpindahan gerakan Imam
4. Jarak antara Imam dan Makmum tidak lebih dari 30 hasta jika di luar Masjid
5. Makmum wajib mengikuti Imam
6. Makmum tidak boleh mendahului atau terlambat dari Imam lebih dari 2 rukun gerak
tanpa adanya udzur
M. Masbuq
26
Seseorang yang tertinggal gerakan imam disebut sebagai makmum masbuq. Hukum masbuq
adalah langsung mengikuti gerakan imam. Ketika imam rukuk maka dia rukuk, ketika imam
sujud, maka dia sujud, dan seterusnya. Makmum masbuq terhitung rakaatnya jika mendapati
imam berdiri atau sedang rukuk. Lalu setelah imam salam, ia melanjutkan jumlah rakaat yang
tertinggal.
BAB 4
SHALAT JUM’AT
27
berangkat di jam kelima maka seperti sedekah telor. Jika imam sudah keluar maka malaikat
hadir untuk mendengarkan dzikir." (Muttafaq Alaih).
4. Waktu Mustajab untuk Berdoa
"Pada hari jumat ada 12 waktu. Diantaranya ada satu waktu, apabila ada seorang muslim
yang memohon kepada Allah di waktu itu, niscaya akan Allah berikan. Carilah waktu itu di
penghujung hari setelah Ashar." (HR. Abu Dawud)
5. Kesempatan pengampunan dosa
"Barang siapa berwudlu kemudian memperbaiki wudlunya, lantas berangkat Jumat, dekat
dengan Imam dan mendengarkan khutbahnya, maka dosanya di antara hari tersebut dan
Jumat berikutnya ditambah tiga hari diampuni." (HR. Muslim)
6. Terjaga dari Fitnah Kubur
"Tiada seorang Muslim yang mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari
fitnah kubur." (H.R Ahmad dan At-Tirmidzi)
28
Syarat sah khutbah jum’at ada sepuluh, yaitu:
1. Khatib seorang laki-laki
2. Suci dari hadats kecil dan hadats besar.
3. Pakaian, badan dan tempat harus bersih dari semua najis.
4. Menutup aurat.
5. Khutbah disampaikan dengan berdiri bagi yang mampu.
6. Kedua khutbah dipisahkan dengan duduk dengan lama seperti thuma’ninah dalam shalat
namun lebih lama sedikit.
7. Kedua khutbah dilaksanakan dengan berurutan.
8. Khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan secara berurutan.
9. Kedua khutbah disampaikan dengan bahasa Arab.
10. Khutbah Jum’at didengarkan oleh 40 orang laki-laki (yang merdeka, balig serta penduduk
asli daerah tersebut)
11. Semuanya dilaksanakan setelah masuk waktu shalat Dzuhur.
1. Sakit
2. Kekhawatiran terhadap rasa aman pada diri, kehormatan dan hartanya.
3. Cuaca yang sangat panas.
4. Cuaca yang sangat dingin.
5. Menunggui orang sakit apabila tidak ada orang lain yang bisa menjaganya.
6. Jika menunggu orang yang sakit bertugas menenangkan si sakit.
7. Mendampingi keluarga yang sedang sekarat mendekati kematiannya.
8. Hujan deras dan tidak memiliki peneduh.
29
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at
surat As Sajdah pada raka’at pertama dan surat Al Insan pada raka’at kedua.” (H.R
Muslim)
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan
diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat
kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi
dalam Sunan Al Kubro)
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan disinari oleh
cahaya di antara dua jum’at” (H.R Hakim).
Dalam lafazh lainnya dikatakan,
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat
cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Mekkah).”(H.R Ad-Darimi).
Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
30
4. Memperbanyak do’a di hari Jum’at
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan mengenai
hari Jum’at lalu ia bersabda,
“Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan
apa yang ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya
waktu tersebut.” (H.R Bukhary dan Muslim)
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau
menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum
terdapat 4 pendapat yang kuat.
Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at,
berdasarkan hadits:
“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai”( H.R
Muslim)
Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al
Baihaqi.
Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:
“Dalam 12 waktu hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu
kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah
ashar”(H.R Abu Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.
Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini
didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul
Zamlakani menguatkan pendapat ini.
31
Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan
semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-
sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”.
BAB 5
SHALAT SUNNAH
32
Sholat Sunnah ini dilaksanakan setelah penyebabnya terjadi seperti sholat Sunnah
Tahyatul masjid, Shalat Sunnah wudhu, shalat gerhana dll.
