Tinjauan Pustaka Pengertian Dan Potensi Tanah Sulfat Masam
Tinjauan Pustaka Pengertian Dan Potensi Tanah Sulfat Masam
Tinjauan Pustaka Pengertian Dan Potensi Tanah Sulfat Masam
pantai serta memiliki lapisan gambut tipis <20 cm dan memiliki lapisan pirit
yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horizon sulfidik)
pada kedalaman 0-50 cm. Lapisan pirit atau sulfidik, adalah lapisan tanah
yang mengandung pirit >2%, sedangkan horizon sulfidik adalah horizon tanah
yang terbentuk oleh adanya proses oksidasi pirit yang pada umumnya dicirikan
pada Tabel 1.
masam terdapat dua macam (Soil Survey Staff, 1996), yaitu (1) Sulfat masam
potensial, dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada
Histic Sulfaquents, Haplic Sulfaquents, Typic Sulfaquents, dan (2) Sulfat masam
aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada
Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan lapisan sulfidik secara lebih rinci,
yaitu lapisan tanah yang memiliki pH >3.5 dimana jika diinkubasi pada kondisi
kapasitas lapang dengan ketebalan lapisan tanah 1cm selama 8 minggu, maka
pH tanah akan turun 0.5 satuan atau lebih sampai nilai 4.0 atau kurang.
Tabel 1. Tipologi Lahan Rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua
Luas lahan bertanah sulfat masam di seluruh dunia kurang lebih 12 juta
memperkirakan luas tanah sulfat masam di dunia lebih besar lagi, 12 - 14 juta
hektar. Dari luasan tersebut, menurut Nugroho et al, (1992) yang terdapat di
Indonesia kurang lebih 6.7 juta hektar. Lahan bertanah sulfat masam memiliki
Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob akan
mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan besi feri. Apabila
oksidasi pirit berlangsung cepat, maka akan terbentuk mineral jarosite berupa
Ketersediaan air di lahan pasang surut sulfat masam dari segi kuantitas
bahwa daerah tanah sulfat masam umumnya memiliki iklim yang sesuai untuk
berbagai jenis tanaman terutama tanaman pangan. Ditinjau dari sifat tanah,
tanah sulfat masam memiliki potensi yang rendah untuk budidaya tanaman.
Drainase tanah sulfat masam umumnya buruk, sehingga bila tanpa perbaikan
cukup mahal sehingga sampai saat sekarang banyak yang belum termanfaatkan
tanamannya gagal. Lebih lanjut ditegaskan bahwa salah satu faktor penentu
1. Tipe A adalah lahan rawa di bagian paling rendah dipengaruhi oleh pasang
surut harian. Selalu terluapi air pasang harian, pasang besar dan pasang
Pasang surut harian rnendominasi neraca air, dan profil tanah selalu jenuh
kecil rata-rata.
2. Tipe B adalah lahan rawa di bagian agak lebih tinggi (antara lain ke arah
surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi
oleh pasang kecil atau pasang harian tertinggi. Air menggenang selama
pasang besar, dan air tanah berada di bawah permukaan tanah selama
3. Tipe C adalah lahan pasang surut yang relatif kering, tidak dipengaruhi oleh
pasang surut harian. Tidak pernah terluapi air pasang walaupun pasang
besar. Air pasang berpengaruh melalui air tanah, dan oleh karena itu air
tanahnya dangkal < 50 crn dari permukaan tanah. Pada rnusim penghujan
dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.
