Bab 2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

PROLANIS

Disusun Oleh :
Ayu Sita Permata (2020206203039)
Balqia Alba Fadillah (2020206203040)
Berliana Putri (2020206203043)
Berlian Dwi Linda Miarni (2020206203042)
Nur Habibah Azzahra (2020206203065)
Noviar Rega Pratama (2020206203064)

PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat hidayah
dan karunia Nya, sehingga penyusunan kasus yang berjudul “Makalah
Pronalis” dapat kami selesaikan. Penyelesaian laporan kasus ini juga
berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.

Semoga Allah berkenan membalas kebaikan serta bantuan yang telah


diberikan dan semoga laporan ini dapat dijadikan pedoman untuk
pembelajaran. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan
kasus ini banyak kekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan
masukan serta saran-saran yang membangun guna perbaikan
selanjutnya, semoga allah swt senantiasa melindungi kita semua.
Aamiin.

Pringsewu, 12 Maret 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) merupakan upaya promotif

dan preventif yang dilakukan oleh BPJS di era JKN, dimana Prolanis adalah

pengelolaan penyakit kronis termasuk diabetes melitus dan hipertensi pada

penderita yang merupakan peserta BPJS Kesehatan untuk mencegah komplikasi,

peningkatan kualitas hidup, dan pembiayaan jaminan kesehatan yang efektif dan

efisien (Sari, 2015). Tujuan program ini dalam BPJS adalah untuk mendorong

peserta penyandang penyakit kronis terutama DM Tipe 2 dan Hipertensi mencapai

kualitas hidup optimal (BPJS Kesehatan, 2015).

Aktifitas yang dilakukan oleh peserta prolanis meliputi aktifitas konsultasi

medis atau edukasi, Home Visit, Reminder, aktifitas klub, pelayanan obat secara

rutin, dan pemantauan status kesehatan (BPJS Kesehatan, 2015). Aktifitas ini juga

dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan motivasi peserta dalam

mengakses, memahami, menila serta menerapkan informasi yang ia dapat untuk

mencegah penyakit dan meningkatkan kualitas hidup, hal ini biasa di kenal dengan

“Kemelekan Kesehatan atau Health Literacy”.

Konsep tentang health literacy pertama kali ada pada tahun 1970-an yang

berkaitan dengan pendidikan kesehatan di Amerika Serikat (Sørensen, 2013).

Health literacy merupakan kemampuan seseorang dalam mengakses, memahani

dan mengaplikasikan dasar informasi kesehatan dan kebutuhan pelayanan, yang

dibutuhkan dalam mengambil keputusan dengan benar (Zoellner, You, Connell, dan

Smith-Ray, 2011). Health literacy memiliki tiga tingkatan yaitu health literacy

functional, health literacy communicative dan health literacy critical (Chan, 2014).
Health literacy functional terdiri dari keterampilan dasar dalam membaca dan

menulis yang diperlukan untuk menggunakan informasi kesehatan dan perawatan

kesehatan. Health literacy communicative adalah keterampilan canggih yang

memungkinkan pasien untuk mengekstrak informasi kesehatan dan makna dari

berbagai bentuk komunikasi, dan untuk menerapkan informasi baru untuk

mengubah keadaan. Health literacy critical adalah keterampilan yang lebih canggih

yang memungkinkan pasien untuk secara kritis menganalisis informasi, dan

menggunakan informasi ini untuk mencapai kontrol yang lebih besar peristiwa

kehidupan dan situasi (Sørensen, 2013).

Health literacy penting dalam kehidupan masyarakat, karena dapat membantu

dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan pelayanan di puskesmas.

Namun faktor-faktor yang mempengaruhi health literacy seperti usia, jenis kelamin,

pendapatan, akses informasi kesehatan, dan pendidikan.

Pada umumnya, orang dewasa yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka,

lebih mungkin tidak mempunyai kemampuan fungsional dalam health literacy

(Chan, 2014). Sekitar 80 juta orang Amerika memiliki kemampuan health literacy

yang cukup dengan kemungkinan yang lebih besar memiliki health literacy rendah

yaitu orang dewasa yang bertambah usia, orang miskin dan kaum minoritas serta

orang-orang dengan pendidikan yang rendah (Dwinger, Kriston, Harter dan

Dirmaier, 2014). Survei yang didapatkan di Eropa dinilai health literacy di delapan

negara dalam kawasan Eropa dan menunjukkan bahwa 46,3% di Jerman memiliki

masalah atau health literacy tidak memadai (Dwinger, Kriston, Harter dan

Dirmaier, 2014) dan yang kita ketahui bahwa Jerman adalah negara maju baik di

bidang pendidikan dan di bidang kesehatan, ternyata masih memiliki health literacy

yang tidak memadai.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2014) dengan judul

“Heallth Literacy Klien Voluntary Counselling and Testing (VCT) di Puskesmas

Bandarharjo Kota Semarang” di dapatkan hasil penelitian bahwa health literacy

dari 6 informan utama masih rendah, Hal tersebut karena kurangnya kesadaran

untuk mengakses pelayanan kesehatan, tidak ada rasa ingin tahu akan informasi

kesehatan yang dibutuhkan, sehingga tidak mencari informasi dari sumber lain dan

tidak menerapkan informasi yang telah didapat membuat keputusan dalam hal

kesehatan.

A. Rumusan Masalah
Apakah Pronalis itu?
B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui tentang Pronalis

2. Tujuan khusus
a. Bagi Pelayanan Kesehatan
Menambah pengetahuan dan kesadaran tenaga kesehatan sebagai educator
kesehatan.
b. Bagi Peneliti
Untuk memperoleh pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian dan
sebagai referensi untuk selanjutnya.
1) Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
2) Menambah pustaka, Sebagai perkembangan salah satu metode untuk
meningkatkan health literacy pada pasien.
3) Bagi Penelitian Keperawatan
4) Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang
Pronalis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PROLANIS

1. Pengertian PROLANIS

PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan

proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta,

fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan

kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis

untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan

kesehatan yang efektif dan efisien (BPJS Kesehatan, 2014).

