Pembentukan Negara Kerajaan Pada Muawiyah Bin Abi Sufyan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

PEMBENTUKAN NEGARA KERAJAAN PADA

MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

OLEH:

IRFAN

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan

lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau kerajaan. Bentuk pemerintahan

dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun

temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter,

kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan

hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin

merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur

rasyidin.

Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh

Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara

menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih

berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik

yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah juga

disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali)

membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh

putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau

akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada

akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, namun dengan

perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada

ummat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal
dengan nama jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi

satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan

menjadi kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan

babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan

sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan,

kebudayaan dan lain sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah setelah mengkaji latar belakang di atas dapat

diambil beberapa permasalahan sebagai kajian pada makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah ?

2. Bagaimana sistem pemerintahan Dinasti Umayyah?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Dinasti Umayyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam mulai

bergejolak dan muncul menjadi tiga kekuatan politik yang dominan kala itu,

yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij. Keadaan ini tentunya tidak

menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah, sementara

posisi Muawiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh

oleh salah seorang anggota Khawarij.

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukannya sebagai khalifah

dijabat oleh anaknya, Hasan. Namun karena penduduk Kufah tidak

mendukungnya, seperti sikap mereka terhadap Ayahnya, maka Hasan

semakin lemah, sementara Muawiyah semakin kuat. Maka Hasan

mengadakan perjanjian damai dengan Muawiyah dengan menanggalkan

jabatan khilafah untuk Muawiyah pada tahun 41 H (661 M), agar tidak terjadi

pertumpahan darah yang sia-sia. Perjanjian tersebut dapat mempersatukan

umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, yakni di bawah kepemimpinan

Muawiyah bin Abi Sufyan. Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai

tahun al-Jama'ah (tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat Islam telah

menyepakati secara aklamasi mempunyai hanya satu orang khalifah. Di sisi

lain penyerahan tersebut menjadikan Muawiyah sebagai penguasa absolut


dalam Islam. Dengan demikian, maka berakhirlah apa yang disebut dengan

masa Khulafa' al-Rasyidin yang bersifat demokratis, dan dimulailah

kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam yang bersifat

keturunan.

Sebelum itu, penduduk Syam pun telah mengangkat Muawiyah menjadi

khalifah mereka semenjak peristiwa tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia

didukung oleh tentara- tentara militan yang keperluan finansial mereka

ditanggung Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung

Muawiyah untuk hal itu.

Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayah bin

Abd al-Syams bin Abd Manaf bin Qushai. Ibunya Hindun binti Utbah bin

Rabiah bin Abd al-Syams. Muawiyah dilahirkan di Makkah lima tahun

sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW dan masuk Islam bersama ayahnya

Abu Sofyan) saudaranya (Yazid) dan ibunya (Hindun) pada waktu penaklukan

kota Makkah.1

Muawiyah adalah salah seorang yang ahli dan paling menguasai dunia

politik, cerdik, ahli siasat, penguasa yang kuat dan bagus planingnya dalam

urusan pemerintahan. Maka tidak mengherankan jika dia dapat menjadi gubernur

selama dua puluh dua tahun (pada masa khalifah Umar dan Usman, 13-35

H.)dan menjadi khalifah selama dua puluh tahun (40-60 H).

Sementara Hasan, nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib

bin Abd al-Muththtalib. Dia dilahirkan di Madinah tahun ketiga hijrah, cucu
1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, J. 2, c. 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 2-
3
Nabi dari putrinya Fatimah. Namanya diberikan oleh kakeknya Rasulullah dan

Nabi sangat mencintai cucunya itu. “Hasan dan Husein memberi rasa harum

bagiku di dunia” kata Nabi Muhammad SAW.2

Hasan ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Afrika Utara dan Tabaristan

pada masa khalifah Utsman bin Affan. Ikut melindungi Khalifah dari serangan

pemberontak dan ikut dalam perang Jamal dan Shiffin bersama ayahnya. Hasan

meninggal dunia di Madinah pada tahun 49 H. karena diracun oleh salah seorang

isterinya. Munurut orang Syi’ah, sudah berulang kali suruhan Muawiyah hendak

meracun Hasan agar Muawiyah terbebas dari membayar kompensasi yang

dipikulnya terus menerus setiap tahun.

