Kejang Demam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM

Disusun oleh:
dr. Yuliana Simbiak

Pendamping: dr. Denny H.P. Saukoly

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS BHAYANGKARA
PERIODE NOVEMBER 2022 – NOVEMBER 2023
JAYAPURA

DAFTAR ISI
BAB I LAPORAN KASUS......................................................................................................3

1.1 identitas...........................................................................................................................3

1.2 anamnesis........................................................................................................................3

1.3 pemeriksaan fisik...........................................................................................................5

1.4 pemeriksaan penunjang................................................................................................8

1.5 resume.............................................................................................................................9

1.6 daftar masalah................................................................................................................9

1.7 pengkajian masalah.......................................................................................................9

1.8 diagnosis kerja..............................................................................................................11

1.9 tatalaksana awal igd.....................................................................................................11

1.10 prognosis.....................................................................................................................11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................12


2. 1. Definisi.................................................................................................................12
2. 2. Epidemiologi.......................................................................................................12
2. 3. Etiologi dan faktor risiko..................................................................................13
2. 4. Patofisiologi.........................................................................................................14
2. 5. Diagnosis.............................................................................................................15
2. 6. Diagnosis banding..............................................................................................18
2. 7. Penatalaksanaan.................................................................................................20
2. 8. Komplikasi..........................................................................................................22
2. 9. Prognosis.............................................................................................................24

BAB III ANALISA KASUS..................................................................................................25

3.1. Hipospadia..............................................................................................................25

3.2. Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang....................................................26

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................28

2
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : An. MAF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 11 bulan
Agama : Kristen
Tanggal Masuk : 23 Februari 2023
Status Pembayaran : BPJS

1.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 Februari 2023

Keluhan Utama
Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien di rujuk dari Puskesmas ke IGD dengan keluhan kejang sejak 1 hari yang lalu.
Kejang dialami selama kurang lebih 15 menit. Saat kejang pasien melihat ke atas, tangan
dan kaki lurus, mulut kaku, setelah kejang pasien menangis. Hari ini BAB cair 4x,
terdapat ampas, tidak ada lendir maupun darah. Pasien rewel dan menangis terus menerus
di rumah. Terdapat keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, demam naik turun, membaik
dengan pemberian obat penurun panas. Buang air kecil dalam batas normal. Berat badan
pasien saat ini 8 kg. Minum susu dan ASI masih baik.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, termasuk asma, kejang. Tidak pernah dirawat
sebelumnya dan tidak ada obat rutin yang dikonsumsi.

3
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat kejang demam saat kecil. Riwayat penyakit jantung dalam
keluarga disangkal. Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal. Riwayat darah
tinggi dalam keluarga disangkal. Riwayat penyakit kuning disangkal.

Riwayat Pengobatan
Obat kejang saat di Puskesmas.

Riwayat Kebiasaan
Pasien minum ASI dan susu formula. Diselingi MPASI berupa bubur.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Ibu 30 tahun, G4P3A0, ibu pasien rutin kontrol selama kehamilan ke bidan. Gangguan
selama kehamilan disangkal.
Tempat kelahiran: Puskesmas
Usia ibu saat hamil: 29 tahun
Penolong persalinan: bidan
Cara persalinan: normal
Masa gestasi: cukup bulan 39-40 minggu
Keadaan bayi: berat badan lahir 3200 gram
Panjang badan lahir 50 cm
Langsung menangis
Pucat/biru/kuning/kejang tidak ada
Kelainan bawaan tidak ada
Bergerak aktif
Kesan: neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan.

Riwayat Imunisasi
Pasien telah mendapatkan imunisasi
Imunisasi Dasar Umur
Hepatitis B0 0 bulan
BCG, Polio 1 1 bulan
DPT-HB-Hib1, Polio 2 2 bulan

4
DPT-HB-Hib1, Polio 3 3 bulan
DPT-HB-Hib1, Polio 4 4 bulan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan:
Ibu pasien tidak rutin mengukur berat badan anak ke posyandu karena sibuk bekerja. Ibu
lupa membawa buku KIA. BB saat ini 8 kg, PB 63 cm.

Perkembangan:
Saat ini pasien sudah bisa tengkurap, berguliing kanan-kiri, merespon terhadap suara,
berdiri

Riwayat Sosial
Pasien anak ketiga dari tiga bersaudara. Anak pertama usia 5 tahun, anak kedua usia 3
tahun. Pasien tinggal di daerah padat penduduk. Sehari-hari pasien diasuh oleh ibunya.

1.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tingkat Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4V5M6)
Tinggi Badan : 63 cm
Berat Badan : 8 kg

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Laju napas : 30 kali/menit, sifat abdominotorakalis
Nadi : 115 kali / menit, regular, teraba lemah
Suhu : 38,8 oC
SpO2 : 98% room air

5
Data Antropometri
Berat badan : 8 kg
Tinggi badan : 63 cm
IMT : 12,70 kg/m2
Status Gizi : Normal

Pemeriksaan Sistem
Kepala Normosefali, UUB datar
Rambut Hitam persebaran merata, tidak mudah dicabut
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+), edema
palpebra (-/-)
Leher Limfadenopati (-), deviasi trakea (-), JVP tidak diukur

THT  Telinga
Sekret (-), serumen (-)
 Hidung
Darah dan sekret dari lubang hidung (-), polip (-),
deviasi septum (-), deformitas (-), pernapasan
cuping hidung tidak ditemukan.
 Tenggorok
Faring hiperemis (-), deviasi lidah (-), atrofi papil
lidah (-), coated tounge (-), oral thrush (-), tonsil
T1/T1.
Paru – paru  Inspeksi
Bentuk punggung normal, simetris, bekas luka
operasi (-), retraksi (-), memar (-)
 Palpasi
Pengembangan rongga dada simetris, tactile vocal
fremitus normal
 Perkusi
Sonor pada kedua lapang paru /
 Auskultasi

