Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 120

MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA

MATERI :
KONSEP TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK DALAM ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA, KONSEP PSIKOFARMAKA,
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL

TUGAS INDIVIDU : SEMESTER VI (ENAM)

DOSEN MATA KULIAH :


YOSINA ATANAI, S.Kep, Ns, MM, M.Tr.Kep

OLEH :

SAMPARI IHA
NIM :

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL TENAGA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SORONG
PRODI D-III KEPERAWATAN FAKFAK
TAHUN 2023
TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK DALAM ASUHAN KEP. JIWA
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

A. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok


Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu
dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang
sama. Sedangkan kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling
bertukar (Sharing) tujuan,

misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam


berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan
alternatif untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi
konstruktif.

Setiap kelompok mempunyai struktur dan identitas tersendiri. Kekuatan


kelompok memberikan kontribusi pada anggota dan pimpinan kelompok
untuk saling bertukar pengalaman dan memberi penjelasan untuk
mengatasi masalah anggota kelompok.

Dengan demikian kelompok dapat dijadikan sebagai wadah untuk praktek


dan arena untuk uji coba kemampuan berhubungan dan berperilaku
terhadap orang lain. Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas
yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama.

Aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai


target asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling
bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien
berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang
maladaptif.

B. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok


Berikut ini adalah tujuan dari terapi aktivitas kelompok yaitu:
1. Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe: biblioterapy
Aktivitas: menggunakan artikel, sajak,puisi, buku, surat kabar untuk
merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang lain.

2. Mengembangkan stimulasi sensori


Tipe: music, seni, menari.
Aktivitas: menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
Tipe: relaksasi
Aktivitas: belajar teknik relaksasi dengan cara napas dalam, relaksasi
otot, dan imajinasi.
3. Mengembangkan orientasi realitas
Tipe: kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.
Aktivitas: focus pada orientasi waktu,tempat dan orang, benar, salah
bantu memenuhi kebutuhan.

4. Mengembangkan sosialisasi
Tipe: kelompok remitivasi
Aktivitas: mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi
Tipe: kelompok mengingatkan
Aktivitas: focus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif.

1. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman


2. Memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain
3. Merupakan proses menerima umpan balik

C. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Manfaat dari adanya terapi ini antara lain:
1. Terapi kelompok memiliki biaya yang lebih murah dikarenakan
beberapa pasien ditangani dalam satu waktu yang sama sehingga
penangannya membutuhkan waktu yang lebih sedikit pula.
2. Memberikan peluangkepada pasien untuk mempelajari bagaimana orang
lain mengalami masalah-masalah serupa serta bagaimana mereka
menanganinya sejauh ini. Para terapis biasanya mengarahkan mereka
untuk mengungkapkannya dan memberi mereka dukungan sosial.
3. Memungkinkan terapis menggunakan sumber daya manusia (jumlah
terapisnya) yang terbatas.
4. Meningkatkan jumlah orang-orang yang dapat ditangani oleh seorang
terapis dalam satu waktu.
5. Mengurangi antrian pasien dalam proses penanganan.
6. Memberikan sumber informasi dan pengalaman hidup yang dapat
ditimba oleh pasien.
7. Adanya dukungan kelompok untuk tingkah laku yang tepat.
8. Para anggota kelompok bertambah baik secara perilaku, sikap dan
mental mereka.
9. Adanya peluang-peluang untuk belajar menangani orang secara
efektif.

Kekurangan terapi kelompok :


1. Tidak semua pasien cocok dengan teknik ini.
2. Terapis melayani banyak pasien sekaligus, sehingga mungkin tidak
terlalu intens.
3. Sulit menumbuhkan kepercayaan dan dirasa kurang bersifat personal.
4. Pasien bergarap banyak terhadap kelompoknya atas kesembuhannya.
D. Jenis Terapi Kelompok
Jenis-jenis terapi kelompok:
1. Kelompok bimbingan inspirasi
Merupakan kelompok yang sangat terstruktur kohesif, mendukung,
yang meminimalkan pentingnya tilikan dan memaksimalkan diskusi
didalam kelompk dan persahabatan

2. Kelompok eksplorasi interpersoanal


Merupakan terapi yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran diri
tentang gaya berhubungan interpersonal melalui umpan balik korektif
dari anggota kelompok yang lain. Pasien diterima dan didukung
sehingga dapat meningkatkan harga diri. Merupakan jenis terapi
kelompok yang paling sering dipilih.

3. Terapi berorientasi psikoanalitik


Merupakan teknik kelompok dengan stuktur yang longgar dan flexible.
Terapis melakukan interpretasi tentang konflik tanpa pasien sadari
dan memprosesnya dari observasi interaksi antar anggota
kelompoknya.

Contoh Terapi Kelompok :


1. Terapi perilaku
Merupakan jenis pengobatan yang bertujuan untuk mengubah perilaku
negatif dari pasien serta menangani perasaan dan pikiran yang
menyebabkan kebiasaan negative ini.

2. Gestalt
Jenis terapi ini berpusat pada tujuan akhir dimana pasien dibawa
untuk menyadari keberadaannya dan menyadarkannya atas segala
tindakannya. Pasien harus bisa menemukan jalan hidupnya dan
mengatasi masalah yang dihadapinya sendiri serta mempertanggung
jawabkannya.

3. Konfrontasi
Merupakan salah satu terapi yang mengajak pasien untuk
memperhatikan dimensi tertentu yang ada pada dirinya, dimana hal
yang menjadi titik amat utama adalah sesuatu yang bersifat
menghambat perubahan tingkah laku positif pasien.

4. Psikodrama (role play)


Metode bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan-
permasalahan psikologis. Biasanya digunakan untuk membuat pasien
atau klien memahami dirinya dengan baik, menemukan konsep diri dan
menyatakan reaksi terhadap tekanan yang dialaminya.
5. Analisis Transaksional
Terapi ini sebenernya jenis terapi indiviu yang menggunakan
pendekatan kelompok dimana pasien diminta untuk membuat perjanjian
atas tujuan dan arah proses terapi. Proses ini mengutamakan
kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri dan keputusan-
keputusan baru untuk kemajuan hidupnya.

6. Marathon
Merupakan sebuah jenis terapi kelompok yang melakukan pertemuan
kelompok secara kontinyu dalam waktu lama. Terapi ini
mempertemukan suatu kelompok dalam rentang waaktu 24-48 jam
atau sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Segala aktivitas dalam kelompok harus dilakukan secara bersama-


sama. Selain itu, seluruh anggota kelompok dilarang membuat subgroup
sendiri atau bahkan mengasingkan diri dari kelompoknya.

E. Tahapan TAK
Tahapan-Tahapan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yalom, yang dikutip Stuart & Sundeen, 1995. Menggambarkan
fase-fase dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut :

1. Pre kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi
leader, anggota, tempat dan waktu kegiatan kelompok akan
dilaksanakan serta membuat proposal lengkap dengan media yang akan
digunakan beserta dana yang dibutuhkan.

2. Fase awal
Pada fase ini terhadap 3 tahapan yang terjadi, yaitu: orientasi,
konflik atau kebersamaan

Orientasi :
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-masing,
leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil kontrak
dengan anggota.

Konflik :
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai
memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana peran
anggota, tugasnya, dan saling ketergantungan yang akan terjadi.
Kebersamaan :
Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi masalah, anggota mulai
menemukan siapa dirinya.

3. Fase kerja
Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim;
a. Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan anggotanya
b. Perasan positif dan negatif dapat dikoreksi dengan hubungan saling
percaya yang telah terbina
c. Semua anggota bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati
d. Tanggung jawab merata, kecemasan menurun, kelompok lebih stabil
dan realistis
e. Kelompok mulai mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan dan
tugs kelompok dalam menyelesaikan tugasnya.
f. Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah yang kreatif.

Petunjuk untuk leader pada fase ini :


a) Intervensi leader didasari pada kerangka kerja teoritis,
pengalaman, personality dan kebutuhan kelompok serta
anggotanya
b) Membantu perkembangan keutuhan kelompok dan
mempertahankan batasannya, mendorong kelompok bekerja pada
tugasnya
c) Intervensi langsung ditujukan untuk menolong kelompok
mengatasi masalah khusus.

4. Fase terminasi
Ada 2 jenis terminasi yaitu terminasi akhir dan terminasi sementara.
Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi premature, tidak
sukses atau sukses.

Terminasi dapat menyebabkan kecemasan, regresi dan kecewa. Untuk


menghindari hal ini, terapis perlu mengevaluasi kegiatan dan
menunjukkan sikap betapa bermaknanya kegiatan tersebut,
menganjurkan anggota untuk memberi umpan balik pada tiap anggota

Terminasi tidak boleh disangkal, tetapi harus tuntas didiskusikan.


Akhir terapi aktivitas kelompok harus dievaluasi, bisa melalui pre dan
post test.

F. Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok


Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok pada penderita skizofrenia adalah :
1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus
terlebih dahulu, membuat proposal.

Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi


aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi : deskripsi,
karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori,
persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan
serta uraian tugas terapis.

2. Tugas sebagai leader dan coleader


Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi
yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk
menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu
kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta
mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.

3. Tugas sebagai fasilitator


Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok
sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada
anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

4. Tugas sebagai observer


Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon
penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani
peserta/anggota kelompok yang drop out.

5. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi


Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub
kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau
kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out.

Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok


terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas
tersebut.

6. Program antisipasi masalah


Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat
mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Dari rangkaian tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah
sebagai fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber
primer penyembuhan dan perubahan

Iklim yang ditimbulkan oleh kepribadian ahli terapi adalah agen


perubahan yang kuat. Ahli terapi lebih dari sekedar ahli yang
menerapkan tehnik; ahli terapi memberikan pengaruh pribadi yang
menarik variable tertentu seperti empati, kehangatan dan rasa
hormat (Kaplan & Sadock, 1997).

Sedangkan menurut Depkes RFI 1998, di dalam suatu kelompok, baik


itu kelompok terapeutik atau non terapeutik tokoh pemimpin
merupakan pribadi yang paling penting dalam kelompok.

Pemimpin kelompok lebih mempengaruhi tingkat kecemasan dan pola


tingkah laku anggota kelompok jika dibandingkan dengan anggota
kelompok itu sendiri. Karena peranan penting terapis ini, maka
diperlukan latihan dan keahlian yang betul-betul professional.

Stuart & Sundeen (1995) mengemukakan bahwa peran perawat


psikiatri dalam terapi aktivits kelompok adalah sebagai leader/co
leader, sebagai observer dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang
dicapai dalam kelompok.

Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader/co leader, observer dan


fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat juga
perlu mendapat latihan dan keahlian yang professional.
KONSEP PSIKOFARMAKA

A. Pengertian Psikofarmaka
obat yang bekerja pada fungsi psikologis dan status kejiwaan.
Obat psikofarmaka adalah obat yang bekerja pada susunan saraf pusat
(SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku
(mind and behavior altering drugs),digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik
(psychotherapeutic medication).

Obat psikofarmaka, sebagai salah satu zat psikoaktif bila digunakan secara
salah (misuse) atau disalahgunakan (abuse) beresiko menyebabkan gangguan
jiwa.

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ


III) penyalahgunaan obat psikoaktif digolongkan kedalam gangguan mental
dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

B. Jenis Obat Psikofarmaka


1. Obat anti-psikosis
Obat-obat anti-psikosis merupakan antagonis dopamine yang bekerja
menghambat reseptor dopamine dalam berbagai jaras otak. Sedian obat
anti-psikosis yang ada di Indonesia adalah chlorpromazine, haloperidol,
perphenazine, fluphenazine, fluphenazine decanoate, levomepromazine,
trifluoperazine, thioridazine, sulpiride, pinozide, risperidone.

Indikasi penggunaan obat ini adalah syndrome psikosis yang ditAndai


dengan adanya hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas,
fungsi mental, dan fungsi kehidupan sehari-hari.

a. Sindrom psikosis dapat terjadi pada sindrom psikosis fungsional


seperti skozofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif dan psikosis
reaktif singkat.
b. Sindrom psikosis organic seperti, sindrom delirium, dementia,
intoksikasi alkohol, dan lain-lain.

2. Obat anti-depresi
Obat anti-depresi sinonim dari thymoleptic, psychic energizers, anti
depressants, anti depresan. Sediaan obat anti-depresi di Indonesia
adalah amitriptyline, amoxapine, amineptine, clomipramine, imipramine,
moclobemide, maprotiline, mianserin, opipramol, sertraline, trazodone,
paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine.
Jenis obat anti-depresi adalah anti-depresi trisiklik, anti-depresi
tetrasiklik, obat anti-depresi atipikal, selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), dan inhibitor monoamine okside (MAOI). Indikasi klinik
primer penggunaan obat-obat anti-depresi adalah sindrom depresi yang
dapat terjadi pada :

a. Sindrom depresi panic, gangguan afektif bipolar dan unipolar.


Gangguan distimik dan gangguan siklotimik.
b. Sindrom depresi organik seperti hypothyroid induced depression, brain
injury depression dan reserpine.
c. Sindrom depresi situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
depresi, grief reaction, dll; dan sindrom depresi penyerta seperti
gangguan jiwa dengan depresi (gangguan obsesi kompulsi, gangguan
panic, dimensia), gangguan fisik dengan depresi (stroke, MCI, kanker,
dan lain-lain).

3. Obat anti-mania
Obat anti-mania merupakan sinonim dari mood modulators, mood
stabilizers, antimanics. Sediaan obat anti-mania di Indonesia adalah
litium carbonate, haloperidol, carbamazepine.

Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom mania ditAndai adanya


keadaan afek yang meningkat hampir setiap hari selama paling sedikit
satu minggu.

Keadaan tersebut disertai paling sedikit 4 gejala berikut:Peningkatan


aktivitas, lebih banyak berbicara dari lazimnya, lompat gagasan, rasa
harga diri yang melambung, berkurangnya kebutuhan tidur, mudah teralih
perhatian, keterlibatan berlebih dalam aktivitas.

Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala


seperti penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan melakukan
kegiatan rutin.

4. Obat anti-ansietas
Obat anti-ansietas merupakan sinonim psycholeptics, minor
transqualizers, anxiolytics, antianxiety drugs, ansiolitika. Obat anti-
ansietas terdiri atas golongan benzodiazepine dan nonbenzodiazepin.

Sediaan obat anti-ansietas jenis benzodiazepine adalah diazepam,


chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam, bromazepam, oxasolam,
clorazepate, alprazolam, prazepam.

Sedangkan jenis non benzodiazepine adalah sulpiride dan buspirone.


Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom ansietas seperti :
a. Sindrom ansietas psikik seperti gangguan ansietas umum, gangguan
panik, gangguan fobik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress
paska trauma
b. Sindrom ansietas organic seperti hyperthyroid, pheochromosytosis,
dll; sindrom ansietas situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas dan gangguan cemas perpisahan
c. Sindrom ansietas penyerta seperti gangguan jiwa dengan ansietas
(skizofrenia, gangguan paranoid, dll),
d. Penyakit fisik dengan ansietas seperti pada klien stroke, Myocard
Cardio Infac (MCI) dan kanker dll.

5. Obat anti-insomnia
Obat anti-insomnia merupakan sinonim dari hypnotics, somnifacient,
hipnotika. Sediaan obat anti-insomnia di Indonesia adalah nitrazepam,
triazolam, estazolam, chloral hydrate. Indikasi penggunaan obat ini
adalah sindrom insomnia yang dapat terjadi pada :

a. Sindrom insomnia psikik seperti gangguan afektif bipolar dan unipolar


(episode mania atau depresi, gangguan ansietas (panic, fobia); sindrom
insomnia organic seperti hyperthyroidism, putus obat penekan SSP
(benzodiazepine, phenobarbital, narkotika), zat perangsang SSP
(caffeine, ephedrine, amphetamine);
b. Sindrom insomnia situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas/depresi, sleep, wake schedule (jet lag, workshift), stres
psikososial
c. Sindrom insomnia penyerta seperti gangguan fisik dengan insomnia
(pain producing illness, paroxysmal nocturnal dyspnea),
d. Gangguan jiwa dengan insomnia (skizofrenia, gangguan paranoid).

6. Obat anti-obsesif kompulsif


Obat anti-obsesif kompulsif merupakan persamaan dari drugs used in
obsessive- compulsive disorders. Sediaan obat anti-obsesif kompulsif di
Indonesia adalah clomipramine, fluvoxamine, sertraline, fluoxetine,
paroxetine.

Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom obsesif kompulsi. Diagnostik


obsesif kompulsif dapat diketahui bila individu sedikitnya dua minggu dan
hampir setiap hari mengalami gejala obsesif kompulsif, dan gejala
tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas sehari-hari (disability).

7. Obat anti-panik
Obat anti-panik merupakan persamaan dari drugs used in panic disorders.
Sediaan obat anti-panik di Indonesia adalah imipramine, clomipramine,
alprazolam, moclobemide, sertraline, fluoxatine, parocetine, fluvoxamine.
Penggolongan obat anti-panik adalah obat anti-panik trisiklik (impramine,
clomipramine), obat anti-panik benzodiazepine (alprazolam) dan obat
anti-panik RIMA/reversible inhibitors of monoamine oxydase-A
(moclobmide) serta obat anti-panik SSRI (sertraline, fluoxetine,
paroxetine, fluvoxamine).

Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom panik. Diagnostik sindrom


panik dapat ditegakkan paling sedikit satu bulan individu mengalami
beberapa kali serangan ansietas berat, gejala tersebut dapat terjadi
dengan atau tanpa agoraphobia. Panik merupakan gejala yang merupakan
sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas sehari-hari
(phobic avoidance).

C. Efek Samping Obat Psikofarmaka


Anti-psikosis
1. Efek samping
Efek samping yang harus diperhatikan adalah sindrom ekstrapiramidal
(EPS), baik jangka akut maupun kronik. Efek samping yang bersifat umum
meliputi neurologis, behavioral, autoimun, autonomik.

Reaksi neurologis yang terjadi adalah timbulnya gejala-gejala


ekstrapiramidal (EPS) seperti reaksi distonia akut yang terjadi secara
mendadak dan sangat menakutkan bagi klien seperti spasme kelompok otot
mayor yang meliputi leher, punggung dan mata.

Katatonia, yang akan mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.


Reaksi neurologis yang juga sering terjadi adalah akatisia ditAndai
dengan rasa tidak tenteram, dan sakit pada tungkai, gejala ini akan
hilang jika klienmelakukan gerakan.

2. Sindrom parkinson’s
Sindrom parkinson’s merupakan kelainan neurologis yang sering muncul
sebagai efek samping penggunaan obat golongan ini. Gejala sindrom
Parkinson meliputi akinesia, rigiditas/kekakuan dan tremor.

Akinesia adalah suatu keadaan dimana tidak ada atau perlambatan


gerakan, sikap tubuh klienkaku seperti layaknya sebatang kayu yang
padat, cara berjalan inklin dengan ciri berjalan dengan posisi tubuh kaku
kedepan, langkah kecil dan cepat dan wajah seperti topeng.

Pada pemeriksaan fisik terjadi rigiditas/kekakuan pada otot, tremor


halus bilateral di seluruh tubuh serta gerakan “memutar-pil” dari jari-
jari tangan.
3. Reaksi behavioral
Reaksi behavioral akibat efek samping dari penggunaan obat ini ditAndai
dengan banyak tidur, grogines dan keletihan.

4. Reaksi autoimun
Reaksi autoimun ditandai dengan penglihatan kabur, konstipasi, takikardi,
retensi urine, penurunan sekresi lambung, penurunan berkeringat dan
salivasi (mulut kering), sengatan panas, kongesti nasal, penurunan sekresi
pulmonal, “psikosis atropine” pada klien geriatrik, hiperaktivitas, agitasi,
kekacauan mental, kulit kemerahan, dilatasi pupil yang bereaksi lambat,
hipomotilitas usus, diatria, dan takikardia.

5. Reakasi autonomik (jantung)


Reakasi autonomik (jantung)biasanya terjadi pening/pusing, takikardia,
penurunan tekanan darah diastolic. Reaksi akut merugikan dan jarang
terjadi pada penggunaan anti-psikosis adalah reaksi alergi, abnormalitas
elektrokardiography dan neurologis yang biasanya terjadi kejang grand
mal dan tidak ada tanda aura.

6. Reaksi alergi yang terjadi meliputi


Agranulositosis, dermatosis sistemik, dan ikterik. Agranulositosis yang
terjadi secara mendadak, demam, malaise, sakit tenggorokan,ulserativa,
leukopenia.

Dermatosis sistemik, yaitu adanya makupopapular, eritematosa, ruam


gatal pada wajah-leher-dada-ekstrimitas, dermatitis kontak jika
menyentuh obat, fotosensitifitas yaitu adanya surbun hebat. Ikterik
dengan adanya demam, mual, nyeri abdomen, malaise, gatal, uji fungsi
lever abnormal.

Efek Samping Jangka Panjang


a. Efek samping jangka panjang yang umum terjadi gejala-gejala
eksrapiramidal. Diskinesia tardif merupakan efek samping jangka
panjang yang umum terjadi yaitu adanya protrusi lidah/kekakuan
lidah, mengecapkan bibir, merengut, menghisap, mengunyah, berkedip,
gerakan rahang lateral, meringis; anggota gerak, bahu melorot,
“pelvic thrusting”, rotasi atau fleksi pergelangan kaki, telapak kaki
geplek, gerakan ibu jari kaki.

b. Efek samping jangka pendek atau jangka panjang yang jarang terjadi
tetapi mengancam jiwa adalah adanya sindrom malignan neuroleptik
yang ditAndai dengan adanya demam tinggi, takikardia, rigiditas otot,
stupor, tremor, inkontinensia,, leukositosis, kenaikan serum CPK,
hiperkalemia, gagal ginjal, peningkatan nadi-pernapasan dan keringat.
1. Anti-depresi.
a. Efeksedasi seperti rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor berkurang, kemampuan kognitif menurun;
b. Efek antikolinergik seperti mulut kering, retensi urin, penglihatan
kabur, konstipasi, sinus takikardia;
c. Efek anti-adrenergik alfa seperti perubahan hantaran
elektrokardiografi, hipotensi;
d. Efek neurotoksis seperti tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia.

Efek samping ringan mungkin timbul akibat penggunaaan obat jenis ini
(tergantung daya toleransi dari klien), biasanya berkurang setelah 2-3
minggu bila tetap diberikan dengan dosis yang sama.

Pada keadaan overdosis/ intoksikasi trisiklik dapat timbul atropine toxic


syndrome dengan gejala eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi,
hiperpireksia, konvulsi, “toxic convulsional state” (confusion, delirium dan
disorientasi).

2. Anti-mania
Efek samping penggunaan lithium erat hubungan dengan dosis dan kondisi
fisik klien. Gejala efek samping yang dini pada pengobatan jangka lama
seperti mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah,
diare, feses lunak), kelemahan otot, poli uria, tremor halus.

Efek samping lain hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan


fungsi tiroid (penurunan kadar tiroksin dan peningkatan kadar
TSH/thyroid stimulating hormone), odem pada tungkai, seperti mengecap
besi, lekositosis, gangguan daya ingat dan konsentrasi pikiran menurun.

3. Anti-ansietas
Efek samping penggunaan obat anti-ansietas dapat berupa sedasi seperti
rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif melemah; relaksasi otot seperti ras lemes, cepat
lelah.

Potensi menimbulkan ketergantungan obat disebabkan oleh efek samping


obat yang masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir berlangsung
sangat cepat.

Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus obat,


klien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi,
keringat dingin, konvulsi. Ketergantungan relative lebih sering terjadi
pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalahgunaan obat.
4. Anti-insomnia
Efek samping penggunaan obat anti-insomnia diantaranya adalah depresi
susunan saraf pusat terutama pada saat tidursehingga memudahkan
timbulnya koma, karena terjadinya penurunan dari fungsi pernafasan,
selain itu terjadi uremia, dan gangguan fungsi hati.