Dengan demikian, dunia Islam sepeninggal khalifah Ali terdapat dua

khalifah, yaitu di Kufah dan Syam, suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila

dikaitkan dengan perlunya menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Maka

tawaran Hasan untuk berdamai merupakan suatu hal yang tepat untuk mengatasi

masalah itu. Itulah sebabnya waktu Hasan mengajak Muawiyah berdamai

langsung diterima Muawiyah karena dia sangat berambisi menjadi khalifah.

Walaupun Hasan mengajukan beberapa syarat, bagi Muawiyah hal itu

tidak ada persoalan, asalkan jabatan khalifah diserahkan Hasan bin Ali kepadanya.

Adapun syarat- syaratnya, yaitu:

1. Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan

syarat, Muawiyah berpegang teguh pada Kitabullah dan

Sunnah Rasul serta sirah (prilaku) khalifah-khalifah yang saleh.

2
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, J. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 90-9
2. Agar Muawiyah tidak mengangkat seseorang menjadi putera

mahkota sepeninggalnya dan urusan kekhalifahan diserahkan kepada

orang banyak untuk memilihnya.

3. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak,

menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.

4. Agar pajak tanah negeri Ahwaz di Persia diperuntukkan kepada

Hasan dan diberikan setiap tahun.

5. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 5

juta dirham dari Baitul Mal.

6. Agar Muawiyah datang secara langsung ke Kufah untuk menerima

penyerahan jabatan khalifah dari Hasan dan mendapat baiat dari

penduduk Kufah.

Pada waktu pendukung Hasan mengecam penyerahan kekuasaan kepada

Muawiyah, hal itu dijawab Hasan bahwa dia tidak rela menyaksikan umat Islam

saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan dan dia berkata: “inti

kekuasaan bangsa Arab saat ini ada di tanganku, jika aku ingin damai mereka siap

berdamai, jika aku ingin perang mereka siap berperang”.

Selain itu, Hasan sadar bahwa ayahnya Ali dahulu pun banyak mengalami

kesulitan menghadapi Muawiyah dan tidak dapat diatasi ayahnya, apalagi dia.

Oleh sebab itu dia ingin mencari jalan selamat bagi dirinya dan keluarganya

karena kekuatan yang dimilikinya tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan

Muawiyah.

Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang diajukan Hasan.


Untuk itu dia datang ke Kufah menerima bai’at jabatan khalifah dari

Hasan dan penduduk Kufah. Tahun itu (661 M/41 H) disebut “Tahun

Persatuan”, karena umat Islam telah bersatu di bawah pimpinan seorang

khalifah.

Setelah itu Hasan pindah ke Madinah dan hidup tenang di sana sampai

meninggal tahun 675 M/ 49 H., lima belas tahun setelah penyerahan jabatan

kekhalifahan itu. Untuk mempertahankan jabatan khalifah tetap di tangan Bani

Umaiyah, Muawiyah menciptakan sistem Monarchi dalam pemerintahannya.

Walaupun untuk itu dia telah melanggar janjinya dengan Hasan bin Ali.

Daulah yang didirikan oleh Muawiyah ini, disebut dengan daulah

Umaiyah, diambil dari nama Umaiyah bin Abd. Syams, Datuk Muawiyah,

daulah ini berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (40-132 H/661-750 M)

diperintahkan oleh 14 orang khalifah. Masa perintahan khalifah-khalifah itu dapat

dibagi atas tiga periode, yaitu masa pertumbuhan, masa puncak dan masa

kemunduran dan faktor-faktornya.

B. Para Khalifah Bani Umayyah

1. Muawiyah Bin Sufyan (661-680 M/40-60 H)

Muawiyah sebagai khalifah pertama melakukan pemindahan ibu kota

negara dari Kufah (pusat kekuasaan Ali) ke Damaskus karena dia sudah 22 tahun

menjadi gubernur di daerah ini. Selain itu dia mempunyai pendukung yang dapat

diandalkan di sana, sedangkan di Kufah hanya terdapat pendukung Ali yang

beraliran Syi’ah.

Selain itu Muawiyah untuk pertama kali dalam pemerintahan Islam


mempergunakan tenaga Body-Guard (pengalaman pribadi) untuk alasan

keamanan, juga Muawiyah membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam

mesjid yang disebut dengan Maqsurah.

