Makalah Revisi Ushul Fiqh
Makalah Revisi Ushul Fiqh
Makalah Revisi Ushul Fiqh
FAKULTAS USHULUDDIN
BANTEN
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas pertolongan, Hidayah, dan inayahnya saya dapat
menyelesaikan tugas makalah individu ini, karena berkat Rahmat dan karunia-
Nya,makalah ini dapat diselesaikan. Terimakasih kepada anggota kelompok III yang
telah berusaha dan bekerja keras dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
selain diperuntukkan dalam pemenuhan tugas Fiqh-Ushul Fiqh, juga berguna dalam
memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang Itihad dan Problematikanya
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dan membangun. Demikian yang dapat saya
sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih wassalamu'alaikum
WR.WB
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.4.Syarat-syaratIjtihad ? 10
Kesimpulan 23
DAFTAR PUSTAKA 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah pada
zaman Rasulullah. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang
ini.Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,
ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula, ijtihad
mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu
keharusan untuk menanggapi kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.1
1
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kharisma Putra Purnama, 2008) hlm. 266
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kata ijtihad (Ar: Ijtihad) berakar kata dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah
(daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-
masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu ijtihad menurut pengertian
kebahasaannya bermakna"badzl al-wus' wa al-majhud" (pengerahan daya
dan kemampuan), atau "pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivis yang berat dan sukar.2
ﺍﺳﺘﻘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﺍﻟﻮﺍﺳﻊ ﻓﻰ ﻃﻠﺐ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﻳﺤﺴﻦ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺰﻳﺪ
Dari pengertian kebahasaan terlihat ada dua unsur pokok dalam ijtihad daya
atau kemampuan, obyek yang sulit dan berat. Daya atau kemampuan di sini
dapat diaplikasikan secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mental-
spiritual, dan intelektual. Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam
juga tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan
keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian
Ijtihad lebih banyak mengacu kepada pengerahan kemampuan intelektual
dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik oleh
individu maupun ummat Secara menyeluruh.
2
ijtihad dalam pengertian umum ini, mengakui eksistensi ijtihad tersebut
sebagai ijtihad fi tashil al-hukm al-'ilmi (dalam mencapai ketentuan ilmu
pengetahuan)
4
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, (Jakarta : PT Logos Wacana, 1999), hlm. 76
3
boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini.
ﻭﺍﻣﺎ ﺍﻻﺟﺘﺤﺎﺩ ﻓﻬﻮ ﺑﺬﻝ ﺍﻟﻮﺳﻊ ﻓﻲ ﺑﻠﻮﻍ ﺍﻟﻐﺮﺽ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺤﺼﻞ ﻟﻪ
Dasar hukum ijtihad dalam menggali hukum islam atau ijtihad sebagai
metode istinbat hukum ada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan juga Hadist
diantaranya :
5
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, (Jakarta : PT Logos Wacana, 1999) , hlm.77.
6
Imam Haromain, Waraqat, (Surabaya, Imarotullah), hlm 26.
7
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponogoro, 2010), hlm. 95
4
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) kami, benar benar
akan kami tunjukan kepada meraka jalan-jalan kami dan sesungguhnya
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”8
Menurut al- Ghazali, objek Ijtihad adalah setiap hukum Syara' yang tidak
memiliki dalil yang qath'i. Dari pendapatnya itu diketahui ada permasalahan
yang tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Dengan demikian, syari'at Islam dalam
kaitannya dengan Ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Apabila ada Nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis Ahad misalnya,
maka yang menjadi lapangan Ijtihad diantaranya adalah meneliti bagaimana
sanadnya, derajatnya para perwainya dan lain-lain.
Dan Nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan
Ijtihad antara lain bagaimana maksud dan Nash tersebut, misalnya dengan
memakai kaidah 'am, khas, mutlaq, muqayyad dan lain-lain.
8
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponogoro, 2010), hlm. 404
5
dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak di perdebatkan di kalangan
para ulama.
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas
dan pasti.
Ijtihad menurut istila ulama ushul adalah mengerahkan segala daya untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara’.9
Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya itu telah ditunjukkan
oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti,
maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan
pemahaman yang ditunjukkan nash. Karena selama dalil itu pasti datangnya,
maka obyek pembahasan dan sasaran pengerahan daya. Selama dalil itu
pasti maknanya, maka petunjuk atas makna dan pengambilan hkum darinya
bukan sasaran pembahasan dan ijtihad.
Setelah sunnah perbuatan Nabi menjelaskan maksud dari shalat atau zakat,
maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya,
Selama nash itu sharih dan ditafsiri dengan bentuknya atau diikuti dengan
penjelasan dan keterangan syar’i maka tidak ada peluang berijtihad pada
masalah tersebut. Contoh ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsiri dengan hadis
mutawatir yaitu seperti hadis tentang harta yang wajib dikeluarkan zakatnya,
ukuran nishab masing-masing harta itu serta ukuran yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), cet 1, hlm 317.
6
perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid tentang hukum sebangsa
perbuatan.
Kemuadian mujtahid adalah bentuk kata fa’il (pelaku) yang berarti orang
yang bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuannya
yang rasional, menggali (mempelajari) ajaran islam yang tertuang dalam Al-
Qur’an dan Hadist, dengan analisanya yang tepat, memberikan pertimbangan
tentang hukum-hukum islam.12
1. Mujtahid Mustaqil
10
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), cet, hlm 319.
11
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm 610.
12
Fauzul Iman, “Ijtihad dan Mujtahid,” Al-Qalam 21, no. 100 (Januari-April 2004): 3,
http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqolam/article/view/1645
7
dzara’i.Dengan kata lain,mereka berwenang menggunakan seluruh metode
istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman,tidak mengekor kepada
mujtahid lain.Mereka merumuskan metodologi istihad nya sendiri dan
menerapkannya pada masalah-masalah furu’ (cabang) pendapatnya
kemudian disebar luaskan ketengah masyarakat. Termasuk dalam kategori
mujtahid ini, adalah seluruh fuqoha sahabat, fuqoha tabi’in semisal sa’id bin
musayyad dan Ibrahim al-nakha’I, dan foqoha mujtahid seperti ja’far as-
shodiq dan ayahnya, Muhammad al baqil, abu hanifah, maliki, syafi’I, ahmad
bin hambal, al-auza’I, al-laif bin sa’ad, sufyan ats-sauri, abu tsaur, dan masih
banyak lagi. Meski madzhab mereka tidak terhimpun dalam sebuah
karangan kitab, namun di calah celah kitab-kitab yang menguraikan
perbedaan pendapat fuqoha sering ditemukan pendapat-pendapat mereka di
nuqil dengan riwayat yang tidak di ragukan kebenarannya.
2. Mujtahid Muntasib
13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 613
8
Muhammad bin hasan, serta jufar sebagai mujtahid mustaqil (independen).
Termasuk dalam kategori ini dalam madzhab syafi’I adalah al muzany,
sementara dalam madzhab malik adalah abdurrohman ibnu kasim, ibnu
wahab, ibnu abdul hakam, dan lain sebagainya.
3. Mujtahid madhzab
14
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 615
9
ijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di
dalam madhzabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal
istinbat ulama terdahulu (sabiquri) di dasarkan pada pertmbangan yang
sudah tidak relefan lagi dengan tradisi dan kondisi masyarakat dari
ulama mutaakhirin. Sekiranya ulama sabiqun itu menyaksikan
kanyataan yang di saksiakn ulama sekarang, niscaya akan mencabut
pendapatnya itu.
4. Mujtahid murajjih
15
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 617
10
rumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan diatasnya. Mereka
mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena di pandang
kuat dalilnya atau akrena sesuai dengan konteks kehidupan
masyarakat pada masa itu atau karena alasan-alasan lain, sepanjang
tidak termasuk kedalam kategori melakukan kegiatan istinbat baru
yang independen ataupun mengikuti metode istinbat imamnya.
5. Mujtahid Muwazin
6. Muhaffizh
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 618
17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 619
18
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 620
11
2.5. Syarat-syarat ijtihad
Untuk itu, dalam Kajian usul fikih, para ulama telah menetapkan syarat-
syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al
- Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat.
12
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih.19
19
Nasrun, Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, (Jakarta, PT Logos Wacana, 1999), Hlm 85.
13
(Alasan) dan hikmah hukum syara’ yang digunakan sebagai dasar
penetapan hukum. Hendaknya mengetahui semua cara yang ditempuh
syar’i untuk mengetahui alasan dan hikmah hukum, memahami ihwal
perbuatan dan muamalah manusia, sehingga ia mengetahui realisasi
illat hukum dari kejadian yang tidak memiliki nash. Hendaknya ia juga
mengetahui kemaslahatan dan tradisi manusia, mengetahui apa yang
dapat memotivasi mereka berbuat baik atau jahat. Sehingga ketika ia
tidak dapat menemukan cara untuk mengetahui hukum atas kejadian
itu denga kias, maka ia menempuh cara lain di antara cara-cara yang
digunakan oleh syari’at Islam untuk dapat mengeluarkan hukum
terhadap kejadian yang tidak memiliki nash.
3. Ijtihad itu tidak dapat dirusak dengan ijtihad yang lain. Jika
seorang mujtahid berijtihad terhadap hukum suatu kejadian dan
menetapkan hukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian dalam
kejadian itu tergamabar dalam dirinya dan ditetapkan hukum yang lsin,
maka ia tidak boleh merusak hukum yang pertama.20
1. Imam Syafi’i
20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), hlm,321.
14
Rajab.
Idris, Ayah Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-
muththolib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththolib, Dari nasab
tersebut, Al-mutthalib bin Abdi Manaf kakek Muhammad bin Idris As-
Syafi'ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad SAW.
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim nin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalalib, maka Rasulullah
bersabda:"hanyalah kami ( yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni
Bani Muththalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-
nyilangkan jari jemari kedua tangan dia."(HR. Abu Nu'aim Al-
Asfahani).21
Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah
untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun
21
Ahmad Al-Baihaqi, Biografi Imam Syafi’I, (Jakarta, Shahi, 2016), cet 1, hlm 10.
15
kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam
Hanafi di sana.
Imam Asy- Syafi'i belajar dari ulama-ulama yang cukup banyak dan
kami akan menyebutkan beberapa dari mereka yang masyhur dan juga
termasuk dari kalangan ahli fikih, fatwa dan ilmu.
Saya melihat dalam kitab ayah saya Al-Imam Dhiyauddin Umar bin Al-
Husain Ar-Razi bahwa guru-guru imam Asy-Syafi'i yang masyhur
tersebut ada sembilan belas,lima guru dari makkah,enam guru dari
madinah, empat guru dari Yaman, dan empat guru dari Irak.
Adapun mereka yang dari kota Madinah, yaitu; Malik bin Anas,Ibrahim
bin Sa'ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ismail bin Ani
Fudaik, dan Abdullah bin Nafi' Ash-Shayigh.
Dan, adapun guru-guru beliau dari Irak, yaitu; Waki' bin Al-Jarrah, Abu
Usamah Hamad bin Usamah, Ismail bin Alyah, dan Abdul Wahhab bin
Abdil Majid. Kita telah menjelaskan bahwa imam Asy-Syafi'i belajar dari
Ulama yang cukup banyak, Namun sanad yang paling baik adalah jalur
Malik bin Anas dari nafi' dari Ibnu Umar22.
2. Imam Hanafi
22
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib Imam Syafi’i, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2017),
hlm 26.
16
lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.
Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu
Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-
Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib,
bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi
keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari
keturunannya muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di
Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M.
Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang menjalani hidup didua
masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu masa akhir
kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan abbasiyyah.
3. Imam Maliki
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris
bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik
dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. Beliau lahir pada tahun 90 H dan
wafat pada tahun 179 H pada usia 89 tahun23. Adalah salah seorang
Mujtahid yang mendirikan madzab maliki. Beliau juga di kenal sebagai
salah satu ulama yang tingkat ke zuhudannya sudah tidak di ragukan
lagi,begitu pula dengan kecerdasannya, terbukti dengan Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al
Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan
ulama besar seperti Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya,
menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang
terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah
disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh
yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa
riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada
bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi
23
Syekh Muhammad Syatho Ad Dimyathi, Kifayatul Atqia (Surabaya : Darul ilmi) hlm.79
17
atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu
mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik
enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada
salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang
ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa
khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis
namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720
hadis.
Menjelang wafat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi
ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan
karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di
akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang
menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering
buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi
Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena
khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai
jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari
Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.
Ahmad bin Hanbal (781 – 855 M, 164 – 241 H)24 (Arab ) ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ
adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini
bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota
Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada
usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal
sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi
belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun.
24
Syekh, Muhammad Syatho Ad Dimyathi, Kifayatul Atqia (Surabaya : Darul ilmi) hlm.81
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Fakhruddin Ar-Razi, Imam. 2017. Manaqib Imam Syafi’i. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar,2017)
Iman, Fauzul. “Ijtihad dan Mujtahid,” Al-Qalam 21, no. 100 (Januari-April 2004):3.
http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqolam/article/view/1645
Khallaf Wahhab, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
20