Fulltext BK Yusdiansyah Ip

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 154

Ilmu perundang-undangan Efik Y

BAB I
PENDAHULUAN

Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui dan memahami


kedudukan ilmu perundang-undangan
dalam ilmu hukum sekaligus dapat
menggunakan istilah yang tepat untuk
menggunakan istilah peraturan
perundang-undangan dan perundang-
undangan.
1. Pengantar tentang kedudukan ilmu perundang-undangan
dalam ilmu Hukum
Ilmu perundang-undangan lahir pada negara yang
menganut sistem hukum Eropa Continental, yang mula-mula
berkembang di Eropa Barat tepatnya di Negara Jerman. Ilmu
perundang-undangan merupakan cabang ilmu yang relatif masih
baru, baru berkembang tahun 1970-an. Tokoh terkenal
penggagasnya yaitu Peter Noll, Jurgen Rodig, Burkhardt Krems,
dan Werner Maihofer1, selain itu di Belanda berkembang sejak
tahun 1980-an tokoh terkenalnya S.O. Van Poelje dan W.G. Van
Der Velden.
Di Indonesia Cabang Ilmu perundang-undangan yang
merupakan ilmu tersendiri berkembang sejak tahun 1990-an, hal
ini sejalan dengan fungsi peraturan perundang-undangan itu sendiri
yang merupakan sumber hukum utama di Indonesia. Sebagai ilmu
pengetahuan yang baru istilah yang digunakanpun masih beragam,
misalnya WETGEVINGSLEER/WETGEVINGSKUNDE dari VAN
POELJE,GESETZGEBUNG SWISSEN SENS CHAFT dari

1
Mereka tokoh-tokoh ilmu perundang-undangan di Jerman, Lihat lebih
lanjut Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan
Pembentukannya, Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 1996.

1
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

BURKHARDT KREMS, dan di Indonesia Ilmu Pengetahuan


perundang-undangan dari Hamid S. Attamimi.
BURKHARDT KREMS berpendapat bahwa
Gesetzgebung swissen senschaft mempunyai dua pengertian yang
berbeda. Perbedaannya nampak dalam bagan di bawah ini :

GESETZGEBUNGSWISSENSENSCHAFT
(ILMU PENGETAHUAN PER-UU-AN DLM ARTI LUAS)

GESETZGEBUNGSTHEORIE GESETZGEBUNGSLEHRE
(TEORI PERUNDANG- (ILMU PERUNDANG-
UNDANGAN) UNDANGAN DLM ARTI
menjelaskan dan menjernihkan SEMPIT)
pemahaman dan yang bersifat Cabang atau sisi yang berorientasi
kognitif pada melakukan perbuatan
pelaksanaan dan bersifat
normatif. (MEMBENTUK
PERATURAN)
GESETZGEBUNGS
VERFAHRENSLE
HRE GESETZGEBUNGS GESETZGEB
(ILMU TENTANG METHODENLEHRE UNGS
PROSES PER-UU- (METODA PER-UU-AN) TECHNIK
AN) LEHRE
Ilmu pengetahuan per-uu-an dlm arti luas (ILMU
adalah ilmu
pengetahuan interdisipliner (menyatu titikkan TENTANG
pemahaman,
paradigma, dan metoda berbagai disiplin ilmu) TEKNIK mengenai
PER-
pembentukan peraturan hukum oleh negara. Terbagi UU-AN)
menjadi dua

2
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

yaitu Ilmu perundang-undangan dalam arti sempit dan teori


Perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan dalam arti sempit
merupakan Cabang atau sisi yang berorientasi pada melakukan
perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Sedangkan Teori
perundang-undangan cabang ilmu pengetahuan per-uu-an yang
bersifat kognitif dan berorientasi pada mengusahakan kejelasan
dan kejernihan pemahaman, khususnya pememahan yang bersifat
dasar di bidang per –uu-an.
Teori mengandung arti 1. pendapat tentang cara melakukan
sesuatu (misal teorinya mudah tapi prakteknya sukar 2. pendapat
yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa
(misal teori terjadinya bumi), 3. sekumpulan pemahaman-
pemahaman, titik-titik tolak, dan asas-asas yang saling berkaitan
yang memungkinkan pemahaman lebih baik terhadap sesuatu
objek. atau sistem dari tata hubungan yang logik dan definitorik
diantara pemahaman-pemahaman. dalam tpu, kata teori
mengandung arti yang ketiga, sedangkan arti perundang-undangan
mengacu pada keseluruhan peraturan-peraturan negara dan proses
kegiatan pembentukan peraturan peraturan tersebut.
dengan demikian ruang lingkup tpu antara lain :
1. Pemahaman yang sebenarnya tentang hakekat UU
2. Siapa Sebenarnya pembentuk uu
3. apa sebenarnya fungsi perundang-undangan.
Materi itulah yang akan diberikan dalam matakuliah Ilmu
Perundang-undangan yang dalam kedudukannya dalam ilmu
hukum sudah merupakan cabang ilmu tersendiri, dimana pada
awalnya ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Hukum Tata Negara.

2. Peristilahan
Istilah Gesetzgebung atau perundang-undangan
mempunyai dua pengertian yaitu proses pembentukan/proses
membentuk peraturan perundang-undangan dan yang kedua berarti

3
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

segala peraturan-peraturan yang merupakan hasil pembentukan


dari proses pembuatan perundang-undangan.
Dalam pengertian yang kedua di Indonesia ada beberapa
istilah yang digunalan oleh para ahli hukum yaitu :
1. PERATURAN NEGARA (M.SOLLY LUBIS)
2. PERATURAN PERUNDANGAN (SOEHINO)
3. PERUNDANG-UNDANGAN (AMIROEDIN SYARIF)
4. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (BAGIR
MANAN, HAMID S. ATTAMIMI)
Solly Lubis menyatakan bahwa istilah yang tepat adalah
peraturan negara dengan argumentasi bahwa kata peraturan
perundangan mengandung arti peraturan mengenai tata cara
pembuatan negara, sedangkan jika yang dimaksud adalah peraturan
yang lahir dari perundang-undangan maka istilahnya adalan
peraturan negara. istilah peraturan negara mengandung arti
peraturan dan penetapan yang dikeluarkan oleh badan yang
berwenang, padahal maksudnya hanya untuk peraturan saja,
sehingga istilah ini kurang tepat.
Soehino menggunakan istilah peraturan perundang-an
dengan argumentasi ada dasar hukumnya yaitu digunakan dalam
Tap. MPRS XX/ 1966. terhadap istilah ini Hamid S. Attamimi
berkomentar bahwa istilah peraturan perundangan sebagai
terjemahan dari wettelijke regeling kurang tepat, karena kata
perundangan dibentuk dari kata dasar undang yang tidak
mempunyai kaitan lagi dengan pengertian hukum kecuali kata
pengundangan.
Amiroedin Syarif menggunakan istilah perundang-
undangan dengan argumentasi kata ini lebih ekonomis dan telah
digunakan dalam dua hukum dasar yang pernah berlaku. beliau
tidak setuju dengan istilah peraturan perundangan argumentasi-nya
(sama dengan hamid). begitu pula peraturan perundang-undangan
dengan alasan mengandung arti yaitu peraturan tentang per-uu-an
(mungkin tatacara, prosedur, tata urutan atau tentang isntansi yang

4
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

membuatnya). komentar pengajar perundang-undangan ini


mengandung dua arti yaitu 1. proses pembentukan peraturan-
peraturan negara yang tertulis dari bentuk tertinggi sampai
terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi. 2.
keseluruhan produk peraturan-peraturan negara yang tertulis.
Bagir Manan dan Hamid S. Attamimi menggunakan
istilah peraturan perundang-undangan yang mengandung arti
peraturan yang lahir karena perundang-undangan.

Kesimpulan :
Istilah yang akan digunakan dalam perkuliahan ini adalah
perundang-undangan untuk menunjukan proses pembuatan dan
peraturan perundang-undangan untuk memberi arti peraturan yang
lahir karena perundang-undangan.

BAB II
HUKUM NASIONAL INDONESIA

Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui dan memahami


pengertian, bentuk dan tujuan hukum
nasional.

1. Pengertian Hukum Nasional


Hukum yang berlaku di Indonesia ditinjau dari lingkungan
territorial sebagai tempat berlakunya, ada dua macam hukum yaitu
hukum yang berlaku diseluruh wilayah Negara Indonesia
(nasional) dan ada yang berlaku untuk daerah atau lingkungan
masyarakat hukum tertentu atau dapat disebut sebagai hukum

5
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

lokal2. Hukum lokal dilihat dari lembaga yang membentuk dapat


dibedakan antara hukum yang lahir atau dibuat dan berlaku dalam
lingkungan pemerintahan otonomi berupa Peraturan Daerah, atau
keputusan-keputusan lainnya dan hukum yang dibuat pada tingkat
nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu.
Hukum lokal ini merupakan satu sub sistem hukum dengan hukum
yang berlaku pada seluruh wilayah Indonesia dan membentuk satu
sistem hukum nasional Indonesia. Konsekwensinya tidak boleh
bertentangan antara hukum lokal dengan hukum nasional bahkan
lebih dari itu harus membentuk satu tertib hukum.
Tujuan dari pembentukan hukum nasional adalah untuk
memenuhi kebutuhan individu, masyarakat (bangsa), dan negara
dalam hal :
(1) mengatur, dan mengembangkan penyelenggaraan negara
dan pemerintahan serta masyarakat Indonesia yang
demokratis. Hukum sebagai instrument demokrasi.
(2) Mengatur, dan mengembangkan tatanan masyarakat,
bangsa, dan Negara Indonesia yang berdasarkan atas
hukum. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan belaka.
(3) Memberdayakan masyarakat dibidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan lain-lain dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(4) Mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.3

Agar tujuan dari pembentukan hukum nasional itu dapat


terwujud maka pembangunan hukum nasional harus diarahkan

2
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Terjemah oleh Somardi,
Rimdi Press, Bandung, 1995, hlm. 304.
3 Bagir Manan, Pembangunan Hukum untuk mewujudkan Keadilan dan
Kebenaran, Makalah, Bandung, 2000, hlm.2.

6
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

tidak hanya mengenai pembentukan asas dan kaidah kaidah


hukum, tetapi meliputi pula sistem pembentukan, sistem
penegakan, dan pembaharuan tatanan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya yang menjunjung tinggi hukum. Dengan kata lain
pembangunan hukum harus bersifat integral baik dari aspek-aspek
sistem hukum maupun dari fungsi-fungsi hukum disegala bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
Hukum nasional dilihat dari bentuknya dapat dikelompokan
ke dalam hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis,
dapat dibedakan antara hukum tertulis yang berlaku khusus dan
hukum tertulis yang berlaku umum. Hukum tertulis yang berlaku
khusus adalah hukum tertulis yang hanya berlaku untuk subjek
atau subjek-subjek tertentu yang bersifat konkrit.4 Contoh hukum
tertulis dalam arti khusus ini antara lain ketetapan atau keputusan
administrasi negara yang bersifat konkrit. Dalam dunia ilmu
hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau keputusan
semacam ini lazim disebut atau dinamakan “beschikking”. Pada
negara - negara berbahasa Inggris disebut “decree”. Bentuk hukum
yang dipergunakan adalah “keputusan”, seperti keputusan
presiden, keputusan menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam
kategori ini keputusan administrasi negara mengenai pengangkatan
atau pemberhentian pejabat dalam lingkungan administrasi negara,
pemberian atau pencabutan hak atas izin atas objek tertentu dan
lain-lain yang bersifat konkrit dan tertentu subjek dan atau objek
lainnya.
Sedangkan Hukum tertulis yang berlaku umum, adalah
hukum yang berlaku bagi subjek-subjek yang tidak tertentu.
Hukum tertulis yang berlaku umum ini adalah Peraturan
Perundang-undangan. Bagir Manan memberi arti kepada

4
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik), Makalah,
Jakarta, 2000, hlm 10.

7
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan perundang-undangan yaitu hukum positif tertulis yang


dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan
yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi
aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum.5
Termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan adalah
aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Tujuan Hukum dalam Negara Hukum


Esensi negara hukum yang menyatakan bahwa hukum
supreme membawa konsekuensi bahwa setiap penyelenggara
negara atau pemerintahan harus tunduk pada hukum dan tidak ada
kekuasaan di atas hukum.6 Hal ini jelas berbeda dengan faham
negara kekuasaan, yang oleh Utrecht faham ini digunakan untuk
menyebut negara yang tidak berdasarkan hukum.7 Bertalian
dengan negara kekuasaan ini O. Notohamidjojo menyatakan ada
dua ciri dari negara kekuasaan, yaitu :
Pertama, Autoritarisme yang mengandung arti
mendasarkan kepada kehendak pribadi dalam menjalankan
pemerintahan, dan menolak untuk
mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada rakyat
atau Dewan Perwakilan Rakyat, atau kalaupun bertanggung
jawab biasanya dilakukan dengan pura-pura.
Kedua, Totalitarisme artinya pemerintah mempunyai
kehendak untuk menguasai seluruh kehidupan manusia
5
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill.
Co, Jakarta, 1492, hlm. 3.
6
Lihat lebih lanjut, Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan Menurut
Undang-undang Dasar 1945, Jakarta, 1998, hlm. 10.
7
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, 1961, hlm.
365.

8
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dalam masyarakat dan kebudayaan, baik dalam bidang


kehidupan keluarga, agama, pendidikan, ekonomi. Semua
bidang tersebut dinegarakan sehingga tidak ada ruang
bebas bagi warga negara sebagai pribadi, dan biasanya
disertai dengan doktrin ideologi yang mengagungkan
persekutuan atau negara.8

Konsekuensi dari dua ciri negara kekuasaan tersebut


adalah bahwa dalam negara hukum tidak boleh dijumpai ciri
autoritarisme dan totalitarisme. Hal ini sebetulnya akan sangat
mungkin dijumpai di negara yang secara formal menyatakan
sebagai negara hukum (UUD-nya) namun dalam pelaksanaannya
hukum yang diciptakannya hanya untuk melegitimasi seluruh
kekuasaannya, agar secara formal kekuasaannya tetap berdasarkan
hukum.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa cita-cita dari negara
hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan oleh hukum.
Pembatasan kekuasaan oleh hukum ini tentu akan sangat terkait
dengan tujuan hukum, fungsi hukum, dan nilai-nilai dasar hukum.
Tujuan hukum secara umum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.
9
Dalam mencapai tujuan tersebut hukum bertugas membagi hak
dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta
memelihara kepastian hukum.

8
O. Notohamidjojo, dalam Bintan R. Saragih, Peranan … Op.cit. , hlm. 15-
16.
9
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), liberty,
Yogyakarta, 1991, hlm. 58.

9
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Secara umum dikenal tiga teori tentang tujuan hukum, yaitu


teori etis, utilitis, dan campuran.10 Teori etis menyatakan bahwa
tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan.
Konsekuensinya isi hukum ditentukan oleh keyakinan manusia
yang etis tentang yang adil dan tidak.11 Dalam Islam keadilan
merupakan perintah dari Allah untuk ditegakkan.12 Sehingga
perbuatan adil mendekati ketaqwaan kepada Allah dan
penegakannya tidak pandang bulu, terhadap diri sendiri, orang tua,
karib kerabat, kaya atau miskin,13 terhadap lawan atau kawan,
orang yang disukai atau dibenci.14
Teori utilitis menyatakan bahwa tujuan hukum adalah
untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan teori campuran
menyatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah
ketertiban, disamping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya
menurut masyarakat dan jamannya.15
Teori tentang tujuan hukum ini memperlihatkan bahwa
tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kepatuhan akan
ketertiban merupakan syarat pokok untuk masyarakat yang teratur.

10
Ibid. Lihat juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1979, hlm. 38-44.
11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal … op.cit..
12
Lihat Qur’an Surat Al-A’raf ayat 29
13
Lihat Qur’an Surat An- Nisa Ayat 135.
14
Lihat Qur’an Surat Al Maidah Ayat 8.
15
Salah seorang tokoh yang menggagasnya di Indonesia adalah Mochtar
Kusumaatmadja.

10
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Selain itu tujuan hukum yang lainnya adalah untuk menciptakan


keadilan.
Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum
dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.16 Kepastian
hukum akan terwujud jika hukum dilaksanakan dan ditegakkan
dalam peristiwa konkrit yang terjadi.
Kepastian hukum merupakan perlindungan justisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian, karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum, dengan kepastian
hukum ini akan tercapai tujuan hukum yang lainnya, yaitu
ketertiban masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam
penegakan hukum penegak hukum harus memberikan
perlindungan akan adanya kepastian hukum dan penegakan hukum
ini harus memberi manfaat pada masyarakat, di samping bertujuan
menciptakan keadilan.17
Konsep tujuan hukum tersebut di satu pihak berkaitan
dengan tertib hukum dan di pihak lain berkaitan pula dengan
fungsi hukum. Tertib hukum (rechtsorde) bermakna bahwa
kekuasaan negara didasarkan pada hukum dan dikehendaki oleh
hukum; serta keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang
berlaku.
A. Hamid S. Attamimi18 lebih jauh memberi pengertian
“tertib hukum (rechtsordnung)” sebagai suatu kesatuan hukum

16
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta, tanpa tahun, hlm. 2.

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-bab Tentang … op. cit., hlm. 2.


17
18
A.Hamid S.Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum
Bangsa Indonesia”, dalam Oetoyo Oersman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai

11
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

objektif dengan dua sisi yaitu ke luar dan ke dalam. Ke luar,


bermakna tidak tergantung pada hukum yang lain, sedangkan ke
dalam, bermakna menentukan semua pembentukan hukum dalam
kesatuan tertib hukum tersebut. Rumusan ini sangat penting bagi
menentukan ada atau tidak adanya kesatuan yuridis dalam suatu
tertib hukum. Logemann mengatakan bahwa sama seperti tertib
masyarakat, yang merupakan suatu keseluruhan yang saling
berkaitan, juga hukum positif, yang ditemukan dengan jalan
mengabstrakkan dari suatu keseluruhan, suatu pertalian norma-
norma, ialah suatu tertib hukum.19 Dengan demikian, suatu hukum
positif tidak terdapat norma-norma yang saling bertentangan.20
Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tertib hukum tercipta jika:
(a) suatu produk peraturan perundang-undangan tidak saling
bertentangan, baik secara vertikal maupun secara
horizontal;
(b) perilaku pelaksana kekuasaan negara dan anggota
masyarakat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Disisi lain tujuan hukum berhubungan erat dengan fungsi


hukum. Fungsi hukum menurut Sjachran Basah mencakup lima
hal, sehingga beliau menyebut dengan istilah panca fungsi

Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan


Bernegara, Jakarta, BP-7 Pusat, 1992, hlm. 71.
19
J.H.A.Logmann, Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht,
Universitaire Pers, Leiden, 1948; terj. Makkatutu dan J.C.Pangkerego, “Tentang
Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif”, Jakarta, Ichtiar Baru – van Hoeve,
1975, hlm. 31.
20
Idem, hlm. 61.

12
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

hukum.21 Kelima fungsi hukum tersebut adalah : pertama, direktif


artinya hukum harus dapat berfungsi sebagai pengarah dalam
membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai
sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua, integratif
maksudnya hukum harus dapat menjadi pembina kesatuan bangsa.
Ketiga, Stabilitatif dalam hal ini hukum harus dapat berfungsi
sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Keempat, perspektif yaitu penyempurna baik terhadap sikap
tindak administrasi negara maupun warga negara apabila terjadi
pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan
kelima, korektif dalam hal ini hukum harus dapat menjadi
pengoreksi atas sikap tindak administrasi negara maupun warga
negara apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk
mendapatkan keadilan.
Rumusan fungsi hukum sebagaimana dikemukakan di atas
dalam bahasa lain dirumuskan oleh Magnes Suseno22 sebagai
fungsi untuk memanusiakan pemegang kekuasaan. Hal ini
membawa konsekwensi terhadap adanya nilai-nilai dasar dalam
hukum berupa kesamaan, kebebasan, dan solidaritas.
Kesamaannya lebih mengarah pada kesamaan kedudukan
di dalam hukum. Dalam hal ini hukum harus menciptakan kriteria
obyektif yang berlaku bagi semua dan bukan menurut siapa yang
lebih mampu memaksakan kehendaknya. Atau dengan kata lain
hukum menjamin suatu kedudukan dasar yang sama bagi semua
anggota masyarakat dalam merealisasikan harapan hidup mereka.

21
Sjachran Basah, Perlindungan hukum terhadap sikap tindak administrasi
negara,Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13-14. Lihat juga Sjachran Basah, Tiga
tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung 1986, hlm. 24-25.
22
Frans Magnes Suseno, Etika Politik – Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern-, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 114.

13
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Nilai dasar kesamaan ini melahirkan konsep keadilan yang


diartikan sebagai sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Kebebasan bermakna bahwa hak setiap orang atau
kelompok untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan. Dalam
praktek, justru hukum ini membatasi kebebasan, namun
pembatasan kebebasan oleh hukum tidak semata-mata berdasarkan
paksaan belaka, melainkan berdasarkan pengakuan dari
masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa pengertian kebebasan
bukan berarti setiap orang berhak untuk hidup sesuai dengan
keinginannya sendiri. Sedangkan solidaritas atau kebersamaan
merupakan konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial yang
secara hakiki harus hidup bersama sehingga memerlukan tatanan
normatif bagi kelakuannya.
Cita-cita negara hukum yang berupa pembatasan tindakan
pemerintah dan warga negara oleh hukum akan berjalan dengan
baik jika hukum yang digunakan baik. Dalam rangka menciptakan
pembentukan hukum yang baik maka salah satu konsep yang
muncul adalah lembaga yudisial diberi kewenangan menguji
secara materiil peraturan perundang-undangan. Di mana hal ini
bertujuan agar peraturan perundang-undangan dapat sesuai dengan
tertib hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum merupakan bagian dari norma yang disebut norma
hukum. Jika ini dikaitkan dengan pembagian system norma yang
dikemukakan Hans Kelsen maka norma hokum itu dapat
digolongkan ke dalam system norma yang static (Nomostatics) dan
norma yang dinamik (Nomodynamics). System norma yang static
adalah sustu system yang melihat pada isi sustu norma, dimana
suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma yang
khusus. Contoh : dirikanlah Sholat! Dari norma ini dapat ditarik
norma khusus kewajiban untuk berpakaian menutup aurat,
menyiapkan air, dan lain-lain.
Sedangkan system norma yang dinamik adalah suatu
system norma yang melihat pada berlakunya norma atau dari cara

14
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

pembentukannya atau penghapusannya. Hal ini untuk


memperlihatkan pendapatnya yang menyatakan bahwa suatu
norma itu berjenjang dalam suatu petala, dimana norma yang
dibawah harus berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu
seterusnya sampai akhirnya berhenti pada suatu norma tertinggi
yang disebut Grond norm.
Hans Kelsens sebagai salah seorang penganut
positivisme hukum tentu akan berpendapat bahwa hokum untuk
adalah sama dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu
perlu dikaji istilah-istilah Hukum, Peraturan Perundang-undangan
dan Undang-undang.
Perlu pengkajian terhadap ketiga istilah ini karena dalam
praktek terjadi kekeliruan mengartikan ketiga istilah. Kekeliruan
mengartikan ketiga istilah ini tidak hanya dikalangan masyarakat
awan, tetapi termasuk di kalangan para ahli. Contohnya muncul
aliran JURISPRUDENCE YANG MELAHIRKAN AJARAN
LEGISME. Tokohnya John Austin, Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa hukum itu semata-mata kehendak dari
penguasa (command of the sovereign) dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Hukum lebih luas dari peraturan perundang-undangan,
bahkan sedemikian luasnya sehingga Apeldoorrn menyatakan
bahwa tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah
yang disebut hukum itu. Namun walaupun demikian definisi itu
penting untuk memberikan sekedar pegangan bagi kita tentang hal-
hal apa yang menjadi obyek penyelidikannya. Oleh karena itu
dibawah ini akan diuraikan pengertian hukum, yaitu :

E.M. MEYERS
hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa
dalam melakukan tugasnya.

15
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

LEON DUGUIT
hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang
jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
mel7akukan pelanggaran itu.

IMMANUEL KANT
hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum
tentang kemerdekaan.

S.M. AMIN
hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi dengan tujuan mengadakan
ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara.

M.H. TIRTAATMIDJAJA
hukum adalah semua aturan atau norma yang harus diturut dalam
tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman harus mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan
itu akan membahayakan diri sendiri, atau harta, umpamanya orang
akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

J.C.T. SIMORANGKIR & WIRJONO SASTRO-PRANOTO


hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.

16
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Melihat definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat


disimpulkan bahwa unsur-unsur hukum adalah :
1. PENGATURAN MENGENAI TINGKAH LAKU MANUSIA,
2. DIBUAT OLEH BADAN YANG BERWENANG,
3. BERSIFAT MEMAKSA, DAN
4. MEMILIKI SANKSI
Kaidah hukum dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh
aspek filosofi dan sosiologis dari negara tersebut. Sifat dari kaidah
hukum ini dapat dikelompokan menjadi empat macam, yaitu :
1. Umum abstrak, misal peraturan perundang-undangan;
Contoh kongkrit “Barang siapa/ setiap orang yang
membuang sampah tidak pada tempatnya dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebesar-besarnya Rp. 50.000,00.
2. Umum konkret, misal rambu-rambu lalulintas atau
Semua orang yang menggunakan kendaraan bermotor roda
dua harus menggunakan Helm pengaman;
3. Individual konkret misal Keputusan Tata Usaha Negara
konkritnya Saudara ASEP ,S.H.,M.H. diangkat sebagai
GUBERNUR PROPINSI JAWA BARAT; dan
4. Individual abstrak misal Izin Gangguan atau Saudara
DEDEN wajib mentaati semua peraturan yang berlaku di
Unisba.

