Alternatif Pengurangan Efek Global Warming Terhadap Aktivitas Industri Pariwisat

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Edukasi, Vol. 13, No.

2, Desember 2015

ALTERNATIF PENGURANGAN EFEK GLOBAL WARMING


TERHADAP AKTIVITAS INDUSTRI PARIWISATA
INTERNASIONAL

Endah Evy Nurekawati1, Dony Andrasmoro2


1,2
Program Studi Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial IKIP PGRI Pontianak
Jalan Ampera No.88 Pontianak 78116
e-mail: [email protected]

Abstrak
Industri pariwisata internasional menjadi tolak ukur keberhasilan peningkatan devisa
negara, tanpa disadari bahwa pengaruh pariwisata dan efek global warming terhadap
perubahan iklim memberikan dampak negatif bila tidak diantisipasi. Kecenderungan
ini berpengaruh terhadap isu global yaitu efek pemanasan global dengan efek rumah
kaca. Tujuan penelitian ini mengupayakan usaha pengurangan dampak global
warming dengan cara pengurangan penggunaan energi, merubah gaya hidup
komersil melalui sarana transportasi dan menjaga keseimbangan lingkungan dapat
mengurangi dampak negatif pariwisata terhadap perubahan iklim dan
sebaliknya.Peneliti menggunakan pendekatan alternatif metode analisis diskriptif
kualitatif perspektif. Hasil penelitian ini menunjukkan realita keadaan industri
komersil pariwisata tetap melibatkan efek perubahan iklim, salah satunya sarana
transportasi masal pesawat terbang sebagai wahana alternatif aksesibilitas menuju
kawasan wisata tertentu yang memberikan dampak perubahan iklim melalui
pencemaran udara, sehingga diperoleh optimalisasi implementasi adanya
kesepakatan diplomasi antar negara, yaitu alih teknologi non emisi gas rumah kaca.
aspek perubahan iklim secara global dapat di tekan dan menjadi kunci keberhasilan
peningkatan kualitasindustri pariwisata sebagai daya dukung pengurangan efek
global warming dalam menciptakan lingkungan yang seimbang terhadap efek
pemanasan global.

Kata kunci: Global Warming, Industri Pariwisata, iklim.

Abstract
International tourism industry becomes the parameter for the successful
improvement of state foreign exchange; unconsciously the effect of tourism and
global warming effect on climate change leads to unanticipated negative impact.
This tendency impacts on global issue, namely global warming effect with
greenhouse effect. The objective of research was to reduce the effect of global
warming by reducing energy use. Changing commercial lifestyle through
transportation vehicle and maintaining the environment balance could reduce the
negative effect of tourism on climate change, and vice versa. The author employed
an alternative approach, descriptive qualitative prescriptive analysis method. The
reality of tourism commercial industry kept involving the effect of climate change,
one of which was massive transportation vehicle, namely plane, as the alternative
means of accessibility to certain tourist object. The result of research showed that
through the development of diplomatic agreement between countries, the aspect of
global climate change could be suppressed and become the key to successful
improvement of tourism industry quality in order to support the reduction of global
warming effect in creating a balanced life against the effect of global warming.

Keywords: Global Warming, Tourism Industry, climate.

