Bentuk Kerja Sama Penanaman Modal Di Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

2.

Bentuk Kerja Sama Penanaman Modal di Indonesia

Peningkatan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing di Indonesia,

sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. UU Nomor 11 Tahun

1970 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 jo. UU Nomor 12

Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sebagaimana telah

diubah dengan UU No mor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal hingga dewasa ini

mengalami peningkatan yang cukup pesat dibandingkan dengan keadaan sebelum

dikeluarkannya peraturan tersebut.

Pelaksanaan penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia

tidak hanya dilakukan seperti yang ditetapkan dalam ketentuan penanaman modal asing,

dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, khususnya

yang berkenaan dengan penanaman modal asing, yakni tidak hanya dilakukan dalam

bentuk direct Investment, akan tetapi dapat pula dilakukan dalam bentuk usaha kerja

sama patungan (joint ventures dengan pihak swasta nasional Indonesia seperti yang

tertera dalam ketentuan Pasal 12 yang pada prinsipnya menetapkan bahwa:1

1. Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal

kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka

dengan persyaratan.

2. Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang: dan

b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-

undang.

3. Pemerintah berdasarkan peraturan presiden menetapkan bidang usaha yang

tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan
1
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2016 hlm. 55-56
berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebu dayaan, lingkungan hidup,

pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

4. Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbu ka dengan

persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan

persyaratan masing-masing akan diatur dengan peraturan presiden.

5. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan

berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,

perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil. menengah, dan koperasi,

pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi

modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk

pemerintah.

Dengan adanya pengaturan tersebut, seperti yang termuat dalam ketentuan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka penanaman

modal, khususnya modal asing di indonesia, diperkenankan melaksanakan usahanya

secara langsung maupun dalam bentuk usaha kerja sama patungan (joint pontures)

dengan pilak nasional apaka dengan swasta atau pemerintah BUMN) dalam bentuk dan

cara kerja sama yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah khu susaya dalam hal

komposisi kepemilikan saham perusahaan.

A. Pengaturan Pemerintah

Pengaturan pemerintah dalam hal penetapan bentuk usaha kerja sama

patungan (joint ventures) antara pencanaan modal asing dan modal nasional dalam

penjabarannya dilaksanakan pertama kali melalui instruksi presidium Kabinet

Nomor 36/U/IN/6/1967 yang ditetapkan dalam bentuk usaha kerja sama joint

enterprise (perusahaan campuran)' yang juga merupakan salah satu bentuk usaha

kerja sama patungan (joint ventures). Gejala peningkatan kerja sama penanaman
modal di Indonesia semakin ditingkatkan setelah pemerintah mengeluarkan

kebijaksanaan pada 22 Januari 1974 yang berkaitan dengan masalah kerja sama

penanaman modal asing dengan modal nasional Indonesia. Adapun kebijaksanaan

tersebut menyangkut dua hal, yaitu:2

1. Meningkatkan peranan perimbangan partisipasi dalam pengelolaan modal

antara modal asing dan modal nasional.

2. Menyusun daftar skala prioritas penanaman modal.

Lebih lanjut, dalam peraturan tersebut dijabarkan secara perinci bahwa usaha

peningkatan peran dan partisipasi keja sama dengan pihak asing dalam hal

penanaman modal ditetapkan beberapa syarat tambahan sebagai berikut:3

1. Penanaman modal asing harus dalam bentuk joint ventures.

2. Penyertaan pihak Indonesia dalam penanaman modal asing harus menjadi

51%.

3. Persyaratan penggunaan tenaga kerja, teknis, maupun manajemen.

4. Kredit investasi hanya untuk pribumi.

Dengan adanya pengaturan tersebut, maka penanaman modal khususnya

penanaman modal asing di Indonesia yang akan melaksanakan usahanya diharuskan

untuk melakukan usaha kerja sama patungan (join ventures) dengan modal nasional

meskipun pengaturan tersebut sedikit bertentangan dengan semangat yang ada dalam

UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang pada

prinsipnya memperkenankan adanya penanaman modal asing secara penuh (direct

investment).

2
Ibid hlm 57
3
Ibid
Ketentuan yang mengatur adanya usaha kerja sama patungan sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 12 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

mensyaratkan bahwa pelaksanaan atau aplikasi penanaman modal asing di Indonesia

dapat dilakukan dalam dua bentuk usaha, yaitu:

1. Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan

yang 100% diusahakan oleh pihak asing; atau

2. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional (swasta

nasional).

