Tinjauan Pustaka Pengertian Dan Potensi Tanah Sulfat Masam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Potensi Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam umumnya bertekstur liat, berada di lahan rawa

pantai serta memiliki lapisan gambut tipis <20 cm dan memiliki lapisan pirit

yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horizon sulfidik)

pada kedalaman 0-50 cm. Lapisan pirit atau sulfidik, adalah lapisan tanah

yang mengandung pirit >2%, sedangkan horizon sulfidik adalah horizon tanah

yang terbentuk oleh adanya proses oksidasi pirit yang pada umumnya dicirikan

oleh terdapatnya jarosite dan pH tanah <3.5 (Widjaja-Adhi, 1992).

Tipologi lahan rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, disajikan

pada Tabel 1.

Berdasarkan identifikasi dan karakteristik tanah, maka tanah sulfat

masam terdapat dua macam (Soil Survey Staff, 1996), yaitu (1) Sulfat masam

potensial, dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada

kedalaman 0-50 cm dan pH >4.0, termasuk dalam klasifikasi tanah Entisols:

Histic Sulfaquents, Haplic Sulfaquents, Typic Sulfaquents, dan (2) Sulfat masam

aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada

kedalaman 0-50 cm dan pH <3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah Inceptisols:

Typic Sulfaquepts, Sulfic Tropaquepts.

Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan lapisan sulfidik secara lebih rinci,

yaitu lapisan tanah yang memiliki pH >3.5 dimana jika diinkubasi pada kondisi

kapasitas lapang dengan ketebalan lapisan tanah 1cm selama 8 minggu, maka

pH tanah akan turun 0.5 satuan atau lebih sampai nilai 4.0 atau kurang.
Tabel 1. Tipologi Lahan Rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua

I Simbol I Karakter / Kriteria


Berdasarkan kedalaman gambut:
G1 [ Gambut danqkal, 50 - 100 cm
G2 Gambut sedang, 100 - 200 cm
G3 Gambut dalam, 200 - 300 cm
G4 Gambut sanqat dalam, >300 cm
Berdasarkan kedalaman letak lapisan pirit dan oksidasi pirit:
SMPl Lahan sulfat masam potensial danqkal, kedalaman lapisan pirit <50cm
SMP2 Lahan sulfat masam potensial dalam, kedalaman lapisan pirit 50-100 cm
SMP3 Lahan sulfat masam potensial sangat dalam, kedalaman lapisan pirit
100 - 150 cm
SMAl Lahan sulfat masam aktual, oksidasi pirit telah terjadi tetapi belum
menunjukkan adanya horizon sulfidik (adanya jarosite, pH ~ 5 . 5 )
SMA2 Lahan sulfat masam aktual, telah terlihat ciri horizon sulfidik dan
kedalaman bercak berpirit 50 - 100 cm
SMA3 Lahan sulfat masam aktual, horizon sulfidik telah terlihat (adanya
iarosite. DH ~ 3 . 5 dan
) kedalaman bercak ber~irit>I00 cm
1 Berdasarkan kedalaman dan lama qenanqan:
R1 Rawa dangkal, kedalaman <50 cm, lama genanqan < 3 bulan
R2 Rawa tenqahan, kedalaman 50-100 cm, lama qenanqan 3-6 bulan
R3 Rawa dalam, kedalaman >I00 cm, lama genangan >6 bulan
Sumber: Widjaja-Adhi, 1987; Ritzema et al., 1992

Luas lahan bertanah sulfat masam di seluruh dunia kurang lebih 12 juta

hektat- (Dent, 1986). Beek et al. (1980) dalam Konsten et al (1990)

memperkirakan luas tanah sulfat masam di dunia lebih besar lagi, 12 - 14 juta

hektar. Dari luasan tersebut, menurut Nugroho et al, (1992) yang terdapat di

Indonesia kurang lebih 6.7 juta hektar. Lahan bertanah sulfat masam memiliki

topografi datar sehingga sesuai untuk berbagai jenis penggunaan.

Tanah sulfat masam potensial dapat berubah menjadi tanah sulfat

masam aktual apabila mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi.

Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob akan

teroksidasi apabila kondisi berubah menjadi aerob. Turunnya permukaan air

tanah akibat pembuatan saluran drainase secara perlahan-lahan akan


memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah dan selanjutnya akan

mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan besi feri. Apabila

oksidasi pirit berlangsung cepat, maka akan terbentuk mineral jarosite berupa

bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).

Ketersediaan air di lahan pasang surut sulfat masam dari segi kuantitas

umumnya tidak menjadi masalah. Disamping itu, kenyataan menunjukkan

bahwa daerah tanah sulfat masam umumnya memiliki iklim yang sesuai untuk

berbagai jenis tanaman terutama tanaman pangan. Ditinjau dari sifat tanah,

tanah sulfat masam memiliki potensi yang rendah untuk budidaya tanaman.

Drainase tanah sulfat masam umumnya buruk, sehingga bila tanpa perbaikan

drainase, tidak banyak tanaman yang dapat dikembangkan. Namun perbaikan

drainase yang terlalu dalam melampaui kedalaman lapisan pirit dapat

mengakibatkan sifat tanah memburuk. Konsten et al. (1990) menyatakan

bahwa pengelolaan tanah sulfat masam sering memerlukan masukan teknologi

cukup mahal sehingga sampai saat sekarang banyak yang belum termanfaatkan

atau kalaupun sudah termanfaatkan ditinggalkan oleh petani setelah budidaya

tanamannya gagal. Lebih lanjut ditegaskan bahwa salah satu faktor penentu

keberhasilan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan pada tanah sulfat

masam adalah pengelolaan air, khususnya untuk mengendalikan kemasaman

tanah (Widjaja-Adhi, 1998).


Beberapa Karakter Rawa Pasang Surut Sulfat Masam

Menurut Direktorat Rawa (1992) dan Noorsyamsi et al. (1984), rawa

pasang surut dibedakan rnenjadi 4 tipe berdasarkan kernarnpuan air pasang

rneluapi lahan, yaitu :

1. Tipe A adalah lahan rawa di bagian paling rendah dipengaruhi oleh pasang

surut harian. Selalu terluapi air pasang harian, pasang besar dan pasang

kecil, sepanjang tahun selama musim penghujan dan rnusim kemarau.

Pasang surut harian rnendominasi neraca air, dan profil tanah selalu jenuh

air. Wilayahnya terletak diantara surut terendah rata-rata dan pasang

kecil rata-rata.

2. Tipe B adalah lahan rawa di bagian agak lebih tinggi (antara lain ke arah

tanggul sungai atau ke arah kubah), dipengaruhi langsung oleh pasang

surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi

oleh pasang kecil atau pasang harian tertinggi. Air menggenang selama

pasang besar, dan air tanah berada di bawah permukaan tanah selama

pasang kecil. Wilayahnya terletak diantara pasang kecil rata-rata dan

pasang besar rata-rata.

3. Tipe C adalah lahan pasang surut yang relatif kering, tidak dipengaruhi oleh

pasang surut harian. Tidak pernah terluapi air pasang walaupun pasang

besar. Air pasang berpengaruh melalui air tanah, dan oleh karena itu air

tanahnya dangkal < 50 crn dari permukaan tanah. Pada rnusim penghujan

dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

4. Tipe D adalah lahan pasang surut yang tergolong kering. Lahan tidak

pernah terluapi walaupun pasang besar. Kedalaman air tanah umumnya


> 50 cm dari permukaan tanah. Air pengairan semata-mata datang dari air

hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

Ritzema et al: (1992) mengklasifikasi lahan pasang surut berdasarkan

tipe luapan pasang surut dan jenis tanah sulfat masam, yaitu lahan tipe luapan

A didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, lahan tipe luapan B didominasi

oleh tanah sulfat masam aktual, lahan tipe luapan C didominasi oleh tanah

sulfat masam aktual, dan lahan tipe luapan D didominasi oleh tanah sulfat

masam potensial atau aktual. Lokasi-lokasi dimana kondisi hidrologi sangat

dipengaruhi oleh iklim, maka konsep tersebut harus didasarkan pada musim

(musim penghujan atau musim kemarau).

Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro

dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan

pasang surut. Untuk lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat

masam potensial, maka penggenangan atau mempertahankan air tanah diatas

lapisan pirit merupakan strategi yang sangat penting. Apabila saluran-saluran

air diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas

lapisan pirit. Pembuangan tanah galian yang mengandung pirit harus

diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah

galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di

sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai

Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan

menjadi masam, merusak tanaman disamping tanggul-tanggul galian tersebut.


Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping tanggul-tanggul harus

dilakukan hati-hati.

Peranan Amelioran pada Tanah Sulfat Masam

Pemberian amelioran kapur pada tanah sulfat masam dapat memperbaiki

sifat fisik, kimia dan meningkatkan aktivitas biologi tanah. Salah satlr pengaruh

terpenting dari pengapuran adalah menurunkan aktivitas Al yang berlebihan

dan menurunkan kemasaman tanah, serta untuk menyediakan unsur hara bagi

tanaman. Kalsium dari bahan kapur dapat memperbaiki struktur tanah (Baver,

1960 dan Soepardi, 1983). Sumbangan ion ca2+ dapat rneningkatkan

terjadinya flokulasi di dalam tanah sehingga memperbaiki struktur tanah yang

lebih stabil. Arsyad (1980) menyatakan bahwa Ca berperan dalam pengikatan

butir-butir liat secara kimia melalui ikatan antara bagian negatif liat dengan

gugus negatif senyawa organik berantai panjang dengan pertautan basa dan

ikatan hidrogen. Pengaruh lain adalah peningkatan serapan P melalui

pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman dengan teratasinya keracunan

Al, Fe dan Mn, serta memperbaiki serapan Ca, Mg dan Mo oleh tanaman

(Soepardi, 1983).

Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk

mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0.

Tanah pada umumnya mengandung sejumlah kecil fosfor tersedia secara

alamiah, dan kegiatan pertanian mengangkut fosfor tersebut sebanding dengan

hasil yang dipanen. Pertanian intensif khususnya di tanah-tanah tropik yang


sangat tercuci memberikan hasil semakin menurun dan akhirnya tidak

menghasilkan apabila fosfor tidak ditambahkan (Cathcart, 1987).

Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman

mempunyai beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam

air, kadar P dan Ca cukup tinggi, unsur P tersedia lambat, mempunyai efek

residu jangka panjang. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka fosfat alam

sangat sesuai apabila digunakan sebagai sumber P untuk tanah sulfat masam

yang mempunyai reaksi tanah masam dengan kemampuan menyerap P dan

kadar sulfat yang tinggi (Khasawneh dan Doll, 1978; Hammond, 1978;

Hammond dan Diamond, 1987).

Sebagai bagian yang penting di dalam tanah, fosfor terdapat dalam

bentuk P-organik dan P-anorganik. Dalam kondisi tanah yang tergenang, P-

anorganik lebih berperan dalam penyediaan P untuk tanaman (Patrick dan

Mahapatra, 1968).

Hasil penelitian Mahapatra dan Patrick (1969) menunjukkan bahwa

penggenangan kontinyu mempengaruhi distribusi P-anorganik. Bentuk AI-P dan

Fe-P menurun akibat penggenangan, sedangkan bentuk Ca-P relatif stabil.

Pada penggenangan tanah yang sedikit masam kadar Ca-P dan Fe-P

meningkat, sedangkan AI-P menurun.

Pemberian amelioran fosfat alam pada tanah sulfat masam di Karang

Agung Sumatera Selatan memberikan hasil gabah lebih baik dibanding pupuk

TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Subiksa etal.,

1991).
Kombinasi pemberian fosfat alam 50 kg P205/ha dengan kapur 6.25

ton/ha pada tanah sulfat masam di Thailand menghasilkan gabah tertinggi 3.04

ton/ha (Attanandana dan Vacharotayan, 1984).

Pengelolaan Air pada Tanah Sulfat Masam

Pengelolaan air makro dan mikro pada tanah sulfat masam selain

sebagai air irigasi adalah bertujuan untuk mencuci sumber kemasaman yang

larut air dan yang dapat dipertukarkan. Prinsipnya, air bersih efisien untuk

mencuci asam sulfat bebas, besi terlarut serta garam alumunium tanah.

Pencucian dengan air payau atau air laut dapat mencuci Al-dd melalui

pertukaran Na, Ca atau Mg dari air yang ditambahkan. Pencucian dengan air

payau secara efisien mengusir Al-dd apabila dilakukan dalam kondisi oksidatif.

