IJTIHAD Kel 2 Tbind
IJTIHAD Kel 2 Tbind
IJTIHAD Kel 2 Tbind
IJTIHAD
Untuk memenuhi mata kuliah Fiqh
Dosen Pengampu : Fiena Saadatul Ummah, M. Pd.
Di susun oleh :
MOH IBNU ISBAT 21381071078
ANITA SARI KURNADI 21381072005
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt yang mana telah
memberikan kita taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah
yang berjudul “Ijtihad.” Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh pada Institut
Agama Islam Madura.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Kelompok II
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................
A. Pengertian Ijtihad.................................................................................................
B. Objek Ijtihad.........................................................................................................
C. Hukum Ijtihad.....................................................................................................
D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid...........................................................................
E. Pengertian Taqlid................................................................................................
F. Hukum Taqlid.....................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................................
B. Saran...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum islam adalah sistem hukum yang
bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan
konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi
hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spritual dari
kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum.
Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan
semata. Sedangkan Joseph Schact mengartikan hukum islam sebagai totalitas
perintah Allah yang mengatur umat Islam dalam keseluruhan aspek
kehidupan, baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik, pendidikan,
ekonomi hukum.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan
Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang
ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas
ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh
bertentangan dengan isi kandungan Al-Qur’an dan Hadist.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Ijtihad?
b. Apa Objek dari Ijtihad?
c. Apa syarat-syarat Ijtihad?
d. Apa hukum melakukan Ijtihad?
e. Apa saja tingkatan-tingkatan Mujtahid?
f. Apa yang dimaksud dengan Taqlid?
g. Bagaimana hukumnya Taqlid?
C. Tujuan
a. Untuk bisa mengetahui Pengertian Ijtihad.
4
b. Untuk bisa mengetahui Objek dari Ijtihad.
c. Untuk bisa mengetahui Syarat-syarat Ijtihad.
d. Untuk bisa mengetahui Hukum Ijtihad.
e. Untuk bisa mengetahui tingkatan-tingkatan Mujtahid.
f. Untuk bisa mengetahui Pengertian Taqlid.
g. Untuk bisa mengetahui Hukum Taqlid.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengertian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’wa al-majhud” (pengarahan daya dan
kemampuan), atau “pengarahan segala daya dan kemampuan dalam suatu
aktivitas dari aktivitas yang berat dan sukar”.1
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Sastria Effendi
mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fiqh akan
kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”2 Pada definisi ini kita
dapat melihat penggunaan istilah ahli fiqh, maksudnya adalah pihak yang
melakukan ijtihad yaitu mujtahi. Pada definisi lain yang diungkapkan al-
Bhaidawi istilah tersebut tidak digunakan karena sudah dianggap maklum
bahwa orang yang melakukan ijtihad pastinya seorang ahli fiqh. Beliau
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam
upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
Kemudian dikalangan para ulama, ijtihad ini khusus digunakan dalam
pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (Al
Faqih) menurut Wahbah al-Zuhaili ialah perbuatan-perbuatan istinbath
hukum syariat dari segi dalil-dalilnya yang terperinci didalam syari’at.
Namun ada pula yang mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas,
tetapi pendapat itu tidak disetujui oleh al-Ghazali di dalam al-
Musthashafa. Menurutnya, itu adalah keliru sebab ijtihad itu lebih umum
dari pada qiyas, terkadang ijtihad memandang di dalam keumuman dan
lafadh-lafadh yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain dari pada
qiyas.
1
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 73.
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 245.
6
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran untuk menemukan hukum agama
(Syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara tertentu, sebab
tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha
tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan
sudah tentu cara ini tidak disebut ijtihad.3
Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad
ialah usaha yang dilakukan oleh seorang ahli fiqh dengan sungguh-
sungguh untuk menggali suatu hukum syara’ atau yang bersifat amaliah
dari dalil-dalil yang rinci. Dan menurut kami ijtihad lebih luas dibanding
dengan qiyas karena qiyas sendiri adalah salah satu metode dalam
berijtihad.
B. Objek Ijtihad
Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum baik sudah ada nashnya
yang bersifat zanni maupun belum ada hasilnya sama sekali. Terbuka
bebasnya ijtihad dalam hukum islam, tidak berarti bahwa setiap orang
boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang telah
memiliki syarat-syarat tertentu pula, baik yang berhubungan dengan sikap
ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan.4
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek
ijtihad adalah masalah-masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi
datangnya dari rosu, atau dari pengertiannya.5
Dengan demikian, syari’at islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian :
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihat, yaitu hukum-
hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang
3
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm. 162
4
Idrus H. Alkaf. Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman, (CV Ramadhani: Solo, 1988), hlm.19
5
Effendi, Satria.,M.Zein, Ushul Fiqh, cet.3, (Jakart: Kencana, 2005), hlm. 250-251.
7
berdasarkan dalil-dalil yang qathi, seperti kewajiban melaksanakan
shalat, zakat, puasa, haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan
lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtiha, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang dzanni, baik maksudnya, petunjuk,
serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ajma’ para ulama’.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih zanni, hadis ahad
misalnya, maka yang menjadi larangan ijtihad diantaranya adalah
meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nash nya, maka
yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan
kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,
maslahah, mursalah, dan lain-lain.6
A. Syarat-syarat Ijtihad
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti bahwa setiap
orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang memiliki syarat
tertentulah yang mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah:7
a. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya. Hal ini karena objek
pertama bagi orang berijtihad ialah pemahaman terhadap nash-nash Al-
Qur’an dan Hadist yang berbahasa arab. Sehingga ia dapat menetapkan
aturan-aturan bahasa dalam pengambilan hukum darinya.
b. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang
dibawa oleh Al-Qur’an beserta ayat-ayatnya dan mengetahui cara
pengambilan hukum dari ayat-ayat tersebut. Sehingga apabila terjadi
suatu peristiwa ia dapat menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan demikian setiap persoalan hukum dalam Al-Qur’an dipelajari
dalam hubungannya dengan keseluruhan persoalan tersebut, karena
ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain, namun apabila
6
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet IV, (Bandung: CV: Pustaka Setia, 2010), hlm.107.
7
Ahmad Badi’, Jurnal Ijtihad: Teori dan Penerapannya, Vol. 24, No. 2, September 2013, hlm.
39-42
8
dalam pemahamannya dipisahkan satu sama lain, adanya kekeliruan
penafsiran tidak dapat dihindarkan.
c. Mengetahui Hadis-Hadis Nabi SAW yaitu yang berhubungan dengan
hukum-hukum syariah sehingga ia dapat mendatangkan hadis-hadis
yang diperlukan dengan megetahui keadaan sanadnya. Seperti halnya
tafsir-tafsir hukum, dalam lapangan hadis juga ada kitab-kitab khusus
mengumpulkan hadis-hadis yang berhubungan dengan hukum dan
diurutkan menurut isi pembicaraannya.
d. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah
penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang ada nashnya dan
yang tidak ada nashnya. Selain itu harus mengetahui urf orang dan
jalan-jalan yang dapat banyak mendapatkan kebaikan atau
keburukannya. Dengan demikian apabila orang yang berijtihad dengan
tidak dapat memakai qiyas dalam masalah yang dihadapi, ia dapat
memakai jalan-jalan yang telah ditunjukkan oleh Syara’.
e. Mampu menghadapi nash-nash yang berlawanan, kadang-kadang dalam
suatu persoalan terdapat beberapa ketentuan yang berlawanan. Nash-
nash yang berlawanan tersebut ada kalanya dapat diketahui. Kalau tidak
diketahui, nash yang datang belakangan membatalkan nash yang
dikeluarkan terlebih dulu. Adapun bila tidak dapat diketahui sejarahnya,
pertama-tama diusahakan pemanduan diantara keduanya. Kalau hal ini
tidak dapat dilakukan, harus diadakan perjanjian terhadap salah satunya.
Artinya dicari yang lebih kuadrati semua seginya, menurut cara-caranya
yang banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh.
Sehubungan dengan ini, seorang yang berijtihad harus mengetahui
masalah-masalah yang menjadi kesepakatan para fuqaha dan masalah-
masalah lain yang masih diperselisihkan.
Syarat tersebut hanya diperlukan bagi seorang mujtahid mutlak, yang
mengadakan ijtihadnya dalam semua lapangan hukum. Akan tetapi bagi
orang yang mengadakan ijtihad sebagian-sebagian, seperti dalam lapangan
9
nikah saja, ia hanya memerlukan hukum-hukum yang berhubungan dengan
lapangan tersebut.
Sebenarnya jarang ditemukan seorang mujtahid dalam lapangan
tertentu saja. Misalnya dalam hukum keluarga tetapi tidak menjadi tidak
menjadi orang mujtahid dalam lapangan muamalah (keperdataan). Hal ini
karena pengertian ijtihad yang sebenarnya ialah suatu kemampuan tersebut
yang memungkingkan seorang memahami nash-nash hukum dan
mengambil ketentuan hukum darinya apabila tidak ada nas. Oranh yang
mempunyai kemampuan tersebut tentunya melakukan ijtihad pada setiap
lapangan.
Memang dapat dipahami jika seseorang hanya mendalami sesuatu
lapangan saja. Akan tetapi mengenai ijtihad tidak perlu dipertalikan
dengan lapangan keahliannya tersebut sebab dasar berpijak bagi seorang
mujtahid ialah pemahamannya terhadap dasar-dasar yang umum dan jiwa
hukum yang menjadi dasar penentuan hukum. Dasar-dasar umum dan jiwa
hukum tersebut tidak terbatas pada satu lapangan saja. Boleh jadi alasan
penetapan hukum pada satu lapangan lain. Jadi seseorang baru dapat
dikatakan mujtahid apabila ia mempunyai pengetahuan rangkap tentang
hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadis, sehingga mampu
memperbandingkannya satu sama lain dan memahami dasar-dasarnya
yang umum yang pada akhirnya dapat mengadakan kesimpulan yang
benar.
Disamping syarat-syarat tersebut, seorang mujtahid juga harus:
a. Mengetahui ilmu ushul fiqh secara mantap karena ilmu ini merupakan
dasar dan pokok dalam berijtihad.
b. Mengetahui ilmu-ilmu kemasyarakatan sebab penentuan hukum sangat
erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat atau lingkungan.
C. Hukum Ijtihad
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum
yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.
10
Hukum dalam melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi
syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardhu’ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia
harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
b. Fardhu’ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada
hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan
dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam
mengetahui kejadian tersebut.
c. Fardhu Kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain
yang lain yang telah memenuhi syarat.
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru,
baik ditanya ataupun tidak.
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’i
karena bertentangan dengan syara’.
D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Abu zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid
mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-
tarjih.
1. Mujtahid Mustaqil (independen) adalah orang-orang yang melakukan
ijtihad langsung secara keseluruhan dari Quran dan Hadis. Serta mereka
sendiri mempunyai metode istinbath, dan mereka sendirilah yang
menetapkan metode istinbath itu dalam berijtihad untuk membentuk
hukum fiqh.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh,
meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun
tetap berpegang kepada ushul fiqh salah seorang imam mujtahid
muastaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqh Abu Hanifah. Akan
tetapi mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan salah satu
mujtahid mustaqil.
11
3. Mujtahid fi al-madzhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqh
dan furu’ bertaqlid pada imam mujtahid tertentu. Mereka disebut
mujtahid karena mereka berijtihad dalam mengistinbathkan hukum
pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan buku-buku
madzhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi
melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan
hukumnya dalam buku-buku fiqih madzabnya.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan
mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai
madzhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih
atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang
ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-
ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup
melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana
keunggulannya.8
E. Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada,
yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.9
Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah “Taqlid
adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada
taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam
urusan ushul maupun dalam urusan furu’.“
Al-asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.”
Dari definisi diatas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam
pembicaraan taqlid, yaitu:
a. Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang.
8
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm.256
9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus IlmuUshul Fiqh, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), hlm.324
12
b. Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-
Qur’an dan hadist tersebut.10
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
Yang Pertama : Seorang yang taqlid (munqollid) adalah orang awam
yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidhal)
dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan
firman Allah SWT:
َو َمٓا اَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ اِاَّل ِر َجااًل نُّوْ ِح ْٓي اِلَ ْي ِه ْم فَا ْسـَٔلُ ْٓوا اَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر اِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل
َتَ ْعلَ ُموْ ۙن
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43)
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia dapati lebih
utama dalam ilmu dan waro’ (kehati-hatian) nya, jika hal ini sama pada
dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara
keduanya.
Yang kedua : Terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus
segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan
penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan
untuk bolehnya taqlid: hendaknya masalahnya (yang taqlidi) bukan dalam
ushuluddin (pokok agama/aqidah) yang wajib bagi seseorang untuk
meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti,
dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).
F. Hukum Taqlid
Adapun Hukum Taqlid terbagi 3 kelompok yaitu:
1) Taqlid yang diharamkan
- Taqlid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat
nenek moyang atau orang terdahulu, yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Hadist.
- Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan
dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia
10
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.132.
13
tidak mengetahui kemampuan, keahlian atau kekuatan berhala
tersebut.
- Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2) Taqlid yang Diperbolehkan
- Dibolehkan bertaqlid kepada seorang Mujtahid dalam hal yang belum
ia ketahui hukum Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan
persoalan dan peristiwa. Dengan syarat yang bersangkutan harus
selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang di ikuti. Jadi
sifatnya sementara.
- Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid
kepada salah satu pendapat dari keempat Imam Madzhab.
3) Taqlid yang Diwajibkan
- Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.11
11
Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fiqh,..., hlm. 326.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara
bahasa, Ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk
menemukan sesuatu keputusan hukum tentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai
sumber hukum islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-
Qur’an dan Al-Hadist.
Taqlid adalah mengambil kesimpulan dari perkataan orang lain
tanpa dalil. Taqlid ada 3 hukum yaitu Taqlid yang diharamkan, yang
dibolehkan dan taqlid yang diwajibkan.
B. Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan
yang lebih mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum
islam.
15
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. “Ushul Fiqh”. (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 245.
Effendi, Satria., M.Zein. “Ushul Fiqh”. cet.3, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.
250-251.
Syafe’i, Rachmat. “Ilmu Ushul Fiqh”. Cet IV, (Bandung: CV: Pustaka Setia,
2010), hlm. 107.
Badi’, Ahmad. Jurnal Ijtihad: Teori dan Penerapanya, Vol. 24, No. 2,
September 2013, hlm. 39-42.
Effendi, Satria. “Ushul Fiqh”. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
hlm. 256.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. “Kamus Ilmu Ushul Fiqh”.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 324.
Koto, Alaiddin. “Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 132
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir. “Kamus Ilmu Ushul Fiqh”, hlm. 326.
16