150
PENDAHULUAN
Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil
devisa bagipembangunan ekonomi di suatu negara, tidak terkecuali di Indonesia.
Namun demikian, padaprinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental
pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. Pembangunan kepariwisataan
pada dasarnya ditujukan untuk persatuan dan kesatuanbangsa, penghapusan
kemiskinan (poverty alleviation), pembangunan berkesinambungan(sustainable
development), pelestarian budaya (cultural preservation), pemenuhan
kebutuhanhidup dan HAM, peningkatan ekonomi, dan industri, sekaligus
pengembangan teknologi.
Secara substansi peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
bisa diterapkan melalui promosi Daerah Tujuan Wisata (DTW) dan penerapan
aturan dilokasi wisata tersebut. Nilai potensi merupakan aspek yang sangat
fundamental karena bisa mengarahkan setiap orang yang berkunjung untuk
menaati peraturan yang ada. Khusus pariwisata berbasis alam memiliki daya
dukung yang potensial terhadap kesedaran lingkungan. Konsep perencanaan
tersebut bisa diterapkan secara berkesinambungan. Contoh kecil adalah
menghargai aset wisata alam dengan saling menjaga kelestariannya. Lokasi
kawasan wisata air dengan pemanfaatan sungai misalnya hal yang sangat penting
adalah bagaimana menjaga kelestarian air dengan memberikan opsi kepada
pengunjung bahwa pentingnya air bagi kehidupan berkelanjutan karena aset
sumber daya sungai sangat kuat sekali dipengaruhi oleh faktor iklim.
Industri pariwisata Internasional memiliki hubungan dengan kondisi dan
perubahan iklim(global Warming) yaitu wisata dapatdikatakan untuk sebagian
besar dilakukan di lingkungan alam, sehingga keberlangsungan dan
kesuksesannya sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Seperti kawasan perkebunan
teh sebagai daya dukung untuk tourism sportparalayang, gantole maupun terjun
payung. Di sisi lain, dikatakan bahwa: “Tourism is one contributor to the build-up
of greenhouse gases (GHGs), which are now recognised as causing
unprecedented changes in the global climate”. Dengan demikian, dapat
dikatakanbahwa justru destinasi pariwisata yang paling banyak diminati

151
Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2015

wisatawan, kemungkinan besar akan mengalamipeningkatan emisi gas rumah


kaca yang signifikan (Becken and Hay, 2007).
Kontribusi pariwisata terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca yang
diakibatkan oleh efek global warming dapat terjadi karena hasil berbagai aktivitas.
Sebagaimana diketahui, elemen gas rumah kaca yang paling utama adalah
karbondioksida (CO2). Dikaitkan dengan pariwisata, CO2 dihasilkan dari
kegiatan usaha jasa akomodasi (misalnya: pemanas ruangan,pendingin ruangan,
pencucian, memasak), aktivitas (misalnya operasi restoran, bar, olah raga
bermotor), dan transportasi dari tempat tinggal wisatawan ke destinasi pariwisata.
Namun demikian, kontribusi terbesar pariwisata terhadap peningkatan emisi gas
rumah kaca dihasilkan oleh sektor transportasi udara. Perkiraan tersebut
didasarkan kepada hasil penelitian sebagai berikut. Sekitar 87% emisi gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh pariwisata berasal dari aktivitas transportasi. Walaupun
belum diketahui beberapa kontribusi sektor transportasi udara di tingkat global,
namun sumbangan emisi yang dihasilkan oleh perjalanan warga Uni Eropa (UE)
pada tahun 2000 telah mencapai 75% dari total emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh seluruh jenis moda transportasi yang mereka gunakan (Peeters,
2008). Persoalan ini bahkan telah diakui oleh para pelaku pariwisata kaliber
internasional, sehinggaMark Ellingham (pendiri Rough Guides) dan Tony
Wheeler (pendiri Lonely Planet) misalnya, mendorong wisatawan untuk “fly less
and stay longer‟ and donate money to carbon offsetting schemes”. Pada
gilirannya, peningkatan emisi gas rumah kaca dapat menciptakan kerugian di
sector pariwisata. Perubahan iklim juga akan sangat besar dampaknya terhadap
negara kepulauan seperti Indonesia sebagai kawasan yang memiliki potensi
destinsi wisata variatif, karena: “Islands and costal zones are among the most
vulnerable tourist destinations to climate change”. Kondisi ini menjadi
permasalahan bahwa efek dari sarana kebutuhan pariwisata terutama transportasi
udara menjadi permasalahan peningkatan efek global warming melalui efek
rumah kaca.