Apabila dalam kondisi reduktif, Al akan mengendap sebagai AI(OH)3 atau

AIOHS04 (van Mensvoort et al., 1991).

Penggenangan petakan sawah melalui pemberian air irigasi secara

berangsur-angsur akan mengubah sifat-sifat tanah sawah melalui proses

reduksi. Ponnamperuma et al. (1977) menyatakan bahwa reduksi tanah akibat

penggenangan akan mempengaruhi pH, ketersediaan hara, atau munculnya

bahan-bahan yang meracuni tanaman. Menurut Tan (1982) bahwa setelah

tanah sulfat masam yang aerobik digenangi air, maka nitrat pada tanah

tersebut akan segera direduksi diikuti kemudian dengan direduksinya Mn dan

Fe. Akibat reduksi ini konsentrasi ~ n dan


~ ~+ e akan
~ + meningkat. Tetapi

kemudian setelah reduksi berlangsung beberapa lama, maka konsentrasi ~ n ~ +

dan -Fez' menurun kembali. Menurut Couto et al. (1988) walaupun tanah
digenangi air sampai 90 hari secara terus menerus tetapi apabila bahan organik

tanah tersebut sangat rendah atau hampir tidak ada, maka proses reduksi

dapat terhambat sehingga peracunan logam berat sulit untuk dihindari.

Dent (1986) mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit pada tanah

sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta

mikrobiologis. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat

dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fez+) dan belerang dengan reaksi sebagai

berikut :

FeS2+ 1/2 0 2 + 2 H+ - Fe2++ 2 S + HzO

Oksidasi belerang secara kimia terjadi sangat lambat, tetapi dapat juga
...................(1)

berlangsung cepat apabila ada bakteri autotrop yang berperan sebagai

S + 312 0 2 + HZ0 -
katalisator. Proses oksidasi berjalan dengan reaksi sebagai berikut :

sod2-+ 2 H+ ..................................(2)

Pada pH kurang dari 3.5 perubahan tersebut melalui proses kimia

berlangsung lambat. Bakteri 7hiobacill.s ferrooxidan yang hidup pada pH

rendah dan banyak terdapat pada tanah sulfat masam, mengoksidasi Fe2+

menjadi ~ e dengan
~ + cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat

Fe2+ + o2 + H+ T;hiobacillusfermxidan
.
kembali dalam proses oksidasi pirit. Reaksi adalah sebagai berikut :

~ e +~l/2 +H20 ..................(3)

Sebagian besar kemasaman (H') yang dihasilkan dalam proses oksidasi

pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan

bantuan Thiobacillus ferrooxidan seperti persamaan reaksi di atas. Reaksi

oksidasi pirit yang terjadi dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri

hidroksida secara ringkas seperti persamaan reaksi sebagai berikut :


Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak

diperlajari. Drainase tanah meningkatkan potensi reduksi-oksidasi. Pengaruh

oksidasi pirit akibat drainase terhadap pH tanah bervariasi, tergantung sifat

tanah yang bersangkutan. Tanah sulfat masam di Pulau Petak Kalimantan

Tengah, pH-nya menurun dengan cepat segera setelah penerapan perlakuan

drainase. Adanya karbonat menahan terjadinya penurunan pH, dan tanah di

Pulau Petak mengandung karbonat sedikit (Ritzema et al., 1992).

Akibat oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di

dalam larutan tanah dan di kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO$'

dalam larutan tanah meningkat cepat dan sebaliknya ~ e dan


~ +~ e menurun.
~ +

Penurunan kandungan besi tersebut karena terjadinya presipitasi besi dalam

bentuk jarosite. Setelah periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh

A I ~ +yang menggantikan ca2+dan ~ ~ + et al., 1992). Hasil penelitian


g (Ritzema

Yuliana (1998) menunjukkan bahwa drainase tanah sulfat masam selama 8

minggu dengan kedalaman air bawah tanah sedalam 20 cm dari permukaan

lapisan pirit meningkatkan Al-dd dari 7.61 menjadi 18.21 mef100g tanah,

menurunkan besi fero dari 49.34 menjadi 26.06 ppm, meningkatkan besi

feri dari 420.77 menjadi 444.05 ppm. Sedangkan pada kedalaman air bawah

tanah 40 cm dari permukaan lapisan pirit, Al-dd meningkat dari 7.61 menjadi

20.42 me/lOOg tanah, besi fero menurun dari 49.34 menjadi 21.59 ppm, dan

besi feri meningkat dari 420.77 menjadi 448.42 ppm.