4. Shalat Sunnah yang penyebabnya setelahnya
Shalat Sunnah ini dilakukan sebelum penyebabnya terjadi. Contohnya sholat Sunnah
Istisqaa’, shalat Sunnah Istikharah, Shalat Sunnah taubat dll.
5. Shalat Sunnah muthlaq.
Shalat Sunnah ini dilakukan tanpa adanya penyebab khusus dan bisa dilaksanakan
kapanpun diinginkan selain waktu-waktu yang dilarang untuk sholat.
B. Shalat dhuha
Shalat Dhuha dilaksanakan dimulai dari waktu matahari telah meninggi sekira
satu tombak hingga waktu Istiwaa’ (Matahari tepat berada di atas kepala). Shalat Sunnah
Dhuha dilaksanakan dengan dua rakaat-dua rakaat. Minimal pelaksanaannya adalah 2
rakaat dan yang paling utama adalah 8 rakaat.
C. Shalat tahajjud
Sholat tahajud adalah salat sunnah yang dikerjakan pada malam hari. Tata cara
sholat tahajud sama seperti sholat sunnah pada umumnya, tetapi dikerjakan setelah tidur.
Sholat tahajud bisa dikerjakan kapan pun dalam kurun waktu setelah isya' sampai
masuknya waktu subuh. Walaupun begitu ada waktu yang paling dianjurkan untuk
melaksanakan sholat tahajud, yaitu sepertiga malam terakhir.
Mengenai tata cara sholat tahajud, sholat sunnah ini dikerjakan Dua rakaat- dua
rakaat dengan jumlah rakaat tak terbatas.
Shalat Sunnah tahajjud boleh dikerjakan dengan berjamaa’h dan bagi yang telah
melaksanakan shalat tarawih di bulan Ramadhan hendaknya melaksanakan shalat
Tahajjud dengan sendirian tanpa berjama’ah.
D. Shalat Witir
Sholat witir adalah sholat sunnah dengan jumlah rakaat ganjil yang dikerjakan
untuk menutup ibadah sholat sunnah yang dikerjakan hari itu. Setelah menjalankan sholat
sunnah tahajud dan tidak bermaksud mengerjakan sholat sunnah lainnya, disarankan
untuk mengerjakan sholat witir. Shalat witir boleh dikerjakan sebelum tidur, namun yang
utama dikerjakan di akhir malam sebagai penutup shalat Sunnah tahajjud
33
Sholat witir lazimnya dikerjakan dengan 3 rakaat, namun boleh dikerjakan juga
dengan satu rakaat.
F. Shalat gerhana
Hukum shalat gerhana adalah sunnah mu'akkad. Apabila tidak melaksanakan tidak perlu
mengqadha. Hendaknya shalat gerhana matahari (kusuf) dan gerhana bulan (khusuf)
dilaksanakan dalam dua rokaat. Dalam setiap rakaat berdiri 2 dua kali dengan membaca
Alfatihah dan bacaan Al-Quran yang panjang. Setelah shalat, melaksanakan dua khutbah.
Bacaan Al-Fatihah dan Surat bersifat pelan (sirri) untuk gerhana matahari; dan keras (jahri)
pada gerhana bulan.
G. Shalat ‘Ied
34
Shalat dua hari raya --Idul Fitri dan Idul Adha-- hukumnya sunnah muakkad. Shalat ied
terdiri dari 2 (dua) raka'at. Dengan takbir 7 (tujuh) kali selain takbirotul ihram pada rakaat
pertama dan takbir lima kali pada rokaat kedua selain takbir untuk berdiri.
Setelah selesai shalat wajib adanya dua khutbah. Khutbah pertama takbir 9 (sembilan)
kali dan khutbah kedua takbir 7 (tujuh) kali.
Sunnah membaca takbir sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai
imam masuk ke masjid untuk shalat. Sedang dalam idul adha hendaknya membaca takbir
setelah shalat fardhu sejak paginya hari Arafah sampai Ashar-nya hari tasyriq (tanggal 11, 12,