Disisi lain A. Hamid S. Attamimi memberi arti peraturan


per-uu-an adalah semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua
tingkat lembaga dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu
biasanya disertai sanksi dan berlaku umum, serta mengikat rakyat.
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan adalah “Keputusan tertulis yang dikeluarkan
oleh pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat mengikat secara umum”.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan :

17
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

1. bentuk peraturan per-uu-an adalah tertulis,


2. dikeluarkan oleh badan/lembaga berwenang,
3. substansinya aturan tingkah laku,
4. sifatnya mengikat umum.
Maksud dari keputusan tertulis mengandung arti
mempunyai bentuk baku tertentu. Dengan demikian pengertian
tertulis dalam peraturan perundang-undangan bukan hanya ada
tulisannya, melainkan selain ada tulisannya juga harus memenuhi
bentuk baku tertentu yang di Indonesia bentuk bakunya diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Pejabat atau lembaga yang berwenang adalah pejabat
yang secara atribusi atau delegasi mempunyai kewenangan
membuat peraturan per-uu-an. Secara umum Pemberian
kewenangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(i) pemberian kewenangan yang sifatnya atributif ;
(ii) pemberian kewenangan yang sifatnya derivative.
Setiap kekuasaan yang timbul karena pengatribusian
kekuasaan akan melahirkan kekuasaan yang sifatnya asli
(oorspronkelijke). Pengatribusian kekuasaan ini menurut Suwoto
disebut sebagai pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan yang
belum ada menjadi ada. Sedangkan pemberian kekuasaan yang
derivatif disebut sebagai pelimpahan, karena dari kekuasaan yang
ada dialihkan kepada badan hukum publik yang lain. Bentuk
pelimpahan kekuasaan yang penting adalah delegasi (delegatie)
dan mandate (mandaat)23

23
Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republic Indonesia,
Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1990, Hlm. 75-77. Untuk
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak ada kewenangan yang
asalnya dari mandat.

18
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Atribusi (attributie) dalam kamus istilah hukum


diterjemahkan sebagai :24
“Pembagian (kekuasaan); dalam kata attributie van
rechtsmacht; pembagian kekuasaan kepada berbagai
instansi (absolute competentie/kompetensi mutlak), sebagai
lawan dari distributie van rechtsmacht. Juga membagikan
suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif atau kekuasaan
aksekutif : conflicten van attributie, konflik pembagian
kekuasaan”.

Sedangkan delegasi diterjemahkan sebagai :25


“Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada yang rendah; penyerahan yang demikian dianggap
tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan
kekuatan. Misalnya : dewan perwakilan daerah kota praja
pemerintahan kepada majelis walikota dan pembantu wali
kota untuk mengadakan peraturan-peraturan tertentu”.

Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan


suatu wewenang, pada delegasi, diserahkan suatu
wewenang, pada mandat tidak ada penciptaan ataupun
penyerahan wewenang. Cirri pokok mandat adalah suatu
bentuk perwakilan. Mandataris berbuat atas nama yang
diwakili.26

Wewenang menjalankan urusan pemerintahan yang


diperoleh melalui cara-cara atribusi, delegasi, dan mandat tersebut

24
N.E. Negra, (et al), Kamus Istilah …, Jakarta : Binacipta, 1983, Hlm. 36.
25
Ibid., Hlm. 91.
26
Ibid, hlm. 286.

19
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

telah diuraikan oleh para sarjana, seperti yang dikemukakan oleh


Van Wijk/Konijnenbelt, bahwa di negeri Belanada, atribusi
merupakan cara yang lazim bagi suatu organ pemerintahan
(administrasi Negara) dalam memperoleh suatu wewenang guna
menjalankan urusan pemerintahan. Atribusi dimaksud terjadi
melalui pembentuk peraturan perundang-undangan. Pembentuk
peratura perundang-undangan berkompeten memberikan
wewenang pemerintahan kepada organ pemerintahan (administrasi
Negara), baik yang sudah ada maupun yang baru akan di
bentuk.Dalam kaitan itu, De Haan, menyatakan, “onder atributrie
hier verstaan de toedeling door de wetgever van
beschkkingsbevoegdhied lichaam ….” (Dalam hal ini, atribusi
berarti bahwa pembuat undang-undang memberikan kewenangan
kepada organ administrasi negara sebagai bahan publik ….”27
Atribusi dimaksud hanya dapat terjadi melalui pembentuk
UU original atau pembentuk UU atas dasar delegasi (diwakilkan).
Pembentuk UU original dimaksud adalah pembentuk UUD,
parlemen (pembentuk UU dalam arti formal), dan badan-badan
kerajaan yang berkenaan dengan amvb dari pasal 89, serta sejauh
yang bertalian dengan peraturan-peraturan otonomi. Sedangkan
pembentuk UU yang berdasarkan asas delegasi (diwakilkan)
seperti raja (Mahkota), Mentri-mentri dan organ pemerintahan
yang lebih rendah berwenang membuat pereturan sejauh
menyangkut peraturan kekuasaan yang melaksanakan
pemerintahan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari pendapat Van
Wijk bila dihubungkan dengan keadaan di Indonesia, yaitu
pertama, atribusi wewenang yang berasal dari suatu delegasi
(delegatif). Atribusi pertama, berkedudukan sebagai original

27
De Haan P. Th. G. Drupsteen en R. Fernhout, Bestuurrechts in de sociale
Rechtsstaat, p.207, dalam Philipus H. hadjon, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1993, Hlm 57.

20
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

legislator, yakni ditingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk


UUD ( konstituante), dan Presiden bersama DPR membentuk UU.
Sedangkan untuk atribusi yang kedua (delegated legislator), seperti
Presiden yang berdasar atas suatu ketentuan UU mengeluarkan
suatu PP yang berisi penciptaan wewenang pemerintahan kepada
badan atau pejabat TUN.
Adapun ciri-ciri atribusi (attribrutie) wewenang dapat
dikemukaan sebagai berikut:
(1) Pengatribusian wewenang menciptakan kekuasaan baru,
sehingga sifatnya tidak derivatif;
(2) Pemberian wewenang melalui atribusi tidak menimbulkan
kewajiban bertanggung jawab, dalam arti tidak diwajibkan
menyampaikan laporan atas palaksanaan wewenang;
(3) Pemberian wewenang melalui atribusi harus berdasar atas
peraturan perundang-undangan;
(4) Wewenang yang diperoleh melalui atribusi dapat dilimpahkan
kepada badan-badan administrasi lain, tanpa harus memberi
tahu kepada badan yang memberi wewenang;28
(5) Wewenang atribusi merupakan kekuasaan yang bersumber dari
wewenang asli (original).
Kemudian untuk pengertian delegasi (delegatie), Van Wijk
antara lain menguraikan bahwa:29
“van delegatie van bestuursbevoegdheid is sprake alseen
bestuursorgan een bevoegdheid overdraagt aan een ander
organ, dat die bevoegheid gaat uitoefenen in plaats van het
oorsfrontkelijk bevoegde orgaan.

28
Lihat Suwoto, Kekuasaan dan…. , Op. Cit. , Hlm. 82-83. Lihat juga
R.J.H.M. Huisman, Algemeen bestuursrecht, een inleiding, kobra, Amsterdam,
tanpa tahun, Hlm. 7.
29
Van Wijk/Konijnembelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht, Vijfde
druk, Vuga S’Gravenhage, 1948, Hlm. 52 ditambahkan dari Moh. Hatta
Akhmad Kompetensi…, Op. Cit. , Hlm. 29.

21
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Delegatie impliceert dust overdrcht: wat aanvankelijke


bevoegdheid van A was, is voortaan bevoegdheid van B (en
niet meer van A)”

Maksud uraian Van Wijk tadi diartikan bahwa dengan


delegasi terjadi suatu pelimpahan wewenang dari organ
administrasi negara kepada organ administrasi Negara yang lain.
Implikasi pelimpahan wewenang dimaksud membuat A tidak
berwenang lagi setelah B menerima wewenang tersebut.
Suatu delegasi wewenang memerlukan dasar hukum yang
jelas, karena itu apabila delegens hendak menarik kembali
wewenang yang telah didelegasikan kepada delegataris, maka
delegans harus menarik atau mencabut lebih dulu pelimpahan
wewewnang dimaksud, sehingga denagan begitu delegataris tidak
lagi berkompeten atas kewenangan tersebut.
Penerima wewenang berdasarkan delegasi (delegataris)
dapat pula mendelegataris lebih lanjut wewenangnya kepada organ
atau pejabat administrasi Negara lain. Pelimpahan wewenang
dimaksud di sebut Subdelegasi, yang tata cara dan akibatnya
berlaku sama seperti delegasi. Atau dengan kata lain, untuk
delegasi ini secara mutatis mutandis juga berlaku ketentuan-
ketentuan mengenai subdelegasi pada umumnya.
Praktek pendelegasian wewenang biasanya di lakukan, baik
sebagian maupun keseluruhan wewenang delegans. Kedua bentuk
pendelegasian tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Begitu pula
dari delegataris (menjadi delegans) kepada pihak ketiga.
Seterusnya dari subsub delegasi (Sub Delegataris) melimpahkan
kepada pihak lain lagi.
Bagaimana dengan segi pengawasan atas wewenang yang
di delegasikan itu ? Memang dengan terjadinya pendelegasian
wewenang, maka tanggung jawab sepenuhnya beralih kepada
subyek hukum yang lain. kalaupun terdapat pengawasan yang

22
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dilakukan oleh delegans kepada delegataris maka hal itu bukan


merupakan kepentingan yuridis, tetapi lebih tertuju kepada
keberhasilan ketatalaksanaan “management” suatu organisasi.
Dengan demikian dapat disarikan cirri-ciri yang melekat
pada pelimpahan wewenang (delegatie) sebagai berikut :
(1) Pelimpahan wewenang hanya boleh dilakukan oleh badan
atau organ pemerintah (administrasi Negara) yang
berkompeten ;
(2) Pelimpahan wewenang mengakibatkan tidak berkompeten
lagi “delegans” dalam kurun waktu yang ditentukan ;
(3) Penerima wewenang (delegataris) harus bertindak untuk dan
atas nama sendiri. Karena itu segala akibat hukum yang
timbul dari pendelagisian wewenang menjadi tanggung
jawab delegataris;
(4) Tata cara dan akibat hukum pada pelimpahan wewenang
antara “delegans” dengan delegataris berlaku sama antara
delegataris (sub delegans) dengan sub delegasi (sub
delegataris)
Dalam hubungan dengan atribusi , delegasi dan sub
delegasi ini perlu juga diperhatikan segi positif dan negatifnya.
Segi positifnya antara lain disebutkan :
1. Sistem atribusi, delegasi (dan sub delegasi) memungkinkan
pembentukan peraturan atau pengambilan keputusan dicapai
lebih cepat dari pada pembentukan UU.
2. Sistem atribusi, delegasi (dan sub delegasi) memungkinkan
pembentuk UU membatasi (diri) pada pengaturan yang
bersipat pokokpokok saja. Pengaturan rinci dapat dilakukan
oleh pemegang weenang atribusi atau delegasi.
3. Sistem atribusi, (dan sub delegasi) menunjukkan karakter yang
lebih fleksibel daripada UU. Peratuaran atau keputusan yang
dibuat berdasarkan atribusi atau delegasi akan lebih mudah
disesuaikan dengan perkembangan baru karena tata cara
pembuatannya lebih sederhana daripada pembuatan UU.

23
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

4. Sistem atirbusi, (dan sub delegasi) dapat merupakan cara


menghindari persoalan politik tertentu yang mungkin timbul
kalau ditetapkan dengan UU.30
Kemudian dari segi negatifnya dapat disebutkan antara lain
:
1. Peraturan atau keputusan yang dibuat berdasarkan atribusi atau
delegasi tidak dibahas oleh badan perwakilan rakyat, sehingga
tidak berkesempatan diuji secara demokrasi (dalam forum
demokrasi ).
Peraturan atau keputusan yang dibuat berdasarkan atribusi
atau delegasi tidak memberikan kesempatan kepada badan
perwakilan rakyat untuk meninjau kosekuensi keuangan yamg
mungkin timbul. Dengan perkata lain badan perwakilan rakyat
tidak dapat mempergunakan hak budgetnya dengan baik.
Sedangkan unsure ketiga dari peraturan perundang-
undagan adalah berisi Aturan tingkah laku. Aturan pola tingkah
laku secara umum dapat digolongkan ke dalam 4 pola yaitu :
1. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya perintah.
Artinya peraturan-perundang-undangan tersebut
mewajibkan kepada subjek untuk melakukan sesuatu.
Biasanya dalam peraturan tersebut dinyatakan dengan
bantuan kata kerja wajib atau harus.
Contoh : Setiap orang yang telah dewasa wajib memiliki Kartu
Tanda Penduduk.
2. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya larangan.
Artinya peraturan-perundang-undangan ini mewajibkan
kepada subjek untuk tidak melakukan sesuatu. Larangan
sering dirumuskan dengan kata-kata “dilarang” atau “tidak
boleh” atau “tidak dapat.

30
Laporan Akhir Hasil Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Tentang Pengaturan Tata Ruang Indonesia , Desember 1989, Hlm. 82.

24
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Contoh : Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang mempunyai istri


lebih dari satu kecuali seizin istri tuanya.
3. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi
dispensasi. Artinya peraturan tersebut membolehkan secara
khusus kepada subjek untuk tidak melakukan sesuatu yang
secara umum diwajibkan/diharuskan. Biasanya
dirumuskan dengan bantuan kata-kata “dibebaskan dari
kewajiban”, “dikecualikan dari kewajiban”, atau “Tidak
berkewajiban”.
Contoh : Mahasiswa yang telah lulus Penataran P4 dibebaskan
dari kewajiban untuk menempuh matakuliah
Pancasila

4. peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi


Izin. Artinya pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu
yang secara umum dilarang atau tidak boleh dilakukan.
Biasanya dirumuskan dengan menggunakan kata : “boleh”,
“berhak untuk”, “mempunyai hak untuk”, “Dapat” atau
“berwenang untuk”.
Contoh : Setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.

Unsur ke empat dari peraturan perundang-undangan adalah


mengikat umum. Maksud dari mengikat umum ini adalah tidak
mengidentifikasikan individu tertentu. Artinya Mungkin berlaku
untuk semua orang, mungkin untuk golongan orang-orang tertentu,
atau golongan orang tidak tertentu, sehingga pengertian mengikat
umum ini tidak harus diartikan berlaku untuk semua orang saja
melainkan cukup asal tidak menentukan secara konkrit identitas
individu atau objeknya.
Secara Umum Peraturan perundang-undangan mempunyai
struktur yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

25
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

a. Subyek : menunjuk kepada siapa yang menjadi sasaran dari


suatu aturan, Contoh : Setiap Orang, Barang Siapa,
b. Obyek : menunjuk pada peristiwa-peristiwa apa yang hendak
diatur, Contoh : Memiliki atau menmguasai senjata tajam,
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa,
c. Pola tingkah laku : menunjuk pada cara bagaimana obyek
diatur, ini dapat berupa perintah, larangan, memberikan sesuatu
hak atau membebankan suatu kewajiban tertentu. Contoh :
Boleh memiliki atau menguasai, berhak menetapka, diancam
dengan hukuman penjara.
Kondisi subyek : menunjuk pada keadaan yang bagaimana
subyek melakukan pola tingkah laku. Contoh : Dengaan Sengaja,
Karena Kelalaiannya.
Sedangkan istilah undang-undang mengandung dua arti,
yaitu dalam arti materiil dan dalam arti formal. Dalam arti materiil
(wet in materiele zin) undang-undang sama dengan peraturan
perundang-undangan. dalam arti formal (wet in formele zin)
undang-undang yang dilihat dari bentuknya akan diberinama uu,
yang kalau dilihat di indonesia dibuat oleh legislatif dan sisahkan
oleh eksekutif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :


1. undang-undang dalam arti formal merupakan salah satu
bentuk dari peraturan perundang-undangan,
2. undang-undang dalam arti materiil sama dengan undang-
undang,
3. peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
bentuk dari hukum, yaitu hukum yang dibuat secara
tertulis oleh lembaga yang berwenang.
4. atau hukum > peraturan per-uu-an (uu materiil) > uu
formal

26
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

BAB III
HUBUNGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DENGAN NEGARA HUKUM

Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui dan memahami


hubungan kausalitas antara keberadaan
peraturan perundang-undangan dengan
negara hukum.

1. Pengertian, sejarah, dan ruang lingkup negara hukum


Negara hukum adalah suatu gagasan bernegara yang paling
ideal. Gagasan negara hukum ini telah berkembang sejak Plato
menulis Nomoi atau bahkan jauh sebelum itu. Gagasan negara
hukum didasari oleh suatu keyakinan bahwa kekuasaan negara
harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.
Sejarah kenegaraan menunjukan bahwa pengisian dan
pengertian negara hukum selalu berkembang sesuai dengan kondisi
masyarakat dan zaman saat perumusan negara hukum itu
dicetuskan. Aristoteles yang melihat pemerintahan dalam polis
dengan wilayah yang kecil serta penduduk sedikit memberikan
ciri-ciri negara hukum, adalah :
1. Segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah;
2. seluruh warganegara ikut serta dalam urusan
penyelenggaraan negara;
3. berdiri di atas hukum yang mencerminkan keadilan.
Dalam perkembangannya raja yang memerintah
menyelenggarakan kepentingan rakyatnya dengan tidak
mengikutsertakan rakyat dan bahkan banyak melakukan hal-hal
yang merugikan rakyatnya. Terhadap keadaan tersebut munculah
faham liberalisme yang mengajarkan bahwa negara harus
melepaskan diri dari campur tangan urusan kesejahteraan
rakyatnya.

27
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Pemikiran ini melahirkan konsep negara hukum dalam arti


sempit. Konsep negara hukum dalam arti sempit menurut
Emanuel Kant dan Fichte disebut Nacht Wachter Staat yang
unsur-unsurnya adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia dan pemisahan kekuasaan. Tuntutan masyarakat yang
terus berkembang mengakibatkan konsep negara hukum dalam arti
sempit tidak dapat dipertahankan. Negara ternyata harus turut
campur dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, namun
turut sertanya negara dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan
ini dimaksudkan agar negara tidak berbuat sewenang-wenang.
Konsep negara hukum seperti ini adalah konsep negara hukum
modern.
Konsep negara hukum modern inipun dalam penerapannya
masih dipengaruhi oleh system hukum yang digunakan oleh suatu
negara. Literatur lama membagi system hokum dalam dua bagian
besar yaitu system hokum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental.
Sistem hukum Eropa Kontinental merupakan system hukum yang
mengutamakan hukum tertulis, dengan demikian peraturan
perundang-undangan merupakan sendi utama system hukumnya.
Negara-negara yang menganut system hokum Eropa Kontinental,
lebih banyak mengarahkan hukum-hukumnya dalam bentuk
tertulis, bahkan dituangkan dalam suatu sistematika yang
diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-
undang yang penyusunannya disebut kodifikasi. Karena itu,
system hukum Eropa kontnental sering pula disebut system
hukum kodifikasi (codified law system). Dalam pada itu system
hukum Anglo Sistem, tidak menjadikan peraturan perundang-
undangan sebagai sendi utama system hukumnya. Sendi utamanya
terletak pada putusan pengadilan (Yurisprudensi). Sistem hukum
Anglo sakson berkembang dari kasus-kasus kongkret, dan dari
kasus tersebut lahir berbagai kaidah dan asas-asas hukum. Karena
itu, system hukum ini sering disebut system hukum yang
berdasarkan kasus (case law system).

28
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Sistem hukum Eropa Kontinental melahirkan konsep


negara hukum Eropa Kontinental atau disebut Rechtstaats dan
system hukum Anglo Saxon melahirkan konsep negara hukum
Anglo Saxon atau disebut Rule of Law. Sedangkan literature yang
dating kemudian menambahkan dengan system hukum Islam yang
melahirkan konsep negara hukum Islam, system hukum Sosialis
yang melahirkan negara hukum Socialist Legality, dan system
hukum Pancasila yang melahirkan konsep negara hukum
Pancasila.
Dalam negara hukum konsep Eropa kontinental negara
dikatakan sebagai negara hukum, bila memenuhi unsure-unsur :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia,
2. Trias Politica,
3. Wetmatig Bestuur,
4. PeradilanAdministrasi.
Konsep negara hukum Anglo Saxon membagi unsur-unsur
negara hokum menjadi tiga, yaitu :
1. Supremasi hukum, dalam arti bahwa hukum mempunyai
kekuasaan tertinggi,
2. Persamaan di dapan hukum bagi semua warga negara, dan
3. Jaminan terhadap Hak-hak asasi manusia.
Perbedaan dari kedua konsep negara hukum tersebut
diakibatkan oleh :
1. Pada system Eropa kontinental berlaku Prerogative State
yang menurut konsep ini pejabat administrasi negara dalam
melakukan fungsi administrasinya tunduk pada hukum
administrasi negara, sehingga bila pejabat administrasi negara
itu melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam menjalankan
fungsi administrasinya maka mempunyai forum peradilan
tersendiri yaitu peradilan administrasi negara. Sedangkan
dalam konsep Anglo Saxon peradilan administrasi negara tidak
penting dengan alasan adanya pesamaan kedudukan dalam

29
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

hukum sehingga tidak ada perbedaan forum peradilan baik bagi


rakyat biasa maupun bagi pejabat administrasi negara.
2. Sistem eropa kontinental selalu berusaha untuk menyusun
hukum-hukumnya dalam satu sistematika yang diupayakan
selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang. Hal
tersebut melahirkan unsur setiap tindakan pemerintah harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Sedangkan dalam system anglo saxon sendi utamnya adalah
yurisprudensi, dari yurisprudensi itulahir berbagai kaidah dan
asas hukum. Dan hal itu melahirkan unsure supremasi hukum.
Sedangkan konsep negara hukum menurut Hukum Islam
ialah suatu pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum Islam (Syariah). Dalam Syariah ini diatur
dua aspek hubungan, yaitu hubungan vertical dan horizontal.
Hubungan vertical ialah hubungan manusia dengan Allah disebut
ibadah dan hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan
manusia serta manusia dengan alam lingkungan hidupnya disebut
muamalat atau kemasyarakatan.
Syariah Islam memberi dasar sesuai dengan sifat manusia
yang langgeng dan tak berubah, yang berlaku pada setiap tempat
dan pada segala jaman. Namun Islam tidak mengatur seribu satu
permasalahan secara teknis terinci, Islam hanya mempunyai satu
aturan dalam ibadah yaitu semua dilarang kecuali apa yang
diperintahkan dan satu untuk muamalat yaitu semua diperbolehkan
kecuali yang dilarang.
Dalam muamalat atau kemasyarakatan karena semua
diperbolehkan kecuali yang dilarang maka dengan sendirinya hal
tersebut memberi kebebasan kepada manusia untuk merinci dan
mengembangkan aturan-aturan kemasyarakatan. Walaupun begitu
manusia tidak dapat sekehendak hatinya merinci dan
mengembangkan aturan ini, tetapi harus selalu mengikuti rambu-
rambu yang terdapat dalam Qur’an dan Sunah Rasul. Dengan
demikian dalam negara hukum Islam rasio meanusia digunakan

30
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

untuk membuat aturan kemasyarakatan. Bentuk pengaturan yang


dilakukan sebagai hasil rasio manusia dapat dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dapat pula dalam bentuk ijtihad.
Indonesia sebagai negara yang lahir pada abad modern
menyatakan diri sebagai negara hukum. Landasan berpijak yang
dapat digunakan untuk menyatakan Indonesia sebagai negara
hukum adalah Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945
(UUD’45) tentang system pemerintahan negara yang menyatakan :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat),
2. Pemerintah berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar)
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Penjelasan UUD’45 ini lebih dikuatkan lagi dengan amandemen
ketiga UUD’45 dalam Pasal 1 Ayat (3) yang menyatakan “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
Terhadap isi penjelasan UUD’45 di atas Sri Soemantri M.
memberikan ulasan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum,
berarti negara Indonesia adalah hukum (Pancasila). Negara
Indonesia yang berdasarkan atas hukum itu tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka. Hal tersebut menyiratkan bahwa dalam
negara hukum Indonesia unsur kekuasaan diakui keberadaannya
akan tetapi pemerintahannya berdasar atas sistem konstitusi. Lebih
lanjut dia mengatakan bahwa pembatasan kekuasaan tersebut perlu
diadakan karena kekuasaan dilihat dari si pemegangnya cenderung
disalahgunakan. Pembatasan kekuasaan dalam negara tersebut
dilakukan melalui hukum. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar
merupakan sebagian dari hukum, sehingga sistem konstitusi ini
merupakan sarana yang efektif untuk membatasi kekuasaan.
Dikatakan paling efektif karena dalam konstitusi terdapat tiga
materi muatan yang diatur yaitu :
1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
negara,

31
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang


bersifat fundamental,
3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.
Sedangkan arti dari negara hukum Pancasila itu sendiri adalah
setiap pemegang kekuasaan dalam negara dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya harus mendasarkan diri atas norma-norma
hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
dan norma hukum itu harus berdasarkan Pancasila. Adapun unsur-
unsur dari negara hukum Pancasila adalah :
1. adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia
dan warga negara,
2. adanya pembagian kekuasaan ,
3. bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang
berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
4. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan
kekuasaannya merdeka artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah
Agung harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh
lainnya.
Padmo Wahyonodalam pidato pengukuhan gurubesarnya
memberikan pula unsur-unsur dari negara hukum Pancasila, yaitu :
1. ada suatu pola untuk menghormati dan melindungi hak-hak
kemanusiaan,
2. ada suatu mekanisme kelembagaan yang demokratis,
3. ada suatu sistem tertib hukum,
4. ada kekuasaan kehakiman yang bebas.
Muhammad Tahir Azhari mengatakan bahwa negara hukum
Pancasila adalah negara hukum yang bercirikan ada hubungan
yang erat antara agama dan negara, bertumpu pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, adanya kebebasan agama dalam arti
positif,atheisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang, dan

32
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

adanya asas kekeluargaan dan kerukunan. Unsur-unsur negara


hukum Pancasila adalah :
1. Pancasila,
2. MPR,
3. sistem konstitusi,
4. persamaan,
5. peradilan bebas.
Azhary menyatakan bahwa unsur-unsur dari negara hukum
Indonesia adalah :
1. Hukumnya bersumber pada Pancasila,
2. berkedaulatan Rakyat,
3. pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi,
4. persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan,
5. kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya,
6. pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat,
7. dianutnya sistem MPR.
Penulis sendiri dengan mendasarkan pada pendapat Bagir
Manan yang mengatakan bahwa di Indonesia sekurang-kurangnya
ada tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem hukum adat,
sistem hukum agama, dan sistem hukum barat, menganggap
Indonesia sebagai suatu negara hukum yang unik. Dikatakan unik
karena Hukum adat yang merupakan hukum tidak tertulis yang
terwujud melalui putusan penguasa adat lebih dekat pada sistem
Anglo Saxon, sistem hukum agama yang menonjol adalah hukum
Islam, sedangkan sistem hukum barat adalah Eropa Kontinental.
Ketiga sistem hukum ini mempengaruhi konsep negara hukum
Pancasila dan penulis beranggapan bahwa unsur-unsur dari negara
hukum Pancasila adalah :
1. Kekuasaan sebagai amanah,
2. adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia,
3. adanya pembagian kekuasaan,

33
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

4. adanya persamaan dalam hukum,


5. adanya sistem konstitusi,
6. adanya asas musyawarah,
7. pemerintah bertindak berdasarkan hukum,
8. adanya peradilan bebas.

2. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Negara


Hukum
Negara hukum yang mempunyai arti negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Penerapan konsep negara
hukum dalam setiap negara dipengaruhi oleh faktor cita negara
yang menjiwai tiap bangsa dan sistem hukum yang digunakan.
A.Hamid S.Attamimi mengatakan bahwa dalam suatu
negara hukum yang modern fungsi peraturan perundang-undangan
adalah :
1. memberikan bentuk pada endapan nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dan hidup dalam masyarakat,
2. Produk fungsi negara di bidang pengaturan, dan
3. metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur
dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang
diharapkan.
Di bagian lain Bagir manan menyatakan bahwa fungsi
peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi dua
kelompok utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.31
Yang dimaksud dengan fungsi internal adalah fungsi peraturan
perundang-undangan sebagai sub sistem hukum dari sistem hukum

31
Bagir Manan, Fungsi dan Materi peraturan Perundang-
undangan,Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran
Hukum BKS-PTN bidang hukum sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 1994, hlm. 16.

34
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

pada umumnya. Sedangkan fungsi eksternal dari peraturan


perundang-undangan adalah fungsi yang berkaitan dengan
lingkungan tempat berlakunya peraturan perundang-undangan
tersebut. Dengan kata lain fungsi eksternal ini disebut juga sebagai
fungsi sosial hukum.Peraturan Daerah merupakan salah satu
bentuk dari peraturan perundang-undangan tentu juga mengemban
dua fungsi tersebut.
Fungsi internal terdiri dari fungsi penciptaan hukum,
pembaharuan hukum32, fungsi integrasi pluralisme sistem hukum,33
dan fungsi kepastian hukum.34 Sedangkan fungsi eksternal terdiri
dari pertama fungsi perubahan yang mengandung arti bahwa
peraturan perundang-undangan diciptakan untuk mendorong
perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Kedua fungsi stabilisasi peraturan perundang-undangan diciptakan

32
Untuk pembaharuan hukum peraturan perundang-undangan merupakan
instrumen yang efektif dibandingkan dengan hukum kebiasaan atau
yuirsprudensi, hal ini terjadi karena pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat direncanakan sehingga pembaharuan hukumpun dapat
direncanakan. Pembaharuan hukum disini bukan hanya pembaharuan terhadap
peraturan perundang-undangan tetapi termasuk di dalamnya pembaharuan
terhadap yurisprudensi, hukum kebiasaan, dan hukum adat.
33
Seperti uraian pada sub B dikatakan bahwa di Indonesia masih berlaku
berbagai sistem hukum, dan pembangunan sistem hukum melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam rangka menintegrasikan berbagai sistem
hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama
lain.
34
Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih
tinggi dibandingkan dengan hukum tidak terlulis (hukum adat, hukum
kebiasaan, hukum yurisprudensi) dan kepastian hukum dari peraturan
perundang-undangan tidak hanya terletak pada bentuknya yang tertulis,
melainkan juga pada teknik perumusannya. Hal ini membawa konsekwensi
dalam merumuskan kaidah-kaidahnya harus memperhatikan kejelasan dalam
perumusan, konsisten dalam perumusan, dan penggunaan bahasa yang tepat dan
mudah dimengerti.

35
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

untuk menjamin stabilitas masyarakat. Dan ketiga fungsi


kemudahan artinya peraturan perundang-undangan dipergunakan
untuk mengatur berbagai kemudahan misal insantif, penundaan
pengenaan pajak, dan lain-lain.
Fungsi peraturan perundang-undangan tersebut sejalan
dengan fungsi hukum yang dikemukan oleh Sjachran Basah, yang
menyatakan ada lima fungsi hukum sehingga beliau menyebut
dengan istilah panca fungsi hukum.35 Kelima fungsi hukum
tersebut adalah pertama direktif artinya hukum sebagai pengarah
dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua
integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa. Ketiga Stabilitatif
sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Keempat perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap
tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga negara
apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Dan kelima korektif sebagai pengoreksi atas sikap
tinda kbaik administrasi negara maupun warganegara apabila
terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan
keadilan.
Hal tersebut tentunya berlaku juga bagi Indonesia yang
merupakan negara hukum Modern. Tujuan dari Negara Indonesia
sebagai suatu negara hukum adalah sebagaimana yang dirumuskan
dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu :
1. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
2. memajukan kesejahteraan umum,

35
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak
Administrasi negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13-14. Lihat juga Sjachran
Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1990, hlm. 23-24.

36
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

3. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan


4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kan
kemerdekaan, perdamaian abdi, dan keadilan sosial.
Perangkat hukum yang digunakan untuk melakukan hal
tersebut adalah peraturan perundang-undangan dengan tidak
mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan
mempunyai peranan yang besar dalam negara hukum Indonesia.
Peranan yang besar dari peraturan perundang-undangan ini
disebabkan oleh pengaruh sistem hukum Eropa kontinental.
Namun selain pengaruh sistem hukum Eropa Kontinental Bagir
Manan memberikan empat alasan lain, yaitu :
1. peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum
yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan
kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum
tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas begitu pula
pembuatnya,
2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian
hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah
diidentifikasikan dan mudah diketemukan kembali,
3. struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan
lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa
kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi
muatannya,
4. pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-
undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting
bagi negara yang sedang membangun termasuk
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Agar Peraturan perundang-undangandapat berfungsi sesuai
dengan tujuannya maka dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan landasar atau dasar berlaku yang
baik dari suatu peraturan perundang-undangan. Bagir manan

37
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

menyatakan ada empat dasar atau landasan agar peraturan


perundang-undangan berlaku dengan baik, yaitu :
1. landasan Yuridis,
2. landasan sosiologis,
3. landasan filosofis,
4. landasan teknik perancangan.
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi
dasar pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan
hukum pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, tidak
hanya dilihat dari aspek dasar hukum penerbitannya, tetapi juga
perlu diketahui dasar hukum kewenangan pembuatnya, tata cara
pembentukan, dan dasar logika yuridisnya.
Landasan yuridis sangat penting dalam pembuatan
pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan
menunjukan :
1. pejabat atau lembaga yang berwenang membuat atau
membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan
diketahuinya secara persis pejabat atau lembaga yang
berwenang membuat suatu peraturan perundang-undangan,
maka apabila ada peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pejabat atau lembaga selain dari yang telah ditentukan,
maka peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum
(nietig van recthswege). Dianggap tidak pernah ada, segala
akibatnya batal dengan sendirinya.
2. Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan
materi yang harus diatur di dalamnya, terutama jika telah
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. Apabila terjadi
ketidaksesuaian bentuk antara peraturan dasarnya dengan
peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk, atau
terjadi ketidak sesuaian antara jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang diaturnya, maka mengakibatkan

38
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan


(vernietigbaar).
3. Prosedur atau tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut
tidak diikuti, maka peraturan peraturan perundang-undangan
mungkin batal demi hukum, atau tidak/belum mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Misalnya, setiap Peraturan Daerah
harus mencantumkan kalimat “… dengan persetujuan DPRD,”
maka kalau ada Peraturan Daerah yang tidak mencantumkan
kalimat tersebut maka batal demi hukum. Contoh lain, bahwa
setiap undang-undang harus diundangkan dalam lembaran
negara sebagai satu-satunya cara agar mempunyai kekuatan
mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan maka
undang-undang tersebut belum mengikat.
4. Adanya konsekwensi yuridis, bahwa peraturan perundang-
undangan yang hendak dibuat itu tidak boleh bertentangan
dengan peraturan dasarnya atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung
kaidah yang bertentangan dengan UUD, dan seterusnya.
Dalam kaitan ini Hans Kelsen menyatakan bahwa setiap
kaidah hukum harus berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya. Menurut Zevenberger setiap kaidah hukum
harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya. Sedangkan
Logemann menyatakan bahwa kaidah hukum mengikat kalau
menunjukan hubungan keharusan atau memaksa antara suatu
kondisi dan akibatnya.
Dalam beberapa literatur, landasan yuridis pembentukan
peraturan perundang-undangan dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Landasan yuridis formal, yaitu kaidah-kaidah hukum yang
menjadi dasar kewenangan (bevoegheid) untuk menerbitkan
peraturan perundang-undangan. Landasan ini mengarah
kepada lembaga atau instansi yang berwenang membuatnya.
Misal Pasal 5 Ayat (1) UUD’45 amandemen pertama
merupakan dasar hukum bagi DPR untuk membuat UU.

39
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

2. Landasan yuridis materiil, yaitu kaidah-kaidah hukum yang


menghendaki suatu hal yang materinya diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Landasan yuridis
materiil ini mengarah pada materi muatan yang seyogyanya
diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya
Pasal 24 dan 25 UUD’45 merupakan dasar hukum (landasan
yuridis materiil) untuk dibuatnya UU No. 14 Tahun 1985
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan landasan Sosiologis adalah landasan yang
mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat atau tata
nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Mencerminkan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat, tidak berarti bahw
aproduk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan itu
sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), akan tetapi
harus dapat pula mengakomodasi kecenderungan (trend) dan
harapan-harapan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang
hanya mengukuhkan kenyataan yang ada, tidak hanya dinilai statis
dan konservatif, tetapi juga dapat melumpuhkan peran hukum itu
sendiri, yang seyogyanya justru diharapkan dapat mengarahkan
perkembangan masyarakat.
Dengan landasan sosiologis ini, produk peraturan
perundang-undangan yang dibuat bukan tumpukan kaidah hukum
yang dipaksakan, melainkan kaidah hukum yang diterima oleh
masyarakat secara wajar, spontan, bahkan menjadi sesuatu yang
ditunggu-tunggu kehadirannya.Peraturan perundang-undangan
demikian, akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu
banyak memerlukan pengarahan institusional dalam penerapannya.
Landasan filosofis adalah pandangan, ide-ide atau cita
hukum (recthsidee), dimana suatu peraturan perundang-undangan
sedapat mungkin dijiwai oleh nilai-nilai luhur berupa nilai etik,
estetika, dan moral yang dianut dalam hubungan bermasyarakat.
Nilai-nilai yang dijungjung tinggi itu tentunya diharapkan tetap
eksis dan mampu mempedomani tingkah laku masyarakat.

40
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat,


sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-
undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk
hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi adakalanya
sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematis dalam satu
rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-
doktrin filsafat resmi, seperti Pancasila.
Di Indonesia, Pancasila merupakan nilai-nilai yang secara
sistematis tertuang dalam sebuah doktrin filsafat resmi. Ia berisi
kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang telah
berlangsung sekian abad lamanya. Tidak mengherankan apabila
Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara,
dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila memberikan
arahan tentang pola tingkah laku, kesadaran, pengendalian diri,
bahkan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang
mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara,
Pancasila telah menunjukan perannya sejak awal berdirinya
republik ini, dimana Pancasila menjadi pedoman para pendiri
negara dalam mewujudkan Indonesia Merdeka. Sedangkan
sebagai sumber hukum, Pancasila mempunyai arti bahwa semua
hukum yang berlaku dan yang akan diberlakukan harus bersumber
dari Pancasila. Kaidah hukum yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, atau minimal tidak bertentangan
dengan sila-sila dalam Pancasila.
Dalam GBHN 1993, ketiga landasan di atas mendapat
penegasan yang perlu diperhatikan bagi para pembuat peraturan
perundang-undangan yang menyatakan “dalam pembentukan
hukum, perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis
yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang
sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan

41
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan yang berlaku’.
Sedangkan landasan teknik perancangan adalah landasan
yang bersangkut paut dengan prosedur atau tata cara pembuatan
peraturan perundang-undangan. Bagir Manan berpendapat bahwa
peraturan perundang-undangan yang kuran baik dapat juga terjadi
karena tidak jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud,
dan tujuannya (ambiguous), atau rumusannya dapat ditafsirkan
dalam berbagai arti (interpretatif), atau terjadi inkonsistensi dalam
menggunakan peristilahan, atau sistematikanya tidak baik, bahasa
yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti. Masalah ketidak
jelasan, memungkinkan bermacam-macam interpretasi, sukar
dipahami, penggunaan istilah yang tidak konsisten, bukan sesuatu
yang dapat diabaikan begitu saja dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Hal-hal inilah yang menyangkut teknik-
teknik perancangan peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitan dengan aspek perancangan, Bagir Manan
membagi dua tahap perancangan peraturan perundang-undangan,
yaitu tahap penyusunan naskah akademik dan tahap perancangan.
Dalam tahap penyusunan akademik di bahas pertanggung jawaban
akademik atas suatu naskah rancangan peraturan perundang-
undangan. Fungsi utama naskah akademik adalah
pertanggungjawaban akademik, maka sebuah naskah akademik
tidak perlu telah tersusun dalam bab-bab, pasal-pasal, ayat-ayat,
dan seterusnya. Yang terpenting adalah analisis akademik
mengenai berbagai aspek dari peraturan perundang-undangan yang
hendak dirancang. Pada tahap inilah diperlukan kajian-kajian
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis secara mendalam. Bila
diperlukan sebelum penyusunan naskah akademik, didahului
dengan penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian secara
ilmiah.
Sedangkan tahap perancangan mencakup aspek-aspek
prosedural dan penulisan rancangan. Aspek-aspek prosedural

42
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

berupa hal-hal ketatalaksanaan seperti izin prakarsa, pembentukan


panitia antar departemen, dan lain-lain. Sedangkan penulisan
rancangan adalah penuangan gagasan naskah akademik atau
bahan-bahan lain ke dalam bahasa dan struktur normatif, atau
biasanya disebut tahap normativisasi.

BAB IV
ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui dan memahami


pengertian, macamnya, kedudukan,

43
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dan penggunaanya dalam


pembentukan peraturan perundang-
undangan.

1. Pengertian asas-asas hukum


The Liang Gie menyatakan bahwa asas merupakan suatu
dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk
yang tepat bagi perbuatan itu.36 Bila kata asas ini diikuti kata
hukum menjadi asas hukum maka artinya adalah kecenderungan-
kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaaan pada
hukum, yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala
keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum tetapi
keberadaannya tidak boleh tidak harus ada. 37
Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Koesnoe yang
menyatakan bahwa asas hukum merupakan suatu pokok ketentuan
atau ajaran yang berdaya cakup menyeluruh terhadap segala
persoalan hukum didalam masyarakat yang bersangkutan dan
berlaku sebagai dasar dan sumber materiil ketentuan hukum yang
diperlukan.38 Hal ini memperlihatkan bahwa aturan-aturan dari
tata hukum harus selalu bersenyawaan dengan asas hukum atau
dengan kata lain aturan-aturan dari tata hukum harus sesuai dengan
asas hukum yang dianut oleh masyarakatnya. Asas hukum ini

36
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan,, Penerbit Super, Jakarta, 1977,
hlm.9.
37
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta, 1991, hlm. 33.
38
Moh Koesnoe, Perumusan dan Pembinaan cita Hukum dan Asas-Asas
Hukum Nasional, dalam Majalah Hukum Nasional Edisi Khusus 50 Tahun
Pembangunan Nasional, Pusat Dokumentasi hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, hlm. 75.

44
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

mempunyai dua fungsi yaitu fungsi dalam hukum dan fungsi


dalam ilmu hukum.
Fungsi dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada
rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim atau dengan
kata lain fungsi mengesahkan serta mempunyai pengaruh yang
normatif dan mengikat para fihak. Sedangkan fungsi dalam ilmu
hukum hanya bersifat mengatur dan aksplikatif atau menjelaskan
dengan tujuan memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak
termasuk hukum positif.

2. Asas-asas Pembuatan Peraturan Perundang-undangan


Van Kreveld membedakan antara asas-asas hukum yang
umum dalam pengertian luas dan asas-asas pembuatan peraturan
perundang-undangan yang baik yang sebenarnya sekaligus pula
termuat dalam asas-asas hukum yang umum. ‘Asas-asas hukum
yang umum’ adalah asas-asas yang boleh dipakai oleh hakim
untuk melakukan pengujian; ‘asas-asas umum pembuatan
peraturan perundang-undangan yang baik’ adalah asas-asas yang
harus selalu dipenuhi oleh setiap peraturan.
Uraian yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa
asas-asas peraturan perundang-undangan mempunyai kedudukan
yang esensial atau penting dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan bahkan lebih dari itu asas-asas peraturan perundang-
undangan merupakan unsur dari peraturan perundang-undangan.
Artinya asas-asas ini harus selalu ada dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Atau dengan kata lain asas-asas ini harus
selalu tercermin dalam pembuatan peraturan daerah.
Ada beberapa asas yang harus diperhatikan dalam teknis
perancangan yang oleh Van der Vlies dibagi menjadi dua asas,
yaitu asas formal dan asas materiil. Untuk Indonesia menurut
A.Hamid S.Attamimi adalah sebagai berikut :
1. Asas-asas formal, meliputi :

45
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

a. Asas tujuan yang jelas;


b. Asas perlunya pengaturan;
c. Asas organ atau lembaga yang tepat;
d. Asas materi muatan yang tepat;
e. Asas dapat dilaksanakan;
f. Asas dapat dikenali.
2. Asas-asas materiil, meliputi :
a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental
negara;
b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum; dan
d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar
sistem konstitusi.
Asas-asas pembentukan atau pembuatan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh A.H.S.
Attamimi di atas, akan lebih mudah dipahami jika dihubungkan
dengan ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut
Bagir Manan, peraturan perundang-undangan yang baik adalah
peraturan perundang-undangan yang mencerminkan dasar berlaku
secara yuridis, sosiologis, filosofis, dan memperhatikan teknik
perancangannya, sebagaimana penulis uraikan di atas.
Menurut Simons sebagaimana disitir oleh Ateng
Syafrudin bahwa kepercayaan masyarakat atau yang diperintah
terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat
dipertahankan, bilamana peraturan perundang-undangan itu
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain
daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula
memenuhi persyaratan-persyaratan teknis, tepat, cocok untuk
mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan energi
(tenaga) yang tidak perlu.
Selain itu, menurut Irawan Soejito, ciri-ciri peraturan
perundang-undangan yang baik adalah :

46
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

1. Dibuat dengan kalimat yang pendek, tetapi padat dan


dibuat secara teliti dan jelas;
2. Mudah dipahami secara mendalam oleh rakyat;
3. Berisi kaidah-kaidah yang sederhana, mudah dimengerti
dan tepat;
4. Tidak ruwet dan diterima baik dalam masyarakat.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik menurut
Irawan Soejito di atas, tampaknya lebih mengarah kepada teknik
pembuatan peraturan perundang-undangan daripada proses
pembentukan atau pembuatan peraturan perundang-undangan.
Apabila ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik menurut
Irawan Soejito dihubungkan dengan yang dikemukakan oleh
Bagir Manan di atas, maka ciri-ciri yang dikemukakan oleh
Irawan Soejito tersebut merupakan bagian dari unsur teknik
perancangan peraturan perundang-undangannya Bagir Manan.
Sebab dalam unsur teknik perancangan peraturan perundang-
undangan harus diperhatikan hal-hal teknis atara lain :
1. pokok-poko pikiran dituangkan ke dalam ketentuan –ketentuan
yang bersifat pengaturan (regeling), bukan bersifat penetapan
(beschikking), dan sedapat mungkin mengatur hal-hal bagi
peristiwa yang akan datang, yang dikemas dengan
menggunakan kalimat pernyataan.
2. perumusan harus jelas arti, maksud, dan tujuannya; gaya
bahasa harus padat (conceise)dan mudah (simple), tidak
bermakna ganda (ambiguity) atau dapat ditafsirkan bermacam-
macam (interpretatif), tetapi juga tidak kabur (obscurity),
terlalu luas (overbulkiness), panjang lebar (longwindedness),
atau berlebihan (redundancy) yang dapat membingungkan
(entanglement), dan tidak tumpang-tindih (overlapping), serta
tidak bersifat metaforik dan hipotetis.
3. istilah harus konsisten, sedapat mungkin bersifat mutlak dan
tidak relatif, serta tidak bersifat dapat diperdebatkan
(argumentaris).

47
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

4. sistematikanya teratur (orderliness) dengan penggunaan tanda


baca yang tepat.
Di Belanda Asas-asas ini mempunyai kaitan dengan
berbagai aspek dalam pembuatan peraturan. Berkaitan dengan
asas-asas pemerintahan yang baik, Konijnenbelt membedakan
kelompokan asas-asas menjadi :39
1. Asas-asas yang berkaitan dengan proses penyiapan dan
pembentukan keputusan.
2. Asas-asas yang berkaitan dengan pemberian-alasan dan
penataan keputusan.
3. Asas-asas yang berkaitan dengan isi keputusan.
Dengan ciri khas dari pengelompokkan ini yaitu
pembedaan antara asas-asas yang berkaitan dengan ‘bagaimana’
dan asas-asas yang berkaitan dengan ‘apa’nya suatu keputusan,
yang masing-masing disebut asas-asas formal dan asas-asas
material. Pembedaan ini terdapat di setiap bidang hukum.
Asas-asas pembuatan peraturan yang baik pun semakin
dibedakan antara asas-asas formal dan material. Dalam arti sempit,
ini bukan pembedaan. Jika orang, misalnya, tidak mendengarkan
pendapat suatu kelompok tertentu dan pihak yang berkepentingan,
ini dapat berakibat besar pada isi suatu peraturan. Jadi, asas bahwa
pihak yang berkepentingan harus didengar, mempunyai pengaruh
atas isi. Asas ini memang tidak begitu saja mempunyai kaitan
langsung atas isi peraturan. Asas ini hanya menetapkan bahwa isi
suatu peraturan yang akan dibuat harus dicari dengan cara tertentu.
Karena itulah asas ini disebut asas formal. Selain asas-asas yang
mengatur mengenai proses pembuatan suatu peraturan, ada asas-
asas yang mengatur mengenai sistematika dan saat-berlaku suatu

39
Bandingkan Konijnbelt 1984, hlm. 62; P.J.J. van Buuren dalam :
Bestuurswetenschappen (1979), hlm. 146 dst.; N.H.M. Roos, Enkele
rechtstheoretische kanttekeningen bij een belastingstheoretishche discussie,
dalam : NJB (1980), hlm. 225.

48
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan. Semua asas ini disebut formal; asas-asas ini berkaitan


dengan bagaimana.
Asas yang menggabungkan masalah ‘bagaimana’ dan
masalah ‘apa’ adalah asas mengenai tujuan. Setiap pembuat
peraturan harus bertanya pada diri sendiri apakah suatu peraturan
harus diadakan dan jenis peraturan apa yang harus diadakan.
Untuk itu umumnya ia harus berkonsultasi dengan para ahli dan
mendengar pendapat pihak yang berkepentingan. Argumentasi
mengapa suatu peraturan tertentu harus diadakan, harus
mempunyai dasar kuat. Argumentasi ini tidak boleh sekedar
menyebutkan hal-hal yang menyebabkan perlu dikeluarkannya
suatu peraturan, tetapi juga harapan-harapan yang diinginkan
dengan dikeluarkannya peraturan itu.
Terakhir, ada asas-asas yang langsung menyangkut isi
suatu peraturan, seperti misalnya asas kepastian hukum. Isi setiap
peraturan hukum harus sesuai dengan kedua asas ini. Asas-asas ini
dapat disebut asas-asas material.
Dengan melihat uraian di atas, kita dapat membuat
pembagian berikut, yang berjalan dari formal ke arah material :
1. asas-asas yang berkaitan dengan proses pembentukan suatu
peraturan;
2. asas-asas yang berkaitan dengan sistimatika dan
pengumuman suatu peraturan;
3. asas-asas yang berkaitan dengan kemendesakan dan tujuan
pembatasan suatu peraturan;
4. asas-asas yang berkaitan dengan isi suatu peraturan.
Pembagian ini dimaksudkan untuk sekedar memperjelas
pengertian dan tidak mempunyai arti khusus.
Beberapa aturan tertulis memiliki sifat-sifat suatu asas atau
beberapa asas adalah tertulis. Asas-asas mengenai pembuatan
peraturan dapat ditemukan baik di dalam UUD maupun di dalam
undang-undang lainnya. Sebagai contoh, pasal 1 Ayat (3) UUD
1945 pasca perubahan mengandung asas negara hukum, dan pasal

49
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

27 UUD1945 pasca perubahan mengandung asas kesamaan di


dalam hukum.

