Semantik Kelompok 4
Semantik Kelompok 4
Semantik Kelompok 4
Oleh :
DWI MARLINAWATI (11811123350)
RIKA LESTARI (11811123227)
RINA AFRIANA (11811123131)
RIZKA AULIYA JUFRI (11811123445)
SRI HANDAYANI (11811123144)
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesempatan, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pengertian Makna, Pendekatan Teori, dan Pengembangannya” sebagai
tugas mata kuliah Semantik. Shalawat beriring salam tidak lupa penulis ucapkan
kepada Rasulullah saw yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan ke
zaman yang ber penuh ilmu pengetahuan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Semantik yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to signify
atau memaknai. Sebagai istilah teknis, Semantik mengandung pengertian “Tentang
makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari linguistic. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen
makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi
umumnya menduduki tingkatan terakhir.
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
tentang keharusan memaknai X sebagai P seperti P seperti yang telah berada dalam
konvensi bahwa P adalah P.
4
gramatik, hubungan antara aspek gramatik dengan unsur semantis, maupun hubungan
antara bahasa dengan dunia luar.
Dalam dua pendekatan yang telah diuraikan di depan, dapat diketahui bahwa
(1) pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada fakta
sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara indiviual, dan
(2) pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media
dalam mengola pesan dan menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua
pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dan situsional yang oleh kaum
behavioral dianggap berperanan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap kedua pendekatan di atas adalah pada objek utama kajian
yang justru tidak pernah dapat diobservasi secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah mampu meneliti karakteristik idea atau
pikiran penutur-pendengar, sejalan dengan aktivitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itulah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan
behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung
dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit terkecil yang
mengandung makna penuh dari keseluruhan speech event yang berlangsung dalam
speech situation disebut speech act (Hymes, 1972:56).
5
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari
berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculannya (Searle, 1969). Unit ajaran
yang berbunyi Masuk! Misalnya, dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya
dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotere, “silahkan ke dalam”
bagi tamu dan tuan rumah, “hadir” bagi mahasiswa yang diprepensi Pak Dosen.
Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar
dan situasi dan bentuk interaksi sosial yang mengondisinya. Hal itu juga sejalan
dengan rumusan pengertian Austin (1962), seorang filsuf yang mengintroduksi
konsep tersebut, yakni . . . speech-act is a bit of speech produced as part of a bit of
social interaction – as opposed to the linguist’s and philoshoper’s decontextualised
examples (Hudson, 1982: 110).
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Austin, Hare,Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak lepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky,
menganggap bahwa meletakkan unsur luar bahasa sejajar dengan bahasa dalam
rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri
yang dapat digunakan untuk mengekspresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai
suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon
pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal,
melainkan juga ditentukan oleh representasi semantik. Komponen representasi
semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar
bahasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional
sebagai suatu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan ada di dalam dan
mewarnai keseluruhan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. McCawley, 1978:176). Baru
setelah unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface
structure yang pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi
atau phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewarnai kajian
semiotik yang dilaksanakan oleh Morris.
6
Dari ketiga pendekatan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir
manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan lewat
bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa
dalam konteks sosial-situasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan
tersebut lebih menyerupai suatu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman,
misalnya yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih
puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1986).
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir hanya
karena adanya dunia luar. Kata perang bintang atau kartika yuda, bis susun,
jembatang layang, adalah kata-kata yang hadir untuk menemani realitas luar. Dengan
demikian, pada tingkatan awal, antara makna dengan dunia luar memang terdapat
hubungan wigati. Sebab itulah dalam kajian semantic, pendekatan referensial
umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulham yang
banyak memberikan kritikan terhadap pendekatan refrensial, konsep yang diajukan
sehubungan dengan keberadaan makna, yakni name ‘bentuk fonetis kata’, sense
7
‘pengertian’ serta thing ‘referen acuan’ tidak lebih hanya pembahasan lain dari model
pembagian signifiant dan signifie dari Saussure yang digabungan dengan basic
triangle Ogden & Richard sebagai konsep yang oleh Ullman diketahui bertolak dari
pendekatan referensial (Ullman, 1977:57).
Pada sisi lain, pendekatan behavioral dalam kajian semantic juga tumbuh
dengan bertolak dari teori behavioris dalam psikologi. Apabila kajian semantik yang
menekan pada fakta sosial oleh Holiday disebut sosiosemantik, maka kajian semantic
yang berhubungan erat dengan behavorisme dalam psikologi biasa disebut dengan
semantik behavoriss atau behaviourist semantics.