152
METODE
Target penelitian ini adalah analisis terhadap masalah pengembangan
pariwisata melalui efek perubahan iklim dengan sistem analisis persepsi dan
teoritis. Analisis data dilakukan menggunakan metodedeskriptif kualitatif
persepsi. Analisis kualitatif adalah sebuah metode yang menggambarkan secara
kualitatif fakta, data, obyek, material baikberupa, ungkapan bahasa atau wacana
melalui interpretasi yang tepat dan sistematis (Wibowo, 2014). Kondisi
permasalahan pengembangan pariwisata terhadap keadaan perubahan iklim
dianalisis secara deskriptif kualitatif perspektif dengan menginterpretasikan fakta
yang ditemukan secara teoritis dan persepsi kebijakan.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung melalui studi lapangan, sedangkan data sekunder
melalui studi literatur, kepustakaan dari sumber-sumber data atau informasi yang
ada. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengumpulan data gabungan
berupa, diskusi, studi dokumentasi dan literatur kebijakan. Analisis data dilakukan
secara deskriptif kualitatif perspektif dengan mentabulasikan data yang diperoleh
sesuai dengan tujuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebagai Alternatif pengurangan efek global warming dari kondisi
pariwisata internasional rata-rata dipengaruhi dari polusi sarana transportasi
massal salah satunya adalah pesawat terbang, semakin meningkat daya tarik
wisata semakin meningkat juga aktifitas transportasi lintas negara, oleh karena itu
dapat dijelaskan pada pembahasan di bawah ini dengan mempertimbangkan
berbagai alternatif permasalahan yang terjadi secara internasional.

Problematika Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sebagai Akibat Global


Warming
Dalam penelitian ini secara perspektif telah diketahui kondisi
permasalahan secara international yang di peroleh dari berbagi kebijakan dan
permasalahan internasional, pada penelitian ini menekankan kepada transportasi

153
Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2015

masal baik darat, laut maupun udara. Transportasi udara menjadi aspek prioritas
permasalahan kerawanan efek global warming dengan adanya pencemaran udara
dari bahan bakar yang digunakan. Pariwisata menjadi alternatif peningkatan
kualitas kerawanan pencemaran udara melalui transportasi pesawat dan belum
dilakukan upaya solusi tepat guna dan kesepakatan antara beberapa negara dalam
pengurangan dampak emisi global.
Berikut ini beberapa temuan permasalahan secara perspektif efek global
warming transportasi udara terhadap industri pariwisata internasional:
Pertama, mengurangi jumlah penerbangan berarti berhadapan dengan
kepentingan salah satu industri terbesar di dunia,antara lain industri pembuatan
pesawat komersial. Sebagai contoh, pabrik pesawat Boeing harus mengeluarkan
dana sebesar US$8-10 milyar untuk mengembangkan pesawat terbarunnya,
Boeing 787 Dreamliners. Sementara itu, dalam kurun waktu 20 tahun, Cina
diperkirakan akan menginvestasikan US$200 milyar untuk membeli sebanyak
1.300 pesawat komersial (Vasigh, 2008). Oleh karena sektor transportasi udara
melibatkan kepentingan finansial yang luar biasa besarnya, upaya tersebut dapat
menimbulkan persoalan politis yang sangat besar.
Kedua, pengurangan jumlah penerbangan dapat dilakukan antara lain
dengan menggunakan alternatif kereta api bertenaga listrik untuk perjalanan jarak
dekat hingga antara 1.500-2.000 km. Kereta api bertenaga listrik dapat dikatakan
100% bebas emisi gas rumah kaca. Namun demikian, diperlukan beberapa syarat
untuk mendorong wisatawan agar lebih memanfaatkannya dibandingkan dengan
moda transportasi lainnya, termasuk pesawat terbang, yaitu: kenyamanan, kualitas
dan harga. Ini berarti bahwa penggantian moda transportasi karena semata-mata
tujuan pengurangan gas rumah kaca, tidak secara otomatis akan berhasil. Sebagai
contoh, di Jerman,hanya 2% penumpang kereta api yang memilih moda
transportasi tersebut karena alasan ramah lingkungan. Disamping itu, perlu
diperhatikan bahwa upaya tersebut kemungkinan besar akan membutuhkan
investasi dalam jumlah yang sangat besar untuk membangun infrastruktur yang
dibutuhkan.
Ketiga, pengurangan jumlah penerbangan jarak jauh justru akan lebih

