Semantik Kelompok 4

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Semantik Roza Afifah, S.Pd, M.Hum

PENGERTIAN MAKNA, PENDEKATAN TEORI,


DAN PENGEMBANGANNYA.

Oleh :
DWI MARLINAWATI (11811123350)
RIKA LESTARI (11811123227)
RINA AFRIANA (11811123131)
RIZKA AULIYA JUFRI (11811123445)
SRI HANDAYANI (11811123144)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesempatan, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pengertian Makna, Pendekatan Teori, dan Pengembangannya” sebagai
tugas mata kuliah Semantik. Shalawat beriring salam tidak lupa penulis ucapkan
kepada Rasulullah saw yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan ke
zaman yang ber penuh ilmu pengetahuan.

Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata


kuliah Semantik ibu Roza Afifah S.Pd., M.Hum. telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini. Makalah ini terdapat kesalahan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar terciptanya
makalah yang lebih baik lagi ke depannya. Semoga makalah yang penulis buat dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 11 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.1 Makna dalam Pendekatan Ideasional.........................................................3
2.2 Pendekatan Makna dalam Pendekatan Behavioral......................................6
2.3 Penerapan Tiga Pendekatan dalam Studi Makna........................................7
2.4 Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang dalam Pemaknaan.................10
BAB III PENUTUP.............................................................................................14
3.1 Simpulan....................................................................................................14
3.2 Saran..........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semantik yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to signify
atau memaknai. Sebagai istilah teknis, Semantik mengandung pengertian “Tentang
makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari linguistic. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen
makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi
umumnya menduduki tingkatan terakhir.

Persoalan makna merupakan persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari.


Mulanya masih banyak orang yang belum mengetahui apa itu makna dan apa saja
pembagian-pembagian makna. Maka dari itu makalah ini akan membahas tentang
pengertian makna dalam pendekatan ideasional, behavioral, penerapan tiga
pendekatan dalam studi makna, serta bagaimana proses kejiwaan dan penguasaan
lambang dalam pemaknaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas ditemukan beberapa permasalahan di antaranya:

1. Apa itu makna dalam pendekatan ideasional?


2. Apa itu pendekatan makna dalam pendekatan behavioral?
3. Bagaimana penerapan tiga pendekatan dalam studi makna?
4. Bagaimana proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam pemaknaan?

1
1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian makna dalam pendekatan ideasional.


2. Untuk mengetahui pendekatan makna dalam pendekatan behavioral.
3. Untuk mengetahui penerapan tiga pendekatan dalam studi makna.
4. Untuk mengetahui proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam pemaknaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Makna dalam Pendekatan Ideasional.

Kata makna di dalam pemakaiannya sering disejajarkan pengertiannya


dengam arti, gagasan, pikiran, konsep, pesan, dan informasi. Makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Kridalaksana (2004: 17). Kelemahan dalam pendekatan referensional, selain telah
disebutkan di atas, juga berkaitan dengan masalah adanya paradoksal antara
kebergantungan pada wujud yang diacu dan subjektivitas dalam memberikan julukan.
Selain itu, semata konsep yang di anggap bersifat individual, karena dunia kita adalah
dunia yang satu ini juga, pada akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani
adalah saru di antara petani lainnya, seorang penyair adalah satu di antara penyair
lainnya. Kelemahan lain yang sangat menarik sehubungan dengan kajian pada butir
ini adalah meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara
bentuk dan isi, mencabut makna dari konvensi dan mengeluarkannya dari konteks
komunikasi.

Dalam pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu


bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi
sehingga dapat saling dimengerti. Gambaran kesatuan hubungan antara makna
dengan bentuk kebahasaan itu secara jelas dapat dikaji dalam perumusan Grice, . . . X
meant thet P and X means that P entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X
memaknakan P seperti yang dimiliki oleh P. X dalam konsep Grice adalah perangkat
kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah memiliki satuan gagasan. Kalimat
yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran

3
tentang keharusan memaknai X sebagai P seperti P seperti yang telah berada dalam
konvensi bahwa P adalah P.