8
Empat ciri behavorisme secara umum ialah (1) menolak konsep mentalisme
yang mengkaji mind dan concept tanpa bermanusia memiliki prilaku dasar yang sama
sehingga tokoh behavoris dalam semantic, misalnya Osgood, seperti telah disinngung
diawal kajian ini, juga memandingkan bahasabinantang dengan bahasa manusia, (3)
perilaku manusia dalam berbahasa pada pada dasarnya bertolak dari dan dibentuk
oleh factor sosial, serta (4) memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia,
seperti ditandai oleh adanya stimulus (S) dan respons (Lyons, 1979: 120).
Bloomfield, misalnya, mengungkapkan bahwa makna berada dalam dituasi di mana
penutur memberikan respons untuk menanggapinya. Contoh bagan di bawah ini akan
memperjelas konsep makna dalam kajian Bloomfield.
S→r……s→R
9
Kegiatan proyeksi berkaitan dengan penggambaran berbagai fitur semantik
yang terdapat dalam suatu bentuk kebahasaan. Hal itu terjadi karena meskipun kata
aku, saya, kami, nama diri, maupun berbagai bentuk pronominapertama mungkin
dapat saling disubtitusikan, masing- masingnya memilki nuansa makna sendiri-
sendri. Dari berbagai bentuk dengan berbagai makna, ditentukan isian makna yang
dianggap paling tepat. Bertolak dari kesimpulan itu, pameran mengadakan integrasi.
Integrasi pada diri penutur berarti menetapkan pilihan bentuk kebahasaan yang akan
dipakai, sedangkan integrasi pada diri penanggap berarti menetapkan makna yang
paling tepat sesuai dengan yang dimaui oleh penuturnya. Pada tataran representasi,
penutur menggambarkan pesan lewat ujaran, dan pada diri penanggap berarti
menguraikan kembali makna ujaran sesuai dengan maksud penuturnya.
10
dipertinggi, atau mungkin (c) gambaran peristiwanya telah terasa lepas dari
kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang berbunyi Sang Iblis
adalah kecongkakan rohani, iman tanpa senyuman, kebenaran yang tak pernah
diterkam oleh fikiran ragu adalah salah satu contoh paparan yang mengandung tiga
unsur penyebab kerterasingan itu secara keseluruhan. Contoh lain paparan demikian
dapat dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
11
yang demikian jauh. Pernyataan itu dapat dikaji lewat contoh puisi berjudul “Hari
Pun Tiba” karya Sapardi Djokodamono seperti dikutip di bawah ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam pembahasan ini
makna diartikan sebagai “hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti”,
dalam komunikasi khusus seperti puisi, batas kesepakatan acuan makna kata serta
saling mengerti, menjadi kabur. Kajian makna dalam puisi seperti telah dipaparkan di
atas pada sisi lain juga memberikan gambaran tentang keluasan ruang lingkup makna
12
itu sendiri sehingga tidak mengeherankan bila terdapat berbagai rumusan pengertian,
teori pendekatan, maupun upaya dalam memahaminya.
Selain itu, apabila keberadaan makna telah demikian diperluas, terbukti juga
bahwa penguasaan aspek lambang maupun sistem kebahasaan seperti terdapat dalam
konvensi umum tidak cukup dijadikan bekal pemahaman. Sebab itulah, Jonathan
Culler, misalnya, mengunggapkan bahwa to read a text as literature is not make
one’s mind a tabula rasa and approach it without preconceptions (Ching, dkk.,
1980 : 6). Untuk keseluruhannya itu pada akhirnya dibutuhkan satu model
pendekatan yang “holistik”.
13
bukan hanya berhubungan dengan “isi tanda”, melainkan juga berhubungan dengan
ketetapan, keluasan, kedalaman, dannilai informasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu
bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki
konvensi sehingga dapat saling dimengerti.
2. Pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada
fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan
secara indiviual, sedangkan pendekatan ideasional lebih menekankan
pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengola pesan dan
menyampaikan informasi.
3. Penerapan tiga pendekatan studi makna yaitu pendekatan pertama
mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir manusia
14
dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan
gagasan lewat bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan
fakta pemakaian bahasa dalam konteks sosial-situasional.
4. Pembahasan makna diartikan sebagai “hubungan antara bahasa dengan
dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa
sehingga dapat saling dimengerti”, dalam komunikasi khusus seperti puisi,
batas kesepakatan acuan makna kata serta saling mengerti, menjadi kabur.
15
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat menyimpulkan saran sebagai
berikut:
1. Makalah selanjutnya dapat membahas mengenai makna dalam sistem
tanda.
2. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang acuan, lambang, dan
konsteptual.
3. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang asosiasi hubungan makna.
4. Makalah selanjutnya dapat membahas ragam makna dalam pemakaian.
16
DAFTAR PUSTAKA
17