2. Tujuan PROLANIS

Mendorong peserta penyandang penyakit kronis mencapai kualitas

hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke

Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik

terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai panduan klinis terkait,

sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit (BPJS

Kesehatan, 2014).

3. Sasaran

Seluruh Peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis

(Diabetes Melitus Tipe 2 dan Hipertensi) (BPJS Kesehatan, 2014).

4. Bentuk Pelaksanaan

Aktifitas dalam PROLANIS meliputi aktifitas konsultasi

medis/edukasi, Home Visit, Reminder, aktifitas club dan pemantauan

status kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014).


5. Penanggungjawab

Penanggungjawab adalah Kantor Cabang BPJS Kesehatan bagian

Manajemen Pelayanan Primer (BPJS Kesehatan, 2014).

6. Langkah Pelaksanaan

Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan PROLANIS menurut BPJS

Kesehatan (2014) adalah sebagai berikut:

a. Persiapan pelaksanaan PROLANIS

1) Melakukan identifikasi data peserta sasaran berdasarkan:

a) Hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan atau

b) Hasil Diagnosa DM dan HT (pada Faskes Tingkat Pertama

maupun RS)

2) Menentukan target sasaran

3) Melakukan pemetaan Faskes Dokter Keluarga/ Puskesmas

berdasarkan distribusi target sasaran peserta

4) Menyelenggarakan sosialisasi PROLANIS kepada Faskes

Pengelola

5) Melakukan pemetaan jejaring Faskes Pengelola

(Apotek, Laboratorium)

6) Permintaan pernyataan kesediaan jejaring Faskes untuk melayani

peserta PROLANIS

7) Melakukan sosialisasi PROLANIS kepada peserta (instansi,

pertemuan kelompok pasien kronis di RS, dan lain-lain)

8) Penawaran kesediaan terhadap peserta penyandang Diabetes

Melitus Tipe 2 dan Hipertensi untuk bergabung dalam PROLANIS

9) Melakukan verifikasi terhadap kesesuaian data diagnosa dengan


form kesediaan yang diberikan oleh calon peserta PROLANIS

10) Mendistribusikan buku pemantauan status kesehatan kepada

peserta terdaftar PROLANIS

11) Melakukan rekapitulasi data peserta terdaftar

12) Melakukan entri data peserta dan pemberian flag peserta

PROLANIS

13) Melakukan distribusi data peserta PROLANIS sesuai Faskes

Pengelola

14) Bersama dengan Faskes melakukan rekapitulasi data pemeriksaan

status kesehatan peserta, meliputi pemeriksaan Gula Darah Puasa

(GDP), Gula Darah 2 jam Post-Prandial (GDPP), Tekanan Darah,

Indeks Massa Tubuh (IMT), Hemoglobin A1C (HbA1C)/

Glikohemoglobin. Bagi peserta yang belum pernah dilakukan

pemeriksaan, harus segera dilakukan pemeriksaan

15) Melakukan rekapitulasi data hasil pencatatan status kesehatan awal

peserta per Faskes Pengelola (data merupakan luaran Aplikasi P-

Care)

16) Melakukan Monitoring aktifitas PROLANIS pada masing-masing

faskes pengelola:

a) Menerima laporan aktifitas PROLANIS dari Faskes Pengelola

b) Menganalisa data

17) Menyusun umpan balik kinerja Faskes PROLANIS

18) Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/ Kantor Pusat.

b. Aktifitas PROLANIS

1) Konsultasi Medis Peserta PROLANIS : jadwal konsultasi disepakati


bersama antara peserta dengan Faskes Pengelola

2) Edukasi Kelompok Peserta PROLANIS

a) Definisi : Edukasi Club Risti (Club PROLANIS) adalah kegiatan

untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya

memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit

serta meningkatkan status kesehatan bagi peserta PROLANIS

b) Sasaran : Terbentuknya kelompok peserta (Club) PROLANIS

minimal 1 Faskes Pengelola 1 club. Pengelompokan diutamakan

berdasarkan kondisi kesehatan Peserta dan kebutuhan edukasi.\

c) Langkah - langkah:

(1) Mendorong Faskes Pengelola melakukan identifikasi peserta

terdaftar sesuai tingkat severitas penyakit DM Tipe 2 dan

Hipertensi yang disandang

(2) Memfasilitasi koordinasi antara Faskes Pengelola dengan

Organisasi Profesi/Dokter Spesialis diwilayahnya

(3) Memfasilitasi penyusunan kepengurusan dalam club

Memfasilitasi penyusunan kriteria Duta PROLANIS yang

berasal dari peserta.

(4) Duta PROLANIS bertindak sebagai motivator dalam

kelompok PROLANIS (membantu Faskes Pengelola

melakukan proses edukasi bagi anggota Club)

(5) Memfasilitasi penyusunan jadwal dan rencana aktifitas club

minimal 3 bulan pertama

(6) Melakukan Monitoring aktifitas edukasi pada masing-masing

Faskes Pengelola:
(a) Menerima laporan aktifitas edukasi dari Faskes Pengelola

(b) Menganalisis data

(7) Menyusun umpan balik kinerja Faskes PROLANIS

(8) Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor

Pusat dengan tembusan kepada Organisasi Profesi terkait

wilayahnya.

