Putusan Mkri 8948 1680154140

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 45

1

S ALI N AN

PUTUSAN
Nomor 16/PUU-XXI/2023

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

Nama : Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang diwakili


oleh Gede Pasek Suardika selaku Ketua Umum dan
Sri Mulyono selaku Sekretaris Jenderal;

Alamat : Jalan Mangunsarkoro Nomor 16A, Menteng, Jakarta


Pusat.

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Januari 2023 memberi
kuasa kepada Rio Ramabaskara, S.H., M.H; Eko Prabowo, S.H; Dian Farizka, S.H.,
M.H; Andi Syamsul Bahri, S.H; Werdi Simanjuntak, S.H., M.H; Moin Tualeka, S.H;
Eka Rahmawati, S.H., M.H; Philipus Basten Inuhan, S.H; dan Soraya Indah Ayu
Rahmani Fadli, S.H., yang tergabung dalam Tim Advokat Kebangkitan Nusantara
yang beralamat di Jalan Mangunsarkoro Nomor 16A, Menteng, Jakarta Pusat, baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa.

Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.2] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
2

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal


20 Januari 2023 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal
20 Januari 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor
9/PUU/PAN.MK/AP3/01/2023 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 1 Februari 2023 dengan Nomor 16/PUU-
XXI/2023, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 1 Maret 2023 dan
diterima Mahkamah pada tanggal 28 Februari 2023, pada pokoknya menguraikan
hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, menyatakan:
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang
terhadap Undang-Undang Dasar...”
3. Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”
4. Bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah berapa
kali diubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, menyatakan:

“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”

5. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah beberapa kali diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU MK),
menyatakan:
3

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ....”

6. Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021
tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
(selanjutnya disebut PMK), menyatakan:

“Objek Permohonan PUU adalah undang-undang dan Perppu”.

7. Bahwa Pasal 2 ayat (4) PMK, menyatakan:

“Pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengujian


yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atu bagian
dari undang-undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan
dengan UUD 1945”.

8. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, karena


objek permohonan pengujian ini adalah Undang- Undang, dalam hal ini Pasal
222 Undang-Undang Pemilu terhadap UUD 1945, maka Yang Mulia Ketua
Mahkamah Konstitusi atau Majelis Panel berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan ini;

9. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang


memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal di dalam
undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir
Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-
undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of
constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal
yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula
dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi, maka Yang Mulia
Ketua Mahkamah Konstitusi atau Majelis Panel berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK, menyatakan:


“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
4

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan


Republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”

2. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, menyatakan:


“yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

3. Bahwa Pasal 4 ayat (1) PMK, menyatakan:


“Pemohon” adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang atau Perppu,
yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.

4. Bahwa ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK
sangat memungkinkan Pemohon mengajukan kembali pengujian materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji
oleh Mahkamah, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60 ayat (2) UU MK, menyatakan:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika


materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.”;

Pasal 78 ayat (2) PMK, menyatakan:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika


materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau
terdapat alasan permohonan yang berbeda”

5. Bahwa meskipun dengan adanya Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78


ayat (2) PMK, Pemohon akan mengkualifikasikan putusan para Pemohon
sebelumnya yang dijadikan batu uji tetapi bukan nebis in idem sebagai
orientasi faktual apa yang diajukan oleh Pemohon, yaitu:

NO NOMOR PERKARA BATU UJI


- Pasal 4 ayat (1)
1 44/PUU-XV/2017
- Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5)
5

- Pasal 28D ayat (1)


- Pasal 1 ayat (3)
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
- Pasal 27 ayat (1)
2 53/PUU-XV/2017
- Pasal 28 ayat (1)
- Pasal 28C ayat (2)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28I ayat (2)
- Pasal 1 ayat (2)
- Pasal 6A ayat(1) dan ayat (2)
- Pasal 22E ayat (1)
3 59/PUU-XV/2017
- Pasal 27 ayat (1)
- Pasal 28D ayat (1)
- Pasal 28F
- Pasal 1 ayat (3)
- Pasal 6A ayat (2)
4 70/PUU-XV/2017
- Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
- Pasal 28D ayat (1)
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)
5 71/PUU-XV/2017
- Pasal 27 ayat (1)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 22E ayat (1)
6 72/PUU-XV/2017
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)
- Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
7 49/PUU-XVI/2018 ayat (5)
- Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (6)
- Pasal 28D ayat (1)
- Pasal 1 ayat (2)
- Pasal 1 ayat (3)
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 22E ayat (2)
8 50/PUU-XVI/2018 - Pasal 27 ayat (1)
- Pasal 28 ayat (1)
- Pasal 28C ayat (2)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28I ayat (2)
Nilai-Nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari
9 54/PUU-XVI/2018
Pembukaan UUD 1945
- Pasal 1 ayat (3)
- Pasal 6 ayat (2)
- Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5)
10 58/PUU-XVI/2018 - Pasal 22E ayat (2)
- Pasal 27 ayat(1)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28J ayat (2)
- Pasal 1 ayat (1)
- Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)
11 1/PUU-XVI/2018
- Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2)
- Pasal 28D ayat(1)
6

- Pasal 27
- Pasal 28
12 92/PUU-XVI/2018
- Pasal 28C
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat(3)
- Pasal 6 ayat(2)
- Pasal 6A ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
13 74/PUUXVIII/2020 - Pasal 22E ayat (1)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat(3)
- Pasal 28J ayat (1) dan ayat(2)
- Pasal 6 ayat(2)
- Pasal 6A ayat(3), ayat(4), ayat(5)
- Pasal 22E ayat (1)
14 70/PUU-XIX/2021
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) dan Alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945
15 66/PUU-XIX/2021 - Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2)
- Pasal 6 ayat (2)
16 68/PUU-XIX/2021
- Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5)
- Pasal 6 ayat (2)
17 5/PUU-XX/2022
- Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 27 ayat (1)
18 6/PUU/XX/2022
- Pasal 28D ayat (1), ayat (3)
19 7/PUU-XX/2022 - Pasal 6A ayat (2)

20 20/PUU-XX/2022 - Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2)


- Pasal 1 ayat (2)
- Pasal 6A ayat (2)
21 73/PUU-XX/2022
- Pasal 27 ayat (1)
- Pasal 28D ayat (3)
22 13/PUU-XX/2022 - Pasal 6A ayat (2)
- Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 6A ayat (1), ayat (5),
23 52/PUU-XX/2022
- Pasal 22E ayat (1)
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
- Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2)
Table 5: menunjukkan nomor perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah
Konstitusi yang ditolak dan tidak dapat diterima terkait kedudukan hukum (legal
standing)

6. Bahwa Pemohon telah menjadi peserta Pemilu Tahun 2024, posisi Partai
Politik saat ini ada beberapa kondisi, antara lain partai politik berbadan hukum
di Kemenkumham yang mengikuti pemilu periode sebelumnya yaitu pemilu
2019, dan partai politik berbadan hukum baru yang mengikuti pemilu 2024
serta ada juga partai politik yang mengikuti Pemilu 2024 yang sebelumnya
juga mengikuti Pemilu 2019. Kondisi yang berbeda ini tentu berdampak pada
7

posisi legal standing yang berbeda ketika berbicara soal peserta pemilu.
Artinya tidak semua partai politik secara otomatis menjadi peserta partai
politik peserta pemilu 2024. Kedudukan hukum (legal standing) terkuat untuk
bisa melakukan uji materiil dengan batu uji Pasal 6A ayat (2) adalah ketika
partai politik itu telah disahkan menjadi partai politik peserta pemilu 2024. Dan
untuk menjadi partai politik peserta pemilu itu dengan masa berlaku satu
periode pelaksanaan pemilu. Periode berikutnya maka mengulang kembali
dari awal untuk bisa menjadi partai politik peserta pemilu;

7. Bahwa Pemohon adalah badan hukum yang sah berbentuk partai politik
sebagaimana Akta Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai Kebangkitan Nusantara tanggal 29 Nopember 2021, Nomor
10 di hadapan Notaris MZ. Hakim, S.H., M.Kn., wilayah hukum Kota
Tangerang (Bukti P-3) yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia sebagimana Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-3.AH.11.01
TAHUN 2022 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) menjadi
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), tanggal 7 Januari 2022 (Bukti P-4);

8. Bahwa menurut Pasal 30 ayat (2) angka 31 Perubahan Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Nusantara tanggal 29
Nomor 2021 Nomor 10, menyatakan “Pimnas mempunyai wewenang :
Mewakil Partai di dalam dan di luar Pengadilan” juncto Bab XIX Perlindungan
Hukum dan Penyelesaian Perselisihan Pasal 49 ayat 1 menyatakan “Partai
sebagai subyek hukum diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
Pimpinan Nasional di dalam dan di luar Pengadilan”, yang kemudian
doperkuat dengan hasil Notula Rapat Pleno Pimpinan Nasional (Pimnas)
Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) tertanggal 18 Desember 2022 (Bukti
P-4.1) di mana dalam salah satu kesimpulan rapatnya dalam poin 6 yaitu
“peserta rapat sepakat Ketua Umum dan Sekretrais Jenderal untuk
melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan
peluang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden untuk Partai Politik peserta
Pemilu yang baru” dan poin 7 yaitu “Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
serta peserta rapat sepakat menugaskan Wakil Ketua Umum Rio
8