Muawiyah juga memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan

armada angkatan laut sehingga ketika itu dia telah memiliki 1.700 buah kapal. Dia

pernah menyerahkan angkatan laut itu di bawah pimpinan puteranya Yazid untuk

merebut Konstantinopel (668 – 669 M). Akan tetapi usaha ini gagal karena

pertahanan kota tersebut sangat kokoh. Akibatnya banyak yang menderita

korban jiwa dan kapal, sekaligus karena pihak musuh tetap dapat menggunakan

“Bom Yunani”.

Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid sebagai putera

mahkota yang mendapat dukungan dari para gubernurnya, tetapi dia mendapat

tantangan dari para tokoh sahabat di Madinah, antara lain Husein bin Ali, Abdullah

bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena hal itu

bertentangan dengan janjinya pada Hasan dahulu.

Al-Mughiroh bin Syu’bah adalah orang pertama yang mengusulkan kepada

Muawiyah agar mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya.

Karena dia akan dipecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah,

maka dia pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah dan mengatakan: bahwa

sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah berpulang ke rahmatullah

demikian juga para pembesar Quraisy yang berpengaruh, sekarang tingga para

puteranya, sedangkan engkau adalah yang paling utama di antara mereka, saya

tidak mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau menjadi


khalifah sesudahnya.

Muawiyah yang diberitahu anaknya Yazid tentang pemikiran al-

Mughiroh itu memanggil al-Mughiroh untuk menanyakan kebenaran

pemikirannya itu. Maka al-Mughiroh menjawab: Ya Amirul Mukminin

sesungguhnya saya telah menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman

maka alangkah baiknya bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid,

sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah sesudahmu nanti.

Akhirnya, al-Mughiroh tidak jadi dipecat Muawiyah, malahan disuruh

untuk mempersiapkan bai’at bagi penobatan Yazid menjadi putera mahkota. Misi

al-Mughiroh berhasil dan dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung

Yazid menjadi putera mahkota sepeninggal Muawiyah nanti.

Pemikiran al-Mughiroh itu diterima Muawiyah, dengan menunjuk

puteranya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya, karena dia berkeinginan

agar umat Islam tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran karena

memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi umat Islam berperang

sesamanya dalam Perang Jamal, Perang Shiffin dan mereka belum dapat

melupakan malapetaka tersebut disebabkan adanya keinginan orang-orang

tertentu menduduki jabatan khalifah.3

Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari para gubernurnya,

kecuali Ziyad, gubernur Basrah yang menganjurkan kepada Muawiyah agar

tidak tergesa-gesa melaksanakan cita-citanya itu. Tetapi setelah Ziyad meninggal,

Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin Ziyad yang

3
Al-Thabari, Tarikh Al-Thabari, J. 4 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1963), h. 224
menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan Muawiyah itu mendapat

sokongan penuh dari kalangan Bani Umaiyah, tetapi ditentang oleh keturunan

Bani Hasyim.

Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi Bakar, dengan tegas

dia berkata “…kamu hendak menjadikan khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’,

bila seorang Heraclius meninggal dunia maka digantikan oleh Heraclius yang

lain…” Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpin- pemimpin

lainnya di Madinah seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin

Abbas, Abdullah bin Zubeir, dan lain-lainnya.

Tantangan dari Bani Hasyim dan sahabat-sahabat yang tinggal di Madinah

dihadapi Muawiyah dengan tangan besi.

Dia datang ke sana dan mengumpulkan rakyat dan sahabat- sahabat

tersebut di masjid. Muawiyah mngancam, siapa yang berani memotong

pembicaraannya, algojo telah siap memenggal lehernya. Dalam pidatonya

disebutkan bahwa tokoh-tokoh kalian telah setuju mengangkat Yazid sebagai

khalifah sepeninggalku, apakah kalian setuju? Disambut rakyat dengan suara

bulat, setuju.

Dengan demikian Muawiyah yang sudah berkuasa selama dua puluh

tahun telah mendapat persetujuan dari seluruh wilayah untuk mengangkat

putranya Yazid sebagai khalifah sepeninggalnya. Hal itu berarti telah merubah

wajah pemerintahan Islam dari system demokrasi menjadi monarchi dengan

mendudukkan Bani Umaiyah di semua jabatan- jabatan penting Negara.

Khalifah Usman pun telah melakukan hal tersebut sebelumnya, bedanya,


pada masa khalifah Usman penuh dengan protes dari masyarakat, sementara di

masa khalifah Muawiyah tidak seorang pun yang berani memprotes walaupun

rakyat tidak sepenuhnya setuju dengan tindakan Muawiyah tersebut.

