Putusan Mkri 8948 1680154140
Putusan Mkri 8948 1680154140
Putusan Mkri 8948 1680154140
S ALI N AN
PUTUSAN
Nomor 16/PUU-XXI/2023
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Januari 2023 memberi
kuasa kepada Rio Ramabaskara, S.H., M.H; Eko Prabowo, S.H; Dian Farizka, S.H.,
M.H; Andi Syamsul Bahri, S.H; Werdi Simanjuntak, S.H., M.H; Moin Tualeka, S.H;
Eka Rahmawati, S.H., M.H; Philipus Basten Inuhan, S.H; dan Soraya Indah Ayu
Rahmani Fadli, S.H., yang tergabung dalam Tim Advokat Kebangkitan Nusantara
yang beralamat di Jalan Mangunsarkoro Nomor 16A, Menteng, Jakarta Pusat, baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa.
2. DUDUK PERKARA
6. Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021
tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
(selanjutnya disebut PMK), menyatakan:
4. Bahwa ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK
sangat memungkinkan Pemohon mengajukan kembali pengujian materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji
oleh Mahkamah, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
- Pasal 27
- Pasal 28
12 92/PUU-XVI/2018
- Pasal 28C
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat(3)
- Pasal 6 ayat(2)
- Pasal 6A ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
13 74/PUUXVIII/2020 - Pasal 22E ayat (1)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat(3)
- Pasal 28J ayat (1) dan ayat(2)
- Pasal 6 ayat(2)
- Pasal 6A ayat(3), ayat(4), ayat(5)
- Pasal 22E ayat (1)
14 70/PUU-XIX/2021
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) dan Alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945
15 66/PUU-XIX/2021 - Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2)
- Pasal 6 ayat (2)
16 68/PUU-XIX/2021
- Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5)
- Pasal 6 ayat (2)
17 5/PUU-XX/2022
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 27 ayat (1)
18 6/PUU/XX/2022
- Pasal 28D ayat (1), ayat (3)
19 7/PUU-XX/2022 - Pasal 6A ayat (2)
6. Bahwa Pemohon telah menjadi peserta Pemilu Tahun 2024, posisi Partai
Politik saat ini ada beberapa kondisi, antara lain partai politik berbadan hukum
di Kemenkumham yang mengikuti pemilu periode sebelumnya yaitu pemilu
2019, dan partai politik berbadan hukum baru yang mengikuti pemilu 2024
serta ada juga partai politik yang mengikuti Pemilu 2024 yang sebelumnya
juga mengikuti Pemilu 2019. Kondisi yang berbeda ini tentu berdampak pada
7
posisi legal standing yang berbeda ketika berbicara soal peserta pemilu.
Artinya tidak semua partai politik secara otomatis menjadi peserta partai
politik peserta pemilu 2024. Kedudukan hukum (legal standing) terkuat untuk
bisa melakukan uji materiil dengan batu uji Pasal 6A ayat (2) adalah ketika
partai politik itu telah disahkan menjadi partai politik peserta pemilu 2024. Dan
untuk menjadi partai politik peserta pemilu itu dengan masa berlaku satu
periode pelaksanaan pemilu. Periode berikutnya maka mengulang kembali
dari awal untuk bisa menjadi partai politik peserta pemilu;
7. Bahwa Pemohon adalah badan hukum yang sah berbentuk partai politik
sebagaimana Akta Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai Kebangkitan Nusantara tanggal 29 Nopember 2021, Nomor
10 di hadapan Notaris MZ. Hakim, S.H., M.Kn., wilayah hukum Kota
Tangerang (Bukti P-3) yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia sebagimana Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-3.AH.11.01
TAHUN 2022 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) menjadi
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), tanggal 7 Januari 2022 (Bukti P-4);
8. Bahwa menurut Pasal 30 ayat (2) angka 31 Perubahan Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Nusantara tanggal 29
Nomor 2021 Nomor 10, menyatakan “Pimnas mempunyai wewenang :
Mewakil Partai di dalam dan di luar Pengadilan” juncto Bab XIX Perlindungan
Hukum dan Penyelesaian Perselisihan Pasal 49 ayat 1 menyatakan “Partai
sebagai subyek hukum diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Pimpinan Nasional di dalam dan di luar Pengadilan”, yang kemudian
doperkuat dengan hasil Notula Rapat Pleno Pimpinan Nasional (Pimnas)
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) tertanggal 18 Desember 2022 (Bukti
P-4.1) di mana dalam salah satu kesimpulan rapatnya dalam poin 6 yaitu
“peserta rapat sepakat Ketua Umum dan Sekretrais Jenderal untuk
melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan
peluang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden untuk Partai Politik peserta
Pemilu yang baru” dan poin 7 yaitu “Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
serta peserta rapat sepakat menugaskan Wakil Ketua Umum Rio
8
10. Bahwa Pemohon secara resmi telah ditetapkan sebagai partai politik peserta
Pemilihan Umum tahun 2024 Komisi Pemilihan Umum RI sebagaimana
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik
Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanggal 14 Desember
2022 (Bukti P-7);
13. Bahwa secara terang dan jelas telah diatur sesuai penjelasan Pasal 51 ayat
(1) UU MK, menyatakan: “yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah
hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Berdasarkan prinsip dasar kedudukan konstitusi di
dalam sebuh negara, maka kepastin perlindungan hak hukumnya harus
secara serius bisa dijamin. “Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam
sebuah negara (supreme law of the land) (Lihat Fatmawati, ”Peranan
Mahkamah Konstitusi dalam membangun Kesadaran Berkonstitusi,” Jurnal
Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I
nomor 1 2010, hal. 92)”
14. Bahwa bila melihat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, secara tegas menyebutkan
hal penting, yaitu hak yang bisa mengusulkan Calon Presiden dan Wakil
Presiden adalah partai politik peserta pemilu baik sendiri atau bersama-
sama. Dengan demikian, Pemohon telah memiliki hak konstitusional karena
telah diatur dalam UUD 1945, sehingga wajib dijaga dilindungi dan dipastikan
hak konstitusionalnya tersebut tidak dilanggar oleh ketentuan perundang-
undangan yang lebih rendah. Alasan konstitusionalnya sudah sangat jelas,
sebagai partai politik baru Pemohon tidak diberikan tempat secara yuridis
dalam Pasal 222 UU Pemilu, dan jika tidak diatur dan kemudian menjadi
larangan untuk bisa menjalankan amanat Pasal 6A ayat (2). Larangan
mengusulkan akibat persyaratan yang dimunculkan tidak mungkin dipenuhi
didalam UU telah menghilangkan kesempatan, hak dan kewenangan
Pemohon sebagai Partai Politik Peserta Pemilu dalam mengusulkan Calon
Presiden dan Wakil Presiden.
12
15. Bahwa dari pemaparan awal, walaupun pasal yang diuji sama, tetapi
Pemohonnya berbeda dan juga status hukum Pemohonnya juga berbeda
serta alasan permohonannya juga berbeda. Sebab Pemohon dalam
permohonan saat ini tidak mempermasalahkan aturan soal besaran
prosentase Presidential Threshold baik itu untuk perhitungan alokasi kursi
maupun alokasi suara sah nasional seperti yang pernah diajukan oleh para
Pemohon sebelumnya. Pemohon hanya mempermasalahkan hilangnya hak
konstitusional Pemohon sebagai partai politik peserta pemilu yang sah untuk
bisa mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam
Pemilu 2024 seperti yang diamanatkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Posisi
Pemohon sebagai badan hukum partai politik peserta pemilu yang
mengalami diskriminasi dan dihilangkannya hak konstitusional (constitutional
right) akibat perlakuan pemberlakukan aturan yang tidak adil dari isi
ketentuan pasal yang diuji;
16. Bahwa seperti yang dikutip dalam Putusan Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022,
Nomor 74/PUU-XVIII/2020, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya
terkait dengan pihak yang memiliki kerugian hak konstitusional dengan
berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017;
17. Bahwa dalam Putusan Perkara Nomor 66/PUU-XIX/2021, Mahkamah
kembali menegaskan pendiriannya terkait dengan pihak yang memiliki
kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017;
18. Bahwa Pemohon merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung
(direct interest) terhadap proses mekanisme dan tata cara pengusulan
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pemohon yang sudah memenuhi
syarat seperti apa yang dimaknai dalam ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD
1945 sebagai partai politik peserta pemilu yang hak konstitusionalnya
dikebiri, dihilangkan dengan tidak adanya pengaturan norma atas partai
politik yang baru. Ada diskriminasi antara partai politik lama yang mendaftar
kembali dengan partai baru yang mendaftar walau proses yang dilewati untuk
menjadi peserta pemilu relatif sama;
19. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemohon telah memenuhi syarat
sebagai Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan uji materiil Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945 ke
Mahkamah Konstitusi.
