Makalah Ilmu Fiqh Lughoh Mazhab-Mazhab Pemikiran Linguistik Arab

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ILMU FIQH LUGHOH

MAZHAB-MAZHAB PEMIKIRAN LINGUISTIK


ARAB
Dosen Pengampu: Maria Ulfa Lubis, M.Pd.I

Disusun Oleh:
M Aulia Fadlan Aminullah (0302193096)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS ILOMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh.

Alhamdulillaahirabbil’aalaamiin, puji syukur atas kehadirat Allaah Sub’haanahu


Wata’aalaa, yang telah memberikan kita semua dan melimpahkan ilmu dan pengetahuan
yang baik, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “MAZHAB-
MAZHAB PEMIKIRAN LINGUISTIK ARAB” dengan baik dan ketepan waktunya.
Sholawat dan salam tidaklah terlupa untuk kita haturkan kepada Nabi akhir zaman,
manusia mulia yakni Nabi Muhammad Shollallaahu’alaihi Wasallam.

Kemudian penulis menyampaikan rasa terimakasih tersampaikan terkhusus kepada


Ustadzah Maria Ulfa, M. Pd.I selaku dosen pengampu pada mata kuliah Fiqh Lughoh,
yang mana telah memberikan bimbingan terhadap penulis sehingga dapat membantu
dalam penyelesaian makalah pada mata kuliah Fiqh Lughoh ini. Terimakasih juga penulis
sampaikan kepada rekan-rekan dan teman-teman sekalian yang telah berpartisipasi
dengan gagasan dan idenya yang snagat baik sehingga makalah ini dapat tersusun dengan
baik dan benar.

Akhir kata. Wasalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh.

Medan. 29 November 2022

M Aulia Fadlan Aminullah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................1
C. Tujuan Makalah............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................3
A. Kelahiran Ilmu Nahwu..................................................................3
B. Peletak Dasar Ilmu Nahwu...........................................................3
C. Mazhab Bashrah............................................................................4
D. Mazhab Kufah...............................................................................6
E. Perbandingan Antara Bashrah dan Kufah.....................................7
F. Mazhab Baghdad...........................................................................7
G. Mazhab Mesir...............................................................................9
H. Mazhab Andalusia.........................................................................11
I. Mazhab Modern............................................................................11
BAB III PENUTUP.................................................................12
A. Simpulan ......................................................................................12
B. Saran..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang cukup urgen untuk memahami
beberapa kajian ilmu pengetahuan ilmiah terutama kajian turast Islami. Hal ini
telah banyak diutarakan dalam kitab-kitab historis keislaman. Selain itu bahasa
Arab termasuk bahasa yang disucikan dan dihormati oleh seluruh umat muslim
karena posisinya sebagai bahasa Al-Qur’an, dan juga bahasanya ahli syurga. Al-
Tsa’laby (wafat tahun 430 H) dalam prologi bukunya “Fiqh Al Lughoh Wa Sirrul
‘Arabiyyah” mengatakan “barang siapa yang mencintai Allah, maka ia juga cinta
Rasulnya, dan jika ia mencintai Rasulnya yang bersuku Arab, maka ia juga cinta
terhadap klan Arab, jika ia cinta pada klan Arab, ia juga cinta kepada bahasa
Arab yang mana kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bangsa Arab dan Ajam
diturunlkan menggunakan bahasa Arab. Jika ia cinta bahasa Arab maka ia akan
memperhatikan dan tidak akan meninggalkannya, dan memfokuskan
kecintaannya kepada bahasa Arab.
Dari kesimpulan diatas dapat kita petik, bahwasannya belajar bahasa Arab juga
penting bukan hanya karena posisinya sebagai bahasa syurga, atau bahasa orang-
orang mu’min saja. Dari segi pengetahuan kita bisa menyatakan bahasa Arab
sebagai gerbang kajian ilmu pengetahuan yang luas. Dalam bidang dakwah,
bahasa Arab berkontribusi untuk mengenalkan Islam dan kaidah-kaidahnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui kesatuan pembelajaran ilmu bahasa Arab yang
baik perlu adanya pengetahuan tentang asl dan far’ yang balance. Fiqh al Lughoh
sendiri sudah semestinya harus ditanamkan dalam pembelajaran bahasa Arab
agar atsmosfer Arabic semakin lengkap. Maka dari itu sangatlah penting dalam
kajian Fiqh Al Lughoh ini, adapun ilmu ini merupakan kajian ilmu Linguistik dan
Semantik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kelahiran Ilmu Nahwu?
2. Siapa peletak dasar Ilmu Nahwu?
3. Apa pengertian Mazhab Basrah?
4. Apa pengertian Mazhab Kufah?
5. Bagaimana perbandingan antara Basrah dan Kufah?
6. Apa pengertian Mazhab Baghdad?
7. Apa pengertian Mazhab Mesir?
8. Apa pengertian Mazhab Andalusia?
9. Apa pengertian Mazhab Modern?