Ramabaskara dan Ketua Umum Ksatria Muda Nusantara Eko Prabowo


beserta tim, untuk menerima kuasa dalam rangka melakukan Judicial Review
ke MK” sehingga secara legal standing internal badan hukum Partai
Kebangkitan Nusantara (PKN) secara yuridis juga telah memenuhi syarat
sebagai pihak Pemohon;

9. Bahwa Pemohon telah mengubah struktur kepengurusan sebagaimana Akta


Surat Keputusan Pimpinan Nasional Partai Kebangkitan Nusantara Tentang
Perubahan Struktur dan Personalia Pengurus Pimpinan Nasional Partai
Kebangkitan Nusantara Periode 2021-2026 tanggal 18 April 2022, Nomor 09
di hadapan Notaris MZ. Hakim, S.H., M.Kn., wilayah hukum Kota Tangerang
(Bukti P-5) yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI sebagaimana Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH- 09.AH.11.02 TAHUN 2022 tentang Pengesahan
Struktur dan Personalia Pengurus Pimpinan Nasional Partai Kebangkitan
Nusantara (PKN) Periode 2021-2026, tanggal 23 Juni 2022 (Bukti P-6);

10. Bahwa Pemohon secara resmi telah ditetapkan sebagai partai politik peserta
Pemilihan Umum tahun 2024 Komisi Pemilihan Umum RI sebagaimana
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik
Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanggal 14 Desember
2022 (Bukti P-7);

11. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005


tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007 tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
9

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan


aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causa verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;

12. Berdasarkan sikap Mahkamah di atas, maka dapat diperdalam sebagai


berikut:

12.1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang


diberikan oleh UUD 1945;

Pemohon telah mendapatkan hak dan atau kewenangan yang diberikan


oleh UUD 1945 karena sebagai partai politik, Pemohon telah berstatus
Partai Politik Peserta Pemilu sesuai yang ditegaskan dalam Pasal 6A
ayat (2) UUD 45. Khusus untuk Pemilu 2024 mendatang, telah
ditetapkan oleh KPU RI ada 18 partai politik peserta pemilu. Sehingga
berbicara soal Calon Presiden dan Wakil Presiden maka kedelapan
belas partai politik memiliki hak dan atau kewenangan yang sama untuk
bisa mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden;

12.2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon


dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

Hak dan/atau kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada


Pemohon sebagai partai politik peserta pemilu ternyata menjadi hilang
akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang membuat persyaratan
perhitungan kursi dan suara sah dengan menggunakan hasil pemilu
periode sebelumnya. Itu sebagai konsekwensi nyata adanya
pelaksanaan Pemilu serentak, namun ada kekosongan norma dari
ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tersebut karena tidak mampu mengatur
secara komprehensif untuk keseluruhan partai politik peserta Pemilu
yang sah. Ketentuan itu hanya mengatur partai politik yang ada di
parlemen nasional maupun yang tidak di parlemen namun pernah ikut
pemilu periode sebelumnya, namun tidak mengatur bagaimana
10

persyaratan untuk partai politik peserta pemilu yang tidak bisa


menggunakan kedua persyaratan tersebut;

12.3. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)


dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

Kerugian konstitusional sudah pasti akan terjadi karena Pemohon tidak


bisa menjadi partai politik peserta pemilu sebagai pengusung/pengusul,
sebagai partai politik peserta pemilu yang bisa mengusulkan Calon
Presiden dan Wakil Presiden, tetapi tidak bisa menggunakannya
haknya karena dihambat oleh adanya Pasal 222 UU Pemilu. Bahkan
partai politik lain bisa menggunakan syarat kursi ataupun suara sah,
sementara Pemohon tidak bisa menggunakan kedua syarat tersebut
karena Pemohon adalah Partai Politik baru yang belum pernah
mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya.

12.4. Adanya hubungan sebab-akibat (causa verband) antara kerugian


dimaksud dan berlakunya UU Pemilu yang dimohonkan pengujian;

Kerugian Pemohon dirasakan langsung karena dengan pemberlakuan


Pasal 222 UU Pemilu, maka Pemohon tidak bisa lagi mengajukan Calon
Presiden dan Wakil Presiden akibat tidak adanya syarat kursi maupun
syarat suara sah. Sebab sebagai partai politik peserta pemilu yang baru,
Pemohon tidak bisa melakukan rekruitmen warga negara Indonesia
yang layak menjadi pemimpin nasional maupun melakukan komunikasi
politik dengan partai politik peserta pemilu lainnya untuk bisa bersama-
sama menjadi pengusung/pengusul.

12.5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan


maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;

Jika permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pemohon bisa


menjalankan fungsinya sebagai partai politik sesuai dengan amanat UU
Partai Politik maupun amanat yang diatur dalam Konstitusi yaitu
melakukan rekruitmen sekaligus mengusulkan pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden. Akan menjadi kerugian yang sangat besar
11

bagi Pemohon maupun warga negara Indonesia yang berkeinginan


menjadi Capres atau Cawapres melalui Pemohon dan juga kerugian
yang besar bagi kualitas demokrasi ketika hak dan kewenangan
Pemohon yang dijamin UUD 1945 tidak bisa dijalankan hanya karena
ada persyaratan diatur dalam UU yang mana di Konstitusi tidak ada
perintah untuk membuat persyaratan kecuali soal tata cara yang
sifatnya pengaturan teknis bukan hal yang fundamental sampai
menghilangkan hak konstitusional.

13. Bahwa secara terang dan jelas telah diatur sesuai penjelasan Pasal 51 ayat
(1) UU MK, menyatakan: “yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah
hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Berdasarkan prinsip dasar kedudukan konstitusi di
dalam sebuh negara, maka kepastin perlindungan hak hukumnya harus
secara serius bisa dijamin. “Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam
sebuah negara (supreme law of the land) (Lihat Fatmawati, ”Peranan
Mahkamah Konstitusi dalam membangun Kesadaran Berkonstitusi,” Jurnal
Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I
nomor 1 2010, hal. 92)”

14. Bahwa bila melihat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, secara tegas menyebutkan
hal penting, yaitu hak yang bisa mengusulkan Calon Presiden dan Wakil
Presiden adalah partai politik peserta pemilu baik sendiri atau bersama-
sama. Dengan demikian, Pemohon telah memiliki hak konstitusional karena
telah diatur dalam UUD 1945, sehingga wajib dijaga dilindungi dan dipastikan
hak konstitusionalnya tersebut tidak dilanggar oleh ketentuan perundang-
undangan yang lebih rendah. Alasan konstitusionalnya sudah sangat jelas,
sebagai partai politik baru Pemohon tidak diberikan tempat secara yuridis
dalam Pasal 222 UU Pemilu, dan jika tidak diatur dan kemudian menjadi
larangan untuk bisa menjalankan amanat Pasal 6A ayat (2). Larangan
mengusulkan akibat persyaratan yang dimunculkan tidak mungkin dipenuhi
didalam UU telah menghilangkan kesempatan, hak dan kewenangan
Pemohon sebagai Partai Politik Peserta Pemilu dalam mengusulkan Calon
Presiden dan Wakil Presiden.
12

15. Bahwa dari pemaparan awal, walaupun pasal yang diuji sama, tetapi
Pemohonnya berbeda dan juga status hukum Pemohonnya juga berbeda
serta alasan permohonannya juga berbeda. Sebab Pemohon dalam
permohonan saat ini tidak mempermasalahkan aturan soal besaran
prosentase Presidential Threshold baik itu untuk perhitungan alokasi kursi
maupun alokasi suara sah nasional seperti yang pernah diajukan oleh para
Pemohon sebelumnya. Pemohon hanya mempermasalahkan hilangnya hak
konstitusional Pemohon sebagai partai politik peserta pemilu yang sah untuk
bisa mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam
Pemilu 2024 seperti yang diamanatkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Posisi
Pemohon sebagai badan hukum partai politik peserta pemilu yang
mengalami diskriminasi dan dihilangkannya hak konstitusional (constitutional
right) akibat perlakuan pemberlakukan aturan yang tidak adil dari isi
ketentuan pasal yang diuji;
16. Bahwa seperti yang dikutip dalam Putusan Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022,
Nomor 74/PUU-XVIII/2020, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya
terkait dengan pihak yang memiliki kerugian hak konstitusional dengan
berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017;
17. Bahwa dalam Putusan Perkara Nomor 66/PUU-XIX/2021, Mahkamah
kembali menegaskan pendiriannya terkait dengan pihak yang memiliki
kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017;
18. Bahwa Pemohon merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung
(direct interest) terhadap proses mekanisme dan tata cara pengusulan
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pemohon yang sudah memenuhi
syarat seperti apa yang dimaknai dalam ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD
1945 sebagai partai politik peserta pemilu yang hak konstitusionalnya
dikebiri, dihilangkan dengan tidak adanya pengaturan norma atas partai
politik yang baru. Ada diskriminasi antara partai politik lama yang mendaftar
kembali dengan partai baru yang mendaftar walau proses yang dilewati untuk
menjadi peserta pemilu relatif sama;
19. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemohon telah memenuhi syarat
sebagai Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan uji materiil Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945 ke
Mahkamah Konstitusi.
13

