Materi Bu Susi Upload

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

PENYEBAB, DAMPAK DAN BAGAIMANA “STOP” BULLYING

Susianah Affandy, M.Si


(Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI)

Di zaman yang serba digital, perilaku bullying banyak kita ketahui dari beredarnya video
yang viral. Anak sekolah berseragam dalam video yang tersebar di dunia maya melakoni peran
bak jagoan dalam tindakan kekerasan yang brutal. Dada kita sebagai orang dewasa sesak,
sedangkan ada kecenderungan di kalangan anak-anak mereka anggap “ngetrend” adalah
merekam video kekerasan “bullying” yang terjadi di lingkungan sekolah. Media digital disalah
gunakan oleh anak-anak (dalam pandangan penulis perilakunya meniru orang dewasa) untuk
mempropagandakan kekerasan. Apa sebenarnya penyebab, dampak dan bagaimana
mencegah terjadinya bullying di sekolah?
Penyebab dan Bentuk Bullying
Bullying merupakan masalah yang telah ada sejak lama dan dikenal dengan istilah yang
berbeda-beda, seperti penggencetan atau penindasan. Bullying adalah perilaku menyimpang
yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang lebih kuat terhadap orang yang lemah
dengan tujuan untuk mengancam, menakuti, atau membuat korbannya tidak bahagia (Lestari,
2016). Perilaku menyimpang ini bisa terjadi dimana saja, di sekolah, rumah, dan lingkungan
lainnya. Namun, bullying lebih sering ditemukan terjadi dilakukan di sekolah dan pelakunya
merupakan siswa. Berdasarkan data UNICEF (2015), 40% anak Indonesia mengaku
mengalami bullying di sekolah. Sementara itu, survey nasional yang dilakukan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan 23% anak melakukan bullying meski
sudah diajarkan orang tua untuk tidak melakukan hal tersebut.
Bullying biasanya terjadi karena adanya karakteristik tertentu pada seseorang yang
sering dianggap berbeda, misalnya korban bullying biasanya memiliki penampilan atau memiliki
kebiasaan yang berbeda dalam berperilaku sehari-hari (Murphy, 2009). Karakteristik korban
bullying secara eksternal biasanya karena berasal dari latar belakang etnik, keyakinan, ataupun
budaya yang berbeda dari kebanyakan anak di lingkungan tersebut. Selain itu, anak menjadi
target dikarenakan mereka memiliki kemampuan atau bakat istimewa. Ada pula anak-anak
yang menjadi korban bullying karena mereka memiliki keterbatasan kemampuan tertentu,
misalnya mengalami kesulitan membaca atau kesulitan berhitung. Sedangkan karakteristik
korban secara internal adalah anak-anak yang memiliki jenis kepribadian pasif dan submisif.
Anak-anak ini cenderung tidak mampu mempertahankan diri mereka dan hak-hak mereka,
walaupun tidak sedang dalam situasi menjadi target bullying. Karakteristik lain yakni mereka
yang memiliki kecemasan, kegugupan, ataupun rasa tidak aman.
Bentuk Bullying dapat dilakukan secara fisik, verbal, maupun psikologis (Lestari, 2016).
Bullying fisik, meliputi tindakan menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi,
memalak, melempar dengan barang, serta menghukum dengan berlari keliling lapangan atau
push up. Sementara itu, bullying verbal terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran,
seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan umum, menuduh,