154
banyak merugikan kepentingan pembangunan kepariwisataan negara sedang
berkembang. Hal ini disebabkan perjalanan jarak jauh dimaksud pada umumnya
adalah menuju negara-negara tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris
Jenderal UNWTO pada saat berlangsungnya the United Nations Conference on
Climate Change, di Bali (12 Desember 2007) sebagai berikut “Those who say:
„do not travel far from home and avoid taking planes to save several tons of
carbon emissions‟, should think twice. Because these long-haul trips are often to
countries that are home to the planets‟spoorest population…”(J.Y .Eng, 2005).
Keempat, berkaitan dengan dorongan untuk “stay longer” di destinasi
pariwisata, hal tersebut tidak dapat dipaksakan kepada wisatawan, karena
bergantung dari kualitas destinasi pariwisata dan pelayanan jasa yang
bersangkutan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, peningkatan kualitas
destinasi pariwisata dan pelayanan jasa terkait secara tidak langsung akan
memberikan kontribusi sangat penting terhadap pengurangan emisi gas rumah
kaca. Meningkatkan kualitas 14 parameter hasil survey World Economic Forum
(WEF) yang menentukan daya saing kepariwisataan sebuah negara dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Kelima, masalah penting yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak
akan ada pariwisata tanpa wisatawan. Dengan demikian, perilaku konsumsi
wisatawan memegang peran sangat penting dalam pengurangan emisi gas rumah
kaca. Meskipun begitu, perubahan pola perilaku dimaksud pada suatu tingkat
tertentu justru akan merugikan kepariwisataan di negara sedang berkembang. Hal
ini disebabkan masalah tersebut erat kaitannya dengan kapasitas teknologi negara
sedang berkembang untuk menyediakan barang dan jasa yang ramah lingkungan.

Alternatif Pengurangan Efek Global Warming di Indonesia dalam Aktivitas


Industri Pariwisata Internasional
Setelah mengetahui kondisi dan permasalahan yang telah dijelaskan
sebelumny,a maka penelitian ini menekankan kepada fokus peduli lingkungan
terhadap sarana transportasi udara dalam hal ini transportasi udara erat
hubungannya dengan kerjasama diplomasi antar negara dan kontribusi yang

155
Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2015

sangat kuat sekali adalah visit wisata, secara tidak langsung pada periode tahun
2015 ini setiap negara berlomba-lomba melakukan promo tentang destinasi dan
potensi wisatanya. Kondisi Pariwisata global inilah menjadi masalah yang harus
diselesaikan terhadap sarana transportasi udara demi terciptanya lingkungan
global lebih baik dan pengurangan efek rumah kaca dapat diminimalisir dengan
aspek kebijakan tepat.
Salah satu asas penanaman modal adalah asas berkelanjutan, yaitu asas
yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui
penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala
aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang (Pasal 3 ayat (1)
huruf f UUNo. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal). (1) Fasilitas fiskal
diberikan kepada perusahaan penanaman modal yang memenuhi kriteria antara
lain menjagakelestarian lingkungan hidup (Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2007); (2)
Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang
tertutup untuk penanamanmodal, baik asing maupun dalam negeri, dengan
berdasarkan kriteria antara lain perlindungan lingkunganhidup (Pasal 13 ayat (3)
UU No. 25 Tahun 2007); dan (3) Dalam hal-hal tertentu, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) dan Perangkat Daerah Provinsi BidangPenanaman
Modal (PDPPM) dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan, dan
pengawasan dalamhal terjadinya pencemaran lingkungan yang membahayakan
keselamatan masyarakat (Pasal 10 ayat (3) hurufa Peraturan Kepala BKPM No.
13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian
PelaksanaanPenanaman Modal jo. Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010
tentang Perubahan atas Peraturan KepalaBKPM No. 13 Tahun 2009 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal).
Meskipun demikian, persoalan yang pada umumnya dihadapi di
Indonesia adalah terjadi dalam hal penegakan hukum (law enforcement) yang
lemah dan konsistensi implementasinya. Ada banyak bukti yang menunjukkan
lemahnya penegakan hukum di bidang perlindungan lingkungan hidup di
Indonesia. Pada tahun 2010, Menteri Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa
laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1,1 juta hektare per tahun. Bahkan