3. Hubungan Asas-asas Pembuatan Peraturan perundang-


undangan dengan hak-hak asasi
Persoalan mendasar berkaitan dengan hak asasi manusia
adalah, apakah semua hak asasi, mengingat makna fundamental-
nya bagi pembentukan hukum pada umumnya, harus dianggap
sebagai suatu asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang
baik?
Asumsinya ialah bahwa setiap pembuat peraturan wajib
menghormati hak-hak asasi. Akan tetapi, dalam pandangan ini
kedudukan hak-hak asasi tidak berbeda dari kedudukan ketentuan-
ketentuan (penting) lain UUD atau suatu ketentuan yang, bagi si
pembuat peraturan, tingkatannya lebih tinggi. Setiap pembuat
peraturan wajib menghormati tertib-hukum yang ada. Perintah ini
berkaitan erat dengan isi suatu peraturan, yang konsekuensinya
bagi setiap peraturan tentu saja berbeda-beda. Bagi hak-hak asasi,
ini dapat diperjelas dengan mengambil contoh pasal 27 Ayat (2)
UUD1945 pasca perubahan.
Pasal 27 ayat (2) UUD1945 pasca perubahan (mengenai
kesempatan kerja) tidak begitu saja ditujukan pada setiap kegiatan
pembuatan peraturan (meskipun pasal ini memang terutama bukan
menyangkut kegiatan pembuatan peraturan). Hal yang sama
berlaku juga bagi pengaturan mengenai kedudukan hukum bagi
pencari kerja yang tersirat dari pasal ini. Ketentuan Pasal ini lebih
merupakan suatu perintah kepada pembuat undang-undang untuk
mengatur suatu masalah tertentu, sama seperti misalnya perintah
pasal 23A UUD1945 pasca perubahan mengenai pajak. Apabila
mempelajari katalog hak-hak asasi seperti yang termuat dalam bab
XA UUD1945 pasca perubahan, akan sampai pada kesimpulan
bahwa hanya hak asasi dalam pasal 28A UUD1945 pasca
perubahan sajalah yang secara struktural berlaku bagi setiap

50
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan. Pasal-pasal lain dalam bab ini memuat batas-batas yang


harus diperhatikan oleh pembuat peraturan lainnya ataupun
masalah-masalah yang harus diatur oleh pembuat undang-undang.
Pasal-pasal ini berisi ketentuan-ketentuan yang lebih berkaitan
dengan isi undang-undang tertentu ataupun larangan membuat
undang-undang dengan isi tertentu, tetapi pasal-pasal ini bukanlah
asas-asas yang berkaitan dengan sifat dari peraturan perundang-
undangan. Selain itu, ada hak-hak asasi yang secara umum lebih
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan bukan
dengan pembuatan peraturan dalam arti sempit.
Asas kesamaan yang ada dalam pasal 27 UUD1945 pasca
perubahan erat kaitannya dengan permasalahan pembuatan
peraturan. Memang, jika orang ingin menjamin adanya perlakuan
yang sama antara warga negara, orang harus membuat suatu
peraturan yang dapat berlaku bagi semua orang. Jika di dalam
peraturan itu dimuat suatu pengecualian tanpa alasan-alasan yang
layak, peraturan itu tidak akan mencapai tujuannya. Jadi, kita dapat
menyimpulkan bahwa hak-hak asasi tidak mempunyai makna
langsung sebagai suatu asas pembuatan peraturan yang baik,
dengan catatan bahwa hak asasi yang mengenai perlakuan yang
sama mempunyai kedudukan tersendiri. Hak-hak asasi ini lebih
berkait dengan hukum material yang wajib diperhatikan oleh setiap
pembuat peraturan, seperti halnya ketentuan-ketentuan UUD atau
peraturan yang lebih tinggi.
Dalam membicarakan sifat-hukum asas-asas pembuatan
peraturan yang baik telah kita lihat bahwa sifat-hukum asas-asas
itu tidak sama. Sebagian ditegakkan dengan hukum, sebagian
tidak. Asas-asas yang ditujukan kepada pembuat peraturan sendiri
mempunyai sifat programatik yang menonjol. Asas-asas ini
menyangkut butir-butir permasalahan yang harus dipertimbangkan
oleh pembuat peraturan dalam membuat suatu peraturan.
Bagaimanapun, asas-asas yang diterapkan atau dapat diterapkan
oleh hakim harus mempunyai kaitan erat dengan hak-hak

51
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

mendasar dari orang atau badan hukum terhadap pembuat


peraturan. Saat ini peradilan sudah menguji peraturan perundang-
undangan lebih rendah ke asas-asas tertulis.

4. Perkembangan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan


Di Belanda ada lima sumber penting bagi pengembangan
asas-asas pembuatan peraturan yang baik, selain asas-asas yang
ada dalam undang-undang : 1) saran-saran Raad van State, 2)
berkas-berkas dan pembahasan RUU di dewan perwakilan rakyat,
3) Lembaga peradilan, 4) Pedoman Teknik pembuatan peraturan
perundang-undangan, dan 5) Laporan-akhir Komisi Pengurangan
dan Penyederhanaan peraturan Negara beserta Pedoman
Keberhematan peraturan dan Pedoman pengujian rancangan
undang-undang dan peraturan pemerintah yang keduanya ini
didasarkan pada laporan akhir itu. Sebutan nama yang digunakan
di atas tidak terlalu penting; yang penting adalah isinya yaitu
syarat-syarat umum yang dapat ditetapkan bagi pembuatan
peraturan. Sebagai sumber sekunder dapat disebut : literature di
bidang ini.40
Bahwa saran-saran Raad van State penting bagi
pengembangan asas-asas. Raad dituntut untuk menjelaskan,
misalnya, mengapa ia berpendapat bahwa suatu konsep tertentu
tidak memenuhi syarat. Meskipun Raad hanya menguji konsep
UU-dalam-arti-formal dan PP, kriteria pengujiannya penting juga
bagi peraturan tingkat menteri. Di dalam Staten-Generaal tumbuh
perhatian terhadap mutu peraturan perundang-undangan serta
pentingnya lembaga ini sebagai sumber bagi asas-asas. Peradilan
merupakan sumber klasik untuk mengetahui apa yang merupakan
hukum. Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa hakim tidak menguji

40
Selain literature yang sudah disebut, dapat disebut pula : Van Angeren,
dalam : Kracht van Wet, 1985. Mok, dalam : Problemen van Wetgeving, 1982.

52
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

apa yang hanya dapat diuji oleh pembuat undang-undang :


peraturan perundang-undangan (dalam-arti-formal).
Di atas telah dikatakan bahwa Pedoman Teknik pembuatan
peraturan perundang-undangan memuat lebih dari sekedar butir-
butir teknis. Bahwa teknik suatu peraturan pun harus tertib, dapat
pada umumnya dilihat sebagai suatu asas pembuatan peraturan
perundang-undangan yang baik. Pedoman teknik dapat dilihat
sebagai penjabaran lebih lanjut asas ini. Mungkin agak
mengherankan bahwa Laporan-akhir Komisi Pengurangan dan
Penyederhanaan peraturan negara (laporan-Geelhoed) disebut
sebagai sumber. Pengamatan lebih lanjut memperlihatkan bahwa
butir-butir pengujian yang diusulkan komisi ini justru disusun
demi peningkatan mutu peraturan. Karena itu, wajar jika orang
memperhatikan daftar butir pengujian ini serta melihat butir-butir
mana yang dapat seterusnya dipakai sebagai asas. Untuk
mengembangkan asas-asas pembuatan peraturan yang baik,
undang-undang maupun sumber-sumber lain dapat dimanfaatkan,
khususnya saran-saran Raad van State dan berkas-berkas serta
pembahasan RUU di Staten-Generaal.
Untuk mengembangkan asas-asas pembuatan peraturan
yang baik, undang-undang maupun sumber-sumber lain dapat
dimanfaatkan, khususnya saran-saran Raad van State dan berkas-
berkas serta pembahasan RUU di Staten-Generaal. Dalam
pengembangan asas-asas ini dianjurkan untuk membagi antara
asas-asas yang mengenai proses pembentukan (asas-asas formal)
dan asas-asas yang berkaitan dengan isi semata-mata (asas-asas
material).
Hal ini agak berbeda dengan di Indonesia, dimana di
Indonesia yang dapat dijadikan sumber pengembangan asas-asas
pembuatan peraturan yang baik adalah : 1) DPR dilihat dari
berkas-berkas pembahasan RUU, 2) UU tentang Pembentukan
peraturan perundang-undangan,3)Mahkamah Konstitusi dalam
putusan pengujian UU dan MA serta peradilan tingkat bawahnya

53
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

baik dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan di


bawah UU maupun dalam rangka penerapan hukum, 4) Presiden
dalam pembuatan PP dan Perpres, 5) Pemerintah Daerah dalam
Pembuatan Perda, dan 6) perguruan tinggi dalam pembuatan
naskah akademik suatu peraturan perundang-undangan.
DPR dapat menjadi sumber pengembangan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dengan melihat
perdebatan di DPR ketika menyusun RUU. Dalam penyusunan
RUU itu dapat dilihat asas-asas apa saja yang digunakan dan
bagaimana cara penggunaan asas tersebut. Begitupun dengan MK
ketika menguji UU dapat melihat apakah secara materiil penafsiran
yang dilakukan oleh pembuat UU sudah tepat atau belum tepat dan
inipun pada akhirnya akan menjadi sumber pengembangan asas-
asas pembentukan peraturan. Hal ini berlaku sama untuk MA dan
badan peradilan dibawahnya.
Presiden dalam membuat PP atau PerPrespun dapat
mengembangkan asas pembentukan peraturan perundang –
undangan, dan yang lebih potensial adalah Pemda dalam membuat
Perda. Dikatakan potensial karena Pemda dapat menggali asas-
asas lokal yang hanya berlaku di daerahnya untuk dijadikan asas-
asas pembentukan Perda.
Ada bebarapa asas yang harus diperhatikan dalam teknis
perancangan yang oleh Van der Vlies dibagi menjadi dua asas,
yaitu asas formal dan asas materiil. Untuk Indonesia menurut A.
Hamid S. Attamimi adalah sebagai berikut:
1. Asas-asas formal, meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas;
b. Asas perlunya pengaturan;
c. Asas organ atau lembaga yang tepat;
d. Asas materi muatan yang tepat;
e. Asas dapat dilaksanakan;
f. Asas dapat dikenali;
1. Asas-asas materil, meliputi:

54
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental


negara;
b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
c. Asas sesuai dengan prinsip - prinsip negara berdasar atas
hukum; dan
d. Asas sesuai dengan prinsip -prinsip pemerintahan berdasar
sistem konstitusi.
Kemudian bilamana diperhatikan Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam BAB II tentang Asas Peraturan Perundang-
Undangan dalam pasal 5 dan pasal 6 disebutkan dalam
membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus berdasarkan
pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik
yang meliputi:41
a. Asas Kejelasan Umum;
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Asas dapat dilaksanakan;
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Asas kejelasan rumusan;
g. Asas keterbukaan.
Disamping itu dalam ayat 6 disebutkan, bahwa materi muatan
peraturan perundang-undangan mengandung asas antara lain :
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bhinneka tunggal ika
g. Keadilan

41
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta, 2004.

55
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan


i. Ketertiban dan kepastian hukum
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Berikut ini akan diuraikan tentang asas-asas formal dari
suatu peraturan perundang-undangan, terdiri dari :
1. Asas tujuan yang jelas atau asas Kejelasan Umum
Asas ini terdiri dari tiga tingkat :
1) kerangka kebijakan umum bagi peraturan yang akan dibuat
2) tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat
3) tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan
Dalam ketiga tingkat ini tujuan harus terlihat jelas.
Latar belakang dari lahirnya asas ini adalah Di abad ke-19
tujuan dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah
terutama untuk mengkodifikasikan hukum yang ada. Tujuan ini
sudah sedemikian jelas, sehingga tidak membutuhkan uraian lebih
lanjut. Dalam perkembangan di abad lalu dan abad ini terjadi
perubahan dalam sifat peraturan perundang-undangan. Melalui
peraturan perundang-undangan, pemerintah ingin mengubah
hubungan sosial yang ada. Sebelum suatu undang-undang
diterapkan, pihak-pihak yang berkepentingan harus diyakinkan
bahwa tujuan yang ingin dicapai dengan peraturan itu memang
nilai yang ingin dikejar.
Untuk dapat menyatakan dengan jelas tujuan yang ingin
dicapai, pembuat peraturan perundang-undang pertama-tama perlu
memberikan uraian yang cukup mengenai keadaan-keadaan nyata
yang ingin diatasi oleh suatu peraturan. Selanjutnya, perlu
dikemukakan perubahan-perubahan apa yang dikehendaki melalui
peraturan itu terjadi atas situasi nyata yang ada, serta harus
diuraikan bagaimana ketentuan-ketentuan dalam peraturan itu akan
menimbulkan perubahan-perubahan tersebut.
Dalam uraian tersebut perlu dimuat ikhtisar mengenai
kebaikan dan keburukan. Masuk akal bahwa pembuat peraturan
mengenai situasi yang ada yang ingin diubahnya itu. Perubahan

56
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

atas tata cara pemilihan Presiden, misalnya, dilakukan ketika


politisi melihat tuntutan Demokrasi langsung sedemikian besarnya
pada masyarakat Indonesia sebagai akibat dari Bias yang
demikian besar dalam demokrasi perwakilan yang dilakukan pada
saat itu.
Pertanyaan yang releven muncul adalah seberapa dalam
pengetahuan yang harus dimiliki mengenai situasi nyata yang ada,
sebelum orang mulai bertindak mengubah peraturan yang berlaku
atau membuat peraturan yang baru. Bila untuk setiap perubahan
peraturan diharuskan adanya penelitian mendalam atas kenyataan-
kenyataan yang ada, ini akan sangat memperlambat tempo lahirnya
peraturan baru. Umumnya, dalam membuat peraturan baru yang
sifatnya penting, orang akan menambah jumlah lembaga pemberi
saran dalam rangka memperoleh keterangan yang dibutuhkan.
Pembuat peraturan, dengan demikian, akan memperoleh cukup
gambaran mengenai situasi yang ada sehingga mampu menyatakan
bagaimana ia akan mengadakan perubahan sosial melalui
peraturannya itu ke arah yang dikehendakinya.
Tahap berikutnya adalah perumusan tujuan peraturan. Ada
beberapa metode yang dapat dipakai. Tujuan itu dapat dinyatakan
secara umum, misalnya terciptanya partisifasi masyarakat yang
lebih baik sehingga dukungan masyarakatpun akan baik. Tujuan
itu dapat juga dinyatakan secara instrumental, misalnya,
menyatakan tingkat jumlah penduduk yang bagaimana yang
dinyatakan sebagai partisifasi yang bai serta jumlah standar
minimal berapa yang dikatagorikan partisifasi masyarakat masih
dianggap wajar.
Yang pokok bagi asas tujuan yang jelas ini lepas dari
metode mana pun yang digunakan adalah adanya uraian yang jelas
mengenai kepentingan-kepentingan yang tersangkut pada
peraturan yang akan dikeluarkan itu serta keterangan tentang
bagaimana kepentingan-kepentingan ini diperbandingkan satu

57
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

sama lain. Dengan cara ini akan jelas dengan cara bagaimana
pembuat peraturan akan melayani kepentingan umum.
Dengan demikian sebelum suatu peraturan dirancang,
tujuan-tujuan yang mendasarinya yaitu apa yang ingin dicapai oleh
pembuat undang-undang dengan peraturan itu harus dikemukakan
secara lengkap serta dirumuskan secara teliti.’ Perumusan ini
sangat bersifat instrumental. Tidaklah cukup jika orang ingin
mewujudkan suatu tujuan yang dirumuskan secara umum,
misalnya terwujudnya suatu pemerintahan yang demokratis
dengan sifat yang lebih terbuka. Pembuat peraturan harus
menyatakan tujuan itu secara lebih rinci, misalnya pemerintah
hendaknya atas prakarsanya sendiri mulai lebih banyak
mengumumkan dokumen-dokumen untuk partisifasi masyarakat,
dan dalam bentuk apa partisifasi itu dapat diberikan, dan
seterusnya. Masalahnya, tentu saja, ialah apakah pada setiap jenis
peraturan perundang-undangan hal ini dimungkinkan.
Seperti telah dikatakan di atas, tujuan harus diberikan di
ketiga tingkatan,yaitu kerangka umum kebijakan bagi peraturan
yang akan dikeluarkan. Kerangka ini dapat dirumuskan di dalam
penjelasan pemerintah, di dalam pidato kenegaraan, di dalam
penjelasan APBN atau di dalam nota kepada DPR mengenai
berbagai peraturan perundang-undangan yang diinginkan. Dengan
demikian, semua peraturan yang berkaitan dengan penghasilan
harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan umum penghasilan.
Hubungan antara meta-tingkat dan peraturan yang bersangkutan
harus selalu dinyatakan dengan jelas. Hanya dengan inilah tujuan
suatu peraturan tertentu dapat terlihat relief-nya.
Pada beberapa peraturan, tujuan yang resmi itu bukan
tujuan yang sebenarnya. Dalam hal demikian, orang berbicara
mengenai peraturan perundang-undangan simbol. Peraturan
perundang-undangan simbol itu digunakan untuk tujuan politik.
Orang mendapat kesan adanya pengaturan atas hal-hal tertentu,
yang dalam kenyataannya tidak. Untuk memuaskan pressure-group

58
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

atau kelompok-kelompok para pemilih, ditimbulkan kesan bahwa


peraturan yang mereka usulkan telah dibuat. Bahwa suatu
peraturan mempunyai makna simbolik, seringkali dapat dilihat dari
sarana-sarana yang digunakan untuk mewujudkannya. Undang-
undang Perlakuan Sama antara Pria dan Wanita dapat dilihat
sebagai contoh dari undang-undang simbol. Untuk mewujudkan
sasaran-sasaran undang-undang ini tidak disiapkan instrumen-
instrumen yang diperlukan, dan di dalam praktek pun hampir tak
pernah ada pengujian terhadap undang-undang ini. Pembuat
undang-undang tidak perlu lagi khawatir akan adanya tuduhan
bahwa ia tidak mendorong adanya perlakuan yang sama antara pria
dan wanita; ia dapat merujuk pressure-group yang bersangkutan ke
undang-undang ini.
Dari pertentangan kepentingan politis versus yuridis ini di
dalam merumuskan tujuan, terlihat sifat ganda dari peraturan
hukum : semakin politis suatu undang-undang, semakin pula asas
tujuan yang jelas ini menjadi sekedar pemanis bibir. Meskipun
begitu, ini tidak mengurangi kenyataan bahwa praktek hukum
sangat terbantu oleh adanya suatu norma yang jelas. Khususnya
DPRlah yang mengawasi apakah tujuan yang telah dirumuskan itu
telah sesuai dengan apa yang dimuat dalam teks undang-undang,
dan apakah tujuan itu dapat diwujudkan melalui isi undang-
undang.
Tingkatan ketiga dari asas tujuan yang jelas adalah : apa
tujuan dari masing-masing bagian dalam undang-undang?
Tujuan masing-masing dari bagian UU ini tentunya harus
mengacu pada tujuan pembuatan UU tersebut. Apabila asas tujuan
yang jelas diikuti dengan baik, evaluasi atas peraturan itu jika ini
dibutuhkan akan sangat dipermudah. Evaluasi akan semakin
dipermudah sejalan dengan semakin suatu tujuan dirumuskan
secara instrumental. Memang hampir tak mungkin untuk
mengawasi apakah penerapan suatu peraturan misalnya UU
Keterbukaan Pemerintahan telah memperkuat sifat demokratis

59
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

masyarakat: sebaliknya, adalah mungkin untuk meneliti apakah


pemerintah telah menyatakan terbuka dokumen atas prakarsa
sendiri atau untuk meneliti jenis dan jumlah permohonan untuk
menyatakan terbuka suatu dokumen. Dalam hal semacam ini pun
sulit untuk mengadakan penelitian evaluasi yang jujur. Khususnya,
tidak selalu dapat dipastikan apakah efek yang timbul itu adalah
(terutama) akibat dari peraturan yang dikeluarkan itu. Efek yang
bersangkutan dapat ditimbulkan oleh peraturan itu, tetapi dapat
juga akibat dari penerapan suatu peraturan lain, efek gabungan dari
beberapa peraturan, atau sama sekali tidak diciptakan oleh
peraturan mana pun, tetapi akibat dari perubahan pandangan di
dalam masyarakat. Masyarakat tidak boleh dianggap sebagai suatu
situasi laboratorium yang di dalamnya suatu peraturan dapat
dipelajari secara terpisah dari peraturan atau peristiwa-peristiwa
lainnya.
Minat atas evaluasi peraturan perundang-undangan akhir-
akhir ini meningkat. Namun pembentuk undang-undang di
Indonesia belum mencantumkan pasal untuk kewajiban melakukan
evaluasi dari suatu UU.
Masalah-masalah serupa menyulitkan pula untuk dapat
menyatakan dari sebelumnya apa efek suatu peraturan; paling
banter, orang hanya dapat menyatakan capaian hasil yang
bagaimana yang akan memuaskan pembuat undang-undang.
Bagi praktek hukum, suatu tujuan jelas yang terlihat dalam
konsiderans, penjelasan ataupun dokumen lain yang menyertai,
sangatlah penting. Tujuan ini memberikan bagi setiap orang yang
tersangkut dalam pelaksanaan suatu undang-undang, suatu
petunjuk yang baik untuk mengetahui maksud pembuat peraturan.
Usaha mencari kehendak pembuat undang-undang menjadi jauh
lebih mudah, dan ini penting, khususnya jika ada cacat di dalam
peraturan yang bersangkutan.
Melalui cara ini pun dapat diperoleh penafsiran yang lebih
seragam atas suatu peraturan. Di sini, hakim menjadi pihak yang

60
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

berkepentingan : suatu penjelasan yang berasal dari pembuat


peraturan atas pekerjaannya sendiri akan sangat memperingan
tugas hakim pada umumnya; juga jika halnya menyangkut
penafsiran analogi ataupun a contrario.

2. Asas organ yang tepat atau Asas kelembagaan


Asas ini menghendaki agar suatu organ memberi
penjelasan bahwa pembuatan suatu peraturan tertentu memang
masuk dalam kewenangannya, dan agar suatu organ, khususnya
pembuat undang-undang, memberi-alasan mengapa ia tidak
melaksanakan sendiri pengaturan atas suatu materi tertentu, tetapi
menugaskannya kepada organ lain.
Asas ini merupakan kelanjutan logis dari asas tujuan yang
jelas. Jika suatu saat sudah jelas apa yang harus dilakukan,
selanjutnya akan dilihat siapakah yang harus melakukannya. Asas
ini bertujuan menjalankan pembagian kewenangan sebagaimana
yang telah ditetapkan secara konstitusional di dalam undang-
undang dan yurisprudensi. Materi-materi yang penting harus
dimuat dalam undang-undang; hal-hal yang kurang penting dimuat
dalam peraturan yang lebih rendah dan seterusnya. Apa yang
menurut sifatnya termasuk dalam kewenangan badan-badan lebih
rendah, harus diatur oleh badan-badan itu sendiri.
Alokasi kewenangan pada organ-organ lebih rendah pun
harus dilakukan sedemikian, sehingga tugas yang dialokasikan itu
bersifat nyata, ada koordinasi yang baik, dan ada kaitan dengan
tugas-tugas lain organ yang bersangkutan.
Pembagian kewenangan antara berbagai organ,
sebagiannya dimuat di dalam UUD. Pembagian ini sebagian agak
jelas, sebagian diserahkan kepada praktek hukum. Contoh dari
pembagian kewenangan yang boleh dikata jelas, dapat ditemukan
dalam pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2), Pasal 22, Pasal 24, UUD
1945 setelah perubahan. Bagi hal-hal lainnya yang tidak dimuat
dalam UUD, dapat timbul masalah-masalah penafsiran. Masalah

61
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

ini umumnya menyangkut hubungan antara pembuat undang-


undang dan pemerintah, pemerintah dan menteri, serta pemerintah
pusat dan Pemerintah daerah.
Kesulitan atau perbedaan pendapat apa yang dapat timbul
dalam pembagian kewenangan antar organ-organ pemerintah pusat
satu sama lainnya, dapat disimpulkan bahwa jika dari tujuannya
terlihat bahwa hal yang menyangkut suatu ketentuan-yang-
mengikat-rakyat atau menyangkut suatu keputusan yang bersifat
mendalam, maka, menurut pendapat sebagian orang, pembuat
undang-undang harus bertindak.
Mengenai hubungan antara pembuat undang-undang dan
pemerintah atau menteri pada khususnya, orang dapat
menyimpulkan dari sejarah UUD bahwa dalam membuat undang-
undang orang harus selalu mengusahakan agar ketentuan-ketentuan
yang pokok dimuat di dalam undang-undang itu sendiri.
Konsekwensi dari pendapat ini adalah jumlah ketentuan delegasi
dalam suatu peraturan sedapat mungkin dibatasi. Jika demi
keluwesan dalam penetapan norma, suatu delegasi perlu diadakan,
batas-batas delegasi itu sedapat mungkin harus dimuat dalam
undang-undang. Di sini penerima delegasi perlu memperhatikan
dalam keadaan bagaimana serta untuk maksud apa kewenangan
yang didelegasikan itu boleh digunakan.”Adanya suatu teks yang
lengkap sangat membantu mereka yang harus melaksanakan
undang-undang karena mereka dapat memahami undang-undang
itu secara garis besar.
Aspek lain dari asas ini adalah pembagian kewenangan
antara organ pusat dan daerah. Peraturan-peraturan di tingkat pusat
umumnya dan memang sewajarnya banyak memuat kebebasan
kebijakan, setidak-tidaknya kewenangan, bagi organ pusat atas hal-
hal penting, serta peraturan-peraturan pelaksanaan bagi badan-

62
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

badan lebih rendah.42 Dalam rangka deregulasi, problematika ini


perlu diberi perhatian. Adanya dua peraturan yang sama-sama
berjalan yang masing-masing berasal dari organ yang berbeda
menimbulkan khususnya ketakjelasan dalam memahami peraturan.
Situasi saat ini yang dirasakan kurang memuaskan adalah
hasil dari suatu proses panjang yang di dalamnya pembuat undang-
undang pusat, berdasarkan pertimbangan kesamaan hukum dan
kesatuan hukum, bertindak merumuskan kembali tugas-tugas yang
umumnya sudah dilaksanakan oleh propinsi dan Kabupaten/kota
secara otonom dan selanjutnya menyerahkan kembali seluruhnya
atau sebagiannya sebagai tugas pembantuan.
Sebagai bahan bandingan untuk hal ini diBelanda misalnya
sudah dibuat pedoman dalam hal pembagian kewenangan ini yang
intinya adalah :
Pedoman keberhematan peraturan menghendaki
agar diusahakan pembagian tugas yang sejelas
mungkin antara pemerintah pusat dan badan-
badan umum lebih rendah.
Yang menjadi titik sentral di situ adalah
menghindarkan keharusan untuk mengeluarkan
atau melaksanakan peraturan secara bersama-
sama. Karena itu, otonomi yang ada sedapat
mungkin tidak dikutak-kutik, dan perumusan
kembali yang dilakukan oleh pemerintah perlu
diberi penjelasan yang lengkap. Dalam sarannya
atas UU Wisma Jompo, Raad masih bersikap
lunak terhadap praktek akrobat kewenangan yaitu
kewenangan mula-mula diserahkan kepada
kotapraja dan kemudian diambil kembali.43

42
Bdk. L.G. van Reijnen, Algemene beginselen van decentrale regelgeving,
dalam : Regel Maat (1986), hlm. 3 dst.
43
TK 18 710, B-C, hlm. 2

63
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Tweede Kamer telah pula menyinggung hal ini,


tetapi toh membiarkannya pula.

Pelaksanaan asas ini penting bagi praktek, melalui


penjelasan atas delegasi, DPR dapat menilai apakah asas ini tepat
untuk diletakkan di luar pengaturan atas masalah-masalah tertentu,
tanpa mengurangi kewajiban dan tanggung jawab. Selain itu, asas
ini penting pula bagi hakim. Seperti diketahui, hakim harus
menilai apakah suatu peraturan telah dibuat oleh organ yang
berwenang; jika tidak, peraturan itu takmengikat Untuk itu hakim
harus selalu mengetahui batas-batas delegasi. Ia juga akan
menengok kembali ke tujuan dari suatu undang-undang untuk
menilai kewenangan yang ada.