13
A. OBYEK PERMOHONAN
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20
persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah
secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”
2. Bahwa yang menjadi Batu Uji Konstitusionalitas Pemohon yaitu Pasal 6A ayat
(2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), UUD 1945,
menyatakan:
- Pasal 6A ayat(2)
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum”
- Pasal 22E ayat (1)
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali”
B. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa Putusan Perkara Nomor 14 /PUU-XI/2013, telah mengubah sitem
pemilu di Indonesia dari sitem terpisah menjadi serentak. Di mana pemilu
tahun 2019 dan seterusnya memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil
Presiden serta diikutsertakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak
sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
diberlakukan;
14
7. Bahwa penyelenggara pemilu dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
pun mengungkapkan ada kondisi yang berbeda di setiap pelaksanaan pemilu
dalam hal partisipasi pemilih. Sehingga setiap periodenisasi pelaksanaan
pemilu berlangsung lima tahunan sekali selalu pemilih akan berbeda,
sehingga sangat tidak valid dipakai acuan sebagai persyaratan untuk periode
pemilu selanjutnya. Seperti kutipan dibawah ini: “KPU menyadari bahwa
dalam pemilu, partisipasi pemilih selalu mengalami dinamika. Dinamika
partisipasi pemilih dalam pemilu bisa trendnya naik dan bisa juga turun. Trend
penurunan partisiasi pemiih (voters turnout) sebenarnya pernah terjadi sejak
pemilu 1999 hingga 2009. Pada tahun 1999, partisipasi pemilu legislatif saat
itu mencapai 92,96 persen. Jumlah itu turun menjadi 84,07 persen untuk Pileg
2004, sementara Pilpres 2004 angka partisipasi pemilih pada putaran
pertama 79,76 persen dan putaran kedua sebesar 74,44 persen. Trend
penurunan partisipasi pemilih kembali terjadi pada pemilu 2009. Pada Pileg
2009, jumlah partisipasi pemilih hanya mencapai 70,99 persen, sementara
untuk Pilpres hanya sebesar 72,09 persen. Trend itu untungnya tidak
berlanjut terus. Sejak pemilu 2014 terjadi rebound, trend peningkatan kembali
yang terus berlanjut di Pemilu 2019 bahkan hingga melampaui target nasional
sebesar 77,5 persen. Pada Pileg 2014, angka partisipasi pemilihnya
mencapai 75,11 persen. Namun untuk Pilpres tahun 2014 masih mengalami
penurunan ke angka 69,58 persen. Namun pada Pemilu 2019, angka
partisipasi pemilih baik pileg maupun pilpres mengalami peningkatan drastis.
Untuk partisipasi pemilih mencapai 81,69 persen, sementara pilpres
mencapai 81,97 persen. (KPU RI, 2020, Mendaulatkan Suara Pemilih,
Strategi Sosialisasi dan Potret Partisipasi Pemilu 2019, cetakan I, Jakarta,
hal. XIX);
16
Kemudian untuk Pemilu 2024 berdasarkan keputusan KPU No. 518 tahun
2022 tertanggal 14 Desember 2022 telah ditetapkan peserta pemilu adalah
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
PERINDO, Partai NasDem, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan
Nusantara, Partai Garda Perubahan Indonesia, Partai Demokrat, Partai
Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Gerakan
Indonesia Raya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Solidaritas Indonesia,
Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan
Partai Buruh. Ada 17 Partai politik peserta pemilu berdasarkan keputusan
tersebut. Kemudian menyusul Partai Ummat disahkan sebagai peserta
pemilu setelah melalui proses di Bawaslu dan verifikasi ulang di dua provinsi.
17
Sementara partai politik lokal Aceh adalah Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera
Aceh (Pas Aceh), Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai
Darul Aceh, Partai Nanggroe Aceh, Partai SIRA (Soliditas Independen Rakyat
Aceh). Dengan demikian ada perbedaan kepesertaan antara Pemilu 2019
dengan Pemilu 2024.