Secara yuridis hal yang pertama tersebut tidaklah menimbulkan persoalan

yang terlalu rumit, oleh karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal melainkan

kekuasaan maupun pengambilan keputusan (decision making) dilakukan oleh pihak

asing, sepanjang segala sesuatu itu memperoleh persetujuan dari pemerintah

Indonesia, atau selama pengaturannya tidak melanggar hukum serta ketertiban

umum yang berlaku di Indonesia.

Berbeda halnya dengan yang kedua, di mana akan lebih sulit oleh karena

adanya berbagai variasi kepentingan dalam bentuk usaha kerja sama patungan yang

meliputi: perimbangan modal, kekuasaan (manajemen) yang sesungguhnya, aspek

makroekonomis, mikroekonomis, dan aspek sosiokultural.4 Belum lagi masalah

teknis operasional seperti perbedaan bahasa, sistem hukum, maupun bargaining

position di antara keduanya.

Dipilihnya bentuk dan cara kerja sama patungan (Joint ventures) dalam

pelaksanaan penanaman modal di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup

pesat. Hal itu terjadi bila dikaitkan dengan kemampuan modal nasional yang belum

sepenuhnya dapat melakukan aplikasi usahanya, disebabkan karena adanya

keterbatasan modal, penguasaan tingkat teknologi, jangkauan usaha, maupun


4
Napitupulu Joint ventures di Indones, Erlangga, Jakarta 1986, him. 9
keuntungan lainnya yang bisa diharapkan dari penanaman modal asing khususnya

yang dilakukan dalam bentuk penanaman modal asing secara langsung di Indonesia.

Selain itu, usaha kerja sama patungan juga dapat meminimalisasi tingkat risiko dari

para pihak. Bahkan dari pihak penanam modal asing sendiri beranggapan bahwa

dengan dipilihnya bentuk usaha kerja sama patungan (joint ventures) oleh para

pemilik modal yang umumnya tergabung dalam perusahaan transnational atau

multinational corporation akan memberi sedikit rasa aman oleh karena mereka

sedikit dihinggapi rasa kekhawatiran, yakni kemungkinan adanya pengambil alihan

secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur hukum oleh negara penerima

modal (host country) yang lebih dikenal dengan program "nasionalisasi".

Sejak Perang Dunia I maupun revolusi industri, negara negara tempat

penanaman modal telah memperlihatkan keinginannya untuk menyita aktiva milik

perusahaan multinasional, bahkan tanpa memberi ganti rugi sedikit pun kepada para

penanaman modal asing. Hal yang sama pernah pula dilakukan oleh pemerintah

Indonesia pada zaman rezim pemerintahan Soekarno di mana pemerintah melakukan

nasionalisasi perusahaan penanaman modal asing yang berada di Indonesia.

Menyadari bahaya pengambilalihan secara sepihak ini oleh pemerintah negara

penerima modal asing, maka banyak perusahaan transnasional (multinasional)

melakukan berbagai cara untuk menghindari risiko penanaman modal asing mereka

dengan cara hedging, yakni sama seperti yang mereka lakukan pada pasar valuta

asing. Mereka sering kali menyeimbangkan sebagian besar aktiva nyata (tangible)

mereka di negara tempat penanam modal dengan pinjaman di negara tersebut (di

mana aktiva nyata tersebut berperan sebagal agunan).5

Pengaturan lain yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam hal pelaksanaan

usaha kerja sama patungan (joint ventures) antara penanaman modal asing nasional
5
Peter H Lindert & Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, Erlangga: Jakarta, 1990 him. 607
yang mengubah kebijaksanaan 1974, yakni dengan dikeluarkanya Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam

Perusahaan manaman Modal Asing yang ditetapkan pemerintah pada 6 April 1992

sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 10 Tahun 1994. Pengaturan tersebut

diikuti pulade ngan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32, 33,

dan 34 Tahun 1992 yang bersangkut paut dengan masalah pengaturan bidang usaha,

tata cara dan prosedur penanaman modal, serta pertanahan untuk kegiatan

penanaman modal asing.