156
menurut KEMENHUT dan Lingkungan Hidup (2010) menyatakan: laporan Food
and Agriculture Organization (FAO) menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara dengan tingkat kerusakan hutan paling parah di dunia. Sementara itu,
terumbu karang Indonesia yang luasnya 2,5 juta hektare, 69% diantaranya telah
mengalami kerusakan (Wijaya, 2010). Kemudian, jika diambil contoh dalam skala
mikro, yaitu tingkat kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di wilayah DKI
Jakarta saja, maka dapat dilihat bahwa kebijakan nasional masih belum berjalan
dengan efektif dan efisien. Sebagai contoh, Angka pertumbuhan kendaraan mobil
adalah ±240 unit per hari dan sepeda motor mencapai angka ±890 per hari
sehingga diperkirakan bahwa jika situasi polusi udara tidak berubah, maka warga
DKI Jakarta harus membelanjakan Rp. 4,3 triliun pada tahun 2015 untuk biaya
penanggulangan penyakit yang berkaitan saluran pernafasan (DEPKOMINFO,
2010).
Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, persoalan utama yang harus
diperhatikan dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui
kepariwisataan adalah bagaimana menegakkan hukum secara efektif dan efisien.
Semata-mata menambah jumlah peraturan perundang-undangan tidak akan
mengubah kondisi perlindungan lingkungan hidup. Kondisi inilah yang seringkali
menjadi persoalan di negara sedang berkembang, karena jumlah peraturan
perundang-undangan terus ditambah namun tidak disertai dengan kualitas
penegakan hukum yang efektif dan efisien.

Hubungan Internasional Sebagai Upaya Pengurangan Emisi Gas Rumah


Kaca Melalui Destinasi Pariwisata
Kondisi hubungan diplomatik antar negara internasional menunjukkan
karakteristik dari persoalan kerusakan lingkungan hidup adalah bahwa tata kelola
dan aturan lintas batas antar negara. Oleh karena itu, upaya perlindungan
lingkungan hidup, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca melalui
pariwisata, tidak akan berhasil secara optimal tanpa kerjasama antar negara.
Sehubungan dengan haltersebut, kerjasama internasional di bidang ini harus
semakin diarahkan kepada optimalisasi implementasinya,bukan pada sekedar

157
Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2015

pertukaran informasi dan pengalaman. Hal ini disebabkan oleh tingkat bahaya
emisi gas rumah kaca dalam jangka panjang. Bahkan, pada tahun 2004, –
walaupun mungkin terkesan berlebihan – David King (Chief Scientific Advisor
pada Pemerintah Kerajaan Inggris) menyatakan bahwa: “…climate change is a
greatersecurity threat than that of terrorism”. Secara tidak langsung, pernyataan
tersebut dibenarkan oleh sebuah hasilpenelitian yang dilakukan secara rahasia
oleh Angkatan Bersenjata AS (Hall and Higham, 2005).
Sebagai alternatif penelitian ini menekankan pada penegakan hukum
secara disiplin dan menerapkan strategi pengurangan gas rumah kaca dengan:
reducing energy use; improving energy efficiency; increasing the use of
renewableenergy; and, sequestering CO2 through carbon sinks, dalam arti
meminimalisir penekanan pemanfaatan aktifitas pariwisata dan melakukan
keseimbangan penjagaan lingkungan dengan melalui aktivitas menghutankan
kembali kawasanyang telah gundul. Kerjasama internasional tersebut merupakan
kerjasama “tingkat tinggi”, karena sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
persoalan pengurangan emisi gas rumah kaca melibatkan kepentingan industri-
industri terbesar di dunia, seperti industri transportasi. Oleh karena itu,
keberhasilan Indonesia dalam diplomasi internasional untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca melalui pariwisata akan sangat ditentukan oleh sejauh mana
kemampuan meyakinkan industri besar dan negara maju (tempat industri besar
pada umumnya berada) untuk melakukan tindakan-tindakan mitigasi efek rumah
kaca aktifitas pariwisata tersebut dengan diimbangkan landasan aturan hukum
yang kuat dan tertib dalam pelaksanaannya.