4. Tipe D adalah lahan pasang surut yang tergolong kering. Lahan tidak
tipe luapan pasang surut dan jenis tanah sulfat masam, yaitu lahan tipe luapan
A didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, lahan tipe luapan B didominasi
oleh tanah sulfat masam aktual, lahan tipe luapan C didominasi oleh tanah
sulfat masam aktual, dan lahan tipe luapan D didominasi oleh tanah sulfat
dipengaruhi oleh iklim, maka konsep tersebut harus didasarkan pada musim
dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan
pasang surut. Untuk lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat
diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah
Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan
dilakukan hati-hati.
sifat fisik, kimia dan meningkatkan aktivitas biologi tanah. Salah satlr pengaruh
dan menurunkan kemasaman tanah, serta untuk menyediakan unsur hara bagi
tanaman. Kalsium dari bahan kapur dapat memperbaiki struktur tanah (Baver,
butir-butir liat secara kimia melalui ikatan antara bagian negatif liat dengan
gugus negatif senyawa organik berantai panjang dengan pertautan basa dan
Al, Fe dan Mn, serta memperbaiki serapan Ca, Mg dan Mo oleh tanaman
(Soepardi, 1983).
mempunyai beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam
air, kadar P dan Ca cukup tinggi, unsur P tersedia lambat, mempunyai efek
sangat sesuai apabila digunakan sebagai sumber P untuk tanah sulfat masam
kadar sulfat yang tinggi (Khasawneh dan Doll, 1978; Hammond, 1978;
Mahapatra, 1968).
Pada penggenangan tanah yang sedikit masam kadar Ca-P dan Fe-P
Agung Sumatera Selatan memberikan hasil gabah lebih baik dibanding pupuk
TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Subiksa etal.,
1991).
Kombinasi pemberian fosfat alam 50 kg P205/ha dengan kapur 6.25
ton/ha pada tanah sulfat masam di Thailand menghasilkan gabah tertinggi 3.04
Pengelolaan air makro dan mikro pada tanah sulfat masam selain
sebagai air irigasi adalah bertujuan untuk mencuci sumber kemasaman yang
larut air dan yang dapat dipertukarkan. Prinsipnya, air bersih efisien untuk
mencuci asam sulfat bebas, besi terlarut serta garam alumunium tanah.
Pencucian dengan air payau atau air laut dapat mencuci Al-dd melalui
pertukaran Na, Ca atau Mg dari air yang ditambahkan. Pencucian dengan air
payau secara efisien mengusir Al-dd apabila dilakukan dalam kondisi oksidatif.
tanah sulfat masam yang aerobik digenangi air, maka nitrat pada tanah
dan -Fez' menurun kembali. Menurut Couto et al. (1988) walaupun tanah
digenangi air sampai 90 hari secara terus menerus tetapi apabila bahan organik
tanah tersebut sangat rendah atau hampir tidak ada, maka proses reduksi
sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta
dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fez+) dan belerang dengan reaksi sebagai
berikut :
Oksidasi belerang secara kimia terjadi sangat lambat, tetapi dapat juga
...................(1)
S + 312 0 2 + HZ0 -
katalisator. Proses oksidasi berjalan dengan reaksi sebagai berikut :
sod2-+ 2 H+ ..................................(2)
rendah dan banyak terdapat pada tanah sulfat masam, mengoksidasi Fe2+
menjadi ~ e dengan
~ + cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat
Fe2+ + o2 + H+ T;hiobacillusfermxidan
.
kembali dalam proses oksidasi pirit. Reaksi adalah sebagai berikut :
pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan
oksidasi pirit yang terjadi dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri
dalam larutan tanah dan di kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO$'
lapisan pirit meningkatkan Al-dd dari 7.61 menjadi 18.21 mef100g tanah,
menurunkan besi fero dari 49.34 menjadi 26.06 ppm, meningkatkan besi
feri dari 420.77 menjadi 444.05 ppm. Sedangkan pada kedalaman air bawah
tanah 40 cm dari permukaan lapisan pirit, Al-dd meningkat dari 7.61 menjadi
20.42 me/lOOg tanah, besi fero menurun dari 49.34 menjadi 21.59 ppm, dan
sebagai berikut :
Oleh sebab itu dibandingkan dengan yang teqadi pada tanah biasa, kecepatan
reduksi tanah sulfat masam yang digenangi lebih lambat karena kemasarnan
yang tinggi, rendahnya ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah
lain pihak kondisi reduktif tersebut dapat mengakibatkan tirnbulnya unsur atau
senyawa lain yang juga bersifat racun bagi tanaman, yaitu ~ e ~ H2S
+ , dan C02
yang terlarut dalam jumlah tinggi dalam larutan tanah (Dent, 1986). Timbulnya
H2S tersebut menurut Dent (1986) dan Konsten (1990) karena proses reduksi
~ 0dengan
~ reaksi
~ -sebagai berikut :
pirit, rneningkatkan pH tanah dari 4.26 rnenjadi 4.32 dan kandungan Fe2+dari
jarak saluran cacing berukuran lebar 20 cm, dalam 30 cm, dan jarak antar
tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kedua (Subiksa et a.l, 1991).