Perbedaan ini tentu merupakan hal prinsip, kalau setiap pemilu berlaku
ketentuan yang seharusnya sama dan adil bagi semua peserta pemilu tanpa
terkecuali. Perbedaan itu juga tampak di mana Partai Bulan Bintang dan
Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI) di Pemilu 2019 sebelumnya
diputuskan tidak lolos namun lewat mekanisme perjuangan yudisial akhirnya
dinyatakan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu 2019. Namun di Pemilu
2024, Partai Bulan Bintang sudah langsung lolos sebagai peserta Pemilu,
sementara Partai Kesatuan dan Persatuan (PKP) sebagai perubahan dari
PKPI dinyatakan tidak lolos di tahapan verifikasi administrasi dan juga Partai
Berkarya. Sementara Partai Ummat dinyatakan lolos setelah melewati proses
ajudikasi di Bawaslu, lalu dilakukan verifikasi faktual ulang di dua provinsi
yaitu NTT dan Sulawesi Utara.
Fakta ini menunjukkan bahwa yang dimaknai sebagai partai politik peserta
pemilu di setiap tahapan dan periode pemilu tidaklah selalu sama, dan itu
harus melalui proses tahapan yang telah ditentukan secara bersamaan.
Sehingga menjadi rancu ketika pemilu serentak harus memaksakan secara
utuh persyaratan pemilu sebelumnya sebagai persyaratan khususnya dalam
mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden;
sempurna lagi dan cacat. Belum lagi basis jumlah pemilih yang berbeda
didalam setiap pemilu, termasuk Pemilu 2019 dengan Pemilu 2024. Ini juga
membuktikan, walau memiliki suara sah di pemilu sebelumnya, dua parpol
yang tidak lolos di pemilu berikutnya tidak bisa mengusung Calon Presiden
dan Wakil Presiden karena tidak terdaftar sebagai partai politik peserta
pemilu lagi. Padahal dalam demokrasi, satu suara rakyat itu harus dihargai
dan dihormati dan sudah seharusnya menjadi landasan etik didalam
membuat ketentuan yang menyangkut hak berdemokrasi rakyat.
“... Bahkan, yang jauh lebih tragis bagaimana pula jika partai politik peserta
pemilu DPR 2019 yang mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden dalam pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2024
karena tidak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu dalam Pasal 173 ayat (2)
UU Pemilu?”;
tingkat nasional. Dan jika keduanya dijumlahkan ada 2,31 persen suara sah
tidak terhitung sebagai syarat pengajuan dan pendaftaran Calon Presiden
dan Wakil Presiden jika menggunakan syarat prosentase suara sah nasional.
Ketika menggunakan suara sah maka terhitung ada 139.972.260 suara sah
yang diperoleh oleh 16 partai politik peserta pemilu 2019, namun dengan
tidak masuknya 2 (dua) partai politik peserta pemilu tersebut maka suara sah
menjadi berkurang yaitu 136.729.990 suara sah jika dihitung untuk Pemilu
2024. Tentu saja prosentase suara sah yang bisa dipakai dalam Pemiu 2024
menjadi berubah lagi. Ini semakin jauh dari presisi suara sah yang
sebenarnya;
11. Bahwa fakta ini menandakan ada permasalahan validitas konstitusional yang
serius ketika persyaratan kursi dan suara sah dijadikan landasan utama untuk
mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa memperhitungkan
bahwa mekanisme setiap partai politik peserta pemilu untuk bisa ikut kembali
di Pemilu berikutnya wajib mengikuti tata cara dari awal lagi dan itu berpotensi
tidak lolos. Ada yang terlupakan dalam menjaga vailiditas konstitusional atas
validitas angka kursi atau suara sah ketika membuat persyaratan
mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada ketentuan yang
detail dan komprehensif yang mengatur soal penggunaan hak suara rakyat
periode sebelumnya untuk persyaratan kepemiluan di periode berikutnya;
12. Bahwa setiap Pemilu memiliki jumlah pemilih dan menjadi fakta jumlahnya
yang selalu ada perbedaan. Misalnya pada Pemilu 2014 jumlah pemilih sah
124.885.737 suara sah yang diikuti oleh 12 partai politik peserta pemilu.