Meletakkan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti


pendekatan ideasional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold
J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan prase sebagai
unsur-unsur pembangun kalimat, sapat langaung diidentifikasi lewat kalimat. Dengan
mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan
pemaknaan tidak berlangsung secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pada satuan
makna yang daat digunakan dalam komunikasi (Katz, dalan Steinberg & Jakobovits,
1978: 297). Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut Grice, X has meaning NN if
it is used in communication (Grice, 1957). Atau dengan kata lain, kata setelah berada
dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam. Mungkin
makna 1, 2, 3 . . . N.

Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa


yang juga bisa digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan pengolahan
pesan lewat bahasa atau enkoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau koding,
serta proses memahami pesan atau dekoding, dapat berlangsung dalam garis linear
seperti berikut.

Enkoding Koding Dekoding

Dalam pendekatan ideasional, makna dianggap sebagai pemarkah ide yang


memperoleh bentuk lewat bahasa dan terwujud dalam kode. Dari adanya kegiatan
"pembahasan pesan" dan "pengolahan kode", maka dalam pendekatan ideasional,
penguasaan aspek kognitif dan rekognisi dari pemeran dalam kegiatan komunikasi,
sangat penting. Aspek kognisi dan rekognisi memiliki sasaran, baik pada aspek

4
gramatik, hubungan antara aspek gramatik dengan unsur semantis, maupun hubungan
antara bahasa dengan dunia luar.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa bahasa memiliki kedudukan


sentral. Dengan demikian, kesalahan penggunaan bahasa dalam proses berpikir
menyebabkan pesan yang disampaikan tidak tepat. Sebaliknya, seandainya
penggunaan bahasa dalam proses berpikir sudah benar, tetapi kode yang diwujudkan
mengandung kesalahan, informasi yang diterima pun dapat menyimpang.

2.2 Pendekatan Makna dalam Pendekatan Behavioral.

Dalam dua pendekatan yang telah diuraikan di depan, dapat diketahui bahwa
(1) pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada fakta
sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara indiviual, dan
(2) pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media
dalam mengola pesan dan menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua
pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dan situsional yang oleh kaum
behavioral dianggap berperanan penting dalam menentukan makna.

Kritik lain terhadap kedua pendekatan di atas adalah pada objek utama kajian
yang justru tidak pernah dapat diobservasi secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah mampu meneliti karakteristik idea atau
pikiran penutur-pendengar, sejalan dengan aktivitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itulah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan
behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung
dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit terkecil yang
mengandung makna penuh dari keseluruhan speech event yang berlangsung dalam
speech situation disebut speech act (Hymes, 1972:56).

5
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari
berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculannya (Searle, 1969). Unit ajaran
yang berbunyi Masuk! Misalnya, dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya
dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotere, “silahkan ke dalam”
bagi tamu dan tuan rumah, “hadir” bagi mahasiswa yang diprepensi Pak Dosen.
Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar
dan situasi dan bentuk interaksi sosial yang mengondisinya. Hal itu juga sejalan
dengan rumusan pengertian Austin (1962), seorang filsuf yang mengintroduksi
konsep tersebut, yakni . . . speech-act is a bit of speech produced as part of a bit of
social interaction – as opposed to the linguist’s and philoshoper’s decontextualised
examples (Hudson, 1982: 110).

Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Austin, Hare,Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak lepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky,
menganggap bahwa meletakkan unsur luar bahasa sejajar dengan bahasa dalam
rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri
yang dapat digunakan untuk mengekspresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai
suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon
pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal,
melainkan juga ditentukan oleh representasi semantik. Komponen representasi
semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar
bahasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional
sebagai suatu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan ada di dalam dan
mewarnai keseluruhan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. McCawley, 1978:176). Baru
setelah unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface
structure yang pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi
atau phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewarnai kajian
semiotik yang dilaksanakan oleh Morris.