Pada klien usia lanjut dapat terjadi “oversedation” sehingga risiko jatuh
dan Hip fracture (trauma besar pda sistem muskulo skleletal).
Penggunaan obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dalam jangka
panjang yaitu “rage reaction” (perilaku menyerang dan ganas).

5. Anti obsesis kompulsif


Efek samping penggunaan obat anti-obsesif kompulsif, sama seperti obat
anti-depresi trisiklik, yaitu efek anti-histaminergik seperti sedasi, rasa
mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif menurun; efek anti-kolinergik seperti mulut kering,
keluhan lambung, retensi urin, disuria, penglihatan kabur, konstipasi,
gangguan fungsi seksual, sinus takikardi; efek anti-adrenergik alfa
seperti perubahan gambaran elektokardiografi, hipotensi ortostatik; efek
neurotoksis seperti tremor halus, kejang epileptic, agitasi, insomnia.

Efek samping yang sering dari penggunaan anti-obsesif kompulsif jenis


trisiklik adalah mulut kering dan konstipasi, sedangkan untuk golonggan
SSRI efek samping yang sering adalah nausea dan sakit kepala. Pada
keadaan overdosis dapat terjadi intoksikasi trisiklik dengan gejala
eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi, hiprpireksia, konvulsi, “toxic
confusional state”(confusion, delirium, disorientasi).

6. Anti-panik
Semua jenis obat anti-panik (trisiklik, benzodizepin, RIMA, SSRI) sama
efektifnya guna menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada
stadium awal dari gangguan panik.

Pengaturan dosis pemberian obat anti-panik adalah dengan melihat


keseimbangan antara efek samping dan kasiat obat. Mulai dengan dosis
rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan dalam beberapa minggu
untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadiya toleransi obat.

Dosis efektif biasanya dicapai dalam aktu 2-3 bulan. Dosis pemeliharaan
umunya agak tinggi, meskipun sifatnya individual. Lama pemberian obat
bersifat individual, namun pada umunya selama 6-12 bulan, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi klien sudah
memungkinkan.
Ada beberapa klien yang memerlukan pengobatan bertahun-tahun untuk
mempertahankan bebas gejala dan bebas dari disabilitas. Obat ini kontra
indikasi diberikan pada wanita hamil atau menyusui.

D. Peran Perawat dalam Pemberian Obat


Setelah mampu memahami dengan baik permasalahan yang dialami dan
strategi pemberian obat psikofarmaka pada klien gangguan jiwa, maka peran
perawat dalam pemberian psikofarmaka adalah sebagai berikut.

1. Pengkajian
Pengkajian secara komprehensif akan memberikan gambaran yang
sesungguhnya tentang kondisi dan masalah yang dihadapi klien, sehingga
dapat segera menentukan langkah kolaboratif dalam pemberian
psikofarmaka.

2. Koordinasi terapi modalitas.


Koordinator merupakan salah satu peran seorang perawat. Perawat harus
mampu mengkoordinasikan berbagai terapi modalitas dan progam terapi
agar klien memahami manfaat terapi dan memastikan bahwa program
terapi dapat diterima oleh klien.

3. Pemberian terapi psikofarmakologik.


Perawat memiliki peran yang sangat besar untuk memastikan bahwa
program terapi psikofarmaka diberikan secara benar. Benar klien, benar
obat, benar dosis, benar cara pemberian, dan benar waktu.

4. Pemantauan efek obat.


Perawat harus harus memantau dengan ketat setiap efek obat yang
diberikan kepada klien, baik manfaat obat maupun efek samping
psikofarmaka yang dialami oleh klien.

5. Pendidik klien.
Sebagai seorang edukator atau pendidik perawat harus memberikan
pendidikan pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga sehingga klien
dan keluarga memahami dan mau berpartisipasi aktif didalam
melaksanakan program terapi yang telah ditetapkan untuk diri klien
tersebut.

6. Program rumatan obat.


Bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan kesehatan pada klien
mengenai pentingnya keberlanjutan pengobatan pasca dirawat.

7. Peran serta dalam penelitian klinik interdisiplin terhadap uji coba obat.
Perawat berperan serta secara aktif sebagai bagian dari tim penelitan
pengobatan klien.
8. Evaluasi Pemberian Obat Psikofarmaka
Evaluasi pemberian obat harus terus menrerus perawat lakukan untuk
menilai efektifitas obat, interaksi obat maupun efek samping pemberian
obat. Berikut ini evaluasi yang harus dilakukan

a. Pemberian obat jenis benzodiazepine, nonbenzodiazepin, antidepresan


trisiklik, MAOI, litium, antipsikotik. Benzodiazepin pada umumnya
menimbulkan adiksi kuat kecuali jika penghentian pemberiannya
dilakukan dengan tapering bertahap tidak akan menimbulkan adiksi.

Penggunaan obat ini apabila dicapur (digunakan bersamaan) dengan


obat barbiturate atau alcohol akan menimbulkan efek
adiksi.Monitoring timbulnya efek samping seperti sedasi, ataksia, peka
rangsang, gangguan daya ingat.

b. Penggunaan obat golongan nonbenzodiazepin memiliki banyak kerugian


seperti terjadi toleransi terhadap efek antiansietas dari barbiturate,
lebih adiktif, menyebabkan reaksi serius dan bahkan efek lethal pada
gejala putus obat, berbahaya jika obat diberikan dalam dosis yang
besar dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat, serta
menyebabkan efek samping yang berbahaya.

c. Golongan antidepresan trisiklik dapat menjadi letal bila diberikan


dalam dosis yang besar karena efek obat menjadi lebih lama (3-4
minggu), obat ini relatif aman karena tidak memiliki efek samping jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama jika diberikan dalama dosis
yang tepat.
Efek samping menetap dapat diminimalkan dengan sedikit menurunkan
dosis, obat ini tidak menyebabkan euphoria, dapat diberikan satu kali
dalam sehari. Tidak mengakibatkan adiksi tetapi intoleransi terhadap
vitamin B6.

d. Penggunaan litium dapat menimbulkan toksisitas litium yang dapat


mengancam jiwa. Perawat harus memantau kadar litium dalam darah.
Jika pemberian litium tidak menimbulkan efek yang diharapkan, obat
ini dapat dikombinasi dengan obat anti depresan lain. Perlunya
pendidikan kesehatan untuk klien mengenai cara memantau kadar
litium.

e. Penggunaan anti psikotik harus mempertimbangkan pedoman sebagai


berikut bahwa dosis anti psikotik sangat bervariasi untuk tiap individu.
Dosis diberikan satu kali sehari, efek terapi akan didapatkan setelah
2-3 hari tetapi dapat sampai 2 minggu. Pada pengobatan jangka
panjang, perlu dipertimbangkan pemberian klozapin setiap minggu
untuk memantau penurunan jumlah sel darah putih.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
MASALAH PSIKOSOSIAL

A. Krisis
Krisis adalah reaksi berlebihan terhdap situasi yg mengancam saat kemampuan
menyelesaikan masalah yg dimiliki klien dan respons kopingnya tidak adekuat
untuk mempertahankan keseimbangan psikologis.

B. Jenis krisis
1. Krisis perkembangan terjadi sebagai respons terhadap transisi dari satu
tahap maturasi ke tahap lain dalam siklus kehidupan (mis, dari remaja ke
dewasa)
2. Krisis situasional terjadi sebagai respons terhadap kejadian yg tiba – tiba
dan tidak terduga alam kehidupan seseorang (mis, kematian orang yg di
cintai)
3. Krisis adventisius terjadi sebagai respons terhadap trauma berat atau
bencana alam

C. Intervensi krisis
Intervensi krisis adalah metode pemberian bantuan terhadap mereka yg
tertimpa krisis, di mana masalah yg memebutuhkan penanganan yg cepat dapat
segera di selesaikan dan keseimbangan psikis dapat di pulihkan.

D. Faktor penyeimbang
Merupakan hal yg penting dalam memprediksi hasil dari respons individu
terhadap krisis. Faktor – factor tersebut adalah :
1. Persepsi terhadap kejadian pencetus besifat realistis bukan terdistorsi
2. Dukungan situasional (mis,keluarga, teman) tersedia bagi individu tersebut
3. Mekanisme koping yg mengurangi ansietas

E. Prinsip intervensi krisis


1. Tujuan intervensi krisis adalah mengembalikan individu ke tingkat fungsi
sebelum krisis
2. Penekanan intervensi ini adalah memperkuat dan mendukung aspek – aspek
kesehatan dari fungsi individu
3. Dalam intervensi krisis, pendekatan pemecahan masalah di gunakan secara
sistematis meliputi :
a. Mengkaji persepsiindividu terhadap masalah serta mengkaji kelebihan
dankekurangan sistem pendukung individu dan keluarga.
b. Merencanakan hasil yg spesifikatau tujuan yg di dasarkan pada prioritas
c. Memberikan penanganan langsung (mis.,menyediakan rumah singgah bila
klien di usir dari rumah,merujuk klien ke “rumah perlindungan” bila
terjadi penganiayaan oleh suami atau istri)
d. Mengevaluasi hasil dari intervensi
F. Poses keperawatan
1. Pengkajian
a. Identifikasi kejadian pencetusdan situasi krisis
b. Tentukan persepsi klien tentang krisis yg di hadapi, meliputi kebutuan
utama yg terancam olehkrisis, tingkat gangguan hidup, dan gejala – gejala
yg di alami klien
c. Tentukan faktor – faktor penyeimbang yg ada, meliputi apakah klien
memiliki persepsi yg realistis terhadap krisis yg terjadi, dukungan
situasional (mis., keluarga, teman, sumber daya financial, sumber daya
spiritual, dukungan masyarakat ), dan penggunaan mekanisme koping
d. Identifikasi kelebihan klien

Gejala umum individu yg mengalami krisis


a. Gejala fisik :
keluhan somatik (mis.,sakit kepala, gejala gastrointestinal,rasa sakit ).
Gangguan nafsu makan (mis.,peningkatan atau penurunan berat badan yg
signifikan). Ganguan tidur (mis.,insomnia,mimpi buruk). Gelisah, sering
menangis,iritabilitas.

b. Gejala kognitif :
Konfusi, sulit berkonsentrasi, pikiran yg kejar mengejar, ketidakmampuan
mengambil keputusan.

c. Gejala perilaku :
Disorganisasi ,impulsive,ledakan kemarahan,sulit menjalankan tanggung
jawab peran yg biasa, menarik diri dari interaksi social

d. Gejala emosional :
Ansietas, marah, merasa bersalah, sedih, depresi, paranoia, curiga,
putus asa, tidak bedaya.

Pertanyaan pengkajian untuk individu yg mengalami krisis


Pertanyaan dan data yg di berikan klien
“ Apa yg terjadi pada anda?”
Persepsi individu terhadap hal yg terjadi (realistic atau terdistorsi)
“ Apa yg anda pikir dan rasakan?”
Gejala kognitif atau emosional atas apa yg terjadi
“ Apakah anda mengalami gejala fisik atau perubahan prilaku anda yg
biasanya?”
Gejala fisik, prilaku
“ Apakah anda sudah pernah mengalami hal yg serupa dengan kejadian ini
dalam hidup anda? Kalau, ya,bagaimana anda melakukan koping pada saat
itu?”
Pengalaman masa lalu tentang krisis dan koping yg di gunakan
“ Menurut anda, apa yg menjadi kelebihan pribadi anda?”
Pengakuan individu atas kelebihanya
“ Siapa yg anda rasa sangat banyak membantu atau mendukung anda?”
System pendukung yg ada dalam hidup anda
“ Apa yg telah anda coba sejauh ini untuk mengatasi krisis tersebut?”
Penggunaan tindakan koping dalam situasi saat ini.

2. Diagnosis keperawatan
Analisis
a. Analisis persepsi unik klienterhadapkrisis dan kejadian pencetusnya.
b. Analisis keadekuatan faktor penyeimbang dan tingkat dukugan pribadi,
social ,dan lingkungan klien
c. Analisis sejauh mana orang lain terpengaruh oleh krisis

Diagnosis keperawatan yg mungkin muncul:


a. Gangguan citratubuh
b. Koping individu tidak efektif
c. Berduka disfungsional
d. Respons pascatrauma
e. Ketidak berdayaan
f. Sindrom trauma perkosaan
g. Distress spiritual
h. Resiko kekerasan pada diri sendiri / orang lain

3. Perencanaan dan identifikasi hasil


Bantu klien dalam menetapkan tujuan jangka pendek yg realistis untuk
pemulihan seperti sebelum krisis
Tentukan kriteria hasil yg di inginkan untuk klien, individu yg mengalami
krisis akan :

a. Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis


b. Mendiskusikan pilihan – pilihan yg ada untuk mengatasinya
c. Mengidentifikasi sumber daya yg adayg dapat memberikan bantuan
d. Memilih strategi koping dalam menghadapi krisis
e. Mengimplementasikan tindakan yg di perlukan untuk mengatasi krisis
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk

4. Implementasi
a. bentuk hubungan dengan mendengarkan ecara aktif dan menggunakan
respons empati
b. anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas, dan bantu
klien mengutarakan pikran dan perasaanya
c. dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping
d. gunakan pendekatan pemecahan masalah
e. lakukan intevensi untuk mencegah rencana menyakiti diri sendiri atau
bunuh diri
5. Evalusi hasil
a. Keselamatan klien dapat di pertahankan sebagai hasil dari intervensi yg
adekuat terhadap ekspresi prilaku yg tdk terkendali
b. Klien mengidentifikasi hubungan antara stressor dan gejala yg di alami
selama krisis
c. Klien mengevalusi solusi yg mungkin di lakukan untuk mengatasi krisis
d. Klien memilih pilihan solusi
e. Klien kembali ke keadaan sebelum krisis atu memperbaiki situasi atau
perilaku

A. Psikoseksual
Seksualitas dalam arti luas ialah semua aspek badaniah. Psikologik dan
kebudayaan yg berhubungan langsung dengan seks dan hubungan seks manusia.
Seksologi ialah ilmu yg empelajari segala aspek tentang seks.

Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan dan


cinta, termasuk di dalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan.
Seksualitas mengandung arti yg luas bagi manusia,karena sejak manusia lahir ke
muka bumi ini hal tersebut sudah menyertainya.

Dengan demikian, maka seks juga bio-psiko-sosial,karena iti pendidikan


mengenai seks harus holistik. Bila di titik beratkan pada salah satu aspek saja,
maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada individu
Beberapa pengertian yg berkaitan dengan psikoseksual meliputi :

1. Sekxual identity (identitas jenis kelamin)


Kesadaran individu akan kelaki_lakianya atau kewanitaan tubuhnya. Hal ini
tergantung pada ciri-ciri seksual biologiknya ,yaitu kromosom,genitalia
eksterna dan interna, komposisi hormonal, testes dan ovaria serta ciri –
ciri seks sekunder.

Dalam perkembangan yg normal, pola ini bersatu padu sehingga seorang


individu sejak umur 2 atau 3 tahun sudah tidak ragu – ragu lagi tentang jenis
seksnya.

2. Gender identity (identitas jenis kelamin)


Identitas jens kelamin atau kesadaran akan jenis kelamin kepribadiannya
merupaka hasil isyarat dan petunjuk yg tak terhitung banyak nya dari
pengalaman dengan anggota keluaga, guru, kawan, teman sekerja dan dari
fenomena kebudayaan.

3. Gender role behavior (perilaku peranan jenis kelamin)


Yaitu semua yg di katakana dan di lakukan seseorang yg menyatakan bahwa
dirinya itu seorang wanita atau pria.
B. Teori psikoseksual
1. Menurut teori libido Freud
Insting seksual dalam perkembangannya dari masa kanak – kanak menjadi
dewasa melalui beberapa fase:oral, anal,falik dan genital. Tiap fase di
dominasi oleh sebuah organ somatik. Bila pada suatu fase tertentu tuntutan
tidak di penuhi secara wajar, maka terjadilah fiksasi atau pemberhentian
pada fase itu.

2. Teori interpersonal
Memandang gangguan seksual sebagai manifestasi kekacauan hubungan antar
manusia yg di nyatakan dalam bidang seksual. Teori kebudayaan menganggap
bahwa kepercayaan,adat istiadat, dan norma yg khas bagi suatu masyarakat
tercerminkan dalam psikologi dan psikopatologi seseorang, juga dalam bidang
seksual.

3. Teori biologis
Beberapa faktor organic telah d implikasikan dalam etilogi dari parafilia. Hal
ini mencakup abnormalitas dalam system limbik otak, epilepsy lobus temporal,
tumor lobustemporal dan kadar androgen abnormal .

4. Teori psikoanalitik
Pendekatan psikoanalitik mendefinisikan parafilia sebagai seseorang yg telah
gagal dalam proses perkembangan normal ke arah penilaian heteroseksual.

5. Seksualitas normal dan penyesuaian seks yg sehat


Perilaku seksual yg normal ialah yg dapat menyesuaikan diri, bukan saja
dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuha individu mengenai
kebahagiaan dan pertumbuhan, yaitu perwujudan diri sendiri atau
peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadiannya
menjadi lebih baik

6. Penysuaian diri seksual yg sehat ialah kemampuan memperoleh penglaman


seksual tanpa rasa takut dan salah, jatuh cinta pada waktu yg cocok dan
menikah dengan partner yg dipilhnya serta mempertahankan rasa cinta kasih
dan daya tarik seksual terhada partner-nya.

7. Rentang respon rerilaku seksual


Yg adaptif terlihat dari perilaku yg memenuhi kriteria:
a. Terjadinya antara dua orang dewasa
b. Memberikan kepuasan timbal balik bagi pihak yg terlibat
c. Tidak membahayakan kedua belah pihak baik secara psikologis maupun
fisik
d. Tidak ada paksaan
e. Tidak di lakuan di tempat umum
Yg mall adaptif meliputi perilaku yg tidak memenuhi satu atau lebih kriteria
di atas.

1. Disfungsi seksual
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami suatu perubahan
dalam fungsi seksua yg di gambarkan sebagai ketidakpuasan, merasa
tidak di hargai, tidak adekuat.

2. Jenis – jenis disfungsi seksual:


a. Penyimpangan seksual Hipo dan Hiper seksualitas
b. Pada kedua duanya pria dan wanita, mungkin keinginan atau dorongan
seksual itu hanya kecil atau sebaliknya besar.
c. Bilamana hal ini sudah patologik sukar sekali di katakan. Sebagai
patokan dapat di pakai keluhan dari mereka sendiri atau dari partner-
nya.
d. Penyimpangan hasrat
(Hipo aktif, keengganan seksual frigiditas)
e. Penyimpangan getaran seksual (baik pria maupun wanita )
f. Penyimpangan orgasme
g. Penyimpangan nyeri seksual
h. Gangguan kemampuan seks
i. Masturbasi kompulsif

3. Deviasi seksual dan seksual abnormal


Adalah gangguan arah – tujuan seksual. Cara utama untuk mendapatkan
kepuasan seksual ialah dengan objek lain. Yang dimaksud dengan deviasi
seksual di klafisikasikan dalam gangguan jiwa (PPDGJ - 1), yaitu:

a. Homosexualitas (dan lesbianisme)


b. Fetishisme
c. Pedofilia
d. Transvestitisme
e. Ekshibionisme
f. Voyeurisme
g. Sadisme dan masokhisme; dan
h. Transeksualisme
i. Deviasi seksual lain

4. Faktor predisposisi penyimpangan seksual


a. Faktor biologis
Penyimpangan hasrat seksual Hipo aktif di hubungkan dengan kadar
testosteron serum yg rendah pada seorang pria dan untuk
meningkatkan kadar serum prolaktin pada wanita
b. Faktor psikososial
Penyimpangan hasrat seksual dapat berhubungan dengan sejumlah
konflik perkembangan awal yg telah membiarka individu dengan
hubungan bawah sadar antara impuls seksual dan perasaan malu,
bersalah dengan berlebihan

c. Faktor presipitasi
Identitas seksual tidak dapat di pisahkan dari konsep diri atau
gambaran diri seseorang. Faktor presipitasi spesifik meliputi :
a) Penyakit fisik dan emosional
b) Efek samping dari pengobatan
c) Kecelakaan atau pembedahan
d) Perubahan karena proses penuaan

5. Manifestasi klinik pada deviasi seksual


a. Memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain/ asing
b. Getaran seksual pada kehadiran objek objek yg tidak hidup
c. Menyentuh atau menggosokan alat kelamin seseorang terhadap orang
yg tidak mengizinkan
d. Tertarik kepada atau melakukan tindakan seksual dengan anak
prapubertas
e. Getaran seksual melalui mempermalukan, memukul, melempar, atau
sebaliknya untuk membuat menderita (melalui fantasi, membuat diri
sendiri menderita atau dengan seorang pasangan seksual)
f. Getaran seksual dengan membuat penderitaan psikologis atau fisik
pada individu lain (baik dengan yg mengzinkan atau yg tidak
mengizinkan)
g. Getaran seksual melalui memakai pakaian lawan jenis
h. Etaran seksual melalui mengamati orang – orang yg tidak di curigai
baik yg telanjang atau terlibat dalam aktivitas seksual
i. Masturbasi yg seringkali di sertai dengan aktivitas – aktivitas yg di
gambarkan saat mereka melakukannya seorang diri
j. Individu itu tampak sekali distress dengan aktivitas – aktivitas ini

6. Pengkajian
a. Kesadaran diri perawat merupakan elemen terpenting agar dapat
membantu pasien dengan masalah seksualitas
b. Faktor perilaku
Ada beberapa cara ekspresi seksual. Pada tahun 1948,kinsesy
menggunakan skala sampai nilai 7 untuk memeriksa kecenderungan
seseorang, dimana 0 menunjukkan pengalaman heteroseksual yg
eksklusif. 6 berarti pengalaman homoseksual yg ekslusif, dan 2,3,
serta 4 menunjukan biseksualitas. Ia melaporkan bahwa kebanyakan
individu tidak secara ekslusif heteroseksual maupun homoseksual.
c. Mekanisme koping yg munkin menggunakan untuk mengekpresikan
respon seksual individu:
a) Fantasi mungkin di gunakan untuk meningkatkan pengalaman
seksual.
b) Denial, mungkin di gunakan untuk menolak pengakuan terhadap
konflik atau ketidakpuasan seksual
c) Rasionalisasi, mungkin di gunakan untuk mendapatkan pembenaran
atau penerimaan tentang motif prilaku, perasaan dan impuls
seksual
d) Menarik diri, mungkin di lakukan untuk mengatasi perasaan lemah,
perasaan ambivalen terhadap hubungan intim yg belum
terselesaikan secara tuntas

7. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yg mungkin timbul pada klien dengan penyimpangan
respons seksual :

a. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan rasa malu setelah


mastektomi, ditandai oleh tidak adanya keinginan seks
b. Perubahan pola seksuallitas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
mencapai orgasme,ditandai oleh tidak adanya kepuasan seksual
c. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan konflik perkawinan, di
tandai oleh tidak timbulnya gairah pada saat pemanasan sebelum
berhubungan intim
d. Disfungsi seksual berhubungan dengan meminum alcohol yg berlebihan,
di tandai oleh ketidakmampuan untuk mempertahankan ereksi
e. Disfungsi seksual berhubungan dengan rasa takut terhadap penetrasi,
di tandai dengan rasa sakit ketika berhubungan intim

8. Perencanaan
Tujuan : mempertahankan hubungan professional antara perawat – pasien
yg memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan keperawatan yg
terapeutik

Hasil yg di harapakan : pasien akan mencapai tingkat respons seksual


adaptif maksimal untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan
Prinsip asuhan:
a. Menjalin hubungan saling percaya
b. Waspada kepada perasaan dan pikiran dalam diri sendiri
c. Kurangi ekpresi perasaan dan prilaku seksual pasien
d. Perluas penghayatanpasien ke dalam persaan dan prilaku
intervensi :
a. Ekspresikan perhatian dan kepedulian yg non seksual kepada pasien
b. Kuatkan tujuan hubungan terapeutik yg professional antara perawat
pasien
c. Gunakan pendekatan yg tenang pada fakta tanpa memberkan penilaian
d. Dengarkan masalah seksual yg tersirat dan di ekspresikan
e. Bantu pasien menggali keyakinan, nilai dan pertanyaan tentang seksual
f. Dukung komunikasi yg terbuka antara pasien dan pasangannya
g. Berikan penyuluhan tertentu tentang praktek kesehatan, perilaku ,
dan masalah seksual
h. Rujuk pasien pada terapi seks yg professional sebagaimana yg di
perlukan
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KECEMASAN
KONSEP KECEMASAN:

A. PENGERTIAN
Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin
memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa
emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat
diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Corner, 1992). Ansietas merupakan alat
peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu.