Kemudian pada saat Pemilu 2019 Data Pemilih 192.770.611 Pemilih dan
yang menggunakan hak Pilih 157.475.230 Pemilih namun menghasilkan
suara sah 139.972.260 suara sah dengan tingkat partisipasi mencapai 81,69
persen pemilih dengan 16 partai politik peserta pemilu. Untuk saat ini, data
Pemilih untuk Pemilu 2024 DP4 dari Dukcapil yang diserahkan ke KPU
mencapai 206.689.516 jiwa yang itu artinya meningkat hampir 13 juta pemilih
dengan partai politik peserta pemilu sebanyak 18 partai politik.
Jika dalam pemilu yang tidak serentak sebelumnya, maka seluruh partai
politik berkompetisi dengan sumber data pemilih yang sama di setiap Pemilu,
baik untuk Legislatif maupun untuk Calon Presiden dan Wakil Presiden.
20
14. Bahwa Pemohon adalah pihak yang memiliki kepentingan secara langsung
atas penerapan Pasal 222 UU Pemilu yang telah menghalangi Pemohon
melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya sebagai partai politik peserta
pemilu dan ini sesuai juga dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-
21
15. Bahwa proses rekruitmen Pemohon sebagai partai politik untuk bisa
melakukan rekruitmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi
Calon Presiden dan Wakil Presiden dihambat bahkan dihilangkan. Betapa
perjuangan pemohon yang berat untuk bisa sah menjadi partai politik peserta
pemilu ternyata juga masih diganjal dan dirampas haknya untuk bisa
mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya karena tidak adanya
persyaratan kursi dan suara seperti yang ada di dalam undang-undang.
Padahal 2 (dua) syarat ini tidak pernah diatur didalam UUD 1945. Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 hanya mensyaratkan partai politik yang berstatus partai
politik peserta pemilu. Faktanya, ketika syarat itu sudah didapatkan,
Pemohon tidak bisa melaksanakan amanat Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik;
16. Bahwa fungsi partai politik salah satunya memfasilitasi munculnya serang
pemimpin. Namun setelah semua diupayakan oleh pemohon hingga akhirnya
memenuhi kuakifikasi sesuai amanat Konstitusi malah terganjal. “Sementara
itu, Ranney dan Kendal (1956) mendefinisikan partai politik sebagai grup atau
kelompok masyarakat yang memiliki tingkat otonomi tinggi untuk
mencalonkan serta menjalankan kontrol atas birokrasi dan kebijakan publik.
Definisi partai politik yang hampir serupa juga diberikan Crowe dan Mayo
(1967). Mereka melihat bahwa partai politik adalah institusi yang
mengaktifkan dan memobilisasi orang, kepentingan, menyediakan instrument
kompromi dari berbagai pendapat, dan memfasilitasi munculnya seorang
pemimpin. (Prof. Firmanzah, Ph.D; Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan
Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011, Hal. 69);
22
17. Bahwa Pengujian Pasal 222 UU Pemilu sepanjang frasa: “..yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25 persen dari suara sah sah secara nasional pada Pemilu
anggota DPR sebelumnya” sangat bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2),
Pasal 22E ayat (1), Pasal 27ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak melindungi dan
memberikan hak yang sama untuk semua partai politik peserta pemilu,
termasuk partai politik peserta pemilu dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2024;
18. Bahwa sesuai Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”.
19. Bahwa melihat isi ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 tersebut, dan
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan
norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik
peserta pemilu yang sah. Di dalam Pemilu Tahun 2024 ini, yang hilang hak
konstitusionalnya adalah partai baru, termasuk Pemohon. Sementara 14
partai politik peserta pemilu lainnya bisa mengusulkan Calon Presiden dan
Wakil Presiden dengan menggunakan perhitungan prosentase berbasiskan
alokasi kursi maupun berbasiskan prosentase suara sah dari Pemilu
sebelumnya. Parpol peserta pemilu yang baru tidak bisa menggunakan
kedua metode pengusulan seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu tersebut. Di sinilah secara terang dan jelas, ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu telah menghilangkan sekaligus merampas hak konstitusional partai
politik peserta pemilu baru;
20. Bahwa menjadi pertanyaan mendasar secara konstitusional, apa salah dan
dosa dari partai politik peserta pemilu seperti Pemohon yang telah tegas
diakui dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 kemudian di Pemilu tahun 2024
tidak ada satupun celah atau pintu masuk untuk bisa mengusulkan pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden? Kenapa di Pemilu sebelumnya ketika
belum ada keputusan Pemilu serentak semua partai politik peserta pemilu
bisa memiliki hak yang sama, dan kenapa saat ini malah hak itu ada yang
hilang? tentu pemohon berharap Mahkamah sebagai the guardian of
constitution bisa menjamin hak konstitusional (constitutional right) Pemohon.