2.3 Penerapan Tiga Pendekatan dalam Studi Makna.

6
Dari ketiga pendekatan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir
manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan lewat
bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa
dalam konteks sosial-situasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan
tersebut lebih menyerupai suatu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman,
misalnya yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih
puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1986).

Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masingnya terus


berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama,
misalnya yang dilandasi pemikiran para filsuf seperti John Dewey, Rudolf Carnap,
maupun Bertrand Russel, akhirnya memang lebih erat dengan kontemplasi dalam
upaya memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itu
pun sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi
karena di samping makhluk berpikir, manusia adalah juga makhluk pencari. Kegiatan
soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Moeliono di indonesiakan dengan
ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai… is the product and reflex of converse with
others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah bersifat…
transdedental.

Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir hanya
karena adanya dunia luar. Kata perang bintang atau kartika yuda, bis susun,
jembatang layang, adalah kata-kata yang hadir untuk menemani realitas luar. Dengan
demikian, pada tingkatan awal, antara makna dengan dunia luar memang terdapat
hubungan wigati. Sebab itulah dalam kajian semantic, pendekatan referensial
umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulham yang
banyak memberikan kritikan terhadap pendekatan refrensial, konsep yang diajukan
sehubungan dengan keberadaan makna, yakni name ‘bentuk fonetis kata’, sense

7
‘pengertian’ serta thing ‘referen acuan’ tidak lebih hanya pembahasan lain dari model
pembagian signifiant dan signifie dari Saussure yang digabungan dengan basic
triangle Ogden & Richard sebagai konsep yang oleh Ullman diketahui bertolak dari
pendekatan referensial (Ullman, 1977:57).

Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana


mengolah makna suatu realitas secara benar”, maka kajian semantic lewat pendekatan
ideasional lebih menekankan pada masalah” bagaimana menyampaikan makna lewat
struktur kebahasaan secara benar tanpa mengabaikan keselarasan hubungannya
dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu dalam
kajiannya ternyata menunjukkan adanya perbedaan. Pengkajian semantic yang
bertolak dari kajian pandangan generative transformasi, misalnya meskipun sama-
sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a
system of rules that expresses the correspondence between sound and meaning in thid
language (Chomsky, 1971:182).

Semantik memiliki tingkatan tersendiri sebelum deep structure, Komponen


representasi semantic itu berisi semantic content of lexical item yang akhirnya
membentuk post-lexical structure sebagai butir leksikon yang membangun deep
structure (Chomsky, 1971: 185). Wawasan tersebut tidak sesuai dengan pandangan
semantic generative yang sebenarnya juga berpijak pada konsep generative
transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky, Bagi mereka, pemilihan tingkatan
komponen representasi semantic dengan struktur dalam itu pada dasarnya tidak perlu
karena keduanya identik.

Pada sisi lain, pendekatan behavioral dalam kajian semantic juga tumbuh
dengan bertolak dari teori behavioris dalam psikologi. Apabila kajian semantik yang
menekan pada fakta sosial oleh Holiday disebut sosiosemantik, maka kajian semantic
yang berhubungan erat dengan behavorisme dalam psikologi biasa disebut dengan
semantik behavoriss atau behaviourist semantics.

8
Empat ciri behavorisme secara umum ialah (1) menolak konsep mentalisme
yang mengkaji mind dan concept tanpa bermanusia memiliki prilaku dasar yang sama
sehingga tokoh behavoris dalam semantic, misalnya Osgood, seperti telah disinngung
diawal kajian ini, juga memandingkan bahasabinantang dengan bahasa manusia, (3)
perilaku manusia dalam berbahasa pada pada dasarnya bertolak dari dan dibentuk
oleh factor sosial, serta (4) memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia,
seperti ditandai oleh adanya stimulus (S) dan respons (Lyons, 1979: 120).
Bloomfield, misalnya, mengungkapkan bahwa makna berada dalam dituasi di mana
penutur memberikan respons untuk menanggapinya. Contoh bagan di bawah ini akan
memperjelas konsep makna dalam kajian Bloomfield.