3. Asas Kemendesakan
Jika tujuan sudah terumus dengan jelas, masalah berikutnya
ialah apakah tujuan itu memang harus dicapai dengan suatu
peraturan. Asas ini lahir dari kenyataan dalam masyarakat,
dimana bila timbul sesuatu yang dirasakan tak adil, hampir
otomatis akan langsung meminta bantuan pembuat peraturan
perundang-undangan.
Masalah yang dirasakan tak adil diminta untuk diatur
kembali dengan baik dalam undang-undang atau, jika kepercayaan
pada pembuat undang-undang agak berkurang, harus dibuat suatu
rencana yang menjelaskan bagaimana situasi yang akan terjadi
dalam beberapa tahun ke depan. Dalam rangka deregulasi orang
ingin memperkecil reaksi positif terhadap permintaan masyarakat
ini dan setiap kali mengajukan pertanyaan terhadap suatu peraturan
: apakah peraturan itu memang mendesak untuk dibuat dan, kalau
ya, dalam bentuk apa peraturan itu harus dituangkan.
Terhadap hal tersebut pemerintah diharapkan oleh
masyarakat untuk (jika halnya menyangkut pembuatan peraturan
perundang-undangan) mengajukan berbagai alternatif kepada

64
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

DPR. DPR kemudian akan mendapat gambaran mengenai berbagai


kemungkinan yang ada dan akan lebih mampu untuk menilai
kegunaan dari rancangan yang dibuat oleh pemerintah itu. Seperti
diketahui, DPR tidak mempunyai alat perlengkapan sendiri untuk
mengembangkan alternatif-alternatif.
Untuk melaksanakan deregulasi yang dipahami sebagai
usaha ke arah peraturan perundang-undangan yang sederhana dan
tidak berlebih-lebihan secara terkoordinasi, pemerintah harus
membentuk suatu komisi yang bertugas mengembangkan kriteria
umum, yaitu Komisi Pengurangan dan Penyederhanaan
peraturan.44 Selain mengembangkan kriteria umum, komisi ini
bertugas pula memberikan saran-saran terhadap rancangan
peraturan perundang-undangan dari sudut deregulasi. Di samping
komisi umum ini masih masih diperlukan pula komisi di bidang
tertentu. Sebagai bahan bandingan di Belanda telah dibentuk pula
4 komisi di bidang tertentu, yaitu :
- Komisi yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi, yang
kegiatan-kegiatannya belakangan dialihkan ke proyek
penyiapan program kegiatan deregulasi di bidang pasar tenaga
kerja dan penciptaan lapangan kerja serta penelitian peraturan
perundang-undangan mengenai penataan sosial ekonomi dan
peningkatan mutu kemungkinan deregulasi;
- Program kegiatan deregulasi di bidang pemeliharaan
lingkungan hidup dan tata ruang;
- Program kegiatan penyerasian dan penyederhanaan instrumen
pendukung dunia usaha;
- Program kegiatan deregulasi di bidang tata bangunan
(perumahan)
Komisi-komisi ini mengkaji peraturan-peraturan yang ada
untuk melihat apakah peraturan-peraturan itu dapat
disederhanakan. Jadi, upaya deregulasi ditujukan ke peraturan

44
J. Nicaise, Het eindbericht van de comissie-Geehoed, 1984, hlm. 33.

65
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

perundang-undangan di bidang sosial-ekonomi, tata-ruang dan


pemeliharaan lingkungan. Banyak saran dari komisi-komisi ini
telah diterapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
Walaupun begitu, kegiatan dari berbagai komisi ini tidak
menimbulkan pengurangan drastis dalam peraturan perundang-
undangan. Usaha deregulasi ini pun tidak mengakibatkan makin
berkurangnya RUU yang diajukan kabinet yang sekarang ini ke
Tweede Kamer dibandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya;
sebaliknya, kecenderungan yang sudah ada untuk membuat lebih
banyak undang-undang malah makin kuat. Ini terlihat, antara lain,
dari laporan tahunan Raad van State tahun 1984.45 Ini dapat berarti
bahwa pemantauan deregulasi seperti yang dilakukan di tingkat
departemen kurang berhasil.46 Dari hasil ini dapat disimpulkan
bahwa hampir seluruh peraturan perundang-undangan dianggap
penting. Mengacu pada pengalaman di Belanda apakah di
Indonesia akan dibentuk komisi-komisi tersebut tentu akan sangat
tergantung pada keberhasilan dari tiap departemen yang ada untuk
melakukan deregulasi secara terkoordinasi.
Perlindungan atas pihak-pihak yang secara sosial lemah,
yang ingin dicapai oleh sebagian dari peraturan perundang-
undangan itu, agaknya dilanggar oleh deregulasi yang terlalu jauh.
Hal yang sama agaknya dapat dikatakan pula menyangkut
perlindungan atas lingkungan hidup. Titik-berat deregulasi
mungkin harus diletakkan pada usaha menemukan konstruksi
peraturan perundang-undangan yang sederhana dan jelas.
Pembuatan suatu peraturan dirasakan berlebih-lebihan, jika
tujuan yang diinginkan dapat pula dicapai tanpa peraturan tersebut.
Ini dapat dirangsang oleh pemerintah dengan memberi ancaman
bahwa pemerintah akan mengatur sendiri masalahnya, bila pihak-

45
Laporan Tahunan Raad van State, 1984 dan 1985
46
Lihat Van der Vlies, dalam : Regel Maat (1986), hlm. 23 dan 24.

66
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

pihak yang bersangkutan tidak mau menyelesaikan ‘sendiri’


masalahnya. Hal ini sering terjadi di dalam perundingan dengan
mitra sosial.
Jika sudah diputuskan bahwa perlu dibuat suatu peraturan,
langkah wajar selanjutnya adalah membuat peraturan termaksud
seringkas mungkin. Dengan cara ini ketentuan-ketentuannya akan
lebih singkat dan jelas. Kemungkinan lain di sini ialah meminta
pihak-pihak yang bersangkutan untuk membuat sendiri pengaturan
lebih lanjut. Penghapusan peraturan-peraturan yang dirasa
berlebih-lebihan, dilakukan melalui ketentuan-ketentuan pengujian
perundang-undangan.
Asas ini terutama penting dalam tahap proses pembentukan
suatu peraturan. Asas ini tidak dipakai sebagai dasar pengujian
oleh hakim. Asas ini pada umumnya penting bagi praktek hukum
karena asas ini mendorong adanya kejelasan atas keseluruhan
peraturan perundang-undangan.
4. Asas kemungkinan-pelaksanaan (Dapat dilaksanakan)
Di dalam literatur, asas ini disebut pula asas kemungkinan-
penegakan. Asas ini menyangkut jaminan-jaminan bagi dapat
dilaksanakannya apa yang dimuat dalam suatu peraturan. Antara
lain harus ada dukungan sosial yang cukup, sarana yang memadai
bagi organ atau dinas yang akan melaksanakan suatu peraturan,
dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi-sanksi yang sesuai.
Asas ini lahir dari pemikiran para politisi di Den Haag yang
beranggapan bahwa suatu masalah sudah dipecahkan jika suatu
undang-undang selesai dibuat. Oleh banyak orang (antara lain di
dalam laporan Akhir pengurangan dan penyederhanaan peraturan)
ditunjukkan bahwa pembuatan suatu peraturan itu baru sekedar
awal penyelesaian masalah. Penyelesaiannya baru benar-benar
terjadi jika undang-undang itu nyata-nyata telah menghilangkan
masalahnya.

67
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Untuk itu pertama-tama harus ada kesediaan dalam


masyarakat untuk mentaati peraturan yang telah ditetapkan. Jika
kesediaan ini tidak ada, hasilnya akan mengecewakan. Contoh dari
pengaturan yang tidak memadai semacam itu adalah Undang-
undang lalu lintas dan jalan raya yang pada akhirnya Tahun ....
Berlakunya suatu peraturan yang tidak ditaati orang akan
menimbulkan ketakpastian hukum serta mengurangi kewibawaan
pembuat peraturan.
Pembuat Peraturan lalu akan dianggap sebagai penyandang
kewibawaan yang lemah dan tidak becus. Ini dapat mempengaruhi
ketaatan orang terhadap peraturan-peraturan lainnya. Semakin
sedikit peraturan dilemparkan ke masyarakat, semakin harus
dikembangkan instrumen yang lebih kuat bagi pentaatannya jika
pembuat peraturan berpendapat bahwa peraturan itu bagaimanapun
juga harus dibuat. Pembuat peraturan tentu saja dapat
memperbesar wawasannya dalam penerimaan peraturan itu dan
mungkin juga berhasil mendorong penerimaan itu dengan
melakukan pembicaraan dengan pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan.
Jika pembuat peraturan bukan sekaligus pelaksana suatu
peraturan, pembicaraan dengan dinas-dinas pelaksana perlu pula
diadakan. Dari pengalaman-pengalaman mereka dengan peraturan-
peraturan serupa, dinas-dinas ini dapat menunjukkan mana yang
dalam peraturan itu dapat dilaksanakan dan mana yang tidak.
Mereka sekaligus pula dapat mengemukakan keinginan mereka
menyangkut perangkat instrumen tersebut.
Salah satu butir yang praktis adalah apakah aparat
pelaksananya sudah ada ataukah masih harus diciptakan. Pada
banyak undang-undang pajak yang baru selalu diajukan pertanyaan
mengenai kemampuan dan kesiapan Direktorat Jenderal pajak
untuk melaksanakan peraturan-peraturan baru tersebut. Karena itu,
sesekali, menteri keuangan mendapat tambahan pegawai baru
untuk mengamankan pelaksanaan peraturan-peraturan itu.

68
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Dengan memperhatikan dukungan sosial serta beban bagi aparat


pemerintah dan peradilan, perlu ditetapkan sistem pemberian
sanksi.
Tergantung pada jenis peraturannya, dapat dipilih antara
sanksi positif atau sanksi negatif. Orang dapat, misalnya, melarang
penggunaan kaca-tunggal pada bangunan tempat tinggal dan
menegakkan larangan itu melalui ketentuan pidana; sebaliknya,
orang dapat pula mendorong penggunaan kaca-rangkap melalui
pemberian subsidi untuk itu. Kemungkinan yang terakhir ini pada
umumnya memberikan beban yang lebih sedikit pada aparat
pemerintah dan peradilan, mempunyai efek yang lebih besar, serta
pengeluaran biaya yang relatif lebih kecil.
Penelitian mengenai tingkat penegakkan suatu undang-
undang dapat memakan banyak waktu; inilah alasan adanya
kewajiban membuat laporan yang ditugaskan kepada pihak-pihak
yang harus melaksanakan undang-undang dalam tingkat pertama.
Kemungkinan-pelaksanaan yang baik terutama berguna
bagi peraturan itu sendiri. Pembuatan suatu undang-undang yang
tidak mungkin dilaksanakan akan dalam jangka panjang sangat
merugikan bagi pembuatan peraturan. Penerapan asas ini
khususnya penting dalam tahap proses pembentukan peraturan.
Asas ini tidak begitu saja dapat dipakai sebagai dasar pengujian
oleh hakim. Analisis atas untung-rugi penting untuk dilakukan dan
diketahui orang.

5. Asas konsensus
Asas ini berisi bahwa perlu diusahakan adanya konsensus
antara pihak-pihak yang bersangkutan dan pemerintah mengenai
pembuatan suatu peraturan serta isinya. Cara konsensus akan
dicapai harus diuraikan dalam suatu laporan.
Dalam asas ini tampak prinsip penting demokrasi : orang
atau badan hukum tidak boleh dibebani suatu kewajiban tanpa
persetujuan sebelumnya dari mereka atau wakil-wakil mereka

69
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Relevansi asas ini bagi praktek hukum bermacam-macam.


Pertama sekali, asas ini penting pada proses pembentukan suatu
peraturan, tetapi asas ini pun dapat menjadi pegangan bagi
pengujian di kemudian hari. Di dalam praktek hukum dapat
diamati adanya perkembangan tertentu ke arah pengujian peraturan
ke asas-asas hukum yang taktertulis. Pada pengujian ini,
mendengar pendapat organisasi-organisasi dari pihak-pihak yang
bersangkutan penting sekali dilakukan. Semakin besar jaminan
yang telah diperhatikan pada proses pembentukan suatu peraturan,
semakin kecil pula kemungkinannya hakim akan mengutak-atik isi
peraturan itu.
Dalam bahasa yang singkat kelima asas formal yang
diuraikan di atas dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pertama Asas tujuan yang jelas menghendaki adanya suatu
tujuan peraturan yang jelas, yang harus tampak pula dalam
penjelasannya. Peraturan itu sendiri tidak saja harus jelas, tetapi
kerangka umum tempat peraturan itu diletakkan harus pula
dinyatakan secara eksplisit.
Kedua Asas organ yang tepat menghendaki agar suatu
peraturan dikeluarkan oleh organ yang tepat dan agar tidak ada
organ yang melakukan pelanggaran kewenangan.
Ketiga Asas kemendesakan bermaksud untuk
menghindarkan kemungkinan dikeluarkannya suatu peraturan yang
sebenarnya takperlu. Peraturan yang dianggap perlu itu hendaknya
dituangkan dalam bentuk yang amat mudah.
Keempat Asas kemungkinan pelaksanaan berkaitan dengan
kemungkinan untuk menegakkan suatu peraturan di dalam
prakteknya, jika peraturan itu telah dikeluarkan.
Dan Kelima Menurut asas-asas konsensus, pihak-pihak
yang bersangkutan sedapat mungkin harus diikutsertakan di dalam
proses pembentukan suatu peraturan.
Selain kelima asas formal tersebut dikenal pula asas
materiil yang terdiri dari:

70
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

1. Asas peristilahan yang jelas dan sistematika yang jelas.


Menurut asas ini suatu peraturan harus jelas, baik kata-kata
yang digunakan maupun strukturnya.47 Asas ini lahir dari para ahli
hukum mempunyai kecenderungan untuk membuat ilmu (atau
seni) mereka menjadi sesuatu yang misterius bagi orang awam
melalui penggunaan kata yang jauh menyimpang dari bahasa
sehari-hari. Ini terjadi juga pada pembuatan peraturan perundang-
undangan dan sedikit banyak mengganggu kemudah bacaan.
Selain itu kekhawatiran akan kemungkinan penerobosan
peraturan melalui lubang-lubang yang ada sering menyebabkan
digunakannya susunan kalimat yang amat rumit yang menurut
pembuatnya mampu meliput segala kemungkinan yang akan
terjadi. Suatu peraturan tidak hanya harus jelas kalimat demi
kalimat, tetapi sistematikanya pun harus jelas dan logis. Pembaca
mengharapkan adanya argumentasi yang tersusun baik di dalam
suatu undang-undang dan akan membaca undang-undang itu
dengan cara itu. Benar tidaknya penafsiran tertentu pun akan
tergantung pada pengelompokan yang ada : rubrica ist lex.
Noll mengatakan bahwa sejalan dengan perkembangan
negara kesejahteraan sosial, kebutuhan akan kejelasan makin
dirasakan. Makin banyak orang merasakan pentingnya peraturan
hukum.48 Untuk sebagiannya, ini meliputi pula orang-orang yang
tidak biasa membaca peraturan. Apakah sebagian besar peraturan
yang diperlukan untuk mengembangkan negara kesejahteraan
sosial harus disusun sedemikian sehingga setiap orang dapat
memahaminya ? Atau bolehkah suatu instansi pemerintah pembuat
peraturan dengan menyandarkan diri pada sarana-sarana bantu ?

47
Bandingkan Sebus, 1984
48
Noll, 1973

71
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Syarat bahwa suatu peraturan harus jelas, baik rumusannya


maupun strukturnya, perlu dijalankan secara ketat; tetapi, bukan
maksudnya bahwa syarat ini dijalankan sedemikian rupa sehingga
syarat ini dianggap memuat pengertian pula bahwa suatu peraturan
harus dapat dimengerti oleh setiap orang tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
Peraturan perundang-undangan yang jelas dapat dicapai
dengan berbagai cara. Orang dapat menginginkan kejelasan
maksimal dari setiap peraturan; orang dapat pula langsung
menghubungkan kejelasan yang diinginkan itu dengan materi dan
keahlian dari pihak-pihak yang menjadi sasaran peraturan.49 Di
dalam praktek kejelasan suatu peraturan pada umumnya diperbesar
dengan penerangan melalui brosur. Brosur-brosur ini dikeluarkan
tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh organisasi
kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan yang jelas dapat
dicapai melalui pemilihan kata yang tepat serta kesatuan
peristilahan. Adanya kesatuan peristilahan di dalam keseluruhan
proses pembuatan peraturan perundang-undangan perlu
diusahakan. Seperti diketahui, masyarakat berhadapan dengan
banyak peraturan dan masyarakat tidak terbagi dalam banyak
unsur yang sama, seperti juga halnya pembuat peraturan
perundang-undangan.
Khususnya bagi berbagai undang-undang yang ada dalam
bidang yang sama perlu diusahakan adanya kesatuan peristilahan.
Apa yang de fakto taksama tentu saja harus dikatakan tak sama.
Tata urutan bab, tata urutan pasal, serta cara penunjukan ke pasal
lain pada dasarnya menentukan struktur suatu peraturan.
Pedoman teknik membuat peraturan perundang-undangan
menyatakan bahwa suatu undang-undang diawali dengan
pembukaan yang memuat konsiderans. Pembukaan ini bukan

49
J.M. Polak, Enkele opmerkingen over de relative tussen recht en taal,
dalam : WPNR (1979), hlm. 471 dst.

72
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

bagian dari batang tubuh undang-undang; batang tubuh itu mulai


dari Pasal pertama sampai pasal terakhir. Pasal terakhir suatu
peraturan adalah judul singkat; kalau judul singkat ini dianggap
tidak perlu, pasal terakhir itu menjadi ketentuan mengenai saat
berlaku. Sesudah pasal terakhir terdapat rumusan penutup.
Tata urutan selebihnya dari bab atau ketentuan diserahkan
seluruhnya pada perancang Peraturan perundang-undanga.
Walaupun begitu, ada beberapa hal yang sudah tetap. Definisi,
misalnya, pada umumnya terdapat di bagian awal; ketentuan-
ketentuan mengenai perlindungan hak dan sanksi terdapat di
bagian akhir suatu peraturan atau setidak-tidaknya di bagian akhir
suatu bab.
Bagaimana tata urutan pasal harus dilakukan, berkaitan erat
dengan sifat dan tujuan dari peraturan yang bersangkutan. Ada
beberapa sudut pandang yang dapat dipakai untuk memperlihatkan
keterkaitan ketentuan-ketentuan dalam suatu pembagian.50 Orang
dapat membuat pembagian berdasar kepentingan hukum yang
dilindungi (misalnya pembagian titel dalam Buku Kedua dan
Ketiga KUHP), berdasar bentuk hukum dan hubungan hukum
(misalnya pembagian titel dalam Buku Kelima KUH Pt. Baru),
berdasar kronologi tahapan tindakan, dan berdasar kelompok
subyek hukum.
Di dalam suatu undang-undang semua sudut pandang ini
penting; sudut-sudut pandang ini membagi berbagai masalah.
Orang harus memilih dan menentukan sudut-pandang mana yang
paling berguna. Pada setiap peraturan orang harus selalu bertanya
perlu tidaknya ada ketentuan umum yang dapat dipakai sebagai
acuan yang kalau perlu dengan pengecualian-pengecualian- di
dalam bagian-bagian khusus dari peraturan itu. Jika orang tidak
membuat ketentuan umum itu, setiap bagian harus diatur

50
Hirsch Ballin, dalam : Kracht van wet, 1984.

73
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

selengkap mungkin. Ini akan mengakibatkan terjadinya


pengulangan berbagai ketentuan di tiap bab. Pengulangan ini dapat
dihindarkan dengan melaksanakan teknik perundang-undangan
yaitu dengan menyatakan ketentuan dari suatu bab berlaku pula
bagi bab lain. Metode ini mempunyai keburukan yaitu bahwa suatu
peraturan menjadi agak sulit dibaca : pembaca setiap kali harus
membaca pula ketentuan yang diacu itu. Metode ini digunakan di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Baru dan disebut
sebagai metode ketentuan-penghubung (schakelbepalingen).51
Unsur lain dalam teknik perundang-undangan adalah
masalah apakah suatu undang-undang dapat langsung ditulis sekali
jalan tanpa pembagian atau apakah harus disusun bab demi bab.
Jenis perauran perundang-undangan yang terakhir ini disebut
peraturan perundang-undangan sistem-tumbuh (aanbouw-
wetgeving).
Ketaatan akan asas ini penting bagi praktek hukum.
Penafsiran asas setiap peraturan selalu dimulai dari teks dan
pengelompokan di dalamnya. Keberhati-hatian dalam menerapkan
adagium ‘rubrica est lex’ menunjukkan bahwa kepercayaan
terhadap adanya konsistensi pemerintah dalam membuat
pengelompokan tidaklah besar. Dan sepanjang mengenai teks, bagi
beberapa ketentuan berlaku kata-kata Nijhoff : lees maar, er staat
niet wat er staat (baca : lain yang tersurat, lain yang tersirat).

2.Asas kemudahan untuk diketahui


Suatu peraturan harus dapat diketahui oleh setiap orang
yang perlu mengetahui adanya peraturan itu. Suatu peraturan yang
tidak diketahui oleh yang berkepentingan akan kehilangan
tujuannya : peraturan itu tidak menciptakan kesamaan dan
kepastian hukum dan juga tidak menimbulkan suatu pengaturan.

51
Hartkamp, 1982

74
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Syarat minimum bagi suatu peraturan agar dapat diketahui adalah


bahwa peraturan itu harus diumumkan.
Kewajiban mengumumkan bagi peraturan perundang-
undangan itu pada umumnya tidak lebih dari penempatan di dalam
Lembaran Negara atau Berita Negara. Dengan cara ini syarat
kemudahan untuk diketahui sudah dipenuhi secara formal.
Penerapan asas ini berbeda-beda bagi setiap peraturan. Bagi
undang-undang ada kewajiban untuk mengumumkannya. Bagi
peraturan pemerintah dan peraturan Presiden berlaku hal yang
sama. Di dalam yurisprudensi di Negeri Belanda kewajiban
mengumumkan ini memperoleh bentuk lebih lanjut. Pengadilan
menyatakan bahwa suatu peraturan hanya dianggap telah
diumumkan apabila Lembaran Negara tempat peraturan itu dimuat
diterbitkan.52 Bagi aturan kebijakan tidak ada kewajiban
mengumumkan seperti itu : kekuatan mengikat aturan-kebijakan
berasal dari fakta bahwa adanya aturan-kebijakan itu diketahui
orang. Perubahan-perubahan di dalam pengumuman harus pula
pada dasarnya diumumkan dengan cara yang sama seperti yang
untuk saat-berlaku. Ini tidak mengurangi kenyataan bahwa adalah
lebih baik bila aturan-kebijakan diumumkan.
Dewasa ini asas pengumuman ini lebih maju lagi yaitu
dengan memberikan perhatian yang luas melalui media massa bagi
peraturan baru yang sifatnya penting. Bagi peraturan yang amat
penting umumnya dikeluarkan brosur ke masyarakat. Selain itu
peraturan itu menjadi dikenal luas melalui publikasi di dalam
media cetak milik berbagai organisasi kemasyarakatan.
Melalui hal itu pada dasarnya semua pihak yang
berkepentingan dimungkinkan untuk mengetahui keseluruhan
peraturan. Walaupun begitu, bukanlah pekerjaan sederhana untuk
menyarikan dari berbagai perubahan yang diumumkan secara

52
HR 4 November 1975, NJ 1976, 173 khus. W.F. Prins.

75
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

terpisah-pisah itu bagaimana keseluruhan undang-undang yang


masih berlaku. Untuk mengetahui hal itu, orang pada umumnya
dapat melihatnya di dalam edisi yang dikeluarkan oleh pihak
swasta.
Di Swiss, pemerintah mengeluarkan daftar indeks peraturan
perundang-undangan. Peraturan yang (masih) berlaku adalah
peraturan yang dimuat di dalam daftar indeks itu. Hal ini perlu
ditiru oleh Indonesia, tetapi sampai saat ini belum memperlihatkan
tanda-tanda ke arah itu.
Asas ini di dalam praktek diterapkan bagi penetapan saat-
berlaku, perubahan serta pencabutan peraturan perundang-undanga
melalui prosedur formal. Hakim dapat menguji ditaati tidaknya
asas ini, dan ini memang dilakukannya.
3. Asas kesamaan dihadapan hukum
Asas kesamaan dihadapan hukum menjadi dasar dari
semua peraturan perundang-undangan. Apa yang bagi para pihak
yang bersangkutan sama-sama penting, harus sedapat mungkin
diatur bersama dengan para pihak yang bersangkutan melalui
wakil-wakilnya dan diatur sejauh materinya memungkinkan untuk
itu dengan cara yang sama bagi para pihak yang bersangkutan.
Peraturan tidak boleh ditujukan kepada suatu kelompok tertentu
yang dipilih secara sewenang-wenang; di dalam suatu peraturan
tidak boleh ada pembedaan yang sewenang-wenang; efek suatu
peraturan tidak boleh menimbulkan ketaksamaan; dan di dalam
hubungan antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya tidak
boleh timbul ketaksamaan.
Kesamaan hukum dapat dilihat secara formal dan material.
Kita dapat menyatakan sekarang ini bahwa paham hukum abad ke-
17 paham yang amat formal. Untuk menghilangkan perbedaan-
perbedaan yuridis tertentu, orang harus menggunakan peraturan.
Rejim hukum harus berlaku sama bagi semua orang. Ini kadang-
kadang menimbulkan bentuk larangan tertentu : setiap orang

76
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dilarang tidur di bawah Jalan Layang Kota Bandung. Meskipun


larangan ini menghormati kesamaan yuridis manusia, larangan ini
dapat menimbulkan ketaksamaan dalam masyarakat karena
larangan ini menghilangkan tempat terakhir untuk tidur bagi
sebagian orang dan tidak menyatakan sesuatu apapun mengenai
hal itu bagi sebagian yang lainnya.
Kesamaan yuridis yang formal cocok dengan kerangka
negara hukum liberal : bagi kerangka negara kesejahteraan sosial
perlu dikembangkan asas kesamaan yang lain. Jadi, tergantung
pada maksud pembuat peraturan perundang-undangan-lah apakah
ia berpendapat bahwa peraturan yang dibuatnya itu akan
mendorong adanya kesamaan atau tidak.
Pasal 27 UUD 1945 setelah perubahan menyatakan bahwa
adanya kesamaan hukum bagi warga negara, konsekwensinya
tidak boleh ada pembedaan karena agama, pandangan hidup,
aspirasi politik, jenis kelamin atau atas dasar apa pun. Sejauh mana
asas ini dapat dipandang sebagai suatu asas pembuatan peraturan
yang baik? Pada dasarnya pembuat peraturan harus selalu
berpegang pada asas ini dalam membuat peraturan. Suatu
peraturan tidak boleh (secara tidak adil) memberikan kepada suatu
kelompok tertentu suatu perlakuan istimewa tertentu. Dari sudut
asas kesamaan, diskriminasi yang positif bukanlah hal yang
memang sudah semestinya (as a matter of course). Pembedaan di
bidang bidang lain dapat pula menimbulkan kesulitan. Sebagai
contoh, UU Pajak Penghasilan itu bertentangan atau tidak dengan
asas kesamaan ?
UU ini mengakibatkan bahwa orang yang mempunyai lebih
banyak uang (dalam arti luas) akan membayar pajak yang lebih
besar dari pada orang yang mempunyai yang lebih sedikit, dan ini
tidak hanya dilihat secara absolut tetapi juga secara relatif. Dalam
hal ini orang mengatakan bahwa peraturan itu dikuasai tidak hanya