Haruskah hanya karena Mahkamah berpendapat Pemilu harus serentak
kemudian hak partai politik peserta pemilu menjadi kehilangan haknya untuk
mencalonkan pemimpin nasionalnya. Padahal sebelum diputuskan serentak
oleh Mahkamah, seluruh parpol peserta pemilu dalam periode pemilu selalu
dapat mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presidennya karena pemilu
legislatif didahulukan, baru kemudian berdasarkan itu dilakukan pengusulan
Calon Presiden dan Wakil Presiden;
24
21. Bahwa jika sebuah kondisi atau syarat itu belum mengatur sebuah kondisi
objektif persyaratan maka demi keadilan sudah seharusnya dikembalikan
kepada makna Konstitusi, yaitu semua harus diperlakukan setara, adil dan
tidak diskriminatif. Partai Politik Peserta Pemilu 2024 melewati proses yang
sama dari awal mendaftar hingga ditetapkan sebagai peserta Pemilu maka
harus semuanya juga bisa ada pintu untuk ikut juga mengusulkan Calon
Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Sebab sesuai dengan
ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan: Pemilihan Umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap
lima tahun sekali. Sulit untuk menyatakan sebuah kompetisi demokrasi
berjalan adil ketika ada perlakuan yang tidak sama atas sesama partai politik
peserta pemilu didalam satu periode pelaksanaan pemilu;
Bahwa menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., terdapat 12 prinsip negara
hukum (rechstaat) sebagai penyangga berdiri tegaknya suatu negara hukum
(the rule of law) dalam arti yang sebenarnya, yaitu:
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia
setiap individu. Pengakuan negara terhadap individu ini tersirat di dalam
persamaan kedudukan di dalam hukum bagi semua orang baik secara pribadi
maupun kelembagaan. Dalam suatu negara hukum semua orang harus
diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Oleh
karenanya, muatan materi dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan
cita-cita negara hukum yaitu sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
23. Bahwa Pemilu yang berasaskan Luber dan Jurdil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka sangat terlihat dengan perbedaan
perlakuan atas hak dan kewajiban itu menjadikan tidak adil. Sebab ada partai
politik peserta pemilu yang bisa menjadi pengusung Calon Presiden dan
Wakil Presiden, baik itu berdasarkan perhitungan alokasi kursi maupun
berdasarkan alokasi perhitungan suara. Sementara ada partai politik peserta
pemilu yang sama sekali tidak bisa menggunakan kedua perhitungan
tersebut padahal kesemua partai politik itu berkompetisi di waktu yang sama.
Jadi terlahir ada Partai politik peserta Pemilu yang bisa punya hak
mengusung (baik berdasarkan kursi atau perolehan suara sah nasional),
tetapi ada partai yag tidak bisa mengusung. Ini tentu tidak adil dan telah
merampas dan menghilangkan hak konstitusional Pemohon sebagai partai
politik peserta pemilu yang sah;
(constitutional right) yang hilang dari partai politik peserta pemilu. Mahkamah
harus mencarikan solusi yuridis agar hak semua partai politik peserta pemilu
tetap bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden, baik melalui
perhitungan alokasi kursi, melalui alokasi perhitungan suara sah, maupun
cara di luar itu, khususnya untuk partai politik peserta pemilu yang belum bisa
memiliki kedua syarat tersebut;
25. Bahwa jika menggunakan cara pemilihan sebelumnya yang tidak serentak,
maka akan terjadi kesetaraan dalam berdemokrasi, dimana pemilu legislatif
terlebih dahulu dan hasil pemilu dari aspirasi rakyat itu kemudian dijadikan
dasar bagi pengajuan Calon Presiden dan Wakil Presiden, baik berdasarkan
perolehan kursi parlemen maupun berdasarkan perolehan suara sah.