SIMPULAN
Dalam penelitian perspektif kebijakan ini dapat disimpulkan bahwa
optimalisasi kebijakan internasional bidang pariwisata guna meningkatkan
pengurangan efek global warming melalui efek rumah kaca dapat dilakukan
berbagai cara sebagi berikut: Pertama, mengupayakan kerjasama internasional
yang berkaitan dengan alih teknologi non-emisi gas rumah kaca yang berkaitan
dengan sector pariwisata. Dengan demikian, Indonesia dapat ikut berkontribusi

158
dalam pengembangan teknologi yang berkaitan dengan pariwisata, yang
mengurangi emisi gas rumah kaca. Kedua, mengupayakan peningkatan kerjasama
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas destinasi dan daya tarik wisata
mengingat sebagian besar destinasi wisata Indonesia adalah wisata alam. Dengan
meningkatnya kualitas destinasi dan daya tarik wisata di Indonesia, selain akan
berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca karena wisatawan
cenderung untuk “stay longer”, kondisi tersebut juga akan semakin meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Ketiga, mengupayakan kerjasama antar
pemerintah yang dapat menekan industri di negara maju khususnya untuk
mengurangi penggunaan sumber daya alam dari negara berkembang dan
mengganti dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Keempat,
meningkatkan kerjasama internasional dalam penegakan hukum yang berkaitan
dengan pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor pariwisata, termasuk dalam
hal pengawasan bersama antar negara dalam pengembangan industri pariwisata di
suatu negara.
Sebagai aspek keseimbangan dalam penyelesaian pengurangan emisi gas
rumah kaca adalah penerapan: reducing energy use; improving energy efficiency;
increasing the use of renewableenergy; and, sequestering CO2 through carbon
sinks, aspek ini memberikan kontribusi penekanan terhadap pemanfaatan fasilitas
pariwisata internasional dan meningkatkan kesadaran kepada wisatawan dalam
wacana perlindungan lingkungan hidup sebagai alternatif pengurangan efek global
warming dalam industri pariwisata.

DAFTAR PUSTAKA
Becken, S. & Hay, J.E. 2007. Tourism and Climate Change: Risk and
Opportunities. Clevedon: Channel View Publication: 1, 20.

DEPKOMINFO, 2010. Jakarta Macet, Kendaraan Pribadi Bertambah.


(http://kalbar.in/2010/indonesiaheadline/rilis-berita html. diakses 9 Januari
2015).

Eng, J.Y. 2005. China Investment Environment and Strategies: The Key to
Winning in the Greater China Market. Linconln: Universe: 65.

159
Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 2, Desember 2015

Hall, C.M. & Higham, J. 2005. Introduction: Tourism, Recreation and Climate
Change: Dalam Hall, C.M. and Higham, J. (Ed). Tourism, Recreation and
Climate Change: 17. Clevedon (UK): Channel View Publications.

Health Costs of Jakarta Pollution to Rp. 4,3 Trillion in 2015. 2009.


(http://thejakartaglobal.com/city//, diakses 6 Desember 2014).

KEMENHUT & Lingkungan Hidup. 2010. Laju Kerusakan Lingkungan


Indonesia 1,1 Juta Hektare per Tahun. 2010.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/26/brk,2010032623592
1,id.html, diakses 26 April 2011).

Kerusakan Terumbu Karang. 2006. (http:www.lintasberita.com/go/17658, diakses


7 Januari 2015).

Peeters, P. 2008. Mitigating Tourism‟s Contribution to Climate Change-An


Introduction. Dalam Peeters, P. (Ed.).

Schott, C. 2010. Tourism and the Implications of climate Change: Issues and
Actions. Bingley (UK): Emerald Group Publishing Limited: 56, 58.

Tourism & Climate Change Mitigation: Methods, Greenhouse Gas Reductions


and Policies: 13-15. Breda:Stichting NHTV Breda.

UNWTO & UNEP. 2008. Climate Change and Tourism: Responding to Global
Challanger. Madrid: UNWTO. And UNEP: 66, 72. UNWTO and
UNEP.2008, ibid, 21-35.

Vasigh, B.F.K. & Tacker, T. 2008. Introduction to Air Transport Economics:


From Theory to Applications. Hampshire: Ashgate Publishing Limited:
198.

Wibowo, W. 2014. Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah. Kompas: Jakarta.

160

Anda mungkin juga menyukai