S→r……s→R

Singkatan S berarti stimuli berupa ujaran, makna ada dalam r . . . s, sedangkan


R adalah tanggapan yang diberikan pendengar sesuai dengan stimuli yang diterima.
Pertanyaan yang segera hadir, antara lain, (1) apakah makna harus ditentukan oleh
adanya S dan R, (2) apakah makna dalam r . . . s itu bisa diobservasi secara kajian
semantik behavoris terus disempurnakan dan berkembang antara lain ditokoli J.B
Watson, Charles Osgood, dan Roger Brown. Pengaruh psikologi behavioral pun
dapat dijumpai dalam kajian semiotic Charles Morris, khususnya dalam mengkaji
komponen pragmatik yang berkaitan erat dengan pemakai.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, semantik behavorisme memilki


wilayah khusus kajian tersendiri. Hal itu agaknya juga sejalan dengan pandangan
Bloonfield yang menolak memasukkan semantik. Ke dalam linguistic. Kajian
semanatik behavoris yang dilakukan oleh Watson. Gsgood, maupun Brown,
misalnya, lebih memusatkan perhatian pada aspek kejiwaan penutur dan penanggap
dalam upaya mengolah dan dalam proses memahami pesan, Osgood, misalnya,
mengunggkapkan bahwa dalam kegiatan encoding maupun decoding, baik proyeksi,
integrasi, serta respsentasi (Osgood, 1980: 25).

9
Kegiatan proyeksi berkaitan dengan penggambaran berbagai fitur semantik
yang terdapat dalam suatu bentuk kebahasaan. Hal itu terjadi karena meskipun kata
aku, saya, kami, nama diri, maupun berbagai bentuk pronominapertama mungkin
dapat saling disubtitusikan, masing- masingnya memilki nuansa makna sendiri-
sendri. Dari berbagai bentuk dengan berbagai makna, ditentukan isian makna yang
dianggap paling tepat. Bertolak dari kesimpulan itu, pameran mengadakan integrasi.
Integrasi pada diri penutur berarti menetapkan pilihan bentuk kebahasaan yang akan
dipakai, sedangkan integrasi pada diri penanggap berarti menetapkan makna yang
paling tepat sesuai dengan yang dimaui oleh penuturnya. Pada tataran representasi,
penutur menggambarkan pesan lewat ujaran, dan pada diri penanggap berarti
menguraikan kembali makna ujaran sesuai dengan maksud penuturnya.

Agar mampu memahami pesan dengan baik, penanggap harus mampu


mengadakan pembayangan, menghubungkan berbagai hasil pembayaran itu dan
memilih salah satunya yang dianggap paling memiliki signifikansi dan mengadakan
kesimpulan. Untuk mampu demikian, penanggap harus menguasi unsur (1) leksikon,
yakni kosakata dari bahasa yang digunakan dalam tuturan, (2) operator, fungsi dan
relasi setiap kata dalam pemakaian, (3) buffer, gambaran keberadaan bahasa itu dalam
berbagai pemakaian yang berada dalam simpanan ingatan, serta (4) memory, yakni
simpanan ingatan yang berkaitan dengan nuansa makna setiap bentuk kebahsaan
dengan operator dan aspek leksikon (Osgood, 1980: 80).

2.4 Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang dalam Pemaknaan.

Komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas bisa


jadi tampil secara simultan dan spontan. Akan tetapi, adakalanya proses mekanistis
itu mengalami hambatan. Hal itu terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk khusus
yang berada di luar perbendaharaan pengalamannya dalam komunikasi kesahariaan.
Bentuk khusus tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi penanggap, mungkin
karena (a) pilihan kata dan penataan strukturnya, (b) acuan maknanya sudah

10
dipertinggi, atau mungkin (c) gambaran peristiwanya telah terasa lepas dari
kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang berbunyi Sang Iblis
adalah kecongkakan rohani, iman tanpa senyuman, kebenaran yang tak pernah
diterkam oleh fikiran ragu adalah salah satu contoh paparan yang mengandung tiga
unsur penyebab kerterasingan itu secara keseluruhan. Contoh lain paparan demikian
dapat dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.

Menjumpai paparan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya


memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan
dengan denotatum, melainkan juga designatum. Dalam kegiatan designatif, mungkin
sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan, dan
mungkin juga absurd. Makna bukan hanya menunjuk pada tanda, bukan hanya
menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga menunjuk pada sesuatu yang
mempribadi pada realitas lain yang transedental!

Dalam situasi demikian, memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan


makna kata, relasi makna dalam struktur maupun pemakaian, melainkan juga
menunjuk pada skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh
pikiran maupun pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makan
seperti yang diajukan oleh teori referensial menjadi begitu wigati. Sebab, itulah
penanggap yang menguasi bahasa hanya pada tataran fungsi intrumental, yakni
sebagai alat dalam memenuhi kebutuhan fisis sehari-hari. Akan membaca paparan itu
sebagai sesuatu yang “aneh”. Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi
personal, heuristik, dan imajinatif, sedikit banyak sudah harus dirambah oleh
penanggap.

Paparan kebahasaan seperti di atas akan menjadi semakin kompleks bila


sudah berada dalam karya puisi. Apabila pada paparan Goenawan itu jarak
pembayangan belum begitu jauh, maka dalam paparan puisi yang begitu metaforis,
pembayangan sudah menunjuk pada jarak realitas, jarak ruang maupun jarak waktu

11
yang demikian jauh. Pernyataan itu dapat dikaji lewat contoh puisi berjudul “Hari
Pun Tiba” karya Sapardi Djokodamono seperti dikutip di bawah ini.

hari pun tiba. kita berkemas senantiasa

kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka

kau pun menyapa: kemana kita

tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata

tiba-tiba terasa bahwa hanya terisa gema

sewaktu hari pun merapat

jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat

Setiap pemakai Bahasa Indonesia, tidak sulit menentukan denotatum yang


terdapat dalam setiap bentuk paparan dia atas. Kata-kata seperti berkemas, jarum,
menanggalkan, gema merapat, maupun terlambat adalah kata-kata yang makna dasar
atau denotatumnya sudah bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. akan tetapi,
bagaimana designatum dari setiap kata itu setelah berada dalam pemakaian, setelah
dikaitan dengan fakta dunia luar yang acuan maupun pembayangan yang dilakukan
penanggap sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki,
ternyata menjadi demikian asing.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam pembahasan ini
makna diartikan sebagai “hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti”,
dalam komunikasi khusus seperti puisi, batas kesepakatan acuan makna kata serta
saling mengerti, menjadi kabur. Kajian makna dalam puisi seperti telah dipaparkan di
atas pada sisi lain juga memberikan gambaran tentang keluasan ruang lingkup makna

12
itu sendiri sehingga tidak mengeherankan bila terdapat berbagai rumusan pengertian,
teori pendekatan, maupun upaya dalam memahaminya.

Selain itu, apabila keberadaan makna telah demikian diperluas, terbukti juga
bahwa penguasaan aspek lambang maupun sistem kebahasaan seperti terdapat dalam
konvensi umum tidak cukup dijadikan bekal pemahaman. Sebab itulah, Jonathan
Culler, misalnya, mengunggapkan bahwa to read a text as literature is not make
one’s mind a tabula rasa and approach it without preconceptions (Ching, dkk.,
1980 : 6). Untuk keseluruhannya itu pada akhirnya dibutuhkan satu model
pendekatan yang “holistik”.