Penggenangan tanah sulfat rnasam yang telah mangalami oksidasi akan

rnengubah kondisi oksidatif menjadi reduktif. Dengan persamaan reaksi

sebagai berikut :

Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob.

Oleh sebab itu dibandingkan dengan yang teqadi pada tanah biasa, kecepatan

reduksi tanah sulfat masam yang digenangi lebih lambat karena kemasarnan

yang tinggi, rendahnya ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah

terdekornposisi, atau kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang

mengakibatkan bakteri anaerob kurang rnampu berkembang. Reaksi reduksi

tersebut rnengakibatkan peningkatan pH dan menurunkan tingkat aktivitas

AP+. Penurunan aktivitas A13+akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi di

lain pihak kondisi reduktif tersebut dapat mengakibatkan tirnbulnya unsur atau

senyawa lain yang juga bersifat racun bagi tanaman, yaitu ~ e ~ H2S
+ , dan C02

yang terlarut dalam jumlah tinggi dalam larutan tanah (Dent, 1986). Timbulnya

H2S tersebut menurut Dent (1986) dan Konsten (1990) karena proses reduksi

~ 0dengan
~ reaksi
~ -sebagai berikut :

Perlakuan penggenangan 3 bulan setelah tanah sulfat masarn

didrainase 8 minggu dengan kedalaman air bawah tanah 40 cm dari lapisan

pirit, rneningkatkan pH tanah dari 4.26 rnenjadi 4.32 dan kandungan Fe2+dari

21.59 rnenjadi 91.35 pprn (Yuliana, 1998). Ritzema et aL,(1992) menyatakan


bahwa penggenangan 300 hari pada tanah sulfat masam di Pulau Petak

setelah didrainase 450 hari mengakibatkan kandungan Fe2+ pada tanah

tersebut meningkat dengan cepat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan

tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe3+ yang

berbentuk amorf menjadi ~ e ~ + .

Penelitian pencucian pada tanah sulfat masam di lapang juga telah

banyak dilakukan. Pencucian tana h sulfat masam yang disawahkan dengan

jarak saluran cacing berukuran lebar 20 cm, dalam 30 cm, dan jarak antar

saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam

tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kedua (Subiksa et a.l, 1991).

Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang

lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi etal., 1995).

Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi

lain muncul masalah keracunan besi ferro (Fez+), hidrogen sulfida, C& dan

asam-asam organik. Masalah fisik tanah yang sering dijumpai adalah

terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horizon sulfurik karena

tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase

tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan

aktivitas mikroorganisme tanah terhambat sehingga penyediaan hara dan

bahan organik lambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh baik akan sangat

terbatas dengan hasil rendah. Tanaman padi dapat beradaptasi dengan baik

pada tanah sulfat masam karena ia tumbuh pada kondisi tanah yang

tergenang.
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan ke

dalam pengelolaan air makro, yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan

reklamasi, dan pengelolaan air mikro yaitu pengelolaan air di tingkat lahan

sawah. Pengelolaan air makro bertujuan agar berfungsinya kawasan retarder,

kawasan sempadan dan saluran intersepsi serta jaringan drainase irigasi.

Pengelolaan air di tingkat tersier terkait dengan pengelolaan air makro dan

pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi, 1995).

Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif =

Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15 - 20 cm,

kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m,

12 m, dan panjang 25 m. Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena

tingkat kandungan Fe pada lokasi percobaan cukup tinggi. Adanya saluran

cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang

mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh

yang positif terhadap perbaikan kualitas air dalam peningkatan hasil padi

(Subagyono et a/, 1998).