Kecemasan memiliki nilai yang positif. Menurut Stuart dan Laraia (2005) aspek
positif dari individu berkembang dengan adanya konfrontasi, gerak maju
perkembangan dan pengalaman mengatasi kecemasan. Tetapi pada keadaan
lanjut perasaan cemas dapat mengganggu kehidupan seseorang.

Sisi negatif ansietas atau sisi yang membahayakan ialah rasa khawatir yang
berlebihan tentang masalah yang nyata atau potensial. Hal ini menghabiskan
tenaga, menimbulkan rasa takut, dan menghambat individu melakukan fungsinya
dengan adekuat dalam situasi interpersonal, situasi kerja, dan situasi sosial.

Diagnosis gangguan ansietas ditegakkan ketika ansietas tidak lagi berfungsi


sebagai tanda bahaya, melainkan menjadi kronis dan mempengaruhi sebagian
besar kehidupan individu sehingga menyebabkan perilaku maladaptif dan
disabilitas emosional.

Misalnya, diagnosis gangguan ansietas umum ditegakkan ketika individu selalu


khawatir tentang sesuatu atau semua hal tanpa alasan yang nyata, merasa
gelisah, lelah, dan tegang, serta sulit berkonsentrasi selama sekurang-
kurangnya enam bulan terakhir.

B. ETIOLOGI
Keluhan-keluhan yang sering dikemukan oleh orang yang mengalami ansietas
(Hawari, 2008), antara lain sebagai berikut :
1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah
tersinggung.
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
6. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan sebagainya.
C. TINGKATAN ANSIETAS
Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan,
yang bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan
seberapa baik individu melakukan koping terhadap ansietas. Menurut Peplau
(dalam, Videbeck, 2008) ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh
individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.

1. Ansietas ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah,
berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi diri sendiri. Menurut
Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah sebagai berikut :

a. Respons fisik
a) Ketegangan otot ringan
b) Sadar akan lingkungan
c) Rileks atau sedikit gelisah
d) Penuh perhatian
e) Rajin

b. Respon kognitif
a) Lapang persepsi luas
b) Terlihat tenang, percaya diri
c) Perasaan gagal sedikit
d) Waspada dan memperhatikan banyak hal
e) Mempertimbangkan informasi
f) Tingkat pembelajaran optimal

c. Respons emosional
a) Perilaku otomatis
b) Sedikit tidak sadar
c) Aktivitas menyendiri
d) Terstimulasi
e) Tenang

2. Ansietas sedang merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu


yang benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Menurut
Videbeck (2008), respons dari ansietas sedang adalah sebagai berikut :

a. Respon fisik :
a) Ketegangan otot sedang
b) Tanda-tanda vital meningkat
c) Pupil dilatasi, mulai berkeringat
d) Sering mondar-mandir, memukul tangan
e) Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi
f) Kewaspadaan dan ketegangan menigkat
g) Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung

b. Respons kognitif
a) Lapang persepsi menurun
b) Tidak perhatian secara selektif
c) Fokus terhadap stimulus meningkat
d) Rentang perhatian menurun
e) Penyelesaian masalah menurun
f) Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan

c. Respons emosional
a) Tidak nyaman
b) Mudah tersinggung
c) Kepercayaan diri goyah
d) Tidak sabar
e) Gembira

3. Ansietas berat, yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman,
memperlihatkan respons takut dan distress. Menurut Videbeck (2008),
respons dari ansietas berat adalah sebagai berikut :

a. Respons fisik
a) Ketegangan otot berat
b) Hiperventilasi
c) Kontak mata buruk
d) Pengeluaran keringat meningkat
e) Bicara cepat, nada suara tinggi
f) Tindakan tanpa tujuan dan serampangan
g) Rahang menegang, mengertakan gigi
h) Mondar-mandir, berteriak
i) Meremas tangan, gemetar

b. Respons kognitif
a) Lapang persepsi terbatas
b) Proses berpikir terpecah-pecah
c) Sulit berpikir
d) Penyelesaian masalah buruk
e) Tidak mampu mempertimbangkan informasi
f) Hanya memerhatikan ancaman
g) Preokupasi dengan pikiran sendiri
h) Egosentris
c. Respons emosional
a) Sangat cemas
b) Agitasi
c) Takut
d) Bingung
e) Merasa tidak adekuat
f) Menarik diri
g) Penyangkalan
h) Ingin bebas

4. Panik, individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena


hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan
perintah. Menurut Videbeck (2008), respons dari panik adalah sebagai
berikut :

a. Respons fisik
a) Flight, fight, atau freeze
b) Ketegangan otot sangat berat
c) Agitasi motorik kasar
d) Pupil dilatasi
e) Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun
f) Tidak dapat tidur
g) Hormon stress dan neurotransmiter berkurang
h) Wajah menyeringai, mulut ternganga

b. Respons kognitif
a) Persepsi sangat sempit
b) Pikiran tidak logis, terganggu
c) Kepribadian kacau
d) Tidak dapat menyelesaikan masalah
e) Fokus pada pikiran sendiri
f) Tidak rasional
g) Sulit memahami stimulus eksternal
h) Halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi

c. Respon emosional
a) Merasa terbebani
b) Merasa tidak mampu, tidak berdaya
c) Lepas kendali
d) Mengamuk, putus asa
e) Marah, sangat takut
f) Mengharapkan hasil yang buruk
g) Kaget, takut
h) Lelah
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam
kehidupan tersebut dapat berupa:

1. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan


dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
2. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
3. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir
secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
4. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan
yang berdampak terhadap ego.
5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena
pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
7. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons
individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
8. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodizepin, karena benzodiazepine dapat menekan
neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas
neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

E. FAKTOR PRESIPITASI
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi
kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas


fisik yang meliputi :
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil).
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal.

b. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.


a) Sumber internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah
dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman
terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan
status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
F. SUMBER KOPING dan MEKANISME KOPING
1. Sumber Koping
Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan
atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial, intrapersonal
dan interpersonal.

Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan memecahkan


masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini. Dengan integrasi sumber-
sumber koping tersebut individu dapat mengadopsi strategi koping yang
efektif (Suliswati, 2005).

2. Mekanisme Koping
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan
faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila
individu sedang mengalami kecemasan ia mencoba menetralisasi, mengingkari
atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping.

Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah


menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga,
mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain
(Suliswati, 2005).

Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan sedang, berat dan panik


membutuhkan banyak energi. Menurut Suliswati (2005), mekanisme koping
yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu :

a. Task oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas. Tujuan
yang ingin dicapai dengan melakukan koping ini adalah individu mencoba
menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan menilai secara objektif
ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik dan memenuhi
kebutuhan.

a) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi


hambatan pemenuhan kebutuhan.
b) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik
untuk memindahkan seseorang dari sumber stress.
c) Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang
mengoperasikan, mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek
kebutuhan personal seseorang.

b. Ego oriented reaction atau reaksi berorientasi pada ego. Koping ini tidak
selalu sukses dalam mengatasi masalah. Mekanisme ini seringkali
digunakan untuk melindungi diri, sehingga disebut mekanisme pertahanan
ego diri biasanya mekanisme ini tidak membantu untuk mengatasi masalah
secara realita. Untuk menilai penggunaan makanisme pertahanan individu
apakah adaptif atau tidak adaptif, perlu di evaluasi hal-hal berikut :

a) Perawat dapat mengenali secara akurat penggunaan mekanisme


pertahanan klien.
b) Tingkat penggunaan mekanisme pertahanan diri terebut apa
pengaruhnya terhadap disorganisasi kepribadian.
c) Pengaruh penggunaan mekanisme pertahanan terhadap kemajuan
kesehatan klien.
d) Alasan klien menggunakan mekanisme pertahanan.

ASUHAN KEPERAWATAN ANSIETAS

A. PENGKAJIAN
Pengkajian ditujukan pada fungsi fisiologis dan perubahan perilaku melalui
gejala atau mekanisme koping sebagai pertahanan terhadap kecemasan.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), data fokus yang perlu dikaji pada
klien yang mengalami ansietas adalah sebagai berikut :

1. Perilaku
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologis dan perilaku yang secara tidak langunsg melalui timbulnya
gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.
2. Faktor predisposisi
3. Faktor presipitasi
4. Sumber koping
5. Mekanisme koping

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ansietas b/d perubahan dalam (status ekonomi, lingkungan, status
kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran)

C. INTERVENSI
No Diagnosa NOC NIC
1 Ansietas 1. Anxiety self control Anxiety reduction
Definisi: perasaan 2. Anxiety level a. Gunakan pendekatan
tidak nyaman atau 3. Coping yang menenangkan
kekhawatiran yang Kriteria hasil: b. Nyatakan dengan
samar disertai a. Klien mampu jelas harapan
respon autonom mengidentifikasi dan terhadap pelaku
(sumber sering kali mengungkapkan pasien
tidak spesifik atau gejala cemas c. Jelaskan semua
tidak dikeahui oleh b. Mengidentifikasi, prosedur dan apa
individu) perasaan mengungkapkan dan yang dirasakan
takut yang menunjukkan teknik selama prosedur
disebabkan oleh untuk mengontrol d. Pahami prespektif
antisipasi terhadao cemas pasien terhadap
bahaya. c. Vital sign dalam situasi stress
batas normal e. Temani pasien untuk
d. Postur tubuh, memberikan
ekspresi wajah, keamanan dan
bahasa tubuh dan mengurangi rasa
tingkat aktivitas takut
menunjukkan f. Dengarkan dengan
berkurangnya penuh perhatian
kecemasan g. Identifikasi tingkat
kecemasan
h. Bantu pasien
mengenal situasi
yang enimbulkan
kecemasan
i. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan,
ketakutan, persepsi
j. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
k. Berikan obat untuk
mengurangi
kecemasan

D. STRATEGI PELAKSANAAN
1. Strategi Pelaksanaan I
Tindakan Keperawatan Tindakan Keperawatan
Masalah Keperawatan
pada Pasien pada Keluarga
Ancietas SP I p SP I k
Identifikasi stressor Mendiskusikan masalah
cemas. yang dirasakan keluarga
Identifikasi koping dalam merawat pasien
maladaptif dan Menjelaskan pengertian,
akibatnya. tanda dan gejala
Bantu perluas lapang ansietas sedang yang
persepsi. dialami pasien beserta
Konfrontasi positif (jika proses terjadinya.
perlu). Menjelaskan cara-cara
Latih teknik relaksasi: merawat pasien cemas.
nafas dalam.
Membimbing
memasukkan dalam
jadwal kegiatan.
SP II p SP II k
Validasi masalah dan Melatih keluarga
latihan sebelumnya. mempraktekkan cara
Latih koping: merawat pasien cemas
beraktivitas. sedang.
Membimbing Melatih keluarga
memasukkan dalam melakukan cara merawat
jadwal kegiatan. langsung pasien cemas
sedang.
SP III p SP III k
Validasi masalah dan Membantu keluarga
latihan sebelumnya. membuat jadual
Latih koping: olah raga. aktivitas di rumah
Membimbing termasuk minum obat
memasukkan dalam Mendiskusikan sumber
jadwal kegiatan. rujukan yang bisa
dijangkau oleh keluarga

2. Strategi Pelaksanaan II
SP 1 :
Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
ansietas, dan membantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan
cemas
a. Fase Orientasi:
“Assalamualaikum pak, perkenalkan nama saya Dayat, panggil saya
dayat, saya perawat yang akan merawat bapak dan datang
kerumah bapak seminggu dua kali, yaitu hari rabu dan Sabtu jam
10.00 pagi.

“Nama bapak siapa, suka dipanggial apa?” “Bagaimana perasaan


bapak hari ini? Oh, jadi bapak merasa tidak nyaman?”, “Baiklah
pak, kita akan berbincang-bincang tentang perasaan yang bapak
rasakan. “Berapa lama kita bincang-bincang? “Bagaimana kalau 20
menit”.”Dimana tempatnya pak? Bagaimana kalau disini saja?”

b. Fase Kerja:
“Apa yang bapak rasakan?, “Bagaimana perasaan itu bisa muncul?”.
“Apa yang bapak lakukan jka perasaan itu cemas itu muncul?”.
“Oh, jadi bapak mondar-mandir dan banyak bicara jika perasaan
cemas dan tidak nyaman itu muncul”.

”Ada peristiwa apa sebelum ansietas itu muncul? “Atau adakah


hal-hal yang bapak pikirkan sebelumnya?” “Jadi bapakakan merasa
cemas jika ada pekerjaan bapak yang belum bisa bapak selesaikan.
Bisa kita diskusikan apa yang membuat pekerjaan bapak tidak
selesai? Oh, jadi bapak merasa beban kerja yang diberikan diluar
kesanggupan bapak untuk menyelesaikannya.

“Apakah sebelumnya bapak pernah mendapatkan beban kerja yang


tinggi pula? Apakah bapak bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut?
Wah, baik sekali, berarti dulu bapak mampu menyelesaikan
pekerjaan yang banyak. Bagaimana cara bapak menyelesaikan
pekerjaan itu
waktu dulu?”.
c. Fase Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bincang-bincang?”, “Coba
bapak sebutkan lagi apa yang membuat Bapak cemas?” apa
perubahan yang bapak rasakan dengan kondisi kecemasan,”. “Dua
hari lagi saya akan datang untuk mengajarkan latihan relaksasi,
jam 10.00 tempatnya disini ya Pak, Sekarang saya pamit dulu
Assalamualaikum Wr Wb.”

SP 2 :
Mengontrol Kecemasan Dengan Relaksasi Nafas Dalam

a. Fase Orientasi:
“Assalamualaikum Pak Ahmad, bagaimana perasaan bapak hari
ini?’ Apakah bapak sudah melatih cara mengalihkan situasi
untuk menghilangkan kecemasan Bapak?’, “Sesuai janji kita dua
hari yang lalu, hari ini saya datang kembali untuk mendiskusikan
tentang latihan relaksasi dengan tehnik tarik napas dalam.”
Berapa lama kita akan berlatih pak? “Bagaimana jika 20
menit?” Dimana kita diskusi? “Bagaimana jika di halaman
samping?”

b. Fase Kerja:
Pak, kemarin waktu kita diskusi bapak mengatakan bahwa saat
cemas rasanya seluruh badan bapak tegang, baik fikiran
maupun fisik, Nah, latihan relaksasi ini bermanfaat untuk
membuat fisik bapak relak atau santai.

Dalam latihan ini bapak harus memusatkan pikiran dan


perhatian bapak pada pernapasan, gerakan mengembang dan
mengempisnya otot dada bapak saat bernapas . Bisa kita mulai
pak?” Sekarang bapak silahkan duduk tegap seperti saya.

Pertama-tama: bapak tarik napas perlahan-lahan, dalam


hitungan satu, bapak pikirkan bahwa adara memasuki bagian
bawah paru-paru bapak, pada hitungan dua bapak bayangkan
udara mengisi bagian tengah paru-paru bapak dan pada
hitungan tiga bapak bayangkan seluruh paru-paru bapak sudah
terisi dengan udara, setelah itu tahan napas dalam hitungan
tiga setelah itu bapak hembuskan udara melalui mulut dengan
meniup udara perlahan-lahan.

Nah, sekarang bapak lihat saya mempraktekkanya. “Sekarang


coba bapak praktekkan! “Wah, bagus sekali bapak sudah mampu
melakukannya. “ Bapak bisa latih kembali relaksasi nafas
dalam.
c. Fase teminasi:
“bagaimana perasaan bapak setelah latihan tarik napas dalam
ini?” Coba bapak ulangi satu kali lagi”” Bagus sekali.” Setiap
kali bapak mulai merasa cemas, bapak bisa langsung praktekkan
cara ini.

“Lusa saya akan datang lagi untuk mengajarkan latihan yang


lain yaitu dengan mengendurkan dan mengencangkan seluruh
otot bapak. Seperti biasa pak Jam 10.00 WIB.
Assalamualaikum Pak ahmad.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN CITRA TUBUH, GANGGUAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. KONSEP DIRI
1. Pengertian
Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang diri, misalnya “saya kuat
dalam matematika” (Wigfield & Karpathian 1991). Konsep diri adalah citra
subjektif dari diri dan percampuran yang kompleks dari perasaan, sikap &
persefsi bawah sadar maupun sadar.

Konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen


kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Kita mulai
membentuk konsep diri saat usia muda.Masa remaja adalah waktu yang kritis
ketika banyak hal secara kontinu mempengaruhi konsep diri.

Jika seseorang mempunyai masa kanak-kanak yang aman dan stabil, maka
konsep diri masa remaja anak tersebut secara mengejutkan akan sangat
stabil (Marsh 1990). Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian
dan konsep diri dapat menjadi sumber stres atau konflik.

Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama
lain. Klien yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik akan
dapat meningkatkan konsep diri.

2. Komponen konsep diri


Komponen Konsep diri terdiri dari :
a. Identitas
Identitas mencakup rasa internal tentang individual, keutuhan dan
konsistensi dari seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
Karenanya konsep tentang identitas mencangkup kontansi dan kontinuitas.

Identitas menunjukan menjadi lain dan terpilih dari orang lain, namun
menjadi diri yang utuh dan unik. Anak belajar tentang nilai, perilaku dan
peran yang diterima sesuai kultur. Anak mengidentifikasi pertama kali
dengan orang tua, kemudian dengan guru, teman seusia dan pahlawan
pujaan.

Untuk membentuk identitas, anak harus mampu untuk membawa semua


perilaku yang dipelajari ke dalam keutuhan yang kohoren, konsisten dan
unik (Erikson, 1963). Rasa identitas ini secara kontinu timbul dan
dipengaruhi oleh situasi sepanjang hidup.

b. Citra tubuh
Membentuk persepsi seorang tentang tubuh, baik secara internal maupun
eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditunjukkan
pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang
karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari pandangan
orang lain.
Citra tubuh di pengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan
fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan
penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh
dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri. Citra tubuh anak usia
sekolah berbeda dengan citra tubuh seorang bayi.

Salah satu perbedaan yang menyolok adalah kemampuan untuk berjalan.


Perubahan ini bergantung pada kematangan fisik. Perubahan hormonal
terjadi selama masa remaja dan pada tahun akhir kehidupan juga
mempengaruhi citra tubuh (mis. Menopause selama masa dewasa dengan
penuaan mencakup penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, dan
mobilitas, perubahan ini dapat mempengaruhi citra tubuh).

c. Ideal Diri
Adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe
orang yang diinginkan atau disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai
yang ingin diraih. Ideal diri, akan mewujudkan cita-cita atau penghargaan
diri berdasarkan norma-norma sosial dimasyarakat tempat individu
tersebut melahirkan penyesuaian diri.

Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh


orang yang penting pada dirinya yang memberikan harapan atau tuntutan
tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan
harapan tersebut dan akan membentuk dasar dari ideal diri.

Pada usaia remaja ideal diri akan terbentuk melalui identifikasi pada
orang tua, guru dan teman. Pada usia yang lebih tua dilakukan
penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan
perubahan peran serta tanggung jawab.

d. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisi seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal
dirinya. Harga diri diperoleh dari sendiri dan orang lain yaitu dicintai,
dihormati dan dihargai.

Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami


keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila
sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima di
lingkungan.

Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian.
Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia. Untuk meningkatkan
harga diri anak diberi kesempatan untuk sukses, tanamkan “ideal” atau
harapan jangan terlalu tinggi dan sesuaikan dengan budaya, berikan
dorongan untuk aspirasi atau cita-citanya dan bantu membentuk
pertahanan diri untuk hal-hal yang menggangu persepsinya.
Harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini
harga diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus
dibuat menyangkut diri sendiri. Remaja dituntut untuk menentukan
pilihan, posisi peran dan memutuskan apakah ia mampu meraih sukses dari
suatu bidang tertentu, apakah ia dapat berpartisipasi atau diterima di
berbagai macam aktivitas sosial.

e. Peran
Peran adalah serangkaian pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu di dalam
kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam
kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan
memvalidasi pada orang yang berarti.

Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan


posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan. Harga diri yang tinggi
merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan
ideal diri.

B. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN (KONSEP DASAR ASKEP)


1. Pengkajian keperawatan
Langkah pertama dalam proses keperawatan adalah pengkajian. Standar
perawatan untuk pengkajian didefinisikan sejumlah lembaga pengatur dan
asosiasi peawat profesional, termasuk American Nurses Association (ANA)
dan Joint Commission For Accreditation of Healthcare Organizations
(JCAHO). Standar ANA untuk pengkajian meliputi kriteria tindakan yang
berfokus pada hal-hal berikut ( ANA, 1991):

a. Menggunakan kondisi pasien atau kebutuhan akan pelayanan kesehatan


saat ini untuk mentapkan prioritas pengumpulan data.
b. Menggunakan teknik pengkajian yang tepat untuk mengumpulkan data-data
penting.
c. Melibatkan klien, teman dekat klien, dan petugas kesehatan lainnya, jika
prlu, untuk mengumpulkan data.
d. Menggunakan proses pengumpulan data yang sistematik dan kontinu.
e. Mendokumentasikan data yang relevan dengan cara yang mudah ditinjau
kembali.

Data dasarr awal harus dirancang untuk populasi yang paling umum yang
terdapat di area klinis tersebut. Misalnya, jika sebagian besar pasien yang
masuk ke unit medika bedah adalah lansia, maka data dasar yang ada harus
berfokus pada masalah – masalah umum yang terdapat pada populasi
tersebut, seperti resiko tinggi kerusakan integritaskulit, jatuh dan
kerusakan sensori.

Jika pasien di daerah klinis tersebut belum diiedntifikasi, bagian


pendaftaran atau bagian keuangan apat emmberikan data-data tentang usia,
jenis kelamin, lama dirawat, dan diagnosis medis dari semua pasien yang
dirawat di fasilitas tersebut atatu di unit perawatan khusus.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan adlah tentang reaksi pasien yang aktual maupun
potensial terhadap suatu faktor yang diperkirakan menjadi penyebabbnya
(Zieglar).

Diagnosa keperawatan adalah reaksi / masalah kesehatan baik aktual maupun


potensial yang dapat diatasi oleh perawat secara legal dan mandiri
berdasarkan latar belakang dan pengalaman yang dimiliki (Moritz).