lain muncul masalah keracunan besi ferro (Fez+), hidrogen sulfida, C& dan
tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan
bahan organik lambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh baik akan sangat
terbatas dengan hasil rendah. Tanaman padi dapat beradaptasi dengan baik
pada tanah sulfat masam karena ia tumbuh pada kondisi tanah yang
tergenang.
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan ke
dalam pengelolaan air makro, yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan
reklamasi, dan pengelolaan air mikro yaitu pengelolaan air di tingkat lahan
Pengelolaan air di tingkat tersier terkait dengan pengelolaan air makro dan
yang positif terhadap perbaikan kualitas air dalam peningkatan hasil padi
lapisan pirit, maka ha1 ini harus dicegah dengan mempertahankan selalu
adanya air dalam saluran cacing. Saluran cacing ini berfungsi juga untuk
terisi air, proses pemasaman masih tetap berlangsung hanya tidak sekuat
apabila air di saluran cacing tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu pada
jarak saluran cacing, maka proses pencucian air lahan semakin intensif.
Untuk tingkat kandungan Fe tanah yang tinggi diperlukan jarak saluran cacing
saluran dangkal intensif dengan lebar 40 cm, kedalaman 40 - 50 cm, dan jarak
memberikan kualitas air dan kontribusi terhadap hasil padi yang terbaik di Unit
tertinggi yaitu 3.64 ton GKP/ha berbeda nyata dengan hasil padi pada jarak
masam potensial dengan lokasi luapan pasang tipe B dan tipe C pada Proyek
Didi Ardi et al. (1995) menyatakan pada tanah sulfat masam potensial di
penggenangan dan pencucian oleh air pasang yang ada memberikan hasil
racun yang mengalir dari saluran cacing dan seterusnya ke saluran kuarter.
Tanggul petakan dan tanggul batas kepemilikan sawah dibuat dengan
konstruksi lebar 100 - 150 cm dan tinggi 50 cm. Pembuatan tanggul ini
ditujukan untuk menanggulangi masuknya air dari luapan arus pasang ke lahan
yang dibudidayakan agar tidak terjadi banjir sehingga hilangnya amelioran dan
menurunkan hasil padi (Satari et al., 1990). Keracunan besi sangat ditentukan
oleh Fe terlarut, bukan oleh Fe total. Fe larut dan tersedia bagi tanaman pada
yang cukup adalah dalam kisaran: N (2.60 - 3.20 %), P (0.09 - 0.18 %), K
(1.00-2.20 %), Ca (1.00 - 4.00 %), Mg (0.20 - 0.30 %), S (0.15 - 0.50 %)
dan Fe (20 - 300 ppm), tanpa menunjukkan adanya toksisitas (non toksik).
terhadap keracunan Fe ada 2 tipe, yaitu: (1) Tipe excluder, dimana tanaman
mengakumulasi unsur Fe yang berlebihan di akar, ion ~ e yang
~ + berlimpah
dalam tanah dihambat untuk masuk ke dalam zone perakaran, dan (2) Tipe
daun. Mekanisme toleransi tipe includer untuk tanaman padi pada lahan basah,
dimana ion Fe2+ yang berlebihan diserap oleh akar kemudian dinetralisir oleh
radikal bebas dan Fe3+. Ion radikal bebas yang dihasilkan ini akan menyerang
lemak tak jenuh pada tanaman, dimana lemak ini adalah salah satu penyusun
membran sel (Halliwell dan Gutteridge, 1986; Hall dan Cuppett, 1997).
~ e yang
~ + terbentuk dari hasil reaksi oksidasi tersebut, kemungkinan
dari organ dewasa ke organ muda, sehingga gejala kekahatan pertama kali
pada daun tua. Gejala pada tanaman padi, sel di ujung dan tepi daun mula-
mula mati dan nekrosis meluas ke bawah sepanjang tepi menuju bagian muda
di dasar daun. K merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting
varietas padi sawah melepas oksigen dari akar dan mengoksidasi ~ e dalam
~ +
Power" dari akar ini adalah jelas kelihatan dengan mudah dari perbedaan dalam
jumlah endapan Fe(OOH), pada akar (Armstrong, 1969). Transpor oksigen dari
tajuk ke akar dan rizosfir dengan mudah diperlihatkan dalam species tanaman
Besi yang menumpuk di daun tua tidak mudah bergerak dalam floem
karena besi diendapkan dalam sel daun sebagai oksida tak larut atau dalam
bentuk senyawa feri fosfat anorganik atau organik. Salah satu bentuk besi
yang mantap dan banyak terdapat di daun disimpan dalam kloroplas sebagi
kampleks besi protein disebut fitoferitin (Seckbach, 1982; Price dan Hendry,
1991).
bronzing (Price dan Hendry, 1991; Peng dan Yamauchi, 1993). Bronzing pada
Kandungan kritis keracunan kira-kira 500 mg Fefkg berat kering daun, tetapi
lebih banyak tergantung pada faktor lain seperti kandungan hara mineral
dampak negatif terhadap produktivitas sawah dalam wujud hasil gabah kering
giling per hektar yang rendah. Hasil penelitian di daerah Pleret, Purwakarta
dan desa Gadasoli pada jenis tanah latosol tercatat bahwa apabila tejadi
keracunan besi maka berat hasil hanya 0.8 tonfha. Bila gejala tidak
berat hasil dapat mencapai 3.5 tonfha, sedangkan apabila tidak tejadi
keracunan besi hasil mencapai 4-6 tonfha. Gejala keracunan besi sudah
dapat terlihat pada umur tanaman satu bulan, sedangkan gejala berat
terlihat pada masa primordia. Varietas lokal umumnya lebih tenggang terhadap
untuk padi IR-26, gejala keracunan besi timbul setelah fase pembungaan.
mulai dari ujung daun dan kemudian menyebar ke bagian pangkal daun. Gejala
keracunan dapat pula tejadi pada berbagai fase pertumbuhan tanaman padi,
baik pada fase pertunasan, bunting maupun setelah masa pembungaan. Pada
keadaan sangat parah, perkembangan akar terhambat, jumlah bulir per malai
dilaporkan 300 ppm Fe dalam daun (Yoshida, 1981), sedangkan peneliti lain
1989). Bronzing pada daun adalah tipe penyakit yang berhubungan dengan
hara dalam padi disebabkan oleh keracunan besi, maka daun dapat
mengandung 700 mg Fe/kg berat kering atau lebih tinggi lagi (Yamauchi,
1989).
Pada kondisi keracunan Fe3' tejadi defisiensi atau kahat unsur hara P
karena tejadi fiksasi sangat kuat terhadap P-tersedia oleh ion-ion Fe yang
dengan ion AP+ dan Fe2' yang melimpah dapat mencuci ion basa yang hanyut
terbawa air mengalir, dan tanah menjadi miskin basa. Pada kondisi
penggenangan, sewaktu air tanah mulai naik ke permukaan dan selama musim
~ e sebesar
~ + 300-400 ppm sudah sangat meracuni tanaman padi sawah.
yaitu: (1) Keracunan besi karena kadar Fe2+yang tinggi, (2) Keracunan besi
karena kadar ~ e yang
~ ' rendah yang dirancang oleh faktor-faktor lain seperti