6
Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung  Inspeksi
Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi
Iktus cordis tidak teraba, tidak teraba thrill atau
heave
 Perkusi
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri ICS IV linea axilla anterior
sinistra
Batas pinggang jantung ICS II linea parasternalis
sinistra
 Auskultasi
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Inspeksi
Supel, Distensi (-), bekas luka (-), massa (-),
 Auskultasi
Bising usus (+) meningkat, metallic sound (-), bruit
(-)
 Perkusi
Timpani
 Palpasi
Nyeri tekan (+) epigastrium, hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Ekstremitas Atas  Look
Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), edema (-/-)
 Feel
Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi
teraba kuat simetris
 Move

7
Dalam batas normal
Ekstremitas Bawah  Look
Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), edema (-/-)
 Feel
Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi
teraba kuat simetris
 Move
Dalam batas normal

1.4 Pemeriksaan Penunjang


-Laboratorium

Hematologi
Full Blood Count Result Reference Range
Haemoglobin 14,4 g/dl 14.0 – 18.0 g/dl
Hematocrit 43 % 40 - 54 %
Erythrocyte (RBC) 5,67 x 106 /μL 4.60 – 6.00 x 106 /μL
White Blood Cell (WBC) 12.600 /μL 4500 – 11500 /μL
Trombosit 253 103/ μL 150 – 450 103/ μL
MCV, MCH, MCHC
MCV 84 fL 80 – 94 fL
MCH 29 pg 26 – 32 pg
MCHC 34,5 g/dL 32 – 36 g/dL
Diff Count
Basophil 0,2 % 0–1%
Eosinophil 0,2 % 1–3%
Neutrophil 77,9 % 50 – 70 %
Lymphocytes 17 % 20 – 40 %
Monocytes 4,7 % 2–8%

Foto Thorax
Aorta tidak melebar
Jantung tidak tampak membesar

8
Paru tidak tampak infiltrat
Kedua diafragma baik
Kesan: tidak tampak kelainan pada paru dan jantung

1.5 Resume
Anak MAF, 11 bulan dengan keluhan kejang sejak 1 hari yang lalu. Kejang dialami
selama lebih kurang 15 menit. Saat kejang pasien melihan ke atas, tangan dan kaki lurus dan
mulut kaku, setelah kejang pasien menangis. Hari ini BAB cair 4x, terdapat ampas, tidak ada
lendir maupun darah. Pasien rewel dan menangis terus menerus di rumah. Terdapat keluhan
demam sejak 7 hari yang lalu, demam naik turun, membaik dengan pemberian obat penurun
panas. Berat badan pasien saat ini 8 kg. Minum susu dan ASI masih mau.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,8oC. Bising usus meningkat. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis.

1.6 Daftar Masalah


 Kejang Demam
 Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang

1.7 Pengkajian Masalah


Kejang Demam
Atas dasar Anamnesis:
 Pasien datang ke IGD diantar oleh kedua orang
tuanya dengan keluhan kejang sejak 1 hari yang
lalu. Kejang dialami selama lebih kurang 15
menit. Saat kejang pasien melihan ke atas,
tangan dan kaki lurus dan mulut kaku, setelah

9
kejang pasien menangis.
 Pasien rewel dan menangis terus menerus di
rumah.
 Terdapat keluhan demam sejak 7 hari yang lalu,
demam naik turun, membaik dengan pemberian
obat penurun panas.
Pemeriksaan fisik:
 didapatkan suhu 38,8oC
Pemeriksaan laboratorium:
 leukositosis
Dipikirkan Kejang Demam
Rencana diagnostik EEG, CT scan kepala, laboratorium
Rencana pengobatan Non medikamentosa
o IVFD Kaen 1B 90 cc/24 jam
o O2 NC 2 lpm
Medikamentosa
o Stesolid 10 mg IV
o Paracetamol 125 mg PR
o Inj. Ceftriaxone 1x750 mg
o Paracetamol 1 cth/ 6 jam PO
o Diazepam 3x2 mg PO

2. Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang


Atas dasar Anamnesis:
 Hari ini BAB pasien cair 4x, terdapat ampas,
tidak ada lendir maupun darah.
Pemeriksaan fisik:
 Dari pemeriksaan fisik bising usus meningkat
Dipikirkan Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang
Rencana diagnostik Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, feses rutin
Rencana pengobatan Non medikamentosa
o IVFD Kaen 1B 90 cc/24 jam

10
o O2 NC 2 lpm
Medikamentosa
o Lacto B 2x1 PO
o Zinc 1 x 20 mg PO

1.8 Diagnosis kerja


Kejang Demam Sederhana dan Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang

1.9 Tatalaksana awal IGD


 Non medikamentosa
o IVFD Kaen 1B 90 cc/24 jam
o O2 NC 2 lpm
 Medikamentosa
o Stesolid 10 mg IV
o Paracetamol 125 mg PR
o Inj. Ceftriaxone 1x750 mg
o Paracetamol 1 cth/ 6 jam PO
o Lacto B 2x1 PO
o Zinc 1 x 20 mg PO
o Diazepam 3x2 mg PO