13 Dzul Hijjah).
H. Istikharah
Shalat Istikharah adalah shalat Sunnah yang dilaksanakan ketika memiliki hajat atau
dihadapkan pada pilihan dengan niat meminta bimbingan dari Allah untuk memilih. Shalat
Sunnah Istikharah dilaksanakan dengan dua rakaat seperti shalat Sunnah biasa. Dan di akhir
shalat membaca doa:
ِد ُرƒْم فَِإنَّكَ تَ ْقƒِلِكَ ْال َع ِظيƒض ْ َك ِم ْن ف ƒَ َُألƒك َوَأ ْس َ تَ ْق ِد ُرƒك َوَأ ْس
َ ِ ْد َرتƒُك بِق َ اللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ْستَ ِخ ْيرُكَ بِ ِع ْل ِم
ٌر لِ ْيƒر خَ ْيƒ َ ƒ َذا اَْأل ْمƒ َب اَللَّهُ َّم ِإ ْن ُك ْنتَ تَ ْعلَ ُم َأ َّن ه
ِ ْر َوتَ ْعلَ ُم َوالَ َأ ْعلَ ُم َوَأ ْنتَ َعالَّ ُم ْال ُغيُوƒُ َوالَ َأ ْق ِد
ار ْك لِ ْي فِ ْي ِه َوِإ ْن ُك ْنتَ تَ ْعلَ ُم َأ َّن
ِ َفِ ْي ِد ْينِ ْي َو َم َعا ِش ْي َوعَاقِبَ ِة َأ ْم ِريْ فَا ْقدُرْ هُ لِ ْي َويَسِّرْ هُ لِ ْي ثُ َّم ب
ِر ْفهُ َعنِّ ْيƒ اص
ْ َ ِه فƒ ِآجل ِ ي َوعَاقِبَ ِة َأ ْم ِريْ عƒْ ي َو َم َعا ِش
ِ ِه َوƒ َِاجل َ هَ َذا اَْأل ْم َر َش ٌّر لِ ْي فِ ْي ِد ْينِ ْي َو ُد ْنيَا
ُ َواصْ ِر ْفنِ ْي َع ْنهُ َوا ْقدُرْ لِ َي ْال َخ ْي َر َحي
ِّ ْث َكانَ ثُ َّم َر
ضنِ ْي بِ ِه
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu
pengetahuan-Mu dan aku mohon kuasa-Mu (atas masalahku) dengan kuasa-Mu. Aku
mohon sebagian dari karunia-Mu yang agung karena sungguh Engkau Mahakuasa, sedang
aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya. Engkau maha
mengetahui hal yang gaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
(sebutkan masalah yang dihadapinya) lebih baik dalam agamaku, kehidupanku, dan
akibatnya terhadap diriku, takdirkan ia untukku, mudahkan jalannya, dan berilah berkah.
Sebaliknya, jika Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam
agama, dunia, kehidupan, dan akibatnya terhadap diriku baik seketika maupun suatu ketika
nanti, maka singkirkan persoalan itu, dan jauhkan aku darinya. Takdirkanlah bagiku
kebaikan di mana saja berada, dan berilah ridha-Mu untukku,”
35
I. Shalat Jenazah
Shalat Jenazah dilakukan untuk mengiringi jenazah. Rukun shalat jenazah di
antaranya adalah:
1. Niat
2. Empat kali takbir
3. Berdiri bagi yang mampu
4. Membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama
5. Membaca Shalawat kepada nabi setelah takbir kedua (seperti shalawat di dalam
shalat setelah membaca tahiyat)
6. Doa bagi Mayyit setelah takbir ketiga
7. Salam.
36
BAB 6
PUASA
A. Pengertian
Pengertian Puasa Secara bahasa, puasa atau shaum dalam bahasa Arabnya berarti
menahan diri dari segala sesuatu. Secara Istilah puasa itu ialah menahan diri dari segala
perkara seperti makan, minum, dan syahwat yang membatalkan puasa dengan cara yang
ditentukan mulai dari terbit fajar shadiq (masuk waktu subuh) sampai terbenamnya matahari
(masuknya waktu maghrib).
B. Puasa Wajib
Di antara puasa yang wajib dilaksanakan adalah :
1. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan dilaksanakan di bulan Ramadhan ditandai dengan
terlihatnya hilal bulan Ramadhan sampai dengan terlihatnya hilal bulan
Syawwal yang menandai Hari raya ‘Iedul Fithri.
37
Seorang yang sakit atau perempuan yang mengalami haidh atau Nifas
diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan menggantinya di
hari lain di luar bulan Ramadhan.
Orang yang telah sepuh ataupun sakit-sakitan dan tidak dapat diharapkan
kesembuhannya di luar bulan Ramadhan wajib mengganti puasa Ramadhan
dengan fidyah memberi makan orang miskin. Besaran fidyah adalah
makanan yang mengenyangkan.
2. Puasa Nazar
Seseorang yang berjanji untuk melakukan puasa jika Allah mengaruniakan
sesuatu padanya wajib untuk melaksanakan puasa nazar.