III. OBYEK PERMOHONAN dan ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

A. OBYEK PERMOHONAN

1. Bahwa yang menjadi Obyek Permohonan Pemohon yaitu Pasal 222 UU


Pemilu, menyatakan:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20
persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah
secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”

2. Bahwa yang menjadi Batu Uji Konstitusionalitas Pemohon yaitu Pasal 6A ayat
(2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), UUD 1945,
menyatakan:

- Pasal 6A ayat(2)
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum”
- Pasal 22E ayat (1)
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali”

- Pasal 27 ayat (1)


“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”

- Pasal 28D ayat (1)


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

B. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa Putusan Perkara Nomor 14 /PUU-XI/2013, telah mengubah sitem
pemilu di Indonesia dari sitem terpisah menjadi serentak. Di mana pemilu
tahun 2019 dan seterusnya memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil
Presiden serta diikutsertakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak
sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
diberlakukan;
14

2. Bahwa dalam penyusunan suatu norma hukum tidak serta merta


berdasarkan aspek politik, tetapi harus melihat aspek norma hukum dalam
penyusunan peraturan perundang- undangan secara hierarkies tidak boleh
bertentangan dengan norma yang lebih tinggi, dengan memperhatikan asas
keadilan, kesamaan di muka hukum dan pemerintahan, ketertiban, dan
kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan;
3. Bahwa permohonan a quo bukan merupakan permohonan nebis in idem,
walaupun sudah ada permohonan-permohonan yang diajukan sebelumnya
pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu dikaitkan dengan UUD 1945 “table
di atas”, namun belum ada legal standing, seperti halnya legal standing
Pemohon yang mengajukan permohonan selama ini, yaitu Partai Politik
Peserta Pemilu Tahun 2024 yang belum pernah ikut di Pemilu sebelumnya;
4. Bahwa sebagai Partai Politik Peserta Pemilu, maka Partai Kebangkitan
Nusantara (PKN) yang telah disahkan dan ditetapkan sebagai partai politik
peserta pemilu 2024 berdasarkan surat keputusan KPU Nomor 518 Tahun
2022 tertanggal 14 Desember 2022 merupakan partai politik yang harus
diperlakukan sama hak dan kewajibannya dengan partai politik peserta
pemilu lainnya termasuk dalam Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah. Proses itu merupakan pemenuhan
amanat Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu yang mengatur mengenai
persyaratan partai politik yang dapat ditetapkan untuk dapat mengikuti
pemilihan umum, yaitu mengenai syarat verifikasi, sehingga bagi partai politik
yang telah terpenuhi persyaratannya selanjutnya ditetapkan sebagai peserta
Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan itu berlaku untuk semua
partai politik tanpa terkecuali;
5. Bahwa menjadi fakta jika aturan tentang kepemiluan serentak yang
dijalankan saat ini telah melahirkan diskriminasi, kastanisasi antara partai
politik peserta pemilu. Dimana ada partai politik yang bisa menggunakan kursi
sah di parlemen nasional maupun suara sah hasil pemilu sebelumnya untuk
bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden, tetapi ada yang harus
tersingkirkan dari penerapan hukum tersebut dimana partai politik peserta
pemilu tidak ada atau belum ada kursi dan suara sah yang didapat sehingga
tidak dapat mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden, hak yang
diberikan Konstitusi dihilangkan oleh ketentuan perundang- undangan;
15

6. Bahwa diskriminasi itu menjadi nyata karena perolehan kursi maupun


perolehan suara yang dijadikan dasar adalah pemilu 2019 dan bukan hasil
Pemilu 2024. Padahal menjadi fakta ada perbedaan kepesertaan maupun
juga jumlah pemilih di pemilu 2019 dengan pemilu 2024. Sehingga menjadi
aneh dan tidak masuk akal ada partai politik yang seharusnya diperlakukan
sama untuk bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden malah tidak
bisa, hanya karena perbedaan perlakuan atau diskriminatif;

7. Bahwa penyelenggara pemilu dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
pun mengungkapkan ada kondisi yang berbeda di setiap pelaksanaan pemilu
dalam hal partisipasi pemilih. Sehingga setiap periodenisasi pelaksanaan
pemilu berlangsung lima tahunan sekali selalu pemilih akan berbeda,
sehingga sangat tidak valid dipakai acuan sebagai persyaratan untuk periode
pemilu selanjutnya. Seperti kutipan dibawah ini: “KPU menyadari bahwa
dalam pemilu, partisipasi pemilih selalu mengalami dinamika. Dinamika
partisipasi pemilih dalam pemilu bisa trendnya naik dan bisa juga turun. Trend
penurunan partisiasi pemiih (voters turnout) sebenarnya pernah terjadi sejak
pemilu 1999 hingga 2009. Pada tahun 1999, partisipasi pemilu legislatif saat
itu mencapai 92,96 persen. Jumlah itu turun menjadi 84,07 persen untuk Pileg
2004, sementara Pilpres 2004 angka partisipasi pemilih pada putaran
pertama 79,76 persen dan putaran kedua sebesar 74,44 persen. Trend
penurunan partisipasi pemilih kembali terjadi pada pemilu 2009. Pada Pileg
2009, jumlah partisipasi pemilih hanya mencapai 70,99 persen, sementara
untuk Pilpres hanya sebesar 72,09 persen. Trend itu untungnya tidak
berlanjut terus. Sejak pemilu 2014 terjadi rebound, trend peningkatan kembali
yang terus berlanjut di Pemilu 2019 bahkan hingga melampaui target nasional
sebesar 77,5 persen. Pada Pileg 2014, angka partisipasi pemilihnya
mencapai 75,11 persen. Namun untuk Pilpres tahun 2014 masih mengalami
penurunan ke angka 69,58 persen. Namun pada Pemilu 2019, angka
partisipasi pemilih baik pileg maupun pilpres mengalami peningkatan drastis.
Untuk partisipasi pemilih mencapai 81,69 persen, sementara pilpres
mencapai 81,97 persen. (KPU RI, 2020, Mendaulatkan Suara Pemilih,
Strategi Sosialisasi dan Potret Partisipasi Pemilu 2019, cetakan I, Jakarta,
hal. XIX);
16

8. Bahwa sesuai amanat UU Pemilu, bila mencermati berdasarkan kepesertaan


ikut pemilu di setiap periode adalah dengan mendaftar dan tidak secara
otomatis partai politik yang pemilu sebelumnya ikut, langsung bisa ikut serta
kembali. Jadi menganut stelsel daftar aktif. Jika tidak mendaftar, maka partai
politik tersebut tidak bisa ikut Pemilu selanjutnya, walaupun saat itu ada atau
memiliki wakil di parlemen tingkat nasional (DPR RI). Tidak hanya itu,
walaupun mendaftar tetapi tidak lolos proses verifikasi maka partai politik itu
juga tidak akan lolos menjadi partai politik peserta pemilu di periode tersebut.
Oleh karenanya setiap pemilu satu dengan pemilu yang lainnya harus dibaca
berbeda kepesertaannya, walau mayoritas partai politik peserta pemilunya
sama.

Sebagai contoh berdasarkan Pemilu 2019 maka peserta Pemilu yang


ditetapkan KPU berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 58/PL.01.1-
Kpt/03/KPU/II/2018 adalah sebagai berikut: Partai Amanat Nasional, Partai
Berkarya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, Partai
Gerakan Indonesia Raya, Partai Gerakan Perubahan Indonesia, Partai
Golongan Karya, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Persatuan Indonesia, Partai
Persatuan Pembangunan, dan Partai Solidaritas Indonesia. Ada 14 partai
politik peserta pemilu nasional yang ditetapkan KPU. Partai Lokal Aceh dalam
Pemilu 2019 adalah Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Daerah Aceh dan Partai
Nangroe Aceh.

Kemudian untuk Pemilu 2024 berdasarkan keputusan KPU No. 518 tahun
2022 tertanggal 14 Desember 2022 telah ditetapkan peserta pemilu adalah
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
PERINDO, Partai NasDem, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan
Nusantara, Partai Garda Perubahan Indonesia, Partai Demokrat, Partai
Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Gerakan
Indonesia Raya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Solidaritas Indonesia,
Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan
Partai Buruh. Ada 17 Partai politik peserta pemilu berdasarkan keputusan
tersebut. Kemudian menyusul Partai Ummat disahkan sebagai peserta
pemilu setelah melalui proses di Bawaslu dan verifikasi ulang di dua provinsi.
17

Sementara partai politik lokal Aceh adalah Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera
Aceh (Pas Aceh), Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai
Darul Aceh, Partai Nanggroe Aceh, Partai SIRA (Soliditas Independen Rakyat
Aceh). Dengan demikian ada perbedaan kepesertaan antara Pemilu 2019
dengan Pemilu 2024.