Dalam peraturan tersebut, seperti yang tertuang dalam PP Nomor 20 Tahun

1994 setidaknya mengatur empat masalah pokok, yaitu:

1. Penentuan jumlah nilai minimum modal yang ditanam;

2. Penentuan bentuk usaha:

3. Pengecualian terhadap ketentuan jumlah/nilai minimum modal yang

ditanam dan bentuk usaha; serta

4. Penggunaan laba perusahaan.

Selain itu, diletakkan pula landasan bagi persetujuan penanaman modal,

khususnya asing, yakni dengan memberikan batas minimum atas modal yang hendak

ditanamkan. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia pada prinsipnya akan

mengabulkan aplikasi penanaman modal asing jika memenuhi minimum modal

tertentu, yaitu US$ 1.000.000.00. Namun ketentuan tersebut tidak bersifat final oleh

karena untuk dapat dikabul kannya aplikasi tersebut masih ada syarat lain yang harus

dipenuhi seperti bidang usaha. rencana pengendalian lingkungan dan struktur

kepemilikan saham. Mengenai ketentuan modal minimum yang harus ditanam (re

investasi hal itu pun tidak mutlak, oleh karena ternyata masih diberikan

pengecualian oleh peraturan tersebut.


Selanjutnya, dari peraturan tersebut diatur pula mengenai bentuk usaha bagi

penanaman modal, khususnya penanaman modal asing yang pada dasarnya harus

dilakukan dalam bentuk kerja sama "usaha patungan" (joint ventures). Bila dicermati

ketentuan tersebut yang menggunakan kata “pada dasarnya” menunjukkan bahwa

hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan UU No mor 25 Tahun

2007 tentang penanaman Modal yang membolehkan penanaman modal asing secara

langsung atau penuh 100% meskipun bukan dalam bentuk usaha kerja sama (joint

venture) dengan modal nasional.

Dengan perumusan demikian, tentunya secara implisit tersirat ada nya suatu

political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mendorong tumbuhnya

kegiatan usaha patungan dalam rangka penanaman modal, khususnya modul asing.

Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa penanaman modal secara langsung (tanpa

adanya partner Indonesia) tidak diperbolehkan, Penanaman berbentuk kerja sama

tetap diperbolehkan sepanjang memenuhi beberapa syarat, seperti modal minimum,

bidang usaha, lokasi usaha, dan persyaratan divestasi.

Mengenai pemilikan modal saham perusahaan ditetapkan, bahwa pada

prinsipnya pada saat pendirian perusahaan oleh penanam modal, khususnya modal

asing, tentunya modal saham perusahaan yang dimiliki peserta Indonesia, sekurang-

kurangnya 20% dari seluruh nilai modal saham. Selain itu, diatur pula mengenai

bidang-bidang usaha tertentu yang karena sifat usaha dan kebutuhan dalam

pengembangan sosial ekonomi dalam arti luas memerlukan pelanggaran terhadap

ketentuan jumlah minimum modal yang harus ditanam. Bahkan diperbolehkan untuk

menanamkan modalnya kurang dari jumlah minimum sebagaimana yang telah

dipersyaratkan terlebih dahulu, yakni US$ 1.000.000,00 asalkan meme nuhi yarat
tertentu seperti bidang usaha yang dipilih, sifat usaha, bentuk usaha, komposisi

pemilikan saham, dan divestasi sahamnya. Dengan pengaturan seperti itu pula

memberi kemungkinan jalan kepada pengu sahamodal dalam negeri, maupun

perusahaan kecil serta usaha koperasi untuk ikut berpartisipasi dalam bidang

penanaman modal, khususnya dalam bidang usaha tertentu yang kemungkinannya

pihak penanaman modal asing melakukan usahanya.

Adanya persyaratan divestasi juga turut diatur dalam PP Nomor 20 Tahun

1994, yakni secara filosofis penanaman modal asing harus berbentuk perusahaan

patungan dengan pihak pengusaha Indonesia dan secara bertahap saham peserta

nasional harus meningkat sampai pada suatu saat akan mencapai mayoritas saham.

Namun dalam rangka pemberian insentif yang menarik bagi penanaman modal,

khususnya untuk wilayah Indonesia bagian Timur pemerintah memberikan beberapa

kelonggaran bagi investor asing untuk menunda kewajiban patungan dengan pihak

modal dalam negeri sampai lima tahun disertai syarat tertentu.