1.10 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanactionam : bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. DEFINISI
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh, di mana suhu rektal mencapai >38°C. Berdasarkan konsensus penatalaksanaan
kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), diagnosis kejang demam dapat
ditegakkan jika tidak ditemukan penyakit intrakranial, seperti meningitis atau ensefalitis, dan
perlu dipastikan bahwa pasien memiliki status neurologi yang normal dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik.1
Angka kejadian kejang demam mencapai 2−4% pada anak usia 6 bulan hingga 5
tahun. Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu:
 Kejang demam sederhana: durasi <15 menit dan umumnya berhenti sendiri. Kejang
dapat berupa kejang umum (tonik dan/atau klonik) dengan maksimal 1 bangkitan
kejang dalam 24 jam
 Kejang demam kompleks: durasi >15 menit atau berulang lebih dari 2 kali, dan ada
fase tidak sadar di antara 2 bangkitan kejang. Kejang dapat berupa kejang
fokal/parsial atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Bangkitan kejang lebih
dari 1 kali dalam 24 jam 1
Kejang yang berlangsung >30 menit dan tidak terbatas hanya saat demam
diklasifikasikan menjadi status epileptikus. Kebanyakan kejang demam tidak berbahaya, dan
tidak menyebabkan kelainan neurologis maupun pertumbuhan. Akan tetapi, beberapa
penelitian mendapatkan hubungan antara kejadian kejang demam dan epilepsy.2,3

2. 2. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi kejang demam di dunia diperkirakan terjadi pada 2‒5% anak dengan
insidensi puncak pada usia 12‒18 bulan. Kejang demam diketahui lebih banyak terjadi pada
saat musim dingin. Di Indonesia, prevalensi kejang demam belum diketahui secara pasti.4

Global
Kejang demam dilaporkan terjadi pada 2‒5% anak usia 6 bulan ‒ 5 tahun pada negara
maju. Paling banyak terjadi adalah kejang demam sederhana, yaitu sebesar 70‒75% kasus.
Angka kejadian kejang demam tercatat lebih tinggi pada beberapa daerah, contohnya Jepang.4

12
Kejang demam diketahui lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan,
dengan perbandingan 1,6:1.4

Indonesia
Hingga saat ini belum terdapat data lengkap mengenai kejadian kejang demam di
Indonesia. Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) tahun 2019, tercatat 7,3%
kematian balita disebabkan akibat demam.5

Mortalitas
Kejang demam tidak menyebabkan kematian pada anak. Pada pasien tanpa kelainan
neurologis, kejang demam umumnya memiliki prognosis baik, terutama pasien dengan
kejang demam sederhana. Sementara itu, kejang demam kompleks berisiko komplikasi
epilepsi, yang memiliki risiko kematian akibat luka trauma.2,6

2. 3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi sel saraf
otak sehingga menimbulkan kejang. Terdapat faktor predisposisi genetik yang dicurigai
berperan dalam terjadinya kejang demam. Oleh sebab itu, riwayat pada keluarga merupakan
faktor risiko terjadinya kejang demam. Selain itu, faktor lingkungan juga dianggap berkaitan
dengan kejadian kejang demam pada anak.
Tidak semua kenaikan suhu menyebabkan kejang demam. Kejang demam biasa
terjadi pada anak-anak yang memiliki faktor risiko. Kenaikan suhu pada anak dapat
disebabkan oleh infeksi atau setelah imunisasi.

Infeksi
Sebagian besar kejang demam berhubungan dengan kejadian infeksi. Infeksi virus
lebih sering menyebabkan demam yang berujung pada kejang demam, bila dibandingkan
dengan infeksi bakteri. Temuan ini didukung dengan data yang menunjukkan kejang demam
lebih sering terjadi pada musim dingin.6,7
Pada musim dingin, angka kejadian infeksi virus meningkat, terutama infeksi saluran
napas. Virus yang sering menyebabkan kejang demam antara lain adalah influenza A,
adenovirus, dan respiratory syncytial virus. Selain itu, infeksi sistem gastrointestinal juga
terbukti memiliki kaitan dengan kejadian kejang demam.6,7

13
Demam Pasca Imunisasi
Pasca-imunisasi, demam dapat terjadi sebagai bagian dari kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI). Imunisasi yang sering menyebabkan demam adalah vaksin kuman hidup
yang dilemahkan, yaitu difteri-tetanus-pertussis (DTP) dan mumps-measles-rubella
(MMR).3,8
Dari kejadian demam pasca imunisasi, hanya sebagian kecil yang terjadi kejang
demam. Angka kejadian kejang demam pasca vaksinasi hanya terjadi pada 11% anak.
Bahkan penelitian lain menunjukkan kejadian yang lebih sedikit lagi. Oleh sebab itu,
vaksinasi anak merupakan tindakan yang aman. Perlu diinformasikan kepada orang tua
bahwa kejang disebabkan karena demam dan bukan karena imunisasi.3,8

Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam adalah usia <5 tahun dan riwayat keluarga. Beberapa
risiko kejang demam adalah:
 Usia 6 bulan hingga 5 tahun, di mana kejang demam jarang terjadi di luar usia ini
 Gangguan neurologis, seperti palsi serebral
 Gangguan mineral, seperti defisiensi zinc dan zat besi
 Riwayat keluarga yang memiliki kejang demam1,9,10

Faktor Risiko Kejang Demam Berulang


 Kejang demam berulang dapat terjadi pada anak dengan faktor risiko berikut:
 Riwayat keluarga dengan kejang demam, terutama orang tua atau saudara kandung
(keluarga derajat pertama)
 Durasi yang terjadi antara demam dan kejang <1 jam
 Usia <18 bulan
 Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang 11

2. 4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kejang demam masih belum diketahui dengan jelas. Kejang demam
terjadi karena adanya peningkatan suhu tubuh secara mendadak. Kejang terjadi tanpa adanya
faktor penyebab lain seperti faktor intrakranial ataupun kelainan metabolik. Faktor
predisposisi yang diduga menyebabkan kejang demam adalah genetik.12,9