Perbedaan ini tentu merupakan hal prinsip, kalau setiap pemilu berlaku
ketentuan yang seharusnya sama dan adil bagi semua peserta pemilu tanpa
terkecuali. Perbedaan itu juga tampak di mana Partai Bulan Bintang dan
Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI) di Pemilu 2019 sebelumnya
diputuskan tidak lolos namun lewat mekanisme perjuangan yudisial akhirnya
dinyatakan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu 2019. Namun di Pemilu
2024, Partai Bulan Bintang sudah langsung lolos sebagai peserta Pemilu,
sementara Partai Kesatuan dan Persatuan (PKP) sebagai perubahan dari
PKPI dinyatakan tidak lolos di tahapan verifikasi administrasi dan juga Partai
Berkarya. Sementara Partai Ummat dinyatakan lolos setelah melewati proses
ajudikasi di Bawaslu, lalu dilakukan verifikasi faktual ulang di dua provinsi
yaitu NTT dan Sulawesi Utara.

Fakta ini menunjukkan bahwa yang dimaknai sebagai partai politik peserta
pemilu di setiap tahapan dan periode pemilu tidaklah selalu sama, dan itu
harus melalui proses tahapan yang telah ditentukan secara bersamaan.
Sehingga menjadi rancu ketika pemilu serentak harus memaksakan secara
utuh persyaratan pemilu sebelumnya sebagai persyaratan khususnya dalam
mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden;

9. Bahwa berdasarkan kondisi faktual tersebut, oleh karenanya, tidak


sepenuhnya hasil Pemilu 2019 bisa dipakai untuk pengajuan Calon Presiden
dan Wakil Presiden, karena ada dua partai politik peserta pemilu 2019, yaitu
Partai Berkarya dengan suara sah 2.929.495 (2.09 persen) suara sah dan
PKPI (Berubah nama menjadi PKP) dengan suara sah 312.775 (0,22) suara
sah dan kemudian di Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menjadi peserta
pemilu. Sehingga prosentase suara sah yang akan dipakai di Pemilu 2024
tidak bisa dihitung utuh lagi menjadi 100 persen dari suara sah yang ada
berdasarkan hasil Pemilu 2019, tetapi sudah berkurang dari 100 persen
sehingga perhitungan prosentase berbasiskan suara sah sudah tidak
18

sempurna lagi dan cacat. Belum lagi basis jumlah pemilih yang berbeda
didalam setiap pemilu, termasuk Pemilu 2019 dengan Pemilu 2024. Ini juga
membuktikan, walau memiliki suara sah di pemilu sebelumnya, dua parpol
yang tidak lolos di pemilu berikutnya tidak bisa mengusung Calon Presiden
dan Wakil Presiden karena tidak terdaftar sebagai partai politik peserta
pemilu lagi. Padahal dalam demokrasi, satu suara rakyat itu harus dihargai
dan dihormati dan sudah seharusnya menjadi landasan etik didalam
membuat ketentuan yang menyangkut hak berdemokrasi rakyat.

Pemohon sepakat dengan perbedaan pendapat (dissenting opinion)


Yang MULIA Hakim Konstitusi Saldi Isra pada putusan Perkara Nomor
73/PUU/XX/2022, halaman 81, menyatakan:

“... Bahkan, yang jauh lebih tragis bagaimana pula jika partai politik peserta
pemilu DPR 2019 yang mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden dalam pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2024
karena tidak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu dalam Pasal 173 ayat (2)
UU Pemilu?”;

10. Bahwa asas kepesertaan setiap Pemilu dilakukan dengan didahului


pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum. Siapapun partai politik yang tidak
mendaftar maka tidak bisa mengikuti proses tahapan di Pemilu walau
memiliki kursi dan suara. Bahkan saat pendaftaran, tidak ada satu pun
persyaratan kursi parlemen ataupun suara sah nasional yang digunakan
untuk mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Persyaratan pendaftaran sama
untuk semua parpol ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga dengan
demikian, maka semua partai politik melewati mekanisme yang sama, yaitu
harus melalui pendaftaran, verifikasi, hingga kemudian penetapan untuk
menjadi partai politik peserta Pemilu hingga penentuan nomor urut. Sehingga
tidaklah selalu dimaknai sama setiap pemilu terkait sama pesertanya, walau
banyak partai politik yang sama kembali mendaftar. Namun statusnya
diperlakukan sama mulai dari awal. Bukti bahwa pendaftaran Partai Berkarya
dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) telah mendaftar dan
kemudian gugur saat verifikasi merupakan bukti nyata, tidak semua peserta
maupun hasil Pemilu yang lama bisa berlanjut ke Pemilu berikutnya. Padahal
perolehan suara Partai Berkarya ada Pemilu 2019 mencapai 2.929.495 (2,09
persen) suara sah dan PKPI memperoleh 312.775 (0,22 persen) suara sah
19

tingkat nasional. Dan jika keduanya dijumlahkan ada 2,31 persen suara sah
tidak terhitung sebagai syarat pengajuan dan pendaftaran Calon Presiden
dan Wakil Presiden jika menggunakan syarat prosentase suara sah nasional.
Ketika menggunakan suara sah maka terhitung ada 139.972.260 suara sah
yang diperoleh oleh 16 partai politik peserta pemilu 2019, namun dengan
tidak masuknya 2 (dua) partai politik peserta pemilu tersebut maka suara sah
menjadi berkurang yaitu 136.729.990 suara sah jika dihitung untuk Pemilu
2024. Tentu saja prosentase suara sah yang bisa dipakai dalam Pemiu 2024
menjadi berubah lagi. Ini semakin jauh dari presisi suara sah yang
sebenarnya;

11. Bahwa fakta ini menandakan ada permasalahan validitas konstitusional yang
serius ketika persyaratan kursi dan suara sah dijadikan landasan utama untuk
mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa memperhitungkan
bahwa mekanisme setiap partai politik peserta pemilu untuk bisa ikut kembali
di Pemilu berikutnya wajib mengikuti tata cara dari awal lagi dan itu berpotensi
tidak lolos. Ada yang terlupakan dalam menjaga vailiditas konstitusional atas
validitas angka kursi atau suara sah ketika membuat persyaratan
mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada ketentuan yang
detail dan komprehensif yang mengatur soal penggunaan hak suara rakyat
periode sebelumnya untuk persyaratan kepemiluan di periode berikutnya;

12. Bahwa setiap Pemilu memiliki jumlah pemilih dan menjadi fakta jumlahnya
yang selalu ada perbedaan. Misalnya pada Pemilu 2014 jumlah pemilih sah
124.885.737 suara sah yang diikuti oleh 12 partai politik peserta pemilu.
Kemudian pada saat Pemilu 2019 Data Pemilih 192.770.611 Pemilih dan
yang menggunakan hak Pilih 157.475.230 Pemilih namun menghasilkan
suara sah 139.972.260 suara sah dengan tingkat partisipasi mencapai 81,69
persen pemilih dengan 16 partai politik peserta pemilu. Untuk saat ini, data
Pemilih untuk Pemilu 2024 DP4 dari Dukcapil yang diserahkan ke KPU
mencapai 206.689.516 jiwa yang itu artinya meningkat hampir 13 juta pemilih
dengan partai politik peserta pemilu sebanyak 18 partai politik.

Jika dalam pemilu yang tidak serentak sebelumnya, maka seluruh partai
politik berkompetisi dengan sumber data pemilih yang sama di setiap Pemilu,
baik untuk Legislatif maupun untuk Calon Presiden dan Wakil Presiden.
20

Sebab Pemilihan legislatif terlebih dahulu, kemudian hasil dari pemilihan


legislatif itu dijadikan dasar perhitungan baik kursi maupun suara sah untuk
bisa mencalonkan capres dan cawapres. Sehingga basis data Pemilihnya
dalam berkompetisi di pemilu sama.