iv
C. Tujuan Makalah
1. Memahami bagaimana kelahiran Ilmu Nahwu
2. Mengetahui siapa peletak dasar Ilmu Nahwu
3. Mengetahui pengertian Mazhab Basrah
4. Mengetahui pengertian Mazhab Kufah
5. Memahami bagaimana perbandingan antara Basrah dan Kufah
6. Mengetahui pengertian Mazhab Baghdad
7. Mengetahui pengertian Mazhab Mesir
8. Mengetahui pengertian Mazhab Andalusia
9. Mengetahui pengertian Mazhab Modern

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelahiran Ilmu Nahwu


Bangsa Arab merupakan bangsa yang memiliki nilai sastra tinggi. Di zaman Arab
kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni, salah satu pasar seni saat itu ialah ‘Ukadz yang
diadakan pada bulan Syawal. Awalnya bahasa Arab sangat terjaga sampai islam
menyebar dan berkembang luas ke negeri-negeri ‘Ajam dari sini mulai timbul
permasalahan dan melafadzkan bahasa Arab. Penyebab utama ayang mendorongnya
adalah adanya percampuran antara bahasa Arab dan bahasa ‘Ajam. Kekeliruan ini sangata
berbahaya karena akan dapat merusak makna ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Sehingga
dibuatlah tatanan bahasa Arab dengan kaedah-kaedah yang pada akhirnya diberi nama
Ilmu Nahwu.1

B. Peletak Dasar Ilmu Nahwu


Para ‘Ulama sepakat bahwa penyusun Ilmu Nahwu pertama ialah Syeikh Abul
Aswad Ad-Duali (67 H) dari Bani Kinanah atas darar perintah Amirul Mu’minin
Khalifah Ali Bin Abi Thalib Krmha. Sejarah kemunculan Ilmu Nahwu ini ketika Abul
Aswad dating kerumah puterinya mengatakan “Wahai ayahku, kenapa sanagt panas?”
dengan spontan Abu Aswad Ad-Du’ali menjawab “bulannya memang musim panas”
mendengar jawaban itu putinya langsung berkata “Wahai ayah sayab tidak bertanya
kepadamu tentang panasnya bulan, tetapi saya memberi kabar tentang kekagumanku
tentang panasnya bulan ini.”
Sejak saat itu Abul Aswad datang kepada sahabat Amirul Mu’minin Khalifah Ali
Krmha seraya berkata meneceritakan kejadian yang terjadi tadi “Maka buatlah saya
sebuah Ilmu” kemudian Khalifah Ali membacakan “Alkalamu kulluhu yakhruju’an ismin
wa fi’lin wa harfin ila akhla ‘ala hazhannahwu (kalam tidak boleh lepas dari kalimat isim,
fiil, dan huruf dan teruskan untuk sesamanya.” Kemudian Abul Aswad Ad-Duali
mengarang bab istifham dan ta’ajjub.2
Pernah suatu ketika ia sedanag melewati seseorang yang sedang membaca Al-
Qur’an, ia mendengar sang qiro membacakan surah At-Taubah ayat 3 dengan membaca
kasroh pada kata Rasulihi yang seharusnya didhommahkan, menjadi artinya: Allah
melepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya. Hal ini menyebabkan makna Al-
Qur’an menjadi rusak dan menyesatkan, karena mendengar perkataan ini Abul Aswad
1
Al Tsa’labi, Abu Manshur. T,th. Fiqh Lughah Wa Sirrul Arabiyyah.

2
Al-Tawwab, Ramadhan ‘Adb. 1999. Fishul Fi Fiqh Al-Arabiyyah. Kairo. Maktabah Al-
Khiriji.

vi
menjadi ketakutan. Ia takut keindahan bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya bahasa
Arab menjadi hilang, lalu beliau mengarang bab athof dan na’at yang setiap karangan
dihaturkannya pada Khalifah ‘Ali sehingga mencukupi segala Ilmu Nahwu sampai
keseluruhan.
Dengan melihat kisah tersebut maka pengarang Ilmu Nahwu pada hakikatnya adalah
Khalifah Ali Bin Abi Thalib Krmha yang dilaksanakan ioleh Abul Aswad Ad-Duali.
Seiring berjalannya waktu kaedah bahasa Arab berpecah belah menjadi 2 Mazhab yakni
Mazhab Bashroh dan Mazhab Kufah/Kufi, kedua Mazhab inintidak henti-hentinya
tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan Ilmu Nahwu kepada kita
sekarang.

1. MAZHAB-MAZHAB NAHWU
Syauqi Daif membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan mazhab-mazhab (al-
madaris) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran
(mazhab). (1) Mazhab Basrah, (2) Mazhab Kufah, (3) Mazhab Bagdad, (4) Mazhab
Andalusia, dan (5) Mazhab Mesir. Aliran Basrah dan Kufah merupakan dua aliran yang
paling berpengaruh, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi,
kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga
mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya
sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil
paduan antara keduanya.