Hal lain yang juga turut diatur yaitu penggunaan laba perusahaan, di mana

laba perusahaan setelah dipotong pajak dapat digunakan untuk mendirikan

perusahaan baru atau untuk membeli perusahaan lain di Indonesia. Dalam hal yang

terakhir berlaku ketentuan bahwa dalam hal pembelian perusahaan baru oleh

penanaman modal asing harus di penuhi persyaratan, yakni bidang usaha perusahaan

yang dibeli itu baik perusahaan lama maupun baru tidak tercantum dalam daftar

bidang usaha yang tertutup bagi perusahaan asing. Jika perusahaan yang dibeli ialah

perusahaan yang berstatus penanaman modal dalam negeri, maka komposisi

pemilikan saham dalam perusahaan tersebut harus tetap dipenuhi kriteria pemilikan

saham yang berlaku serta tetap berkewajiban meme nuhi program divestasi. Dengan
demikian, maka dalam proses reinvested profit tersebut, baik untuk pembelian

maupun pendirian usaha baru berlaku sepenuhnya ketentuan yang telah ada.

Ada enam hal pokok yang menyangkut persyaratan divestasi seperti yang

diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 1994, yaitu:

1. Bagi perusahaan penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan

berikat yang seluruh usahanya dimiliki oleh pihak asing, maka dalam

waktu lima tahun setelah perusahaan ini berproduksi komersial, harus

menjual sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada warga negara

Indonesia atau badan hukum yang dimiliki oleh warga negara Indonesia

atau badan tertentu yang diperlakukan sama. Ketentuan ini bersifat final.

Artinya, setelah itu tidak ada kewajiban divestasi lebih lanjut.

2. Bagi perusahaan penanaman modal asing dengan modal minimal US$ 50

juta dan seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing, maka dalam waktu

lima tahun setelah perusahaan ini berproduksi secara komersial harus

menjual sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada warga negara

Indonesia atau yang dipersamakan dengan itu. Kemudian, dalam jangka

waktu 20 tahun sejak produksi komersial harus meningkatkan menjadi

20% modal sahamnya.

3. Bagi perusahaan penanaman modal asing yang sahamnya dimiliki oleh

pihak asing seluruhnya dan berlokasi di Kalimantan, Sulawesi, Nusa

Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Irian Jaya,

Jambi dan Bengkulu, maka dalam waktu lima tahun sejak berproduki

secara komersial, wajib menjual sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya

kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia atau yang
dipersamakan dengan itu. Kemudian dalam waktu 20 tahun sejak produksi

komersial harus meningkatkan menjt di 20% modul sahamnya.

4. Perusahaan penanaman modal asing yang didirikan dengan modal saham

minimal US$ 250.000, harus memenuhi syarat:

a. Padat karya dengan tenaga kerja langsung minimal 50 orang, dan

65% hasil produksinya untuk ekspor, atau bahan baku atau bahan

penolong atau komponen untuk memenuhi kebutuhan industri lain.

b. Melakukan kegiatan di bidang usaha jasa tertentu sesuai dengan

ketentuan yang berlaku; pada saat didirikan harus mengikutkan

peserta nasional dengan sekurang-kurangnya 5% dari modal

sahamnya. Jumlah ini harus ditingkatkan menjadi sekurang kurangnya

20% dalam jangka waktu 10 tahun dan dalam waktu 20 tahun sejak

produksi komersial harus menjadi 51%.

5. Perusahaan penanaman modal asing dengan modal saham minimal US$

1.000.000, pada saat didirikan harus mengikutkan peserta Indonesia

dengan minimal saham 20% dan dalam jangka waktu 20 tahun setelah

berproduksi secara komersial jumlah ini harus ditingkatkan menjadi 51%.

6. Laba perusahaan penanaman modal asing dapat dipakai untuk membeli

maksimum 80 perusahaan yang sudah ada, dengan ketentuan peserta

nasional harus ditingkatkan menjadi 51% dalam jangka waktu 20 tahun.