Dalam musim kemarau kemungkinan muka air tanah turun di bawah

lapisan pirit, maka ha1 ini harus dicegah dengan mempertahankan selalu

adanya air dalam saluran cacing. Saluran cacing ini berfungsi juga untuk

mempertahankan keadaan anaerob. Walaupun saluran cacing telah diusahakan

terisi air, proses pemasaman masih tetap berlangsung hanya tidak sekuat

apabila air di saluran cacing tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu pada

permulaan musim hujan sebelum tanam, air dibiarkan menggenang beberapa

cm diatas permukaan tanah, kemudian dibuang. Proses pencucian ini perlu


dilakukan 2 - 3 kali sebelum menanam padi. Perlakuan jarak saluran cacing

3 m, 6 m, 9 m dan 12 m adalah berdasarkan petunjuk bahwa semakin rapatnya

jarak saluran cacing, maka proses pencucian air lahan semakin intensif.

Untuk tingkat kandungan Fe tanah yang tinggi diperlukan jarak saluran cacing

yang lebih rapat.

Petani di delta sungai Mekong Vietnam mempraktekkan penggunaan

saluran dangkal intensif dengan lebar 40 cm, kedalaman 40 - 50 cm, dan jarak

antara saluran 9 m (Nguyen van Luat, 1984).

Subagyono et al. (1998) menyatakan bahwa jarak saluran cacing 12 m

memberikan kualitas air dan kontribusi terhadap hasil padi yang terbaik di Unit

Tatas Kalimantan Tengah. Pada MT.1992 memberikan hasil padi (IR-64)

tertinggi yaitu 3.64 ton GKP/ha berbeda nyata dengan hasil padi pada jarak

24 m. Sedangkan menurut Ismail et al. (1993), untuk budidaya sawah sulfat

masam potensial dengan lokasi luapan pasang tipe B dan tipe C pada Proyek

Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa - Swamps 11 dianjurkan

jarak saluran cacing 6 m dan 9 m.

Didi Ardi et al. (1995) menyatakan pada tanah sulfat masam potensial di

Karang Agung Ulu bahwa jarak saluran cacing 6 m dengan sistem

penggenangan dan pencucian oleh air pasang yang ada memberikan hasil

tanaman padi 3 ton GKG/ha.

Saluran keliling (saluran dangkal = Shallow Drainage System) dibuat

dengan konstruksi; lebar 40 cm, kedalaman 30 - 40 cm. Adanya saluran

keliling akan membantu mengeluarkan pencucian unsur-unsur yang bersifat

racun yang mengalir dari saluran cacing dan seterusnya ke saluran kuarter.
Tanggul petakan dan tanggul batas kepemilikan sawah dibuat dengan

konstruksi lebar 100 - 150 cm dan tinggi 50 cm. Pembuatan tanggul ini

ditujukan untuk menanggulangi masuknya air dari luapan arus pasang ke lahan

yang dibudidayakan agar tidak terjadi banjir sehingga hilangnya amelioran dan

pupuk yang diberikan ke dalam tanah sawah dapat dikendalikan.

Respon Tanaman Padi Terhadap Keracunan Besi

Besi merupakan komponen dari berbagai enzim tanaman dan berperan

sebagai; (1) katalisator dalam berbagai proses metabolisme, (2) pembentukan

klorofil, dan (3) merupakan komponen enzim reduksi-oksidasi apabila

bergabung dengan senyawa organik. Kekurangan atau kelebihan unsur besi

dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada pertumbuhan tanaman dan

menurunkan hasil padi (Satari et al., 1990). Keracunan besi sangat ditentukan

oleh Fe terlarut, bukan oleh Fe total. Fe larut dan tersedia bagi tanaman pada

pH 3 sampai 5 (Ponnamperuma, 1977).

Jones (1998) menyatakan bahwa keperluan hara untuk tanaman padi

yang cukup adalah dalam kisaran: N (2.60 - 3.20 %), P (0.09 - 0.18 %), K

(1.00-2.20 %), Ca (1.00 - 4.00 %), Mg (0.20 - 0.30 %), S (0.15 - 0.50 %)

dan Fe (20 - 300 ppm), tanpa menunjukkan adanya toksisitas (non toksik).

Apabila terjadi toksik yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, maka gejala

itu disebabkan hara yang diserap berlebihan dan tejadi ketidak-seimbangan

hara (Bennett, 1994; Jones, 1998).