C. Mazhab Basrah
Basra atau al-Basrah (‫ )البصرة‬adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545
km dari Bagdad. Awal berdirinya Basrah dimulai pada abad 16. Pertumbuhan ilmu
nahwu secara pesat di Basrah, terdapat empat faktor, diantaranya:
a. Letak geografis yang strategis (Basrah terletak pada jarak 300 mil ke arah
tenggara kota Bagdad, terdapat sungai Tingris dan Eupharates yang mengalir dan
bermuara di laut), berada di pinggir pedalaman seringkali dijadikan tujuan para
ilmuwan melakukan perjalanan, seperti: Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib,
Nadar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Ans ari. Adakalanya mereka bertemu
penduduk asli atau membawa orang badui ke kota. (2) Stabilitas masyarakat, di
Basrah tidak ada konflik politik, pergeseran antar mazhab, dan kerusuhan antar
kelompok sosial.

b. Pasar Mirbad, dulunya pasar mirbad terbatas untuk perdagangan unta. Namun,
seiring berjalannya waktu, pasar tersebut digunakan untuk ajang orasi puisi.
Penamaan Mirbad karena unta tersebut ditinggalkan. Oleh karena itu tempat
untuk menambatkan unta disebut Mirbad. Pasar ini dapat menyaingi para penyair
di Ukaz. (4) Masjid Basrah, digunakan untuk pengajian ilmiah, seperti kajian
tafsir, ilmu kalam, dan bahasa. Seperti majelis Hima d bin Salmah, Sibawaih
pernah ikut dalam majelis tersebut, Majelis Musa bin Siya r al-Aswa ri, dan
Majelis Abu ‘Amr bin al-‘Alla (mengajar qira’ah, bahasa, dan nahwu). Majelis
vii
yang terkenal, seperti: Majelis Khali l ibn Ahmad al-Fara hi di, diikuti oleh
Sibawaih (murid yang kemudian menjadi pakar bahasa), al-Nad\ar bin Syami l,
‘Ali bin H amzah al-Kisa i, dll. Serta Majelis Yu nus bin H abib dipenuhi pula
murid-muridnya, seperti Abu ‘Ubaidah.

Mazhab Basrah adalah mazhab yang dianggap tertua dalam aliran-aliran nahwu yang
ada. Hal ini karena embrio ‘Ilmu Nahwu’, kelahiran hingga pertumbuhannya bermula dari
kota tersebut. Berbagai teori dan prinsip-prinsip ilmu tersebut juga digagas dan muncul
dari sana. Para tokoh terkemuka perintis awal seperti Abu alAswad al-Du’ali hingga
tokoh terkemuka cabang pengetahuan ini semisal Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Sibawaih
dan lainnya juga tinggal di kota tersebut. Di bawah ini penulis sebutkan tiga tokoh
perintis mazhab Basrah, yaitu Abu al-Aswad al-Du’ali, Khalil bin Ahmad dan Sibawaih.

Pertama, Abu al-Aswad al-Du’ali. Nama lengkapnya Abu al-Aswad z a lam ibn
‘Amr ibn sufya n ibn Jandal ibn ya’mar ibn h ulais ibn nufa ah ibn ‘adaya ibn ad-di l
ibn Bakr ‘Abd mana h ibn kina fah. Ia dikenal sebagai ‘alawi ar-ra’i dan rajulun ahl
al-Basrah. Abu al-Aswad al-Duwali merupakan Ulama peletak ilmu bahasa Arab
yang menjelaskan keilmuannya, dan meletakkan kaidah bahasa Arab. Oleh sebab itu,
ketika terjadi kesalahan di kalam Arab, dan menjadikan sebagian masyarakat
mengarah pada lahn (kesalahan pada pengucapan bahasa Arab) lalu ia membuat
kaidah bab al-Fail, Maf’ul bih, Mudaf, huruf al-Nasbi, al-Jar, dan al-Jazm.

Kedua, Khalil bin Ahmad. Nama lengkapnya al-Khalil bin Ahmad bin Amr
alFarahidi al-Yahmadi al-Azdi, lahir di Basrah tahun 100 Hijriyah. Menurut riwayat
lain ia lahir di ‘Amaniyah. Khalil adalah ulama nahwu paling awal (salaf) yang
membawa ilmu nahwu ke Irak. Karena keutamaannya, ilmu nahwu telah mencapai
puncak kedudukan tinggi yang tidak pernah dicapai pada abad pertengahan dan
kedua Hijriyah. Begitu cerdasnya dalam bidang ilmu nahwu tak ada seorang pun
yang menyainginya, begitu pun tak ada seorang murid yang mampu seperti Khalil
kecuali Sibawaih. Gurunya al-Khalil adalah Abu Amr bin Al’Ala, seorang ahli
Qira’ah sab’ah.3
Tanda-tanda kecerdasan Khalil terlihat, seperti kehidupannya yang sederhana,
zuhud, dan ia seorang ahli syair. Inilah yang membawa ia menjadi ulama besar. Ia
adalah satu satunya ulama yang menyusun “ilmu ‘arud “ dan membaginya kepada
lima tingkatan (dairah), yaitu dairah mukhtalif/ bahar tawil, dairah wafir, dairah
alhazl, dairah sari’ dan dairah mutaqarib. Dari kelima tingkatan tersebut telah lahir
10 bahar. Selain mengarang “ilmu ‘Arud”, ia juga ulama yang pertama kali
menyusun kamus, yang dikenal dengan Mu’jam al-‘Ain, kitab pertama dalam bidang
bahasa yang telah sampai kepada kita sekarang.