Cara merumuskan diagnosa keperawatan :


a. Pola P.E.S (PES)
P = Problem (masalah)
E = Etiologi (penyebab)
S = Symptom (Gejala)
Contoh :
Pola nafas tidak efektif b.d
P
penumpukan sputum pada saluran nafas ditandai dengan
E
pergerakan dinding dada yang tidak optimal
S
b. Pola P.E (PE)
P = Problem (masalah)
E = Etiologi (penyebab)
Contoh :
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
P
b.d intake tidak adekuat
E
Cara merumuskan diagnose keperawatan jiwa :
Pola : C.CP.E (CCPE) :
C = Causa (penyebab)
CP= Case Problem (masalah utama)
E = Effec (akibat)
Contoh Pohon Masalah :

ISOLASI SOASIAL AKIBAT

HARGA DIRI RENDAH CASE PROBLEM

MEKANISME MEKANISME COPING


CAUSA COPING KELUARGA INDIIVIDU TIDAK CAUSA
TIDAK EFEKTIF EFEKTIF

DX.KEP.JIWA : HARGA DIRI RENDAH B/D MEKANISME


COPING INDIVIDU ATAU KELUARGA TIDAK EFEKTIF
Menurut Komite Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Bogor ( 1999) secara umum
diagnosa keperawatn yang mungkin timbul pada klien dengan gangguan konsep
diri : harga diri rendah adalah sebagai berikut :
1. Isolasi sosial : menarik diri b. Harga diri rendah
2. Perilaku kekerasan b.d harga diri rendah
3. Perubahna persepsi sensori : halusinasi b.d menarik diri
4. Gangguan konsep diri : harga diri rendah b.d koping individu inefektif
5. Gangguan konsep diri : harag adiri rendah b.d berduka disfungsional
6. Resiko menciderai diri, orang lain, dan lingkungan b.d halusinasi
pendengararan
7. Defisit perawatan diri b.d kurangnya motivasi
8. Penatalaksanaan regiment terapeutik inefektif b.d koping inefektif

3. Rencana Tindakan Keperwatan


Perencanaan merupakan petunjuk dan pernyataan tertulis yang disusun
sebagai rancangan perawatan daalam mencapai tujuan dan kriteria yang
dapat mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan klien, yang dilaksanakan
oleh tim keperawatan. Menurut Depkes RI, (1999) adapun tahapan dalam
perencanaan berdasarkan diagnosa yang ditemukan pada klien dengan
gangguan konsep diri : harga diri rendah adalah sebagai berikut :

Isolasi sosial : menarik diri atau perilaku kekerasan berhubungan dengan


harga diri rendah.
a. Tujuan umum
Klien mampu berhubungan dengan orang lain secara optimal dan perilaku
kekerasan tidak terjadi.

b. Tujuan khusus
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b) Klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
c) Klien dapat mengekspresikan dirinya.
d) Klien dapat mengevaluasi dirinya.
e) Klien dapat membuat rencana yang realistis.
f) Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan harga diri.

c. Rencana tindakan
a) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi
terapeutik.
Rasional : sikap perawat yang terbukadapt mengurangi perasaan
terancam dan membantu klien menerima semua.
b) Diskusikan dengan klien kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
c) Beritahu klien bahwa tidak ada yang sempurna semua memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Rasional : menghadirkan realita pada klien.
d) Anjurkan klien untuk lebih meningkatkan kelebihan yang dimiliki.
Rasional : Memberikan kesempatan klien untuk berhasil lebuh tinggi.

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
inefektif
a. Tujuan umum
Klien dapat meningkatkan harga diri dengan menggunakan koping yang
efektif

b. Tujuan khusus
a) Klien dapat mengenalkan dan mengexpresikan emosinya.
b) Klien dapat memodifikasi pola kognitif yang positif.
c) Klien dapat berpartisipasi dlam pengambilan keputtusan
d) Klien dapat termotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistis.

c. Rencana tindakan
a) Tunjukan respon emosional dan menerima klien
Rasional : membantu klien untuk mengenal dan mengexpresikan
prasaannya dapat meningkatkan koping klien
b) Gunakan teknik komunikasi terapeiutik terbuka, esplorasi dan
klasifikasi.
Rasional : dengan komunikasi terapeutik klien dapat mengungkapkan
prasaannya secara terbuka
c) Bantu klien mengekpresikan prasaaannya berhubungan dengan ketidak
mampuannya.
Rasional : dapat membantu realita pada diri klien
d) Diskusiakan tentang masalah yang dihadapi klien dan tidak memintanya
untuk menyimpulkan.
Rasional : mendorong klien untuk mengungkapkan masallahnya
e) Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif
Rasional : dapat meningktkan harga diri dan realita pada diri klie

4. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan membantu klien mengidentifikasi penilaian tentang
situasi dan perasaan yang terkait, guna meningkatakan penilaian diri dan
kemudian melakukan perubahan perilaku.

Pendekatan penyelesaian maslah ini memerlukan tindakan yang bertahap


sebagai berikut ( Depkes RI, 2000) :
a. Memperluas kesadaran diri.
b. Menyelidiki diri.
c. Membuat perencanaan yang realistik.
d. Bertanggung jawab dalam bertindak.

5. Evaluasi keperwatan
Evaluasi keperwatan
Evaluasi merupakan langkar terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tuuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak.

Pada tahap evaluasi ada dua proses yaitu


a. Evaluasi proses.
Kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses keperwatan
berlangsung atau menilai dari respon.
b. Evaluasi hasil
Kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan.

c. Jenis evaluasi :
a) Evaluasi formatif
Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi
dengan respon segera seperti kaji ROM EKSTREMITAS ATAS Klien,
hasil evaluasi ROM mengalami keterbatasan dengan hasil pengkajian
gerakan sendi mangalami keterbatasan seperti pada fleksi siku 100
derajat ( normalnya 150 derajat).

b) Evaluasi sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien
pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada
tahap perencanaan. Di samping itu evaluasi juga alat ukur suatu
tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah
tujuan tercapai, tidak tercapai, atau tujuan tercapai sebagian

C. KONSEP GANGGUAN CITRA TUBUH


1. Pengertian
Citra tubuh adalah komponen dari konsep diri yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Citra tubuh adalah kumpulan
dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya,
termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang bentuk,
ukuran, fungsi, penampilan dan potensi.

Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap perubahan


bentuk, struktur dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan yang
diinginkan.

2. Penyebab
Beberapa penyebab gangguan citra tubuh adalah tindakan invasif
(pemasangan infuse, cateter, mag slang, oksigen), operasi, perubahan fungsi
(lumpuh, sesak nafas, buta dan tuli).

Faktor predisposisi gangguan citra tubuh menurut Suliswati, (2005) adalah:


a. Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
b. Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan
dan perkembangan atau penyakit)
c. Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun
fungsi tubuh.
d. Pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi.

3. Perilaku gangguan citra tubuh


Tanda dan gejala yang dapat diobservasi pada gangguan citra tubuh adalah:
a. Hilangnya bagian tubuh
b. Perubahan anggota tubuh baik bentuk maupun fungsi
c. Menyembunyikan atau memamerkan bagian tubuh yang terganggu
d. Menolak melihat bagian tubuh
e. Menolak menyentuh bagian tubuh
f. Aktivitas sosial menurun
Riyadi dan Purwanto, (2010) mengemukakan ciri-ciri gangguan citra tubuh
adalah:
a. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang telah berubah
b. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau akan terjadi
c. Menolak penjelasan perubahan tubuh
d. Persepsi negatif terhadap tubuh
e. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang
f. Mengungkapkan keputusasaan dan ketakutan

D. PROSES ASUHAN KEPERAWAAN CITRA TUBUH


1. Pengkajian
Faktor Predisposisi
a. Faktor Predisposisi gangguan citra tubuh :
a) kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
b) perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan
dan perkembangan/penyakit)
c) proses patologis penyakit dan dampak terhadap struktur maupun
fungsi tubuh
d) prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi.

b. Faktor Predisposisi gangguan Identitas diri :


a) ketidak percayaan orang tua terhadap anak
b) tekanan dari teman sebaya
c) perubahan struktur social

c. Faktor Predisposisi gangguan harga diri :


a) penolakan dari orang lain
b) kurang penghargaan
c) pola asuh yang salah ; terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu
dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten.
d) persaingan antar saudara
e) kesalahan dan kegagalan yang berulang
f) tidak mampu mencapai standar yang ditentukan.

d. Faktor Predisposisi gangguan peran :


a) transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan,
perubahan situasi dan keadaan sehat-sakit.
b) ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang
bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi.
c) keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuan tentang harapan
peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku yang spesifik
dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai
d) peran yang terlalu banyak.

Faktor Presipitasi
a. Trauma
Masalah spesifik sehubungan dengan konsep diri adalah situasi yag
membuat individu sulit menyesuaikan diri/tidak dapat menerima khususnya
trauma emosi seperti penganiayaan fisik, seksual dan psikologis pada
masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya/menyaksikan
kejadian berupa tindak kejahatan.
b. Ketegangan peran
Keteganga peran adalah perasaan prustasi ketika individu mersa tidak
adekuat melakukan peran/melakukan peran yang bertentangan dengan
hatinya/tidak merasa cocok dalam melakukan perannya.

Perubahan perilaku
a. Perubahan perilaku pada gangguan citra tubuh :
a) menolak menyenyuh/melihat bagian tubuh tertentu
b) menolak bercermin
c) menolak usaha rehabilisasi
d) menyangkal cacat tubuh
e) usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat

b. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah :


a) mengkritik diri sendiri
b) merasa bersalah dan khawatir
c) merasa tidak mampu
d) menunda keputusan
e) gangguan berhubungan

c. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan keracunan identitas :


a) keperibadian yang bertentangan
b) perasaan hampa
c) kekacauan identiatas seksual
d) kecemasan yang tinggi

d. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan depersonalisasi :


Afektif
a) kehilangan identitas diri
b) merasa asing dengan diri sendiri
c) perasaan tidak nyata
d) merasa sangat terisolasi

Persepsi
a) halusinasi pendengaran
b) kekalauan identitas seksual
c) gangguan citra tubuh

Kognitif
a) bingung
b) diserpentasi waktu
c) gangguan berpikir

Perilaku
a) pasif
b) kurang spontanitas
c) kurang pengendalian diri.
Mekanisme Koping
Klien ganguan konsep diri menggunakan mekanisme koping yang dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu :

a. Koping jangka pendek, karakteristik koping jangka pendek :


a) aktivitas yang dapat memberi kesempatan lari sementara dari kritis
b) Miasalnya : menonton TV, kerja keras, olahraga berat.
c) aktivitas yang dapat memberikan identitas penggati sementara.
d) Misalnya : ikut kegiatan sosial, politik, agama.

b. Koping jangka panjang, dikategorikan dalam penutupan identitas dan


identitas negatif
a) penutupan identitas, adopsi identitas prematur yang yang diinginkan
oleh orang yang penting bagi individu tanpa mempertahankan
keinginan.
b) Identitas negatif, asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat
diterima oleh niali-nilai dan harapan masyarakat.

Mekanisme pertahanan ego


Yang sering dipakai adalah :
a. fantasi → kemampuan menggunakan tanggapan-tanggapan yang sudah ada
utuk menciptakan tanggapan baru
b. disosiasi → respon yang tidak sesuai dengan stimulus
c. isolasi → menghindarkan diri dari interaksi dengan lingkungan luar
d. proyeksi → kelemahan dan kekurangan pada diri sendiri dilontarkan pada
orang lain.

2. Merumuskan masalah
a. Analisa Data
Data Subyektif
Pasien merasa tidak dapat menerima keadaan dirinya
Data Obyektif
a) Pasien menolak melihat anggota tubuh yang berubah
b) Pasien menolak penjelasan perubahan tubuhnya
Masalah Keperawatan
Gangguan citra tubuh / gambaran diri

b. Diagnosa Keperawatan jiwa


Setelah Anda melakukan analisa data dan merumuskan masalah langkah
selanjutnya adalah menegakkan diagnose keperawatan yaitu Gangguan
Citra Tubuh

Setelah menetapkan diagnose keperawatan apa langkah selanjutnya?


Membuat pohon masalah. Gambar dibawah ini merupakan contoh pohon
masalah pada gangguan citra tubuh. Diskusikanlah dengan teman Anda
cara membuat pohon masalah pada kasus
gangguan citra tubuh.

Diagnosa keperawatan yang mungkin ditemukan pada klien dengan


gangguan konsep diri adalah :
a) Gangguan konsep diri : Citra tubuh yang berhubungan dengan
kehilangan anggota tubuh / kekhawatiran menjadi gemuk
b) Gangguan konsep diri rendah
c) Ketidak efektipan penampilan peran yang berhubungan dengan
ketidakcocokan dengan penerimaan peran baru
d) Gangguan identitas diri yang berhubungan dengan harapan orang tua
yang tidak realistik.

POHON MASALAH

HARGA DIRI
RENDAH EFFEC

GGN.CITRA TUBUH CASE PROBLEM

KEHILANGAN CAUSA
ANGGOTA TUBUH

GAMBAR 2.1
POHON MASALAH GANGGUAN CITRA TUBUH

DX.KEP.JIWA : GGN. CITRA TUBUH B/D


KEHILANGAN ANGGOTA TUBUH

3. Rencana keperawatan
Membangun keterbukaan dan hubungan saling percaya, dengan cara :
a. Tawarkan penerimaan tak bersyarat atau tidak kaku
b. Dengarkan klien
c. Dorong klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaan
d. Berespons pada klien dengan tidak menghakimi
e. Tunjukkan pada klien bahwa ia adalah indivudu yang berharga yang
bertanggung jawab terhadap dirinya dan dapat membantu diri sendiri

Bekerja pada klien pada tingkat kemampuan yang dimilikinya,dengan cara:


a. Identifikasi kemampuan yang dimiliki klien
b. Pedoman asuhan untuk klien yang kemampuan yang terbatas
c. Mulai dengan penegasan identitasnya
d. Memberikan tindakan yang mendukung untuk menurunkan tingkat
kecemasannya
e. Dekati klien dengan cara tanpa diminta
f. Terima dan usahakan klasifikasi komunikasi verbal dan non-verbal
g. Cegah klien untuk mengisolasi diri
h. Ciptakan kegiatan rutin yang sederhana pada klien
i. Buat batasan pada perilaku yang tidak sesuai
j. Orientasikan klien ke realita
k. Dorong untuk melakukan perilaku yang tepat dan beri pujian dan
pengakuan
l. Bantu dalam melakukan kebersihan perseorangan dan penampilan diri
m. Dorong klien untuk merawat diri sendiri

Memaksimalkan peran serta klien dalam hubungan terapeutik dengan cara:


a. Tingkatkan secara bertahap partisipasi klien dalam mengambil keputusan
yang berhubungan dengan asuhan keperawatannya
b. Tunjukan bahwa klien adalah orang yang bertanggung jawab.

Membantu klien untuk menerima pikiran dan perasaannya :


a. Mengekspresikan emosi, keyakinan, perilaku dan pikiran secara verbal dan
non-verbal gunakan keterampilan komunikasi teurapetik dan respons
empati
b. Observasi dan catat pikiran yang logis dan tidak logis serta respons
emosionalnya.

Membantu pasien mengklasifikasikan konsep dirinya dan hubungannya dengan


orang lain melalui keterbukaan
a. Dapatkah persepsinya tentang kekuatan dan kelemahannya
b. Bantu klien untuk menggambarkan ideal dirinya
c. Identifikasi kritik tentang dirinya
d. Bantu klien untuk menggambarkan hubungannya dengan orang lain

Menyadari dan memiliki kendali terhadap perasaan anda (perawat) :


a. Terbuka pada perasaan dengan orang (klien)
b. Gunakan diri secara teurapetik
a) berbagi perasaan dengan orang (klien)
b) verbalisasi bagaimana perasaan orang lain
c) bercermin pada persepsi dan perasaan klien

berespons empati bukan simpati dan tekankah bahwa kekuatan untuk berubah
ada pada klien :
a. gunakan respons empati, evaluasi diri tentang simpati
b. mengutatkan klien bahwa ia mempunyai kekuatan dalam memecahkan
masalahnya
c. beritahukan pada klien bahwa ia bertanggung jawab terhadap perilakunya
termasuk respons koping adaftif dan maladaftif
d. diskusikan cakupan pilihan, area kekuatan dan sumber-sumber koping yang
tersedia untuk klien
e. gunakan sitem pendukung dari keluarga dan kelompok untuk memfasilitasi
penyediaan diri klien
f. bantu klien untuk mengenli sifat dari konflik dan cara maldaftif yang
dilakukan klien untuk mengatasinya

Bantu klien untuk mengidentifikasi alternatif pemecahan :


a. bantu klien memahami bahwa hanya dia yang dapat mengubah dirinya
bukan orang lain.
b. Jika klien mempunyai persepsi yang tidak konsisten, bantu dia melihat
bahwa ia dapat berubah, sebagai berikut :
a) keyakinan dan idealnya dapat membawa ia pada kenyataan
b) lingkungan untuk membuat konsisten dengan keyakinannya.
c. Jika konsep diri tidak konsisten dengan perilakunya, ia dapat berubah
a) Perilakunya disesuaikan dengan konsep dirinya
b) Keyakinan yang mendasari konsep dirinya disesuaikan pada perilaku
c) Ideal dirinya.bersama-sama mengulas bagaimana sumber koping dapat
lebih baik digunakan klien

Bantu klien mengembangkan tujuan yang realistis


a. dorong klien untuk merumuskan tujuan sendiri (bukan tujuan perawat)
b. bersama-sama mendiskusikan konsekuesnsi emosi, praktiknya dan
berdasarkan realitas dari setiap tujuan.
c. Bantu klien untuk menetapkan perubahan konkret yang diharapkan
d. Dorong klien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang secara
potensial
e. Gunakan bermain peran, model peran dan visualisasi, bila perlu.

4. Implementasi
Tindakan keperawatan membantu klien mengidentifikasi penilaian tentang
situasi dan perasaan yang terkait, guna meningkatakan penilaian diri dan
kemudian melakukan perubahan perilaku.

Pendekatan penyelesaian maslah ini memerlukan tindakan yang bertahap


sebagai berikut ( Depkes RI, 2000) :
a. Memperluas kesadaran diri.
b. Menyelidiki diri.
c. Membuat perencanaan yang realistik.
d. Bertanggung jawab dalam bertindak.

5. Evaluasi keperwatan
Pasien akan mencapai tingkat aktualisasi diri yang maksmal untuk menyadari
potensi dirinya.

6. Dokumentasi
Suatu catatan keperawatan yang terdiri dari 5 proses keperawatan ;
pengkajian, diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Tambahan Intervensi gangguan citra tubuh (berbasis SDKI, SLKI, SIKI) :


1. Observasi
a. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan
b. Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin, dan umur terkait citra tubuh
c. Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan isolasi sosial
d. Monitor frekuensi pernyataan kritik tehadap diri sendiri
e. Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang berubah

2. Terapiutik
a. Diskusikan perubahn tubuh dan fungsinya
b. Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap harga diri
c. Diskusikan akibat perubahan pubertas, kehamilan dan penuwaan
d. Diskusikan kondisi stres yang mempengaruhi citra tubuh (mis.luka,
penyakit, pembedahan)
e. Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh secara realistis
f. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan citra tubuh
3. Edukasi
a. Jelaskan kepad keluarga tentang perawatan perubahan citra tubuh
b. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap citra tubuh
c. Anjurkan menggunakan alat bantu (mis. Pakaian , wig, kosmetik)
d. Anjurkan mengikuti kelompok pendukung( mis. Kelompok sebaya).
e. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f. Latih peningkatan penampilan diri (mis. berdandan)
g. Latih pengungkapan kemampuan diri kepad orang lain maupun kelompok

E. KONSEP DASAR KEHILANGAN DAN BERDUKA


1. Pengertian
Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah
suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.

Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu


selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan
dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan


merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang-
orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula
(keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada)

Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang


bersifat universal dan unik secara individu.
1. Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan
adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau
seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau
dialami.

2. Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang diakibatkan oleh transisi


kehidupan normal untuk pertama kalinya.

3. Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba


dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak
orang yang dicintai atau keduanya.

Anak yang mulai belajar berjalan kehilanga citra tubuh semasa


bayinya,wanita yang mengalami menopause kehilangan kemampuan untuk
mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja mungkin akan
kehilangan harga dirinya.
4. Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan
aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan
berkabung.

Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap


kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses
yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati
dukacita.

2. Factor-faktor / Bentuk-bentuk kehilangan


a. Kehilangan orang yang berarti
b. Kehilangan kesejahteraan
c. Kehilangan milik pribadi

3. Sifat Kehilangan
a. Tiba – tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan,
bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.

b. Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)


Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan
yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian
menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit
selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar
terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih
banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.

Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna


kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan
menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu
mengatasi kehilangan.

Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi


peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali
ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.

4. Tipe dan jenis


a. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan.

b. Perceived Loss ( Psikologis )


Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba
atau dinyatakan secara jelas.
c. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan
yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien
(anggota) menderita sakit terminal.Tipe dari kehilangan dipengaruhi
tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan
distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.

Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara


berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress
lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang
yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters
emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak
pernah bertemu selama bertahun-tahun.

Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang


bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak
yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang
nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau
prestise.

d. Lima kategori kehilangan


a) Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana
alam.

Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang


hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai
yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.

b) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal


Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode
tertentu atau kepindahan secara permanen.

Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit.


Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat
terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia
pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya
mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana
alam.
c) Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet
terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset
membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan
sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan
atau kematian.

d) Kehilangan aspek diri


Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup
anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan
fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau
usus, mobilitas, atau fungsi sensori.

Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri,


percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat
penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau
situasi.Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan sejatera individu.

Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan


tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh
dan konsep diri.

e) Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana
orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon
terhadap penyakit yang mengancam- hidup kedalam enpat fase. Fase
presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau factor
resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.

Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan


pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang
diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien
yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi
kemungkinan, tetapi pasti terjadi.

Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan
kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh
dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang
lain, dan dukungan adekuat.
e. Fase/tahapan kehilangan dan berduka
Proses kehilangan terdiri dari berbagai macam proses, diantaranya:
a) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu
berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan
– perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.

b) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu


berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit
fisik.

c) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –


individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan
– mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.

d) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –


individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif –
diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan
bersalah – ketidakberdayaan.

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap


kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik
terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif
(konstruktif).

Fase kehilangan menurut Engel:


a) Pada fase ini individu menyangkal realitas kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk tidak bergerak atau menerawang tanpa tujuan.
Reaksi fisik dapat berupa pingsan, diare, keringat berlebih.

b) 2.Pada fase kedua ini individu mulai merasa kehilangan secara tiba-
tiba dan mungkin mengalami keputusasaan secara mendadak terjadi
marah, bersalah, frustasi dan depresi.

c) Fase realistis kehilangan. Individu sudah mulai mengenali hidup, marah


dan depresi, sudah mulai menghilang dan indivudu sudah mulai
bergerak ke berkembangnya keasadaran.

Sedangkan, menurut Kubler Ross ( 1969 ) terdapat 5 tahapan proses


kehilangan:
a) Denial (Mengingkari)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan
mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak
mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit
terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah,
pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut
diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
tahun.

b) Anger (Marah)
Sadar kenyataan kehilangan Proyeksi pada org sekitar tertentu, diri
sendiri dan obyek Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan
kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang
meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di
lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri.

Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak


pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

c) Bergaining (Tawar Menawar)


Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan Tuhan.

Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian


itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses
berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut
sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.

d) Depression ( Bersedih yang mendalam)


Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik
diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang
sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering
diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan
libido menurun.
e) Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang,
atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang
dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai
dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang
baru.

Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti


”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru
saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya
cepat sembuh”.

Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada
fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses
berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.

Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai
pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit
baginya masuk pada fase penerimaan.

Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah


dapat lepas pd obyek yg hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat
saya lakukan”.

Fase berduka menurut Rando:

a) Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan
b) Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka
paling dalam.
c) Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social sehari-hari
dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.

Menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) 3 fase :


a) Repudiation ( Penolakan )
b) Recognition ( Pengenalan )
c) Reconciliation (Pemulihan /reorganisasi )
5. Faktor yang mempengaruhi cara setiap individu merespon kehilangan.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi setiap individu dalam merespon
kehilangan. Karakteristik personal termasuk usia, jenis kelamin, setatus
social ekonomi, yang hilang, karakteristik kehilangan, keyakinan cultural, dan
spiritual, system pendukung, dan potensi pencapaian tujuan mempengaruhi
respon terhadap kehilangan.

a. Karakteristik Personal
Usia. Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi individu
yerhadap kehilanga. Respon anak beragam sesuai dengan usia, pengalaman
kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal, kepribadian,
persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang mereka
miliki dan yang terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan.

Meskipun anak-anak mungkin tidak memahami konsep kematian karena


usia mereka, mereka tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna
kehilangan bagi mereka. Anak-anak mungkin merasa bersalah karena
tetap hidup, tetap sehat, atau mempunyai permintaan untuk kematian
orang yang mereka cintai (Wheeler 7 pike,1993).

Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status,


peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraiandan kerusakan
fisik menyebabkan dukacita lebih mendalam dan mengan cam
keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar
merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural.

Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal


yang tragis oleh masyarakatkarena kematian tersebut adalah kehilangan
kehidupan seseorang yang disadari sbg suatu potensi. Kehilangan
seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman
bermakna terhadap gaya hidup.

Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan


menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orag dewasa.Lansia
mengalami kepenumpukan kedukaan akibat dari banyak perubahan. Lansia
sering takut tentang kejadoan sekitar kematian melebihi kematian itu
sendiri.

Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi, kehilangan peran social,


penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan determinasi diri dan jati
diri sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian(Rando, 1986,
Kastenbaum, 1991).
Peran jenis kelamin. Reaksi kehilangn dipengaruhi oleh harapan social
tentang peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat
dan Kanada,umunya lebiah sulit bagi pria disbanding dengan wanita untuk
mengespresikan dukacita secara terbuka.

Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian tubuh,


fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.Pendidikan dan status
sosioekonomi. Kehilanhgan adalah universal, dialami oleh setiap orang
apapun status ekonominya.Umunyan, kekurangan sumber financial,
pendidikan atau keteramoilan pekerjaan memperbesar tuntutan kepada
pihak yang mengalmi dukacita.

b. Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua berarti kehilanga masa
lalu, kehilangan pasangan berati kehilangan masa kini dan kehilangan anak
berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung keyakinan bahwa
kehilangan akan menciptakan respon kehilangn yang paling dalam
(Saunders, 1992).

Reaksi terhadap kehilangan di pengaruhi oleh kualitas hubungan. Makna


hubungan pada hubungan duka akan mempengaruhi respon dukacita,
apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atu bercerai.
Hubungan yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk
diselesaikan dibandingkan hubungan yang normal.

Salah satu peristiwa yang paling memyulitkan dalam hidup aslah


kehilangan pasangan. Kehilangan pasangan dapat menyebabkan
pasangannya menjadi kurang terampil dalam menghadapi tangung jawab
keseluruhan. Kehilangna pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi
pasangan yang ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau untuk
mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau dibentuk
bersama.

c. Sistem pendukung social


Vasibilitas kehilanga, seperti kehilanga rumah akibat bencana alam,
sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan.
Vasibilitas kehlangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan
kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses
kehilangan tersebut.

Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan


gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya.
Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalm keberhasilan
resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepata waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan
harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung.
Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan
pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan
ketika hal ini di berikan, umunya klien yang berduka belum dapat
memanfaatkan kesempatan tersebut.

d. Keyakinan spiritual dan budaya


Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural yang
mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, dukacita, dan kematian. Latar
belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi pengekspresian
berduka.

Seseorang mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan dan makna


dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian
klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai
pribadi, dan keyakinan. Secara khas hal ini di tunjukan dengan
respon”mengapa saya?” Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan
dapat juga terjadi.

6. Dukacita, berkabung, dan kehilangan karena kematiaan


Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan
aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan
berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik
terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991).

Dukacita merupakan respon individu atau reaksi emosi dari kehilangan dan
terjadi karena kehilangan seperti : kehilangan hak, kehilangan hak hidup,
menuju kematian. Berkabung adalah keadaan berduka yang ditunjukkan
selama individu melewati reaksi berduka, seperti mengabaikan keadaan
kesehatan secara ekstrim. Berkabung merupakan proses yang mengikuti suatu
kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.

Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan


dan berkepanjangan.Tujuan duka cita adalah untuk mencapai fungsi yang
lebih efektif dengan mengintekgrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup
klien. Worden (1982), empat tugas dukacita yang memudahkan penyesuaian
yang sehat terhadap kehilangan , dan Harper (1987) merancang tugas dalam
akronim”TEAR”.

a. T: Untuk menerima realitas dari kehilangan


b. E; Mengalmi kepedihan akibat kehilangan
c. A: Menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau
aspek diri yang hilang
d. R: Memberdayakan kembali energy emosional kedalam hubungan yang
baru.

Tugas ini tidak terjadi pada urutan yang khusus. Pada kenyataanya orang
yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan
atau hanya satu atau dua yang menjadi preoritas.

Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi,


perencanaan, dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam merespons
terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan dan pengenalan
tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa
dating. Dukacita adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang
mempunyai efek jangka panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus
eritomatosus sistemik.

Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang


tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang luas, atau didukung secara social.
Dukacita mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara berduka
dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal.

Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan,


dorongan dari orang lain, dan dorongan yang adekuat. Dalam kasus lain
kehilangan itu sendiri tidak didefinisikan secara secara social sebagai
sesuatu yang signifikan, seperti halnya kematian perinatal, aborsi, atau
adopsi.Kehilangan hewan peliharaan mungkin dipandang sebagai sesuatu yang
signifikan.

Berduka – Tanda Gejala, Penyebab dan Rencana Asuhan Keperawatan (SDKI)


1. Definisi
Berduka adalah respon psikososial yang ditunjukan oleh klien sebagai
akibat dari kehilangan, baik kehilangan orang, objek, fungsi, bagian
tubuh atau hubungan.

2. Penyebab
Penyebab kondisi berduka dapat ditimbulkan oleh beberapa situasi seperti
dibawah ini;
a. Kematian anggota keluarga atau orang yang berarti
b. Antisipasi kematian keluarga atau orang yang berarti
c. Kehilangan (pekerjaan, objek, fungsi, status, bagian tubuh atau
hubungan sosial)
d. Antisipasi kehilangan (pekerjaan, objek, fungsi, status, bagian tubuh
atau hubungan sosial)
3. Gejala dan Tanda Mayor
a. Subjektif
a) Merasa sedih
b) Merasa bersalah atau menyalahkan orang lain
c) Tidak menerima kehilangan
d) Merasa tidak ada harapan
b. Objektif
a) Menangis
b) Pola tidur berubah
c) Tidak mampu berkonsentrasi

4. Gejala dan Tanda Minor


a. Subjektif
a) Mimpi buruk atau pola mimpi berubah
b) Merasa tidak berguna
c) Fobia
b. Objektif
a) Marah
b) Panik
c) Fungsi imunitas terganggu

5. Kondisi Klinis Terkait


a. Kematian anggota keluarga atau orang terdekat
b. Amputasi
c. Cedera medula spinalis
d. Kondisi kehilangan perinatal
e. Penyakit terminal (semisal kanker)
f. Putus hubungan kerja

6. Tujuan & Hasil yang Diharapkan


Setelah dilakukan perawatan:
a. Klien mampu menyatakan secara verbal perilaku-perilaku yang
berhubungan dengan tahap-tahap berduka
b. Klien mampu mengakui posisinya sendiri dalam proses berduka
c. Klien mampu secara mandiri menentukan pemecahan masalah
berhubungan dengan kehilangan yang dialaminya
d. Klien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-
perilaku yang berlebihan berhubungan dengan disfungsi berduka dan
mampu melaksanakan aktivitas kehidupannya sehari-hari secara
mandiri
7. Intervensi Asuhan Keperawatan
Intervensi
Tentukan pada tahap mana pasien terfiksasi dalam tahap berduka.
Identifikasi perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap ini.
Rasional
Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan
keperawatan yang efektif bagi klien yang berduka.

Intervensi
Kembangkan hubungan saling percaya dengan klien. Perlihatkan empati dan
perhatian. Jujur dan tepati semua janji.
Rasional
Rasa percaya merupakan dasar untuk suatu kebutuhan yang terapeutik
antara perawat dan klien.

Intervensi
Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan klien untuk mengekspresikan
perasaannya secara terbuka.
Rasional
Sikap menerima menunjukan pada klien bahwa ia adalah seorang pribadi
yang bermakna sehingga rasa percaya diri klien akan meningkat.

Intervensi
Dorong klien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan defensif jika
permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada perawat. Bantu pasien
mengeksplorasi perasaan marahnya.
Rasional
Pengungkapan perasaan secara verbal dalam suatu lingkungan yang tidak
mengancam dapat membantu klien sampai kepada hubungan dengan
persoalan-persoalan yang belum terpecahkan.

Intervensi
Bantu klien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam dengan
berpartisipasi dalam aktivitas positif motorik kasar semisal joging atau
olahraga lainnya.
Rasional
Latihan fisik memberika suatu metode yang aman dan efektif untuk
mengeluarkan kemarahan yang terpendam.

Intervensi
Ajarkan klien tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku
yang berhubungan dengan seriap tahap.
Rasional
Pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang berhubungan
dengan berduka yang normal dapat menolong mengurangi beberapa
perasaan bersalah yang menyebabkan timbulnya respon-respon negatif
dari berduka.

Intervensi
Bantu klien dalam memecahkan masalahnya sebagau usaha untuk
menentukan metode-metode koping yang lebih adaptif terhadap
pengalaman kehilangan.Berikan umpan balik positif untuk setiap
identifikasi dan strategi dalam pembuatan keputusan.
Rasional
Umpan balik positif meningkatkan harga diri klien dan mendorong
pengulangan dari perilaku positif yang diharapkan.

F. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA


1. Masalah Utama
Kehilangan dan Berduka
2. Proses terjadinya masalah
a. Definisi Kehilangan
Kehilangan adalah perubahan dari sesuatu yang ada menjadi tidak ada
atau situasi yang diharapkan terjadi tidak tercapai. Dapat dikatakan
bahwa kehilangan adalah suatu kondisi ketika seseorang mengalami
kekurangan sesuatu yang sebelumnya ada, misalnya kematian orang yang
dicintai atau bias pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berduka adalah respon individu terhadap kehilangan. Lama proses


berduka sangat individual dan dapat terjadi sampai beberapa tahun, fase
akut berduka biasanya berlangsung 6-8 minggu dan penylesaian respon
kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan
sampai 3 tahun.(Budi ana dkk:89;2007)

b. Rentang Respon
Peningkatan marah tawar-menawar depresi menerima

Fase peningkatan
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar
terjadi, dengan mengatakan “tidak”, saya tidak percaya itu terjadi atau
itu tidak mungkin terjadi (Prabowo, 114:2014)

Fase marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan individu menunjukan rasa marah yang meningkat
yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri.
(Prabowo, 115:2014)
Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan
kepada tuhan.( Prabowo, 115:2014)

Fase depresi
Pada fase ini individu sering menunjukan sikap menarik diri, kadang
sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, manyatakan keputusan,
perasaan tidak berharga, dan sebagainya. (Prabowo, 115:2014)

Fase penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai
berkurang sampai hilang. (Prabowo, 115:2014)

c. Proses Terjadinya Masalah


Factor predisposisi
Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah :
a) Factor genetic
b) Kesehatan jasmani
c) Kesehatan mental
d) Pengalaman kehilangan masa lalu
e) Struktur kepribadia.
(Prabowo, 116:2014)

Factor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kihilangan,
diantaranya :
a) Kehilangan kesehatan
b) Kehilangan fungsi seksualitas
c) Kehilangan peran dalam keluarga
d) Kehilangan posisi di masyarakat
e) Kehilangan orang yang dicintainya
f) Kehilangan kewarganegaraan
(Prabowo, 116:2014)

d. Tanda Dan Gejala


Tanda khas dari kehilangan-berduka :
a) Perasaan sedih, menangis
b) Perasaan putus asa
c) Mengahiri kehilangan
d) Kesulitan mengekspresikan kehilangan
e) Konsentrasi menurun
f) Kemarahan berlebihan
g) Tidak berminat berinteraksi dengan orang lain
h) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
i) aktivitas.
(Prabowo, 117:2014)

e. Akibat
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan
dan berduka adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik
terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif. (Prabowo,
117:2014)

f. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain :
denial, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. (Prabowo, 117:2014)

g. Penatalaksanaan
Menurut Dalami, dkk (2009) kehilangan dan berduka termasuk dalam
kelompok penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis
penatalaksaannya yang bias dilakukan adalah :

Electro convulsive therapy (ETC)


Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak
dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan di area temporal
kepala (pelipis kanan dan kiri).
Tujuan dilakukan ECT yaitu terapi yang digunakan untuk mengobati:
(a) Gangguan efek yang berat pasien dengan depresi berat tidak
(b) berespon terhadap obat anti depresan dengan ECT diharapkan
(c) pasien menunjukkan respon yang baik dengan ECT 80-90%.
(d) Gangguan skisofenia: skisifenia kata tonik tipe stufor atau tipe
(e) exsided memberik respon yang baik dengan ECT.
(f) Pasien bunuh diri : ECT digunakan ketika pasien menimbulkan
(g) ancaman bagi diri sendiri.
(h) Pada pasien hipoaktifitas penggunaan ECT sangat dianjurkan pagie
(i) pasien tersebut (Townsend,2001)

Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapiutik meliputi : memberikan rasa aman dan
tenang, menciptakan lingkungan yang terapiutik, bersikap ramah,
memotivasi pasien, sopan kepada pasien. (Prabowo, 118:2014)
Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud
untuk memperbaiki diri seseorang. (Prabowo, 118:2014)

Jenis terapi okupasi :


Waktu luang
Aktifitas mengisi waktu luang adalah aktifitas yang dilakukan pada waktu
luang yang bermotifasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta
mengalihkan perhatian pasien. Aktifitas tidak wajib yang pada hakikatnya
kebebasan beraktifitas.

Ada pun jenis-jenis aktifitas waktu luang seperti


menjelajah waktu luang (mengidentifikasi minat, keterampilan,
kesempatan, dan aktifitas waktu luang yang sesuai) dan partisipasi waktu
luang (merencanakan dan berpartisipasi dalam aktifitas waktu luang yang
sesuai, mengatur keseimbangan waktu luang dengan kegiatan yang lainnya,
dan memperoleh, memakai, dan mengatur peralatan dan barang yang
sesuai (Creek,2003)

h. Diagnosa Keperawatan
Diagnose tuggal :
Isolasi social : menarik diri
Diagnosa ganda :
a) Perubahan sensori persepsi halusinasi b/d menarik diri
b) Isolasi social menarik diri b/d koping individu inefektif

i. Rencana Asuhan Keperawatan


Tujuan umum:
Pasien dapat beriteraksi dengan orang lain
Tujuan khusus:

TUK I
Dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria hasil:
Setelah….x pertemuan, pasien dapat menerima kehadiran perawat. Pasien
dapat mengungkapkan perasaan dan keberadaanya saat ini secara verbal:

a) Mau menjawab salam


b) Ada kontak mata
c) Mau berjabat tangan
d) Mau berkenalan
e) Mau menjawab pertanyaan
f) Mau duduk berdampingan dengan perawat
g) Mau mengungkapkan perasaanya

Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan prisip komunikasi terapiutik
a) Sapa pasien dengan ramah dan baik verbal maupun non
b) verbal
c) Perkenalkan diri dengan sopan
d) Tanyakan nama lengkap pasien dan nama kesukaan pasien
e) Jelaskan tujuan pertemuan
f) Buat kontrak interaksi yang jekas
g) Jujur dan menepati janji
h) Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
i) Ciptakan lingkungan yang tenang dang bersahabat
j) Beri perhatian dan penghargaan

TUK 2
Pasien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Kriteria hasil
Setelah….x pertemuan, pasien dapat menyebutkan minimal suatu
penyebab menarik diri yang berasal dari:
a) Diri sendiri
b) Orang lain
c) Lingkungan

Intervensi
a) Tanyakan pada pasien tentang
(a) Orang yang tinggal serumah atau teman sekamar pasien
(b) Orang terdekat pasien dirumah atau diruang perawatan
(c) Apa yang mebuat pasien dekat dengan orang tersebut
(d) Hal-hal yang membuat pasien menjauhi orang tersebut
(e) Upaya yang telah dilakukan untuk mendekatkan diri dengan orang
lain

b) Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan tanda-


tandanya
c) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri dan tidak mau bergaul
d) Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri, tanda serta
penyebab yang muncul

TUK 3
Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian apabila tidak berhubungan dengan orang lain
Kriteria hasil:
Setelah…x pertemuan pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan
dengan oran lain.

Missal:
a) Banyak teman
b) Tidak kesepian
c) Bias diskusi
d) Saling menolong

Setelah…x pertemuan pasien dapat menyebutkan kerugian tidak


berhubungan dengan orang lain
Missal:
a) Sendiri
b) Tidak punya teman atau kesepian
c) Tidak ada teman ngobrol

Intervensi
a) Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
b) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
tentang berhubungan dengan orang lain
c) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang
kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
d) Diskusikan bersama tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
e) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain

TUK 4
Pasien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
Kriteria hasil:
Setelah…..x interaksi, pasien dapat mendemontrasikan hubungan social
secara bertahab k-p k-k-p lain, k-p-p lain-k lain, kpkel/kelompok
masyarakat

Intervensi
Observasi saat berhubungan dengan orang lain
Beri motivasi dan bantu pasien untuk berkenalan/berkomunikasi dengan
orang lain melalui:
a) pasien-perawat, pasien ke perawat ke perawat lain, pasien ke perawat
perawat lain ke pasien lain, pasien ke perawat perawat lain ke pasien
ke masyarakat
b) Beri reinforcemen positif atas keberhasilann yang telah dicapai
c) Bantu pasien untuk mengefaluasi manfaat berhubungan dengan orang
lain
d) Beri motifasi dan libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok
sosialisasi
e) Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama pasien dalam
mengisi waktu luang

TUK 5
Pasien dapat mengungkapakan perasaannya setelah berhubungan dengan
orang lain.
Kriteria hasil:
Setelah…x interaksi, pasien dapat mengungkapan perasaan
setelahberhubungan dengan orang lain untuk diri sendiri dan orang lain
untuk:
a) Diri sendiri
b) Orang lain
c) Kelompok

Intervensi
a) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaanya bila berhubungan
dengan orang lain/kelompok.
b) Diskusikan dengan pasien tentang perasaan manfaat berhubungan
dengan orang lain
c) Beri reinforcement atas kemampuan pasien mengungkapkan
perasaannya berhubungan dengan orang lain.

TUK 6
Pasien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga mampu
mengembangkan kemampuan pasien untuk berhubungan dengan orang lain
Kriteria hasil :
setelah…x pertemuan keluarga dapat menjelaskan tentang :
a) Pengertian menarik diri dan tanda kejalanya
b) Penyebab akibat dan akibat menarik diri
c) Cara merawat pasien dengan menarik diri

Setelah…x pertemuan keluarga dapat mendemoktrasikan cara


merawat pasien dengan menarik diri

Intervensi
a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga : salam, perkenalkan
diri, sampaikan tujuan, buat kontrak xplorasi perasaan keluarga,.
b) Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai pendukung untuk
mengatasi perilaku menarik diri
c) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang : perilaku menarik diri,
penyebab perilaku menarik diri, akibat yang akan terjadi perilaku
menarik diri tidak ditanggapi, cara keluarga menghadapai pasien
menarik diri
d) Diskusikan potensin keluarga untuk membantu mengatasi pasien
menarik diri
e) Latih keluarga merawat pasien menarik diri
f) Anjurkan anggota keluarga untuk member dukungan kepada pasien
untuk berkomunikasi dengan orang lain
g) Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk
pasien minimal 1kali seminggu
h) Beri reinforcemen atas hal-hal yang telah dicapai keluarga

TUK 7
Pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
Kriteria hasil :
setelah…x interaksi, pasien menyebutkan
a) Manfaat minum obat
b) Kerugian tidak minum obat
c) Nama, warna,dosis, efek samping obat
Setelah… x interaksi, pasien mampu mendemoktrasikan
penggunaan obat dan menyebutkan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter
Itervensi
a) Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan keuntungan tidak
minum, serta karakteristik obat yang diminum
(nama,dosis,rekuensi,efeksamping minum obat)
b) Batu dalam menggunakan obat dengan menggunakan prinsip 5benar
(benar pasien, obat, dosis, cara,waktu).
c) Anjurkan pasien minta sendri obatnya kepada perawat agar pasien
dapat merasakan manfaatnya
d) Beri reinforcemen positif bila pasien menggunakan obat dengan benar
e) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
f) Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter / perawat apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.(Prabowo,215-217:2014)

STRATEGI PELAKSANAAN TINDKAN KEPERAWTAN (SPTK)


Masalah : Isolasi sosial : Menarik diri
Pertemuan ke : 1

A. Proses keperawatan
1. Kondisi klien
a. Klien kurang mampu memulai pembicaraan
b. Klien terlihat murung pandangan mata sayu
2. Diagnose keperawatan
Menarik diri
3. Tujuan
TUM : Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Klien menununjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat :

a. Mau menjawab salam


b. Ada kontak mata
c. Mau berjabat tangan
d. Mau berkenalan
e. Mau menjawab pertanyaan
f. Mau duduk berdampingan dengan perawat
g. Mau mengungkapkan perasaannya

4. Rencana tindakan keperawatan


a. Bina hubungan saling percaya
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b) Perkembangan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d) Jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji.
e) Tunjukkan sikap simpati dan menerima klien apa adanya.
f) Beri perhatian pada klien
g) Dengarkan dengan empati beri kesempatan bicara, jangan buruburu,
tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan pasien
h) Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar pasien

b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya tentang masalah


yang diberikan
c. Sediakan waktu untuk mendengar klien, katakan pada klien bahwa ia
adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu
menolong dirinya sendiri.

B. Strategi komunikasi tindakan keperawatan


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi bu, apakah kita boleh berkenalan? Perkenalkan nama saya
Monika Citra Sari, bisa dipanggil monik, nama ibu siapa? Suka dipanggil
apa? Ibu, tujuan kita berkenalan yaitu supaya kita lebih akrab, ibu juga
bisa mengungkapkan perasaan ibu kepada saya”.
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang selama 15 menit? Apakah ibu
bersedia? Bagaimana ibu?

b. Validasi
“Bagaimana perasaan ibu saat ini? Adakah yang ibu pikirkan?
Bagaimana kalau ibu menceritakan kepada saya? Saya siap
mendengarkan”.

c. Kontrak
a) Topik
“Baiklah, kita mulai bincang-bincangnya sekarang ya bu. Apa yang
ingin ibu bicarakan? Bagaimana kalau kita berbincangbincang tentang
kesukaan dan hobi ibu”.
b) Tempat
“Bu, kita berbincang-bincang disini atau dimana jadinya? Disini saja
ya bu”.
c) Waktu
“Ibu iingin berbincang-bincangnya berapa lama?”.