Dengan demikian seluruh partai politik peserta pemilu akan mendapatkan
kesempatan dan hak konstitusional yang sama untuk mengusung Calon
Presiden dan Wakil Presiden baik berdasarkan alokasi perolehan kursi
ataupun alokasi suara sah. Keduanya bisa dilakukan tanpa kehilangan hak
konstitusional. Tetapi ketika dilakukan serentak, tetapi aturan perolehan kursi
dan suara tetap digunakan maka akan selalu ada hak partai politik peserta
pemilu yang baru akan hilang;
26. Bahwa akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI2013 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang
menyebabkan adanya pemilu serentak sudah seharusnya tidak boleh
menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) seluruh partai politik
peserta pemilu, tetapi justru harus lebih memberikan jaminan kepastian dan
keadilan hukum bagi semua partai politik peserta pemilu dalam pelaksanaan
keserentakannya antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-Wakil
Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah. Putusan Mahkamah harus juga
memberikan jaminan konsitusional tidak adanya hak partai politik peserta
pemilu yang hilang atau dihilangkan atas pilihan keserentakan tersebut.
Kehadiran Mahkamah untuk memastikan perlindungan berjalannya hak
konstitusional (constitutional right) itu menjadi hal penting dan fundamental;
setara. Jangan sampai ada partai politik berstatus pengusung dan ada partai
politik peserta Pemilu yang menjadi pendukung atau pelengkap penderita
hanya karena tiadanya kepemilikan kursi dan suara sah, sementara saat
disahkan ditetapkan sebagai peserta Pemilu secara bersamaan. Seharusnya
jika menetapkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara
serentak, maka konsekuensi alokasi kursi dan suara sah menjadi tidak
relevan lagi, namun jika Mahkamah berpendapat itu masih tetap relevan
maka seharusnya juga jangan sampai menghilangkan hak partai politik
peserta Pemilu yang tidak masuk dalam kategori memiliki alokasi kursi
maupun alokasi suara sah;
28. Bahwa jika Mahkamah seperti halnya dalam putusan putusan permohonan
atas pasal yang diuji ini mengganggap perhitungan alokasi kursi dan suara
sah nasional masih relevan, maka perlu ada tambahan tafsir atau pemaknaan
agar jangan sampai ada partai politik yang belum bisa menggunakan kedua
syarat tersebut kehilangan hak konstitusionalnya. Mahkamah perlu dan
pentingnya bisa menyatakan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ketentuan itu hanya berlaku
untuk partai politik yang memang telah memiiki kursi dan memiliki suara sah
saja, khusus untuk partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki kedua
persyaratan yang dimaksud, maka tidak diperlukan lagi syarat tersebut untuk
mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
demikian, maka tidak ada hak fundamental Partai Politik peserta Pemilu yang
telah ditetapkan oleh KPU dihilangkan hak konstitusionalnya, sebab semua
memiliki peluang yang sama;
nasional di jalur alternatif melalui partai politik peserta Pemilu yang baru
masih bisa berjalan dengan baik;
30. Bahwa perbedaaan persyaratan baik dalam proses pendaftaran Partai Politik
peserta pemilu maupun pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh
partai politik dimungkinkan berbeda, tergantung dengan kondisi partai politik
yang bersangkutan. Hal ini terlihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 55/PUU- XVIII/2020, di mana dalam petitum pemohon berbeda
dengan amar putusan Mahkamah. Sehingga Pemohon akan
mengklasterisasi partai politik, yaitu:
a. Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi
ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi
secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual;
2. Dilakukan oleh partai politik yang tidak mempunyai kursi 20 persen dari
jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara
nasional namun mempunyai suara sah;
31. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013
29
32. Ketentuan tentang tata cara pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden
yang diatur dalam ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 menyatakan
bahwa: “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang undang.” Secara tegas mendelegasikan pembuat
undang undang mengatur soal tata cara pemilihannya bukan soal
menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta Pemilu yang sah
dengan persyaratannya. Sehingga jika mengacu pada makna Pasal 6A ayat
30
(2) secara jelas persyaratannya hanya partai politik peserta Pemilu, bukan
yang lainnya. “Dari sisi tekstual, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat
(2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 memberikan ruang kepada
partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta
pemilihan umum.” (Ziffany Firdinal, abstraksi: Perubahan Makna Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas
Andalas, Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4 2013, hal. 651);
34. Bahwa berdasarkan spirit yang terkandung dalam UUD 1945 maka
sebenarnya untuk permasalahan Calon Presiden dan Wakil Presiden syarat