(9) Reminder melalui SMS Gateway

d) Definisi : Reminder adalah kegiatan untuk memotivasi peserta

untuk melakukan kunjungan rutin kepada faskes pengelola melalui

pengingatan jadwal konsultasi ke faskes pengelola tersebut

e) Sasaran : Tersampaikannya reminder jadwal konsultasi peserta ke

masing-masing Faskes Pengelola

f) Langkah – langkah:

(1) Melakukan rekapitulasi nomor Handphone peserta

PROLANIS/Keluarga peserta per masing-masing faskes

pengelola

(2) Entri data nomor handphone kedalam aplikasi SMS Gateway

(3) Melakukan rekapitulasi data kunjungan per peserta per faskes

pengelola

(4) Entri data jadwal kunjungan per peserta per faskes pengelola

(5) Melakukan monitoring aktifitas reminder (melakukan

rekapitulasi jumlah peserta yang telah mendapat reminder)

(6) Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang

mendapat reminder dengan jumlah kunjungan


(7) Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat

3) Home Visit

a) Definisi : Home Visit adalah kegiatan pelayanan kunjungan ke

rumah Peserta PROLANIS untuk pemberian informasi/edukasi

kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta PROLANIS dan

keluarga

b) Sasaran:

Peserta PROLANIS dengan kriteria :

(1) Peserta baru terdaftar

(2) Peserta tidak hadir terapi di Dokter Praktek

Perorangan/Klinik/Puskesmas 3 bulan berturut-turut

(3) Peserta dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan

berturut-turut bagi Peserta Penderita Diabetes Mellitus

(PPDM)

(4) Peserta dengan Tekanan Darah tidak terkontrol 3 bulan

berturut-turut bagi Peserta Penderita Hipertensi (PPHT)

(5) Peserta pasca opname

c) Langkah – langkah:

(1) Melakukan identifikasi sasaran peserta yang perlu dilakukan

Home Visit

(2) Memfasilitasi Faskes Pengelola untuk menetapkan waktu

kunjungan

(3) Apabila diperlukan, dilakukan pendampingan pelaksanaan

Home Visit

(4) Melakukan administrasi Home Visit kepada Faskes Pengelola


dengan berkas sebagai berikut:

(a). Formulir Home Visit yang mendapat tanda tangan

Peserta/Keluarga peserta yang dikunjungi

(b). Lembar tindak lanjut dari Home Visit/lembar anjuran Faskes

Pengelola

(5) Melakukan monitoring aktifitas Home Visit (melakukan

rekapitulasi jumlah peserta yang telah mendapat Home Visit)

(6) Melakukan analisis data berdasarkan jumlah peserta yang

mendapat Home Visit dengan jumlah peningkatan angka

kunjungan dan status kesehatan peserta

(7) Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat.

B. Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah bertambahnya gula darah di dalam tubuh

seseorang karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas tidak mencukupi

unuk menyeimbangkan kadar gula yang masuk dalam tubuh. Akibatnya,

kelebihan gula di dalam tubuh terjadi. Kelebihan gula tersebut akan masuk

ke dalam darah, yang dikenal dengan kelebihan gula darah/kencing manis

(Wulandari,2011).

Penyakit diabetes mellitus atau sering disebut sebagai penyakit

kencing manis atau penyakit gula, adalah penyakit yang disebabkan oleh

kelainan yang berhubungan dengan hormon insulin. Kelainan yang

dimaksud berupa jumlah produksi hormon insulin yang kurang karena


ketidakmampuan organ penkreas memproduksinya atau sel tubuh tidak

dapat menggunakan insulin yang telah dihasilkan oleh pankreas secara

baik. Akibat dari kelainan ini, maka kadar gula (glukosa) di dalam darah

akan meningkat tidak terkendali. Kadar gula darah yang tinggi terus-

menerus akan meracuni tubuh termasuk organ-organnya (Helmawati,

2014).

Pengaruh jangka pendek dari peningkatan kadar gula darah mungkin

tidak begitu terlihat, namun jangka panjang peningkatan kadar gula darah

ini bisa mengakibatkan kondisi-kondisi tubuh yang tidak menguntungkan.

Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan fungsi sel-sel tubuh

menurun. Menurunnya fungsi-fungsi sel tubuh pada gilirannya juga dapat

mengakibatkan gangguan-gangguan atau penyakit-penyakit berat, seperti

menyebabkan penyakit jantung koroner, memicu stroke, dan lain

sebagainya (Helmawati, 2014).

2. Tipe-Tipe Diabetes Mellitus

Tipe-tipe diabetes mellitus menurut Sari (2012) adalah sebagai

berikut :

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Banyak orang menyebutnya baby diabetes mellitus karena

menjangkit diabetis di masa kanak-kanak serta usia kurang dari 35

tahun. Dalam diabetes mellitus tipe 1 ini pankreas benar-benar tidak

dapat menghasilkan insulin karena rusaknya sel-sel beta yang ada

dalam pankreas oleh virus atau autoimunitas. Jadi, antibody yang ada

dalam tubuh menusia membunuh siapa saja yang tidak dikenalinya

termasuk zat-zat yang dihasilkan oleh tubuh dia anggap benda asing
termasuk zat-zat penghasil insulin maka dari itu diabetes mellitus tipe

1 disebut dengan IDDM atau insulin dependent diabetes mellitus.

Pada kasus ini diabetis mutlak memerlukan asupan insulin

semasa hidupnya untuk menggantikan insulin-insulin yang rusak maka

dari itu gejala yang timbul pada diabetis tipe 1 adalah terjadi pada usia

muda,penderita tidak gemuk dan gejala timbul mendadak.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Ada dua bentuk diabetes mellitus tipe 2 yakni, mengalami

sekali kekurangan insulin dan yang kedua resistensi insulin. Penderita

yang kekurangan insulin berat badan cenderung normal sedangkan

untuk yang resisten insulin memiliki berat badan besar atau gemuk.

Diabetes mellitus tipe 2 ini disebut sebagai penyakit yang lama dan

tenang karena gejalanya yang tidak mendadak seperti tipe 1, tipe 2

cenderung lambat dalam mengeluarkan gejala sehingga banyak orang

yang baru mengetahui dirinya terdiagnosa berusia lebih dari 40 tahun.

Gejala- gejala yang timbul terkadang tidak terlalu nampak karena

insulin dianggap normal tetapi tidak dapat membuang glukosa ke

dalam sel- sel sehingga obat-obatan yang diberikan ada dua selain obat

untuk memperbaiki resistensi insulin serta obat yang merangsang

pankreas menghasilkan insulin.