2. Fase kerja
“Bapak mau minum? Saya ambilkan. Bagaimana dengan makan? Coba sedikit,
ya Pak agar Bapak tidak lemas.” (jika pasien mau ke makam, temani dan
hadirkan fakta-fakta)

3. Fase terminasi
“Setelah kembali dari makam, bagaimana perasaan bapak? Bapak tampak
masih sedih. Saya akan pulang dulu. Usahakan bapak makan, minum, dan
istirahat. Nanti dua hari lagi saya akan datang. Sampai jumpa”

STRATEGI PELAKSANAA TINDAKAN KEPERAWATAN (SPTK)


Masalah : Isolasi sosial : Menarik diri Pertemuan :
ke-2

A. Konsep keperawatan
1. Kondisi klien.
Klien duduk didepan ruang perawatan bersama klien yang lain. Klien tampak
diam.
2. Diagnosa keperawatan
Menarik diri
3. Tujuan
TUM : klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 2 : klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Dengan kriteria hasil :
Klien mampu menyebutkan :
a. Diri sendiri
b. Orang lain
c. Lingkungan

4. Rencana tindakan keperawatan


TUK 2 : Pasien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
a. Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri, tanda serta
penyebab yang muncul
b. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri tidak mau bergaul.

B. Strategi komunikasi tindakan keperawatan


1. Fase orientasi
Salam terapeutik
“ selamat pagi/sore. Saya perawat Tuti. Tampaknya bapak sedang kesal.
Bapak dapat ceritakan.
Validasi
“ apa yang membuat bapak kesal? Apa yang bapak rasakan saat kesal dan
apa yang telah bapak lakukan?
Kontrak
a. Topic
Baik, ada beberapa cara untuk meredakan kekesalan bapak, yaitu Tarik
nafas dalam, istiqfar, berwudhuk, sholat, dan bercakap-cakap. Bapak
punyak hobi olahraga?
b. Tempat
“mau dimana kita bincang-bincangnya pak? Baiklah disini saja ya pak”
c. Waktu
Saya akan menemani bapak selama 20 menit.”

2. Fase kerja
“ apa yang membuat bapak kesal? Apa yang bapak rasakan saat kesal dan
apa yang telah bapak lakukan? Baik, ada beberapa cara untuk meredakan
kekesalan bapak, yaitu tarik nafas dalam, istiqfar, berwudhuk, sholat, dan
bercakap-cakap. Bapak punyak hobi olahraga? Nah, itu juga dapat bapak
lakukan.”

3. Fase terminasi
“ Nah, kalau masih muncul rasa kesal, coba lakukan cara yang telah kita
bahas tadi. Mau coba cara yang mana? Mau di jadwalkan? Baiklah, dua hari
lagi kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa.”
STRATEGI PELAKSANAAN TINDKAN KEPERAWTAN (SPTK)
Masalah : Isolasi sosial : Menarik diri Pertemuan ke : 3

A. Konsep keperawatan
1. Kondisi klien.
2. Diagnosa keperawatan
Menarik diri

3. Tujuan
TUM :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 3:
Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain

Dengan kriteria hasil :


a. Klien mampu menyebutkan :
a) Banyak teman
b) Tidak kesepian
c) Bisa diskusi
d) Saling menolong

b. Rencana tindakan keperawatan


TUK 2 : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang
lain dan kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
a) Diskusikan bersama tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
b) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
tentang berhubungan dengan orang lain.

B. Strategi komunikasi tindakan keperawatan


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
“ Selamat pagi/ sore.
b. Validasi
Bagaimana perasaan bapak hari ini? apakah bapak sudah melakukan cara
yang saya ajarkan untuk mengurangi perasaan kesal bapak?
c. Topic
Dapatkah kita berbicara tentang perasaan bapak sekarang?
d. Tempat
“mau dimana kita bincang-bincangnya bu? Baiklah disini saja ya bu
e. Waktu
Kita bicara 15 menit saja. Dimana kita bicara? Di rumah sini saja?”

2. Fase kerja
“Saya dapat memahami perasaan bapak. Silahkan bercerita tentangb
perasaan bapak. Tidak ada yang dapat kita salahkan, pak. Saya mengerti,
sulit bagi bapak untuk menerima kehilangan ini. Bagus,

Bapak menyadari perasaan yang sudah diungkapkan karena semua ini adalah
kehendak allah. Apabila perasaan bersalah dan takut itu muncul kembali,
bapak dapat berdzikir, sholat, atau melakukan kegiatan ibadah yang lain.
Bagaimana, Pak? Apakah bapak akan coba lakukan?”

3. Fase terminasi
“ bagaimana perasaan bapak setelah kita berbicara? Iya, Pak. Bapak terus
berdo’a ya. Silahkan bercerita dengan anggota keluarga. Bagus, bapak sudah
dapat mengungkapkannya.

Nanti bapak dapat berdzikir dan beristiqfar setiap saat dan saat rasa
bersalah itu muncul kembali. Bapak, dua hari lagi saya akan datang. Kita
akan bicara tentang perasaan bapak. Saya pamit dulu ya,Pak. Sampai
jumpa.”

STRATEGI PELAKSANAAN TINDKAN KEPERAWTAN (SPTK)


Masalah : Isolasi sosial : Menarik diri Pertemuan ke : 4

A. Konsep keperawatan
1. Kondisi klien
Klien tampak berbicara tidak menerima kenyataan yang dialaminya
2. Diagnosa keperawatan
Menarik diri

3. Tujuan
TUM : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 4: klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
Dengan kriteria hasil :
a. Klien mampu menyebutkan :
Klien dapat mendemoktrasikan hubungan social secara bertahap
b. Rencana tindakan keperawatan
TUK 4 :
klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
a) Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama pasien dalam
mengisi waktu luang
b) Bantu pasien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang
Lain

B. Strategi komunikasi tindakan keperawatan


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi/sore.”
b. Validasi
“Bagaimana perasaan bapak hari ini?

c. Kontrak
a) Topik
“apakah ada yang ingin bapak ceritakann pada saya?”
b) Waktu
“ kira-kira ingin berapa lama bu? Dan ibu butuh waktu berapa lama
untuk melakukan kegiatan tersebut? 10 menit cukup tidak?”
2. Fase kerja
“ Baiklah, Pak. Saya akan duduk di sebelah bapak dan menemani bapak.
Saya siap mendengarkan apabila ada yang ingin di sampaikan. Bapak boleh
menangis, jangan di tahan. Bapak punya hak untuk menangis dengan
menangis, akan ada perasaan lega. Bapak, saya dapat merasakan apa yang
bapak rasakan.

Bapak dapat menggunakan kesempatan yang ada dengan bercakap-cakap


dengan anggota keluarga seperti anak bapak yang dua lagi,istri bapak.”
(Mulai menbawa kerealitas ospek positif) “ bapak dapat berbicara dengan
tetangga yang mempunyai pengalaman sama dengan bapak.

Sekarang, bagaimana kalau kita berdiskusi tentang kegiatan positif yang


bapak lakukan? Mulai dari yang bapak biasa lakukan dirumah maupun kegiatan
lain diluar rumah. Bagaimana kalau kita buat daftar kegiatan yang dapat
bapak lakukan? Waw, banyak kegiatan yang dapat bapak lakukan.”

3. Fase terminasi
“ Bapak, Bagaimnana perasaan Bpaka setelah kita bicara? Iya, benar, masih
banyak yang bapak lakukan. Bapak dapat melakukan kegiatan yang tadi sudah
kita bahas. Saya percaya bapak bisa.

Saya pamit ya,Pak. Dua hari lagi saya akan datang untuk membicarakan
tentang perasaan bapak. Kira-kira jam berapa saya boleh datang? Baik,
Pak. Sampai jumpa.”

STRATEGI PELAKSANAAN TINDKAN KEPERAWTAN (SPTK)


Masalah : Isolasi sosial : Menarik diri Pertemuan ke : 5

A. Proses keperawatan
1. Kondisi klien
Klien tampak berdiskusi/mengobrol dengan orang lain
2. Diagnosa kepereawatan
Harga diri rendah.

3. Tujuan
TUM :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 5:
klien dapat mengungkapkan perasaaannya setelah berhubungan dengan orang
lain
Dengan kriteria hasil :
a. Diri sendiri
b. Orang lain
c. Kelompok

4. Rencana tindakan keperawatan


TUK 5: klien dapat mengungkapkan perasaaannya setelah berhubungan
dengan orang lain
a. Diskusika dengan pasien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan
orang lain
b. Beri reinforcement atas kemampuan pasien mengungkapkan perasaannya
berhubungan dengan orang lain

B. Strategi komunikasi tindakan keperawatan


1. Fase orientasi
a. Salam terapeutik
“ Selamat pagi/sore”
b. Validasi
“Bagaimana perasaan bapak?”

c. Kontrak
a) Topik
“Seperti janji saya dua hari yang lalu, sekarang saya datang untuk
berbicara tentang perasaan bapak”
b) Tempat
Bagaimana kalau kita berbicara disini?
c) Waktu
“30 menit saja, setuju,Pak?”

2. Fase kerja
“ Bapak tampak dsenang dan sangat berbeda dengan dua hari yang lalu.
Saya dengar bapak sudah banyak melakukan aktifitas. Bagus. Kegiatan apa
lagi yang sudah bapak rencanakan untuk mengisi waktu? Saya percaya bapak
dapat kembali semangat dalam mengisi kehidupan ini.

kapan bapak mau mengurus surat ansuransi, buku tabungan, atau surat
penting lainnya? Kapan bapak akan berziarah ke makam anak bapak? Bapak
sudah melihat foto-foto proses pemakaman anak bapak? Ya, Bapak tampak
sudah semangat lagi.”

3. Fase terminasi
“ Bapak, tidak terata kita sudah lam berbicara. Bagaimana perasaan bapak?
Syukurlah. Bapak jangan lupa dengan jadwal aktifitas dan waktu untuk
mengurus sura-surat penting anak bapak. Saya pamit ya, Pak. Sampai
jumpa.”.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
HARGA DIRI RENDAH

A. Pengertian
Harga Diri Rendah (HDR) merupakan evaluasi atau perasaan negatif terhadap
diri sendiri atau kemampuan pasien seperti tidak berarti, tidak berharga, tidak
berdaya yang berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus (PPNI ,SDKI
2017).

B. Proses Terjadinya HDR


Proses terjadinya harga diri rendah dijelaskan oleh Stuarat dan Laraia (2008)
dalam konsep stress adapatasi yang teridiri dari faktor predisposisi dan
presipitasi.

1. Faktor Predisposisi yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah meliputi:


a. Biologis
Faktor herediter (keturunan) seperti adanya riwayat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, selain itu adanya riwayat penyakit kronis
atau trauma kepala merupakan merupakan salah satu faktor penyebab
gangguan jiwa,

b. Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah
adalah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari
lingkungan dan orang terdekat serta harapan yang tidak realistis.

Kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggungjawab personal dan


memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain merupakan faktor lain
yang menyebabkan gangguan jiwa.

Selain itu pasien dengan harga diri rendah memiliki penilaian yang negatif
terhadap gambaran dirinya, mengalami krisis identitas, peran yang
terganggu, ideal diri yang tidak realistis.

c. Faktor Sosial Budaya


Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan harga diri rendah adalah
adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien, sosial ekonomi
rendah, pendidikan yang rendah serta adanya riwayat penolakan
lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yang menimbulkan harga diri rendah antara lain:
a. Riwayat trauma seperti adanya penganiayaan seksual dan pengalaman
psikologis yang tidak menyenangkan, menyaksikan peristiwa yang
mengancam kehidupan, menjadi pelaku, korban maupun saksi dari perilaku
kekerasan.
b. Ketegangan peran: Ketegangan peran dapat disebabkan karena
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan seperti transisi dari masa kanak-kanak ke
remaja.
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.

c) Transisi peran sehat-sakit: merupakan akibat pergeseran dari kondisi


sehat ke sakit. Transisi ini dapat dicetuskan antara lain karena
kehilangan sebagian anggota tuhuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh.Atau perubahan fisik yang berhubungan
dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan.

3. Asuhan Keperawatan Harga Diri Rendah


Pengkajian Harga Diri Rendah
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan
keluarga (pelaku rawat).Tanda dan gejala harga diri rendah dapat ditemukan
melalui wawancara dengan pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana penilaian Anda tentang diri sendiri?


a. Coba ceritakan apakah penilaian Anda terhadap diri sendiri mempengaruhi
hubungan Anda dengan orang lain?
b. Apa yang menjadi harapan Anda?
c. Apa saja harapan yang telah Anda capai?
d. Apa saja harapan yang belum berhasil Anda capai?
e. Apa upaya yang Anda lakukan untuk mencapai harapan yang belum
terpenuhi?
f. Dalam pengkajian beberapa teknik komunikasi di gunakan seperti :
klarifikasi, memfokuskan, menawarkan diri, memberi kesempatan,
menyatakan hasil observasi. Contoh untuk menyatakan hasil observasi
adalah “Anda tampak kurang ceria hari ini”.

Tanda dan Gejala HDR

Tanda dan Gejala (Mayor)


subjektif :
a. Menilai diri negatif (mis. tidak berguna, tidak tertolong)
b. Merasa malu/bersalah
c. Merasa tidak mampu melakukan apapun
d. Meremehkan kemampuan mengatasi masalah
e. Merasa tidak memiliki kelebihan atau kemampuan positif
f. Melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri
g. Menolak penilaian positif tentang diri sendiri

objektif :
a. Enggan mencoba hal baru
b. Berjalan menunduk
c. Postur tubuh menunduk
Tanda dan Gejala (Minor)

Subjektif :
a. Merasa sulit konsentrasi
b. Sulit tidur
c. Mengungkapkan keputusasaan
objektif :
a. Kontak mata kurang
b. Lesu dan tidak bergairah
c. Berbicara pelan dan lirih
d. Pasif
e. Perilaku tidak asertif
f. Mencari penguatan secara berlebihan
g. Bergantung pada pendapat orang lain
h. Sulit membuat keputusan
i. Sering kali mencari penegasan

Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala harga diri
rendah yang ditemukan. Pada pasien gangguan jiwa, diagnosis keperawatan
yang ditegakkan adalah dari masalah utama. Masalah utama adalah prioritas
masalah dari beberapa masalah yang ada pada pasien.

Contoh kasus: Seorang perempuan usia 27 tahun dirawat di RSJ karena


tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan sering berbicara sendiri. Saat
pengkajian: mengatakan malu karena tidak mempunyai pekerjaan seperti
saudaranya, pendidikannya hanya SMP dan pernah ditolak oleh pacarnya,
merasa sedih belum mampu membahagiakan orang tuanya.

Hasil observasi: sering menunduk, berbicara pelan, dan tampak rambut


kotor. Pada kasus tersebut terdapat masalah keperawatan adalah isolasi
sosial, harga diri rendah, defisit perawatan diri dan risiko halusinasi. Dari
keempat masalah tersebut tanda dan gejala yang paling dominan adalah
tanda dan gejala HDR, berarti masalah keperawatan utama adalah Harga
Diri Rendah.

Tindakan Keperawatan Harga Diri Rendah


Berikut ini akan diuraikan tujuan dan tindakan keperawatan pada pasien
HDR.
Tujuan :
Pasien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
f. Merencanakan kegiatan yang telah dilatihnya

Tindakan Keperawatan:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien.
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah :
a) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
b) Beri pujian yang realistis dan hindarkan memberikan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan pasien.

c. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan


Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari
daftar kegiatan): buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini.
b) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.

d. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan daftar


kegiatan yang dapat dilakukan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
a) Diskusikan kegiatan yang akan dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
b) Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
c) Latih kegiatan yang dipilih (alat dan cara melakukannya).
d) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali per hari.
e) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan pasien.

e. Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya dan


menyusun rencana kegiatan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah:
a) Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
b) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasiensetiap
hari.
c) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
d) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan
e) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.

Evaluasi Evaluasi Kemampuan Pasien


Keberhasilan pemberian asuhan keperawatan apabila pasien dapat:
a. Mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Menilai dan memilih kemampuan yang dapat dikerjakan
c. Melatih kemampuan yang dapat dikerjakan
d. Membuat jadwal kegiatan harian
e. Melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian
f. Merasakan manfaat melakukan kegiatan positif dalam mengatasi harga
diri rendah
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
ISOLASI SOCIAL

A. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial adalah
ketidakmampuan individu untuk membina hubungan yang erat, hangat dan
terbuka dan saling bergantung dengan orang lain (SDKI,2016).

B. Proses Terjadinya Isolasi Sosial


Proses terjadinya Isolasi sosial menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang
meliputi:

1. Faktor predisposisi
a. Faktor Biologis
Adanya faktor keturunan yaitu ada anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa, adanya risiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma
kepala (tumor otak, gangguan otak), riwayat penggunaan NAPZA. Juga
ditemukan adanya kerusakan struktur dan fungsi otak.

b. Faktor Psikologis
Pasien dengan masalah isolasi sosial, seringkali mengalami kegagalan yang
berulang dalam mencapai keinginan/harapan, hal ini mengakibatkan
terganggunya konsep diri, yang pada akhirnya akan berdampak dalam
membina hubungan dengan orang lain. Perilaku isolasi sosial timbul akibat
adanya perasaan bersalah atau menyalahkan lingkungan, sehingga pasien
merasa tidak pantas berada diantara orang lain dilingkungannya.

Kurangnya kemampuan komunikasi, dapat disebabkan karena pola asuh


yang keluarga yang kurang memberikan kesempatan pada pasien untuk
menyampaikan perasaan maupun pendapatnya. Kepribadian introvert
(tertutup) merupakan tipe kepribadian yang sering dimiliki pasien dengan
masalah isolasi sosial.

Ciri-ciri pasien dengan kepribadian ini adalah menutup diri dari orang
sekitarnya. Selain itu pembelajaran moral yang tidak adekuat dari
keluarga merupakan faktor lain yang dapat menyebabkan pasien tidak
mampu menyesuaikan perilakunya di masyarakat, akibatnya pasien merasa
tersisih ataupun disisihkan dari lingkungannya.

Faktor psikologis lain yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah


kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan yang akan
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain,
ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang
lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan
merasa tertekan sehingga pasien lebih menyukai berdiam diri sendiri dan
tidak mau berinteraksi dengan orang lain (Stuart & Laraia, 2005).
c. Faktor Sosial Budaya
Faktor predisposisi sosial budaya pada pasien dengan isolasi sosial,
seringkali diakibatkan karena pasien berasal dari golongan sosial ekonomi
rendah yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan.
Kondisi tersebut memicu timbulnya stres yang terus menerus, sehingga
fokus pasien hanya pada pemenuhan kebutuhannya dan mengabaikan
hubungan sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Stuart & Laraia (2005) dan Townsend (2005) mengatakan bahwa faktor
usia merupakan salah satu penyebab hal ini dikarenakan rendahnya
kemampuan pasien dalam memecahkan masalah dan kurangnya kematangan
pola berfikir.

Selain itu Pasien umumnya memiliki riwayat penolakan lingkungan pada usia
perkembangan anak, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah tugas
perkembangannya yaitu berhubungan dengan orang lain. Pengalaman
tersebut menimbulkan rasa kurang percaya diri dalam memulai hubungan,
akibat rasa takut terhadap penolakan dari lingkungan.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kemampuan pasien


berinteraksi secara efektif. Karena faktor pendidikan sangat
mempengaruhi kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pasien dengan masalah isolasi sosial biasanya memiliki riwayat kurang
mampu melakukan interaksi dan menyelesaikan masalah, hal ini
dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan pasien.

2. Faktor Presipitasi
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor lainnya pengalaman kekerasan, penelantaran,
pengabaian dalam keluarga.

Penerapan aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering


tidak sesuai dengan pasien dan konflik antar masyarakat.Selain itu pasien
sering kali mengalami pengalaman negatif yang tidak menyenangkan terhadap
gambaran dirinya, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki serta
mengalami krisis identitas.

Pengalaman kegagalan yang berulang dalam mencapai harapan atau cita-cita,


serta kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan.
Faktor-faktor diatas, menyebabkan gangguan dalam berinteraksi sosial
dengan orang lain, yang pada akhirnya menjadi masalah isolasi sosial.

C. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Isolasi Sosial


1. Pengkajian
Pengkajian pasien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi kepada pasien dan keluarga. Teknik komunikasi yang digunakan
menggunakan metode menawarkan diri, merefleksikan diri, memfokuskan diri,
mengklarifikasi diri, menyatakan observasi. Contoh menawarkan diri : Pada
saat pengkajian pasien mengatakan lebih suka menyendiri dan tidak mau
bergaul. Perawat berkata “Saya akan menemani bapak selama 10 menit
mungkin ada yang disampaikan kepada saya”.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari ungkapan pasien yang
menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung dengan
data hasil observasi.

Tanda dan Gejala (Mayor)

subjektif :
a. Merasa ingin sendirian
b. Merasa tidak aman di tempat umum

objektif :
a. Menarik diri
b. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan
c. Tanda dan Gejala (Minor)

subjektif :
a. Merasa berbeda dengan orang lain
b. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
c. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas

objektif :
a. Afek datar
b. Afek sedih
c. Riwayat ditolak
d. Menunjukan permusuhan
e. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
f. Kondisi difabel
g. Tindakan tidak berarti
h. Tidak ada kontak mata
i. Perkembangan terlambat
j. Tidak bergairah/lesu

Tanda dan gejala isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara:


a. Bagaimana perasaan Anda saat berinteraksi dengan orang lain?
b. Bagaimana perasaan Anda ketika berhubungan dengan orang lain? Apa
yang Anda rasakan? Apakah Anda merasa nyaman?
c. Bagaimana penilaian Anda terhadap orang-orang di sekeliling Anda
(keluarga atau tetangga)?
d. Apakah Anda mempunyai anggota keluarga atau teman terdekat? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman dekatnya itu?
e. Adakah anggota keluarga atau teman yang tidak dekat dengan Anda? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman yang tidak dekatnya itu?
f. Apa yang membuat Anda tidak dekat dengan orang tersebut?

2. Diagnosis Keperawatan: Isolasi Sosial


Diagnosis keperawatan ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala mayor
maupun minor pada kasus isolasi sosial. Pada pasien gangguan jiwa, diagnosis
keperawatan yang ditegakkan adalah dari masalah utama dari beberapa
masalah yang ada pada pasien.
Contoh kasus: Seorang perempuan usia 27 tahun dirawat di RSJ karena
senang menyendiri, merasa tidak aman di tempat umum, tidak mau mandi,
sering berbicara sendiri. Saat dilakukan pengkajian: menarik diri, tidak
berminat/ menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan, banyak
diam, tidak mau bicara, senang menyendiri.

Pada kasus tersebut terdapat beberapa masalah keperawatan yaitu isolasi


sosial, defisit perawatan diri, halusinasi. Dari beberapa masalah
keperawatan tersebut tanda dan gejala yang paling dominan adalah tanda
dan gejala pasien isolasi sosial, berarti masalah utama pada contoh kasus
tersebut adalah isolasi sosial.

3. Tindakan Keperawatan Isolasi Sosial


Berikut ini akan diuraikan tujuan dan tindakan keperawatan pada isolasi
sosial.
Tujuan : Pasien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menyadari isolasi sosial yang dialaminya
c. Berinteraksi secara bertahap dengan anggota keluarga dan lingkungan
sekitarnya
d. Berkomunikasi saat melakukan kegiatan rumah tangga dan kegiatan sosial

Tindakan Keperawatan :
a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
b. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial
a) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan
orang lain
b) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain
c) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka
d) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain
e) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien

c. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap


a) Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain
b) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
c) Beri kesempatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan di hadapan Perawat
d) Bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota keluarga
e) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya
f) Beripujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien
g) Latih pasien bercakap-cakap dengan anggota keluarga saat melakukan
kegiatan harian dan kegiatan rumah tangga
h) Latih pasien bercakap-cakap saat melakukan kegiatan sosial misalnya :
berbelanja, ke warung, kantor pos, bank dan lain-lain
i) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan
atau kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar pasien tetap
semangat meningkatkan interaksinya.