Hal khusus lain yang diatur di luar ketentuan PP Nomor 20 Tahun 1994, yakni

pemerintah telah menempuh kebijaksanaan lain terhadap perusahaan penanaman

modal asing bilamana saham milik peserta nasi onal minimal 51% atau saham

peserta nasional minimal 41% atau di antaranya 20% sebagai saham atas nama yang

dijual melalui pasar modal, maka tidak diwajibkan lagi meningkatkan sahamnya
menjadi 51% dan tidak berubah status perusahaan penanaman modal asing tersebut,

yakni tetap sebagai perusahaan penanaman modal asing. Adanya perlakuan

semacam ini agar perusahaan dapat beroperasi atau melakukan usahanya di bidang-

bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing, dapat memperoleh

pinjaman modal kerja dari bank pemerintah, dan dapat pula menjual hasil

produksinya di pasar dalam negeri tanpa diwajibkan lagi menunjuk distributor atau

agen perusahaan nasional.

Selain adanya pengaturan tentang bidang kerja sama usaha patungan (joint

ventures) tersebut, diharapkan pula penanaman modal dapat lebih bergairah untuk

menanamkan modalnya di Indonesia. Kendati demikian, dalam praktiknya

penanaman modal di Indonesia masih menemui berbagai hambatan yang bersifat

teknis operasional meskipun iklim kerja kama telah diperbarui oleh pemerintah

untuk menghilangkan kekuatan pengusaha nasional dalam melakukan kerja sama

usaha patungan (joint ventures) dengan modal asing.

B. Bentuk Kerja Sama Penanaman Modal

Ismail Suny6 mengemukakan, bahwa ada tiga bentuk kerja sama pa tungan

(joint ventures) antara modal asing dan nasional sesuai dengan Pasal 23 UU Nomor

1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan

UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yakni: joint ventures, joint

enterprise, dan kontrak karya. Meskipun sebenarnya istilah joint enterprise juga

merupakan atau termasuk dalam pengertian joint ventures. Oleh Sunaryati Hartono7

diuraikan bahwa sebenarnya istilah joint ventures oleh para ahli yang berbahasa Ing

6
Ismail suny & Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1967, hlm. 108
7
Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia,
Bina Cipta: Bandung, 1970, hlm 127
gris digunakan sebagai suatu istilah verzamelnaam untuk berbagai bentuk kerja sama

antara penanaman modal nasional dan asing. Jadi, apa yang disebut oleh Ismail Suny

dengan joint enterprise juga merupakan salah satu bentuk daripada joint ventures.

Namun pembedaan yang dilakukan oleh Ismail Suny tersebut secara resmi telah

digunakan oleh pemerintah, sehingga pemakaian istilah tersebut sudah menjadi

lazim adanya. Dalam hal joint ventures diartikan sebagai para pihak tidak

membentuk badan hukum baru, akan tetapi suatu kerja sama yang sematamata

bersifat kontraktual, sedang dalam hal joint enterprise terjadi penggabungan modal

nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia. Lalu, kemudian kontrak karya

diartikan sebagai pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan

hukum indonesia itu bekerja sama lagi dengan badan hukum (nasional) Indonesia

yang lain.

Selain ketiga bentuk kerja sama yang telah disebutkan diatas, masih terdapat

juga bentuk lain yang dalam kenyataannya atau dalam praktik dilakukan oleh

pemodal, khususnya asing. Dengan kata lain, terdapat berbagai bentuk kerja sama

patungan (joint ventures) yang dilakukan oleh para pe nanam modal, khususnya

modal asing dengan pemodal nasional seperti production sharing, management

contract, technical assistance atau tech nical service contract, franchise, and brand

use agreement maupun dalam bentuk Buid, Operation, and Transfer atau lebih

dikenal dengan istilah BOT. Di samping itu, dikenal pula adanya bentuk usaha kerja

sama yang khusus seperti penanaman modal asing dengan DISC-Rupiah maupun

kredit untuk proyek (barang modal). Kesemua bentuk usaha kerja sama patungan

(joint ventures) tersebut untuk lebih jelasnya akan diuraikan di sertai dengan

berbagai contoh dalam aplikasinya masing-masing meski pun secara limitatif

sifatnya.
1. Joint Ventures

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, bahwa bentuk

usaha kerja sama patungan (joint ventures) memiliki berbagai bentuk atau corak

maupun variasi, namun pada intinya joint ventures adalah suatu usaha kerja

sama yang dilakukan antara penanaman modal asing dan nasional semata-mata

berdasarkan suatu perjanjian atau kon trak belaka (kontraktual), di mana tidak

membentuk suatu badan hukum baru seperti halnya pada joint-enterprise.