Menurut Marschner (1995), mekanisme toleransi tanaman padi sawah

terhadap keracunan Fe ada 2 tipe, yaitu: (1) Tipe excluder, dimana tanaman
mengakumulasi unsur Fe yang berlebihan di akar, ion ~ e yang
~ + berlimpah

dalam tanah dihambat untuk masuk ke dalam zone perakaran, dan (2) Tipe

includer, dimana akar tanaman menyerap unsur racun dan menahannya di

daun. Mekanisme toleransi tipe includer untuk tanaman padi pada lahan basah,

dimana ion Fe2+ yang berlebihan diserap oleh akar kemudian dinetralisir oleh

enzim SOD (Superoksida Dismutase) menghasilkan H202. Selanjutnya Hz02

yang terbentuk tersebut dengan bantuan enzim peroksidase dan/atau katalase

menghasilkan H20dan triplet oksigen yang tidak beracun bagi tanaman.

Pada keadaan Fe yang tinggi tersebut sangat mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Fe diserap oleh tanaman dalam bentuk Fe2'

(Fe-larut), yang kemudian dapat bereaksi dengan oksigen membentuk oksigen

radikal bebas dan Fe3+. Ion radikal bebas yang dihasilkan ini akan menyerang

lemak tak jenuh pada tanaman, dimana lemak ini adalah salah satu penyusun

membran sel (Halliwell dan Gutteridge, 1986; Hall dan Cuppett, 1997).

~ e yang
~ + terbentuk dari hasil reaksi oksidasi tersebut, kemungkinan

menyebabkan "bronzing" pada akar maupun pada daun (Yamauchi, 1989).

Adanya pengendapan besi pada akar ini kemungkinan menyebabkan

terganggunya transportasi hara kation terutama kation valensi rendah termasuk

K'. Kation K+ mempunyai sifat sebagai ion-exchange. Unsur kalium diperlukan

dalam memperbaiki kualitas tanaman. Dalam tanaman unsur K berfungsi

sebagai alat angkut ("Cation exchange"). Unsur K dengan mudah disalurkan

dari organ dewasa ke organ muda, sehingga gejala kekahatan pertama kali

pada daun tua. Gejala pada tanaman padi, sel di ujung dan tepi daun mula-

mula mati dan nekrosis meluas ke bawah sepanjang tepi menuju bagian muda
di dasar daun. K merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting

untuk fotosintesis dan respirasi (Bhandal dan Malik, 1988).

Keadaan K yang rendah menyebabkan mobilitas transpor unsur danfatau

senyawa dalam tanaman menjadi rendah sehingga pertumbuhan tanaman

menjadi sangat kerdil (Thomson et al., 1989). Adanya perbedaan kemampuan

varietas padi sawah melepas oksigen dari akar dan mengoksidasi ~ e dalam
~ +

rizosfir adalah berhubungan dengan toleransi tanaman terhadap keracunan besi

(penyakit bronzing atau penyakit Akagare). Perbedaan dalam "Oxidation

Power" dari akar ini adalah jelas kelihatan dengan mudah dari perbedaan dalam

jumlah endapan Fe(OOH), pada akar (Armstrong, 1969). Transpor oksigen dari

tajuk ke akar dan rizosfir dengan mudah diperlihatkan dalam species tanaman

lahan basah (Greenwood, 1967), dan transpor oksigen mengambil tempat

melalui rongga aerenkim dalam kortek akar (Jensen et al., 1967).

Besi yang menumpuk di daun tua tidak mudah bergerak dalam floem

karena besi diendapkan dalam sel daun sebagai oksida tak larut atau dalam

bentuk senyawa feri fosfat anorganik atau organik. Salah satu bentuk besi

yang mantap dan banyak terdapat di daun disimpan dalam kloroplas sebagi

kampleks besi protein disebut fitoferitin (Seckbach, 1982; Price dan Hendry,

1991).

Senyawa kompleks besi protein dalam kloroplas memperlihatkan gejala

bercak-bercak coklat pada daun (bronzing). Aktivitas polifenol oksidase

meningkat dengan adanya keracunan besi dan oksidasi polifenol menyebabkan

bronzing (Price dan Hendry, 1991; Peng dan Yamauchi, 1993). Bronzing pada

daun ini kemungkinan akan mengurangi proses fotosintesis sehingga fotosintat


yang dihasilkan juga akan berkurang. Masuknya senyawa besi ke aliran

pengangkutan floem akan menghambat translokasi fotosintat. Keracunan besi

(bronzing) adalah masalah serius dalam produksi tanamn padi sawah.