4. Evaluasi
Evaluasi kemampuan pasien isolasi sosial berhasil apabila pasien dapat:
a. Menjelaskan kebiasaan keluarga berinteraksi dengan pasien.
b. Menjelaskan penyebab pasien tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
c. Menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain.
d. Menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain.
e. Memperagakan cara berkenalan dengan orang lain, dengan perawat,
keluarga, tetangga.
f. Berkomunikasi dengan keluarga saat melakukan kegiatan sehari-hari
g. Berkomunikasi saat melakukan kegiatan sosial
h. Menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang tua.
i. Mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain.
j. Merasakan manfaat latihan berinteraksi dalam mengatasi isolasi sosial
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
SENSORI PERSEPSI HALUSINASI

A. Pengerian
Halusinasi adalah gangguan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana
terjadi pada saat individu sadar dengan baik. (Stuart & Sundenn, 1998).

Halusinasi, atau salah persepsi indrawi yang tidak berhubungan dengan stimulus
eksternal yang nyata, mungkin melibatkan salah satu dari lima indra. (Townsend,
2002).

Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar, pada pasien dalam keadaan sadar.

B. Jenis-Jenis Halusinasi
Halusinasi dibagi menjadi beberapa jenis, yitu sebagai berikut (Maramis, 2004):
1. Halusinasi penglihatan (visual, optik) adalah perasaan melihat sesuatu objek
tetapi pada kenyataannya tidak ada.
2. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik) adalah perasaan mendengar suara-
suara,berupa suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah
dan musik.
3. Halusinasi penciuman (olfaktorik) adalah perasaan mencium sesuatu bau atau
aroma tetapi tidak ada.
4. Halusinasi pengecapan (gustatorik) adalah kondisi merasakan sesuatu rasa
tetapi tidak ada dalam mulutnya, seperti rasa logam.
5. Halusinasi peraba (taktil) adalah kondisi merasa diraba, disentuh, ditiup,
disinari atau seperti ada ulat bergerak di bawah kulitnya.
6. Halusinasi kinestetik adalah kondisi merasa badannya bergerak dalam sebuah
ruang, atau anggota badannya bergerak.

C. Proses Terjadinya Halusinasi


Pada gangguan jiwa skhizofrenia, halusinasi pendengaran merupakan hal yang
paling sering terjadi, dapat berupa suara-suara bising atau kata-kata yang
dapat mempengaruhi tingkah laku, sehingga dapat menimbulkan respon tertentu
seperti bicara sendiri, marah, atau berespon lain yang membahayakan diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Hal serupa dapat bersikap mengamati orang lain yang tidak bicara atau benda
mati yang seakan-akan berbicara padanya. Halusinasi merupakan tanda khas
dari gangguan skhizofrenia dan merupakan manifestasi dari metankolia involusi,
psikosa, depresi, dan sindrom otak organik. (Nasution, 2003).

Tahapan Halusinasi
Halusinasi dapat dibagi menjadi beberapa tahapan (Dalami, et al, 2009), yaitu:

1. Sleep Disorder
Sleep Disorder adalah halusinasi tahap awal sesorang sebelum muncul
halusinasi.
Karakteristik. Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi dan
support system yang kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Perilaku. Klien susah tidur dan berlangsung terus menerus sehingga terbiasa
menghayal, dan menganggap menghayal awal sebagai pemecah masalah.

2. Comforthing
Comforthing adalah halusinasi tahap menyenangkan: Cemas sedang.
a. Karakteristik. Klien mengalami perasaan yang mendalam seperti cemas,
kesepian, rasa bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang menyenangkan untuk meredakan cemas. Klien cenderung mengenali
bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran jika cemas dapat ditangani.

b. Perilaku. Klien terkadang tersenyum, tertawa sendiri, menggerakkan bibir


tanpa suara, pergerakkan mata yang cepat, respon verbal yang lambat,
diam dan berkonsentrasi.

3. Condemning
Condemning adalah tahap halusinasi menjadi menjijikkan: Cemas berat.

a. Karakteristik. Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien


mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin merasa dipermalukan
oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

b. Perilaku. Ditandai dengan meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf


otonom akibat ansietas otonom seperti peningkatan denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah. Rentang perhatian dengan lingkungan
berkurang, dan terkadang asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.

4. Controling
Controling adalah tahap pengalaman halusinasi yang berkuasa: Cemas berat.

a. Karakteristik. Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap


halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi
menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti.

b. Perilaku. Perilaku klien taat pada perintah halusinasi, sulit berhubungan


dengan orang lain, respon perhatian terhadap lingkungan berkurang,
biasanya hanya beberapa detik saja, ketidakmampuan mengikuti perintah
dari perawat, tremor dan berkeringat.

5. Conquering
Conquering adalah tahap halusinasi panik: Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
a. Karakteristik. Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika
tidak ada intervensi terapeutik.
b. Perilaku. Perilaku panik, resiko tinggi mencederai, bunuh diri atau
membunuh. Tindak kekerasan agitasi, menarik atau katatonik, ketidak
mampuan berespon terhadap lingkungan.

D. Tanda Dan Gejala Halusinasi


Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati
sebagai berikut ( Dalami, dkk, 2014 ) :

1. Halusinasi penglihatan
a. Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa
b. saja yang sedang dibicarakan.
c. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang
d. tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
e. Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang
f. tidak tampak.
g. Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
h. menjawab suara.

2. Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati
a. Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain,
benda mati atau stimulus yang tidak tampak.
b. Tiba-tiba berlari keruangan lain

3. Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi penciuman
adalah :
a. Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
b. Mencium bau tubuh
c. Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
d. Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau
darah.
e. Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.

4. Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan halusinasi
pengecapan adalah :
a. Meludahkan makanan atau minuman.
b. Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
c. Tiba-tiba meninggalkan meja makan.

5. Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi perabaan
adalah :
a. Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.
Menurut Pusdiklatnakes (2012), tanda dan gejala halusinasi dinilai dari
hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan
gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut :
Data Subjektif
Klien mengatakan :
a) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu dan monster
e) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan
f) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
g) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya

Data Objektif
a) Bicara atau tertawa sendiri
b) Marah marah tanpa sebab
c) Mengarahkan telinga kearah tertentu
d) Menutup telinga
e) Menunjuk kearah tertentu
f) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
g) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
h) Menutup hidung
i) Sering meludah
j) Menggaruk garuk permukaan kulit

Menurut Yosep, 2009 tanda dan gejala halusinasi adalah :


a. Melihat bayangan yang menyuruh melakukan sesuatu berbahaya.
b. Melihat seseorang yang sudah meninggal.
c. Melihat orang yang mengancam diri klien atau orang lain
d. Bicara atau tertawa sendiri.
e. Marah-marah tanpa sebab.
f. Menutup mata.
g. Mulut komat-kamit
h. Ada gerakan tangan
i. Tersenyum
j. Gelisah
k. Menyendiri, melamun

E. Asuhan Keperawatan Halusinasi


1. Pengkajian
a. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat,
tanggal pengkajian, nomor rekam medic
b. Faktor predisposisi merupakan factor pendukung yang meliputi factor
biologis, factor psikologis, social budaya, dan factor genetic
c. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap persepsi
merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal,
merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif, kekerasan,
ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala stress pencetus
pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh dengan stress
seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
d. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social dan
spiritual
e. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
f. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun
maladaptive
g. Aspek medic yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu diketahui saudara dapatkan
adalah:
a. Jenis halusinasi
Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data objektif dan subjektifnya.
Data objektif dapat dikaji dengan cara melakukan wawancara dengan
pasien. Melalui data ini perawat dapat mengetahui isi halusinasi pasien.

Jenis halusinasi Data objektif Data subjektif


a. Bicara atau tertawa sendiri a. Mendengar suara atau
b. Marah-marah tanpa sebab kegaduhan
c. Menyedengkan telinga b. Mendengar suara yang
Halusinasi
kearah tertentu bercakap-cakap
dengar
d. Menutup telinga c. Mendengar suara
menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya
a. Menunjuk-nunjuk kearah a. Melihat bayangan,
Halusinasi tertentu sinar, bentuk geometris,
Penglihatan b. Ketakutan pada sesuatu bentuk kartoon, melihat
c. Yang tidak jelas hantu atau monster
a. Menghidu seperti sedang a. Membaui bau-bauan
Halusinasi membaui bau-bauan sperti bau darah, urin,
penghidu tertentu feces, kadang-kadang
b. Menutup hidung bau itu menyenangkan
Halusinasi a. Sering meludah a. Merasakan rasa seprti
pengecapan b. Muntah darah, urin atau feces
a. Menggaruk-garuk a. Mengatakan ada
permukaan kulit serangga dipermukaan
Halusinasi
kulit
Perabaan
b. Merasa seperti
tersengat listrik

b. Isi halusinasi
Data tentang halusinasi dapat dikethui dari hasil pengkajian tentang jenis
halusinasi.

c. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi


Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Apakah
pagi, siang, sore atau malam? Jika mungkin jam berapa?
Frekuensi terjadinya halusinasi apakah terus menerus atau hanya sekal-
kali? Situasi terjadinya apakah kalau sendiri, atau setelah terjadi
kejadian tertentu.

Hal ini dilakukan untuk menetukan intervensi khusus pada waktu


terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya
halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya.

Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui


frekuensi terjadinya halusinasinya dapat direncanakan frekuensi tindakan
untuk mencegah terjadinya halusinasi.

d. Respon halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul.
Perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau
dilakukan saat halusinasi timbul.

Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat


dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku
pasien saat halusinasi timbul.

e. Pohon Masalah
Resiko perilaku mencederai diri (Menurut Yosep, 2009)

Gangguan sensori/persepsi (Akibat)


Halusinasi penglihatan

Isolasi social (Masalah Utama)

Harga diri rendah (Penyebab)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Yosep, 2009 diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
a. Gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan
b. Isolasi sosial
c. Resiko periaku mencederai diri
d. Harga diri rendah

3. Intervensi Keperawatan
Gangguan persepsi sensori halusinasi penglihatan
Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :
a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Pasien dpat mengontrol halusinasinya
c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

Tindakan keperawatan
a. Membantu pasien mengenali halusinasi
Untuk membantu pasien mengenali halusinasi saudara dapat melakukannya
dengan cara berdiskusikan dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang
dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi
yang menyebabkan halusiansi muncul dan respon pasien saat muncul.

b. Melatih pasien mengontrol halusinasi.


c. Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi saudara dapat
melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan
halusinasi.

Keempat cara tersebut meliputi :


a. Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak
terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan
halusinasinya.

Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan
tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada
namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti
apa yang ada dalam halusinasinya.

Tahapan tindakan meliputi :


a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi
b. Memperagakan cara menghardik
c. Meminta pasien memperagakan ulang
d. Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.
e. Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan


halusinasi orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain
maka terjadi distraksi; focus perhatian pasien akan beralih dari
halusiansi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

Melakukan aktifitas yang terjadwal


Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan
diri dengan aktifitas yang teratur. Dengan beraktifitas secara terjadwal,
pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali
mencetuskan halusinasi.

Untuk itu pasien mengalami halusinasi biasa dibantu untuk mengatasi


halusinasinya dengan cara beraktifitas secara teratur dari bangun pagi
sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu.

Tahapan intervensinya sebagai berikut :


a. Menjelaskan pentingnya aktifitas yang teratur untuk mengatasi
halusinasi
b. Mendiskusikan aktifitas yang dilakukan pasien
c. Melatih pasien melakukan aktiftas
d. Menyusun jadwal aktifitas sehari-hari sesuai dengan aktifitas yang
telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktifitas dari bangun pagi
sampai tidur malam, 7 hari dalam seminggu.
e. Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan penguatan
terhadap perilaku pasien yang positif.
Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk
menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien
gangguan jiwa yang dirawat dirumah seringkali mengalami putus obat
sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan.

Bila terjadi kekambuhan maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan
lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai
program dan berkelanjutan.

Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:


a. Jelaskan guna obat
b. Jelaskan akibat bila putus obat
c. Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
d. Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat,
benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

4. Implementasi Keperawatan
Menurut Depkes, 2000 Implementasi adalah tindakan keperawatan yang
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan
tindakan keperawatan yang sudah di rencanakan perawat perlu memvalidasi
rencana tindakan keperawatan yang masih di butuhkan dan sesuai
dengankondisi klien saat ini.

5. Trategi Pelaksanaan
Halusinasi Pasien Keluarga
Sp1 SP 1 k
a. Mengidentifikasi jenis a. Mendiskusikan
halusinasi pasien masalah yang
b. Mengidentifikasi isi dirasakan keluarga
halusinasi pasien dalam rawat pasien
c. Mengidentifikasi waktu b. Menjelaskan
halusinasi pasien pengertian, tanda dan
d. Mengidentifikasi gejala halusinasi, dan
frekuensi halusinasi jenis halusinasi yang
pasien dialami pasien beserta
e. Mengidentifikasi situasi proses terjadinya.
yang menimbulkan c. Mejelaskan cara-cara
halusinasi merawat pasien
f. Mengidentifikasi respon halusinasi
pasien terhadap halusinasi
g. Mengajarkan pasien
menghardik halusinasi
h. Menganjurkan pasien
memasukkan cara
menghardik halusinasi
dalam jadwal kegiatan
harian
SP II p SP II k
a. Mengevaluasi jadwal a. Melatih keluarga
kegiatan harian pasien mempraktekkan cara
b. Melaih pasien merawat pasien
mengendalikan halusinasi dengan halusinasi
dengan cara bercakap- b. Melatih keluaraga
cakap dengan orang lain. melakukan cara
c. Menganjurkan pasien merawat langsung
memasukan dalam jadwal kepada pasien
kegiatan harian halusinasi
SP III  p SP III k
a. Mengevaluasi jadwal a. Membantu keluarga
kegiatan harian pasien membuat jadwal
b. Melatih pasien kegiatan aktifitas di
mengendalikan halusinasi rumah termasuk
dengan melakukan minum obat
kegiatan (kegiatan yang b. Menjelaskan follow up
biasa dilakukan pasien) pasien setelah pulang
c. Menganjurkan pasien
memasukan dalam
kegiatan harian
SP IV p
a. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien
b. Memberikan pendidikan
kesehatan tentang
penggunaan obat secara
teratur
c. Menganjurkan pasien
memasukan dalam
kegiatan harian

6. Evaluasi Keperawatan
Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.

Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.


S : respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A : analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan apakah
masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masih ada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon
klien
KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan
melukai seseorang secara fisik maupun psikologi (Keliat at al, 2011).
Menurut Erwina (2012) perilaku kekerasan adalah merupakan bentuk
kekerasan dan pemaksaan secara fisik maupun verbal ditunjukkan kepada
diri sendiri maupun orang lain.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Keliat, 2012).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain (Afnuhazi, 2015).

Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan


bahwa perilaku kekerasan adalah ungkapan emosi yang disertai marah dan
amuk yang mampu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

B. PROSES TERJADINYA
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor yang mendasari atau mempermudah
terjadinya perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan
nilai-nilai kepercayaan maupun keyakinan yang dialami oleh setiap
orang merupakan faktor predisposisi (Direja, 2011).

Menurut Riyadi dan Purwanto (2009) faktor-faktor yang mendukung


terjadinya perilaku kekerasan adalah:

a. Faktor Biologis
a) Intictual drive theory (teori dorongan naluri) Teori ini
menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.

b) Psycomatic theory (teori psikomatik) Pengalaman marah


adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem
limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan
maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor Psikologis
a) Frustation aggresion theory (teori agresif frustasi) Menurut
teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi
frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi
akan berkurang melalui perilaku kekerasan.

b) Behavioral theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses


belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau
situasi yang mendukung reinforcement yang diterima pada saat
melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah
atau di luar rumah. Semua aspek ini menstimulai individu
mengadopsi perilaku kekerasan.

c) Existential theory (teori eksistensi) Bertindak sesuai perilaku


adalah kebutuhan yaitu kebutuhan dasar manusia apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui perilaku
konstruktif maka individu akan memenuhi kebutuhannya melalui
perilaku destruktif.

c. Faktor Sosiokultural
a) Social enviroment theory (teori lingkungan) Lingkungan sosial
akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan
marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima.

b) Social learning theory ( teori belajar sosial ) Perilaku


kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi.

2. Faktor presipitasi
Yosep dan Sutini (2014) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan :

a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol


solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian massal, dan sebagainya.
b) Ekspresi diri tidak terpenuhi kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan seseuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam penyelesaian konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.

e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat


dan alkoholismedan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f) Kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga

C. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping pasien sehingga dapat
membantu pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif
dalam mengekspresikan marahnya.

Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego


(Yosep, 2011),
Seperti :

1. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu
seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
3. Depresi
Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan
dari kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
4. Reaksi formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan
dengan apa yang benar-benar dilakukan orang lain.

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala, perilaku kekerasan yaitu suka marah, pandangan mata
tajam, otot tegang dan nada suara tinggi, berdebat, sering pula
memaksakan kehendak ,merampas makanan dan memukul bila tidak
sengaja (Prabowo, 2014).

1. Motor agitation
Gelisah, mondar mandir, tidak dapat duduk tenang, otot tegang,
rahang mengencang, pernapasan meningkat, mata melotot, pandangan
mata tajam.
2. Verbal
Memberikan kata-kata ancaman, bicara keras, nada suara tinggi,
berdebat.
3. Afek
Marah, bermusuhan, kecemasan berat, mudah tersinggung.
4. Tingkat kesadaran
Binggung, kacau, perubahan status mental, disorientasi, dan daya

Adapun manifestasi klinisnya (Rahman, 2015) :


1. Fisiologi Tekanan darah meningkat.
Respirasi rate meningkat, napas dangkal dan cepat, tonus otot
meningkat, muka merah. Peningkatan saliva, mual, penurunan
peristaltik lambung, peningkatan frekuensi berkemih, dilatasi pupil.

2. Emosional
Jengkel, labil, tidak sabar, ekspresi wajah tegang, pandangan tajam,
merasa tidak aman, bermusuhan, marah, bersikeras, dendam,
menyerang, takut, cemas, merusak benda

3. Intelektual
Bicara mendominasi, bawel, berdebar, meremehkan, konsentrasi
menurun, persuasive.

4. Social
Menarik diri, sinis, curiga, agresif, mengejek, menolak, kasar.
5. Spiritual
Ragu-ragu tentang kebaikan, moral bejat, selalu paling benar, tidak
pernah beribadah

E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Pada pengkajian awal alasan utama klien ke rumah sakit adalah perilaku
kekerasan. Kemudian perawat dapat melakukan pengkajian dengan cara
observasi dan wawancara (Kusumawati, dkk. 2010).

1. Pengkajian (Yosep 2014)


a. Aspek Biologis Respon fisiologis timbul karena sistem saraf
bereaksi terhadap sekresi epinerin sehingga tekanan darah
meningkat, takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urin
meningkat.

Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatkan


kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan di
kepal, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini disebabkan oleh energi
yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek Emosional
Individu marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi dendam, ingin berkelahi, ngamuk, bermusuhan,
sakit hati, menyalahgunakan, dan menuntut.

Perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri sendiri


perlu dikaji seperti melarikan diri, bolos sekolah, mencuri,
menimbulkan kebakaran, dan penyimpangan seksual.

c. Aspek Intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu di dapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman.

d. Aspek Sosial Meliputi interkasi sosial, budaya, konsep rasa


percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang
kemarahan orang lain. Dan menimbulkan penolakan bagi orang lain.

Pasien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah


lakku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasra yang berlebhan disertai suara
keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri,
menjauhkan diri dari orang lain.

e. Aspek Spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hub individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki
dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan
amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, selalu meminta dan bimbingan kepadaNya.

2. Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (effect)

Perilaku Kekerasan (case problem)

Harga Diri Rendah (causa)

3. Rumusan masalah / Diagnosa Keperawatan


a. Resiko Perilaku Kekerasan
b. Harga Diri Rendah
4. Rencana keperawatan
Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan
untuk diagnosa perilaku kekerasan yaitu :
Tindakan keperawatan untuk klien
a. Tujuan
a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan.
c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku
kekerasannya.
e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukannya.
f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan terapi psikofarmaka.
b. Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu
dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan Saudara.

Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka membina


hubungan salig percaya adalah mengucapkan salam
terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi,
serta membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali
bertemu klien.

b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang


terjadi di masa lalu dan saat ini.
c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan
gejala perilaku kekersan, baik kekerasan fisik, psikologis,
sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.

d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa


dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari


perilaku marahnya. Diskusikan bersama klien cara
mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul kasur
atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-obatan,
sosial atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya
secara asertif), ataupun spiritual (salat atau berdoa sesuai
keyakinan klien).

Tindakan keperawatan untuk keluarga


a. Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
b. Tindakan
a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul,
serta akibat dari perilaku tersebut.

b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku


kekerasan.
(a) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar
melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila
anggota keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara
tepat.
(c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.

c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu


segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda/orang lain.

5. Implementasi
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
Menurut Fitria (2010) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan
a. SP I Pasien
Membina hubungan saling percaya, pengkajian perilaku kekerasan
dan mengajarkan cara menyalurkan rasa marah.
b. SP 2 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
c. SP 3 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
d. SP 4 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
e. SP 5 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
f. SP 1 Keluarga
Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat
klien perilaku kekerasan di rumah
6. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan.

Evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau
sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
khusus dan umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.

Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku
kekerasan antara lain
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan
kemarahan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol
perilaku kekerasan.
j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.
(Fitria, 2010)

7. Dokumentasi
Pengertian Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi adalah segala sesuatu yang ditulis atau dicetak dan
dapat dijadikan bukti tindakan keperawatan. Dokumentasi
keperawatan menurut para ahli:

Sebuah informasi secara tertulis tentang status dan perkembangan


kondisi pasien dan semua kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan
perawat (Fisbach, 1991)

Dokumentasi keperawatan adalah informasi secara tertulis pada


perawat sebagai media yang mengkomunikasikan data klien ke tenaga
kesehatan lainnya (Chion dan Grey,1984)
Tujuan Dokumentasi
Dalam proses asuhan keperawatan pendokumentasian memiliki tujuan
sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi status kesehatan pasien


b. Mengkomunikasikan status kesehatan klien pada tim kesehatan lain
c. Sebagai dokumen yang legal alias sebagai landasan hukum
d. Memberikan informasi terkait pembiayaan.
e. Sebagai materi penelitian yang memberikan data tentang
penerapan standar asuhan keperawatan.
f. Sebagai objek audit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
g. Prinsip pendokumentasian

Terlepas dari prinsip apa yang ditulis adalah benar-benar kita


kerjakan, ada beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam
menjalankan proses keperawatan terutama dalam hal
pendokumentasian. Berikut prinsip dokumentasi keperawatan yang
perlu diperhatikan oleh seorang perawat profesional.
KONSEP DASAR DEVISIT KEPERAWATAN DIRI

A. PENGERTIAN
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri
(Depkes, 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting)
(Nurjannah, 2004).

Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu


melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah,
2006). Perssonal hygine adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Potter dan
Perry, 2005).

B. PROSES TERJADINYA
Defisit Perawatan diri sering kali disebabkan oleh intoleransi aktifitas,
hambatan mobilitas fisik, nyeri, ansietas, gangguan kognitif atau persepsi
(misalnya defisit perawatan diri: makan yang berhubungan dengan
disorientasi). Sebagai suatu etiologi, defisit perawatan diri dapat
menyebabkan depresi, ketakutan akan ketergantungan, dan ketidakberdayaan
(Wilkinson, 2012).

Gejala awal menunjukkan kehilangan intelektual, seperti memori, kemampuan


penilaian, kognisi, sehingga menyebabkan koping individu tidak efektif,
kemudian terdapat perubahan kepribadian, ditandai dengan depresi, agitasi
dan kebingungan.