77
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

oleh asas kesamaan tetapi juga oleh asas daya-pikul.53 Asas


kesamaan masih ditaati pula, dalam arti bahwa setiap orang yang
mempunyai jumlah penghasilan kena-pajak yang sama akan
membayar jumlah pajak penghasilan yang besarnya sama. Jadi,
tidak ada hak istimewa.
Jika penilaian mengenai boleh tidaknya suatu perbedaan di
dalam satu peraturan saja sudah sulit, halnya makin lebih rumit
jika masalahnya menyangkut dua atau lebih peraturan. Walaupun
begitu, penilaian mengenai efek dari hubungan antar berbagai
peraturan, mutlak dilakukan.
Karena itu asas kesamaan tidak dapat memainkan peranan
yang mutlak, kepentingan asas kesamaan harus selalu
diperbandingkan dengan kepentingan lainnya. Asas kesamaan ini
agaknya baru penting dalam menjawab pertanyaan apakah suatu
pembedaan tertentu dapat dibenarkan. Dalam hal ini asas ini dapat
mengisi peranan penting pada semua peraturan perundang-
undangan. Pembuat peraturan harus selalu bertanya apakah suatu
peraturan memang sudah tepat ditujukan kepada suatu kelompok
tertentu dan apakah pembedaan-pembedaan yang dibuatnya di
dalam peraturan itu adil atau tidak.
Asas ini mempunyai dasar hukum positif dalam pasal 27
UUD 1945 setelah perubahan dan dalam berbagai konvensi
internasional, antara lain pasal 26 Konvensi New York mengenai
hak-hak sipil dan hak-hak politik. Pembuat undang-undang wajib
menaati konvensi ini. Melihat kenyataan bahwa asas ini terdapat
pula di dalam banyak konvensi, hakim bahkan dapat menguji
undang-undang dalam arti formal ke konvensi itu. Walaupun
begitu, sulit diharapkan bahwa asas ini akan dipakai secara luas
oleh hakim : penilaian atas berbagai kepentingan yang terdapat
dalam suatu perkara umumnya rumit dan dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang. Pertanyaan apakah suatu pembedaan

53
Bdk. De Lange

78
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

perlakuan adil atau tidak, dapat diberi berbagai jawaban yang


rasional.
Asas ini harus diwujudkan terutama oleh pembuat undang-undang
sendiri. Asas ini jelas memainkan peranan penting dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan.
4. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum menghendaki agar harapan-harapan
yang wajar hendaknya dihormati; khususnya ini berarti bahwa
peraturan harus memuat rumusan norma yang tepat, bahwa
peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan peralihan …, dan
bahwa peraturan tidak boleh diberlakukan … tanpa alasan
mendesak.
Latar belakang dari pemberlakuan asas ini adalah dengan
mengeluarkan peraturan, kepastian hukum bagi masyarakat akan
terjamin. Masyarakat mengetahui apa yang harus mereka taati
dalam hubungan hukum antara mereka dan apa yang boleh mereka
harapkan dari pemerintah. Melalui pengenalan akan peraturan
hukum, tingkah laku yang memerintah dan yang diperintah
menjadi dapat diramalkan: mereka akan berbuat sesuai dengan apa
yang diharapkan seharusnya dibuat oleh mereka. Keterramalan dan
bersama itu pula kepastian hukum- akan semakin besar dengan
semakin telitinya rumusan suatu norma.
Ini karena makin terbatasnya ruang-main bagi pihak-pihak
yang bersangkutan untuk bertindak sesuai dengan wawasan sendiri
: mereka dapat dan harus berbuat seperti apa yang diperintahkan
oleh peraturan. Kepastian hukum tentu saja akan terlanggar jika
peraturan yang menjadi dasar dari harapan-harapan yang ada
diubah. Subyek hukum lalu tidak dapat lagi berpatokan bahwa
segala sesuatunya masih akan diselesaikan menurut peraturan
lama. Ini berarti harapan-harapannya mengenai peristiwa di masa
depan menjadi buyar. Ini tentu saja tidak akan terlalu terasa
apabila peraturan yang bersangkutan, karena sifatnya yang

79
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

ketinggalan jaman, tidak banyak atau hampir tidak pernah


dipakai.54
Dalam hal ini dari sudut pandang kepastian hukum justru
dianjurkan agar peraturan demikian dicabut. Karena ada
kesenjangan antara peraturan dan praktek, timbul ketakpastian
mengenai mana yang harus diikuti : peraturan ataukah praktek
yang sudah (hampir) mapan. Di sini pun terlihat bahwa kepastian
hukum itu terjamin oleh adanya pelaksanaan yang baik serta
penegakan yang memadai atas suatu peraturan.
Penegakan yang buruk entah karena perjalanan waktu,
entah karena sebab lain- akan menimbulkan keraguan terhadap
berlaku tidaknya suatu peraturan serta ketakpastian hukum. Apa
yang berlaku bagi perubahan suatu peraturan berlaku pula mutatis
mutandis bagi pencabutan suatu peraturan. Apa yang berlaku bagi
perubahan atau pencabutan berlaku pula a fortiori bagi perubahan
dan pencabutan yang berlaku surut. Melalui hal tersebut salah satu
fungsi dari suatu peraturan, yaitu memuat dapat diramalkannya
tingkah laku para subyek hukum, dilanggar secara mendasar.
Dalam asas ini dapat dibedakan beberapa aspek :
- peraturan harus dirumuskan secara jelas dan teliti sehingga
masyarakat mengetahui apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukannya
- peraturan tidak boleh diubah tanpa memperhitungkan
kepentingan pihak yang dituju dan tanpa aturan peralihan yang
memadai.
Asas bahwa norma dalam suatu peraturan harus
dirumuskan secara teliti tidak selalu diikuti dengan baik. Pembuat
undang-undang sering menetapkan norma yang kabur dan
menyerahkan pengisiannya kepada pemerintah yang pada
gilirannya menyerahkannya lagi kepada menteri. Jadi, untuk

54
HR 3 Maret 1972, NJ (1972), 339

80
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

mengetahui satu norma orang terpaksa mempelajari lebih dari satu


peraturan hukum. Ini sama sekali tidak membantu pemahaman
seluk-beluk suatu norma. Hambatan ini dapat diatasi dengan
mendesak pembuat undang-undang agar berusaha membuat semua
norma secara teliti. Akan tetapi, di sini orang akan bertemu lagi
dengan masalah lain, yaitu dalam hal pembuat undang-undang
benar-benar akan membuat semua norma secara teliti sampai
sekecil-kecilnya. Pekerjaan ini akan menghasilkan undang-undang
yang sulit dibaca.
Selain itu orang akan sulit bereaksi terhadap situasi yang
baru yang takterduga, mengingat norma yang ada tidak luwes sama
sekali. Karena itu perlu dicari jalan tengah, yaitu agar dalam
undang-undang dimuat norma-norma yang terpenting (penetapan
tugas dan tujuan, menurut istilah Donner)55 dan agar pengisian
norma-norma itu diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebih
rendah yang cocok untuk itu.56 Hal ini tidak dapat dicapai hanya
dengan pemuatan kriteria di dalam memori penjelasan. Sarana-
bantu ini memang banyak sekali dipakai, tetapi, sayangnya, sarana
ini sama sekali tidak memadai bila masalahnya menyangkut
norma-norma yang penting.57 Sekali suatu peraturan dinyatakan
berlaku, peraturan itu pada dasarnya harus diusahakan agar terus
berlaku. Kesementaraan suatu peraturan akan selalu per definition
membawa ketakpastian.58
Perubahan atas peraturan hukum merupakan pelanggaran
atas asas kepastian hukum. Fakta ini tidak perlu menghalangi
bahwa dalam keadaan tertentu suatu peraturan justru harus diubah
dan, karena itu, orang dibenarkan untuk melanggar asas tersebut.
Dalam hal semacam ini kepentingan-kepentingan yang mendorong

55
Donner, 1974, hlm. 1
56
Laporan akhir penyederhanaan, hlm. 80-85
57
Bdk. Saran Raad van State atas perubahan peraturan perundang-
undangan akuntan, TK 19 150.
58
Saran atas UU Pemotongan (gaji), TK 18 164

81
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dilakukannya perubahan suatu peraturan serta harapan-harapan


yang ditimbulkan oleh adanya peraturan itu, harus saling
diperbandingkan. Pembuat undang-undang khususnya
berkewajiban melakukan pembandingan ini, karena harapan-
harapan yang ada umumnya lebih ditumpukan pada undang-
undang. Walaupun harus diakui bahwa ada hak pembuat undang-
undang untuk melanggar harapan-harapan yang timbul. Pemberian
kekuatan berlaku surut kepada suatu peraturan merupakan pada
dasarnya pelanggaran besar atas asas kepastian hukum. Karena itu
orang lalu mencoba mengusahakan sedapat mungkin agar
kekuatan berlaku-surut itu tidak menjangkau lebih jauh daripada
saat ketika peraturan diketahui umum. Bagi peraturan perundang-
undangan (dalam arti formal), saat itu adalah saat ketika suatu
rancangan diajukan DPR.
Di Belanda Ada perbedaan pendapat antara dua lembaga
hukum tinggi mengenai masalah apakah kekuatan berlaku-surut
harus selalu disebut secara tegas. Perbedaan pendapat ini
sebenarnya dapat diterangkan dari perbedaan mengenai saat ketika
pengujian dilakukan. Raad van State berpendapat bahwa dalam
suatu peraturan harus disebut secara tegas bahwa peraturan itu
berlaku-surut, dan surut sampai ke saat mana. Dari sudut kepastian
hukum, ini benar sekali. Di pihak lain, Hoge Raad (HR)
berpendirian bahwa suatu peraturan dapat pula mempunyai
kekuatan berlaku-surut, sekalipun hal itu tidak disebut secara
tegas. Sudah cukup apabila ternyata bahwa kekuatan berlaku-surut
itu memang maksud yang dikehendaki.59 Walaupun begitu, untuk
itu tetap dipersyaratkan bahwa maksud tersebut harus dapat
diperkirakan. Seandainya HR mempunyai pendapat yang berbeda
dari ini, akibatnya akan fatal bagi keberadaan suatu peraturan;
antara lain, ini menyangkut pula posisinya yang akan bertolak

59
HR 7 Maret 1979, AB 1979, 218 khus. St; NJ (1979), 3/9 khus. M.S.
(pajak-benda-takbergerak Rotterdam).

82
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

belakang dengan posisi Raad van State. Karena alasan-alasan ini


HR hanya secara marjinal menguji peraturan perundang-undangan
ke hukum taktertul.
Syarat keteramalan harus dijalankan secara amat hati-hati.
Jika suatu peraturan diumumkan akan dikeluarkan (aan-kondigd),
belum pasti bahwa peraturan itu akan betul-betul keluar. Karena
itu asumsi bahwa kekuatan berlaku-surut itu dapat diperkirakan,
membutuhkan adanya faktor-faktor obyektif, seperti misalnya
perbaikan (reparatie) atas peraturan perundang-undangan; yang
dari hal tersebut secara nalar tidak dapat dianggap apakah
kekuatan berlaku-surut itu memang dimaksudkan ada, kalaupun
kekuatan berlaku-surut itu dapat ditafsirkan ada.
Ketentuan pidana menempati posisi khusus. Pemberian
kekuatan berlaku-surut pada ketentuan pidana merupakan
pelanggaran atas adagium ‘nulla poena sine lege previali.’Yang
dianggap sebagai tindak pidana adalah meneruskan melakukan
suatu perbuatan sesudah mulai berlakunya undang-undang itu.
Ketentuan ini pun banyak dikritik.60
Sebagai asas-hukum taktertulis, asas ini diterapkan harus
diterapkan hakim administrasi. Asas ini diterapkan khususnya bila
suatu peraturan diubah secara berlaku-surut, yang tentu saja akan
merugikan kepentingan masyarakat. Di sini terlihat bahwa hakim
akan mencari titik taut pada peraturan yang lebih tinggi untuk
menilai apakah kekuatan berlaku-surut peraturan yang lebih
rendah itu diizinkan. Penelitian ini perlu, karena kekuatan berlaku-
surut itu harus dihormati oleh hakim apabila kekuatan itu memang
bersumber dari undang-undang. Hakim tidak boleh menilai
kekuatan berlaku-surut suatu ketentuan perundang-undangan,
kecuali kalau halnya menyangkut ketentuan pidana; dalam hal ini
pasal 7 Konvensi Roma berlaku.

60
I.C. Kleijs-Wijnnobel, Regel Maat (1986), 2

83
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

5. Asas penerapan hukum yang khusus/Sesuai keadaan


Individual
Asas penerapan-yang-khusus berisi bahwa sedapat
mungkin perlu diatur kemungkinan untuk melakukan keadilan bagi
keadaan-keadaan yang khusus.
Pada berbagai asas yang disebut di muka ditekankan
keseragaman dalam peraturan perundang-undangan, entah demi
kepentingan kesamaan hukum, kepastian hukum, sistematika
hukum atau kepentingan lainnya yang tersirat dalam pembuatan
peraturan. Di belakang setiap peraturan tersembunyi gagasan
bahwa peraturan itu dapat diterapkan secara sama pada kasus-
kasus yang bersangkutan. Dalam prakteknya ini berakibat bahwa
banyak kasus yang satu sama lain jelas tidak identik, tunduk pada
peraturan yang sama. Ini memang tidak bisa dihindarkan, karena
tidak pernah ada dua kasus yang betul-betul sama seluruhnya. Pada
umumnya suatu peraturan akan bekerja sebagai penyama, karena
dari perspektif peraturan semua perkara dianggap sama. Toh, dapat
terjadi bahwa ada keadaan-keadaan tertentu dalam suatu kasus
yang, akibat penerapan peraturan itu, akan menimbulkan akibat
yang oleh pembuat peraturan itu sendiri pun tidak dikehendaki
seandainya ia sudah dapat mengetahui hal itu sebelumnya.
Jadi, penerapan ketat kehendak pembuat peraturan
sepanjang kehendak itu diketahui umum yaitu melalui bunyi
peraturan, dapat menimbulkan hasil yang tidak diinginkan bahkan
oleh pembuat peraturan itu sendiri. Hasil yang tak disukai itu
dapat disebabkan oleh banyaknya peraturan yang diterapkan atas
suatu kasus. Karena kumulasi peraturan yang diterapkan itu,
umumnya sulit bagi pembuat peraturan untuk secara a priori
memperkirakan secara tepat apa efek penerapan peraturan yang
dibuatnya.
Keberatan terhadap penerapan atas asas itu adalah bahwa
pemerintahan melalui cara ini memperoleh kewenangan untuk

84
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

menyimpang dari suatu peraturan yang telah dibuat secara


demokratis. Bobot keberatan ini berkurang apabila pembuat
undang-undang sendiri telah menyatakan bahwa dalam keadaan-
keadaan khusus peraturan yang dibuatnya itu dapat disimpangi.
Sepanjang menyangkut peraturan-peraturan yang di bawah
pengawasan demokrasi- ditetapkan oleh pemerintah, penerapan
peraturan demikian berada di bawah pengawasan hakim. Hakim
dapat mengawasi apakah penyimpangan itu dapat dibenarkan dan,
khususnya, apakah penyimpangan itu cocok dengan maksud dari
peraturan yang bersangkutan. Kerugian sistem ini tentu saja adalah
bahwa hakim hanya dapat menilai sebatas perkara yang diajukan
kepadanya. Jadi, dari pihak masyarakat sendiri diharapkan ada
inisiatif untuk itu, bila ia tidak memperoleh pengecualian yang
menguntungkannya dan ia merasa bahwa ia berhak atas
pengecualian itu.
Dibandingkan dengan kemungkinan menyimpang yang
tersembunyi di dalam kewenangan bebas (diskresi) pemerintah
yang luas, keberatan terhadap penyimpangan dari suatu peraturan
tidak begitu dirasakan.
Pentingnya asas ini bertambah besar dalam negara
kesejahteraan sosial, mengingat terdapatnya begitu banyak
peraturan yang mengatur tingkah-laku subyek hukum.
Kemungkinan untuk menegakkan keadilan di dalam kasus tertentu
dapat diwujudkan dengan :
- memberikan marjin keputusan kepada pemerintah di dalam
undang-undang
- memberikan kemungkinan menyimpang bagi keadaan-keadaan
khusus di dalam undang-undang
- memungkinkan perlindungan hukum terhadap semua tindakan
pemerintah.

85
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk membuat


keputusan dapat diwujudkan melalui berbagai cara.61
Secara umum, kepada pemerintah dapat diberikan
kewenangan yang bebas atau yang terikat. Apabila norma-norma
bagi pemerintah menyangkut pemberian suatu keputusan dan
pencabutan suatu keputusan telah ditetapkan secara teliti di dalam
peraturan yang bersangkutan, pemerintah praktis tidak lagi bebas
untuk mempertimbangkan kebutuhan nyata di dalam kasus yang
ada dalam mengeluarkan suatu keputusan. Jelas bahwa pembuat
peraturan hanya boleh menggunakan metoda ini bila masalahnya
menyangkut keputusan yang amat penting, yang pengeluarannya
sama sekali tidak boleh dipengaruhi oleh keadaan khusus suatu
kasus. Di dalam kasus lainnya, yang wajib dimuat hanyalah syarat-
syarat yang menurut pendapat pembuat peraturan sifatnya
mendasar. Khususnya dalam pencabutan keputusan yang
menguntungkan, sudah sewajarnya bila kepada pemerintah
diberikan suatu marjin penilaian, mengingat besarnya kepentingan
masyarakat yang dapat terkena karena pencabutan suatu
keputusan.
Penerapan asas ini terdapat juga pada aturan-kebijakan..
Pengadilan berpendirian bahwa dengan membuat suatu aturan-
kebijakan, menteri atau suatu organ pemerintah lainnya tidak dapat
dianggap telah melepaskan kewenangannya untuk menyimpang, di
dalam suatu kasus yang khusus, dari pedoman yang telah
ditetapkannya. Seperti diketahui, menteri atau badan pemerintah
lainnya tidak berwenang untuk membuat peraturan-yang-
mengikat-umum; jadi, dalam kata ‘umum’ termuat pengertian
bahwa peraturan-yang-mengikat-umum harus diterapkan dalam
semua kasus. Dengan demikian, suatu peraturan-yang-mengikat-

61
Van der Burg, dalam : Regel Maat, 1986, 1

86
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

umum tidak boleh disimpangi, sekalipun atas hal ini, toh, pernah
dilakukan pengecualian.
Perlindungan hukum oleh hakim dimaksudkan khususnya
untuk melindungi kepentingan perorangan. Perlindungan hukum
oleh hakim memberikan kepada pihak yang bersangkutan
kemungkinan untuk mengajukan kepentingan khusus mereka ke
muka hakim. Jadi, pada dasarnya setiap keputusan pemerintah
dapat dibanding ke hakim administrasi. Karena itu hal tidak
diberikannya hak banding demikian di dalam suatu peraturan wajib
diberi alasan yang tepat.
Asas ini di dalam praktek hukum dilaksanakan dengan
berbagai cara. Perlindungan hukum terhadap keputusan dalam
kasus khusus banyak terjadi. Banding terhadap suatu peraturan
agaknya tidak ada, tetapi, sebaliknya, dimungkinkan adanya upaya
hukum atas dasar ‘perbuatan melanggar hukum’ (onrechtmatige
daad) ke pengadilan perdata.
Beberapa undang-undang memuat kemungkinan untuk
melakukan penyimpangan atas undang-undang; banyak undang-
undang memberikan kepada pemerintah suatu kewenangan bebas
yang memungkinkan pemerintah pemerintah mampu untuk
melakukan pembandingan kepentingan dalam beberapa keadaan
khusus. Pada aturan-kebijakan, pemerintah bahkan dikehendaki
agar membuat pengecualian jika keadaan khusus membenarkan hal
itu.
Terakhir, ada kecenderungan pada hakim untuk
menganggap penyimpangan dari peraturan-yang-mengikat-umum
dibolehkan atau dibenarkan jika timbul keadaan-keadaan khusus.62
Uraian diatas membicarakan 5 asas materiil pembuatan
peraturan yang baik. Dalam bahasa yang lebih singkat ke lima
asas tersebut meliputi :

62
Bdk. AR 4 Juni 1984, AB (1985), 557 khus. J.H.v.d.V.

87
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Pertama asas peristilahan yang jelas dan sistematika yang


jelas, suatu peraturan harus mudah dimengerti oleh mereka yang
berkepentingan atas pelaksanaannya. Bila peraturan itu memang
tidak mungkin untuk dibuat secara jelas, pemahaman akan
peraturan itu harus dibantu melalui informasi tertulis lebih lanjut.
Pihak non-pemerintah boleh melakukan pemberian informasi ini.
Tugas memberi informasi pelengkap ini sebenarnya bukan lagi
tugas pemerintah.
Kedua asas kemudahan untuk mengetahui, suatu peraturan
harus mudah diketahui. Pemerintah mempunyai tugas untuk
membuat ikhtisar umum peraturan yang masih berlaku.
Ketiga Asas kesamaan hukum merupakan asas dasar yang
dapat dilihat dari berbagai sudut. Pada dasarnya asas ini berkaitan
dengan masalah apakah pembedaan perlakuan yang diadakan oleh
pembuat suatu peraturan secara tersirat atau tersurat, dapat
dibenarkan atau tidak.
Keempat Asas kepastian hukum menghendaki agar
harapan-harapan yang wajar hendaknya dihormati. Walaupun
begitu, penghormatan terhadap asas ini tidak boleh terlalu jauh,
dalam arti peraturan tidak dapat lagi diubah. Jadi, di sini tersangkut
soal perlunya pembandingan kepentingan.
Kelima Asas penerapan hukum yang khusus menisbikan
pentingnya peraturan hukum di dalam kasus individual yang
memuat keadaan khusus. Kasus semacam ini umumnya tidak dapat
diketahui sebelumnya oleh pembuat peraturan; karena itu pembuat
peraturan harus menciptakan jaminan kelembagaan bagi
perlindungan kepentingan kasus demikian.
Sedangkan mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan itu terdiri dari :
Pertama Asas kejelasan tujuan yang mengandung arti
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kedua, Asas
kelembagaan atau organ yang tepat, maksudnya setiap jenis

88
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat


pembuat peraturan perundang-undangan yang berwenang. Ketiga
asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, maksudnya
pembentukan peraturan perundang-undangan harus selalu
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat. Keempat asas dapat
dilaksanakan, maksudnya pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis,
yuridis, dan sosiologis. Kelima asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan, maksudnya pembentukan peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Keenam asas kejelasan rumusan, maksudnya
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologis, serta
bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Ketujuh Asas keterbukaan maksudnya dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.63
Selain asas pembentukan UU ini menyatakan ada asas
materi muatan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :
Pertama Asas pengayoman, maksudnya setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan

63
Lihat lebih lanjut Penjelasan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004.

89
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.


Kedua asas Kemanusiaan, maksudnya setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warganegara dan penduduk Indonesia secara
proporsional. Ketiga Asas Kebangsaan, maksudnya setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sikap
dan watak bangsa indonesia yang fluralistik (Kebhinekaan) dengan
tetap menjaga prinsip negara kesatuan republik Indonesia.
Keempat asas kekeluargaan, maksudnya setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Kelima asas kenusantaraan, maksudnya setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Keenam Asas Kebhineka tunggal Ika, maksudnya setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah
sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Ketujuh asas Keadilan, maksudnya setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali. Kedelapan asas Kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan, maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.Kesembilan asas
Ketertiban dan Kepastian Hukum, maksudnya setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian

90
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

hukum. Kesepuluh asas Keseimbangan,Keserasian dan


Keselarasan, maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan,keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Kesebelas asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain : a. dalam
Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah; b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak,
dan itikad baik.64
Selain asas-asas tersebut masih banyak banyak asas-asas
yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan dapat digunakan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini. Seperti
asas-asas yang hidup dalam masyarakat sunda antara lain :
• kudu bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman,
• kudu nyanghulu ka hukum, nunjang kanagara, mufakat ka
balarea,
• sacangreud pageuh, sagolek pangkek,
• kudu hade gogog hade tagog,
• kudu boga pikiran rangkepan.
Sedangkan asas-asas yang hidup dalam masyarakat Batak
Seperti :
1. Aek Godang Laut, Dos niroha ma nasut;
2. Marsi Adapari;
3. Jempek do Patni Gabus;
4. Eme na masa di gagat ursa, Ia I namasa ima ni ula;
5. Sada do manuan tadatada sude nampuna puli, sada sidok
hata sude ma dapotan uli;

64
Lihat lebih lanjut penjelasan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004.

91
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

6. Tukkot sitiopan tu dolok, lombu sitiopan tu toruan, ruhut ni


adat do marolopolop, ruhut ni harangan marsitoruan;
7. Nai humalaput ma bola hudonna, Nai homarojor tat
indahanna, Nai hapodea russur abitna, Nai hasuksak mulak
tu amana;
8. Patar songon indahan dibalanga;
9. Marsolu na nihududulan
BAB V
BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
DAN LEMBAGA PEMBENTUKNYA
Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui dan memahami
bentuk-bentuk peraturan perundang-
undangan yang pernah berlaku dan
sedang berlaku saat ini serta lembaga
yang membentuknya dan tentunya
materi muatan dari masing-masing
bentuk tersebut.