Dengan putusan pemilu serentak dimana Pemilu Legislatif dan Pilpres


bersamaan, tentu menjadi aneh dan janggal ada perhitungan berbasiskan
data pemilih yang berbeda untuk pelaksanaan satu periode Pemilu. Untuk
persyaratan mendaftar pencalonan Calon Presiden dan Wakil Presiden
menggunakan basis Pemilih yang lama, namun untuk pemilihannya
menggunakan basis pemilih yang baru. Ini menjadi anomali dan tidak
konsisten. Padahal perhitungan pemilih merupakan hal yang esensial dalam
Pemilu. Sebenarnya konsekwensi keserentakan seharusnya dikembalikan
kepada esensi dan substansi dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kewenangan kepada partai politik peserta pemilu untuk
mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa
persyaratan tambahan apapun;

13. Bahwa Pasal 222 UU Pemilu mengatur soal persyaratan presidential


threshold baik dengan alokasi kursi maupun suara sah, dan Mahkamah
menilai itu sebagai open legal policy, maka sudah seharusnya aturan tersebut
juga tidak mencabut dan menghilangkan hak konstitusional Partai Politik
Peserta Pemilu lainya yang tidak bisa memilih diantara dua pilihan
persyaratan tersebut. Open legal policy tidak boleh menyebabkan partai
politik peserta pemilu tersingkir secara tidak adil hanya karena Sebab di
Konstitusi sudah jelas diatur, selain Pemilu harus Luber dan Jurdil, di mana
keadilan menjadi hal yang esensial, juga tidak boleh ada yang kehilangan hak
konstitusionalnya hanya karena tidak diatur atau belum diatur di undang-
undang tetapi haknya diakui dan dilindungi di Konstitusi. Mahkamah harus
mencarikan tafsir berdasarkan konstitusi agar semua partai politik bisa
diperlakukan adil;

14. Bahwa Pemohon adalah pihak yang memiliki kepentingan secara langsung
atas penerapan Pasal 222 UU Pemilu yang telah menghalangi Pemohon
melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya sebagai partai politik peserta
pemilu dan ini sesuai juga dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-
21

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang


Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan: Partai politik
melakukan rekruitmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:

a. Anggota Partai politik


b. Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
c. Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
d. Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden;

15. Bahwa proses rekruitmen Pemohon sebagai partai politik untuk bisa
melakukan rekruitmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi
Calon Presiden dan Wakil Presiden dihambat bahkan dihilangkan. Betapa
perjuangan pemohon yang berat untuk bisa sah menjadi partai politik peserta
pemilu ternyata juga masih diganjal dan dirampas haknya untuk bisa
mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya karena tidak adanya
persyaratan kursi dan suara seperti yang ada di dalam undang-undang.
Padahal 2 (dua) syarat ini tidak pernah diatur didalam UUD 1945. Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 hanya mensyaratkan partai politik yang berstatus partai
politik peserta pemilu. Faktanya, ketika syarat itu sudah didapatkan,
Pemohon tidak bisa melaksanakan amanat Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik;

16. Bahwa fungsi partai politik salah satunya memfasilitasi munculnya serang
pemimpin. Namun setelah semua diupayakan oleh pemohon hingga akhirnya
memenuhi kuakifikasi sesuai amanat Konstitusi malah terganjal. “Sementara
itu, Ranney dan Kendal (1956) mendefinisikan partai politik sebagai grup atau
kelompok masyarakat yang memiliki tingkat otonomi tinggi untuk
mencalonkan serta menjalankan kontrol atas birokrasi dan kebijakan publik.
Definisi partai politik yang hampir serupa juga diberikan Crowe dan Mayo
(1967). Mereka melihat bahwa partai politik adalah institusi yang
mengaktifkan dan memobilisasi orang, kepentingan, menyediakan instrument
kompromi dari berbagai pendapat, dan memfasilitasi munculnya seorang
pemimpin. (Prof. Firmanzah, Ph.D; Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan
Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011, Hal. 69);
22

17. Bahwa Pengujian Pasal 222 UU Pemilu sepanjang frasa: “..yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25 persen dari suara sah sah secara nasional pada Pemilu
anggota DPR sebelumnya” sangat bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2),
Pasal 22E ayat (1), Pasal 27ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak melindungi dan
memberikan hak yang sama untuk semua partai politik peserta pemilu,
termasuk partai politik peserta pemilu dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2024;

18. Bahwa sesuai Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa diurai unsur-unsur ketentuannya


bila dikaitkan juga dengan pelaksanana Pemilu 2024 adalah sebagai berikut:

a. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden: Sesuai dengan Pasal


6A ayat (1) UUD 1945 sudah dicantumkan harus berpasangan yang nanti
dipilih rakyat. Selain itu persyaratan yang bisa diusulkan menjadi Calon
Presiden dan Wakil Presiden juga sudah diatur detail dari Pasal 6 UUD
1945 dan Pasal 169 jo. Pasal 170 jo. Pasal 171 UU Pemilu.

b. Diusulkan: bersifat aktif untuk mengusulkan dalam bentuk sudah


berpasangan ke Komisi Pemilihan Umum pada saat tahapan pendaftaran
Capres dan Cawapres.

c. Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu: partai


politik atau gabungan partai politik peserta pemilu berarti partai politik
yang telah lolos melewati fase verifikasi baik administrasi dan faktual
hingga ditetapkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum dalam
rapat pleno terbuka menjadi partai politik peserta pemilu. Dan untuk
Pemilu 2024 telah ditetapkan 18 Partai Politik Peserta Pemilu dari 75
partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI.

d. Sebelum pelaksanaan pemilihan umum: Pemilihan Umum 2024 telah


ditetapkan akan berlangsung 14 Februari 2024, sehingga proses
23

pengusulan harus dilakukan sebelum waktu pemilihan umum Calon


Presiden dan Wakil Presiden tersebut dilangsungkan, atau ketika tahap
pendaftaran calon dijalankan dalam pemilu tersebut sesuai dengan
PKPU;

19. Bahwa melihat isi ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 tersebut, dan
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan
norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik
peserta pemilu yang sah. Di dalam Pemilu Tahun 2024 ini, yang hilang hak
konstitusionalnya adalah partai baru, termasuk Pemohon. Sementara 14
partai politik peserta pemilu lainnya bisa mengusulkan Calon Presiden dan
Wakil Presiden dengan menggunakan perhitungan prosentase berbasiskan
alokasi kursi maupun berbasiskan prosentase suara sah dari Pemilu
sebelumnya. Parpol peserta pemilu yang baru tidak bisa menggunakan
kedua metode pengusulan seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu tersebut. Di sinilah secara terang dan jelas, ketentuan Pasal 222 UU
Pemilu telah menghilangkan sekaligus merampas hak konstitusional partai
politik peserta pemilu baru;

20. Bahwa menjadi pertanyaan mendasar secara konstitusional, apa salah dan
dosa dari partai politik peserta pemilu seperti Pemohon yang telah tegas
diakui dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 kemudian di Pemilu tahun 2024
tidak ada satupun celah atau pintu masuk untuk bisa mengusulkan pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden? Kenapa di Pemilu sebelumnya ketika
belum ada keputusan Pemilu serentak semua partai politik peserta pemilu
bisa memiliki hak yang sama, dan kenapa saat ini malah hak itu ada yang
hilang? tentu pemohon berharap Mahkamah sebagai the guardian of
constitution bisa menjamin hak konstitusional (constitutional right) Pemohon.
Haruskah hanya karena Mahkamah berpendapat Pemilu harus serentak
kemudian hak partai politik peserta pemilu menjadi kehilangan haknya untuk
mencalonkan pemimpin nasionalnya. Padahal sebelum diputuskan serentak
oleh Mahkamah, seluruh parpol peserta pemilu dalam periode pemilu selalu
dapat mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presidennya karena pemilu
legislatif didahulukan, baru kemudian berdasarkan itu dilakukan pengusulan
Calon Presiden dan Wakil Presiden;
24

21. Bahwa jika sebuah kondisi atau syarat itu belum mengatur sebuah kondisi
objektif persyaratan maka demi keadilan sudah seharusnya dikembalikan
kepada makna Konstitusi, yaitu semua harus diperlakukan setara, adil dan
tidak diskriminatif. Partai Politik Peserta Pemilu 2024 melewati proses yang
sama dari awal mendaftar hingga ditetapkan sebagai peserta Pemilu maka
harus semuanya juga bisa ada pintu untuk ikut juga mengusulkan Calon
Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Sebab sesuai dengan
ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan: Pemilihan Umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap
lima tahun sekali. Sulit untuk menyatakan sebuah kompetisi demokrasi
berjalan adil ketika ada perlakuan yang tidak sama atas sesama partai politik
peserta pemilu didalam satu periode pelaksanaan pemilu;

22. Bahwa akibat pengaturan UU Pemilu menyangkut pengajuan Calon Presiden


dan Wakil Presiden hanya bisa berdasarkan perolehan jumlah kursi di
parlemen nasional (DPR RI) yaitu sedikitnya 20 persen atau suara sah hasil
pemilu sebelumnya sebesar 25 persen, maka telah terjadi kehilangan hak
konstitusional bagi partai politik peserta pemilu yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilu tetapi tidak memiliki kedua persyaratan tersebut. Hilangnya
hak tersebut akibat putusan yang menafsirkan Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan serentak. Sebab bila tidak serentak,
maka semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama dengan
berdasarkan aturan yang bersifat open legal policy di UU Pemilu. Namun
dengan keserentakan itu, ada hak konstitusional partai politik peserta pemilu
yang hilang. Jika dalam Pemilu 2024, maka Pemohon sebagai partai politik
baru kehilangan hak konstitusionalnya, karena sebagai partai politik peserta
Pemilu tidak bisa ada pintu atau pilihan diantara kedua pilihan yang telah
disiapkan undang-undang tersebut.