Pendekatan tersebut yang antara lain melatari kajian fenomenologi maupun


hermeneutika dalam analisis teks sastra beranggapan bahwa ... meaning is not simply
something expressed or reflected in langueage: it is actually produced by it
(Eagleton, 1983: 60). Analogi dengan unsur mikrokosmos dan makrokosmos yang
dimiliki manusia, maka paparan lewat bentuk kebahasaan, selain mengandung unsur
mikroskopik, yakni unsur yang berkaitan dengan bentuk dan struktur internal
kebahasaan itu sendiri, juga mengandung unsur makrokospik, yakni dunia realitas
yang diwujudkan oleh relasi internal struktur kebahasaan. Dalam situasi demikian,
untuk memahami paparan tanda, akhirnya dituntut adanya interaksi dinamis antara
pembaca dengan teks, baik dalam kaitannya dengan komunikasi mikroskopik maupun
dengan perambahan dan penghayatan unsur makroskopik.

Apabila tanda, selain menunjuk pada mikroskopik, juga menunjuk pada


makroskopik, bentuk kebahasaan sebagai tanda bukan hanya menunjuk pada dirinya
sendiri, pada aspek sintaksis yang dimiliki, tetapi juga menunjuk pada aspek
pragmatik. Dalam situasi demikian, seperti diungkapkan oleh tokoh semiotik,
Charles Pierce, tanda akhirnya berhubungan dengan unsur luar yang begitu luas.
Tanda, selain memiliki tingkat realitas kehidupan. informasi yang disampaikan pun

13
bukan hanya berhubungan dengan “isi tanda”, melainkan juga berhubungan dengan
ketetapan, keluasan, kedalaman, dannilai informasi.

Sebab itulah, bahasa akhirnya juga dibedakan antara meta-language, yakni


bahasa yang digunakan untuk memerikan bahasa itu sendiri dalam kaitannya dengan
ciri, relasi, maupun sejumlah kaidah yang dimilikinya, serta object-language, yakni
bahasa yang digunakan dalam komunikasi dengan berbagai ragam dan ciri yang
dimilikinya. Sejalan dengan dikotomi mikroskopik dan makroskopik, Quine
menyebutkan terdapatnya dua tingkat kajian semantik. Pada tingkat pertama,
semantik adalah theory of meaning, dan pada tingkat kedua, semantik merupakan
theory of reference yang berkaitan dengan unsur ekstralinguistik, baik dalam
kaitannya dengan nilai kebenaran maupun dengan pengalaman dan pemilikan ilmu
pengetahuan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu
bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki
konvensi sehingga dapat saling dimengerti.
2. Pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada
fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan
secara indiviual, sedangkan pendekatan ideasional lebih menekankan
pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengola pesan dan
menyampaikan informasi.
3. Penerapan tiga pendekatan studi makna yaitu pendekatan pertama
mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir manusia

14
dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan
gagasan lewat bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan
fakta pemakaian bahasa dalam konteks sosial-situasional.
4. Pembahasan makna diartikan sebagai “hubungan antara bahasa dengan
dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa
sehingga dapat saling dimengerti”, dalam komunikasi khusus seperti puisi,
batas kesepakatan acuan makna kata serta saling mengerti, menjadi kabur.

15
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat menyimpulkan saran sebagai
berikut:
1. Makalah selanjutnya dapat membahas mengenai makna dalam sistem
tanda.
2. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang acuan, lambang, dan
konsteptual.
3. Makalah selanjutnya dapat membahas tentang asosiasi hubungan makna.
4. Makalah selanjutnya dapat membahas ragam makna dalam pemakaian.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2015. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar


Baru Algensindo.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: An Introduction. Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Hymes, Dell. 1972. “Models in Interaction of Language an Social Life” dalam
Gumperz dan Hymes (eds).
Kridalaksana. 2004. Leksikon komunikasi. Jakarta: Gramedia.
Ullman, Stephen. 1977. Semantics: An Intoduction to The Science of
Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

17

Anda mungkin juga menyukai