14
Predisposisi Genetik
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan
adanya hubungan faktor genetik dengan kejadian kejang demam. Riwayat kejang demam
pada keluarga derajat pertama (orang tua atau saudara) meningkatkan risiko kejadian kejang
demam pada individu.12,9
Hingga saat ini, terdapat beberapa lokus genetik yang dianggap berkaitan dengan
kejadian kejang demam. Beberapa lokus genetik tersebut antara lain adalah 19q, 19p13.3,
18p11.12, 8q13-21, 6q22-24, 5q14-15, dan 2q23-34. Mutasi pada kanal natrium, kanal
nukleotida siklik, dan reseptor GABA juga ditemukan berhubungan dengan kejadian kejang
demam.12,9

Faktor Lingkungan dan Infeksi


Infeksi pada tubuh menyebabkan terjadinya produksi sitokin pro inflamasi melalui
aktivasi neutrofil dan makrofag. Sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-6, dan IL-1b yang
menembus sawar darah otak dapat menyebabkan peningkatan suhu dan perubahan plastisitas
dari sel otak. Pada kondisi normal, terdapat usaha tubuh untuk menginhibisi inflamasi
berlebih.7,8,13
Eksitasi sel otak dicurigai terjadi akibat sitokin inflamasi yang tidak terinhibisi.
Keberadaan sitokin pro inflamasi yang berlebih menyebabkan terbukanya kanal kalsium dan
menyebabkan influks dari ion kalsium. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan sitokin-sitokin
inflamasi pada pemeriksaan analisa cairan serebrospinal. Peningkatan suhu tubuh dapat
menyebabkan peningkatan aktivitas neuronal. Aktivasi neuronal tersinkronisasi tersebut
dapat menginduksi kejang pada anak.13,14,15
Selain infeksi, faktor lingkungan lain seperti gangguan selama kehamilan dan
kelahiran prematur juga dianggap berhubungan dengan kejadian kejang demam. Stress
selama masa postnatal seperti infeksi, cedera otak, dan hipoksia dapat menyebabkan alterasi
pada struktur seluler otak. Penurunan ambang kejang terjadi akibat perubahan yang
terjadi.13,14,15

2. 5. DIAGNOSIS
Diagnosis kejang demam merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang
dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis banding yang mungkin dapat menjadi
penyebab kejang. Pada kondisi kejang demam, tidak didapatkan keterlibatan gangguan
15
neurologis lainnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dilakukan untuk
memastikan bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.3,4,16
Klasifikasi Kejang Demam
Berdasarkan derajat keparahannya, kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu:
 Kejang demam sederhana: durasi <15 menit dan umumnya berhenti sendiri. Kejang
dapat berupa kejang umum (tonik dan/atau klonik) dengan maksimal 1 bangkitan
kejang dalam 24 jam
 Kejang demam kompleks: durasi >15 menit atau berulang lebih dari 2 kali, dan ada
fase tidak sadar di antara 2 bangkitan kejang. Kejang dapat berupa kejang
fokal/parsial atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Bangkitan kejang lebih
dari 1 kali dalam 24 jam1

Anamnesis
Orang tua yang datang membawa anak dengan kejang demam perlu dianamnesis lebih
lanjut untuk menentukan penyebab kejang dan keterlibatan sistem saraf lainnya. Beberapa
pertanyaan adalah riwayat kejang atau kejang demam sebelumnya, riwayat gangguan
neurologis, riwayat tumbuh kembang, dan riwayat penyakit lain sejak lahir yang dapat
menjadi faktor risiko kejang demam. Selain itu, ditanyakan juga riwayat gangguan neurologis
dan kejang demam pada keluarga. Informasi terkait kejang dan demam yang perlu digali
adalah:
 Bentuk kejang umum atau fokal untuk menentukan klasifikasi kejang demam
 Durasi dan frekuensi kejang
 Kelainan neurologis sebelum dan setelah kejang, seperti penurunan kesadaran,
gangguan motorik, atau gangguan sensorik
 Suhu demam yang memicu kejang, untuk menentukan faktor risiko kejang demam
berulang
 Penyebab demam, untuk memberikan tata laksana yang tepat3,4,16

Pemeriksaan Fisik
Selain peningkatan suhu, biasanya pemeriksaan fisik anak dengan kejang demam
normal. Kondisi anak setelah kejang biasanya akan kembali sadar tanpa gangguan neurologis.

16
Gejala dan tanda lain dapat ditemukan sesuai dengan penyebab demam, misalnya ronki paru
pada bronkopneumonia. Untuk menyingkirkan diagnosis banding, penting untuk melihat
tanda meningitis dan ensefalitis berikut:
 Meningitis: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif, dengan/tanpa gejala
neurologis fokal (tanda-tanda ini jarang terlihat pada bayi baru lahir dengan
meningitis)
 Ensefalitis: gangguan kesadaran, perubahan tingkah laku, penemuan neurologis fokal
(hemiparesis, kejang fokal, disfungsi otonom), gangguan motorik, ataksia, gangguan
saraf kranial, disfagia, meningismus, atau disfungsi sensorimotor unilateral 12,8,4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk meyakini bahwa anak kejang
disebabkan oleh demam, bukan karena kelainan organik dalam otak.