Bahwa menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., terdapat 12 prinsip negara
hukum (rechstaat) sebagai penyangga berdiri tegaknya suatu negara hukum
(the rule of law) dalam arti yang sebenarnya, yaitu:

- Supremasi hukum (supremacy of law);


- Persamaan dalam hukum (equality of the law);
- Asas legalitas (due pocess of law);
- Pembatasan kekuasaan;
25

- Organ-organ eksekutif independent;


- Peradilan bebas dan tidak memihak;
- Peradilan tata usaha negara;
- Perlindungan hak asasi manusia;
- Peradilan tata negara (constitutional court);
- Bersifat demokratis (democratisch rechtstaat);
- Sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat);
- Transparansi dan kontrol sosial.

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia
setiap individu. Pengakuan negara terhadap individu ini tersirat di dalam
persamaan kedudukan di dalam hukum bagi semua orang baik secara pribadi
maupun kelembagaan. Dalam suatu negara hukum semua orang harus
diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Oleh
karenanya, muatan materi dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan
cita-cita negara hukum yaitu sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

23. Bahwa Pemilu yang berasaskan Luber dan Jurdil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka sangat terlihat dengan perbedaan
perlakuan atas hak dan kewajiban itu menjadikan tidak adil. Sebab ada partai
politik peserta pemilu yang bisa menjadi pengusung Calon Presiden dan
Wakil Presiden, baik itu berdasarkan perhitungan alokasi kursi maupun
berdasarkan alokasi perhitungan suara. Sementara ada partai politik peserta
pemilu yang sama sekali tidak bisa menggunakan kedua perhitungan
tersebut padahal kesemua partai politik itu berkompetisi di waktu yang sama.
Jadi terlahir ada Partai politik peserta Pemilu yang bisa punya hak
mengusung (baik berdasarkan kursi atau perolehan suara sah nasional),
tetapi ada partai yag tidak bisa mengusung. Ini tentu tidak adil dan telah
merampas dan menghilangkan hak konstitusional Pemohon sebagai partai
politik peserta pemilu yang sah;

24. Bahwa sudah seharusnya keputusan keserentakan juga harus memikirkan


formulasi aturan untuk keadilan dalam pelaksanaannya. Sudah seharusnya
ada perkecualian atau hak kekhususan (lex spesialis) atau metode lain yang
dipakai untuk sebuah partai politik peserta pemilu agar tidak kehilangan
haknya. Putusan Mahkamah yang diyakini dengan Pemilu serentak akan
lebih baik dan berkualitas haruslah menjamin tidak ada hak konstitusional
26

(constitutional right) yang hilang dari partai politik peserta pemilu. Mahkamah
harus mencarikan solusi yuridis agar hak semua partai politik peserta pemilu
tetap bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden, baik melalui
perhitungan alokasi kursi, melalui alokasi perhitungan suara sah, maupun
cara di luar itu, khususnya untuk partai politik peserta pemilu yang belum bisa
memiliki kedua syarat tersebut;

25. Bahwa jika menggunakan cara pemilihan sebelumnya yang tidak serentak,
maka akan terjadi kesetaraan dalam berdemokrasi, dimana pemilu legislatif
terlebih dahulu dan hasil pemilu dari aspirasi rakyat itu kemudian dijadikan
dasar bagi pengajuan Calon Presiden dan Wakil Presiden, baik berdasarkan
perolehan kursi parlemen maupun berdasarkan perolehan suara sah.
Dengan demikian seluruh partai politik peserta pemilu akan mendapatkan
kesempatan dan hak konstitusional yang sama untuk mengusung Calon
Presiden dan Wakil Presiden baik berdasarkan alokasi perolehan kursi
ataupun alokasi suara sah. Keduanya bisa dilakukan tanpa kehilangan hak
konstitusional. Tetapi ketika dilakukan serentak, tetapi aturan perolehan kursi
dan suara tetap digunakan maka akan selalu ada hak partai politik peserta
pemilu yang baru akan hilang;

26. Bahwa akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI2013 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang
menyebabkan adanya pemilu serentak sudah seharusnya tidak boleh
menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) seluruh partai politik
peserta pemilu, tetapi justru harus lebih memberikan jaminan kepastian dan
keadilan hukum bagi semua partai politik peserta pemilu dalam pelaksanaan
keserentakannya antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-Wakil
Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah. Putusan Mahkamah harus juga
memberikan jaminan konsitusional tidak adanya hak partai politik peserta
pemilu yang hilang atau dihilangkan atas pilihan keserentakan tersebut.
Kehadiran Mahkamah untuk memastikan perlindungan berjalannya hak
konstitusional (constitutional right) itu menjadi hal penting dan fundamental;

27. Bahwa konsekwensi keserentakan yang dibangun Mahkamah seharusnya


juga disiapkan saluran untuk tetap bisa menjaga terlaksananya hak
konstitusional (constitutional right) semua partai politik peserta Pemilu secara
27

setara. Jangan sampai ada partai politik berstatus pengusung dan ada partai
politik peserta Pemilu yang menjadi pendukung atau pelengkap penderita
hanya karena tiadanya kepemilikan kursi dan suara sah, sementara saat
disahkan ditetapkan sebagai peserta Pemilu secara bersamaan. Seharusnya
jika menetapkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara
serentak, maka konsekuensi alokasi kursi dan suara sah menjadi tidak
relevan lagi, namun jika Mahkamah berpendapat itu masih tetap relevan
maka seharusnya juga jangan sampai menghilangkan hak partai politik
peserta Pemilu yang tidak masuk dalam kategori memiliki alokasi kursi
maupun alokasi suara sah;

28. Bahwa jika Mahkamah seperti halnya dalam putusan putusan permohonan
atas pasal yang diuji ini mengganggap perhitungan alokasi kursi dan suara
sah nasional masih relevan, maka perlu ada tambahan tafsir atau pemaknaan
agar jangan sampai ada partai politik yang belum bisa menggunakan kedua
syarat tersebut kehilangan hak konstitusionalnya. Mahkamah perlu dan
pentingnya bisa menyatakan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ketentuan itu hanya berlaku
untuk partai politik yang memang telah memiiki kursi dan memiliki suara sah
saja, khusus untuk partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki kedua
persyaratan yang dimaksud, maka tidak diperlukan lagi syarat tersebut untuk
mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
demikian, maka tidak ada hak fundamental Partai Politik peserta Pemilu yang
telah ditetapkan oleh KPU dihilangkan hak konstitusionalnya, sebab semua
memiliki peluang yang sama;

29. Berdasarkan pengalaman kepesertaan partai politik Peserta Pemilu setiap


periode Pemilu, tidaklah banyak ada atau muncul tambahan parpol baru
akibat persyaratan yang ketat maupun sistem IT yang presisi sehingga
sangat sulit untuk bisa lolos. Mayoritas peserta masih merupakan partai lama
yang ikut Pemilu sebelumnya sehingga akan tunduk dengan ketentuan
penggunaan prosentase alokasi kursi maupun suara sah. Sehingga seleksi
kepemimpinan nasional tetap juga masih bisa terukur, terseleksi dari jumlah,
namun juga ruang untuk kemungkinan munculnya calon kepemimpinan
28

nasional di jalur alternatif melalui partai politik peserta Pemilu yang baru
masih bisa berjalan dengan baik;

30. Bahwa perbedaaan persyaratan baik dalam proses pendaftaran Partai Politik
peserta pemilu maupun pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh
partai politik dimungkinkan berbeda, tergantung dengan kondisi partai politik
yang bersangkutan. Hal ini terlihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 55/PUU- XVIII/2020, di mana dalam petitum pemohon berbeda
dengan amar putusan Mahkamah. Sehingga Pemohon akan
mengklasterisasi partai politik, yaitu:

a. Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi
ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi
secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual;

b. Partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary


Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat
DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Namun partai politik yang tidak memiliki
keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan
dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal
tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik
baru”.