Riwayat keturunan serta obesitas dianggap sebagai faktor

pencetus diabetes mellitus tipe 2 karena lemak-lemak yang ada dalam

tubuh menghalangi jalannya insulin apalagi diperburuk dengan

kurangnya melakukan olahraga. Olahraga dapat membuat tubuh bisa

menghasilkan HDL atau sering disebut kolesterol baik. Gejala yang


nampak pada tipe 2 adalah terdiagnosis lebih dari 40 tahun, tubuh

gemuk, dan gejala yang ada kronik.

c. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Diabetes mellitus tipe ini menjangkit wanita yang tengah

hamil, lebih sering menjangkit di bulan ke enam masa kehamilan.

Risiko neonatal yang terjadi keanehan sejak lahir seperti berhubungan

dengan jantung, sistem nerves yang pusat, dan menjadi sebab bentuk

cacat otot atau jika GDM tidak bisa dikendalikan bayi yang lahir tidak

normal yakni besar atau disebutnya makrosomia yaitu berat badan bayi

diatas 4 kg. untuk mengendalikannya diabetis harus mendapatkan

pengawasan semasa hamil, sekitar 20-25% dari wanita penderita GDM

dapat bertahan hidup.

3. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus

Gejala klasik diabetes mellitus tidak bisa dipisahkan dari tiga

hal yaitu polyuria (banyak kencing), polydipsia (banyak minum),

polyphagia (banyak makan). Polyuria berkaitan dengan kadar gula

yang tinggi diatas 160-180 mg/dl maka glukosa akan sampai ke urin

tetapi jika tambah tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan

untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Gula

bersifat menarik air sehingga bagi penderitanya akan mengalami

polyuria atau kencing banyak (Sari, 2012).

Polydipsia diawali dari banyaknya urin yang keluar maka

tubuh mengadakan mekanisme lain untuk menyeimbangkannya yakni

dengan banyak minum. Diabetis akan selalu menginginkan minuman

yang segar serta dingin untuk menghindari dari dehidrasi. Diabetes


mellitus terjadi karena insulin yang bermasalah sehingga pemasukan

gula ke dalam sel-sel tubuh kurang akhirnya energi yang dibentuk pun

kurang, inilah mengapa orang merasakan kurangnya tenaga akhirnya

diabetis melakukan kompensasi yakni dengan banyak makan atau

polyphagia (Sari, 2012).

Selain gejala-gejala diatas adapun gejala lain yang dirasakan,

seperti (Sari,2012):

a. Sering mengantuk.

b. Gatal-gatal, terutama di derah kemaluan.

c. Pandangan mata kabur.

d. Berat badan berlebih untuk diabetes mellitus tipe 2.

e. Mati rasa atau rasa sakit pada bagian tubuh bagian bawah.

f. Infeksi kulit, terasa disayat, gatal-gatal khususnya pada kaki.

Rata-rata penderita mengetahui adanya diabetes mellitus pada

saat kontrol yang kemudian ditemukan kadar glukosa yang tinggi

pada diri mereka. Berikut beberapa gambaran laboratorium yang

menunjukkan adanya tanda-tanda diabetes mellitus yaitu (Sarwono,

2005) dalam (Naupal, 2018):

a. Gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl

b. Gula darah puasa ≤ 126 mg/dl (puasa = tidak ada masukan

makanan atau kalori sejak 10 jam terakhir)

c. Glukosa plasma dua jam ≥ 200 mg/dl setelah beban glukosa 75

gram

4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Faktor risiko diabetes mellitus bisa dikelompokkan menjadi


faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat

dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikas adalah ras

dan etnik, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes

mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000

gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (kurang dari

2500 gram). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya

dengan perilaku hidup yang kurang sehat, yaitu berat badan lebih,

obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,

dyslipidemia, diet tidak sehat/tidak seimbang, riwayat Toleransi

Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa terganggu (GDP

terganggu), dan merokok (Kementerian RI, 2014).

5. Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi adalah kondisi rusaknya organ tubuh tertentu yang

disebabkan atau dipicu oleh suatu penyakit. Sederhananya komplikasi

penyakit diartikan sebagai adanya gangguan kesehatan turunan yang

muncul akibat dari suatu penyakit (Helmawati, 2014).

Penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit yang memiliki

banyak sekali komplikasi. Diabetes mellitus bisa dikatakan salah satu

jenis penyakit yang paling banyak menimbulkan komplikasi jika tidak

dikendalikan (Helmawati, 2014).

a. Komplikasi Jangka Pendek (Akut)

Komplikasi akut merupakan komplikasi diabetes yang terjadi

dalam jangka waktu pendek, atau bersifat mendadak. Adapun

komplikasi akut diabetes terdiri dari terjadinya ketoasidosis

diabetic, hipoglikemia, dan sindrom hyperosmolar diabetic


(Helmawati, 2014).

b. Komplikasi Jangka Panjang (Kronik)

Penyakit diabetes mellitus yang tidak terkontrol dalam waktu

lama akan menyebabkan komplikasi kronik, yaitu berupa

kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang

dapat mengalami kerusakan dibagi menjadi dua jenis yakni

pembuluh darah besar dan kecil (Helmawati, 2014).

Pembuluh darah besar meliputi pembuluh darah jantung

(dapat menyebabkan komplikasi penyakit jantung koroner dan

serangan jantung mendadak), pembuluh darah tepi (dapat

menyebabkan komplikasi kaki diabetic), dan pembuluh darah otak

(dapat menyebabkan komplikasi stroke) (Helmawati, 2014).

Komplikasi diabetes mellitus pada pembuluh darah kecil

barupa kerusakan retina (retinopati diabetic) dan kerusakan ginjal

(nefropati diabeti). Kerusakan saraf mengakibatkan gangguan-

gangguan saraf yang disebut neuropati diabetic. Penyakit diabetes

juga rentan terhadap infeksi seperti infeksi saluran kemih dan

infeksi saluran pernafasan (Helmawati, 2014).

6. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes mellitus. Terdapat 4 pilar

pengendalian diabetes mellitus, yakni (Sari, 2012) :

a. Edukasi

Melakukan pendidikan kesehatan menjadi kewajiban

bagi seluruh tenaga medis untuk membuka mata dan


pengetahuan masyarakat mengenai semua hal yang berkaitan

dengan kesehatan. Hal yang berkaitan dengan diabetes

mellitus, penderitanya atau diabetis harus mengetahui dan

mengerti apa yang dimaksud dengan diabetes mellitus, apa

penyebabnya, kemudian komplikasi seperti apa yang terjadi

jika penderitanya bersikap acuh tak acuh dalam melakukan

pengobatan. Pendidikan kesehatan bisa dilakukan lewat media

apapun, secara langsung face to face dengan melakukan

seminar atau penyuluhan, membagikan bulletin khusus

kesehatan secara percuma atau jika diabetis memiliki

komunitas khusus bisa dengan cara mudah yakni seluler to

seluler dari handphone sehingga berita kesehatan lebih cepat

tersebar.

b. Pengaturan makan

Penderita diabetes mellitus memiliki kewajiban untuk

mengontrol setiap asupan makanan yang akan dikonsumsinya.

Mengontrol disini bukanlah melarang tetapi harus lebih

cermat dalam memilih setiap kandungan gizi yang terdapat

dalam makanan agar pankreas yang mengalami gangguan

tidak kesakitan untuk menghasilkan insulin. Apabila pankreas

akan sulit membagi insulin untuk menyebarkan makanan ke

dalam sel. Jumlah insulin yang dihasilkan sedikit sedangkan

penderita memakan makanan yang memiliki kandungan gula

tinggi.

Konsultasikan kepada dokter atau ahli kesehatan


diabetes mellitus untuk menyusun pola diet. Diet untuk

penderita diabetes mellitus bukan semata mogok makan

dengan tidak memakan apapun tetapi diet yang penuh dengan

nilai gizi. Jumlahnya seimbang untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi, jenisnya sesuai dengan zat gizi yang harus diperoleh.

c. Olahraga

Olahraga merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan

diabetes mellitus tipe 2 apabila tidak disertai adanya nefropati.

Kegiatan olahraga sehari-hari dalam latihan jasmani dilakukan

secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-

45 menit, dengan total 150 menit perminggu, jeda antar

latihan tidak lebih dari 2 hari berturut- turut.

d. Obat

Pemberian obat dilakukan untuk mengatasi kekurangan

produksi insulin serta menurunkan resistensi insulin. Obat-

obatan disini dibagi menjadi dua, yakni oral dan

injeksi/suntikan sesuai dengan tipe diabetes mellitus yang

diderita.

Bagi penderita diabetes mellitus tipe 2 pertama obat

yang digunakan untuk membantu produksi insulin yang

kurang adalah obat yang dapat merangsang pankreas untuk

meningkatkan produksi insulin. Kedua obat yang digunakan

untuk memperbaiki hambatan terhadap kerja insulin atau

resistensi insulin.
C. Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Tekanan darah adalah kekuatan darah menekan dinding pembuluh

darah. Setiap kali berdetak (sekitar 60-70 kali per menit dalam keadaan

istirahat), jantung akan memompa darah melewati pembuluh darah.

Tekanan darah terbesar terjadi ketika jantung memompa darah (dalam

keadaan dilatasi), tekanan darah berkurang disebut tekanan darah diastolic

(Sustrani, dkk, 2005).

Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di

bagian dalam arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah.

Tekanan darah tidak pernah konstan, tekanan darah dapat berubah drastis

dalam hitungan detik, menyesuaikan diri dengan tuntutan pada saat itu

(Casey, dkk, 2012).

Menurut pedoman The Seventh Report of Joint National

Committee (JNC-7) tahun 2003, Hipertensi merupakan suatu keadaan

dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan

atau ≥ 90 mmHg (tekanan diastolic) (Chobanian et al, 2003).

2. Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi adalah usia, jenis kelamin, riwayat

keluarga, genetik (faktor risiko yang tidak dapat diubah atau dikontrol),

kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan

jelantah, kebiasaan minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktivitas

fisik, stres, penggunaan estrogen (Kemenkes RI, 2013).

Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki

berat badan lebih atau obesitas dari 20% dan hiperkolesterol mempunyai
risiko yang lebih besar terkena hipertensi. Pada umumnya penyebab

obesitas atau berat badan berlebih dikarenakan pola hidup (Life style) yang

tidak sehat (Rahajeng & Tuminah, 2009). Faktor yang berpengaruh

terhadap timbulnya hipertensi biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi secara

bersama-sama sesuai dengan teori mozaik pada hipertensi esensial. Teori

esensial menjelaskan bahwa terjadinya hipertensi disebabkan oleh faktor

yang saling mempengaruhi, dimana faktor yang berperan utama dalam

patofisiologi adalah faktor genetik dan paling sedikit tiga faktor

lingkungan yaitu asupan garam, stres, dan obesitas (Dwi & Prayitno

2013).

3. Komplikasi Hipertensi

a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau

akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terkena

tekanan darah. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila

arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan

menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang dipendarahinya

berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat

melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya

aneurisma (suatu dilatasi dinding arteri, akibat kongenital atau

perkembangan yang lemah pada dinding pembuluh).

b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang

aterosklerotik tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau

apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui

pembuluh tersebut.

c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan


tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Rusaknya glomelurus,

darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan

terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.

Rusaknya membran glomelurus, protein akan keluar melalui urin

sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan

edema.

d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi

maligna. Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan

peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang

interstisium di seluruh susunan saraf pusat (Elizabeth Corwin, 2001).

4. Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut Depkes RI tahun 2006, tatalaksana pengendalian

penyakit hipertensi dilakukan dengan pendekatan:

a. Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan

melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi

dengan kebijakan publik, serta dengan meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat mengenai perilaku hidup sehat dalam

pengendalian hipertensi.

b. Preventif dengan cara larangan merokok, peningkatan gizi seimbang

dan aktifitas fisik untuk mencegah timbulnya faktor risiko menjadi

lebih buruk dan menghindari terjadinya rekurensi (kambuh) faktor

risiko.

c. Kuratif dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan tindakan yang

diperlukan. Kematian mendadak yang menjadi kasus utama

diharapkan berkurang dengan dilakukannya pengembangan


manajemen kasus dan penanganan kegawatdaruratan disemua tingkat
pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi, pengelola program

dan pelaksana pelayanan yang dibutuhkan dalam pengendalian

hipertensi.

d. Rehabilitasi dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang

lebih buruk dengan melakukan kontrol teratur dan fisioterapi.

Komplikasi serangan hipertensi yang fatal dapat diturunkan dengan

mengembangkan manajemen rehabilitasi kasus kronis dengan

melibatkan unsur organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana

pelayanan di berbagai tingkatan (Depkes RI, 2006).

D. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah penggunaan fasilitas

pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap,

kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari

pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan

kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat, dan kewajaran mudah

dicapai oleh masyarakat, terjangkau serta bermutu (Azwar, A., 2010).

Menurut pendapat Levey dan Loomba (1973) dalam Azwar (2010)

yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan

perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

2. Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan ditentukan oleh (Azwar, 2010);

a. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau


secara bersama-sama dalam suatu organisasi.

b. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan

pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari

padanya.

c. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga,

kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.

3. Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

(Azwar, 2010) :

a. Pelayanan kedokteran

Pelayanan kedokteran (medical services) bertujuan untuk

menyembuhkan penyakit ataupun memulihkan kesehatan dimana yang

menjadi sasaran utamanya adalah individu dan keluarga. Pelayanan

kedokteran dapat dilaksanakan secara mandiri maupun bersama-sama

dalam suatu organisasi.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat (public health services)

bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta upaya

pencegahan penyakit. Sasaran utamanya adalah kelompok dan

masyarakat biasanya pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan

secara bersama-sama dalam suatu organisasi.

4. Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan

Syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh pelayanan kesehatan

yang baik menurut Azwar (2010) adalah:

a. Tersedia dan berkesinambungan

Semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan


masyarakat harus tersedia, tidak sulit ditemukan dan sedia setiap

saat masyarakat membutuhkannya. Prinsip ketersediaan dan

berkesinambungan (available and continuous) adalah mutlak

diperlukan.

b. Dapat diterima dan wajar

Pelayanan kesehatan dapat diterima (acceptable) dan

sifatnya wajar (appropriate) sehingga tidak bertentangan dengan

keyakinan dan kepercayaan masyarakat yaitu adat istiadat maupun

kebudayaan setempat.

c. Mudah dicapai

Lokasi pelayanan kesehatan seharusnya mudah dicapai

(accessible) sehingga dapat mewujudkan pelayanan kesehatan

yang baik dan merata.

d. Mudah dijangkau

Pelayanan kesehatan sebaiknya mudah dijangkau

(affordable) oleh masyarakat terutama dari segi biayanya. Penting

mengupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan

kemampuan ekonomi masyarakat. Biaya pelayanan kesehatan

yang tidak sesuai dengan standar ekonomi masyarakat tidak

mampu memberikan pelayanan yang merata dan hanya dapat

dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

e. Bermutu

Mutu (quality) adalah yang menunjuk pada tingkat

kesempurnaan penyelenggraan pelayanan kesehatan, yang mana

pelayanan kesehatan diharapkan dapat memuaskan para pengguna

jasa dan dari segi penyelenggaraannya harus sesuai dengan kode


etik dan standar yang telah ditetapkan.

5. Stratifikasi Pelayanan Kesehatan

Stratifikasi pelayanan kesehatan yang dianut oleh setiap Negara

tidaklah sama, namun secara umum berbagai strata ini dapat

dikelompokkan menjadi tiga macam yakni (Azwar,2010) :

a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health service)

adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health

service), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat

serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat

pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan. Pelayanan kesehatan

b. Tingkat Kedua

Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health service) adalah


pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat inap (in
patient service) dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan
tersedianya tenaga-tenaga spesialis.
c. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health service) adalah
pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialialis.
E. Puskesmas

1. Pengertian Puskesmas

Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan

masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas ialah unit pelaksana

fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat

pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat


pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya

secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat

yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Puskesmas sebagai

sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, maka Puskesmas

bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan

masyarakat, juga bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan

kedokteran (Azwar, 2010).

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif

dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya (Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2014).

2. Asas Pengelolaan

Menurut (Azwar, 2010) sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat

pertama di Indonesia, pengelolaan program kerja Puskesmas berpedoman

pada empat asas pokok yakni:

a. Asas Pertanggungjawaban Wilayah

Puskesmas harus bertanggung jawab atas semua masalah

kesehatan yang terjadi di wilayah kerjanya. Adanya asas

pertanggungjawaban wilayah maka program kerja puskesmas tidak

dilaksanakan secara pasif, dalam arti hanya sekadar menanti

kunjungan masyarakat ke Puskesmas, melainkan harus secara aktif

yakni memberikan pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan

masyarakat. Puskesmas harus bertanggung jawab atas semua masalah

kesehatan yang terjadi di wilayah kerjanya, maka banyak dilakukan


berbagai program pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit

yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan masyarakat.

b. Asas Peran Serta Masyarakat

Puskesmas harus melaksanakan asas peran serta masyarakat

artinya berupaya melibatkan masyarakat dalam menyelenggarakan

program kerjanya. Bentuk peran serta masyarakat dalam pelayanan

kesehatan banyak macamnya. Di Indonesia dikenal dengan nama Pos

Pelayanan Terpadu (POSYANDU).

c. Asas Keterpaduan

Puskesmas harus melakukan asas keterpaduan artinya berupaya

memadukan kegiatan tersebut bukan saja dengan program kesehatan lain

(lintas program), tetapi juga dengan program dari sektor lain (lintas

sektoral). Dilaksanakannya asas keterpaduan ini akan memperoleh

banyak manfaat. Puskesmas dapat menghemat sumberdaya, sedangkan

bagi masyarakat lebih mudah memperoleh pelayanan kesehatan.

d. Asas Rujukan

Puskesmas harus melaksanakan asas rujukan artinya jika tidak

mampu menangani suatu masalah kesehatan harus merujuknya ke sarana

kesehatan yang lebih mampu. Pelayanan kedokteran jalur rujukannya

adalah Rumah Sakit, sedangkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat

jalur rujukannya adalah berbagai kantor kesehatan. Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Faktor-faktor determinan/penentu dalam penggunaan pelayanan

kesehatan didasarkan pada beberapa kategori antara lain, kependudukan,

struktur sosial, psikologi sosial, sumber keluarga, sumber daya masyarakat,


organisasi dan model-model system kesehatan. Anderson (1974) dalam

(Notoatmodjo, 2012) menggambarkan model sistem kesehatan (health model

system) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Terdapat tiga kategori

utama dalam pelayanan kesehatan yakni karakteristik predisposisi,

karekteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan (Notoatmodjo, 2012).

3. Karakteristik Predisposisi (Predisposing Characteristics)

Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap

individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan

kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri

individu, yang digolongkan ke dalam tiga kelompok.

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan usia.

b. Struktur sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras

dan sebagainya.

c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan

kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit. Selanjutnya

Anderson percaya bahwa :

1) Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan karakteristik,

mempunyai perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan

mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan.

2) Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai

perbedaan gaya hidup, dan akhirnya mempunyai perbedaan pola

penggunaan pelayanan kesehatan.

3) Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan

pelayanan kesehatan.

4. Karakteristik Pendukung (Enabling Characteristics)


Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai

predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, tetapi ia tidak

menggunakannya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung

kepada kemampuan konsumen untuk membayar, yang termasuk

karakteristik ini adalah (Jannah, 2017):

a. Sumber keluarga (family resources), yaitu meliputi pendapatan

keluarga, cakupan asuransi kesehatan dan pihak-pihak yang

membiayai pelayanan kesehatan keluarga.

b. Sumber daya manusia (community resource), yang meliputi

penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam

masyarakat.

5. Karakteristik Kebutuhan (Need Characteristics)

Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari

pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan

sebagai kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung

untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi

dan pendukung itu ada. Karakteristik kebutuhan itu sendiri dapat dibagi

menjadi dua kategori yakni (Yuliaristy, 2018) :

a. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan kesehatan

yang dirasakan.

b. Evaluate clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit

didasarkan oleh penilaian petugas.

Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seseorang dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan. Berdasarkan teori Anderson (1974) model dalam Notoatmodjo

(2012), variabel yang mempengaruhi pemanfaatan PROLANIS oleh


penderita diabetes mellitus adalah :

a. Karakteristik Predisposisi (Predisposing Characteristics)

1) Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2012) pengetahuan merupakan hasil

dari tahu dan itu terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (overt behavior). Tingkat pengetahuan

seseorang terhadap suatu objek memiliki intensitas yang berbeda-

beda. Tingkat pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkat, yakni:

a) Tahu (know)

b) Memahami (comprehension)

c) Aplikasi (aplication)

d) Analisis (analysis)

e) Sintesis (Synthesis)

f) Evaluasi (Evaluation)

Menurut penelitian Yuliaristi (2018) tingkat pengetahuan yang

baik lebih banyak memanfaatkan program pengelolaan penyakit

kronis di wilayah kerja Puskesmas Mandala Medan. Pengetahuan

penderita hipertensi dan diabetes mellitus akan manfaat program

pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS) ini dapat diperoleh dari

pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang

bermakna terhadap pemanfaatan program pengelolaan penyakit

kronis di wilayah kerja Puskesmas Mandala Medan. Sejalan

dengan penelitian Tawakal (2015) “Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Pemanfaatan Program Pengelolaan Penyakit

Kronis (Program pengelolaan penyakit kronis) di BPJS Kesehatan

Kantor Cabang Tangerang Tahun 2015” terdapat hubungan yang

signifikan antara pengetahuan peserta terhadap penyakitnya

dengan pemanfaatan program pengelolaan penyakit kronis.

2) Jenis Kelamin

Menurut Anderson dalam Notoadmodjo (2012) jenis

kelamin merupakan faktor predisposing dalam pemanfaatan

pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmi (2015)

mengatakan responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki

peluang yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Menurut

penelitian Tawakkal (2015) jenis kelamin berhubungan dengan

pemanfaatan PROLANIS. Hal ini mungkin dikarenakan kelompok

perempuan memiliki tingkat awareness yang lebih tinggi terhadap

penyakitnya sehingga perempuan akan langsung mendatangi

tempat kegiatan PROLANIS untuk mencegah terjadinya keparahan

penyakit (Yuliaristi, 2018).

3) Status Pekerjaan

Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari.

Pekerjaan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas

manusia. Pekerjaan membatasi kesenjangan antara informasi


kesehatan dan praktek yang memotivasi seseorang untuk

memperoleh informasi dan berbuat sesuatu untuk menghindari

masalah kesehatan (Notoadmojo, 2012). Seseorang yang berstatus

sebagai pekerja, memiliki risiko terhadap kejadian hipertensi dan

diabetes mellitus dikarenakan berbagai faktor seperti tingkat stres

yang tinggi ataupun pola makan yang tidak teratur dan kurang

sehat juga kurangnya olahraga akibat padatnya aktifitas bekerja.

Seseorang yang berstatus bekerja juga berpengaruh pada

pemanfaatan PROLANIS dikarenakan padatnya aktifitas bekerja

sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengikuti

program PROLANIS (Yuliaristi, 2018).