3
Ibnu Faris, Abi al-Husein Ahmad, 1993. Al-Shahiby fi Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah
wa masaailihaa wa sunnani al-‘Arabi fi kalamihaa. Beirut: Maktabah al-Ma’arif.

viii
Ketiga, Sibawaih. Nama lengkapnya Amr bin Utsman bin Qanhar Abu Bisyr. Ia asli
keturunan Persia, tepatnya di kota Baidha. Lalu ia hijrah ke Basrah. Ilmu yang
dipelajari pertama adalah fikih dan hadis. Sibawaih mempelajari hadis dari Hamad
bin Sahnah. Pada suatu hari ia menerima diktean hadis dari gurunya, yang berbunyi
‫ليس من اصحابي اال من لو شئت الخخدت عليه ليس الدرداء‬
Sibawaih langsung menyanggah sambil berkata: ‫ليس ابو الدرداء‬. Ia menduga lafadz abu
darda adalah isim laisa. Gurunya langsung menimpalinya: “kamu salah wahai
Sibawaih. Bukan itu yang kamu maksudkan, tetapi lafad laisa disini adalah “istisna”
maka Sibawaih langsung berkata: “Tentu aku akan mencari ilmu, di mana aku tidak
akan salah membacanya”.

Cerita lain mengisahkan bahwa Sibawaih dan lainnya menulis suatu Hadis, gurunya
mendektekan hadis tersebut: ‫صعد الرسول هللا الصفا‬Sibawaih langsung menyanggahnya dan
berkata: ‫فاء‬mm‫الص‬Maka gurunya berkata:”wahai orang Persia, jangan katakan as-safaa,
karena kalimat itu adalah isim maqsur”. Ketika pengajian selesai, Sibawaih langsung
memecahkan penanya, sembari berkata: “aku tidak akan menulis suatu ilmu pengetahuan
sampai aku dapat mematangkan dahulu dalam bidang bahasa Arab”. Mungkin hikmah di
balik kisah diatas membuat Sibawaih sangat serius memperlajari nahwu, dan akhirnya
hingga ia menjadi pakar nahwu terkenal. Karyanya yang monumental adalah al-Kitab
para ulama menyebutnya sebagai nahwunya alQur’an.

Dibawah ini tabel periodisasi tokoh mazhab Basrah menurut Syauqi Daif , generasi
awal oleh Abu al-Aswad al-Duali, selanjutnya sebagai berikut:

No Generasi Tokoh-tokoh
1 Awal Ibnu Abi Ishaq, Isa bin Umar al-Saqafi, Abu Amr bin al-‘Ala,
Yunus bin Habib
2 Kedua Al-Khalil
3 Ketiga Sibawaih
4 Keempat Al-Akhfasy al-Ausat dan murid-muridnya (Qattrab, Abu mar al-
Jarmi’, Abu Usman al-Mazani
5 Kelima Al-Mubarrad dan sahabat-sahabatnya (al-Zujaj, Ibnu al- Siraj al-
Sirafi

D. Mazhab Kufah
Kufah (‫ ) )الكوفة‬merupakan sebuah kota di Iraq. Terletak 10 km di timur laut Najaf
dan 170 km di selatan Bagdad.17 Sekitar 100 tahun, mazhab nahwu Kufah baru muncul.
Hal ini disebabkan ulama Kufah lebih konsen pada ilmu keislaman, seperti fikih, hadis,
qira’at dibanding ulama Basrah yang serius mendalami ilmu nahwu. Mazhab Kufah lebih
unggul dari mazhab Basrah dalam bidang pen-syairan. Selain itu, metode yang dipakai
oleh mazhab Kufah adalah studi lapangan. Artinya para ulama nahwu Kufah
memperhatikan kalam Arab yang sehari-hari mereka gunakan, kemudian mereka
menggunakan gaya bahasa/ uslub yang mayoritas masyarakat Arab dipakai. Hal ini

ix
berbeda dengan mazhab Basrah yang lebih ketat, mereka lebih menggunakan akal,
menggunakan mantiq serta sumber-sumber filsafat.

Mazhab Kufah cenderung memakai panca indra pendengaran dalam menangkap


kalam asli Arab, mereka mendengar ucapan-ucapan fasih dari kabilahkabilah yang
masyhur. Dengan demikian, apa yang mereka dengar, baik itu diterima periwayatannya
atau tidak, mereka jadikan pula sebagai dalil. Tak jarang ulama Kufah kerap berbeda
pandangan dengan mazhab lainnya. Dalil-dalil dan kaidah yang dipakai pun berbeda,
tidak heran jika banyak perbedaan diantara mazhab Kufah dengan Basrah. ‘Abdah al-
Rajahi dalam bukunya durus fi al-Mazahib al-Nahwiyyah bila menyebut mazhab Basrah
pasti mazhab Kufah diikutsertakan, karena keduanya merupakan muassis (peletak) ilmu
nahwu dan perkembangannya. Kedua mazhab ini juga telah melahirkan banyak teori-teori
nahwu, tidak heran jika keduanya sering terjadi perbedaan mengenai teori nahwu.
Meskipun ulama nahwu Kufah belajar ke Basrah, mereka mengembangkan teori sendiri
dan mempunyai metode khusus dalam memunculkan teori nahwu. Sehingga keduanya
mempunyai perbedaan, hingga keduanya dikatakan tidak ada permasalahan ilmu nahwu
kecuali dikembalikan kedua mazhab tersebut.

Sedangkan Abd al-‘Al Salim Mukrim menyimpulkan ciri khas nahwu yang diusung
mazhab Kufah sebagai berikut : (a) Menjadikan berbagai dialek Arab yang bertahan di
daerah pedalaman sebagai rujukan tau dalil konsep bahasa. (b) Menjadikan kasus
berbahasa yang meskipun kurang populer (jarang terjadi) sebagai qiyas atau rujukan dan
alasan konsep mereka. (c) Menjadikan puisi baik puisi pada zaman pra Islam (Jahiliyah)
maupun puisi pada masa Islam sebagai rujukan konsep bahasa mereka meskipun mereka
hanya menemukan sebuah bait puisi saja. (d) Merujuk pada berbagai macam atau ragam
bacaan (al-Qira ’a t) yang telah ada. (e) Merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dalam porsi
yang lebih besar daripada mazhab Basrah.4

E. Perbandingan Antara Bashroh dan Kufah


Faktor utama yang menyebabkan munculnya perbedaan pandangan natar Mazhab
Basroh dan Mazhab Kufah adalah adanya sumber-sumber penggunaan bahasanya yang
sangat berbeda. Mazhab Bashroh dalam membangun sebuah teori atau landasannya,
bahasa yang digunakan banyak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan
Mazhab yang digunakan dlam Mazhab Kufah ialah banyak bersumber dari Syi’i-syi’ir
Arab atau para penyair.

F. Mazhab Bagdad
Selain dua kota Basrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan intelektual
Irak, saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat intelektual dua kota
yang telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad. Kota Bagdad ini didirikan dan
dibangun oleh al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan nama Abu
Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyyah. Namun sebenarnya rencana
4
Ibid
x
pendirian kota teresebut telah dicanangkan oleh saudaranya Abul Abbas al-Saffah, dan
pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah dan mulai ditempati pada tahun 129 H.

Letaknya yang sangat strategis yang dikelilingi sungai Efrat (al-Furat) dan Dajlah,
membuat kota baru ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dalam segala
aspeknya, dan bahkan akhirnya menjadi kota ibu kota daulah Islamiyyah dan pusat
pemerintahan. Itu sebabnya, banyak para intelektual yang selama ini bertempat tinggal di
Kufah dan Basrah dengan segala prestise dan presatasi yang mereka nikmati
meninggalkan kota mereka untuk selanjutnya pindah ke Bagdad untuk mencari posisi
yang lebih strategis lagi. Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para
intelektual Kufah yang memang jarak antara kedua kota tersebut relatif lebih dekat dari
pada jarak antara Basrah dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke Bagdad ini oleh
para penguasa diberi posisi terhormat dan sangat dihargai yang pada akhirnya bukan saja
penghormatan tinggi ini dirasakan oleh para intelektualnya, tetapi sekaligus juga
mengangkat citra dan pamor mazhab Kufah yang selama ini kalah citranya dengan
mazhab Basrah.

Menyaksikan realitas ini, maka para intelektual Basrah pun banyak yang berminat
meninggalkan kotanya untuk mencari posisi dan penghormatan seperti yang telah diraih
oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini tentu semakin meramaikan kota Bagdad, khususnya
di aspek keintelektualan. Pada mulanya para intelektual imigran dari dua kota yang telah
lama bersaing itu, membawa bendera dan segala keciri khasan masing–masing kota
asalnya dan tetap mengembangkan persaingan yang telah lama ada sebelum akhirnya
sama-sama menyadari perlunya mengakhiri persaingan tersebut di kota baru mereka.

Kesadaran perlunya mengakhiri persaingan lama inilah yang pada akhirnya


memunculkan mazhab baru dalam nahwu, yaitu mazhab Bagdad. Sebuah mazhab yang
mencoba mensinkretiskan dua mazhab (Basrah dan Kufah) yang telah ada sebelumnya.
Itu sebabnya, mazhab ini memiliki banyak sebutan diantaranya adalah “al-Kha lithaini
Baina al-Naz’ataini (pengkombinasi antara dua mazhab), Asha b alMadrasah al-Intikha
biyyah (penganut mazhab eklektisme) dan al-Bagdadiyyu n (mazhab nahwu kota
Bagdad)”.

Perkembangan nahwu di Bagdad merupakan tahap kemapanan ilmu nahwu yang


terjadi diakhir abad ketiga, dan awal abad keempat dengan metode khusus, dan
membedakan metode dengan mazhab nahwu lainnya. Metode ini tidaklah baru dari segi
dasar atau pengambilan hukum secara deduktif. Akan tetapi metode yang dibangun masih
terdapat campur tangan dari mazhab Basrah dan Kufah. Menurut ‘Abdul Rajah
berpandangan bahwa yang mengatakan bahwa mazhab Bagdad adalah pergantian dari
mazhab Kufah di tolak. Ulama menambahkan bahwa mereka dari mazhab Basrah. Akan
tetapi, mereka berpandangan bahwa mazhab Bagdad lebih condong pada mazhab Kufah.
Ulama yang menolak bahwa mazhab Bagdad dari Kufah adalah Ibn Kaisa n (W. 299 H),
Ibn Syuqair (W.315 H), Ibn Khiya t (W. 320 H).

xi
Pandangan yang kedua, mazhab Bagdad merupakan anak dari mazhab Basrah, ulama
Bagdad memperoleh keilmuan dari mazhab Kufah, tetapi cenderung pada mazhab
Basrah. Ulama yang berpandangan seperti itu ialah al-Zuja ji (W. 337), Abu ‘Ali al-Fa
risi (W. 377 H), dan Abu al-Fath ‘Us\ma n ibn jinni (W. 392 H). Ulama nahwu Bagdad
yang paling masyhur ialah al-Zamakhzyari dan Ibn Ya’i sy. Awal kitab yang muncul
adalah al-Mufas s al beserta syarahnya (penjelasan mengenai isi “matan” kitab).

Dalam pencaturan ulama nahwu di Bagdad tidak lupa dengan nama Ibnu Jinni (Abu
al-Fath Utsman bin Jinni al-Mosuli). Ia adalah murid langsung Abu Ali al-Farisi, terkenal
sangat cerdas dan cermat dan sangat produktif menulis buku. Tak kurang dari lima puluh
buku yang kebanyakan berkaitan dengan linguistik atau nahwu telah ia tulis. Salah satu
buku karyanya yang monumental adalah “al-Khas a ’is ”, sebuah buku yang terdiri dari
tiga jilid yang hingga sekarang masih menjadi rujukan utama dalam kajian linguistik
klasik Arab.30

G. Mazhab Andalusia
Ketika Islam masuk di Andalusia terlebih dahulu masyarakatnya belajar dan
mengajarkan bahasa Arab. Aktivitas ilmiah baru terasa ketika bergantinya daulah
Umayah di Andalusia (sekarang Spayol) diprakarsai oleh Abdurrahman al-Da khil pada
tahun 138 H. Orang-orang Andalusia melakukan perjalanan ke Timur untuk mencari
ilmu. Mayoritas mereka mendapatkan ilmu dari Ulama Timur dan membawa ke
Andalusia dan mengajarkan disana. Salah satu ulama yang mengajarkan ilmu disana ialah
Abu ‘Ali al-Qa li . Ia mengajar di Kordoba hingga akhir hayatnya tahun 356 H. Sejarah
awal ulama nahwu Andalusia mendapatkan keilmuan dari Kufah, sebab mereka
menerima beberapa ilmu Qira’a t. Adapun kitab Sibawaih menurut mereka sebagai
kurikulum awal pelajaran, hafalan, pensyarah, dan lain-lain. Ulama yang mensyarahi
kitab Sibawaih, diantaranya: Abu Bakr al-H asyi , Ibn al-T ara wah, Ibn Khuru f, Ibn al-
Ba z\is, Ibn al-D a ‘i’, dan lain-lain.

Berdirinya Bani Umayyah di Andalusia (138 H- 422 H), melahirkan sastrawan-


sastrawan terkenal, mereka mendirikan perkumpulan pemuda yang berpusat di Kordoba
dan ibu kota lainnya di Andalusia. Kemunculan ilmu bahasa Arab berangkat dari
mempelajari teks-teks Arab klasik dan syair, motivasi mereka ialah menjaga bahasa al-
Qur’an dan menyelamatkan bahasa serta bacaan mereka. Oleh sebab itu, banyak dari
mereka menjadi penghafal al-Qur’an, mayoritas dari mereka melakukan perjalanan ke
Timur untuk mempelajari ilmu Qira ‘a t (aneka ragam bacaan al-Qur’an). Setelah mereka
berhasil, mereka mengajarkan ilmunya ke masyarakat. Tidak heran jika banyak
ditemukan ulama dari kota Bagdad yang sekaligus sastrawan, dan banyak menuliskan
karyanya dalam hal ilmu Qira’at, salah satunya ialah Abu Mu sa al-Hawa ri .

Ulama nahwu yang pertama ialah Jaudi bin Us\ma n al-Mauru ri . Ia melakukan
pengembaraan ke Timur dan belajar ilmu nahwu kepada al-Kissa i dan alFarra ’. Selain
itu ia juga orang pertama yang memperkenalkan karya-karya nahwu mazhab Kufah di
Andalusia dan sekaligus juga ilmuan negeri tersebut yang menyusun buku tentang nahwu,
xii
ia mengajar ilmu nahwu hingga wafat tahun 198 H. Baru setelahnya muncul tokoh-tokoh
lain seperti Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah, ia juga melakukan perjalanan ke
Timur, ia mempelajari ilmu nahwu dari ‘Us\ma n bin Sa’i d al-Mis ri , masyhur dengan
nama Warsy.

Nahwu yang berkembang di Andalusia semula adalah mazhab Kufah dan baru di
penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Basrah banyak mendapat perhatian, menyusul
kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya di sana. Bertemunya
ketiga aliran atau mazhab utama di satu kota besar ini sudah dapat dipastikan membawa
konsekwensi-konsekwensi logis bagi perdebatan ilmu nahwu yang memang sedang
dalam puncak kejayaannya. Diantara fenomena yang sangat menarik dari semua itu
adalah berpindahnya dua kelompok aliran yang pernah bersaing ketat di Irak, kini mereka
kembali bersaing di negeri lain, Andalusia. Secara umum, para ahli nahwu di Andalusia
terbagi ke dalam dua kelompok: Pendukung mazhab Kufah dan pendukung mazhab
Basrah. Namun demikin, oleh karena di Andalusia pada ayang saat yang bersamaan juga
sedang berkembang pengetahuan spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka nahwu
mazhab Basrah yang memiliki karakter rasional lebih diminati dan lebih berkembang
dibanding nahwu model mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di Andalusia
yang kemudian menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih rasional
daripada nahwu mazhab Basrah. 5

Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Basrah
dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja,
apabila nahwu Basrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau
ketentuanketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia akan
memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu Basrah telah
merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus dibaca rafa’, maka
nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengapa ia harus
dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa alasannya, kemudian mereka
memberinya alasan-alasan (ta’lîlat) yang panjang lebar. Pertanyaanpertanyaan lanjutan
“kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu klasik dengan sebutan “al-Illah al-
Tsa niyyah” atau alasan kedua. Diantara para pengkritik terkemuka adalah Ibnu Madha’
al-Qurthubi yang menulis buku “Kita b al- Radd ‘Ala al-Nuhat” (sanggahan atau
penolakan atas para ahli nahwu). Buku tersebut menyoroti dan mengkritik berbagai
prinsip nahwu, terutama “amil” yang dianggap tidak berperan apa-apa selain membuat
rumit nahwu.

H. Mazhab Mesir

5
Hijaziy, Mahmud Fahmi. Tth. Ilmu al-Lughah al-‘Arabiyyah: Madkhal Tarikhiy
Muqaran fi Dhauinal-Turats wa al-Lughat al-Samiyah. Kuwait: Wakalah al-Mathbu’ah.

xiii
Al-Walla d bin Muhammad al-Tamîmî al-Bas a ri terkenal dengan sebutan “alWalla
d”. Ia adalah ulama yang pertama kali mengajarkan nahwu di Mesir, sebelumnya ia
melakukan perjalanan ke Irak, dan belajar kepada al-Khali l bin Ahmad. Sekembalinya
dari Irak ia mendapatkan ilmu sekaligus mengajarkan kitabkitab bahasa Arab karangan
al-Khalil. Al-Zubaidi berkata “sebelum adanya (alWallad) tidak ada kitab-kitab nahwu
dan bahasa yang diajarkan di Mesir”. Selanjutnya muncul Abu Hasan al-A’az, ia adalah
murid dari al-Kisai , lalu ia bergabung untuk mengajarkan ilmu-ilmu nahwu di Mesir.
Dengan begitu, di Mesir terjadi penggabungan antara dua keilmuan mazhab besar, yaitu
mazhab Basrah dan Kufah.

Abd al-‘A l Salim Mukrim menyimpulkan bahwa nahwu mazhab Mesir dan mazhab
Syam memiliki karakter atau tepatnya kecenderungan dua hal berikut ini : (a) Adanya
pengaruh kuat dari mazhab Basrah yang banyak menggunakan al-Qiya s, alUshul, al-‘Ilal
dan al-Furu’. Nahwu Mesir tipe ini terutama mempresentasikan pada tokoh nahwu
semisal Ibnu al-Ha jib dan Abu Hayya n al-Andalu si. (b)Karakter kedua adalah sikapnya
yang tidak menolak terhadap mazhab Basrah maupun Kufah, namun sekaligus
menegaskan bahwa mereka memiliki memiliki pandangan sendiri dalam memecahkan
berbagai persoalan nahwu. Karakter kedua diatas tercermin pada pandangan ahli Nahwu
Mesir seperti Ibnu Malik dan Ibnu Hisyam.

