Kelompok 5 - Askep Pertusis
Kelompok 5 - Askep Pertusis
Kelompok 5 - Askep Pertusis
KELOMPOK 5
1. Mellynda Fania R. G0A021100
2. Rhisma Maulita N. C. G0A021101
3. Siti Alyah Yanasiroh G0A021102
4. Sri Khayatiningsih G0A021103
5. Rohmatul Fitri G0A021104
6. Asriya Hamidana G0A021105
7. Riska Cesarnia O. G0A021106
8. Mahdiyah Setyaningrum G0A021107
9. Sabrina Devka N. G0A021109
10.Dwi Anggi Muktiasari G0A021110
A. PENGERTIAN
Pertusis adalah gangguan pernapan akut dengan batuk paroksismal (batuk menyalak)
dan sekresi yang yang ditands banyak. Insidens tertinggi terjadi pada anak yang benais
kurang dari 1 tahun dan anak yang berusia kurang dan 6 bulan merupakan anak yang
berisiko tinggi untuk penyakit berat dan kematian (Centers for Disease Control and
Prevention, 2010e). Penyakit disebabkan oleh Bordetella pertusis. Periode inkubasi adalah 6
hingga 21 hari, biasanya7 hingga 10 hari. Pertusis biasanya dimulai dengan 7 hingga 10 hari
gejala flu. Batuk paroksismal dan kemudian serta dapat bertahan 1 hingga 4 minggu.
Konvalesens terjadi selama lebih dari beberapa minggu hingga bulan. Awalnya, imunisasi
menurunkan insidens pertusis, tetapi sejak tahun 1980-an terjadi peningkatan bertahap
(Centers for Disease Control and Prevention, 2011b). Pada beberapa tahun belakangan ini,
terjadi peningkatan kasus pertusis dan laporan perjangkitan terlokalisasi, khususnya di
remaja dan orang dewasa (Centers for Disease Control and Prevention, 2011b). Dengan
demikian, anak yang berusia lebih dari 11 tahun dan orang dewasa saat ini memerlukan
booster satu imunisasi Tdap (tetanus, difteria & pertusis) (Centers for Disease Control and
Prevention, 2011b, 2011c). Selama lebih dari beberapa tahun terakhir peningkatan insidens
penyakit pada anak usia 7 hingga 10 tahun telah dilaporkan. Advisory Committee on
Immunization Practice (ACIP) merevisi rekomendasinya dan rekomendasi saat ini
penggunaan Tdap pada anak usia 7 hingga 10 tahun dalam imunisasi (Centers for Disease
Control and Prevention, 2010, 2011c). Bayi dan anak kecil terus memerlukan untuk
mendapat lima dosis DTaP (difteria, tetanus, dan pertusis) di usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan,
15 hingga 18 bulan, dan 4 hingga 6 tahun. Komplikasi pertusis, antara lain hipoksia, apnea,
pneumonia, kejang, ensefalitis, dan kematian.
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta, whooping cough, batuk rejan. Penyebab
pertusis adalah Bordetella pertussis atau Haemophilus pertussis. Bordetella pertussis adalah
suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan didapatkan dengan cara melakukan
pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam pada agar
media Bordet-Gangou. Basil pertusis yang didapatkan secara langsung adalah tipe
antigenetik fase I, sedangkan yang diperoleh melalui pem- biakan dalam bentuk lain ialah
fase II, III, dan IV.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Di tempat yang padat penduduknya dapat
berupa epidemi pada anak. Infeksi yang terjadi pada satu keluarga akan cepat menjalar pada
keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur tidak ada kekebalan pasif
dari ibu. Penyakit ini terbanyak mengenai anak umur 1-5 tahun dan lebih banyak anak laki-
laki daripada anak wanita. Cara penularan mclaluj kontak dengan pasion pertusis.
Pemberian imunisasi dapat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertusis.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Transmisi B. pertussis terjadi saat terpajan dengan droplet aerosol dari saluran napas
individu yang terinfeksi atau dari kontak langsung dengan sekresi nasofaring individu
tersebut. Periode inkubasi biasa- nya 7-10 hari. Meskipun pertusis dapat terjadi pada
berbagai usia, penyakit yang berat paling sering ter- jadi pada bayi dan anak kecil. Bayi dan
anak kecil sering terinfeksi oleh saudara kandung yang lebih tua dan orang dewasa yang
mengalami penyakit ringan atau atipikal. Sekitar 80% individu yang rentan meng- alami
infeksi pertusis setelah kontak dekat dengan anggota keluarga yang terinfeksi. Imunisasi
mengu- rangi angka insiden dan mortalitas pertusis, namun imunisasi tidak memberikan
imunitas yang permanen atau lengkap. Dua vaksin buster yang baru untuk remaja dan orang
dewasa, Boostrix dan Adacel, meng- hasilkan antibodi yang dapat berkurang dengan ke-
cepatan yang sama setelah infeksi B. pertussis alami. Vaksin ini membantu mencegah
penyebaran penyakit dari remaja dan orang dewasa kepada bayi dan anak.
Pertusis berkembang melalui tiga tahap. Selama tahap kataral, yang berlangsung 1-2
minggu, gejala infeksi saluran napas atas yang ringan, seperti ingus- an, bersin, dan batuk
terjadi. Tahap paroksismal, yang berlangsung 2-4 minggu, ditunjukkan dengan batuk
paroksismal atau spasmodik, disertai batuk rejan inspiratori yang khas. Spasme batuk sering
diikuti dengan muntah. Selama tahap konvalesensi, yang biasanya berlangsung 1-2 minggu,
keparahan dan frekuensi gejala secara bertahap berkurang meski- pun batuk dapat tetap
terjadi selama beberapa bulan. Batuk paroksismal dan muntah pascabatuk merupa kan
gejala yang paling sering terjadi. Komplikasi per- tusis adalah episode apnea, pneumonia,
dehidrasi, penurunan berat badan, kejang, dan jarang terjadi, ensefalopati atau kematian.
Kultur nasofaring me negakkan diagnosis infeksi pertusis.
Terapi pertusis bersifat suportif dan dapat meli- puti hidrasi, nutrisi, oksigen, dan
pemantauan kom- plikasi jantung-paru. American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan eritromisin sebagai terapi untuk mencegah transmisi pertusis. Efek
samping gastrointestinal (seperti mual, emesis, dan diare) dan peningkatan risiko stenosis
pilorus pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan dapat terjadi akibat peng- gunaan
eritromisin. Makrolida generasi baru (mis., azitromisin [Zithromax] dan klaritromisin
[Biaxin]) memiliki risiko efek samping yang lebih sedikit dan angka eradikasi bakterial
yang sama seperti eritro- misin. Kortikosteroid, bronkodilator, antihistamin, dan
imunoglobulin spesifik-pertusis terkadang diguna- kan sebagai terapi tambahan. Jika anak
tidak ditangani selama tahap kataral, anak dianggap dapat menular- kan penyakit hingga 3
minggu setelah tahap parok- sismal berakhir atau hingga 5 hari setelah antibiotik mulai
diberikan. Antibiotik profilaksis direkomendasi- kan pada anak yang kontak dekat dengan
individu yang terinfeksi, terutama individu yang belum men- dapatkan imunisasi lengkap
yang juga kontak dekat dengan anak yang berisiko tinggi.
D. MANISFESTASI KLINIK
Masa tunas: 7-14 hari; penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan
terbagi dalam 3 stadium, yaitu:
1. Stadion kataralis
2. Stadium spasmodic
Lamanya 2-4 minggu. Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan
terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Pasien tampak berkeringat, pembuluh
darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga pasien tampak
gelisah dengan muka merah dan sianotik. Serangan batuk panjang, tidak ada
inspirium diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan napas panjang dan dalam
berbuny melengking). Sering disertai muntah dan banyak sputum yang kental. Anak
dapa terberak-berak dan terkencing-kencing. Pada penyakit yang berat dapat terjad
perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis karena meningkatnya tekanan pada wakt
serangan batuk. Aktivitas seperti tertawa dan menangis dapat
menimbulkan seranga batuk.
E. PENATALAKSANAAN
A. Medis
1. Antibiotik
a. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini
menghilangkan pertusis dari nasofaring dalam 2-6 hari (rata-rata 3-6 hari),
dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritro-
misin juga "menggugurkan" atau menyembuhkan pneumonia. Oleh karena itu,
sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada bayi muda.
b. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
c. Lain-lain; kloramfenikol; tetrasiklin, kotrimoksazol dan lainnya
B. Keperawatan
Anak yang menderita pertusis tidak dirawat di rumah sakit walaupun anak menjadi
sangat kurus (bahaya penularan lebih besar) kecuali ada sebab lain. Masalah yang perlu
diperhatikan adalah gangguan kebutuhan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, risiko
terjadi komplikasi, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
F.PENGKAJIAN FOKUS
a) FAKTOR RESIKO
Faktor risiko yang paling penting untuk perkembangan pertusis adalah kurang
imunisasi. Riwayat dapat menunjukkan gejala flu dan batuk, berkembang menjadi masa
batuk paroksismal. Selama paroksimal, anak mungkin batuk 10 hingga 30 kali berturut-
turut, diikuti dengan suara menyalak. Hal ini mungkin disertai kemerahan di wajah,
sianosis progresif, dan protrusi lidah. Saliva, mukus, dan air mata mengalir dari mulut,
hidung, dan mata. Antara episode paroksismal, anak mungkin beristirahat dengan baik
dan tampak secara relatif tidak terpengaruh. Auskultasi paru untuk mengkaji pertukaran
gas. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan beragam uji laboratorium disertai riwayat
klinis. Kultur dianggap metode terbaik, tetapi reaksi rantai polimerase (polymerase
chain reaction, PCR) digunakan oleh beberapa laboratorium akibat peningkatan
sensitivitas dan hasil yang lebih cepat (Centers for Disease Control and
Prevention, 2011b).
b) PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. PATWAYS KEPERAWATAN
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kriteria hasil
a. Rata-rata pernafasan normal
b. Spotom keluar dari jalan nafas c. Pernafasan menjadi mudah
c. Bunyi nafas normal
d. Sesak nafas tidak terjack lagi
Rasional: takipnea, pernapasan dangkal,dan gerakan dada tak simetriks sering terjadi
karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan cairan paru
b. Auskultasi area paru catat arca penurunan tak ada aliran udara dan bunyi napas
atventisius misalnya krekes,mengi
Rasional: penurunan aliran udara terjadi pada area konsulidasi dengan cairan Bunyi
napas bronchial (normal pada bronkus) dapat juga terjadi pada area konsulodasi.
Krekes,ronki,dan mengi terdengar pada inspinsi dan ekspinsi pada respon terhadap
pengumoulan cairan, secret
c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan bantu pasien melakukan baruk misalnya
menekan dada dan batuk efektif
Rasional : napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-parujalan napas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nagas alami. membantu silia untuk
mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada
dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan kuat.
e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat
daripada dingin
Rasional : cairan (khususnya yang hangat) memobilisani dan mengeluarkan secret
2. Pola napas tidak efektif bd dispnes Tujuan: Menunjukkan pola napas efektif dengan
frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas atau bersih
Kriteria hasil :
termasuk pengunaan otot bantu/ pelebaran masal Rasional kecepatan biasanya meningkat.
Dispnea dan terjadi peningkatan kerja napas Kedalaman pernafasan biasanya bervariasi
tergantung derajat gagal napas Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan
atelektasis dan nyen dada pleuritic
b. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius, seperti
krekels, mengi, gesekan pleural Rasional: bunyi napas menurun tak ada bila jalan napas
obstruksi sekunder
terhadap perdarahan,bekuan atau kolaps jalan napas kecil (atelaktasis). Ronki dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan pernafasan
c Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun tempat tidur dan
ambulasi sesegera mungkin
3. Resiko tinggi infeksi terhadap (ponyebaran ). Factor resiko ketidak adekuatan pertahanan
utama (pemurinan kerja silin)
Kriteria hasil
Intervensi
a Pantan tanda vital dengan ketat khususnya selama awal terapi Rasional: selama periode
walau ini, potensial terjadi komplikasi b Anjurkan klien untuk memperhatikan
pengeluaran secret (misalnya
sekunder.
Kaji skala nya yang ilalimi klien Rasional mengetahui at skala nyeri yang di alami klien
b. Berikan hiburan untuk mengaibkan rasa nyeri Rasional nyeri dapat berkurang
4. Perubahan nutriss kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis
Tujuan meningkatkan nutrisi dan berat badan menjadi normal.
Kriteria hasil:
a. Berat badan normal
b. Nutrisi terpenuhi
c. Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
a. Pantau berat badan klien
Carmon. K. 2015. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC, 2014. hal. 486
- 488
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotik untuk batuk rejan
(pertusis) (Review). Kesehatan Anak Berdasarkan Bukti 7:3:893-956