Pungsi Lumbal
Pungsi Lumbal tidak rutin dilakukan pada saat terjadi kejang demam, kecuali bila ada
tanda dan gejala meningitis. Indikasi pemeriksaan pungsi lumbal pada anak dengan kejang
demam adalah:
 Anak memiliki tanda dan gejala meningitis, seperti kaku kuduk,
tanda Kernig, dan Brudzinski, atau anak dengan riwayat dan pemeriksaan yang
mengarah ke meningitis atau infeksi intrakranial
 Bayi usia 6−12 bulan yang belum menerima vaksin Haemophilus influenzae tipe
B (HiB) atau vaksin Streptococcus pneumoniae, atau bayi dengan status imunisasi
yang tidak jelas
 Anak sudah menerima antibiotik sebelumnya, yang dapat memudarkan tanda dan
gejala meningitis
 Pasca kejang demam kompleks untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
karena kemungkinan tanda dan gejala meningitis menjadi sulit untuk dievaluasi3,12

Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) rutin tidak disarankan pada kejang demam sederhana,
karena tidak efektif biaya dan berpotensi menimbulkan kecemasan orang tua. Tidak ada studi
yang kuat yang menyimpulkan EEG bisa memprediksi kemungkinan risiko epilepsi.

17
Walaupun EEG yang abnomal terus menerus memiliki nilai prediksi yang lebih
tinggi, tetapi masih membutuhkan studi lanjutan. Oleh karena itu, tidak banyak studi yang
bisa menyimpulkan apakah EEG efektif dilakukan untuk pasien kejang demam
kompleks.8,16,17

Pencitraan
CT-Scan kepala (computed tomography scan) dan MRI otak (magnetic resonance
imaging) tidak dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana,
karena risiko tidak sebanding dengan keuntungan. Pemeriksaan pencitraan dapat mendeteksi
gangguan struktural di dalam otak, tetapi memiliki efek samping.
Efek samping CT-Scan adalah paparan radiasi yang besar, sedangkan MRI di
antaranya efek obat-obatan sedatif yang biasa diberikan sebelum prosedur dilakukan. CT
Scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari kejang demam.
Kecurigaan akan diagnosa banding muncul saat terdapat gangguan neurologis sebelum dan
setelah kejang.12,4

Pemeriksaan Laboratorium
Tujuan utama pemeriksaan penunjang pada kasus kejang demam adalah mencari
sumber infeksi yang menyebabkan demam, bukan untuk menegakkan diagnosis kejang
demam. Namun, jika penyebab demam sudah diketahui pasti, misalnya infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), maka diagnosis klinik sudah cukup adekuat. Serum elektrolit jarang
ditemukan bermanfaat pada evaluasi kejang demam.3,12

2. 6. DIAGNOSIS BANDING
Gejala dan tanda kejang pada anak harus didiagnosis banding dengan meningitis,
ensefalitis, ensefalopati, epilepsi, dan breath-holding spells.

Meningitis Bakterial Akut


Pasien tampak lebih letargis dan gelisah, yang disertai gangguan kesadaran setelah
kejang, ruam kulit, fontanel membonjol, dan kaku kuduk. Hasil pungsi lumbal akan tidak
normal, dengan hasil kultur liquor cerebrospinalis (LCS) tumbuh bakteri.8,4

Meningitis Viral

18
Pasien mengalami kaku kuduk positif. Hasil pungsi lumbal tidak normal, tetapi kultur
bakteri LCS negatif. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) kemungkinan positif. 8,4

Ensefalitis Viral
Gejala prodromal meliputi gejala infeksi saluran napas atas (ISPA) akut, yang diikuti
nyeri kepala, kaku kuduk, dan kejang. Ruam kulit mungkin timbul. Pemeriksaan pungsi
lumbal dan kultur bakteri LCS tidak spesifik, karena dapat menunjukkan hasil yang normal.
Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif, seperti herpes simpleks.8,4

Ensefalopati Akut
Gejala prodromal seperti gejala pada infeksi virus, di mana kejang diikuti dengan
gangguan kesadaran. Kondisi ini dapat disebabkan oleh zat beracun, termasuk pada sindrom
Reye. Pemeriksaan pungsi lumbal dapat menunjukkan:
 Tekanan LCS meningkat
 Hitung sel dan protein meningkat
 Rasio albumin LCS/serum meningkat, yang mengindikasikan adanya gangguan
sawar otak dan menjadi tanda awal dari ensefalopati akibat virus yang akut
 Enzim liver dan kadar amonia di dalam darah meningkat
 Gula/glukosa darah dapat menurun
Hasil pemeriksaan penunjang di antaranya elektroensefalografi (EEG) yang
terganggu, MRI otak dapat normal atau tidak normal (nekrosis thalamus bilateral, edema
otak), serta pemeriksaan virus dapat ditemukan positif virus influenza A.8,4

Epilepsi
Pada epilepsi, kejang tidak disertai dengan demam. Hasil EEG pada epilepsi dapat
menunjukkan gelombang epileptiform, seperti gelombang spike and slow. Terdapat beberapa
jenis epilepsi yang dapat menjadi diagnosis banding kejang demam, yaitu:
 Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+), adalah sebuah penyakit
akibat gangguan genetik autosomal dominan. Ditemukan riwayat kejang demam yang
terjadi lebih dari 5 tahun dan riwayat bangkitan kejang tanpa demam
 Sindrom Dravet atau severe myoclonic epilepsy of infancy (SMEI), merupakan
penyakit mutasi genetik. Ditandai dengan epilepsi yang tidak kunjung membaik,

19
tampak seperti kejang demam pada tahun pertama. Kejang onset dini, berulang dan
tipe kejang yang sering terjadi adalah kejang fokal dan klonik8,4