Hal inilah yang menyebabkan individu harga diri rendah, kemudian


selanjutnya terjadi perubahan perilaku, yang dimanifestasikan dengan
hiperaktivitas, berkeluyuran, mondar–mandir dan gangguan tidur. Kondisi ini
semakin lama semakin memburuk dan mengganggu fungsi pribadi, sosial,
pekerjaan dan pemanfaatan waktu luang. Pada akhirnya kemampuan
melakukan aktifitas perawatan diri menjadi berkurang atau bahkan hilang
(Copel, 2007).

Gangguan fisik yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan konsep diri.


Sedangkan gangguan psikologis dapat terjadi karena kondisi tersebut mungkin
mengurangi keindahan penampilan dan reaksi emosional (Doenges, 2007).

C. ETIOLOGI
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2006), penyebab kurang perawatan diri
adalah sebagai berikut:
1. Kelelahan fisik.
2. Penurunan kesadaran.
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor prediposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.

2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dari defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.

D. TANDA DAN GEJALA


Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:

1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor.
b. Rambut dan kulit kotor.
c. Kuku panjang dan kotor.
d. Gigi kotor disertai mulut bau.
e. Penampilan tidak rapi.

2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif.
b. Menarik diri, isolasi diri.
c. Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

3. Sosial
a. Interaksi kurang.
b. Kegiatan kurang.
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
d. Cara makan tidak teratur Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar
(BAB) disembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu
mandiri.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang


Manifestasi Klinis
Menurut Direja (2011), menyebutkan bahwa manifestasi klinik dari Defisit
Perawatan Diri adalah sebagai berikut:
1. Mandi/ hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh
atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan
keluar kamar mandi.

2. Berpakaian/ berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian.
Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam,
memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan
kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan,
mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.

3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi
makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukannya
ke mulut, melengkapi makanan, mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna
cukup makanan dengan aman.

4. Buang Air Besar (BAB)/ Buang Air Kecil (BAK)


Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah Buang Air Besar
(BAB)/ Buang Air Kecil (BAK) dengan tepat, dan menyiram toileting atau
kamar kecil.

Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah:


1. Data subyektif
a. Pasien merasa lemah.
b. Malas untuk beraktivitas.
c. Merasa tidak berdaya
.
2. Data obyektif
a. Rambut kotor, acak-acakan.
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor.
e. Kuku panjang dan tidak terawat.

E. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN DEVISIT PERAWATAN DIRI


1. Pengkajian
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013:134), Kurang perawatan diri pada
pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir
sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun.
Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan
diri, makan secara mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting: Buang
Air Besar (BAB), Buang Air Kecil (BAK) secara mandiri. Untuk mengetahui
apakah pasien mengalami masalah perawatan diri maka tanda dan gejala
dapat diperoleh melalui observasi pada pasien yaitu gangguan kebersihan
diri ditandai dengan (rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau,
kuku panjang dan kotor), ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai
dengan (rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak
sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak
berdandan), ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
(ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan
tidak pada tempatnya), ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai dengan (BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan
diri dengan baik setelah BAB/BAK).

Menurut Keliat,BA (2011), Setiap melakukan pengkajian, tulis tempat


klien dirawat dan tanggal dirawat.
Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut :

1. Identitas
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan
klien tentang : nama perawat, nama klien, panggilan perawat,
panggilan klien, tujuan, waktu, tempat, pertemuan, topik yang akan
dibicarakan. Usia dan nomor rekam medik. Perawat menuliskan data
yang didapat.

2. Alasan Masuk
Tanyakan pada klien atau keluarga klien tentang apa yang
menyebabkan klien dibawa ke rumah sakit (alasan masuk ditulis
singkat tapi jelas, dipilih yang menurut keluarga paling menyebabkan
klien dibawa ke rumah sakit, misalnya karena mengamuk, banyak diam
dan mudah tersinggung).

3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang didapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stres. Dalam pengkajian faktor predisposisi peran
perawatan terhadap klien/ keluarganya yaitu menanyakan kepada
klien/keluarga apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa
lalu.

Apakah klien pernah melakukan, mengalami atau menyaksikan


penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam keluarga, dan tindakan kriminal. Apakah ada anggota keluarga
lain yang mengalami gangguan jiwa, apabila ada anggota keluarga lain
yang mengalami gangguan jiwa, tanyakan bagaimana hubungan klien
dengan anggota keluarga tersebut.

Apa gejala yang dialami serta riwayat pengobatan dan perawatan yang
pernah diberikan kepada anggota keluarga tersebut. Tanyakan kepada
klien/keluarga tentang pengalaman yang tidak menyenangkan
(kegagalan, kehilangan/ perpisahan/ kematian, trauma selama tumbuh
kembang) yang pernah dialami klien pada masa lalu.
4. Fisik
Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ yaitu ukur
dan observasi tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu,
pernapasan klien. Ukur tinggi badan dan berat badan klien. Tanyakan
apakah berat badan klien naik atau turun. Kaji lebih lanjut tentang
sistem dan fungsi organ serta jelaskan sesuai dengan keluhan yang
ada.

5. Psikososial
a. Genogram
Genogram adalah suatu gambaran susunan keluarga yang dapat
menggambarkan hubungan klien pada keluarga dan masalah yang
terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan pola asuh.
Buatlah genogram minimal Tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, jelaskan masalah
yang terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola
asuh.

b. Konsep Diri
Menurut Sunaryo (2013), Konsep diri adalah cara individu
memandang dirinya secara utuh, menyangkut, fisik, emosi,
intelektual, sosial, dan spiritual.

Adapun berbagai komponen dalam konsep diri meliputi:


a) Gambaran Diri/Body Image
Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik
secara sadar maupun tidak sadar, meliputi penampilan, potensi
tubuh, fungsi tubuh, serta persepsi, dan perasaan tentang
ukuran dan bentuk tubuh.

Dalam melaksanakan pengkajian psikososial mengenai konsep diri


dalam komponen gambaran diri peran peran perawat terhadap
pasien adalah menanyakan presepsi klien terhadap tubuhnya,
bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.

b) Ideal Diri
Ideal diri adalah presepsi individu tentang perilakunya,
disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-
cita, harapan, tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang
ingin dicapai.

Peran perawat terhadap pasien dalam melakukan pengkajian


psikososial mengenai konsep diri dalam komponen adalah
menanyakan tentang harapan terhadap tubuh, posisi, status,
tugas/peran, harapan klien

c) Harga Diri
Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai,
dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu
tersebut sesuai dengan ideal diri. Dalam melaksanakan
pengkajian psikososial mengenai konsep diri dalam komponen
harga diri peran perawat terhadap pasien adalah menanyakan
tentang hubungan klien dengan orang lain terkait dengan citra
tubuh, identitas diri dan peran, penilaian/penghargaan orang
lain terhadap diri dan kehidupannya.

d) Peran Diri
Peran diri adalah pola perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi yang
diharapkan individu berdasarkan posisinya dimasyarakat. Dalam
melaksanakan pengkajian psikososial mengenai konsep diri dalam
komponen peran diri peran perawat terhadap pasien adalah
menanyakan tentang tugas/ peran yang diemban dalam
keluarga/ kelompok/ masyarakat, kemampuan klien dalam
melaksanakan tugas/peran tersebut. terhadap lingkungan
(keluarga, sekelompok, tempat kerja, masyarakat), harapan
klien terhadap penyakitnya.

e) Identitas Diri
Identitas diri adalah kesadaran akan diri pribadi yang
bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintetis dari
semua aspek konsep diri dan menjadi kesatuan yang utuh.

Dalam melaksanakan pengkajian psikososial mengenani konsep


diri dalam komponen identitas diri peran perawat terhadap
pasien adalah menanyakan tentang status dan posisi klien
sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap status dan posisinya
(sekolah, tempat kerja, kelompok), kepuasan klien sebagai laki-
laki/perempuan.

c. Hubungan Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan dinamis yang menyangkut
hubungan antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam bentuk kerja
sama, persaingan, ataupun pertikaian (Sunaryo, 2013).

Dalam melaksanakan pengkajian psikososial mengenai hubungan


sosial peran perawat terhadap pasien adalah menanyakan kepada
klien siapa orang terdekat dalam kehidupanya, tempat mengadu,
tempat berbicara, minta bantuan atau sokongan, kelompok apa
saja yang diikuti klien dalam masyarakat.

d. Spiritual
Tanyakan nilai dan keyakinan kepada klien tentang pandangan dan
keyakinan terhadap gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan
agama yang dianut.

6. Status Mental
Status mental adalah keadaan yang menggambarkan alam pikiran,
sikap, perilaku, ucapan, proses pemikiran, presepsi, dan kognisi
pasien.
a. Penampilan
Didapatkan melalui observasi perawat tentang penampilan fisik
(kondisi rambut, kuku, kulit, gigi dan cara berpakaian).

b. Pembicaraan
Apakah pembicaraan pasien cepat, keras, gagap, membisu, apatis
atau lambat. Apakah pembicaraan pasien inkoheren (berpindah
pindah dari satu kalimat kekalimat lain yang tidak ada kaitannya
dan sulit dipahami, atau bicaranya kacau). Tidak dapat memulai
pembicaraan.

c. Aktivitas motorik
Apakah pasien lesu (hipomotorik) segala aktivitas sehari-hari
dengan bantuan perawat atau orang lain atau sebaliknya
hipermotorik. Tik (gerakan kecil pada otot muka yang tidak
terkontrol), agitasi (gerakan motorik yang menunjukan
kegelisahan).

Grimasen (gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat


dikontrol klien). Tremor (jari-jari yang tampak gemetar). Kompulsi
(kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang).

d. Alam perasaan
Dapat didapatkan data adanya perasaan yaitu sedih, putus asa,
gembira, khawatir dan takut.

e. Afek
Afek adalah perasaan yang menguasai segenap hidup jiwa, tidak
dapat dikontrol, dan dikuasai oleh pikiran. Dalam melaksanakan
pengkajian perawat terhadap pasien yaitu didapatkan data dari
respon pasien saat wawancara antara lain apporpiate (tepat),
inapropiate (tidak tepat) (Sunaryo, 2013:163).

Dalam inapropiate terdapat jenis afek yang lain diantaranya adalah


datar (pasien tidak menunjukkan perubahan roman muka), tumpul
(pasien hanya akan memberi respon jika diberikan stimulus yang
kuat, misalnya ditepuk, labil (emosi pasien cepat berubah), yang
terakhir adalah afek tidak sesuai.

f. Interaksi selama wawancara


Apakah selama berinteraksi pasien bermusuhan, tidak koperatif,
atau mudah tersinggung. Kemudian bagaimanakah kontak pasien
selama wawancara (tidak ada kontak mata, mudah beralih atau
dapat mempertahankan kontak mata), defensive (selalu berusaha
mempertahankan pendapat atau kebenaran dirinya) atau apakah
pasien curiga.

g. Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan suatu objek yang
diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya rangsang
oleh alat indra, kemudian individu memiliki perhatian, selanjutnya
diteruskan ke otak, lalu individu menyadari tentang sesuatu yang
diamati (Sunaryo, 2013:95). Dalam melakukan pengkajian perawat
terhadap pasien yaitu mengkaji pengalaman pasien tentang
halusinasi dan ilusi.

Tanyakan jenis halusinasi, isi, waktu terjadinya halusinasi,


frekuensinya, respon selama halusinasi muncul, tindakan yang
sudah dilakukan untuk mengontrol/ menghilangkan halusinasi serta
keberhasilannya.

h. Proses Pikir
Apakah pasien sirkumtansial (pembicaraan yang berbelit-belit
tetapi sampai pada tujuan pembicaraan), tangensial (pembicaraan
yang berbelit-belit tetapi tidak sampai pada tujuan pembicaraan).
Kehilangan asosiasi (pembicaraan yang tidak ada hubungannya
antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dan pasein tidak
menyadarinya).

Flight Of Ideas (pembicaraan yang meloncat dari satu topik ke


topik yang lain tetapi masih ada hubungan yang tidak logis, tidak
sampai kepada tujuan, akan tetapi perawat dapat memahami
kalimat yang diucapkan pasien).

Blocking (pembicaraan yang terhenti secara tiba-tiba kemudian


melanjutkan pembicaraan lagi). Reeming (pembicaraan yang secara
perlahan intonasinya menurun dan kemudian berhenti dan pasien
tidak dapat melanjutkan pembicaraan lagi). Perseverasi
(pembicaraan yang diulang berkali-kali).

i. Isi Pikir
Apakah isi pikir pasien obsesi (pikiran yang selalu muncul walaupun
pasien berusaha menghilangkannya). Phobia (ketakutan yang
patologis). Ide terkait (keyakinan pasien terhadap kejadian yang
terjadi di lingkungannya yang bermakna dan terkait dengan
dirinya).

Depersonalisasi (perasaan pasien yang asing terhadap dirinya


sendiri, orang lain, dan lingkungannya). Waham ada bermacam-
macam yaitu waham agama, somatik, kebesaran, curiga, nihilistik,
hipokondria magik, mistik, ada pula waham bizar yaitu sisi pikir
(pasien yakin ada ide pikiran orang yang di sisipkan ke dalam
pikirannya, yang disampaikan berulang-ulang dan tidak sesuai
dengan kenyataannya).

Siar pikir (pasien yakin orang lain mengetahui apa yang sedang dia
pikirkan), kontrol pikir (pasien yakin pikirannya dikontrol oleh
kekuatan dari luar).
j. Tingkat Kesadaran atau Orientasi
Yaitu mengkaji kesadaran pasien (tampak bingung dan kacau),
sedasi (mengatakan bahwa pasien melayang-layang), stupor
(gangguan motorik seperti ketakutan, gerakan yang di ulang-ulang),
orientasi pasien terhadap waktu dan tempat.

k. Memori
Apakah pasien mengalami gangguan daya ingat jangka panjang
(kejadian lebih dari 1 Bulan), gangguan daya ingat jangka pendek
(yaitu kejadian yang terjadi dalam satu minggu terakhir). Gangguan
daya ingat ini adalah kejadian yang baru terjadi. Konfabulasi
(pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dengan memasukkan
cerita yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya ingatnya).

l. Tingkat konsentrasi dan berhitung kemampuan penilaian


Apakah dalam berinteraksi pasien mudah di alihkan (perhatian
pasien mudah berganti dari satu obyek ke obyek lain). Tidak
mampu bekomunikasi (pasien selalu minta agar pertanyaan dapat
menjelaskan kembali pembicaraan), apakah pasien tidak mampu
berhitung.

m. Kemampuan penilaian
Kaji tentang gangguan kamampuan penilaian ringan.
n. Daya tilik diri
Apakah pasien menyadari keberadaan dirinya di Rumah Sakit,
apakah menyadari penyakitnya, dan tujuan berada dirumah sakit.

7. Kebutuhan Persiapan Pulang


Meliputi : makan, BAK/BAB, mandi, berpakaian, istirahat dan tidur,
penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktivitas didalam rumah
dan aktivitas diluar rumah (Apakah paien dapat melakukannya secara
mandiri, dengan bantuan minimal atau dengan bantuan total).

8. Mekanisme Koping
a. Meliputi koping adaptif dan maladaptive
b. Ketika menghadapi masalah, tekanan dan peristiwa traumatic yang
hebat, apa yang dilakukan pasien dalam mengatasi masalah
tersebut.

Cerita dengan orang lain (asertif), diam (represi/supresi), menyalahkan


orang lain (sublimasi), mengamuk atau merusak alat-alat rumah tangga
(displacement), mengalihkan kegiatan yang bermanfaat (konversi),
memberi alasan yang logis (rasionalisasi), mundur ke tahap perkembangan
sebelumnya (regresi), dialihkan keobjek lain (proyeksi).
2. Diagnosa Keperawatan Jiwa
a. Pohon Masalah

Defisit Perawatan Diri

Menarik Diri : Isplasi Sosial

Harga Diri Rendah

b. Masalah keperawatan yang mungkin muncul


a) Defisit perawatan diri
b) Harga diri rendah
c) Menarik diri

c. Rumusan diagnosa
a) Defisit perawatan diri
b) Harga diri rendah
c) Menarik diri

3. Fokus Intervensi
a. Defisit perawatan diri
Tujuan tindakan keperawatan agar pasien mampu:
a) Melakukan kebersihan diri sendiri secara mandiri.
b) Melakukan berhias/berdandan secara baik.
c) Melakukan makan dengan baik.
d) Melakukan BAB/BAK secara mandiri

Intervensi:
Strategi Pelaksanaan I (SP) Pasien:
a) Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
b) Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP II Pasien:
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Menjelaskan cara makan yang baik.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara makan yang baik.
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian.

SP III Pasien:
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Menjelaskan cara eliminasi yang baik.
c) Membantu pasien mempraktekkan cara eliminasi yang baik dan
memasukkan dalam jadwal.
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV Pasien:
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Menjelaskan cara berdandan.
c) Membantu pasien mempraktekan cara berdandan
d) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP I Keluarga:
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri,
dan jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta
prosesnya terjadinya.
c) Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri.

SP II Keluarga:
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
defisit perawatan diri.
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
defisit perawatan diri.

SP III Keluarga:
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (Discharge Planning).
b) Menjelaskan Follow Up pasien setelah pulang.

b. Harga diri rendah


Tujuan tindakan keperawatan agar pasien mampu:
a) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b) Menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c) Menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai dengan kemampuan.
d) Melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan.
e) Merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.

Intervensi:
Strategi Pelaksanaan I (SP) Pasien:
a) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
b) Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat
digunakan.
c) Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien.
d) Melatih pasien sesuai kemampuan yang dipilih.
e) Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan pasien.
f) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP II Pasien:
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b) Melatih kemampuan kedua.
c) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP I Keluarga:
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
c) Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah.
SP II Keluarga:
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
harga diri rendah.

b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien


harga diri rendah.

SP III Keluarga:
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (Discharge Planning).
b) Menjelaskan Follow Up pasien setelah pulang.

c. Isolasi Sosial: Menarik diri


Tujuan tindakan keperawatan agar pasien mampu:
a) Melakukan untuk memulai hubungan/ berinteraksi dengan orang
lain.
b) Pasien dapat mengembangkan dan meningkatkan hubungan/
interaksi sosial dengan orang lain.
c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.

Intervensi:
Strategi Pelaksanaan I Pasien :
a) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
b) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
c) Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain
d) Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
e) Menganjurkan memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian

SP II Pasien :
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b) Memberikan kesempatan pada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan satu orang
c) Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian

SP III Pasien :
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b) Memberikan kesempatan pada pasien berkenalan dengan dua
orang atau lebih
c) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP I Keluarga :
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
b) Menjelaskan pengertian tanda gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya
c) Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi social

SP II Keluarga :
a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat langsung
kepada pasien isolasi sosial
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien isolasi sosial.

SP III Keluarga :
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (Discharge Planning)
b) Menjelaskan Follow Up pasien setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA

Tahapan-Tahapan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok, https://123dok.com/


written by Lintang Ega, Terapi Kelompok: Manfaat – Jenis dan Contohnya,
https://dosenpsikologi.com/
written by Derina Asta, 11 Jenis Terapi Aktivitas Kelompok Jiwa,
https://dosenpsikologi.com/
Dexta, 2020, Mengenal Konsep dari Psikofarmaka, https:// maimelajah.
com/
Nursing For Knowledge, 2013, Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan psikososial, https://yosamfajar.blogspot.com/
Leniharwita, 2016, Asuhan Keperawatan Dengan Ansietas (Kecemasan),
https://leniharwita96.blogspot.com/
Anonim, Diagnosa Keperawatan NANDA NIC-NOC (terjemahan)
Hawari, D., 2008, Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Balai Penerbit
FKUI : Jakarta.
Ibrahim, Ayub Sani. 2007. Panik Neurosis dan Gangguan Cemas. Dua As-
As : Jakarta
Kaplan, Harold I, dkk. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Widya
Medika : Jakarta
Mansjoer, A., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Penerbit
Aesculapius : Jakarta.
Nurjannah, I., 2004, Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Manajemen,
Proses Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, Penerbit
MocoMedia : Yogyakarta.
Stuart, G.W., dan Sundden, S.J., 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa,
Edisi 3, EGC : Jakarta.
Suliswati, dkk., 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC :
Jakarta.
Videbeck, S.J., 2008, Buku Ajar sKeperawatan Jiwa, EGC : Jakarta.
Susilawati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta : EGC
Stuart, Gail W. 2002. Buku Saku Keperawatn Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
Stuart, Gail W dan Sandra J. Sundeen. 2002. Buu Saku Keperawatan Jiwa
Edis . Jakarta : EGC
Jurnalis Keperawatan Indonesia, (2019). Konsep Askep Gangguan Citra
Tubuh, https://jurnalis-perawat.blogspot.com/
https://n2ncollection.com/.Asuhan Keperawatan Berbasis SDKI, SLKI, SIKI
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international
Nursing Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford :
Wiley Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical
surgical Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and
Practice. Jakarta: EGC
Rando TA. 1986. Loss and Anticipatory Grief. Lexington: Lexiton Mass
Konsep Kehilangan Dalam Keperawatan, https://starnurse.blogspot.com/
Nugraha Fauzi,2019. Berduka – Tanda Gejala, Penyebab dan Rencana
Asuhan Keperawatan (SDKI), (2019). https://www.nerslicious.com/
PPNI (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Ackley, B. J., Ladwig, G. B., Msn, R. N., Makic, M. B. F., Martinez-
Kratz, M., & Zanotti, M. (2019). Nursing Diagnosis Handbook E-
Book: An Evidence-Based Guide to Planning Care. Mosby.
Carpenito-Moyet, L. J. (2006). Handbook of nursing diagnosis. Lippincott
Williams & Wilkins.
Melinda Fauzia AKBAR, 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien
Kehilangan dan Berduka. https://samoke2012.files.wordpress.com/
Nurhalimah (2018) Modul Ajar Konsep Keperawatan Jiwa. Jakarta. AIPVIKI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI
Asuhan Keperawatan Harga Diri Rendah (HDR),
2023.https://www .magungakbar. com/
Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial, 2023. https://www.magungakbar.com/
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009.
Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.
Maramis, W, F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University
Press. Surabaya.
Nasution, Saidah, S. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Perubahan Sensori Persepsi: Halusinasi. http://usupress.usu.ac.id.
Stuart & Sundeen. 1998. Buku Saku Keperwatan Jiwa, Edisi 3. EGC:
Jakarta.
Townsend, C, Mary. 2002. Psychiatric Mental Health Nursing Consepts of
Care,ed.4. Davis Company. Philadelphia.
Muchlisin Riadi, 2013. Pengertian, Jenis dan Tahapan Halusinasi.
https://www.kajianpustaka.com/
TILLA VANA ILHAM, 2017. asuhan keperawatan pada klien halusinasi di
kelurahan surau gadang wilayah kerja puskesmas nanggalo kota
padang. https://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/
Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi (Askep Jiwa Halusinasi).
https://lianerako.blogspot.com/2014
Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain
terhadap Penurunan Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia.
Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan , 138-139.
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).
Jakarta: Salemba Medika.
Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa. Medan: USU Press.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika
Aditama.
Azizatul Latifah, 2015. konsep dan asuhan keperawatan resiko perilaku
kekerasan. https://azizahlatifah24.blogspot.com/
Fixabay.com, 2020.Dokumentasi Keperawatan (Cara Penulisan SOAP/
SOAPIER). https://mediaperawat.id/
Buku Standar Keperawatan Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan
Keteknisian Medik Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI 2012.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (2016). Standar Diagnosisi
keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1.
UU Keperawatan no.38 RI,tahun 2014. Treas L.S & Wilkinson J.M (2014).
Basic nursing: Concepts, skills & reasoning, Vol.1. F.A. Davis
Company. Philadelphia.
Zaenur Rachman Sidik, Amd. Kep, 2017. Defisit Perawatan Diri.
https://zaenurrachmans.blogspot.com/.

Anda mungkin juga menyukai