Kandungan kritis keracunan kira-kira 500 mg Fefkg berat kering daun, tetapi

lebih banyak tergantung pada faktor lain seperti kandungan hara mineral

lainnya (Yamauchi, 1989).

Menurut Satari et al. (1990) keracunan besi tanah sawah mempunyai

dampak negatif terhadap produktivitas sawah dalam wujud hasil gabah kering

giling per hektar yang rendah. Hasil penelitian di daerah Pleret, Purwakarta

dan desa Gadasoli pada jenis tanah latosol tercatat bahwa apabila tejadi

keracunan besi maka berat hasil hanya 0.8 tonfha. Bila gejala tidak

berat hasil dapat mencapai 3.5 tonfha, sedangkan apabila tidak tejadi

keracunan besi hasil mencapai 4-6 tonfha. Gejala keracunan besi sudah

dapat terlihat pada umur tanaman satu bulan, sedangkan gejala berat

terlihat pada masa primordia. Varietas lokal umumnya lebih tenggang terhadap

keracunan besi. Di Jawa Barat varietas Cisadane menunjukkan gejala ringan

dibandingkan IR-26, sedangkan varietas Batang Ombilin dan Cimandiri di

daerah Lampung lebih tahan terhadap keracunan besi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat (1988) menunjukkan bahwa

untuk padi IR-26, gejala keracunan besi timbul setelah fase pembungaan.

Dampak yang ditimbulkan adalah daun bendera berwarna coklat kemerahan

mulai dari ujung daun dan kemudian menyebar ke bagian pangkal daun. Gejala

keracunan dapat pula tejadi pada berbagai fase pertumbuhan tanaman padi,

baik pada fase pertunasan, bunting maupun setelah masa pembungaan. Pada
keadaan sangat parah, perkembangan akar terhambat, jumlah bulir per malai

rendah sehingga hasil menurun.

Batas kritis ketenggangan tanaman padi terhadap keracunan besi,

dilaporkan 300 ppm Fe dalam daun (Yoshida, 1981), sedangkan peneliti lain

memperoleh batas kritis bervariasi dari 30 hingga 500 ppm Fe (Jayawardhana,

1989). Bronzing pada daun adalah tipe penyakit yang berhubungan dengan

hara dalam padi disebabkan oleh keracunan besi, maka daun dapat

mengandung 700 mg Fe/kg berat kering atau lebih tinggi lagi (Yamauchi,

1989).

Pada kondisi keracunan Fe3' tejadi defisiensi atau kahat unsur hara P

karena tejadi fiksasi sangat kuat terhadap P-tersedia oleh ion-ion Fe yang

melimpah. Kemungkinan juga terjadi kahat hara makro, khususnya N, K dan Ca

karena ketersediaan hara tersebut pada pH <4.0 menjadi sangat berkurang.

Reaksi pertukaran basa-basa tanah pada kompleks liat ddn humus

dengan ion AP+ dan Fe2' yang melimpah dapat mencuci ion basa yang hanyut

terbawa air mengalir, dan tanah menjadi miskin basa. Pada kondisi

penggenangan, sewaktu air tanah mulai naik ke permukaan dan selama musim

hujan tejadi peningkatan pH karena proses reduksi, maka keracunan Al

menjadi berkurang. Sebaliknya akan teqadi keracunan Fe2+karena keberadaan

ion Fe2+melimpah >500 ppm, yang terbentuk dari reduksi ~ e ~ +Konsentrasi


.

~ e sebesar
~ + 300-400 ppm sudah sangat meracuni tanaman padi sawah.

Terdapat dua keadaan yang dapat memungkinkan tejadinya keracunan besi,

yaitu: (1) Keracunan besi karena kadar Fe2+yang tinggi, (2) Keracunan besi
karena kadar ~ e yang
~ ' rendah yang dirancang oleh faktor-faktor lain seperti

status hara yang rendah, H2S dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai