Pert 2 Tugas Dan Kewenangan PA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

TUGAS DAN KEWENANGAN PA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Fithriyatus Sholihah, S.H.I, M.H

Disusun oleh:

Abdurrohman 2102016159

Nur Fatimah Azzahra 2102016149

Afifa Nur Aisyah Hendri 2102016171

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah wasyukurilah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal,
sehingga kita senantiasa berada dalam genggamannya dengan penuh kepasrahan. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pencerah alam semesta dengan cahaya
keimanan. Yakni dengan kehadiran baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita
dari alam kebodohan hingga ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada ibu FITHRIYATUS SHOLIHAH, S. H.I, M. H
selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk menyusun makalah ini. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan kami bantuan
baik berupa material maupun spiritual. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini menjadi suatu ilmu yang
bermanfaat. Aamiin

Semarang, 19 Februari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL MAKALAH..................................................................................1

KATA PENGANTAR ........................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang...................................................................................................4
2. Rumusan Masalah..............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Tugas dan kewenangan PA dan Dasar Hukum..................................................


B. Kewenangan absolute........................................................................................
C. Kewenangan relative.........................................................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Peranan pengadilan tidak dapat disanksikan lagi, sebab dengan Lembaga Pengadilan, segala
yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan dapat diselesaikan, lembaga ini
memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang merasa dirampas hak-haknya dan
memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang
merugikan pihak lainnya. Aktivitas Lembaga Pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah
berupaya menghubungkan rumusanrumusan hukum yang sifatnya masih abstrak, karena dengan
melalui bekerjanya Lembaga Pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana
dikatakan oleh Satjipto Raharjo, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan
operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum bersifat abstrak. Melalui lembaga dan
bekerjanya lembaga-lembaga itulah, hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke
dalam kenyataan.1
Penyelesaian perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan negara
dilaksanakan oleh Badan Peradilan, yang memiliki kemampuan untuk bertindak memaksakan
keputusannya kepada para pihak dengan menggunakan sistem sanksi tertentu. Pranata peradilan
itu amat dibutuhkan oleh masyarakat, apabila cara yang pertama dan cara yang kedua
mengalami jalan buntu. Bahkan terhadap tindakan pelanggaran hukum dan kejahatan, peradilan
merupakan satu-satunya pranata yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk
menyelesaikannya.2

Lingkungan peradilan yang merupakan kekuasaan kehakiman terbagi menjadi empat, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Masing-masing lembaga tersebut memiliki ruang lingkup dan wewenangnya yang diatur dalam
perundang-undangan yang keseluruhannya di bawah naungan Mahkamah Agung. Peradilan
Agama merupakan peradilan yang memiliki kekhususan dalam cakupan serta wewenangnya.

1
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2006), h. 4.
2
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), h.15.

4
Dimulai dari penyelesaian perkaraperkara tertentu yang kemudian pada golongan rakyat tertentu
pula. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama adalah hukum yang berfungsi mengatur lalu lintas
pemeriksaan perkara di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dengan menggunakan
hukum acara ini para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hakhaknya yang telah dirugikan
oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam hukum acara perdata diatur
hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara
seimbang di depan sidang pengadilan.3 Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan
beberapa sub permasalahan yakni bagaimana kedudukan Kekuasaan Kehakiman Peradilan
Agama sebagai penegak Hukum Islam, dan bagimana cakupan, wewenang Peradilan Agama
serta sumber hukum acara Peradilan Agama?

2. Rumusan Masalah
 Apa saja yang menjadi dasar hukum dari tugas dan kewenangan PA
 Apa yang dimaksud dari kewenangan absolute
 Apa yang dimaksud dari kewenangan relative

3
Abdul Halim Talli, Asas-asas Peradilan Dalam Risalah Al-Qada Kritik Terhadap Beberapa Asas
Peradil
an di Indonesia (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2014), h.113-114.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tugas dan Wewenang PA dan Dasar Hukumnya

Tugas pengadilan agama bukan sekedar memutuskan perkara melainkan menyelesaikan


sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta
adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang beperkara, dan terwujud pula tegaknya
hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.

Sebagai Peradilan yang Court of Law mempunyai ciri-ciri:

1. Hukum Acara dan Minutasi dilaksanakan dengan baik dan benar.


2. Tertib dalam melaksanakan administrasi perkara.
3. Putusan dilaksanakan sendiri oleh peradilan yang memutus
4. Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.

Sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 adalah: Pengadilan agama bertugas dan
berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama islam dibidang:

a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Sadaqoh
i. Ekonomi syariah

Salah satu kewenangan Pengadialn agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Berdasarkan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006yang menyatakan bahwa: “pengadilan agama

6
bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan ditingkat pertama antara
orang-orang berragama islam.”

Berdasarkan ketentuan pasal 49 tersebut pengadilan Agama bertugas dan berwewenang


memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, sadaqoh, dan ekonomi syariah. Oleh sebab itu, terhitung mulai tanggal 20 maret 2006
penyelesaian perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama.

Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3B), hakim
memeriksa perkara dengan perpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit
penyesuaian dangan karakteristik sengketa ekonomi syariah. Proses peradilan dilakukan sesuai
tata cara hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan agama.

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang
relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR
atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan
Peradilan Agama, yaitu :
 Fungsi kewenangan mengadili
 Memberi keterangan, pertimbangan
 Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
 Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan
mengadili sengketa kompetensi relatif
 Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.

7
2. Kewenangan Absolut
Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan
atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam
melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.4
Perkara-perkara tertentu yang diselesaikan oleh Peradilan Agama itulah yang
disebut dengan kometensi absolut atau kewenangan absolut atau kekuasaan absolut. 5
Kewenangan absolut (absolute cometentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan
jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata
tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989.6
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara antara orang-orang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan 17) Pernyataan tentang sahnya


1) Izin beristri lebih dari Perkawinan yang terjadi
seorang sebelum UU No. 1 Tahun
2) Izin melangsungkan 1974 tentang Perkawinan
perkawinan bagi yang belum dan dijalankan menurut
berusia 21 (dua uluh satu) peraturan lain.
tahun dalam hal orang tua 18) Penetapan wali hakim dalam
atau wali atau keluarga hal terjadi Wali Adlal
dalam garis lurus ada 19) Penggantian mahar yang
perbedaan pendapat. hilang sebelum diserahkan
3) Dispensasi kawin b. Warisan
4) Pencegahan perkawinan c. Wasiat
5) Penolakan perkawinan oleh
4
Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda
Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm. 286.
5
Ibid, hlm. 287.
6
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004, hlm.91.

8
Pegawai Pencatat Nikah d. Hibah
6) Pembatalan perkawinan e. Wakaf
7) Gugatan kelalaian atas f. Zakat
kewajiban suami atau istri g. Infaq
8) Perceraian karena talak dan h. Shodaqoh
gugatan perceraian i. Ekonomi syariah, meliputi:
9) Penyelesaian harta bersama 1) Bank syariah
10) Penguasaan anak/hadlanah 2) Lembaga keuangan syariah
11) Ibu dapat memikul biaya 3) Asuransi syariah
pemeliharaan dan 4) Reasuransi syariah
pendidikan bila mana bapak 5) Reksa dana syariah
yang seharusnya 6) Obligasi syariah dan surat
bertanggung jawab tidak berharga jangka menengah
dapat memenuhi syariah
12) Putusan tentang sah tidaknya 7) Sekuritas syariah
seorang anak 8) Pembiayaan syariah
13) Putusan tentang pencabutan 9) Pegadaian syariah
kekuasaan orang tua 10) Dana pensiun lembaga
14) Perwalian keuangan syariah
15) Penetapan asal-usul anak 11) Bisnis syariah
16) Putusan tentang hal
penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran
Mengenai perkara Ekonomi Syariah ini merupakan Revisi Undang-Undang
Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi
syariah.7

3. Kewenangan Relatif
7
Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan
Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007, hlm. 37.

9
Yang dimaksud dengan kewenagan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan
wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Misalnya antar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan
Agama Bogor.8
 Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Menurut teori umum hukum acara perdata peradilan umum (tentang
tempat mengajukan gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya ke
pengadilan negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan negeri tersebut masih
boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi
(keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat)
memilih untuk berperkara  di muka pengadilan negeri mana saja yang mereka
sepakati. Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Hal ini
berlaku sepanjang idak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal
ini, boleh menerima pendaftaran perkara ersebut disamping boleh pula
menolaknya. Namun dalam praktik, pengadilan negeri sejak dari semulasudah
tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus
memberikan saran ke pengadilan negeri mana seharusnya gugatan/permohonan
itu diajukan.9
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi:10
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya
maka pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal;
b. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu
kediaman tergugat;

8
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam Praktik
Hukum Acara Di Peradilan Agama, Mandarmaju, Bandung, 2018, hlm. 33.
9
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,
Yogyakarta : UII Press, 2009, hal.26-27.
10
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan agama di indonesia, yogyakarta : pustaka pelajar, 2004, hal. 87-88.

10
c. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya
tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka
gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayahnya hukumnya meliputi
tempat tinggal penggugat;
d. Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda
tidak bergerak;
e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
 Pengecualian Kewenangan Relatif Gugatan pada Pengadilan Agama
Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat
beberapa pengecualian, sebagai berikut:11
a. Permohonan cerai talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat
(2) UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:
1) Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak
maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon;
2) Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja
meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami;
3) Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka
yang berwenag adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami/pemohon;
4) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri,
yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
11
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam Praktik
Hukum Acara Di Peradilan Agama, Mandarmaju, Bandung, 2018, hlm. 34.

11
b. Perkara gugat cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 UU No. 7 Tahun
1989, sebagai berikut:12
1) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman istri/penggugat;
2) Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
suami/tergugat;
3) Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka
yang berewenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi
kediaman suami/tergugat;
4) Apabila keduanya ( suami istri ) bertempat kediaman di luar
negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
 Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menetukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara
permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman pemohon.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenagan
relatif dalam perkara-perkara tertentu dalam UU No. 7 Tahun 1989, sebagai
berikut:
a. Permohonan izin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon;
b. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum
mencapai umur perkawinan ( 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahu bagi

12
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam Praktik Hukum
Acara Di Peradilan Agama, Mandarmaju, Bandung, 2016, hlm. 34.

12
perempuan ) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon;
c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayahnya hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan;
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau
tempat tinggal suami atau istri.

13
BAB III
PENUTUP

Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan
Peradilan Agama, yaitu : 1. Fungsi kewenangan mengadili, 2. Memberi keterangan, pertimbangan,
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang, 4. Kewenangan pengadilan tinggi agama
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif , 5. Serta
bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang
relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR
atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.

14
DAFTAR PUSAKA

Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, hlm.
286.
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004,
hlm.91.
Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007, hlm. 37.

Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan
Agama, Yogyakarta : UII Press, 2009, hal.26-27.

15

Anda mungkin juga menyukai