Breath-Holding Spells
Breath-holding spells adalah bayi afebris yang mengalami apnea, sianosis, dan
gerakan menghentak-hentak pada ekstremitas setelah menangis. Kondisi ini juga dapat terjadi
setelah stimulasi vagal yang tidak disengaja. Breath-holding spells biasanya terjadi pada anak
berusia 6−18 bulan.8,4

2. 7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kejang demam dibagi menjadi tata laksana akut saat anak sedang
kejang, tata laksana rumatan, dan tata laksana pencegahan kejang demam berulang. Tata
laksana akut umumnya menggunakan antikonvulsan diazepam, yang dapat diberikan
intravena atau per rektal.1,18

Tata Laksana Akut Saat Kejang


Manajemen awal untuk anak yang datang dalam keadaan kejang demam adalah:
 Diazepam intravena, dosis 0,3−0,5 mg/kgBB, diberikan bolus secara perlahan 1−2
mg/menit atau sekitar 3−5 menit. Dosis maksimal 20 mg
 Diazepam rektal yang dapat diberikan bila belum terpasang akses intravena atau
pasien masih di rumah, diberikan dengan dosis 0,5−0,75 mg/kgBB. Dosis dapat
diberikan 5 mg untuk BB <10 kg dan 10 mg untuk BB >10 kg[1,18]
 Di rumah, diazepam rektal dapat diberikan 2 kali dengan jarak waktu 5 menit. Jika
kejang masih belum berhenti, maka anjurkan anak untuk dibawa ke rumah sakit dan
diberikan diazepam intravena.1,18

Bila kejang belum berhenti setelah tata laksana awal, maka lanjutkan dengan:
 Fenitoin intravena, dosis awal 10‒20 mg/kgBB/pemberian, dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau <50 mg/menit
 Bila kejang belum berhenti juga, maka anak dirujuk perawatan di ruang intensif untuk
diberikan obat-obatan anestesi 1,18
Setelah kejang berhenti, tata laksana lanjutan yang diberikan:

20
 Fenitoin intravena kembali diberikan dengan dosis 4‒8 mg/kgBB/hari pada waktu 12
jam setelah dosis awal 1,18

Tata Laksana Rumatan


Tidak semua anak kejang demam membutuhkan tata laksana rumatan. Berdasarkan
konsensus penatalaksanaan kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tata
laksana rumatan diberikan sampai tercapai 1 tahun periode bebas kejang, dan diberhentikan
bertahap (tapering off) dalam waktu 1‒2 bulan.
Tata laksana rumatan disarankan oleh IDAI untuk kejang demam yang berpotensi
menjadi epilepsi atau kejang demam kompleks. Kriteria pemberian tata laksana rumatan
adalah jika ditemukan salah satu kondisi berikut:
 Kejang demam kompleks
 Timbulnya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang, misalnya paresis Todd,
hemiparesis, palsi serebral, hidrosefalus, dan retardasi mental
 Kejang >2 kali dalam 24 jam, atau dialami anak usia <12 bulan, atau lebih sama
dengan 4 kali kejadian kejang demam dalam 1 tahun (dipertimbangkan)

Obat Obat antikonvulsan rumatan yang dapat diberikan adalah:


 Asam Valproat: dosis 15‒40 mg/kgBB/hari, diberikan dalam 2‒3 dosis, tetapi
memiliki risiko gangguan fungsi hati terutama pada usia <2 tahun
 Fenobarbital: dosis 3‒4 mg/kgBB/hari, diberikan dalam 1‒2 dosis. Penggunaan setiap
hari meningkatkan risiko terjadinya kesulitan belajar dan gangguan perilaku1,4

Tata Laksana Intermiten/Pencegahan


Konsensus penatalaksanaan kejang demam dari IDAI, tata laksana intermiten
merupakan terapi antikonvulsan pencegahan pada anak demam. Terapi intermiten diberikan
pada anak demam dengan indikasi berikut:
 Kelainan neurologis berat, seperti palsi serebral
 Kejang berulang >4 kali dalam 1 tahun
 Kejang pada usia <6 bulan
 Kejang terjadi pada suhu <39°C
 Kejang dengan peningkatan suhu cepat pada kejang demam sebelumnya 1

21
Pilihan obat untuk terapi intermiten yang diberikan saat anak mengalami demam adalah:
 Diazepam peroral: dosis 0,3 mg/kgBB/kali, sebanyak 3 kali/hari
 Diazepam per rektal: dosis 0,5 mg/kgBB/kali, sebanyak 3 kali/hari
 Terapi ini hanya diberikan pada 48 jam pertama demam 1
Berdasarkan analisis keuntungan dan kerugian, pemberian obat-obatan antikonvulsan
tidak direkomendasikan pada pasien kejang demam sederhana, walaupun terjadi >1 kali.
Pemberian antikonvulsan yang terus menerus sebagai tata laksana rumatan (fenobarbital,
asam valproat) atau sebagai terapi intermiten (diazepam) memang efektif untuk mencegah
kejadian kejang demam.3,12,19
Namun, perlu dipertimbangkanan efek samping obat yang dianggap lebih berbahaya
bila dibandingkan dengan risiko yang terjadi akibat kejang demam sederhana. Oleh sebab itu,
diperlukan pertimbangan yang baik sebelum memberikan terapi intermiten atau rumatan.3,12,19