Sebagai contoh dapat dikemukakan, yakni: Adanya perjanjian kerja sama antara

Van Sickel Associates Inc. suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware,

Amerika Serikat dengan PT Kalimantan Plywood Factory suatu badan hukum

Indonesia untuk secara bersama-sama mengolah kayu di Kalimantan Selatan.

Kerja sama ini juga sering kali disebut dengan Contract of Cooperation yang

tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan

dalam Pasal 3 UUPMA. Berbagai corak atan variasi dari joint ventures yang

diketemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dike mukakan

sebagai berikut:8

a. Technical Assistance (Service) Contract, suatu bentuk kerja sama yang

dilakukan antara pihak modal asing dan nasional sepanjang yang bersangkut

paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya suatu perusahaan modal

nasional yang ingin memajukan atau meningkat kan skala produksinya tentu

membutuhkan suatu peralatan baru di sertartai cara kerja atau metode kerja

baru. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical

assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara

pembayaran dalam bentuk royalti es, yakni pembayaran sejumlah uang

8
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2016 hlm. 66-67
tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang

bersangkutan.

b. Franchise and Brand-Use Agreement: suatu bentuk usaha kerja sama yang

digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak

memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal, seperti

Coca-Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc'Donalds, dan Kentucky Fried

Chicken.

c. Management Contract suatu bentuk usaha kerja sama antara pihak modal

asing dan nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan, khususnya

dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu

perusahaan nasional. Misalnya yang lazim di gunakan dalam pembuatan

maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia

diserahkan kepada swasta luar negeri seperti Hilton International Hotel,

Mandarin International Hotel, dan Hyatt.

d. Build, Operation, and Transfer (BOT): suatu bentuk kerja sama yang relatif

masih baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu ker ja sama antara

para pihak, di mana suatu objek dibangun, dikelola, atan dioperasikan

selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli. Misalnya

pihak swasta nasional mempunyai gedung atau banginan mengadakan kera

sama dengan pihak luar negeri untuk membangun stratu departement store

ataupun hotel di mana buaya pembanyaman, perencanaan, pelaksanaan

operasinya dilaksanakan oleh pihak asing demam jangka waktu sesuai kerja

sama, lalu kemudia diserahkan kepada pihak nasional.

2. Joint Enterprise
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa suatu bentuk kerja sama dalam bentuk

joint enterprise merupakan suatu kerja sama antara penanaman modal asing dan

dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan hukum baru

sesuai dengan yang disyaratkan dalam aturan penanaman modal, joint

enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari

modal dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta

asing.

Pada permulaan berlakunya UU Nomor I Tahun 1967 tentang PMA

tampaknya bentuk usaha kerja sama ini yang paling dikehendaki oleh para

pihak, khususnya penanaman modal asing. Alasan yang mendasari yaitu:9

1. Setiap usaha di Indonesia yang memerlukan rupiah untuk pembayar an

barang-barang yang lebih murah dan mudah diperoleh di Indonesia. Juga

untuk pembayaran gaji pegawai dan lain-lain pengeluaran dibutuhkan

rupiah oleh penanaman modal asing.

2. Penanaman modal asing tidak perlu menanamkan modal dalam bentuk

valuta asing, tetapi modal asing dapat berbentuk mesin mesin atau lain hasil

produksi penanaman modal asing itu. Sehingga pena naman modal asing di

Indonesia oleh penanam modal asing itu telah menghasilkan efek yang

menguntungkan, yaitu tidak hanya dapat membayangkan dapat memperoleh

keuntungan dalam masa yang akan datang, akan tetapi pada saat ia

diizinkan memasukkan mesin mesinnya (barang modal) ke Indonesia

dengan bebas bea masuk, maka ia pun telah mengekspor barang-barangnya

ke luar negeri tanpa membayar pajak impor untuk itu.

3. Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional, apalagi yang telah

berpengalaman, maka penanam modal asing itu dapat mengecilkan risiko


9
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2016 hlm. 67-68
seminimal mungkin, sehingga sebenarnya penanaman modalnya di

Indonesia lebih merupakan pemberian kredit daripada penanaman modal

asing yang langsung (direct-investment) seperti yang diisyaratkan dalam

ketentuan pasal 1 UU Penanaman Modal.