menyebar gossip dan menyebar fitnah. Sedangkan bullying mental atau psikologis, merupakan
jenis bullying paling berbahaya karena bullying bentuk ini langsung menyerang mental atau
psikologis korban, tidak tertangkap mata atau pendengaran, seperti memandang sinis, meneror
lewat pesan atau sms, mempermalukan, dan mencibir.
Hidayati (2012) mengatakan Bullying merupakan ancaman serius terhadap
perkembangan anak dan merupakan penyebab potensial terhadap kekerasan dalam sekolah.
Bullying juga telah menjadi masalah sosial yang sering kali ditemukan dalam sekolah, Tindakan
bullying pada anak dianggap sebagai bentuk awal dari kekerasan yang terjadi di masa remaja,
dan dapat mewujud dalam bentuk yang serius, misalnya menumbuhkan perilaku antisosial.
Lebih lanjut Hidayati (2012), mengatakan korban bullying akan memunculkan sikap yang
agresif. Bullying juga telah menjadi masalah sosial yang sering kali ditemukan dalam sekolah.
Latar Belakang Pelaku dan Faktor Pendorong
Sementara itu, untuk karakteristik pelaku bullying, Hidayati (2012) mengatakan biasanya
secara berlebihan bersikap agresif, destruktif, dan menikmati dominasi mereka atas anak-anak
lain. Mereka juga cenderung mudah tersinggung, meledak-ledak, dan memiliki toleransi yang
rendah terhadap frustrasi. Selain itu, pelaku bullying cenderung mengalami kesulitan dalam
pemrosesan informasi sosial sehingga sering menginterpretasikan secara keliru perilaku anak
lain sebagai perilaku bermusuhan, bahkan ketika sebenarnya sikap permusuhan itu tidak
ditunjukkan anak lain tersebut.
Munculnya perilaku bullying terutama yang saat ini marak terjadi baik di sekolah secara
langsung melalui kekerasan fisik ataupun tidak langsung melalui sosial media, terjadi karena
banyak faktor salah satunya adalah pola asuh. Hidayati (2012) mengatakan latar belakang para
pelaku bullying memiliki kekhasan, yakni banyak di antara mereka orang tuanya tidak
memperikan panduan atau bimbingan yang cukup mengenai perilaku positif. Pola asuh yang
terlalu permisif, terlalu keras, atau tidak konsisten dalam menjalankan disiplin juga berpengaruh
dalam pembentukan seorang anak memiliki kecenderungan melakukan bullying terhadap anak
lain. Sementara itu, Lestari (2016) mengungkapkan selain faktor pola asuh keluarga, faktor
sekolah, media massa, budaya, serta teman sebaya juga mendorong adanya perilaku bullying
pada anak.
Faktor sekolah yang menyebabkan terjadinya bullying adalah dikarenakan
kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan keberadaan bullying menjadikan siswa
yang menjadi pelaku bullying semakin mendapatkan penguatan terhadap perilaku tersebut.
Selain itu, bullying dapat terjadi di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru
rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan
peraturan yang tidak konsisten. Faktor media massa juga menjadi penyebab terbesar perilaku
bullying dewasa ini di Indonesia. Lestari (2016) mengungkapkan survey yang dilakukan
terhadap anak-anak menyebutkan 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya,
umunya mereka meniru gerakannya (64%) dan kata-katanya (43%). Hal ini dapat menciptakan
perilaku anak yang keras dan kasar yang selanjutnya memicu serta memungkinkan terjadi
bullying yang dilakukan oleh anak-anak terhadap teman-temannya di sekolah.