4) Tingkat Pendidikan

Menurut (Notoatmodjo, 2003) dalam (Tawal, 2015)

pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau

masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh

pelaku pendidikan. Menurut (Rahmi, 2015) orang yang memiliki

pendidikan tinggi akan cenderung memilih pelayanan kesehatan

yang lebih tinggi karena mencerminkan status sosial seseorang

dalam masyarakat sehingga akan berpengaruh pula pada gaya

hidup dan pola perilaku dalam memanfaatkan pelayanan

kesehatan.

Hasil penelitian (Rahmi, 2015) variabel pendidikan

menunjukkan nilai p=0,015 yang artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara pendidikan dengan pemanfaatan PROLANIS.


Hasil penelitian (Tawakal, 2015) diperoleh p= 1,000 maka dapat

disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan responden dengan pemanfaatan PROLANIS, hal ini

bisa terjadi karena kemungkinan responden yang berpendidikan

tinggi masih bekerja sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan.

5) Usia

Menurut (Yuliaristi, 2018) pada umumnya hipertensi dan

diabetes mellitus berkembang pada saat usia seseorang mencapai

paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya pada usia 60

tahun ke atas. Menurut (Kuswadji, 1988) dalam (Rahmi, 2015)

semakin lanjut usia seseorang maka akan semakin banyak masalah

kesehatan yang akan dihadapi, usia lanjut lebih banyak menghuni

rumah sakit dan menjadi mayoritas pengunjung di klinik- klinik

kesehatan. Peserta dari kegiatan PROLANIS lebih banyak berusia

lansia, BPJS Kesehatan juga mengakui bahwa kegiatan

PROLANIS memang diperuntukkan bagi peserta yang memiliki

lebih banyak waktu luang. Lansia memiliki lebih banyak waktu

luang karena sudah pensiun dari pekerjaannya.

Kementerian kesehatan mengklasifikasikan Lansia menjadi

empat klasifikasi (Kemenkes, 2010) sebagai berikut:

a) Pralansia, seseorang yang berusia 45-59 tahun

b) Lansia , seseorang yang berusia 60-69 tahun

c) Lansia risiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih dengan masalah kesehatan


d) Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang

dan jasa.

b. Karakteristik Pendukung (Enabling Characteristics)

1) Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan kelompok yang mempunyai peranan

yang amat penting dalam mengembangkan, mencegah,

mengadaptasi dan atau memperbaiki masalah kesehatan yang

ditemukan dalam keluarga, untuk mencapai perilaku sehat

masyarakat, maka harus dimulai pada masing-masing tatanan

keluarga (Notoadmojo, 2010).

Menurut Rahmi (2015) dukungan dari keluarga dalam hal

ini berupa saran atau anjuran untuk memanfaatkan PROLANIS.

Dukungan keluarga juga dibuktikan dengan kesediaan anggota

keluarga untuk menemani dan mengantar responden ke tempat

pelaksanaan PROLANIS. Anggota keluarga juga dianggap

memiliki pengaruh kepada perilaku seseorang dalam

memanfaatkan pelayanan kesehatan, karena perilaku seseorang

juga dapat dipengaruhi dari lingkungan keluarga.

Berdasaran hasil penelitian Yuliaristi (2018) menunjukkan

bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap variabel

dependent yaitu variabel dukungan keluarga terhadap

pemanfaatan program pengelolaan penyakit kronis. Hasil

penelitian Tawakal (2015) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan


pemanfaatan program pengelolaan penyakit kronis.

2) Peran Petugas Kesehatan

Menurut UU RI No. 36 tahun 2014 tenaga kesehatan,

petugas kesehatan sebaiknya memberikan motivasi berupa

pemberian informasi penting terkait penyakit kronis begitu juga

bagaimana komplikasi yang akan terjadi jika tidak dilakukan

pencegahan, agar penyandang penyakit kronis khususnya

penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi mau mengikuti

kegiatan program pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS)

(Yuliaristi, 2018).

Peran petugas kesehatan berupa ada atau tidaknya

anjuran/saran dari petugas kesehatan kepada responden untuk

mengikuti atau memanfaatkan PROLANIS (Tawakal, 2015).

Berdasarkan penelitian Yuliaristi (2018) terdapat hubungan yang

signifikan antara peran petugas terhadap pemanfaatan program

pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS).

c. Karakteristik Kebutuhan (Need Characteristics)

1) Kebutuhan PROLANIS

Anderson dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa

jumlah penggunakan pelayanan kesehatan oleh suatu keluarga

merupakan karakteristik disposisi, kemampuan serta kebutuhan

keluarga itu atas pelayanan medis, semua komponen tersebut

dianggap mempunyai peranan tersendiri dalam memahami

perbedaan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sedangkan

kebutuhan merupakan faktor yang lebih penting dibandingkan

faktor predisposisi dan kemampuan (Yuliaristi, 2018).


Apabila penderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus

dan hipertensi berpersepsi bahwa mereka membutuhkan

pelayanan program pengelolaan penyakit kronis maka

kemungkinan besar pemanfaatan PROLANIS dapat meningkat.

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan tergolong dalam kebutuhan

primer, karena kesehatan merupakan kunci utama dalam

menjalani hidup. Apabila badan dan pikiran sehat maka apapun

aktifitas yang akan dilaksanakan akan berjalan lancar (Yuliaristi,

2018).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keberhasilan pelaksanaan Prolanis tercipta karena usaha proaktif mencari
kebutuhan di masyarakat, dan menciptakan inovasi atau gagasan – gagasan kreatif
dalam mengimplementasikan program di lapangan. Kegiatan yang tidak monoton
atau bervariasi akan menarik minat peserta. Pelibatan peserta dalam peer group
untuk sharing dengan sesamanya juga berperan dalam meningatkan dukungan sosial
agar peserta merasa nyaman untuk terus datang ke acara-acara Prolanis.

B. Saran
Pelaksanaan Prolanis yang proaktif menampilkan inovasi atau de baru yang
bervariasi pada setiap pertemuan. Menjalin kemitraan dengan swasta dalam
pelaksanaan program Meningkatkan dukungan sosial melalui peer group untuk
keberlanjutan program

Anda mungkin juga menyukai