Dalam keadaan seperti ini, andaikan dari kalangan Bani Hasyim ada

yang diangkat menjadi khalifah , Husein misalnya, maka dapat diperhitungkan

bila dia memecat para pejabat yang diangkat Muawiyah, seperti khalifah Ali

memecat gubernur yang diangkat Usman sebelumnya, maka dikhawatirkan akan

terjadi perang yang lebih dahsyat dari perang Jamal, dan perang Shiffin.

Selain itu, dari segi politik jika Bani Hasyim memprotes Muawiyah

mengangkat anaknya Yazid sebagai khalifah sepeninggalnya, mengapa mereka

tidak memprotes orang yang mengangkat Hasan sebagai khalifah

menggantikan Ali? Bukankah itu masih dalam sistem turun- temurun juga. Hal

ini berarti Bani Hasyim tidak setuju dengan sistem pemerintahan monarchi untuk

Bani Umaiyah dan menyetujui untuk Ali bin Abi Thalib.

Kalau begitu, esensi masalah pada saat itu bukan terletak pada sikap

Muawiyah yang membentuk pemerintahan daulah dengan sistem Monarchi,

akan tetapi lebih disebabkan persaingan sengit antara Bani Hasyim dan Bani

Umaiyah. Terbukti setelah Bani Hasyim tidak dapat membendung keinginan

Muawiyah membentuk Daulah Umaiyah, Bani Hasyim melakukan hal yang

sama secara turun-temurun.

Masalah berikutnya andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya

Yazid menjadi khalifah sesudahnya, adakah yang sanggup memegang jabatan


khalifah, selain Bani Umaiyah. Orang yang mampu mengendalikan pemerintahan

Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak mempunyai kaki tangan

yang kuat untuk menegakkan pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri

Abdullah bin Zubeir. Dengan demikian yang benar-benar ada persiapan matang dan

terbaik melanjutkan pemerintahan adalah orang- orang Bani Umaiyah, khususnya

para gubernur yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk daulah tidak sepenuhnya

dapat disalahkan, jika dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat

itu, agar kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah karena

memperebutkan jabatan khalifah.

Andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya Yazid menjadi

khalifah sesudahnya, adakah yang sanggup memegang jabatan

khalifah, selain Bani Umaiyah. Dia mampu mengendalikan

pemerintahan Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak

mempunyai kaki tangan yang kuat untuk menegakkan pemerintahan. Hal yang

sama terjadi juga pada diri Abdullah bin Zubeir.

Dengan demikian yang benar-benar sudah ada persiapan yang matang

dan terbaik melanjutkan pemerintahan saat itu adalah orang-orang Bani Umaiyah,

khususnya para gubernur yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk daulah Umaiyah tidak

sepenuhnya dapat disalahkan, jika dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan

Islam pada saat itu, agar kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah

karena memperebutkan jabatan khalifah.


Muawiyah telah dipandang sukses membentuk sebuah pemerintahan

Daulah Umaiyah di Syam yang telah memerintah di sana, dua puluh dua tahun

menjadi Gubernur dan dua puluh tahun menjadi Khalifah. Pemerintahannya

terkesan sebagai pemerintahahan sistem kerajaan dan tidak sistem republik

seperti yang telah dikenal sebelumnya. Sistem kerajaan yang dibentuknya

menjadi sistem pemerintahan dunia Islam selama berabad-abad sesudahnya

sampai 1924 ketika Mustafa Kemal menjatuhkan Kerajaan Turki Usmani.4

2. Yazid ibn Muawiyah (680-683 M/61-63 H)

Masa pemerintahan Muawiyah digantikan oleh anaknya Yazid yang

memerintah hanya selama tiga tahun (61- 63 H), akan tetapi karena mendapat

perlawanan dari penduduk Kufah, Bashrah, dan penduduk serta sahabat-

sahabat di Madinah terutama di Makkah Abdullah bin Zubeir memberontak, maka

pemerintahannya dihadapkan kepada kerusuhan-kerusuhan.