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang


sekarang berlaku diatur dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Menurut UU ini
peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan daerah
Provinsi, Peraturan daerah Kabupaten atau Kota dan
Peraturan Desa.65

65
Lihat lebih lanjut Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2004.

92
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Selain bentuk-bentuk tersebut UU inipun mengakui bentuk


yang lainnya sepanjang bentuk peraturan perundang-undangan itu
keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.66 Misalnya Peraturan Bank Indonesia yang
merupakan delegasi dari Pasal 15 UU Nomor. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia.
Sebelum berlakunya UU ini bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1. periode 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 (UUD
1945).
Secara hukum bentuk peraturan perundang-undangan yang
berlaku terdiri dari :
a. UUD,
b. UU,
c. Perpu, dan
d. PP
namun dalam praktek dikenal pula bentuk
a. Penetapan Presiden,
b. Peraturan Presiden,
c. Penetapan Pemerintah,
d. maklumat pemerintah, dan
e. maklumat presiden.67
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 (Konstitusi
RIS).
Pada periode ini ada tiga kelompok daerah berlakunya hukum,
yaitu di negara Federal berdasarkan Konstitusi RIS bentuk
peraturannya adalah :
a. UU,

66
Lihat lebih lanjut Pasal 7 Ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.
67
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, dasar, jenis dan teknik
membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.58.

93
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

b. UU darurat,
c. Peraturan pemerintah, dan
d. peraturan pelaksana lainnya.
Di Negara bagian Republik Indonesia bentuk peraturannya
adalah :
a. UU,
b. Perpu,
c. PP, dan
d. Peraturan pelaksana lainnya.
Sedangkan di negara bagian lainnya berlaku peraturan
perundang-undangan zaman Hindia Belanda.
3. Periode 15 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 (UUDS 1950) .
Pada periode ini bentuk peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah :
a. UU,
b. UU darurat,
c. PP, dan
d. Peraturan pelaksana lainnya seperti Kep.Pres, Permen, dan
Kepmen.
e. Peraturan Daerah.
4. Periode 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966 (UUD 1945 ORLA).
Kurun waktu ini kembali berlaku UUD 1945 sehingga bentuk
peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah :
a. UUD,
b. UU,
c. Perpu, dan
d. PP
Namun berdasarkan Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959
tentang bentuk peraturan-peraturan negara, maka dikenal
bentuk- bentuk :
a. Penetapan Presiden,
b. Peraturan Presiden,
c. Peraturan Pemerintah,

94
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

d. Keputusan Presiden,
e. Peraturan Menteri, dan
f. Keputusan Menteri.
5. Periode 1966 sampai dengan Tahun 2000
Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangannya diatur dalam
Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 tentang
Memorandum DPRGR yang di dalamnya memuat bentuk-
bentuk peraturan perundang – undangan, terdiri dari :
a. UUD 1945,
b. TAP MPR
c. Undang-undang/Perpu
d. PP
e. Keputusan Presiden, dan
f. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya, antara lain Permen,
Inmen,dll.
6. Periode Tahun 2000 sampai 2004
Bentuk-bentuk peraturan perundanng-undangan yang berlaku
diatur dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik
Indonesia,
c. Undang-Undang,
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
e. Peraturan Pemerintah,
f. Keputusan Presiden, dan
g. Peraturan Daerah.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku


menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi.
Hal ini membawa konsekwensi teori penjenjangan norma dari
Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan

95
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. Atau jika


mengikuti pembagian konstitusi dari K.C. Wheare UUD ini
ditempatkan pada UUD Derajat tinggi.
Dalam buku ini hanya akan diuraikan bentuk peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang sebagai mana diatur
dalam UU No. 10 tahun 2004. Bentuk-bentuk itu terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar
Herman Heller menyatakan bahwa UUD berbeda dengan
konstitusi. Dikatakan berbeda karena Konstitusi mempunyai arti
yang lebih luas daripada UUD. Herman Heller membagi
Konstitusi dalam 3 pengertian :
a. Konstitusi masih merupakan pengertian sosiologis atau
politis dan belum merupakan pengertian hukum.
b. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari
konstitusi yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan
sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, konstitusi itu disebut
Rechtverfassung.
c. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah
sebagai Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara.
Jadi, arti UUD itu baru merupakan sebagian dari pengertian
konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis. UUD ini dibuat dalam
rangka membatasi kekuasaan negara atau dengan kata lain
membatasi kekuasaan organ atau alat kelengkapan negara dan
sekaligus memberi hak kepada warga negara.
Di Indonesia lembaga yang diberi kewenangan untuk
mengubah dan menetapkan UUD adalah MPR.68 Mengubah ini
menurut Sri Soemantri mengandung 3 macam arti, yaitu :
1. Menjadikan lain bunyi kalimatnya;
2. Menambahkan sesuatu yang baru; dan

68
Lihat lebih lanjut Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.

96
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

3. Ketentuan dalam undang-undang dasar dilaksanakan tidak


seperti yang tercantum di dalamnya.69
Sedangkan prosedur perubahannya diatur dalam Pasal 37
UUD 1945, yang menyatakan bahwa usul perubahan dapat
diagendakan dalam siding MPR apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, usul ini harus dinyatakan
secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang akan diubah
beserta alasannya. Untuk mengubah UUD ini siding MPR harus
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR
dan putusan perubahannya harus mendapat persetu-juan dari
sekurang-kurangnya 50 % + 1 Anggota MPR. Konkritnya kalau
sekarang Anggota MPR 678 ORang maka siding untuk mengubah
baru dapat dilaksanakan jika sekurang-kurangnya dihadiri oleh 452
orang anggota MPR dan putusan untuk mengubah mendapat
persetujuan dari sekurang-kurangnya 339 orang anggota MPR.
Berkaitan dengan perubahan ini K.C. Wheare dalam
bukunya “Modern Constitution”, menyebutkan ada 4 cara untuk
mengubah UUD yaitu :
a. Formal Amandment yaitu pertumbuhan dan perkembangan
konstitusi negara melalui tatacara yang diatur atau
ditentukan oleh konstitusi yang bersangkutan.
b. Judicial Interpretation yaitu perubahan konstitusi melalui
penafsiran hukum yang dikembangkan melalui praktek
peradilan.
c. Some Primary Forces yaitu perubahan konstitusi yang
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan/kejadian-
kejadian/peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi dalam
masyarakat yang mengharuskan pemerintah atau negara

69
Sri Soemantri M., Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan aspek-
aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002, hlm. 9

97
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

mengubah konstitusi meskipun caranya diluar atau


bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.
d. Usages and Convention yaitu perubahan konstitusi melalui
praktek-praktek ketatanegaraan karena tatacaranya tidak
ditentukan atau dengan prosedur tertentu untuk membuat
konstitusi.
Materi muatan dari UUD ini menurut Steenbeek berisi 3
hal-hal pokok yaitu :
1. Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia
dan warganegara;
2. Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu
negara yang fundamental;
3. Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas
ketatanegaraan yang fundamental.

2. Undang-undang
Undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dan disahkan oleh
Presiden. Hal ini memperlihatkan bahwa DPR merupakan
lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi. Sebagai
perwakilan rakyat tentu dalam melaksanakan fungsinya harus
sejalan dengan keinginan dari rakyat. Perubahan kedua UUD 1945
mempertegas fungsi legislasi DPR sebagaimana rumusan
perubahan Pasal 20 menjadi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan

98
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Rakyat masa itu.


(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telahdisetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh dan semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.
UU yang merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan agar dapat berfungsi untuk mencapai tujuan
tersebut di atas maka substansinya harus sesuai dengan tujuan dari
berbangsa dan bernegara Republik Indonesia sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945. Perlu
disadari bahwa kebutuhan hukum yang banyak dan cepat berubah,
membutuhkan pembentuk UU yang tangguh, dapat bekerja efisien
dan efektif. Penyempurnaan tata kerja Dewan Perwakilan Rakyat
agar dapat bekerja lebih efisien menjadi mutlak dilakukan.
Berbagai fasilitas yang lebih memudahkan anggota DPR perlu
ditingkatkan atau diadakan. Berbagai bahan atau cara memperoleh
informasi secara mudah atau cepat harus diadakan, termasuk ahli-
ahli atau tenaga-tenaga yang secara khusus membantu anggota
DPR.
Peran pembentuk UU menjadi sangat sentral karena salah
satu sasaran pokok pembangunan UU adalah menciptakan
peraturan perundang-undangan baru yang diperlukan, baik dalam
rangka memperkuat dasar dan arah politik baru, maupun mengisi
berbagai kekosongan hukum akibat perkembangan baru dan
mengadakan atau memasuki berbagai persetujuan internasional.
Baik dalam rangka ikut memperkokoh tatanan internasional,
maupun untuk kepentingan nasional. Dalam upaya memenuhi
kebutuhan hukum baru, harus dicegah cara-cara membentuk

99
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan perundang-undangan yang tidak mengindahkan sistem


dan tertib hukum yang berlaku.
Fungsi melaksanakan tertib hukum ini di Indonesia
dijalankan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, sedangkan
kontrolnya oleh lembaga yudisial. Lembaga yudisial yang
melaksanakan kontrol ini di Indonesia salah satunya adalah MK.
Fungsi kontrol MK terhadap tertib hukum dilakukan dengan
menguji kesesuaian materi muatan UU dengan ketentuan-
ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam UUD.
materi muatan UU merupakan materi yang mempengaruhi
secara langsung seluruh sendi-sendi kenegaraan. Hal ini bila
mengacu pada pendapat Hamid S. Attamimi materi muatan UU
ini terdiri dari :
a. Hal-hal yang secara tegas-tegas diperintahkan UUD,
b. Hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD,
c. Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan HAM,
d. Hal yang mengatur hak dan kewajiban warganegara,
e. Hal yang mengatur pembagian kekuasaan negara di tingkat
pusat,
f. Hal yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga
negara,
g. Hal yang mengatur pembagian wilayah negara,
h. Hal yang mengatur dan menetapkan siapa warganegara dan
bagaimana cara memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan, dan
i. Hal lain yang oleh suatu UU dinyatakan untuk diatur
dengan UU.70
Sedangkan kalau mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004
maka materi muatan UU ini terbagi dua71 yaitu :
70
A. Hamid S. Attamimi, Materi muatan Undang-undang
Indonesia,Makalah Seminar di FH UBAYA, Surabaya, 1993,hlm. 9.
71
Lihat lebih lanjut Pasal 8 UU ini.

100
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD RI tahun 1945 yang


meliputi :
(1) Hak-hak asasi manusia;
(2) Hak dan kewajiban warga negara;
(3) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara;
(4) Wilayah negara dan pembagian daerah;
(5) Kewarganegaraan dan kependudukan; dan
(6) Keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang


Perpu merupakan peraturan perundang-undangan yang
sederajat dengan UU namun dikeluarkan dalam keadaan darurat
dan kewenangan untuk menetapkannya ada pada Presiden.
Pengertian pengganti UU adalah materi muatan Perpu merupakan
materi muatan UU jika dikeluarkan dalam keadaan normal.
Sebagai peraturan pengganti tentu pengeluaran Perpu ini ada
syarat-syaratnya.
UUD 1945 Setelah perubahan menentukan bahwa Perpu
hanya dapat dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. Bagir manan berpendapat bahwa dalam praktek hal
ikhwal kegentingan yang memaksa ini diartikan secara luas tidak
hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan
atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang
mendesak. Persoalannya tentu yang dapat menentukan kriteria
kegentingan yang memaksa ini adalah Presiden, karena
kewenangan untuk membentuknya ada pada presiden.72
Berkaitan denga kewenangan yang besar ada pada Presiden
untuk menimbang suatu keadaan dapat atau tidak dikatakan kepada

72
Bagir Manan,Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind Hill.Co,
Jakarta, 1992, hlm.51.

101
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

kegentingan maka Perpu ini masa berlakunya dibatasi yaitu paling


lambat masa sidang DPR berikutnya Perpu ini harus mendapat
persetujuan DPR dan menjadi UU atau tidak disetujui DPR dan
dalam keadaan ini Perpu harus dicabut.

4. Peraturan Pemerintah
Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.” Ketentuan Pasal 5 Ayat (2) menyiratkan
bahwa Presiden mempunyai kewenangan membentuk Peraturan
perundang-undangan, dan materi muatan yang diaturnya
merupakan materi delegasian dari UU.
Penyimpulan bahwa materi muatan PP merupakan materi
delegasian ini dapat diambil dari kata menjalankan UU
sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa
aturan dari PP hanya berisi ketentuan lebih lanjut atau rincian dari
ketentuan UU. Dengan kata lain setiap ketentuan yang ada dalam
PP harus ada keterkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan
dalam UU. Keterkaitan ini mungkin secara langsung dapat dilihat
dengan melihat apakah ada delegasi dari UU kepada PP atau
mungkin pula kita harus melihat apakah isi PP ini ada keterkaitan
dengan suatu UU.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya materi
muatan PP adalah materi delegasian dari UU dalam rangka
melaksanakan lebih lanjut UU.

5. Peraturan Presiden
Bentuk Peraturan Presiden adalah bentuk baru dari jenis
peraturan perundang-undangan. Peraturan Presiden ini dikenal
sejak keluarnya UU No. 10 tahun 2004 walaupun dalam sejarah
sebetulnya Indonesia pernah mengenal bentuk Peraturan Presiden
ini yaitu pada Indonesia menggunakan dasar penggunaan jenis-

102
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Surat Presiden


Nomor 2262/HK/1959.
Sesuai dengan namanya kewenangan lembaga yang
mengeluarkannya ada pada Presiden. Sedangkan materi
muatannya yaitu untuk melaksanakan UU atau melaksanakan
peraturan pemerintah. Dengan demikian pada dasarnya ada
kesamaan antara PP dan Perpres yaitu sama-sama dapat mengatur
ketentuan lebih lanjut dari UU. Selain persamaan itu persamaan
yang lainnya adalah dalam membuat ketentuan lebih lanjut baik
dalam PP maupun Perpres tidak boleh memuat sanksi pidana.
Dilihat dari kedudukannya PP ada diatas Perpres konsekwensinya
Perpres tidak boleh bertentangan dengan PP.
Hal ini tentu harus jadi bahan pertimbangan bagi Presiden
ketika akan menindaklanjuti ketentuan UU pada saat delegasinya
tidak jelas apakah akan memilih PP atau Perpres pertimbangkan
juga hirarkinya. Disamping pertimbangkan hirarkinya ada hal lain
yang harus jadi pedoman yaitu materi muatan yang akan diaturnya
apakah mengandung hak dan kewajiban rakyat, atau dalam batas-
batas tertentu berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, Jika ini yang
akan diatur maka bentuk yang dipilih hendaknya PP.

6. Peraturan Daerah
Peraturan daerah sebagai subsistem dari sistem hukum
nasional Indonesia merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Untuk itu sebelum membicarakan materi
muatannya terlebih dahulu akan dibicarakan fungsi peraturan
daerah.
Bagir manan menyatakan bahwa fungsi peraturan
perundang-undangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok
utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.73 Yang

103
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dimaksud dengan fungsi internal adalah fungsi peraturan


perundang-undangan sebagai sub sistem hukum dari sistem hukum
pada umumnya. Sedangkan fungsi eksternal dari peraturan
perundang-undangan adalah fungsi yang berkaitan dengan
lingkungan tempat berlakunya peraturan perundang-undangan
tersebut. Dengan kata lain fungsi eksternal ini disebut juga sebagai
fungsi sosial hukum.Peraturan Daerah merupakan salah satu
bentuk dari peraturan perundang-undangan tentu juga mengemban
dua fungsi tersebut.
Fungsi internal terdiri dari fungsi penciptaan hukum,
pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme sistem hukum,
dan fungsi kepastian hukum. Sedangkan fungsi eksternal terdiri
dari pertama fungsi perubahan yang mengandung arti bahwa
peraturan perundang-undangan diciptakan untuk mendorong
perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Kedua fungsi stabilisasi peraturan perundang-undangan diciptakan
untuk menjamin stabilitas masyarakat. Dan ketiga fungsi
kemudahan artinya peraturan perundang-undangan dipergunakan
untuk mengatur berbagai kemudahan misal insentif, penundaan
pengenaan pajak, dan lain-lain.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa fungsi peraturan
perundang-undangan dalam hal ini khususnya peraturan daerah
sangat penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis,
berkeadilan, dan berkepastian hukum. Agar fungsi ini dapat
berjalan dengan baik maka tentu materi muatan dari peraturan
daerah ini harus dibatasi sehingga tetap tidak terlepas dari koridor
sistem hukum nasional.
Istilah materi muatan peraturan perundang-undangan
pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi, untuk
73
Bagir Manan, Fungsi dan Materi peraturan Perundang-
undangan,Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran
Hukum BKS-PTN bidang hukum sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 1994, hlm. 16.

104
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

jelasnya dikutif pernyataan beliau dalam disertasinya yaitu : “kata


materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata
Belanda het onderwerp dalam ungkapan Thorbecke “het
eigenaardig onderwerp der wet”. Penulis menerjemahkannya
dengan materi muatan yang khas dari undang-undang”.
Maksudnya adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan
semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu
menjadi materi muatan undang-undang.74
Penjelasan di atas menyatakan bahwa istilah materi muatan
adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata
dimuat dalam suatu peraturan tertentu. Contohnya dalam kata
materi muatan undang-undang, maka yang dimaksud adalah materi
pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam
undang-undang. Begitu pula dengan istilah materi muatan
peraturan daerah tentu yang dimaksud adalah materi pengaturan
yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam Peraturan
daerah.
Berkaitandengan materi muatan peraturan daerah ini sangat
tergantung dari pengatur dalam undang-undang yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ambil contoh
materi muatan peraturan daerah menurut undang-undang Nomor 5
tahun 1974 adalah :
Pertama daerah berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.75 Kedua mengatur
urusan tugas pembantuan baik dari pemerintah pusat maupun dari
pemerintah daerah tingkat I.76 Dan ketiga Peraturan daerah tidak
boleh a. bertentangan dengan kepentingan umum, dan peraturan

74
A. Hamid S. Attamimi, Peranan … op.cit., hlm. 194. Lihat juga A.
Hamid S. Attamimi, Materi Muatan Undang-undang Indonesia, Makalah,
Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 1993, hlm. 1-2.
75
Lebih lanjut lihat Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1974
76
Lebih lanjut lihat Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1974

105
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi. b.


Mengatur sesuatu hal yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. dan c. Peraturan daerah
tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah
tangga daerah tingkat bawahnya.77
Sedangkan perkembangan berikutnya dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah maka materi muatan peraturan daerah ini
menjadi lebih luas lagi karena mencakup hampir semua urusan
pemerintahan. Pemerintah daerah menurut undang-undang ini
terbagi dua daerah yaitu daerah provinsi dan daerah kabupaten/
kota.
Untuk lebih jelasnya Penulis kemukakan materi muatan
Peraturan daerah provinsi menurut UU no. 22 Tahun 1999 adalah
: pertama yang berkaitan dengan kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta
kewenagan dalam bidang tertentu lainnya,dan kewenangan yang
tidak atau belum dilaksanakan daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.78 Kedua mengaturan wilayah laut sejauh 12 Mil yang
meliputi : a. Eksplorasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut, b. Pengaturan kepentingan
administratif, c. Pengaturan tata ruang, dan d. Penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.79 Ketiga berkaitan
dengan Pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan
karir pegawai diwilayahnya.80

77
Lebih lanjut lihat Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1974
78
Lihat Pasal 9 Ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 1999.
79
Lihat Pasal 3 dan Pasal 10 UU No. 22 Tahun 1999.
80
Lihat Pasal 77 UU No. 22 Tahun 1999.

106
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Sedangkan Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten


atau Kota adalah : Pertama seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan
standardisasi nasional.81 Kewenangan mengatur daerah Kabupaten
dan kota ini sangat luas oleh karena itu dalam UU inipun
dicantumkan urusan wajib artinya terhadap urusan ini daerah mau
tidak mau harus melaksanakannya, yaitu berkaitan denga pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.82
Kedua pengelolaan sumber daya nasional yang tersedia
diwilayahnya dengan tanggungjawab untuk memeliharakelestarian
lingkungan.83 Ketiga pengaturan mengenai kewenangan di laut
sama dengan kewenangan Provinsi tetapi luasnya hanya sepertiga
dari batas laut daerah provinsi.84 Keempat berkaitan dengan
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan
pelatihan.85 Dan Kelima materi muatan semua itu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain,

81
Lihat Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999.
82
Lihat Pasal 11 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999.
83
Lihat Pasal 10 UU No. 22 Tahun 1999.
84
Lihat Pasal 10 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999.
85
Lihat Pasal 76 UU No. 22 Tahun 1999.

107
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.86 Selain itu


boleh mengatur tentang pembebanan biaya paksaan, penegakan
hukum seluruhnya, atau sebagian kepada pelanggar.87
Kewenangan daerah yang menjadi materi muatan peraturan
daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tersebut
lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom. Peraturan Pemerintah ini ternyata
membatasi kewenangan daerah kabupaten atau kota atau dengan
kata lain ada beberapa yang asalnya materi muatan peraturan
daerah kabupaten atau kota menjadi bukan materi muatan
peraturan daerah kabupaten atau kota. Pembatasannya ada kurang
lebih 25 bidang yang kembali menjadi kewenangan pusat88 dan 20
bidang yang menjadi kewenangan Provinsi.89
Sedangkan Undang-undang yang berlaku sekarang adalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah. Undang-undang ini membagi pemerintah daerah ke dalam
pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota. Dengan
demikian seharusnya Peraturan daerah pun terbagi dua yaitu
Peraturan daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/kota,
tetapi dalam prakteknya diakui oleh UU No. 10 Tahun 2004 desa
mengeluarkan peraturan desa dan dikatagorikan ke dalam
peraturan daerah, padahal dalam UU No. 32 Tahun 2004 desa
tidak dikatagorikan pemerintah daerah90. UU ini juga

86
Lihat Pasal 70 UU No. 22 Tahun 1999.
87
Lihat Pasal 71 UU No. 22 Tahun 1999.
88
Lihat Pasal 2 PP 25 Tahun 2000.
89
Lihat Pasal 2 PP 25 Tahun 2000.
90
Lihat Pasal 1 angka 3 UU No. 32 Tahun 2004 yang isi lengkapnya
adalah “Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

108
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

mengkatagorikan urusan pemerintahan ke dalam urusan wajib dan


urusan pilihan. Pengertian urusan wajib adalah urusan yang sangat
mendasar berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warganegara,
hak ini antara lain adalah perlindungan hak konstitusional,
perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat,
ketenteraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga
keutuhan NKRI, dan pemenuhan komitmen nasional yang
berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.91
Sedangkan yang dimaksud urusan pilihan adalah urusan yang
secara nyata ada di daerah dan berfotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan
potensi unggulan daerah.
Materi muatan Peraturan daerah yang berasal dari urusan
wajib Provinsi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah :
Pertama perencanaan dan pengendalian pembangunan,
Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang
kesehatan; penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial; penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota; pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kabupaten/kota; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah termasuk lintas kabupaten/kota; pengendalian
lingkungan hidup; pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan
pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

91
Lihat Penjelasan Pasal 11 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

109
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk


meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten
atau Kota yang berasal dari Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota meliputi :
perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana
dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan;
penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial;
pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan
koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan
hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan
catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan;
pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan,dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Selain
itu baik di Perda Provinsi maupun Kabupaten Kota mungkin ada
yang berasal dari kewenangan yang bersifat concurent.
Sedangkan lembaga yang berwenang membuat Peraturan
Daerah adalah Kepala Daerah dan legislatif daerah. Dengan
demikian untuk tingkat Provinsi yang membuat Peraturan Daerah
adalah Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
sedangkan di Kabupaten atau kota adalah Bupati atau Walikota
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau kota.
Selain itu ada suatu organ negara yang secara kelembagaan
merupakan organ pusat tetapi tugasnya menyalurkan aspirasi
daerah di pusat yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

110
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Keberadaan DPD ini dalam prakteknya belum banyak memberikan


kontribusi kepada daerah karena kewenangan DPD ini sangat
terbatas. Keterbatasan ini nampak dari hanya dapat mengajukan
rancangan UU yang berkaitan dengan Otonomi daerah, tetapi
bukan yang ikut memutuskan untuk membuat UU.

BAB VI
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kompetensi Dasar : Mahasiswa mengetahui, memahami, dan


dapat menerapkan kerangka peraturan
perundang-undangan ke dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.

Dalam Bab sebelumnya telah diuraikan bahwa peraturan


perundang-undangan mempunyai bentuk baku tertentu.
Ketidaksesuaian dengan bentuk baku akan menyebabkan suatu
peraturan perundang-undangan menjadi batal demi hukum.
Bentuk baku dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di

111
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini
menyebabkan Penulis dalam membahas kerangka peraturan
perundang-undangan tidak bisa tidak harus mengambil dari UU
Nomor 10 Tahun 2004, walaupun demikian ketika secara teori ada
yang tidak sejalan penulis memberikan sedikit komentar.
Kerangka Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU
No. 10 Tahun 2004 terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang Tubuh
D. Penutup;
E. Penjelasan (jika diperlukan);
F. Lampiran (jika diperlukan);

A. JUDUL

Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan


mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan
nama Peraturan Perundang-undangan. Nama Peraturan Perundang-
undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang-undangan. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

112
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahan


frase perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-
undangan yang diubah.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG

Jika Peraturan Perundang-undangan telah di ubah lebih dari 1


(satu) kali, diantara kata perubahan dan kata atas disisipkan
keterangan yang menunjukan berapa kali perubahan tersebut telah
dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR....TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR.....TAHUN.....TENTANG

Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama


singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang
diubah.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR....TAHUN....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

113
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan


kata pencabutan di depan nama Peraturan Perundang-undangan
yang di cabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN
BEBAS DAN
PELABUHAN BEBAS SABANG

Pada judul Peraturan Pemerintahan Peganti Undang-Undang


(Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang, ditambahkan
kata penetapan di depan nama Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan dan diakhiri dengan Frase menjadi Undang-
Undang.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-
UNDANG

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pegesahan perjanjian


atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan
didepan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan
disahkan. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional
Bahasa Indonesia digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian

114
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

atau persetujuan ditulis dalam Bahasa indonesia, yang diikuti oleh


teks resmi bahasa asing yang di tulis dengan huruf cetak miring
dan diletakan diantara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN
AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON
MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa


Indonesia tidak digunakan sebagi teks resmi, nama perjanjian atau
persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak
miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia
yang diletakan diantara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
ILLICIT
TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC
SUBTANCES
1998
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
DAN
PSIKOTROPIKA,1998)

115
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

B. PEMBUKAAN
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Frase Dengan Rahmat TuhanYang Maha Esa;
2. Jabatan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3. Konsiderans;
4. Dasar Hukumnya; dan
5. Diktum
B.1.FraseDengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada Pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan
sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakan
di tengah marjin.

B.2.Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan


Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah marjin
dan diakhiri dengan tanda baca koma.