Sehingga menjadi hal yang wajar dan beralasan hukum untuk


menerapkan sistem klaster pada pengusulan atau Pengusungan Calon
Presiden dan Wakil Presiden, yaitu:

1. Dilakukan oleh partai politik yang mempunyai kursi paling sedikit 20


persen dari jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen dari
suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR RI sebelumnya;

2. Dilakukan oleh partai politik yang tidak mempunyai kursi 20 persen dari
jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara
nasional namun mempunyai suara sah;

3. Dilakukan oleh partai politik yang tidak memiliki keduanya


sebagaimana angka 1 dan 2;

31. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013
29

tertanggal 6 Maret 2014, halaman 84-85, Mahkamah telah menegaskan


bahwa “Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945
meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang
dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara,
untuk menghormatinya”. Mahkamah juga menyatakan bahwa “Kewajiban
negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara
hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal demikian sesuai
pula dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of
law”. Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa “Terkait dengan
penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional.
Dengan demikian apa yang menjadi amanat terkait Hak Asasi Manusia, yaitu
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya harus juga
dijadikan jaminan utama ketika Pasal 222 UU Pemilu itu hendak dijalankan.
Sebab aksesbilitas warga negara yang seharusnya bisa mendapatkan pintu
mengikuti rekruitmen kepemimpinan nasional khususnya Presiden dan Wakil
Presiden melalui Partai Politik peserta Pemilu harus diperlakukan sama.
Pemohon maupun warga negara Indonesia diperlakukan tidak sama di depan
hukum dan pemerintahan jika ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tetap dimaknai
seperti selama ini. Sebab proses rekruitment yang diatur sebagai
konsekwensi sebagai negara demokrasi haruslah melalui pintu partai politik
untuk jabatan setingkat Presiden dan Wakil Presiden, sementara justru
aturan UU Pemilu tentang itu telah menghalangi hak konstitusional sebagian
partai politik peserta Pemilu yang sah;

32. Ketentuan tentang tata cara pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden
yang diatur dalam ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 menyatakan
bahwa: “tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang undang.” Secara tegas mendelegasikan pembuat
undang undang mengatur soal tata cara pemilihannya bukan soal
menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta Pemilu yang sah
dengan persyaratannya. Sehingga jika mengacu pada makna Pasal 6A ayat
30

(2) secara jelas persyaratannya hanya partai politik peserta Pemilu, bukan
yang lainnya. “Dari sisi tekstual, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat
(2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 memberikan ruang kepada
partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta
pemilihan umum.” (Ziffany Firdinal, abstraksi: Perubahan Makna Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas
Andalas, Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4 2013, hal. 651);

33. Bahwa adanya fakta penambahan syarat di dalam tingkatan undang-undang


tentu menjadi kajian yang harus dicermati secara khusus, sehingga jangan
sampai tujuan penambahan syarat yang berspirit untuk mengatur tata cara
justru menghilangkan hak konstitusional sebagian peserta Pemilu, yaitu
partai politik peserta pemilu yang baru. “Ketentuan dalam undang-undang
Pemilu Presiden tersebut, secara langsung menambah syarat pada prosedur
pencalonan bagi Presiden dan Wakil Presiden, karena pada dasarnya, jika
ditinjau dari sisi ketentuan UUD 1945, pencalonan cukup dilakukan oleh
partai politik peserta pemilihan umum. Terlebih jika dilihat pada ketentuan
yang juga mendasari hadirnya undang-undang tersebut, yakni ketentuan
pada Pasal 6A ayat (5) yang menyatakan bahwa: “tatacara pelaksanaan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang
undang.” Ketentuan pengaturan tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden tersebut oleh UUD 1945 sebenarnya menutup
kemungkinan proses legislasi menambah syarat pencalonan, khususnya
pembatasan dengan syarat kemenangan dan perolehan kursi tertentu di DPR
bagi partai politik maupun gabungannya dalam mencalonkan pasangan
Presiden dan Wakil Presiden. (Ziffany Firdinal, “Abstraksi: Perubahan Makna
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945”, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH
Universitas Andalas, Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4 2013, hal. 652);

34. Bahwa berdasarkan spirit yang terkandung dalam UUD 1945 maka
sebenarnya untuk permasalahan Calon Presiden dan Wakil Presiden syarat
pengusulannya adalah bertitik tekan pada status partai politiknya, yaitu partai
politik peserta Pemilu. Berbeda dengan syarat Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang sifatnya sebagai syarat perseorangan atau kandidat calon
31

yang memang dibuat lebih terperinci dan juga diberikan kepada undang-
undang mengaturnya lebih detail. Perbedaan syarat pengusulan Calon
Presiden dan Wakil Presiden dengan syarat personal kandidat Calon
Presiden dan Wakil Presiden sangatlah berbeda. Oleh karenanya harus
dimaknai, pengusulan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
sejatinya cukup dengan syarat berstatus partai politik peserta Pemilu. Dan
menjadi bermasalah ketika ada partai politik peserta Pemilu yang sah tidak
bisa mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya
karena ada tambahan syarat didalam undnag-undang yang tidak termasuk
dalam diri partai politik peserta Pemilu. Undang-undang telah menghilangkan
sebuah hak yang sudah ditegaskan dalam amanat Konstitusi;

35. Bahwa ketika hak Pemohon dihalangi bahkan dihilangkan, maka tentu bagi
kader, ataupun Warga Negara Indonesia lainnya yang berkesempatan dan
berkeinginan untuk menjadi pemimpin nasional sebagai Presiden dan Wakil
Presiden menjadi tidak ada jaminan hukum lagi akibat sudah diamputasi oleh
syarat partai politik peserta Pemilu dalam UU Pemilu. Akibatnya jaminan
terlaksananya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak bisa lagi berjalan.
Ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Maka sudah seharusnya
hak Pemohon yang didalamnya juga tempat berkumpul Warga Negara
Indonesia yang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum harus bisa dijamin oleh Undang-undang yang
berlaku. Sementara bila Pasal 222 UU Pemilu dijalankan, maka sudah pasti
tidak ada lagi kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama baik
bagi pemohon maupun Warga Negara Indonesia yang hendak menggunakan
kendaraan politik Pemohon sebagai sarana perjuangan mengikuti pesta
demokrasi di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

C. PETITUM

Berdasarkan uraian dan argumentasi hukum yang disampaikan di atas, maka


Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;


32

2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7


Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “Persyaratan pengusulan pasangan calon tidak
diberlakukan bagi partai politik peserta pemilu yang belum pernah
mengikuti pemilu periode sebelumnya”

3. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik


Indonesia.

Atau

Apabila Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-


adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan


alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-9 sebagai
berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang


Pemilihan Umum;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 10, tanggal 29 November 2021,
di hadapan Notaris MZ. Hakim, S.H., M.Kn., perihal Perubahan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai
Kebangkitan Nusantara;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.HH3.AH.11.01 TAHUN 2022,
tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Partai Karya Perjuangan (Pakar
Pangan) menjadi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN),
bertanggal 7 Januari 2022;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 09, tanggal 18 April 2022, di
hadapan Notaris MZ. Hakim, S.H., M.Kn. perihal Surat
Keputusan Pimpinan Nasional Partai Kebangkitan Nusantara
tentang Perubahan Struktur dan Personalia Pengurus
Pimpinan Nasional Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)
Periode 2021-2026;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.HH-09.AH.11.02 TAHUN 2022
33

tentang Pengesahan Perubahan Struktur dan Personalia


Pengurus Pimpinan Nasional Partai Kebangkitan Nusantara
(PKN) Periode 2021-2026, bertanggal 23 Juni 2022;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518
Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal
Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
Tahun 2024, bertanggal 14 Desember 2022;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Notula Rapat Pleno Pimpinan Nasional Partai
Kebangkitan Nusantara, bertanggal 18 Desember 2022.

[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara
Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
34

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan a quo adalah
pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 222 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109, selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap UUD 1945, maka
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.

Kedudukan Hukum Pemohon

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
pada tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20
September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian
35

hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51


ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU


MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam


permohonan a quo adalah norma yang terdapat dalam Pasal 222 UU 7/2017
yang rumusannya sebagai berikut:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR
sebelumnya”,
terhadap Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;

2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya


sebagai Partai Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 yang diwakili oleh
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal;

3. Bahwa menurut Pemohon, dirinya secara resmi telah ditetapkan sebagai Partai
Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 sebagaimana Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik
36

Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota, tanggal 14 Desember 2022;

4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan Pasal 30 ayat (2) angka 31 Perubahan


Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan
Nusantara tanggal 29 Nomor 2021 Nomor 10, menyatakan “Pimnas
mempunyai wewenang: Mewakili Partai di dalam dan di luar Pengadilan” juncto
Bab XIX Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Perselisihan Pasal 49 ayat (1)
menyatakan “Partai sebagai subyek hukum diwakili oleh Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal Pimpinan Nasional di dalam dan di luar Pengadilan”, yang
kemudian diperkuat dengan hasil Notula Rapat Pleno Pimpinan Nasional
(Pimnas) Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) tertanggal 18 Desember 2022,
di mana dalam salah satu kesimpulan rapatnya dalam poin 6 menyatakan,
“peserta rapat sepakat Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal untuk melakukan
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan peluang
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden untuk Partai Politik peserta Pemilu
yang baru” dan poin 7 menyatakan, “Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal
serta peserta rapat sepakat menugaskan Wakil Ketua Umum Rio
Ramabaskara dan Ketua Umum Ksatria Muda Nusantara Eko Prabowo
beserta tim, untuk menerima kuasa dalam rangka melakukan Judicial Review
ke MK”;

5. Bahwa menurut Pemohon, dirinya merupakan pihak yang memiliki kepentingan


langsung (direct interest) terhadap proses mekanisme dan tata cara
pengusulan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pemohon yang sudah
memenuhi syarat ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebagai partai politik
peserta Pemilu, hak konstitusionalnya dihilangkan dengan tidak adanya
pengaturan norma atas partai politik yang baru. Menurut Pemohon, ada
diskriminasi antara partai politik lama yang mendaftar kembali dengan partai
baru yang mendaftar, walau proses yang dilewati untuk menjadi peserta pemilu
relatif sama.
37