Tahun pertama, dia membunuh Husein bin Ali di Karbela. Saat itu

Penduduk Kufah mengundang Husein bin Ali untuk datang ke Kufah dan

dijanjikan akan mereka angkat menjadi khalifah. Husein memenuhi undangan itu

walaupun kepergiannya ke Kufah dicegah beberapa sahabat, tetapi Husein tetap

berangkat dengan dikawal sekitar 200 orang, termasuk keluarganya.

Mendengar kedatangannya ke Kufah maka Yazid memerintahkan

Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk mencegat Husein. Ubaidillah

bersama 4000 tentaranya mencegat Husein di Karbela (25 mil Barat Laut

Kufah), dan mereka membunuh Husein dan rombongannya. Kepala Husein

4
Syamruddin Nasution, Sejarah Pendidikan Islam.(Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau), h.109-112
mereka penggal dan dikirim kepada khalifah Yazid di Syam, sementara

badannya mereka kuburkan di Karbela. Demi mendapat kepala Husein ternyata

Yazid sangat menyayangkan kejadian itu dan mengutuk Ubaidillah bin Ziyad.

Peristiwa itu terjadi 10 Oktober 680 atau 10 Muharam 61 H. Sampai

kini hari pembunuhan itu diperingati kaum Syi’ah sebagai hari “Tragedi Karbela”.

Padahal ayahnya Muawiyah telah membunuh Hasan sebelumnya dengan menyuruh

salah seorang isteri Hasan untuk meracunnya.

Tahun kedua, dia menjarah Madinah. Karena penduduk Madinah tidak

mengakui kekhalifahan Yazid, bahkan mereka memecat gubernur yang diangkat

Yazid serta mengusirgubernur tersebut bersama dengan seluruh keturunan Bani

Umaiyah dari Madinah. Bahkan menurut Ahmad Syalabi mereka

memenjarakan semua orang-orang Bani Umaiyah yang ada di Madinah. Hal itu

menimbulkan kemarahan Yazid.

Oleh sebab itu, dia mengirim utusan dan meminta kepada penduduk

Madinah agar mereka taat kepadanya tanpa peperangan; akan tetapi mereka

menolak permintaan itu. Maka Yazid mengirim tentara ke sana dibawah pimpinan

Muslim bin ‘Uqbah al-Murri, orang yang dikenal diktator dan kejam. Yazid

berpesan kepadanya: “ajaklah mereka agar membai’atku dalam batas waktu tiga hari

tanpa peperangan, dan jangan menyerang mereka, kecuali setelah habis batas

waktu tiga hari itu”. Tetapi penduduk Madinah tetap tidak mau membai’at

Yazid”. Maka Muslim menyerang mereka dari jurusan al-Harrah.

Sayangnya, selama tiga hari, Muslim membolehkan para pasukan

tentaranya melakukan tindakan brutal untuk berbuat saja apa yang mereka
inginkan terhadap penduduk Madinah, sebagai kota suci Rasulullah, suatu hal

yang tidak patut terjadi.

Tahun ketiga, dia menggempur Ka’bah. Yazid menyuruh

panglimanya itu (Muslim bin Uqbah) agar melanjutkan penyerangannya

ke Makkah untuk menaklukkan kota suci itu seperti yang telah dia lakukan

untuk kota Madinah. Sebab disana Abdullah bin Zubeir mengangkat dirinya

sebagai khalifah dan diakui seluruh penduduk Hijaz.

Di tengah jalan dia meninggal dan digantikan oleh Husein bin Namir.

Panglima baru ini mengepung Makkah, menembaki Masjidil Haram,

merusak Ka’bah dan memecahkan Hajral Aswad. Dalam pada itu diberitakan

bahwa Yazid meninggal dunia, Husein menghentikan serangan dan kembali

Syam.

Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui yang menjadi

penyebabnya pemerintahannya digantikan oleh anaknya Muawiyah II bin Yazid,

sebagai pengganti dia hanya memerintah selama 3 bulan dan sakit-sakitan,

karena tidak mampu mengendalikan pemerintahan, dia mengundurkan diri.

Tidak ada pengganti lagi dari keturunan mereka. Dengan demikian berakhirlah

masa pemerintahan Bani Umaiyah dari Abu Sofyan dan beralih ke keturunan al-

Hakam Abu Ash’ bin Umaiyah yaitu Marwan bin Hakam.