3. Kontrak Karya

Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerja

sama antara penanaman modal asing dan nasional, terjadi apabila penanam modal

asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan

perjanjian kerja sama dengan suatu badan hu kum yang menggunakan modal nasional.

Bentuk kerja sama kontrak kar ya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerja sama

antara badan hukum milik negara (BUMN) seperti kontrak karya antara PT.

Pertamina dan PT Caltex Pacific Indonesia yang merupakan anak perusahaan dari

Caltex In ternasional Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat.10

Ditinjau dari segi penanaman modal asing sendiri, maka cara terse but sering

kali lebih memuaskan, oleh karena masing-masing pihak dengan demikian dapat

mengadakan pembukuan dan kebijaksanaan yang terpisah. Kesulitan yang dihadapi di

dalam suatu perusahaan campur an, berhubung dengan perbedaan pembukuan dalam

rupiah, dan valuta asing atau berhubungan dengan perbedaan pendapat mengenai

manajemen perusahaan dengan demikian lebih mudah dapat dihindari. Menurut

Sunaryati Hartono11, oleh karena negara tidak menjadi pemilik daripada bumi dan air

serta kekayaan alam Indonesia, akan tetapi hanya mempu nyai hak untuk menguasai

maka perusahaan negara (BUMN) paling ba nyak dapat mengadakan perjanjian

dengan pihak lain (asing) untuk me ngerjakan pengolahan (eksploitasi dan eksplorasi)

untuk dan atas nama perusahaan negara tersebut. Perjanjian semacam itu disebut

10
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2016 hlm. 68
11
Sunaryati Hartono, Op. cit, him 140
dengan nama kontrak-karya, yang memberi tugas dan kewajiban (dan karena itu hak)

kepada pihak lain untuk menggali dan mengolah sumber daya alam yang menjadi

kuasa pertambangan perusahaan tersebut. Adapun besar nya imbalan tergantung dari

hasil perjanjian kontrak karya tersebut.

Dalam kontrak karya itu juga pengawasan (control), management. marketing

dan tindakan lain yang berhubungan dengan pengambilan, pengolahan, distribusi, dan

penjualan barang yang diproduksi di Indonesia itu sepenuhnya ada di tangan pihak

asing, dan bahkan boleh memindahkan hak-haknya itu kepada seorang subkontraktor

dengan berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Adanya berbagai bentuk dan corak kontrak karya dalam kerja sama antara

modal asing dan nasional disebabkan adanya beberapa pertimbangan di antaranya

keleluasaan pihak asing untuk melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan

negara yang sudah terjamin kepercayaan nya oleh karena ditopang dengan unsur

negara di dalamnya penguasaan dimulai dari manajemen sampai pemasaran tetap

berada di tangan pena naman modal asing

4. Production Sharing

Menurut Sunaryati Hartono12, cara dengan production sharing ini se belum UU

Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA, yaitu dengan terhapusnya UU Penanaman modal

Asing Tahun 1958 oleh UU Nomor 16 Tahun 1965 boleh dikatakan merupakan satu-

satunya cara yang terpenting dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara. Karena

penanaman modal asing sudah dilarang dengan UU Nomor 16 Tahun 1965 itu, maka

untuk memenuhi kebutuhan akan modal dan alat perlengkapan dari luar negeri,

dipikirkan suatu bentuk kerja sama patungan yang dinamakan production sharing atau

bagi hasil.

12
Ibid
Dinamakan suatu production sharing atau bagi hasil, oleh karena kredit yang

diperoleh dan pihak asing in besena bunganya akan dikembali kan dalam bentuk hasil

produksi perusahaan yang bersangkutan, biasa nya dikaitkan dengan suatu ketentuan

mengenal kewajiban persahaan Indonesia untuk mengekspor hasilnya ke negara

pemberi kredit, Dengan kata lain, bahwa protection sharing adalah suatu perjanjian

ketta sam kredit antara nodal asing dan pihak Indonesia yang memberkan kewajihan

kepada pihak Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit.

Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing, maka oleh pemerintah dilakukan pembaruan terhadap kontrak kerja sama

production sharing itu lewat Instruksi Presidium Kabinet Nomor 34/EK/IN/5/67

tanggal 30 Mei 1967, yang pada pokoknya menekankan penyesuaian proyek-proyek

maupun kredit dalam rangka production sharing tersebut,"

5. Penanaman Modal dengan DICS-Rupiah

Penanaman modal asing dengan DICS-Rupiah ini merupakan suatu bentuk

campuran atau variasi antara kredit dan penanaman modal. Jika pada production

sharing suatu perusahaan (nasional) Indonesia memperoleh modal asing dalam bentuk

kredit, maka penanaman modal asing dengan DISC-Rupiah ini kredit modal asing

yang harus telah dikembalikan kepada krediturnya oleh pihak Indonesia dengan

adanya ketentuan instruksi Presidium Kabinet Nomor 28/EK/IN/5/1967, yang pada

prinsipnya me nyatakan bahwa tagihan-tagihan para kreditur asing yang menyangkut

utang yang tidak dijamin oleh pemerintah asing dapat diubah menjadi penanaman

modal asing di Indonesia. Kebijaksanaan tersebut dinamakan dengan Debt-Investment

Conversion Scheme (DISC), oleh sebab itu pelunasan utang ini, yang semula

diperhitungkan berdasarkan valuta asing tetapi dibayar dengan rupiah terjadi dengan

DISC-Rupiah yang me rupakan kertas perbendaharaan negara berbunga 3% setahun.


Memut Email Suny apabila kredituraya sendiri yang menggunakan DISC Rupt ah

maka yang akan dicatat sebagai modal adalah jumlah utang Republik Indonesia yang

telah dihapuskan dengan pembayaran berupa DISC, pencatatan tersebut dilakukan

dengan valuta asing.13

6. Penanaman Modal dengan Kredit Investasi

Adanya penanaman modal dengan menggunakan kredit investasi merupakan

kebijaksanaan pemerintah pada 1970. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri

Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor 21/Menkuin/4/1970, yang

memberikan kesempatan bagi pengusaha nasional untuk melakukan penanaman

modal dengan menggunakan kredit dari pemerintah. Dengan kata lain, kredit kuar

negeri dan penanaman modal tidak dapat dipisahkan dengan tegas, oleh karena kredit

luar negeri dapat menjadi penanaman modal di dalam negeri.

Dalam kenyataan tampak bahwa kredit luar negeri via kredit investasi menjadi

modal nasional yang setelah bergabung dengan modal asing dalam joint ventures

dapat digolongkan sebagai penanaman modal. Kebijaksanaan pemerintah untuk

memberikan kredit investasi kepada para pengusaha nasional yang kemudian

mengadakan kerja sama (joint ventures) dengan penanam modal asing sudah dapat

digolongkan menjadi penanaman modal asing meskipun jalan yang ditempuh sangat

berbelit belit. Dalam praktik penanaman modal dengan kredit investasi ini banyak

dilakukan oleh para pemodal dalam negeri untuk membiayai setiap proyeknya yang

ada di Indonesia.14

7. Portofolio Investment

13
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2016 hlm. 70
14
Ibiid hlm 71
Penggabungan modal asing dengan modal nasional dalam bentuk portfolio

investment tidak diatur dalam ketentuan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal, akan tetapi di dalam praktik yang di lakukan oleh para pemodal

dalam negeri, khususnya pemodal WNI ke turunan, penanaman modal asing semacam

ini telah lama dilaksanakan dan dilakukan secara meluas. Sunaryati Hartono 15

menyatakan bahwa oleh karena cara ini dilakukan dengan diam-diam (disguised),

maka sukar sekali untuk memperoleh angka-angka yang terang mengenai pemben

tukan penanaman modal jenis ini. Lagi pula, cara yang terselubung ini menyebabkan,

bahwa bentuk penggabungan modal nasional dan asing tidak dianggap dan

diperhitungkan sebagai penanaman modal, khusus nya penanaman modal asing.

Namun dalam praktik yang termasuk dalam kategori ini adalah penanaman modal

yang dilakukan melalui pembelian saham baik di pasar modal, maupun penempatan

modal pihak ketiga dalam perusahaan (strategic partner atau private placement).

15
Sunaryati Hartono, Op. Cit., hlm 156

Anda mungkin juga menyukai