Tugas 3 Hukum Pidana Internasional Ade Vio Sarwando, 043431075

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

NAMA : ADE VIO SARWANDO

NIM : 043431075

TUGAS 3 HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

1. Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979, Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara
yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu
kejehatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara
yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan
menghukumnya.

Dalam pemberian Ekstradisi tentunya pemerintah Indonesia tidak dapat memberikan


secara sembarangan kepada ada negara rusia, harus ada tahapan-tahapan yang dilalui
apabila suatu negara ingin mengadakan ekstradisi dengan negara lainnya, sedangkan pada
kasus diatas secara jelas tertulis bahwa Rusia dan Indonesia belum menjalin perjanjian
mengenai ekstradisi. Sehingga Indonesia tidak berkewajiban menerima permintaan dari
negara rusia tersebut. 

Tentunya ada tahapan-tahapan dalam teknis yang harus dilakukan kan oleh negara yang
ingin melakukan Perjanjian ekstradisi, yang pertama adalah Harus adanya pembahasan
secara mendalam mengenai latar belakang Dan hal-hal apa saja yang harus disepakati oleh
kedua negara yang nantinya hasil kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam nota
kesepahaman atau yang lebih dikenal dengan MoU kemudian dilakukan pembuatan Mutual
Legal Asistance (MLA) dan disahkan dalam bentuk undang-undang transfer of tentence
person.Sehingga apabila MoU tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak baik itu
negara Indonesia dan negara rusia maka langkah selanjutnya adalah harus adanya
penandatanganan yang dilakukan Presiden Republik Indonesia.

Dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 menyebutkan ekstradisi dilakukan atas dasar suatu ”perjanjian”
(treaty) antara suatu negara dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan dengan
undang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar
”hubungan baik” dan jika kepentingan negara Republik Indonesia menghendakinya.

Dalam pasal ini tentunya kita dapat mengambil intisari bahwa jika belum ada perjanjian
ekstradisi, tetapi apabila negara Republik Indonesia menghendaki Rusia untuk
menghakimi warganegaranya yang lari ke Indonesia itu bisa.

2.
-Adapun pelanggaran HAM terkait kasus diatas termasuk dalam pelanggaran HAM berat 
karena menurut pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Dapat kita lihat di dalam kasus tersebut presiden megami lama memerintahkan para
tentaranya untuk Membakar fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah milik etnis
Zamani, yang mana pada saat itu etnis Zamani mayoritas dihuni oleh masyarakat kelas
menengah ke bawah. Bahkan para pihak militer dari etnis Tenggiri tidak pandang bulu
dalam membunuh, mereka melakukan pembunuhan dan penyerangan terhadap setiap
warga yang melindungi fasilitas sekolah tempat ibadah atau Mun bangunan umum lainnya
bahkan anak-anak dan perempuan pun menjadi korban, padahal secara hukumnya anak-
anak dan perempuan itu tidak boleh digunakan ataupun dilukai walaupun negara tersebut
sedang mengalami konflik, tentunya kasus ini masuk dalam pelanggaran HAM berat
sehingga serasa dunia harus turut andil dalam penyelesaian masalah ini karena telah
menyangkut apapun merugikan para warga sipil yang ada di dalamnya. Menghadapi
masalah pelanggaran HAM yang terjadi di setiap negara di dunia, diperlukan sanksi
internasional yang mengacu kepada ketentuan dalam Statuta Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) atau SMPI atau Statu Roma (SR. 1998) atau
dapat juga mengacu kepada praktik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti di
Rwanda (1994).

- Iya, International Criminal Court (ICC) memiliki yuridiksi karena Statuta Roma
memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan
terhadap perikemanusiaan, dan kejahatan perang. Perlu diketahui juga bahwa Kejahatan-
kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta
Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil Yang mana tujuan dari Presiden Som Melalui pasukan
militernya adalah melakukan Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik,
ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, dan jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur
dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui
sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional dan Penghilangan seseorang
secara paksa; Hal ini tentunya sangat tidak sesuai dengan pasal 7 statuta roma. Pada
dasarnya yang perlu kita ketahui bahwa “Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI)
bersifat komplementer terhadap yuridiksi pengadilan nasional”. tetapi hal ini dapat di
kecualikan jika negara tersebut tidak berkeinginan atau tidak mampu melaksanakan tugas
penyidikan atau penuntutan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.

1. Proses peradilan atau putusan pengadilan yang dijatuhkan ditujukan untuk melindungi
seseorang dari pertanggungjawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam SMPI/SR.

2. Proses persidangan ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas dan dapat


dipertanggungjawabkan sehingga tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili
seseorang ke hadapan sidang pengadilan.
3. Persidangan dilaksanakan tidak secara independent atau bersifat memihak sehingga
tidak konsisten dengan tujuan pemberian sanksi melalui sidang pengadilan.

Sehingga dapat kita ambil kesimpulan bahwa apabila negara megami tidak dapat
menyelesaikan masalah tersebut maka mahkamah pidana internasional bisa melakukan
penyelidikan dan penuntutan serta pihak yang yang terbukti bersalah akan diberikan
sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, tentunya hal ini dirasa sangat adil melihat
dari korban dan juga penyerangan yang dilakukan secara berurutan terhadap para etnis
Zamani. 

3. perlu di garis bawahi bahwa prinsip mengenai pertanggungjawaban komando


merupakan prinsip terhadap pimpinan atau atasan sipil yang mengetahui terjadinya suatu
kejahatan serta memiliki kemampuan untuk mencegah kejahatan tersebut terjadi namun
tidak melakukannya, maka dianggap telah melakukan kejahatan tersebut.

Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) menyatakan “Prajurit
tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer
dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum
yang diatur dengan undang-undang”. perlu diketahui bahwa undang-undang yang secara
khusus mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh militer adalah UU Peradilan
Militer. Pasal 9 dan Pasal 10 UU Peradilan Militer masih mengatur bahwa tindak pidana
yang dilakukan prajurit diadili di peradilan militer.

Jadi dalam kasus tersebut pertanggungjawaban komando tidak perlu dilakukan karena hal
tersebut telah direncanakan oleh anggota yang ingin melakukan penyerangan terhadap 4
narapidana tersebut karena telah membunuh salah satu anggotanya Ada juga menteri
pertahanan pada saat itu yaitu bapak Pramono mengatakan bahwa penyerangan tersebut
tidak mendengar HAM berat sehingga tidak perlu Dibentuk dewan kehormatan militer
Karena pembunuhan tersebut tidak direncanakan secara sistematik oleh pemimpin
anggota maupun pasukan yang ingin melakukan tindak pembunuhan tersebut. 

Sumber :

-Undang Undang  Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

-Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi

-bbc.com

Anda mungkin juga menyukai