Tata Laksana Antipiretik


Pemberian obat antipiretik berfungsi untuk meningkatkan kenyamanan anak.
Antipiretik yang dianjurkan IDAI untuk anak adalah:
 Paracetamol: dosis 10‒15 mg/kgBB/kali, peroral dapat diberikan sampai 4 kali sehari
 Ibuprofen: dosis 5‒10 mg/kgBB/kali, peroral dapat diberikan 3‒4 kali sehari 1
Pemberian antipiretik tidak dapat menurunkan rekurensi kejang pada periode demam
yang sama, tetapi tetap direkomendasikan untuk diberikan. Meta analisis tahun 2021
menyimpulkan bahwa manfaat antipiretik dalam mencegah kekambuhan kejang demam
dalam episode demam yang sama memiliki bukti yang sangat terbatas, dan tidak ada bukti
untuk penggunaannya dalam episode demam yang jauh.20

Tata Laksana Lainnya


Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak kejang demam memiliki kadar
zink rendah daripada anak kejang tanpa demam. Oleh karena itu, zink diduga berperan dalam
patogenesis kejang demam. Namun, hingga saat ini tidak ditemukan adanya rekomendasi
dalam pemberian zink dalam tatalaksana kejang demam.21, 22

2. 8. KOMPLIKASI

22
Komplikasi kejang demam dapat berupa kejang demam berulang, paralisis Todd,
epilepsi parsial kompleks, mesial temporal sclerosis (MTS), serta gangguan tingkah laku dan
kognitif anak.

Kejang Demam Berulang


Persentase kejadian kejang demam berulang dalam 2 tahun dipengaruhi jumlah faktor risiko.
Faktor risiko terjadinya kejang demam berulang adalah:
 Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)
 Durasi antara demam dengan kejadian kejang <1 jam
 Usia anak <18 bulan
 Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang3,11

Tabel 1. Persentase Kejadian Kejang Demam Berulang dalam 2 tahun Berdasarkan Jumlah Faktor
risiko

Epilepsi
Beberapa kasus kejang demam memiliki risiko terjadinya epilepsi. Meski demikian,
angka kejadian epilepsi akibat kejang demam sangat kecil. Hanya terdapat sekitar 1% kasus
kejang demam sederhana yang menjadi epilepsi dan 4-6% pada kejang demam kompleks.
Faktor risiko kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi adalah:
 Kejang demam kompleks
 Riwayat keluarga dengan epilepsi
 Durasi demam <1 jam sebelum bangkitan kejang
 Gangguan pertumbuhan neurologis, seperti cerebral palsy dan hidrosefalus1,11

23
Paralisis Todd
Paralisis Todd adalah hemiparesis sementara setelah terjadinya kejang demam.
Kondisi ini jarang terjadi, dan perlu dikonsultasikan ke spesialis neurologi.12

Epilepsi Parsial Kompleks dan Mesial Temporal Sclerosis


Riwayat kejang demam yang berkepanjangan ditemukan adanya hubungan dengan
kejadian mesial temporal sclerosis (MTS). Temuan ini bukanlah merupakan temuan umum,
sehingga kejang demam merupakan kondisi yang aman dan tidak berbahaya.12

Gangguan Tingkah Laku dan Kognitif


Walaupun gangguan kognitif, motorik, dan adaptif pada bulan pertama dan tahun
pertama setelah kejang demam ditemukan tidak bermakna, tetapi banyak faktor independen
yang berpengaruh, seperti status sosial-ekonomi yang buruk, kebiasaan menonton televisi,
kurangnya asupan ASI, dan kejang demam kompleks.2,6

2. 9. PROGNOSIS
Pada pasien tanpa kelainan neurologis, kejang demam umumnya memiliki prognosis
baik. Rekurensi mungkin terjadi pada pasien dengan kejang demam, terutama pada anak yang
mengalami kejang pada usia <18 bulan. Pasien dengan kejang demam simpleks memiliki
prognosis yang lebih baik daripada kejang demam kompleks.
Epilepsi dapat terjadi pada 3% kasus kejang demam. Epilepsi ditemukan lebih banyak
terjadi pada kejang demam kompleks. Komplikasi lainnya hingga saat ini masih dalam
penelitian lebih lanjut untuk menentukan hubungannya dengan kejang demam.2,6

24
BAB III
ANALISA KASUS

3.1. Hipospadia
Atas dasar:
Anamnesis
 Pasien datang ke IGD diantar oleh kedua orang tuanya dengan keluhan kejang sejak 1
hari yang lalu. Kejang dialami selama lebih kurang 15 menit. Saat kejang pasien
melihat ke atas, tangan dan kaki lurus dan mulut kaku, setelah kejang pasien
menangis.
 Pasien rewel dan menangis terus menerus di rumah.
 Terdapat keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, demam naik turun, membaik dengan
pemberian obat penurun panas.

Pemeriksaan fisik:
Dari pemeriksaan fisik didapati suhu anak 38,8oC

Pasien dipertimbangkan dengan diagnosis kejang demam sederhana setelah melakukan


anamnesis dan pemeriksaan fisik karena kejang diawali dengan demam dan bangkitan
kejang hanya berlangsung kurang lebih 15 menit dan kejang berhenti sendiri.

Diagnosis
Diagnosis kejang demam merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan
hanya untuk menyingkirkan diagnosis banding yang mungkin dapat menjadi penyebab
kejang. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dilakukan untuk memastikan
bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.