I. Mazhab Modern
Mazhab modern atau linguistik Modern telah memperkenalkan beberapa metode
sejak lahirnya pada abad ke 19 hingga sekarang, yaitu: linguistic komperatif, linguistic
deskriptif, linguistic historis, dan linguistic kontrastif.
1. Linguistic komperatif, lingusitik yang mengkaji sekelompok nahasa yang berasal
dari satu rumpun melalui studi komperatif dan metode ini merupakan metode
yang paling lama digunakan.
2. Linguistic deskriptif, linguitik ini mengkaji suatu bahasa dialek secara ilmiah
pada masa tertentu atau tempat tertentu, maka dari itu metode ini mengkaji hanya
satu sasarn bahasa saja dengan mengenali konstruksi fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantiknya.
3. Linguistik historis, mengkaji perkembangan bahasa lewat beberapa masa atau
yang kita kenal dengan sejarah dengan makna yang akurat mengkaji perubahan
bahasa di sepanjang masa.
4. Linguistic kontarstif, linguistic ini merupoakan cabang linguistic terbaru, ia lahir
setelah perang dunia kedua. Linguistic kontarstif ini berdasarkan pada gagasan
yang sederhana. Kajian linguistic ini tidak terbatas pada kajian perbedaan dua
bahasa saja, tetapi bisa juga antyara dialek local dan bahasa Fusha yang dicari.

BAB III
xiv
PENUTUP

A. Simpulan
Sejarah adanya Fiqh Lughoh dimlai sejak era jahiliah namun belum terkonsep
secara sistematis. Ia baru menjadi ilmu yang ilmiah dengan adanya beberapa
karangan ulama-ulama ynag mengkonsentrasikan dirinya dalam bidang bahasa, baik
itu dijelaskan dari segi konsep ataupun materi. Beberapa diantaranya dapat kita
temukan dalam kitab Shohibi, Khoshois, dan Fiqh Al-Lughah. Ilmu ini kian
berkembang dengan turut hadirnya orientalis yang mengilhami konsep pemikiran
ulama bahasa muslim. Dan pada akhirnya Ilmu Fiqh Al-Lughah menjadi sempurna
seperti sekarang.
Manfaat Ilmu Fiqh Lughah dalam bahasa Arab sangatlah luas. Dengannya,
pengkajian Al-Qur’an dengan materi bahasa Arab, maupun teks-yeks keilmuan
bahasa Arab lebih terarah dan efektif. Selain itu, pelajar bisa mengetahui peradaban
bangsa Arab sebagai tuan rumahnya bahasa Arab. Oleh karena itu sebaiknya institusi
pendidikan bahasa Arab selain mengajarkan tentang nama dan sifat-sfat benda, juga
mengajarkan pengetahuan cabang yang bisa memberikan tambahan wawasan
kebahasa araban walaupun sedikit. Minimal jika ia melanjutkan studi ke perguruan
tinggi ia tidak saklek terhadap satu kaedah dan kaget dengan kaedah bahasa Arab
yang baru. Maka dari sinilah dibutuhkan tenaga pengajar bahasa Arab yang
berpengalaman baik, dengan menguasai Ilmu Nahwu dan Shorof.

B. Saran
Dengan selesainya penulisan makalah ini mudah bisa bermanfaat untuk kita
semua khsusunya kepada penulis sendiri dan penulis menyadari kekurangan dalam
penulisan makalah yang berjudul “MAZHAB-MAZHAB PEMIKIRAN
LINGUISTIK ARAB”. Maka daripada itu, besar harapan penulis untuk kritik dan
saran yang membangun guna melengkapi kekurangan dari penulisan makalah ini.
Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

xv
Al Tsa’labi, Abu Manshur. T,th. Fiqh Lughah Wa Sirrul Arabiyyah.
Al-Tawwab, Ramadhan ‘Adb. 1999. Fishul Fi Fiqh Al-Arabiyyah. Kairo. Maktabah Al-
Khiriji.
Ibnu Faris, Abi al-Husein Ahmad, 1993. Al-Shahiby fi Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa
masaailihaa wa sunnani al-‘Arabi fi kalamihaa. Beirut: Maktabah al-Ma’arif.
Hijaziy, Mahmud Fahmi. Tth. Ilmu al-Lughah al-‘Arabiyyah: Madkhal Tarikhiy
Muqaran fi Dhauinal-Turats wa al-Lughat al-Samiyah. Kuwait: Wakalah al-Mathbu’ah.

xvi

Anda mungkin juga menyukai