[3.6] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum Pemohon a quo,


Mahkamah perlu mengaitkan dengan petitum Pemohon dalam permohonannya
yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 222 UU 7/2017
dimaknai “Persyaratan pengusulan pasangan calon tidak diberlakukan bagi partai
politik peserta pemilu yang belum pernah mengikuti pemilu periode sebelumnya”.
Terhadap adanya petitum Pemohon demikian dan dikaitkan dengan kedudukan
hukum Pemohon, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon dalam perkara


pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam pertimbangan
hukum Sub-paragraf [3.6.2] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-
XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7
Juli 2022, mempertimbangkan bahwa, “... pihak yang memiliki kedudukan hukum
untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo
adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii)
perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau
dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan
partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan”;

[3.6.2] Bahwa selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022,


Mahkamah telah pula memutus perihal pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU
7/2017 yang diajukan oleh Pemohon Partai Politik yaitu, antara lain, dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022. Mahkamah dalam putusan
sebelumnya tersebut memberikan kedudukan hukum kepada partai politik sebagai
pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena pemohon
tersebut adalah partai politik yang mempermasalahkan perihal jumlah minimum
(ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai
politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Demikian pula terhadap Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada
tanggal 11 Januari 2018, yaitu Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Mahkamah juga
memberikan kedudukan hukum meskipun partai tersebut belum pernah mengikuti
Pemilu pada saat mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, namun
38

yang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai ambang batas, dan bukan
mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun
Pemohon a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas
minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan
memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu yang
belum pernah mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, Pemohon
sebagai partai politik yang belum pernah sebagai peserta Pemilu belumlah teruji
akseptabilitas dan kualitas partai politik yang bersangkutan atas penilaian
masyarakat dan hal ini tidak terlepas atau berpengaruh terhadap kualitas calon
Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang diusulkannya.

[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017
yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR
sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas
minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya
dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan demikian, oleh karena Pemohon adalah partai politik yang belum
pernah mengikuti Pemilihan Umum pada Pemilu sebelumnya dan baru menjadi
partai politik peserta yang akan mengikuti Pemilihan Umum pada Tahun 2024,
sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah
diberlakukan terhadap partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah
memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah,
batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi
Pemohon. Dalam kaitan dengan hal ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo telah
mengajukan dissenting opinion sebagaimana pendiriannya pada putusan-putusan
sebelumnya.
39

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah,


Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Meskipun demikian, tanpa bermaksud mempertimbangkan pokok permohonan,
menurut Mahkamah ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menentukan persyaratan
pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mendasarkan
pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota
DPR sebelumnya, tidaklah berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon
sebagai partai politik baru untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, karena
Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan
partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan
pokok permohonan.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan


di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan


permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang-
40

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

--------------------------------------------------------------------------------

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi Saldi


Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum
Pemohon dalam mengajukan permohonan, sebagai berikut:

[6.1] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon, yaitu Partai


Kebangkitan Nusantara (PKN) menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 yang
menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota
DPR sebelumnya”. Berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing),
Pemohon menerangkan sebagai Partai Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024
yang diwakili oleh Gede Pasek Suardika sebagai Ketua Umum dan Sri Mulyono
sebagai Sekretaris Jenderal beranggapan mengalami kerugian hak konstitusional
dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017.

[6.2] Menimbang bahwa ihwal kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah dalam


pertimbangan hukum putusan a quo pada intinya mempertimbangkan: bahwa oleh
karena Pemohon merupakan partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilihan
Umum sebelumnya dan baru menjadi partai politik peserta yang akan mengikuti
Pemilihan Umum pada tahun 2024, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal
222 UU 7/2017 adalah diberlakukan terhadap partai politik yang pernah mengikuti
pemilihan umum sebelumnya dan telah memperoleh dukungan suara tertentu, maka
41

menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan


permohonan a quo, sehingga permohonan Pemohon adalah tidak dapat diterima
niet ontvankelijke verklaar (NO).

[6.3] Menimbang bahwa berkenaan dengan tidak diberikannya kedudukan


hukum (legal standing) bagi Pemohon dalam pengujian terhadap norma Pasal 222
UU 7/2017, saya Hakim Konstitusi Saldi Isra, memiliki pandangan atau pendapat
berbeda (dissenting opinion) dengan alasan sebagai berikut:

[6.3.1] Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya,


yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu dua hal pokok, yaitu:
pertama, kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK; kedua ada tidaknya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

[6.3.2] Bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


006/PUU-III/2005, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
pada tanggal 31 Mei 2005; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal
20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
42

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap


dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.

[6.3.3] Bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan


syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
diuraikan pada sub-paragraf [6.3.1] dan sub-paragraf [6.3.2] di atas, Pemohon
merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap proses dan tata
cara pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini, secara
konstitusional, norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Terkait dengan substansi norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut, saya
beberapa kali mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) berkenaan
dengan konstitusionalitas ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil
presiden yang pada pokoknya sebagai berikut:

Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut, seluruh


partai politik yang telah dinyatakan atau ditetapkan sebagai partai politik
peserta pemilihan umum dalam satu periode pemilihan umum memiliki
hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan calon Presiden (dan
Wakil Presiden). Dalam posisi sebagai norma konstitusi yang secara
tegas menentukan subjek yang berhak mengusulkan calon Presiden (dan
Wakil Presiden), ketentuan lebih lanjut (yaitu undang-undang) yang
mengatur mengenai pencalonan tidak boleh mengurangi hak dari subjek-
subjek yang ditentukan oleh Konstitusi memiliki hak mengajukan calon
Presiden (dan Wakil Presiden) tersebut.

Merujuk pendapat berbeda tersebut, berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan


Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/
Kota Tahun 2024, bertanggal 14 Desember 2022 (vide Bukti P-7), PKN telah
ditetapkan sebagai salah satu partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun
43

2024. Dengan demikian, secara konstitusional, tidak terdapat cukup alasan


untuk menyatakan Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam ketentuan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Artinya, sebagai partai
politik peserta Pemilihan Umum 2024, tidak ada keraguan bagi Pemohon untuk
mengajukan penilaian terhadap inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU
7/2017.

[6.3.4] Bahwa selain pertimbangan di atas, secara faktual, berkenaan dengan


kedudukan hukum Pemohon dalam menilai konstitusionalitas norma Pasal 222
UU 7/2017, misalnya, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
52/PUU-XX/2022 pada Paragraf [3.6.2], antara lain mempertimbangkan, “Oleh
karena itu, menjadi jelas pendirian Mahkamah terkait dengan pihak yang
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma
Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki
hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon
presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung secara
bersama-sama mengajukan permohonan”. Dengan demikian, setiap partai
politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum memiliki hak
kontitusional mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017.

[6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian yang dikemukakan Pemohon


dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, saya berpendapat, Pemohon telah atau
mampu menerangkan kualifikasinya sebagai partai politik peserta pemilihan umum
tahun 2024, yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap
dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian,
di mana anggapan kerugian yang dimaksud timbul karena adanya kausalitas (causal
verband) antara norma yang dimohonkan pengujian dan kerugian yang dianggap
dialami oleh Pemohon dengan hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh
UUD 1945. Sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum 2024, jelas dan tidak ada
keraguan bahwa Pemohon mengalami kerugian atau potensi kerugian hak
konstitusional dalam mengajukan calon presiden dan wakil presiden dengan
44

berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017. Dengan demikian, terlepas dari terbukti
atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan
pengujian, seharusnya Mahkamah memberikan kedudukan hukum (legal standing)
bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo.

[6.5] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon memiliki kedudukan hukum


untuk mengajukan permohonan a quo, berkenaan dengan substansi permohonan,
saya tetap memiliki posisi hukum yang sama dengan pendapat berbeda (dissenting
opinion) sebelumnya dalam beberapa putusan ihwal inkonstitusionalitas norma
Pasal 222 UU 7/2017 dan hingga saat ini belum memiliki alasan untuk berubah atau
bergeser pendirian, yaitu: adanya angka atau persentase ambang batas pengajuan
calon presiden dan wakil presiden adalah bertentangan dengan UUD 1945, in casu
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

***

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan


Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra,
Wahiduddin Adams, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat,
Suhartoyo, dan M. Guntur Hamzah, masing-masing sebagai Anggota, pada hari
Kamis, tanggal sembilan, bulan Maret, tahun dua ribu dua puluh tiga, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Kamis, tanggal tiga puluh, bulan Maret, tahun dua ribu dua puluh tiga, selesai
diucapkan pukul 11.56 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman
selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Manahan M.P.
Sitompul, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Suhartoyo, Daniel Yusmic P. Foekh,
dan M. Guntur Hamzah, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Jefri
Porkonanta Tarigan sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon,
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Anwar Usman
45

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.
Saldi Isra Wahiduddin Adams

ttd. ttd.
Manahan M.P. Sitompul Enny Nurbaningsih

ttd. ttd.
Arief Hidayat Suhartoyo

ttd. ttd.
Daniel Yusmic P. Foekh M. Guntur Hamzah

PANITERA PENGGANTI,

ttd.
Jefri Porkonanta Tarigan

Anda mungkin juga menyukai