Terapeutik
 Non medikamentosa
o IVFD Kaen 1B 90 cc/24 jam
o O2 NC 2 lpm
 Medikamentosa
o Stesolid 10 mg IV dan Diazepam 3x2 mg PO

25
Stesolid mengandung diazepam. Diazepam digunakan sebagai antikonvulsan,
sedatif, dan relaksan otot pada kasus ini. Diazepam merupakan golongan obat
benzodiazepine dengan aksi kerja yang cepat, tetapi memiliki waktu paruh yang
lama. Efek dari diazepam dihasilkan dari peningkatan aktivitas GABA sebagai
neurotransmitter inhibisi di sistem saraf pusat.
o Paracetamol 125 mg PR dan Paracetamol 1 cth/ 6 jam PO
Paracetamol diberikan untuk mengatasi demam yang dialami pasien. Paracetamol
berfungsi sebagai antipiretik.
o Inj. Ceftriaxone 1x750 mg
Ceftriaxone diberikan sebagai antibiotik untuk mengatasi potensi infeksi pada
anak sebagai penyebab demam. Ceftriaxone adalah antibiotik beta laktam dari
golongan sefalosorin generasi ketiga yang memiliki efek bakterisidal.

3.2. Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang


Atas dasar :
Anamnesis
BAB pasien cair 4x, terdapat ampas, tidak ada lendir maupun darah.

Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bising usus meningkat.

Pasien dipertimbangkan dengan diare akut dengan dehidrasi ringan sedang.


Dengan alasan, pasien mengalami BAB cair lebih dari normal dengan cairan lebih banyak
daripada ampas. Pemeriksaan fisik juga mendukung diagnosis tersebut.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan memalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

Terapeutik
 Non medikamentosa
o IVFD Kaen 1B 90 cc/24 jam
o O2 NC 2 lpm

26
 Medikamentosa
o Lacto B 2x1 PO
Lacto B diberikan sebagai suplemen dengan kandungan probiotik yang membantu
fungsi saluran pencernaan.
o Zinc 1 x 20 mg PO
Zinc diberikan karena diare dapat menyebabkan defisiensi zinc yang dapat
mengakibatkan masa sakit yang lebih lama dan gejala yang lebih berat. Zinc
sangat penting dalam pembentukan berbagai protein serta pembelahan sel.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, et al. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
2. Dreier JW, Li J, Sun Y, et al. Evaluation of Long-term Risk of Epilepsy, Psychiatric
Disorders, and Mortality among Children with Recurrent Febrile Seizures: A National
Cohort Study in Denmark. JAMA Pediatr 2019; 173: 1164–1170.
3. Dustin. S, Kerry.P. S, Molly. B. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis. Am
Fam Physician 2019; 99: 445–450.
4. Leung AKC, Hon KL, Leung TNH. Febrile seizures: An overview. Drugs Context 2018;
7: 1–12.
5. Kemenkes. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Katalog dalam Terbitan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. ISBN 978-602-416-977-0
6. Pavone P, Pappalardo XG, Parano E, et al. Fever-Associated Seizures or Epilepsy: An
Overview of Old and Recent Literature Acquisitions. Front Pediatr 2022; 10: 1–10.
7. Carman KB, Calik M, Karal Y, et al. Viral etiological causes of febrile seizures for
respiratory pathogens (EFES Study). Hum Vaccines Immunother 2019; 15: 496–502.
8. Baumann RJ. Pediatric Febrile Seizures. Medscape.
2018.https://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview.
9. Sawires R, Buttery J, Fahey M. A Review of Febrile Seizures: Recent Advances in
Understanding of Febrile Seizure Pathophysiology and Commonly Implicated Viral
Triggers. Front Pediatr 2022; 9: 1–8.
10. Tarhani F, Nezami A, Heidari G, et al. Factors associated with febrile seizures among
children. Ann Med Surg 2022; 75: 103360.
11. Renda R, Yüksel D, Gürer YKY. Evaluation of Patients with Febrile Seizure: Risk
Factors, Reccurence, Treatment and Prognosis. Pediatr Emerg Care 2020; 36: 173–177.
12. Xixis K, Samanta D, Keenaghan M. Febrile Seizure. StatPearls. 2022.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448123/
13. Maniu I, Costea R, Maniu G, et al. Inflammatory biomarkers in febrile seizure: A
comprehensive bibliometric, review and visualization analysis. Brain Sci; 11. Epub
ahead of print 2021. DOI: 10.3390/brainsci11081077.
14. Güneş A, Fidan S, Dulkadir R, et al. Evaluation of risk factors associated with first
episode febrile seizure. Eur Rev Med Pharmacol Sci 2021; 25: 7089–7092.
15. Kwon A, Kwak BO, Kim K, et al. Cytokine levels in febrile seizure patients: A
systematic review and meta-analysis. Seizure 2018; 59: 5–10.
16. Aslan M. Evaluation of Patients Presenting With First Febrile Seizure. Cureus 2021; 42:
13–16.
17. Cappellari AM, Brizio C, Mazzoni MB, et al. Predictive value of EEG for febrile seizure
recurrence. Brain Dev 2018; 40: 311–315.
18. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of pediatric febrile seizures. Int J
Environ Res Public Health; 15. Epub ahead of print 2018. DOI: 10.3390/ijerph15102232.
19. Offringa M, Newton R, Nevitt SJ, et al. Prophylactic drug management for febrile
seizures in children. Cochrane Database Syst Rev; 2021. Epub ahead of print 2021. DOI:
10.1002/14651858.CD003031.pub4.
20. Hashimoto R, Suto M, Tsuji M, et al. Use of antipyretics for preventing febrile seizure
recurrence in children: a systematic review and meta-analysis. Eur J Pediatr 2021; 180:
987–997.

28
21. Kumar M, Swarnim S, Khanam S. Zinc Supplementation for Prevention of Febrile
Seizures Recurrences in Children: A Systematic Review and Meta-Analysis. Indian
Pediatr 2021; 58: 857–860.
22. Heydarian F, Nakhaei AA, Majd HM, et al. Zinc deficiency and febrile seizure: A
systematic review and meta-analysis. Turk J Pediatr 2020; 62: 347–358.

29

Anda mungkin juga menyukai