C. Rukun puasa
Pengertian Puasa Secara bahasa, puasa atau shaum dalam bahasa Arabnya berarti
menahan diri dari segala sesuatu. Secara Istilah puasa itu ialah menahan diri dari segala
perkara seperti makan, minum, dan syahwat yang membatalkan puasa dengan cara yang
ditentukan mulai dari terbit fajar shadiq (masuk waktu subuh) sampai terbenamnya matahari
(masuknya waktu maghrib).
38
Syarat wajib puasa ramadhan ada empat, yaitu:
1. Islam. 4. Sehat.
2. Taklif (dibebankan untuk 5. Muqim (tidak sedang dalam
berpuasa). bepergian)
3. Mampu berpuasa.
G. Pembatal puasa
Pembatal puasa:
1. Murtad 4. Melahirkan
2. Haidh 5. Gila sekalipun sebentar
3. Nifas
6 & 7. Pingsan dan mabuk yang disengaja jika terjadi sepanjang siang
H. Sunnah-sunnah berpuasa
Disunnahkan dalam berpuasa 3 perkara:
39
1. Bersegera berbuka (ketika telah masuk waktunya)
2. Mengakhirkan sahur
3. Meninggalkan perkaatan keji/buruk.
4. Memperbanyak amal shalih
5. Berdoa ketika berbuka puasa dengan lafazh :
J. Puasa-puasa Sunnah
1. Puasa Senin- Kamis
2. Puasa Ayyamul Bidh. Dilakukan setiap tiga hari di pertengahan bulan Qamariyah.
3. Puasa Nabi Daud. Dilakukan dengan berpuasa satu hari dan tiak berpuasa satu hari
secara berselang.
4. Puasa ‘Asyuraa. Dilakukan pada tanggal 10 Muharram, disunnahkan untuk
menyelisihi orang-orang Yahudi dengan berpuasa pada tanggal 9 atau tanggal 11
nya juga.
5. Puasa ‘Arafah. Dilakukan pada hari ‘Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah.
6. Puasa 6 hari di bulan Syawwal
7. Puasa Mutlaq. Bebas dilakukan kapanpun selain hari-hari yang dilarang untuk
berpuasa
40
Dan dimakruhkan (makruh tahrim) berpuasa pada hari keraguan (yaitu tanggal 30
Sya'ban, bila keadaan rukyah masih meragukan), kecuali bila bertepatan dengan hari
kebiasaan bagi dia (berpuasa sunnah)
41
BAB 7
I’TIKAF
A. Pengertian Iktikaf
Secara bahasa, I’tikaf berarti mendiami atau menetapi sesuatu. Kata ini juga dipakai untuk
menggambarkan aktifitas mendiami tempat yang baik maupun yang buruk. Meski begitu, kata itikaf
sifatnya adalah netral atau bisa digunakan untuk menggambarkan hal baik atau buruk.
Kata itikaf memang bisa dipakai secara umum, namun secara istilah, kata ini digunakan untuk
menerangkan sebuah aktifitas berdiam diri di dalam masjid. Tujuan itikaf adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan masjid. Saat bulan Ramadhan, ibadah ini dilaksanakan di 10 hari terakhir
supaya mendapat keutamaan malam lailatul qadar.
B. Hukum Iktikaf
Hukum I’tikaf adalah Sunnah di luar sepuluh hari bulan Ramadhan dan Sunnah Muakkad
dilaksanakan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Hukum itikaf untuk wanita adalah sunnah dan dibolehkan. Namun wanita boleh
melaksanakan itikaf dengan syarat: sudah meminta izin suami/mahram dan tidak menimbulkan
42
fitnah (yang memancing laki-laki). Karena syarat ini, maka wanita diharuskan menutup aurat dengan
sempurna dan tidak memakai wewangian.
C. Rukun Iktikaf
I'tikaf itu mempunyai 2 syarat, yaitu:
1. Niat
2. Berdiam di masjid.
Seseorang tidak boleh keluar dari (masjid ketika menjalankan) i'tikaf yang dinazari kecuali
untuk keperluan manusia (seperti kencing dan berak) atau karena terhalang oleh haid atau sakit yang
tak memungkinkan orang berdiam di masjid Dan batallah i'tikaf itu sebab persetubuhan (hubungan
intim).