pengusulannya adalah bertitik tekan pada status partai politiknya, yaitu partai
politik peserta Pemilu. Berbeda dengan syarat Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang sifatnya sebagai syarat perseorangan atau kandidat calon
31
yang memang dibuat lebih terperinci dan juga diberikan kepada undang-
undang mengaturnya lebih detail. Perbedaan syarat pengusulan Calon
Presiden dan Wakil Presiden dengan syarat personal kandidat Calon
Presiden dan Wakil Presiden sangatlah berbeda. Oleh karenanya harus
dimaknai, pengusulan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
sejatinya cukup dengan syarat berstatus partai politik peserta Pemilu. Dan
menjadi bermasalah ketika ada partai politik peserta Pemilu yang sah tidak
bisa mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya
karena ada tambahan syarat didalam undnag-undang yang tidak termasuk
dalam diri partai politik peserta Pemilu. Undang-undang telah menghilangkan
sebuah hak yang sudah ditegaskan dalam amanat Konstitusi;
35. Bahwa ketika hak Pemohon dihalangi bahkan dihilangkan, maka tentu bagi
kader, ataupun Warga Negara Indonesia lainnya yang berkesempatan dan
berkeinginan untuk menjadi pemimpin nasional sebagai Presiden dan Wakil
Presiden menjadi tidak ada jaminan hukum lagi akibat sudah diamputasi oleh
syarat partai politik peserta Pemilu dalam UU Pemilu. Akibatnya jaminan
terlaksananya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak bisa lagi berjalan.
Ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Maka sudah seharusnya
hak Pemohon yang didalamnya juga tempat berkumpul Warga Negara
Indonesia yang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum harus bisa dijamin oleh Undang-undang yang
berlaku. Sementara bila Pasal 222 UU Pemilu dijalankan, maka sudah pasti
tidak ada lagi kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama baik
bagi pemohon maupun Warga Negara Indonesia yang hendak menggunakan
kendaraan politik Pemohon sebagai sarana perjuangan mengikuti pesta
demokrasi di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
C. PETITUM
Atau
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan a quo adalah
pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 222 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109, selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap UUD 1945, maka
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR
sebelumnya”,
terhadap Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa menurut Pemohon, dirinya secara resmi telah ditetapkan sebagai Partai
Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 sebagaimana Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik
36
yang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai ambang batas, dan bukan
mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun
Pemohon a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas
minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan
memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu yang
belum pernah mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, Pemohon
sebagai partai politik yang belum pernah sebagai peserta Pemilu belumlah teruji
akseptabilitas dan kualitas partai politik yang bersangkutan atas penilaian
masyarakat dan hal ini tidak terlepas atau berpengaruh terhadap kualitas calon
Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang diusulkannya.
[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017
yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR
sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas
minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya
dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, oleh karena Pemohon adalah partai politik yang belum
pernah mengikuti Pemilihan Umum pada Pemilu sebelumnya dan baru menjadi
partai politik peserta yang akan mengikuti Pemilihan Umum pada Tahun 2024,
sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah
diberlakukan terhadap partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah
memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah,
batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi
Pemohon. Dalam kaitan dengan hal ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo telah
mengajukan dissenting opinion sebagaimana pendiriannya pada putusan-putusan
sebelumnya.
39
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
--------------------------------------------------------------------------------
berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017. Dengan demikian, terlepas dari terbukti
atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan
pengujian, seharusnya Mahkamah memberikan kedudukan hukum (legal standing)
bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo.
***
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
45
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Saldi Isra Wahiduddin Adams
ttd. ttd.
Manahan M.P. Sitompul Enny Nurbaningsih
ttd. ttd.
Arief Hidayat Suhartoyo
ttd. ttd.
Daniel Yusmic P. Foekh M. Guntur Hamzah
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Jefri Porkonanta Tarigan