3. Muawiyah ibn Yazid (64 H/683 M)

Ia hanyalah seorang pemuda yang lemah. Masa jabatannya tidak lebih dari

40 hari. Kemudian ia mengundurkan diri karena sakit. Dan selanjutnya ia


mengurung dirinya di rumah sampai ia meninggal tiga bulan kemudian. Alasan

ia dipilih karena neneknya, yaitu Muawiyah I telah meletakkan asas-asas sistem

warisan dalam jabatan khalifah itu. Ia telah bejuang selama bertahun-tahun untuk

melaksanakan pengangkatan Yazid, disamping itu rakyatpun telah bersedia pula

untuk menerima sistem warisan itu.

4. Marwan bin al-Hakam (64-65 H/ 683-685 M)

5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/ 685-705 M)

6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/ 705-715 M)

7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/ 715-717 M)

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/ 717-720 M)

9. Yazid bin Abdul Malik Bin Marwan (101-105 H/ 720-724 M)

10. Hisham bin Abdul Malik (105-125 H/ 724-743 M)

11. Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/ 743-744 M)

12. Ibrahim bin al-Walid Bin Abdul Malik (126 H/ 744 M)

13. Ibrahim bin al-Walid Bin Abdul Malik (126 H/ 744 M)

14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/ 744-750 M)

C. Sistem Pemerintahan Dinasti Umaiyah

Sistem dipakai Dinasti Umaiyah, dengan berlakunya sistem (monarki)

tersebut, orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah tidak

memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai pemimpin

pemerintahan umat Islam. Karena, sistem dinasti hanya memberlakukan

kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya.


Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan

pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa' ar-Rasyidun.

Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang biasa: tinggal di

rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi kebutuhan hidupnya,

seperti kebanyakan orang Muslim lainnya.

Namun, pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem

kerajaan pra-Islam di Timur Tengah, mereka menjaga jarak dengan masyarakat

karena tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup

dengan bergelimang kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

Sistem dan model pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini

mengundang kritik keras, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Karena itu,

tak mengherankan jika semasa berkuasa, para pemimpin Bani Umayyah kerap

kali disibukkan untuk menekan kelompok oposisi. Dinasti Umayyah juga dikenal

karena fanatisme kearabannya. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik

terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang

rendah orang non-Arab dan memosisikan mereka sebagai warga kelas dua.

Kondisi tersebut menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani

Umayyah. Karena khawatir dengan berakhirnya kekuasaan, pemerintahan terus

mengonsolidasikan persoalan internal. Tujuannya adalah untuk memperkokoh

barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri serta antisipasi

terhadap setiap gerakan pemberontak.


Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang

dilakukan Muawiyah. Masing-masing adalah:

1. Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran)

2. Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat)

3. Diwan al-Barid (Urusan Pos)

4. Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan)

5. Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi).

Dalam mengendalikan pemerintahannya, Muawiyah didukung oleh

beberapa pembantu utama. Ia mengangkat sejumlah gubernur dari kalangan

sahabat dan kerabatnya. Di antaranya adalah Amr bin Ash yang diangkat menjadi

gubernur Mesir; Mugirah bin Syu’bah, gubernur di Kufah; dan saudara tirinya

Ziyad bin Abihi, gubernur Basra, Khurasan, serta Suriah.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah

meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa'

ar-Rasyidun. Hingga masa Ali, pemimpin negara berlaku sebagai seorang

biasa: tinggal di rumah sederhana, menjadi imam masjid, dan memenuhi

kebutuhan hidupnya, seperti kebanyakan orang Muslim lainnya. Namun,

pada masa Dinasti Umayyah, yang mengadopsi tradisi sistem kerajaan pra-

Islam di Timur Tengah, mereka menjaga jarak dengan masyarakat karena

tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Mereka juga hidup

dengan bergelimang kemewahan dan memiliki kekuasaan mutlak.

B. Saran

Makalah ini disusun berdasarkan hasil bacaan penulis dari beberapa

buku yang sebagian besarnya menjadi referensi dari makalah ini. Karena

minim referensi, penulis makalah ini tentu sangat meyarankan kepada para

pembaca untuk menambah referensi bacaanya diluar makalah ini. Penulis

mengakui apabila terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga penulis

bersifat terbuka untuk menerima kritik dan saran.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam


Mulia, 2006.

Syamruddin Nasution, Sejarah Pendidikan Islam.(Pekanbaru: Yayasan


Pustaka Riau.

Al-Thabari, Tarikh Al-Thabari, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1963.

Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,


2001.

Anda mungkin juga menyukai