1. Muslim
2. Berakal
3. Suci dari hadas besar
4. Tidak sedang haid (bagi wanita)
5. Mumayiz, bisa membedakan mana yang baik dan buruk
6. Bagi wanita harus mendapat izin dari suami atau orang tua terlebih dulu
7. Harus menutup aurat selama di dalam masjid
8. Tidak memakai wewangian (khusus wanita)
9. Berdiam diri di masjid minimal 1 jam.
E. Pembatal Iktikaf
Di antara syarat sah melaksanakan I’tikaf adalah:
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa tujuan
2. Keluar dari Islam (riddah)
3. Hilang Akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima ‘(bersetubuh dengan istri)
7. Pergi Shalat Jum’at (bagi yang memperbolehkan I’tikaf di musholla yang tidak digunakan shalat
jum’at).
43
BAB 8
SAFAR
A. Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah
meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat.
B. Hukum Safar
Safar terbagi tiga dari sisi hukum syar’i, yaitu:
1. safar ta’at: seperti safar untuk menunaikan ibadah haji, atau umrah, atau jihad, atau silaturrahim,
atau mengunjungi orang sakit dan semisal yang demikian itu.
2. Safar maksiat: seperti safar untuk melakukan yang diharamkan, atau safar seorang wanita tanpa
mahram, atau melakukan perjalanan untuk ziarah kubur.
3. Safar yang dibolehkan, seperti safar untuk berdagang, bersenang senang, rekreasi ke padang
pasir, berburu dan selainnya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Pergilah meninggalkan tanah air untuk mencari ketinggian * dan safarlah, sesungguhnya
dalam safar ada lima faedah. Melapangkan kesusahan hati dan mencari penghidupan, ilmu,
44
adab dan pertemanan dengan orang-orang yang terpuji”. (Diwan asy-Syafi’i 74, Faidhul Qadir
4/82, Yatimatu Dahr 5/40)
C. Adab-adab safar
Adab-adab safar di antaranya adalah:
1. Tidak safar sendirian 7. Membaca Doa Keluar Rumah
2. Mencari teman safar yang baik 8. Membaca Doa Naik Kendaraan
3. Lebih utama mengambil hukum 'azimah 9. Memperbanyak Doa di Perjalanan
(bukan rukhsah) 10.Segera Pulang Jika Urusan Sudah Selesai
4. Dianjurkan menqashar shalat 11. Melaksanakan shalat sunnah safar
5. Wajib Salat di Darat Selama Masih sebelum dan sesudah safar
Memungkinkan 12. Melaksanakan jamuan setelah safar
6. Berpamitan Kepada Keluarga dan
Tetangga
ُون َ ِان الَّ ِذي َس َّخ َر لَنَا هَ َذا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن
َ َوِإنَّا ِإلَى َربِّنَا لَ ُم ْنقَلِب. ين َ ُسب َْح
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak
mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami”.
E. Rukhsah-rukhsah safar
Diperbolehkan bagi Musafir beberapa rukhsah, di antaranya:
1. Diperbolehkan shalat di atas kendaraan
2. Diperbolehkan menjama’ shalat
3. Diperbolehkan menqashar shalat
45
4. Diperbolehkan tidak mengikuti shalat jum’at
5. Diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa)
6. Diperbolehkan bertayammum tatkala tidak menemukan air
F. Menjama’ shalat
Musafir boleh menjamak (mengumpulkan) shalat antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu
waktu yang mana saja dan antara shalat maghrib dan isya' di waktu mana saja yang disuka. Orang
yang bukan musafir juga boleh menjamak shalat dalam keadaan hujan dengan syarat melakukannya
di waktu yang pertama.
Jama’ Taqdim
Ada empat, syarat sah jamak taqdim (mengabung dua shalat diwaktu yang pertama), yaitu:
1- Di mulai dari shalat yang lebih dulu waktunya.
2- Niat jamak
3- Berturut – turut.
4- Udzurnya terus menerus (antara dua shalat yang dijama’ tidak dijeda dengan sangat lama).
G. Mengqashar shalat
Syarat qashar ada tujuh, yaitu:
1. Jarak perjalanan mencapai dua marhalah atau lebih (Sekitar 80 Km.).
2. Perjalanan yang di lakukan adalah perjalanan yang mubah (bukan perjalanan dalam rangka
maksiat.)
3. Mengetahui hukum kebolehan qashar.
4. Niat qashar ketika takbiratul `ihram.
5. Shalat yang di-qashar adalah shalat ruba`iyah (shalat yang berjumlah empat rak`aat).
6. Perjalanan dilakukan terus menerus sampai selesai shalat tersebut.
7. Tidak mengikuti orang yang itmam (orang yang shalatnya tidak di-qashar) dalam sebagian
shalatnya.
46
Daftar Pustaka
47