B.3. Konsiderans
Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans
memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang
menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans
Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan
Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang
tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan
dibuatnya peratuarn perundang-undangan tersebut.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-
tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang

116
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

merupakan kesatuan pengertian. Tiap-tiap pokok pikiran diawali


dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan dengan tanda baca
titik koma.
Contoh: Menimbang : a. Bahwa...;
b. Bahwa...;
c. Bahwa...;
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan,
rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut :
Contoh:
Menimbang : a. bahwa ...;
b. bahwa...;
c.bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaiman dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu membentuk Undang-
Undang (Peraturan Daerah) tentang...;

Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah


Undang-Undang atau peraturan daerah:
Menimbang : a. bahwa...;
b. bahwa...;
c.bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a
dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah (Peraturan Presiden);

Konsiderans peraturan pemerintah pada dasarnya cukup


memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai
perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari
Undang-Undang yang memerintahan pembuatan Peraturan
Pemerintah tersebut. Konsiderans Peraturan Pemerintah Cukup
memuat satu pokok pikiran yang isinya menujuk pasal-pasal dari
Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya.

117
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Contoh :
Menimbang :a.bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34
ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan saksi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat;

B.4. Dasar Hukum


Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar Hukum
memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang
memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan
tersebut. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai
dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan
Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi
berlaku; tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. Jika jumlah
Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih
dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama di
susun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau
penetapannya.
Dasar hukum yang diambil dari pasal-pasal dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis
dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan
Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 di tulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u
ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:

118
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Mengingat : Pasal 5 ayat(1) dan pasal 20 Undang-


Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal,
tetapi cukup mencantumkan nama Judul Peraturan Perundang-
undangan. Penulisan Undang-Undang, kedua huruf u ditulis
dengan huruf kapital. Undang-Undang Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan Pencantuman
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia yang diletakan diantara tanda baca
kurung.
Contoh:
Mengingat : 1. ...;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 4316);
Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-
undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember
1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia
dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan
tahun dan nomor staatsblad yang di cetak miring diantara tanda
baca kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Wetboek van Koophandel, Staatsblad
1847:23);
2. ...;
Cara penulisan sebagaimana dimaksud di atas berlaku juga
untuk pencabutan peraturan perundang-undangan yang berasal dari

119
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

jaman Hindia Belanda atau dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial


Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar
hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap
dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya,
dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh :
Mengingat : 1. ...;
2. ...;
3. ...;
B.5.Diktum
Diktum terdiri atas :
a. Kata Memutuskan;
b. Kata Menetapakan;
c. Nama Peraturan Perundang-undangan;
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa
spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua
serta diletakan di tengah marjin.
Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan
frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA yang diletakan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan
dicantumkan Frase dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH....(nama daerah) dan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA...(nama daerah), yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh Peraturan Daerah :

120
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH...(nama daerah)
dan
GUBERNUR...(nama daerah)
MEMUTUSKAN :
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan
yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan
Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-
Undangan di cantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan
didahului dengan Pencantuman jenis Peraturan Perundang-
undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG
PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT
DAN DAERAH
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat
yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan
peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis
berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.

C. BATANG TUBUH
Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua
subtansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam
pasal-pasal. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh
dikelompokan ke dalam:
1. Ketentuan umum;
2. Materi Pokok yang Diatur;

121
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

3. Ketentuan Pidana(jika diperlukan);


4. Ketentuan Peralihan(jika diperlukan);
5. Ketentuan Penutup;
Dalam pengelompokan subtansi sedapat mungkin dihindari
adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang
bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada
atau dapat pula di muat dalam bab tersendiri dalam judul yang
sesuai denagn materi yang diatur. Substansi yang berupa sanksi
administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma
tersebut, dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma
yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan
terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
tersebut.Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan
izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda
administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan
dapat berupa, antar lain, ganti kerugian.
Pengelompokan materi Peraturan Perundang-undangan dapat
disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang
lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal
tersebut dapat dikelompokan menjadi: buku (jika merupakan
kodifikasi ), bab, bagian, dan paragraf.
Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian, dan
paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan
pengelompokan adalah sebagi berikut:
a. Bab dengan pasal-pasal tanpa bagian dari paragraf;
b. Bab dengan bagian dari pasal-pasal tanpa paragraf; atau
c. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal.

122
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul


yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab
yang seluruhnya ditulis oleh huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang
ditulis dengan huruf dan diberi judul.
Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata
pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal
kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh:
Bagian Kelima
Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor,
Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi
judul. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul
paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata
partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Materi
Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam
banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa
pasal masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika
materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang

123
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

tidak dapat dipisahkan. Pasal diberi nomor urut dengan angka


Arab. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26
tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. Ayat diberi
nomor urut dengan angka Arab di antar tanda baca kurung tanpa di
akhiri tanda baca titik. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu
norma yang di rumuskan dalam satu kalimat utuh. Huruf awal kata
ayat yang digunakan sebagai acuan tulis dengan huruf kecil.
Contoh :
Pasal 8
1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat
diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyebutkan jenis baarang atau jasa yang
termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan
peraturan Pemerintah.
Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di
samping di rumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat
pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih ialah Warga Negara Indonesia
yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin
dan telah terdaptar pada daftar pemilih.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah di pahami jika dirumuskan
sebagai berikut:

124
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Contoh rumusan tabulasi:


Yang dapat diberi hak pilih adalah warga negara indonesia
yang:
a. Telah berusia 17 (tujuh belas)tahun atau telah
kawin;dan
b. Telah terdaptar pada daftar pemilih.
Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk
tabulasi hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Setiap rincian harus dapat di baca sebagai satu rangkaian
kesatuan dengan frase pembuka;
b. Setiap rincian diawali dengan huruf (abjad)kecil yang
diberi tanda baca titik;
c. Setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d. Setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e. Jika suatu rincian dibagi lagi kedalam unsur yang lebih
kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk kedalam;
f. Di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih
lanjut diberi tanda baca titik dua;
g. Pembagian rincian (dengan ukuran makin kecil) ditulis
dengan abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik;
angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil
dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda
baca kurung tutup;
h. Pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat
Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan
pemecahan paasl yang bersangkutan ke dalam pasal atau
ayat lain.
Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai
rincian kumulatif ditambahkan kata yang diletakkan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir.Jika rincian dalam tabulasi
dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang
diletakan dibelakang rincian kedua dari rincian terakhir. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan

125
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakan di belakang


rincian kedua dari rincian terakhir. Kata dan, atau, dan/atau tidak
perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
Contoh:
a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b,
dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) ... :
(2) ... :
a.. :
b.. : (dan, atau, dan/atau)
c.. :
b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian
itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh :

Pasal 12
(1). .......
(2). .......
a.... :
b.... : (dan, atau, dan/atau)
c.... :
1. .. :
2. .. : (dan, atau, dan/atau)
3. .. :
c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian
yang mendetail, rincian itu di tandai dengan huruf
a), b), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 20
(1) ...

126
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

(2) ...
(3) ...
a. ...:
b. ... :(dan, atau, dan/atau)
c. ... :
1 .... :
2 .... : (dan, atau,
dan/atau)
3 .... :
a) ... :
b) ... : (dan,
atau,
dan/atau)
c) ... :
d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian
yang mendetail, rincian itu di tandai dengan angka
1), 2), dan seterusnya.
Contoh :
Pasal 22
(1) ...
(2) ...
a ... :
b ... :(dan, atau, dan/atau)
c ... :
1 ... :
2 ... :(dan, atau, dan/atau )
3 ... :
a) ... :
b) ... : (dan, atau, dan/atau)
c) .... :
1) ... :
2) ... : (dan, atau,
dan/atau)

127
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

3) ... :
4)
C.1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum diletakan dalam bab kesatu. Jika dalam
peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan
bab, ketentuan umum diletakan dalam pasal-pasal awal. Ketentuan
umum dapat membuat lebih dari satu pasal. Ketentuan umum
berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c. hal-hal lain yang bersipat umum yang berlaku bagi pasal-
pasal berikutnya antaralain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, tujuan.
Frase pembuka dalam peraturan umum undang-undang
berbunyi(Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan).
Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau
definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-
masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan di
awali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah
kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal-
pasal selanjutnya.
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata
atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian
atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi
definisi. Jika suatu batasan Pengertian atau definisi perlu dikutip
kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan,
maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam
pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi dari yang

128
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

dilaksanakan tersebut. karena batasan pengertian atau definisi,


singkatan atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu
kata atau istilah maka batasan atau pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim tidak perlu diberi penjelasan dan karena itu
harus dirumukan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
Urutan penempatan kata suatu istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu didalam materi
pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih
dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian
diatasnya diletakan berdekatan secara berurutan.

C.2. Materi pokok yang diatur


Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, ,materi
pokok yang diatur ditempatkan setelah pasal ketentuan umum.
pembagian meteri pokok kedalam kelompok yang lebih kecil
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh :
a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang
dilindungi, seperti pembagian dalam kitab Undang-
undang hukum pidana:
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
2. kejahatan terhadap martabat presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap keamanannegara;
b. pembagian berdasarkan urutan / kronologis, seperti
pembagian dalam hukum acara pidana, mulai dari

129
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, tingkat kasasi, dan


peninjauan kembali.
c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti
Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung
muda.

C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)


Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan
penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi
norma larangan atau perintah. Dalam merumuskan ketentuan
pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang
terdapat dalam buku kesatu kitab undang-undang Hukum pidana,
karena ketentuan dalam buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan
yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain (pasal 103 kitab
undang-undang hukum pidana).
Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda
perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab
ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur
atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan
tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. jika
didalam peraturan perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam
pasal yang terletak langsung sebelum pasal-pasal yang berisi
ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan
peralihan, ketentuan pidana diletakan sebelum pasal penutup.
Ketentuan pidana hanya dimuat dalam undang-undang dan
peraturan daerah.
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan

130
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

pasal-pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian perlu


dihindari :
• pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan
perundang-undangan lain.
• pengacuan kepada kitab Undang-undang Hukum
Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang
diacu tidak sama; atau
• penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak
terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam
pasal-pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang
tindak pidana khusus.
Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari
ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Contoh :
Pasal 81
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk
barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau
diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 20,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000, 00 (seratus ribu
rupiah)
Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi sujek tertentu
subjek itu dirumuskan secara tegas, misalnya orang asing, pegawai
negeri, saksi. Sehubungan dengan adanya pembedaan antara tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam kitab
undang-undang hukum pidana, rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan
pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah
pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau
kumulatif , alternatif. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana

131
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

yang tidak menunjukan dengan jelas apakah unsur-unsur perbuatan


pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
Jika suatu perbuatan perundang-undangan yang memuat
ketentuan pidana akan diberlaku surutkan, ketentuan pidananya
harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1
ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan
bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan
pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur
tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi
cukup mengacu kepada undang-undang yang mengatur mengenai
tindak pidana ekonomi misalnya, undang-undang nomor 7 Drt.
Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak
pidana ekonomi. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-
perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada :
a. badan hukum, pereroan, perkumpulan atau yayasan;
b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana
atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam malakukan
tindak pidana; atau
c. kedua-duanya.

C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)


Ketentuan peralihan memuat, penyesuaian terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan
perundang-undangan baru mulai berllaku, agar peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak
menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan peralihan dimuat
dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan diantara bab
ketentuan penutup.
Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan
mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan
hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah

132
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai


berlaku, tunduk pada kemampuan peraturan perundang-undangan
baru.
Dalam peraturan perundang-undangan yang baru, dapat
dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau
penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum
tertentu. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan
yang diberlakukan. Jika suatu peraturan perundang-undangan
diberlakukan surut, peraturan perundang-undangan tersebut
hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan
hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam
tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana,
penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlaku surutkan bagi
ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan. Penentuan
daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban
konkret kepada mayarakat.
Jika penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau
hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan perundang-
undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci
tindakanhukum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta
jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara
tersebut.
Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya
memuat perubahan terselubung atas ketentuan peraturan
perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan
dengan membuat batasan pengertian baru dalam ketentuan umum
peraturan perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat
peraturan undang-undang tambahan.

133
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

C.5. Ketentuan Penutup


Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika
tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup
ditempatkan dalam pasal-pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan
penutup memuat ketentuan mengenai :
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang
melaksanakan peraturan perundang-undangan
b. Nama singkat
c. Status peraturan perundang-undanganyang sudah ada
d. Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.
ketentuan penutup dapat memuat ketentuan mengenai:
a. menjalankan (eksekutif, misalnya penunjukan pejabat
tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin,
mengangkat pegawai, dan lain;lain
b. mengatur (legislatif ), misalnya memberikan kewenangan
untuk membuat peraturan pelaksanaan.
Bagi nama peraturan perundang-undangan yang panjang
dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan)
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang
bersangkutan tidak dicantumkan;
b. Nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim,
kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat
dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang
dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang kurang tepat :
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan) Undang-undang ini dapat disebut
Undang-Undang tentang Karantina Hewan.
Hindari memberikan nama singkat bagi nama peraturan
perundang-undangan yang sebenarnya sudah singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat :

134
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

(Undang-Undang tentang Bank Sentral) Undang-


undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang
Bank Indonesia.
Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat :
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara)
Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang
tentang Peradilan Administrasi Negara.
Jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru
menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi
dalam peraturan perundang-undangan lama, di dalam peraturan
perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai
pencabutan seluruh atau sebagian peraturan perundang-undangan
lama. Rumusn pencabutan diawali dengan frase pada saat undang-
undang ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang
dilakukan dengan peraturan perundang-undangan pencabutan
tersendiri.
Demi kepastian hukum, pencabutan peraturan undang-
undang hendaknya tidak dirumuskan secara umum tetapi
menyebutkan dengan tegas peraturan perundang-undangan mana
yang dicabut. Untuk mencabut peraturan perundang-undangan
yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frase
dicabut dab dinyatakan tidak berlaku.
Contoh :
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
undang-undang nomor ... Tahun .... tentang ...
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ....
Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik
indonesia Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

135
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dicabut lebih dari


1 (satu), dapat dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian
dalam bentuk tabulasi.
Contoh :
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Ordonasi Perburuan (Jachtordonantie 1931,
Staatsblad 1931 : 133);
2. Ordonasi Perlindungan Binatang-Binatang Liar
(Dierenbescermingsordonantie 1931, Staatsblad
1931 : 134);
3. Ordonasi Perburuan Jawa dan Madura
(Jachtordonantie java en Madoera 1940, Staatsblad
1959 : 733); dan
4. Ordonasi Perlindungan Alam (Natuurbescherming-
sordonantie 1941, Staatsblad 1941 : 167)
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pencabutan peraturan perundang-undangan harus disertai
dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan
pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah
dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
dicabut.
Contoh :
Pasal 102
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari undang-undang nomor 9
Tahun 1976 tentang narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Indonesia Nomor 3086) dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

136
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang telah


diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frase ditarik
kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh :
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
undang-undang nomor ... Tahun .... tentang ...
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ....
Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik
indonesia Nomor ...) ditarik kembali dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan mulai
berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan. Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan pada saat diundangkan,
hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan dengan :
a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh:
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tangal 1 april 2000.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada
peraturan perundang-undangan lain yang tingkatannya
sama, jika yang diberlakukannya itu kodifikasi, atau oleh
peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah.
Contoh :
Saat mulai berlakunya undang-undang ini akan
ditetapkan dengan peraturan presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu
sejak saat pengundangan atau penetapan. Agar tidak
menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah
... (tenggang waktu) sejak ...
Contoh :

137
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun


sejak tanggal pengundangan.
Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau
yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian
mengenai saat resmi berlakunya suatu peraturan perundang-
undangan : saat pengundangan atau saat berlaku efektif. Pada
dasarnya saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan adalah
sama bagi seluruh bagian peraturan perundang-undangan dan
seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Contoh :
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Penyimpangan pada saat mulai berlaku peraturan perundang-
undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan :
a. menetapkan bagian-bagian mana dalam peraturan
perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai
berlakunya ;
contoh :
Pasal 45
(1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai
berlaku pada tanggal ...
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi
wilayah negara tertentu.
contoh :
Pasal 40
(1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan
Madura pada tanggal ...
Pada dasarnya saat mulai berlakunya peraturan perundang-
undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat
pengundangannya. Jika ada alasan yang kuat untuk
memberlakukan peraturan perundang-undangan lebih awal

138
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu


diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana,
baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut
diberlakusurutkan;
b. Rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu
terhdap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat
hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam
ketentuan peralihan;
c. Awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-
undangan sebaiknya ditetapkan tidak lebih dahulu dari
saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut
mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat
rancangan undang-undang itu disampaikan ke Dewan
Perwakilan Rakyat.
Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan,
pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat
muali berlaku peraturan peraturan perundang-undangan yang
mendasarinya. Peraturan perundang-undangan hanya perlu dicabut
dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama
atau lebih tinggi. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih
tinggi itu dilakukan, jika peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau
sebagian materi Perturan Perundang-undangan lebih rendah yang
dicabut itu.

D. PENUTUP
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-
undangan dan memuat:
a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
perturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara

139
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,


Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b. Penandatangan pengesahan atau penetapan Peraturan
Perundang-undangan;
c. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. akhir bagian penutup.
Rumusan perintah Perundang-undangan dan penetapan
Peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan... (jenis Peraturan Perundangang-
undangan ) ... ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia
yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan ...(jenis Peraturan Pengundang-
undangan ) ... Ini dengan penmpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Perturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah
yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penundangan... (jenis Peraturan Perundang-
undangan)... ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah (berita Daerah)
Penandatanganan pengesahan atau penetapan Perturan
Perundangan-undangan memuat:

140
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan


di sebelah kanan
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar
dan pangkat.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan
disebelah kanan. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda koma.
Contoh untuk pengesahan :
Disahkan di jakarta
Pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA
Contoh untuk penetapan :
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:


a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan
diletakan di sebelah kanan
b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan
c. tanda tangan; dan

141
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa


gelar dan pangkat.
Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
diletakan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan
atau penetapan). Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital pada kahir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh ...
Diundangkan di ...
Pada tanggal ...
MENTERI ( yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Peraturan Perundang-undangan)
tanda tangan

NAMA
Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh ) hari Presiden
tidak menandatangani rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Raktyat dan Presiden,
maka dicantumkan kalimat setelah nama pejabat yang
mengundangkan berbunyi :
Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
Gubernur/Bupati/Wlikota tidak menandatangani rancangan
peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau
Bupati/Walikota,maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah
nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan
Daerah ini dinyataka sah.
Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah besreta tahun dan nomor dariLembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,

142
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut. Penulisan Frase


Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah, dan Berita
Daerah di tulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh :
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
...NOMOR ...
Contoh :
BERITA NEGARA REPUBL;IM INDONESIA TAHUN
....NOMOR ...
Contoh :
LEMBARAN DAERAH PROVINSI
(KABUPATEN/KOTA) ...TAHUN...
NOMOR...

E. PENJELASAN
Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan. Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang dapat diberi
penjelasan, jika diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran
resmi pembentuk Peraturan Perundang-uandangan atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya
memuat ueraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang di atur
dalam batang tubuh . Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidak jelasan dari norma yang di
jelaskan.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut . Oleh karena itu, hindari membuat
rumusan norma di dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan
harus di hindari rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunnan
rancangan Peraturan Perundanga-undangan yang bersangkutan.

143
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-


undangan yang bersangkutan.
Contoh:
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ...TAHUN ....
TENTANG
KESEJAHTERAAN ANAK
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat
penjalasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Rincian
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan
angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai
latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan
Perauran Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat
dalam butir konsinderans, serta asas, tujuan, atau pokok-pokok
yang terkandung dalam batang tubuh Perundang-undangan.
Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan
angka arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh :
I. UMUM
1. Dasar pemikiran
...
2. Pembagian wilayah
...
3. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
...
4. Daerah Otonom
...
5. Wilayah Administratif

144
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

...
6. Pengawasan
Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke peraturan
perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu
dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Dalam
menyusun penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan agar
rumusannya :
a. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur
dalam batang tubuh;
b. Tidak memperluas atau menambah norma yang ada
dalam tubuh;
c. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang
diatur dala batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian
yang telah dimuat didalam ketentuan umum.
Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau
definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan
karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan
sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Pada pasal atau ayat yang tidak
memerlukan penjelasan ditulis frase cukup jelas yang diakhiri
dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan
pasal demi pasal tidak digabungkanwalaupun terdapat beberapa
pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang kurang tepat :
Pasal 7,pasal 8 dan pasal 9 (pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas.
Seharusnya :
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9

145
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Cukup jelas
Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak
memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup di beri
penjelsan cukup jelas.,tanpa merinci masing-masing ayat atau
butir. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah
satunya ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat
atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan
yang sesuai.
Contoh :
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi
kepatian hukum kepada hakim dan para pengguna
hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang
memerlukan penjelesan, gunakan tanda baca petik (“...”) pada
istilah/kata/frase tersebut.
Contoh :
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Persidangan yang berikut”
adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
yang hanya di antarai suatu masa reses
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

146
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Ayat (4)
Cukup jelas

F. LAMPIRAN (jika diperlukan)


Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan
lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan
pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan
tanda tanga pejabat yang mengesahkan/menetapkan Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

1. buku dan makalah

147
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

A.Hamid S.Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan


Hukum Bangsa Indonesia”, dalam Oetoyo Oersman dan
Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,
Jakarta, BP-7 Pusat, 1992.

________________, Materi muatan Undang-undang


Indonesia,Makalah Seminar di FH UBAYA, Surabaya,
1993.

Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, dasar, jenis dan teknik


membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind.


Hill. Co, Jakarta, 1992.

________________, Fungsi dan Materi peraturan Perundang-


undangan,Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang hukum
sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Bandar Lampung, 1994.

________________, Fungsi dan Materi peraturan Perundang-


undangan,Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang hukum
sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Bandar Lampung, 1994.

_______________, Lembaga Kepresidenan Menurut Undang-


undang Dasar 1945, Jakarta, 1998.

_____________, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik),


Makalah, Jakarta, 2000.

148
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

_______________, Pembangunan Hukum untuk mewujudkan


Keadilan dan Kebenaran, Makalah, Bandung, 2000.

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,


PN Balai Pustaka, Jakarta, 1979.

Frans Magnes Suseno, Etika Politik – Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern-, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1994.

Fakultas Hukum Unpad, Laporan Akhir Hasil Penelitian Fakultas


Hukum Universitas Padjadjaran Tentang Pengaturan Tata
Ruang Indonesia , Desember 1989.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Terjemah oleh


Somardi, Rimdi Press, Bandung, 1995.

J. Nicaise, Het eindbericht van de comissie-Geehoed, 1984,

J.H.A.Logmann, Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht,


Universitaire Pers, Leiden, 1948; terj. Makkatutu dan
J.C.Pangkerego, “Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
Positif”, Jakarta, Ichtiar Baru – van Hoeve, 1975.

J.M. Polak, Enkele opmerkingen over de relative tussen recht en


taal, dalam : WPNR (1979),

L.G. van Reijnen, Algemene beginselen van decentrale


regelgeving, dalam : Regel Maat (1986).

149
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan


Pembentukannya, Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum


Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta,
tanpa tahun.

Moh Koesnoe, Perumusan dan Pembinaan cita Hukum dan Asas-


Asas Hukum Nasional, dalam Majalah Hukum Nasional
Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional, Pusat
Dokumentasi hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta.

N.E. Negra, (et al), Kamus Istilah …, Jakarta : Binacipta, 1983.

P.J.J. van Buuren dalam : Bestuurswetenschappen (1979), hlm.


146 dst.; N.H.M. Roos, Enkele rechtstheoretische
kanttekeningen bij een belastingstheoretishche discussie,
dalam : NJB (1980).

Philipus H. hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1993, Hlm 57.

Sjachran Basah, Perlindungan hukum terhadap sikap tindak


administrasi negara,Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13-14.
Lihat juga Sjachran Basah, Tiga tulisan tentang Hukum,
Armico, Bandung 1986.

_____________, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak


Administrasi negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13-14.
Lihat juga Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum,
Alumni, Bandung, 1990.

150
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Sri Soemantri M., Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan


aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002,
hlm. 9

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar),


liberty, Yogyakarta, 1991.

Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republic


Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya,
1990.

The Liang Gie, Teori-teori Keadilan,, Penerbit Super, Jakarta,


1977.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta,


1961.

Van Angeren, dalam : Kracht van Wet, 1985. Mok, dalam :


Problemen van Wetgeving, 1982.
Van Wijk/Konijnembelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht,
Vijfde druk, Vuga S’Gravenhage, 1948.

2. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 beserta


perubahannya.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah.

151
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah


daerah beserta perubahannya.

INDEK
—E—
Eropa Continental, 1
—A—
Aturan, 27 —G—
Ayat, 11, 35, 45, 56, 57, 104, Gesetzgebung swissen
109, 115, 119, 120, 121, senschaft, 2
122, 140, 165, 166
—H—
—B— Hukum, 1, 4, 6, 7, 8, 9, 11,
Bab, 13, 125, 138, 139 12, 13, 14, 16, 17, 22, 27,
Buku, 83, 139 34, 38, 39, 40, 50, 83, 102,
Burkhardt Krems, 1 107, 117, 118, 133, 135,
147, 148, 167, 168, 169,
170, 171

152
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

Hukum nasional, 8
—S—
—I— S.O. Van Poelje, 1
Ilmu, 1, 3, 4, 11, 168, 169 Sanksi, 138
Sanksi administratif, 138
—K—
Kedudukan, 109, 171 —T—
Teori, 3, 11, 12, 13, 50, 169,
—P— 171
Paragraf, 139
Pasal, 35, 45, 57, 69, 82, 87, —U—
101, 102, 104, 105, 109, Undang-undang, 9, 17, 35,
111, 113, 115, 119, 120, 62, 66, 76, 83, 107, 110,
121, 122, 133, 134, 139, 111, 113, 114, 118, 119,
140, 141, 142, 143, 144, 122, 145, 146, 148, 152,
148, 149, 154, 156, 157, 153, 155, 156, 167, 168,
161, 165, 166 171, 172
Peraturan perundang-
undangan, 29, 40, 42, 45,
46, 56, 66, 81, 104, 115,
151, 157, 158
Peristilahan, 4
Perundang-undangan, 1, 3, 4,
8, 9, 17, 20, 39, 51, 58, 62,
102, 105, 107, 114, 117,
126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 144,
145, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 166, 167, 168,
169, 171
Peter Noll, 1

153
:: repository.unisba.ac.id ::
Ilmu perundang-undangan Efik Y

154
:: repository.unisba.ac.id ::

Anda mungkin juga menyukai