Selain itu, faktor budaya juga menjadi penyebab dari timbulnya perilaku bullying, faktor kriminal
budaya menjadi salah satu penyebab munculnya perilaku bullying. Suasana politik yang kacau,
perekonomian yang tidak menentu, prasangka dan diskriminasi, konflik dalam masyarakat, dan
ethnosentrime, hal ini dapat mendorong anak-anak dan remaja menjadi seorang yang depresi,
stress, arogan dan kasar. Faktor terakhir adalah teman sebaya. Kelompok teman sebaya (genk)
yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang buruk bagi teman-teman
lainnya seperti berperilaku dan berkata kasar terhadap guru atau sesama teman dan
membolos. Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah,
kadang kala terdorong utnuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying hanya
untuk membuktikan kepada teman sebayanya agar diterima dalam kelompok tersebut,
walaupun sebenarnya mereka tidak nyaman melakukan hal tersebut.
Faktor keluarga sebenarnya memiliki andil besar dalam menanggulangi perilaku bullying
anak-anak di sekolah karena keluarga menjadi salah satu penyebab awal timbulnya perilaku
bullying pada anak. Para pelaku bullying banyak yang mengaku, keluarga mereka tidak
memberikan kasih sayang dan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, padahal
seharusnya anak-anak di usia remaja diberikan perhatian yang ekstra karena di usia inilah para
remaja rentan terhadap hal-hal yang berbau negatif (Lestari, 2016).
Dampak Bagi Tumbuh Kembang Anak
Bullying memang memiliki dampak yang cukup besar bagi tumbuh kembang anak.
Selain dapat berbahaya bagi fisik, bullying juga membahayakan karena menyakiti kondisi
psikologis korban, dan mungkin membekas seumur hidup. Muliaty (2012) mengungkapkan ada
empat dampak dari perilaku menyimpang ini, yakni:
a) Psychological well-being yang rendah. Termasuk di antaranya pandangan mengenai
keadaan yang secara umum tidak menyenangkan, seperti perasaan tidak bahagia
secara umum, self-esteem rendah, dan perasaan marah dan sedih.
b) Penyesuaian sosial yang buruk. Termasuk adanya perasaan benci terhadap lingkungan
sosial, mengekspresikan ketidaksenangan terhadap sekolah, merasa kesepian, merasa
tensolasi, dan sering membolos.
c) Psychological distress. Termasuk di antaranya adalah tingkat kecemasan yang tinggi,
depresi dan pikiran-pikiran untuk bunuh diri.
d) Physical unwellness. Adanya tanda-tanda yang jelas mengenai masalah fisik dan dapat
dikenali melalui diagnosis medis sebagai penyakit. Gejala psikosomatis termasuk di
dalam kategori ini.
Gejala-gejala dampak dari bullying ini dapat berupa perubahan mendadak dalam diri
anak, misalnya anak yang tadinya ceria berubah menjadi rendah diri, mudah cemas, tidak
percaya diri, mengurung diri, kurangnya konsentrasi dan prestasi akademis yang menurun,
hingga melancarkan tindakan bullying pada orang lain.
Peran Siswa Dalam Stop Bullying
Dalam banyak kegiatan semacam Seminar dan pelatihan, para ahli mengungkapkan tips
yang bisa dilakukan para siswa dalam gerakan “Stop” bullying. Peran siswa harus ditempatkan
di posisi sentral mengingat mereka sendiri dunianya yang dalam posisi pubertas sangat rentan
dengan berbagai tindakan kekeraan. Siswa harus diposisikan sebagai pelopor dan pelapor
dalam program “Stop Bullying”. Selama ini siswa disepelekan oleh banyak pendidikan dan
tenaga kependidikan di lingkungan sekolah, hanya dianggap sebagai pihak yang tidak tahu atau
pasif sedangkan guru dan pihak sekolahlah yang aktif. Logika tersebut harus dibalik. Pihak
sekolah harus menempatkan siswa sebagai generasi pelopor khususnya dalam gerakan “Stop
Bullying”.
Implementasi generasi pelopor harus bisa diwujukan dengan peran aktif siswa dalam
membangun solidaritas di antara siswa lainnya. Mereka harus berani katakan “tidak” pada
semua bentuk “bullying”. Siswa harus memiliki keberanian dalam membangun semangat saling
mengingatkan satu sama lain. Jika di sekitarnya terdapat seseorang atau kelompok melakukan
“bully”, siswa harus berani mengingatkan. Pihak sekolah sendiri harus dapat memberikan ruang
yang kondusif bagi semua siswa untuk mengadukan atau melaporkan kepada guru atau orang
dewasa ketika mengetahui terjadinya bullying.
Guru dan pihak sekolah harus memberikan contoh bagaimana menghargai perbedaan
di bagi peserta didik. Karena bullying banyak disebabkan adanya perbedaan, maka melakukan
gerakan “stop bullying” harus dilakukan dengan adanya penerimaan perbedaan. Selain itu,
pihak sekolah yang terdiri dari pendidik dan tenaga kependidikan juga harus dapat
mencotohkan pola hubungan saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama.

Daftar Pustaka
Hidayati, Nurul. 2012. Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. INSAN, 14 (01), 41-48.

Lestari, Windy Sartika. 2016. Analisis faktor-faktor penyebab bullying di kalangan peserta didik.
SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 3 (2), 147-157.

Muliaty, Dewi. 2012. Hubungan antara bullying dengan body satisfaction pada remaja putra
korban bullying terhadap penampilan fisik. Depok: Universitas Indonesia.

UNICEF. 2015. Laporan Tahunan Indonesia 2015. Jakarta: UNICEF Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai