Laporan Kasus Strabismus Vasha

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 91

Laporan Kasus Kepada Yth

23 Agustus 2022

PENATALAKSANAAN ESOTROPIA CONVERGENCE EXCESS


ALTERNAN + ASTIGMATISME MYOPIA SIMPLEKS OCULI
DEXTRA + ASTIGMATISME MYOPIA COMPOSITUS OCULI
SINISTRA + AMBLYOPIA OCULI DEXTRA SINISTRA +
NYSTAGMUS OCULI DEXTRA SINISTRA

Agung Putra Evasha*

Pembimbing:
dr. Linda Trisna, SpM ( K), Subsp.POS

BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH
SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... I

DAFTAR ISI ......................................................................................... Ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ................................................................. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 26

BAB IV DISKUSI ................................................................................ 58

BAB V KESIMPULAN ........................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 67

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Esodeviasi adalah misalignment konvergen laten atau manifes dari

sumbu visual. Esodeviasi adalah jenis strabismus masa kanak-kanak yang

paling umum, terhitung lebih dari 50% dari deviasi okular pada populasi anak.1-4

Pada orang dewasa, esodeviasi dan eksodeviasi sama-sama lazim. Esodeviasi

terjadi dengan frekuensi yang sama pada pria dan wanita dan lebih sering

terjadi pada orang Afrika-Amerika dan kelompok etnis kulit putih daripada

kelompok etnis Asia di Amerika Serikat. Faktor risiko untuk perkembangan

esotropia termasuk anisometropia, hiperopia, gangguan perkembangan saraf,

prematuritas, berat badan lahir rendah, kelainan kraniofasial atau kromosom,

ibu merokok selama kehamilan, dan riwayat keluarga strabismus. Prevalensi

esotropia meningkat dengan bertambahnya usia ( prevalensi lebih tinggi pada

48-72 bulan dibandingkan dengan 6-11 bulan ), anisometropia sedang,

dan hiperopia sedang. Ambliopia berkembang pada sekitar 50% anak-anak

yang menderita esotropia. Esodeviasi dapat disebabkan oleh faktor inervasi,

anatomis, mekanik, refraksi, atau akomodatif. 1

Ambliopia disebabkan oleh input visual yang abnormal di awal

kehidupan. Beberapa penyebab ambliopia antara lain strabismus (terjadi sekitar

19%-50% kasus), anisometropia (terjadi sekitar 46%-79% kasus), esotropia

(sekitar 50% kasus), dan deprivasi visual seperti kekeruhan lensa dan ptosis.
Nistagmus adalah osilasi ritmik mata yang tidak disengaja. Prevalensi

nistagmus pada anak-anak prasekolah di Amerika Serikat diperkirakan 0,35%.

Nistagmus dapat disebabkan oleh defek motorik yang sesuai dengan

penglihatan yang relatif baik, kelainan okular yang mengganggu penglihatan

atau fusi, atau kelainan neurologis.1,3,5

1
2
Pemeriksaan yang tepat pada pasien strabismus merupakan suatu

keharusan sebelum pasien menjalankan terapi. Untuk menegakkan diagnosis

esotropia diperlukan anamnesis dan pemeriksaan okular yang tepat.

Ketidaksejajaran bola mata menyebabkan terjadinya gangguan fiksasi dan

mengganggu penglihatan binokular yang normal. Oleh karena itu, tujuan utama

dari penatalaksanaan strabismus adalah membangun atau mengembalikan

penglihatan binokular normal baik dengan tindakan bedah maupun tidakan non

bedah.1,2,6

1.2 Tujuan

Melaporkan kasus seorang anak laki-laki dengan Esotropia Convergence

Excess Alternan + Astigmatisme Myopia Simpleks Oculi Dextra +

Astigmatisme Myopia Compositus Oculi Sinistra + Amblyopia Oculi Dextra

Sinistra + Nystagmus Oculi Dextra Sinistra yang ditatalaksana dengan Recess

Rectus Medial Okuli Dekstra dan Faden Rectus Lateral Okuli Sinistra.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi

Seorang anak laki-laki An. Z berusia 10 tahun alamat dalam kota, datang

berobat ke Poliklinik Mata RSMH pada tanggal 31 Juni 2022.

2.2. Anamnesis

Alloanamnesis dengan i b u pasien pada tanggal 31 Juni 2022.

Keluhan Utama :

Kedua mata terlihat juling ke dalam sejak lahir.

Riwayat Perjalanan Penyakit : (Alloanamnesa Ibu kandung)

Menurut ibu pasien sejak lahir kedua mata tampak juling ke dalam. Juling

semakin lama semakin bertambah besar. Juling terlihat jelas saat pasien

melamun dan lelah. Juling tampak bergantian pada kedua mata ada. Keluhan

pandangan kabur tidak ada, mata merah tidak ada, nyeri tidak ada, mata berair

tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat kelahiran prematur usia kehamilan 28 minggu dengan BBL


1.800 gram.

- Riwayat sakit pada ibu atau demam selama kehamilan disangkal.

- Riwayat trauma kepala (+) pernah terbentur saat usia 3 tahun.

- Riwayat Di diagnosa Cerebral Palsy sejak usia 3-4 Tahun.

- Riwayat berkacamata tidak ada.


- Riwayat operasi mata sebelumnya tidak ada.

3
4

- Riwayat keluarga mempunyai penyakit yang sama disangkal.

2.3. Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Temperatur : 36.4° C

Status Oftalmologikus

Mata Kanan Mata Kiri


5
6

Acies Visus 6 / 21 6 / 60

Visus C – 2.75 X 175 ֠ S – 3.25 C – 2.00 X 35 ֠


 6 / 7.5 7.5 / 6

Crowding Phenomena (-)

Amblyogenic Factor (+)

Tekanan Intra Okular 15.6 mmHg 15.6 mmHg

Hirschberg test ACT ET 15° ODS

Shifting (+), Alternan

Fiksasi jauh 30 PD ET

Fiksasi dekat 45 PD ET
7

Duksi-versi

Nystagmus(+) Nystagmus (+)

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Tenang Tenang

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),

normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh

darah baik darah baik


8

2.4 Diagnosis

Esotropia Convergence Excess Alternan + Astigmatisme Myopia

Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus Oculi Sinistra +

Amblyopia Oculi Dextra Sinistra + Nystagmus Oculi Dextra Sinistra

2.5. Penatalaksanaan

 Informed consent

 Pro Recess Medial Rectus OD + Faden Lateral

Rectus OS dengan Anestesi umum

 Pro pemeriksaan laboratorium dan rontgen thorax PA

 Pro konsul bagian Anestesi

2.6 Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : bonam

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin: 14,8 mg/dL Waktu perdarahan: 2 menit

Leukosit: 7090 /mm3 Waktu pembekuan: 10 menit

Hematokrit: 43% Glukosa sewaktu: 96 mg/dL

Trombosit: 326.000/µL Ureum: 18 mg/dL

LED: 11 mm/jam Kreatinin: 0,72 mg/dL


9

Hitung jenis: 0/3/64/29/4 Natrium: 143 mEq/L

HbsAg: Non Reaktif Kalium: 4,8 mEq/L

Hasil Rontgen Thorax PA

Tak tampak kelainan radiologis pada foto thoraks saat ini

Hasil Konsul Anestesi

Status ASA 1, Acc tindakan anestesi umum

2.7. Laporan operasi (7 Februari 2022)

1. Operasi dimulai pukul 11.00 WIB.

2. Penderita dalam posisi terlentang dibawah pengaruh anestesi

umum, dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan

operasi, selanjutnya lapangan operasi dipersempit dengan doek

bolong steril.

3. Dilakukan pemasangan benang tegel untuk fiksasi pada palpebra

superior dan inferior dengan benang silk 4.0 pada Okuli dekstra

4. Dilakukan pemasangan fiksasi konjungtiva untuk memperluas

lapangan operasi dibagian medial dengan vicryl 6.0 dua jarum.

5. Dilakukan peritomi diantara limbus dan fornik, lalu dilakukan

identifikasi muskulus rektus medial okuli dekstra. Kemudian

dilakukan penjahitan otot rektus medial dengan jahitan Djoko

Sarwono di daerah insersi otot dengan benang vicryl 6.0.

6. Otot dilepaskan dari insersinya dengan gunting tumpul dan direses

10 mm dengan cara dijahitkan ke sklera setengah ketebalan


10

sklera 3 mm di belakang insersi awal d a n adjustable suture 7

mm mundur secara hang back dan benang disimpul sebanyak 7

kali.

7. Konjungtiva dijahit menggunakan benang vicryl 8.0.

8. Dilakukan peritomi diantara limbus dan fornik, lalu dilakukan


identifikasi muskulus rektus lateral mata kiri.
9. Dilakukan teknik Faden dengan cara penjahitan otot rektus lateral

kiri 2 mm dibelakang insersi dengan jahitan Djoko Sarwono

kemudian dijahitkan langsung ke sklera dengan setengah

ketebalan sklera dengan benang vicryl 6.0 dan benang disimpul

sebanyak 7 kali

10. Konjungtiva dijahit menggunakan benang vicryl 8.0.

11. Diberi salep kloramfenikol, lalu ditutup kassa steril.

12. Operasi selesai


11
12
13

2.8 Follow up hari 1 post operasi ( 14 juli 2022)

Mata Kanan Mata Kiri

Acies Visus 6 / 21 6 / 60

Tekanan Intra Okular P= N+0 P= N+0

Hirschberg test Ortoforia


ACT Shifting (-)

Duksi-versi

Nystagmus berkurang Nystagmus berkurang


14

Segmen Anterior
15

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Subconjunctival bleeding Subconjunctival bleeding

(+) (+)

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),


normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh
darah baik darah baik

Diagnosis

Ortoforia Post Recess Medial Rectus Oculi Dextra + Faden Lateral

Rectus Oculi Sinistra hari ke-1 a.i Esotropia Convergence Excess Alternan +

Astigmatisme Myopia Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme Myopia

Compositus Oculi Sinistra + Amblyopia Oculi Dextra Sinistra + Nystagmus

Oculi Dextra Sinistra.


16

Penatalaksanaan

 Kacamata goggle

 Cefixime sirup 100 mg tiap 12 jam per oral

 Na Diclofenac 50 mg 1/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Betamethasone 0.25 mg, dexchlorpheniramine maleate

2 mg 2/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Methyl prednisolone 6 mg 1 tablet tiap 8 jam per oral

 Levofloxacin EDMD 1 tetes tiap 2 jam ODS

 Naphazolin HCl 0,05%, Antazolin Phospat 0,5% EDMD

1 tetes tiap 2 jam ODS

 Chloramphenicol EO tiap 2 jam ODS

 Acc rawat jalan, kontrol ulang 5 hari lagi


17

Follow up hari ke-5 post operasi (19 Juli 2022)

Mata Kanan Mata Kiri

Acies Visus 6 / 21 6 / 60

Visus C – 2.75 X 175 o S-3.25 C-2.00 X 35o

Tekanan Intra Okular P= N+0 P= N+0

Hirschberg test Ortoforia


ACT Shifting (-)
18

Duksi-versi

Nystagmus berkurang Nystagmus berkurang

Segmen Anterior

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Subconjunctival bleeding Subconjunctival bleeding

berkurang Berkurang

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),


normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh
darah baik darah baik
19

Diagnosis

Ortoforia Post Recess Medial Rectus Oculi Dextra + Faden Lateral Rectus Oculi

Sinistra hari ke-5 a.i Esotropia Convergence Excess Alternan + Astigmatisme

Myopia Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus Oculi

Sinistra Nystagmus Oculi Dextra Sinistra


20

Penatalaksanaan

 Kacamata goggle

 Cefixime sirup 100 mg tiap 12 jam per oral

 Na Diclofenac 50 mg 1/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Betamethasone 0.25 mg, dexchlorpheniramine maleate 2 mg 2/3

tablet tiap 8 jam per oral

 Methyl prednisolone 6 mg 1 tablet tiap 8 jam per oral

 Levofloxacin EDMD 1 tetes tiap 2 jam ODS

 Naphazolin HCl 0,05%, Antazolin Phospat 0,5% EDMD 1 tetes tiap 2

jam ODS

 Chloramphenicol EO tiap 2 jam ODS

 Kontrol ulang 1 minggu lagi


21

Follow up hari ke-12 post operasi (26 juli 2022)

Mata Kanan Mata Kiri

Acies Visus 6 / 21 6 / 60

Visus C – 2.75 X 175 o S-3.25 C-2.00 X 35 o


6/7.5 6/7.5

Tekanan Intra Okular P= N+0 P= N+0

Hirschberg test Ortoforia


ACT Shifting (-)
22

Duksi-versi
23

Nystagmus berkurang Nystagmus berkurang

Segmen Anterior

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Subconjunctival bleeding Subconjunctival bleeding

minimal minimal

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),


normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh
darah baik darah baik

Diagnosis

Ortoforia Post Recess Medial Rectus Oculi Dextra + Faden Lateral

Rectus Oculi Sinistra hari ke-12 a.i Esotropia Convergence Excess Alternan +

Astigmatisme Myopia Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme Myopia

Compositus Oculi Sinistra + Amblyopia Oculi Dextra Sinistra + Nystagmus


24

Oculi Dextra Sinistra.


25

Penatalaksanaan

 Kacamata goggle

 Cefixime sirup 100 mg tiap 12 jam per oral

 Na Diclofenac 50 mg 1/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Betamethasone 0.25 mg, dexchlorpheniramine maleate 2

mg 2/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Methyl prednisolone 6 mg 1 tablet tiap 8 jam per oral

 Levofloxacin EDMD 1 tetes tiap 2 jam ODS

 Naphazolin HCl 0,05%, Antazolin Phospat 0,5% EDMD 1

tetes tiap 2 jam ODS

 Chloramphenicol EO tiap 2 jam ODS

 Rencana Resep Kaca mata

 Kontrol ulang 1 minggu lagi


26
27

Follow up hari ke-19 post operasi (2 Agustus 2022)

Mata Kanan Mata Kiri

Acies Visus 6 /21 6 / 60

Visus C – 2.75 X 175 o S-3.25 C-2.00 X 35o


6/7.5 6/7.5

Tekanan Intra Okular P= N+0 P= N+0

Hirschberg test Ortoforia


ACT Shifting (-)
28

Duksi-versi
29

Nystagmus berkurang Nystagmus berkurang

Segmen Anterior

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Subkonjungtival Bleeding Subkonjungtival Bleeding


minimal minimal
Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),


normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh
darah baik darah baik

Diagnosis

Ortoforia Post Recess Medial Rectus Oculi Dextra + Faden Lateral

Rectus Oculi Sinistra hari ke-19 a.i Esotropia Convergence Excess

Alternan + Astigmatisme Myopia Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme

Myopia Compositus Oculi Sinistra + Amblyopia Oculi Dextra Sinistra +

Nystagmus Oculi Dextra Sinistra


30

Penatalaksanaan

 Kacamata goggle

 Cefixime sirup 100 mg tiap 12 jam per oral

 Na Diclofenac 50 mg 1/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Betamethasone 0.25 mg, dexchlorpheniramine maleate 2

mg 2/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Methyl prednisolone 6 mg 1 tablet tiap 8 jam per oral

 Levofloxacin EDMD 1 tetes tiap 2 jam ODS

 Naphazolin HCl 0,05%, Antazolin Phospat 0,5% EDMD 1

tetes tiap 2 jam ODS

 Chloramphenicol EO tiap 2 jam ODS

 Rencana Resep Kacamata

 Kontrol ulang 1 minggu lagi


31

Follow up hari ke-26 post operasi (5 Maret 2022)

Mata Kanan Mata Kiri

Acies Visus 6 / 21 6 / 60

Visus C – 2.75 X 175 o S-3.25 C-2.00 X 35 o


6/7.5 6/7.5

Tekanan Intra Okular P= N+0 P= N+0

Hirschberg test Ortoforia


ACT Shifting (-)
32

Duksi-versi

Nystagmus berkurang Nystagmus berkurang

Segmen Anterior

Palpebra Tenang Tenang

Konjungtiva Tenang Tenang

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Bulat, sentral, RC (+), Bulat, sentral, RC (+),


normal, ø 3 mm normal, ø 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen Posterior RFOD (+) RFOS (+)

FODS Papil : Bulat, batas tegas, Papil : Bulat, batas tegas,


warna merah normal, warna merah normal, c/d
c/d 0.3, a/v 2:3 0.3, a/v 2:3
Makula : RF (+) normal Makula : RF (+) normal
Retina : Kontur pembuluh Retina : Kontur pembuluh
darah baik darah baik

Diagnosis

Ortoforia Post Recess Medial Rectus Oculi Dextra + Faden Lateral Rectus Oculi

Sinistra hari ke-26 a.i Esotropia Convergence Excess Alternan +

Astigmatisme Myopia Simpleks Oculi Dextra + Astigmatisme Myopia


33

Compositus Oculi Sinistra + Amblopia Oculi Dextra Sinistra + Nystagmus Oculi

Dextra Sinistra
34

Penatalaksanaan

 Kacamata goggle

 Cefixime sirup 100 mg tiap 12 jam per oral

 Na Diclofenac 50 mg 1/3 tablet tiap 8 jam per oral

 Betamethasone 0.25 mg, dexchlorpheniramine maleate 2 mg 2/3

tablet tiap 8 jam per oral

 Methyl prednisolone 6 mg 1 tablet tiap 8 jam per oral

 Levofloxacin EDMD 1 tetes tiap 2 jam ODS

 Naphazolin HCl 0,05%, Antazolin Phospat 0,5% EDMD 1 tetes tiap

2 jam ODS

 Chloramphenicol EO tiap 2 jam ODS

 Resep Kaca Mata

 Kontrol ulang 1 minggu lagi


35
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Strabismus

3.1.1 Definisi

Strabismus adalah ketidaksejajaran bola mata yang dapat disebabkan

oleh abnormalitas penglihatan binokular atau kelainan kontrol neuromuskular

pada gerakan bola mata. Pada kondisi ini, sumbu penglihatan kedua mata

tidak bersamaan menuju benda yang menjadi pusat perhatiannya. Satu mata

bisa berfokus pada satu obyek sedangkan mata yang lain dapat bergulir ke

dalam, ke luar, ke atas atau ke bawah.1,2

3.1.2. Penyebab1-3

Masih belum jelas mengapa beberapa orang dapat terjadi strabismus

dan yang lainnya tidak. Fisiologi motilitas okuler tidak hanya melibatkan otot

ekstraokuler tetapi juga saraf kranial, jalur supranuklear, nuklear, dan semua

fungsi ini terlibat dalam terjadinya strabismus yang dikatakan oleh berbagai

peneliti.

Teori Claude Worth menyatakan bahwa strabismus adalah hasil dari

ketidakhadiran dari potensi fusi kortikal. Akibatnya otak tidak mampu

mempertahankan keselarasan okular yang normal dan setiap perbaikan dalam


keselarasan motorik (dengan operasi, toksin, prisma dll.) sepertinya tidak akan

memperbaiki ini.

Teori Chavasse mengatakan di sisi lain mendalilkan bahwa buruknya

kesejajaran motorik yang merupakan peristiwa utama yang menyebabkan

status sensorik yang buruk, jika tidak dikoreksi. Dengan demikian, pemulihan

yang cepat dari keselarasan normal dapat mengarah pada peningkatan yang

berkelanjutan dalam penglihatan binokular dan kesejajaran mata. Teori ini

disukai oleh banyak ahli dan sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan

operasi seperti pada kondisi esotropia infantil.

26
27

Gambar 1. Pathway dan struktur yang terlibat dalam terjadinya strabismus .

Dikutip dari Simplifying Strabismus, Springer, 2019.

3.1.3 Klasifikasi Strabismus

Memahami presentasi strabismus akan menjadi awal yang baik untuk

menyelesaikannya. Strabismus secara luas dapat diklasifikasikan menjadi dua

bentuk utama, comitant dan incomitant. Strabismus disebut comitant (juga

disebut concomitant) bila untuk jarak fiksasi tertentu deviasinya sama ke

semua arah pandangan. Ini terjadi ketika deviasi bervariasi dalam tatapan yang

berbeda atau dengan mata yang digunakan untuk fiksasi. Strabismus

incomitant biasanya paralitik (karena kelumpuhan pada N.3, 4,atau 6) atau

restriktif (karena keterlibatan otot mata ekstraokuler atau jaringan lunak

sekitarnya). Deviasi primer adalah deviasi saat mata normal terfiksasi, dan

deviasi sekunder adalah deviasi saat mata paretik atau mata yang dibatasi

fiksasi.Penyimpangan sekunder lebih besar.


28

Tabel 1. Perbedaan Strabismus comitant dan incomitant. Dikutip dari Strabismus,

Springer, 2019.

3.1.4. Diagnosis strabismus

1. Anamnesis1,7,8

Anamnesis yang jelas dan terperinci merupakan hal yang vital pada seluruh

pasien strabismus. Hal-hal yang perlu ditekankan saat anamnesis adalah

onset, tampak bergantian, hilang timbul atau menetap, penglihatan ganda,

riwayat trauma, riwayat kehamilan dan persalinan.


29

2. Tajam penglihatan (visus)

Pemeriksaan tajam penglihatan pada anak berusia mulai dari 3 tahun

dapat dilakukan menggunakan E chart, sedangkan anak berusia di atas 5 tahun

dapat menggunakan Snellen chart. Pemeriksaan visus dengan koreksi terbaik

membantu menegakkan ada atau tidaknya ambliopia.1,9

3. Tes Hirschberg

Tes Hirschberg dilakukan untuk menilai kedudukan bola mata dan

derajat deviasi bola mata abnormal dengan melihat refleks cahaya pada

kornea. Caranya sentolop disinarkan dari jarak 30 cm setinggi mata pasien

sebagai fiksasi, refleks cahaya pada mata fiksasi diletakkan di tengah pupil

kemudian dilihat letak refleks cahaya pada kornea mata yang lain.1,2,10

Desentrasi refleks cahaya sebesar 1mm menunjukkan deviasi okular

sekitar 7°, atau 15Δ. Pada keadaan normal refleks cahaya akan terletak pada

tengah pupil kedua mata. Bila terletak pada tepi pupil maka terdapat deviasi

sebesar 15° (30Δ). Refleks cahaya di pertengahan iris menunjukkan deviasi 30°

(60Δ). Bila terletak pada pinggir limbus maka terdapat deviasi sebesar 45°

(90Δ). 1,2,10
30

Gambar 2. Hirschberg Test.


Dikutip dari Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
American Academy of Ophthalmology 2019-2020.

4. Tes Krimsky

Metode Krimsky menggunakan refleks cahaya pada kedua kornea yang

dihasilkan saat fiksasi dekat. Caranya adalah sentolop disinarkan dari jarak 30

cm setinggi mata pasien sebagai fiksasi, prisma diletakkan di depan mata yang

berdeviasi. Prisma diubah- ubah kekuatannya sampai letak refleks cahaya mata

yang berdeviasi menjadi sentral. Derajat deviasi diukur berdasarkan kekuatan

prisma yang dipakai sehingga letak kedua refleks cahaya pada kornea sama

(sentral).1,7,9,10
31

Gambar 3. Tes Krimsky. Eksotropia mata kanan diukur


berdasarkan kekuatan prisma yang dibutuhkan untuk
membuat refleks cahaya ke sentral.
Dikutip dari Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
American Academy of Ophthalmology 2019-2020.

5. Alternate Cover Test (ACT)

Alternate Cover Test (ACT) mengukur deviasi total saat fusi diganggu.

Tes ini harus dilakukan pada fiksasi dekat dan jauh. Caranya adalah

menutup salah satu mata, lalu mata yang berdeviasi akan bergerak untuk

berfiksasi. Prisma dengan kekuatan tertentu dipasang di depan mata yang

berdeviasi. Derajat deviasi diukur berdasarkan kekuatan prisma yang dipakai

hingga tidak ada lagi pergerakan pada mata yang berdeviasi saat penutup mata

dipindahkan bergantian.1,10
32

Gambar 4. Alternate Cover Test.


Dikutip dari Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
American Academy of Ophthalmology 2019-2020.

6. Pergerakan bola mata

a. Duksi

Duksi adalah pergerakan satu mata. Duksi terdiri dari abduksi (gerakan

mata ke arah temporal), adduksi (gerakan mata ke arah nasal), elevasi

(gerakan mata ke atas), depresi (gerakan mata ke bawah), intorsi dan ekstorsi.

Pemeriksaan dilakukan dengan menutup satu mata dan meminta pasien

mengikuti suatu target pada setiap arah lirikan. 1,10,11

b. Versi

Versi dalah pergerakan bola mata binokular, simultan pada arah yang

sama. Versi terdiri dari dekstroversi (gerakan ke arah kanan) , levoversi

(gerakan ke arah kiri), elevasi (gerakan ke atas), depresi (gerakan ke bawah),

dekstrosikloversi dan levosikloversi. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta

kedua mata pasien mengikuti suatu target pada setiap arah lirikan. Pada duksi

dan versi, yang dinilai adalah ada tidaknya under- atau over-action. 1,10,11
33

3.2 Esodeviasi

1. Definisi

Merupakan ketidaksejajaran axis visual konvergen yang laten atau

manifes. Ketidaksejajaran posisi bola mata ini paling sering dijumpai

presentasinya mencapi 50% lebih pada penderita okular pada anak-anak.

Adanya variasi kemampuan fusional mengakibatkan munculnya 3 bentuk

esodeviasi yaitu :

2. Esoforia adalah esodeviasi laten yang dapat dikendalikan oleh

mekanisme fusional sehingga pada visus yang binokular normal

posisi kedua mata tetap sejajar.

3. Esotropia intermitten adalah jenis esodeviasi yang dikendalikan

secara intermitten oleh mekanisme fusional tetapi dapat

bermanifestasi secara spontan

4. Esotropia konstan adalah jenis esodeviasi yang tidak dibawah

kendali mekanisme fusional sehingga deviasinya manifes secara

terus menerus.1,3,9
34

3.2.2 Epidemiologi

Frekuensi laki-laki dan perempuan sama dan sering pada ras Kaukasia

dan Afrika Amerika dibanding ras Asia. Faktor resiko munculnya esotropia

termasuk anisometropia dan hiperopia, kelainan perkembangan neurologis,

prematuritas, berat bayi lahir rendah, kraniofasial atau kelainan kromosom,

riwayat keluarga dengan strabismus. Prevalensi esotropia meningkat seiring

usia, anisometropia moderat dan hipermetropia moderat. Esotropia dapat

disebabkan oleh kelainan inervasi, anatomi, mekanik, refraksi, genetik atau

gangguan akomodasi.1

3.2.3 Klasifikasi

1. Pseudoesotropia

Pada bayi sering ditemukan celah hidung yang datar dan lebar

disertai lipatan epikantus yang menonjol dan jarak interpupil yang sempit.

Kondisi ini membuat tampak seperti esotropia saat mata memandang lurus ke

depan. Tetapi kadang anak tersebut dapat juga timbul kondisi esodeviasi,

sehingga kesejajaran posisi mata harus segera diperiksa.

2. Esodeviasi Infantil onset dini

A. Definisi

Esotropia infantil (Esotropia Kongenital) adalah esotropia yang

muncul pada usia 6 bulan. Ketidakstabilan okular pada bayi adalah


35

hal wajar, pada 2-3 bulan pertama kehidupan, sering ditemukan strabismus

yang berubah-ubah, sementara, dan intermiten. Kondisi ini akan hilang pada

usia 3 bulan. Jika esotropia muncul setelah usia 2 bulan, konstan, dan

terukur 30 prisma dioptri atau lebih, maka hal ini memerlukan intervensi

bedah.1

B. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya esotropia adalah sebagai berikut,1

 Pasien dengan esotropia infantil sering memiliki riwayat

keluarga esotropia/strabismus lainnya, tetapi pola genetik yang

jelas tidak jelas.

 Esotropia infantil lebih sering terjadi pada anak yang lahir

prematur dan 30% anak dengan masalah neurologis seperti

cerebral palsy dan hidrosefalus.

 Esotropia infantil telah dikaitkan dengan peningkatan risiko

perkembangan penyakit mental pada dewasa muda.

C. Patogenesis

Penyebab esotropia infantil masih belum diketahui secara jelas.

Terdapat 2 teori yang diperdebatkan, yaitu konsep "sensorik". Dalam teori ini,

esotropia infantil dihasilkan dari defisit bawaan di "pusat fusi" di otak. Menurut

teori ini, tujuan mengembalikan binokularitas adalah sia-sia. Teori lainnya

adalah teori Chavasse. Menurut teori ini, masalah utama esotropia infantil

adalah perkembangan motorik, yang berpotensi dapat disembuhkan jika


36

keselarasan okular dicapai pada masa bayi.1


37

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dapat muncul pada esotropia infantil

adalah fiksasi silang dimana terjadi penggunaan mata adduksi untuk fiksasi

objek di bidang visual kontralateral, dikaitkan dengan esotropia sudut besar.

Selain itu, dapat timbul defisit abduksi yang jelas karena fiksasi silang. Jika ada

ambliopia, mata yang lebih baik akan berfiksasi di semua bidang pandangan,

membuat mata amblyopia tampak memiliki defisit abduksi. Versi dan duksi

seringkali pada awalnya normal. Elevasi berlebihan pada adduksi dan disosiasi

kompleks strabismus terjadi pada lebih dari 50% pasien, biasanya setelah

usia 1-2 tahun. Manifestasi klinis yang juga dapat muncul ialah asymmetry of

monocular horizontal smooth pursuit yang persisten, dimana arah hidung-ke-

temporal kurang berkembang dengan baik dibandingkan temporal-ke-nasal.

Terdapat pula sindrom nistagmus gangguan perkembangan fusi (nistagmus

laten dan laten manifes), refraksi sikloplegik secara khas menunjukkan

hiperopia rendah (+1,00 hingga +2,00 dioptri [D]), hyperopia lebih besar dari

2,00 D harus segera mempertimbangkan koreksi kacamata dan sindrom

Ciancia merupakan bentuk esotropia infantil yang parah, terdiri dari esotropia

sudut besar (>50D), nistagmus abduksi, dan defisit abduksi ringan.1


38

Gambar 1. Anak dengan esotropia kiri Fiksasi silang


mata kanan dari posisi adduksi1

E. Tatalaksana

Tatalaksana pada esotropia infantil terbagi menjadi dua, yaitu

koreksi dengan refraksi siklopegik penuh dan terapi pembedahan. Pada koreksi

dengan refraksi sikloplegik penuh, sudut kecil esotropia yang bervariasi dalam

derajat atau intermiten mungkin lebih mungkin untuk merespon koreksi

hiperopia daripada esotropia sudut besar atau konstan. Terapi pembedahan

dilakukan untuk mengurangi deviasi ke orthotropia. Dengan adanya penglihatan

normal, ini idealnya menghasilkan perkembangan derajat fusi sensorik.

Sebaiknya dilakukan <2 tahun untuk mengoptimalkan penglihatan binokular,

dapat dilakukan sejak usia 4 bulan. Prosedur pembedahan dilakukan dengan

resesi kedua otot rektus medial, resesi otot rektus medial dikombinasikan

dengan reseksi otot rektus lateral ipsilateral. Pembedahan dua otot menyisihkan

otot rektus horizontal lainnya untuk operasi selanjutnya. Selain itu, terdapat juga

injeksi toksin botulinum ke otot rektus medial. Hal ini dikaitkan dengan tingkat

operasi ulang yang lebih tinggi daripada operasi strabismus, dan tingkat

binokularitas abnormal pasca operasi yang lebih tinggi. Toksin botulinum

mungkin paling berguna untuk penyimpangan yang kecil.1


39

3. Esotropia Akomodatif

Semua esotropia akomodatif bersifat didapat dan memiliki

karakteristik sebagai berikut : onset umumnya usia 6 bulan – 8 tahun; pada

saat onset biasanya bersifat intermitten tetapi kemudian dapat menjadi

menetap; seringkali herediter; kadang dicetuskan oleh trauma atau penyakit;

biasanya tanpa gejala diplopia.

Esotropia berkaitan dengan hipermetropia moderate yang tanpa

koreksi. Ada 3 tipe esotropia akomodatif, yaitu esotropia akomodatif refraktif,

esotropia akomodatif non refraktif, dan esotropia akomodatif partial.

4. Esotropia Non Akomodatif Didapat

Esotropia non akomodatif didapat adalah jenis esotropia comitant yang

tidak terkait dengan aktivasi refleks akomodatif. Dapat berkembang pada masa bayi

>6 bulan), masa kanak-kanak, atau bahkan dewasa. Penyebab esotropia non

akomodatif didapat ini bervariasi. Terdapat beberapa tipe esotropia non akomodatif

didapat, yaitu basic acquired non accommodative esotropia, cyclic esotropia,

sensory esotropia, divergence insufficiency, spasm of the near reflex, dan

consecutive esotropia.
40

5. Incomitant Esotropia

Penyebab incomitant esotropia adalah kelemahan rectus abdusens.

Sebagian besar kasus kelumpuhan saraf keenam bawaan adalah esotropia

infantil dengan crossed fixation.

3.2.4 Diagnosis Esotropia

Penegakkan diagnosis esotropia, diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan okular yang tepat. Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam

anamnesis adalah onset mulai terjadinya strabismus apakah tiba- tiba atau

bertahap, apakah ada hubungan dengan trauma atau penyakit tertentu.

frekuensi deviasi, apakah terus-menerus atau kadang-kadang, apakah

unilateral atau berganti-ganti, perubahan ukuran deviasi pada setiap arah

gerakan mata, apakah ada perubahan deviasi saat melihat jauh dan dekat,

ada tidaknya penglihatan kabur, ada tidaknya penglihatan kembar, ada tidaknya

riwayat strabismus dalam keluarga dan ada tidaknya terapi sebelumnya yang
1,2,6,11,12
sudah didapat.

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk mengetahui tipe dan

penyebab esotropia adalah pemeriksaan visus, hirschberg tes, pemeriksaan

duksi-versi, alternate cover test (ACT), burian krimsky test. 13 Pemeriksaan visus

dilakukan untuk mengetahui visus dasar dan apakah terdapat kelainan

refraksi pada mata yang mengalami strabismus. Hirschberg tes dilakukan untuk

mengetahui kedudukan bola mata. Pemeriksaan duksi dilakukan untuk

mengetahui gerakan satu mata, apakah terdapat hambatan atau tidak.


41

Pemeriksaan versi dilakukan untuk mengetahui gerakan kedua mata secara

bersamaan, apakah ada hambatan atau tidak. ACT dilakukan untuk mengetahui

adanya heterotropia atau heteroforia pada salah satu mata.2,8,13


42

3.2.5 Penatalaksanaan Esotropia

Penatalaksanaan pada penderita strabismus bersifat individual. Tujuan

terapi pada strabismus adalah untuk mempertahankan penglihatan binokular,

memperbaiki visus, fusi, menghilangkan diplopia, menghilangkan keluhan

astenopia dan untuk kepentingan kosmetik. 2,13,14 Dalam menentukan terapi ada

beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah: umur penderita,

keadaan umum penderita, tingkat perkembangan pasien dan diantisipasi sesuai

dengan terapi, kekhawatiran pasien dan orang tua pasien, gejala dan tanda

ketidaknyamanan penglihatan, tuntutan visual pasien, besarnya deviasi, ukuran

dan frekuensi strabismus, ada tidaknya fusi, ada tidaknya ambliopia.13,14

Penatalaksanaan pada strabismus meliputi tindakan bedah dan non

bedah. Tindakan non bedah dilakukan apabila deviasi ≤ 20-25∆, sedangkan

tindakan bedah dilakukan apabila sudut deviasi ≥ 25∆ atau bila pada tindakan

non bedah yang tidak menunjukkan respon. 2,14,15


43

Secara umum, penderita esotropia dengan deviasi > 20-25∆ disarankan

untuk dilakukan tindakan operatif, tetapi pada penderita dengan deviasi yang

lebih kecil tetapi tidak respon terhadap penatalaksanaan non operatif dapat

juga disarankan untuk dilakukan tindakan operatif.1,6,7,15

Adapun jenis operasi yang dilakukan pada esotropia yaitu reses otot

rektus medial dan resek otot rektus lateral. Reses adalah memperpendek jarak

dari origo ke insersi sehingga melemahkan otot tersebut. Resek adalah

memendekkan otot sehingga memperbesar tegangan dan menguatkan otot

tersebut, kemudian melekatkan kembali dengan cara membuang bagian otot

dan kemudian melekatkan kembali ke sklera pada insersi awal.10,13,16

Diplopia, infeksi post operatif, dan skar konjungtiva dapat terjadi paska

operasi strabismus. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada pasien

setelah operasi strabismus untuk mencegah terjadinya komplikasi, yaitu:

dilakukan kompres dingin, anitibiotik tetes mata dan salep mata, mencegah

mengusap atau menggosok-gosok mata, menghindari siraman air langsung ke

mata, dan tidak melakukan aktifitas berenang atau olahraga yang cenderung

menimbulkan trauma pada mata.1,13,16


44

3.3 Nistagmus9,10,11

Nistagmus merupakan pergerakan bolak-balik involunter dan ritmis pada

bola mata. Prevalensi nistagmus pada anak-anak terjadi 0,35%. Nistagmus

dapat disebabkan oleh gangguan motorik tanpa gangguan tajam penglihatan,

gangguan okuler yang mengganggu fungsi penglihatan atau fusi, atau

abnormalitas neurologi. Membedakan penyebab nistagmus tersebut masih

merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi.

Pergerakan nistagmus dapat dikelompokkan berdasarkan frekuensi

(jumlah pergerakan osilasi per unit per waktu) dan amplitude (jarak angular

antar pergerakan nistagmus). Pergerakan dapat digambarkan sebagai gerakan

horizontal, vertikal, torsional, atau kombinasi ketiganya. Karakteristik nistagmus

dapat berubah sesuai arah gerakan bola mata. Contohnya, nistagmus pendular

dapat berubah menjadi jerk nistagmus dengan perubahan gerakan mata yang

ekstrim.

Perubahan posisi bola mata dapat mempengaruhi amplitude dan

frekuensi (intensitas) nistagmus. Khususnya pada jerk nistagmus murni, yang

memiliki null point (arah gerakan bola mata dimana pergerakan nystagmus

menghilang dan tajam penglihatan membaik) atau dapat mengurangi intensitas

dengan arah pergerakan bola mata kearah berlawanan komponen fast-phase

(analog dengan hukum Alexander untuk nystagmus vestibular). Posisi kepala

yang abnormal yang diakukan pasien dianggap bertujuan untuk mengurangi

nistagmus dapat menjadi gejala khas dari manifestasi kondisi awal

pemeriksaan.
45

A. Jenis Nistagmus pada Anak

Banyak jenis nistagmus yang dapat terjadi sebagai variasi dari

nistagmus kongenital pada beberapa pasien, ataupun bisa terjadi karena

didapat (acquired). Karakteristik nistagmus sering sulit untuk dibedakan,

perbedaan antara nistagmus kongenital dan didapat sangat penting karena

untuk mengetahui kondisi neuropatologi yang berhubungan pada jenis

nistagmus yang didapat.

Jenis-jenis nistagmus kongenital, antara lain:

1. Congenital Motoric Nystagmus (CMN)

Nistagmus motorik kongenital (sindrom nystagmus infantile) merupakan

gabungan nistagmus binokuler dengan beberapa gambaran spesifik. Nistagmus

jenis ini tidak berhubungan dengan abnormalitas system saraf pusat. Pasien

memiliki tajam penglihatan normal atau mendekati normal. Arah nystagmus

seringnya horizontal, dan tetap sama pada saat melihat kebawah atau keatas

(uniplanar).

CMN biasanya berkurang dengan konvergen dan oleh karena itu sering

berhubungan dengan esotropia. Kombinasi esotropia dan nistagmus sering

disebut nystagmus blockage syndrome, berbeda dengan beberapa kasus

dimana esotropia dan nistagmus terjadi bersamaan. Pasien dengan nystagmus

blockage syndrome memiliki ciri yaitu nistagmus timbul dengan esotropia yang

"eats up prism" pada saat pengukuran dan menunjukkan jerk nistagmus

meningkat pada saat melihat ke lateral.


46

2. Congenital sensory nystagmus (CSN)

Congenital sensory nystagmus terjadi secara sekunder dari gangguan

jaras visual aferen bilateral. Gambar yang tidak terbentuk sempurna

menyebabkan kegagalan perkembangan reflex fiksasi normal. Jika gangguan

jaras visual sudah terjadi sejak lahir, nistagmus akan tampak di usia 3 bulan.

Tingkat keparahan nistagmus tergantung dari derajat keparahan hilangnya

penglihatan. Bentuk nistagmus yang terjadi dapat berupa pendular atau jerk

dan tidak dapat dibedakan dari CMN.

Anak dengan nistagmus sensoris congenital sebagai akibat dari distrofi

retina dan tampak atenuasi ringan dari pembuluh darah, papil optik pucat, atau

gambaran retina yang normal. Untuk diagnosis pasti perlu dilakukan

elektroretinagram.

3. Periodic alternating nystagmus

Periodic alternating nystagmus (PAN; central vestibular instability

nystagmus) merupakan bentuk tidak biasa dari jerk nystagmus yang dapat

disebabkan secara kongenital maupun didapat. Penyebab dari PAN kongenital

masih belum diketahui, tapi beberapa literatur menyebutkan bahwa hal ini dapat

berhubungan dengan oculocutaneous albinism. Secara periodic, nistagmus

jenis ini dapat berubah arah. Gerakan biasanya dimulai dengan jerk nystagmus

satu arah; lalu nistagmus berkurang secara perlahan dan mencapai periode

tanpa nistagmus yang bertahan selama 10 sampai 20 detik.


47

4. Nistagmus laten

Bentuk lain dari nistagmus kongenital, nistagmus laten (fusion

maldevelopment nystagmus syndrome) merupakan nistagmus horizontal yang

merupakan penanda adanya gangguan perkembangan fusi.

Nistagmus laten terjadi pada anak-anak dengan penurunan kemampuan

fusi, sehingga menyebabkan strabismus early-onset (paling sering, esotropia

infantile) atau penurunan fungsi penglihatan pada satu atau kedua mata.

Karena nistagmus laten disebabkan saat salah satu mata tertutup, tajam

penglihatan binokuler lebih baik dibanding monokuler, dan oklusi tidak boeh

dilakukan saat pemeriksaan penglihatan monokuler. Nistagmus laten dapat

berkurang dengan fungsi dan meningkat seiring dengan adanya gangguan

pada fusi (contohnya yang terjadi jika dilakukan oklusi). Nistagmus laten dapat

menjadi manifes (nystagmus laten manifes) jika kedua mata terbuka tetapi

hanya 1 mata yang digunakan untuk melihat (misalnya pada keadaan mata

satunya tersupresi atau amblyopia).

B. Faden Procedure

Operasi Faden, juga sering disebut jahitan fiksasi posterior, digunakan

untuk melemahkan gerakan rotasi dari otot rektus saat mata berotasi terhadap

otot yang dilakukan prosedur faden.

Faden procedure dilakukan dengan menjahit otot rektus ke sklera. Hal tersebut

bertujuan untuk memfiksasi otot rektus di sklera, sehingga saat bola mata
48

berotasi, otot yang sudah difiksasi tidak ikut bergerak. Jahitan faden

membuat insersi otot baru lebih ke posterior dari insersi awal. Insersi baru ini

memperpedek gerakan otot saat bola mata berotasi kearah otot yang difaden.
9,10,11
49

Gambar 2 (a) Panjang normal momentum otot rektus pada posisi


primer (A-B).
Panjang momentum otot rektus sama dengan panjang jari-jari
bola mata.
(b) Jahitan Faden pada otot rektus 12 mm posterior dari insersi awal.
(c) Gerakan rotasi bola mata kea rah otot
yng difaden. Dikutip dari: Color Atlas
of Strabismus Surgery

Indikasi

Sebagian besar kasus, prosedur faden dikombinasikan dengan reses,

karena efek dari prosedur faden relative kecil. Faden paling efektif pada otot

rektus medial karena otot rektus medial memiliki arkus terpendek (6 mm).

Perubahan arkus otot rektus medial dapat berubah signifikan dengan prosedur

faden 12-14 mm. 9,11

Otot rektus lateral tidak banyak dipegaruhi dengan prosedur faden

karena memiliki arkus 10mm, dan fiksasi 12-14mm tidak terjadi perubahan yang

signifikan dikarenakan arkusnya yang memang sudah panjang. Oleh karena

itu, operasi faden biasanya diindikasikan untuk koreksi esotropia inkomitan,

dengan meningkatkan efek reses rektus medial. Selain esotropia inkomitan juga
50

disosiasi deviasi vertical, sindroma kompensasi nystagmus, dan nystagmus

pada posisi primer tanpa perubahan posisi kepala. 9,11


51

Teknik operasi

 Faden disertai reses otot rektus

Operasi faden membutuhkan lapangan operasi yang sangat jelas. Saat

melakukan insisi forniks, sangat penting untung memperluas insisi 4- 5 mm di


11
daerah otot rektus agar lapangan operasi dapat terlihat jelas.

Tahap awal reses otot rektus dan prosedur faden adalah untuk

mengamankan otot rektus dan disinsersi dari sklera. Setelah otot diulur,

dilakukan penjahitan fiksasi posterior di sklera 12-14 mm posterior dari insersi

otot rektus, di tengah arcus. Lebih baik dilakukan jahitan non absorbable.

Pemakaian spatulajuga dapat digunakan untuk menghindari komplikasi

perforasi sklera.9,11

 Faden tanpa disertai reses otot rektus

Operasi faden jarang dilakukan tanpa disertai reses otot rektus. Jika

deviasi pada posisi primer sangat kecil, prosedur ini dapat dilakukan untuk

mengkoreksi inkomitan lateral.11

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi dari prosedur faden adalah efek

yang diharapkan sering tidak maksimal. Jika prosedur faden dilakukan tanpa

reses rektus, fungsi otot tersebut hanya berubah secara minimal. Selain itu,

salah satu masalah yang sering terjadi pada prosedur faden adalah sulitnya

mendapatkan lapangan operasi sampai posterior yang jelas.


52

Komplikasi lain yang sering terjadi adalah nekrosis otot, terjadi jika jahitan terlalu

kencang. Selain itu, dapat menyebabkan sikatrik pada area yang dilakukan prosedur faden

jika lemak orbita terekspos saat diseksi posterior. Perforasi sklera dan robekan pada retina

merupakan resiko yang selalu harus diwaspadai pada setiap operasi strabismus, dan

harus lebih diperhatikan pada prosedur faden.9,10,11

3.4 Ambliopia

3.4.1 Definisi

Ambliopia adalah penurunan tajam penglihatan yang terjadi walaupun telah diberi

koreksi yang terbaik, dapat terjadi unilateral atau bilateral, yang tidak berhubungan

langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan posterior. 7 Ambliopia

merupakan cacat penglihatan sentral, sedangkan lapang pandang perifer biasanya dalam

batas normal.9

3.4.2 Epidemiologi

Ambliopia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

prevalensinya di kalangan anak-anak cukup tinggi dan karena gangguan penglihatan

akibat ambliopia berlangsung seumur hidup dan dapat menjadi parah. Perkiraan

prevalensi ambliopia pada anak usia 6 hingga 71 bulan berkisar antara 0,7% hingga

1,9%.10

Ambliopia bilateral lebih jarang daripada ambliopia unilateral, tetapi proporsi yang

dilaporkan sangat bervariasi yaitu 5% hingga 41% dari semua kasus ambliopia. Ambliopia

unilateral dikaitkan dengan strabismus pada 19%-50% kasus dan anisometropia pada

46%-79% kasus. Sekitar 50% anak dengan esotropia mengalami ambliopia pada saat

diagnosis awal. Kemungkinan ambliopia adalah 1,5-40 kali lebih besar pada

anisometropia, dan 2,7-8 kali lebih besar ketika ada strabismus.10

3.4.3 Faktor Risiko


53
Faktor risiko ambliopia lebih sering terjadi pada anak-anak yang prematur/kecil usia

kehamilan, memiliki keterlambatan perkembangan, atau memiliki kerabat tingkat pertama

dengan ambliopia. Faktor lingkungan, termasuk ibu yang merokok dan penggunaan obat

atau alkohol selama kehamilan telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko

ambliopia atau strabismus dalam beberapa penelitian. Namun, beberapa studi belum

menemukan hubungan antara ambliopia dan ibu yang merokok.10

3.4.4 Etiologi

Ambliopia disebabkan oleh input visual yang abnormal di awal kehidupan.

Beberapa penyebab ambliopia antara lain strabismus (terjadi sekitar 19%-50% kasus),

anisometropia (terjadi sekitar 46%-79% kasus), esotropia (sekitar 50% kasus), dan

deprivasi visual seperti kekeruhan lensa dan ptosis.10

3.4.5 Patofisiologi

Pada perkembangan awal pasca kelahiran, terdapat periode kritis perkembangan

kortikal di mana sirkuit saraf menunjukkan kepekaan yang meningkat terhadap

rangsangan lingkungan dan bergantung pada pengalaman sensorik alami untuk

pembentukan yang tepat. Selama periode ini, sistem visual yang berkembang rentan

terhadap input abnormal akibat deprivasi visual, strabismus, atau penurunan tajam

penglihatan signifikan akibat anisometropia atau isoametropia. Dengan pengalaman visual

yang abnormal di awal kehidupan, sel-sel korteks visual primer dapat kehilangan

kemampuannya untuk merespons rangsangan pada salah satu atau kedua mata, dan sel-

sel yang tetap responsif menunjukkan defisiensi fungsional yang signifikan. Defisiensi

korteks visual dapat menjelaskan fenomena crowding, di mana optotipe lebih mudah

dikenali ketika diisolasi. Abnormalitas juga ditemukan pada neuron di dalam korpus

genikulatum lateral, tetapi retina pada ambliopia pada dasarnya normal. Jaras penglihatan

tidak berkembang baik, otak mematikan fungsi mata yang tidak fokus dan bergantung

pada satu mata untuk melihat.9


54
3.4.6 Klasifikasi

1. Ambliopia Strabismik

Ambliopia strabismik terjadi karena interaksi yang berlawanan antara neuron yang

membawa input nonfusible dari kedua mata. Korteks visual didominasi oleh input dari

mata yang terfiksasi, sehingga responsivitas terhadap mata yang tidak terfiksasi menurun.

Penekanan input yang konstan dari mata yang sama dapat menyebabkan ambliopia.

Heterotropia adalah deviasi yang paling mungkin menyebabkan ambliopia.9

2. Ambliopia Refraksi

Ambliopia refraksi dihasilkan dari retina yang mengalami pengaburan secara terus-

menerus pada satu atau kedua mata. Terdiri dari dua jenis, sebagai berikut :9

A. Ambliopia Anisometropia

Pada ambliopia anisometropik, perkembangan peng lihatan terganggu karena daya

refraksi yang tidak sama menyebabkan bayangan yang diproyeksikan ke salah satu atau

kedua retina menjadi tidak jelas. Hal ini dapat menyebabkan sel-sel korteks visual primer

kehilangan kemampuannya untuk merespons rangsangan pada salah satu atau kedua

mata, dan sel-sel yang tetap responsif menunjukkan defisiensi fungsional yang signifikan,

sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan walaupun telah diberi koreksi yang terbaik.

Tingkat anisometropia yang sering menyebabkan ambliopia adalah >1,50 D pada

anisohiperopia, 2,00 D pada anisoastigmatisme, dan 3,00 D pada anisomiopia. Mata anak

dengan ambliopia anisometropik biasanya tampak normal bagi keluarga dan dokter pada

fasilitas primer, sehingga hal ini dapat menunda deteksi dan pengobatan.9
55
B. Ambliopia Isometropia

Ambliopia akibat penurunan tajam penglihatan bilateral akibat defokus gambar

retina kronis, yang disebabkan oleh kesalahan refraksi yang sama besar yang tidak

dikoreksi pada kedua mata. Disebabkan oleh hiperopia >4,00–5,00 D dan miopia >5,00–

6,00 D. Ambliopia meridional adalah ambliopia akibat astigmatisma tinggi bilateral yang

dapat menyebabkan hilangnya kemampuan khusus untuk meridian yang kabur secara

kronis. Dokter mata merekomendasikan koreksi untuk mata dengan silinder lebih dari

2,00-3,00 D.9

3. Ambliopia Deprivasi Visual

Merupakan ambliopia yang disebabkan oleh kelainan mata yang menghalangi

sumbu visual atau mengganggu penglihatan sentral. Penyebabnya antara lain katarak

kongenital/acquired, blepharoptosis, lesi periokular yang menghalangi sumbu visual,

kekeruhan kornea, dan perdarahan vitreous. Pada anak-anak di bawah 6 tahun, katarak

pada 3 mm sentral dapat menyebabkan amblyopia deprivasi visual yang parah.9


56

3.4.7 Pemeriksaan

1. Uji crowding phenomena

Penderita diminta membaca huruf Snellen sampai huruf terkecil yang dibuka

satu per satu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh

melihat sebaris huruf yang sama. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf

isolasi ke huruf dalam baris maka ini disebut adanya fenomena ‘crowding’ pada mata

tersebut yang menandakan terjadi ambliopia.

2. Uji densiti filter

Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-lahan digelapkan sehingga tajam

penglihatan pada mata normal turun 50%, pada mata ambliopia fungsional tidak akan

atau hanya sedikit menurunkan tajam penglihatan pada pemeriksan sebelumnya

sedangkan pada ambliopia organik tajam penglihatan akan sangat menurun.14

3.4.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi ambliopia adalah memperoleh visus normal pada kedua mata,

memperoleh kedudukan bola mata yang sempurna, memperoleh kemampuan steroskopis

yang sempurna. Dasar terapi ambliopia dengan cara menjernihkan media optik (hilangkan

semua faktor yang menganggu visus), koreksi kelainan refraktif, meluruskan posisi bola

mata sedini mungkin, menggunakan tehnik oklusi atau penalisasi untuk merangsang mata

dengan ambliopia. Keberhasilan dari terapi ambliopia dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu: usia terjadinya ambliopia, ketaatan terapi, pola fiksasi dan visus awal.
57

3.5 Kelainan Refraksi

3.5.1 Miopia

Miopia atau rabun jauh yaitu berkurangnya kemampuan untuk melihat jauh akan

tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Apabila bayangan dari benda yang terletak

jauh berfokus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi maka disebut

mengalami miopia (Gambar 3). Terdapat dua pendapat yang menerangkan penyebab

miopia antara lain berhubungan dengan faktor herediter dan lingkungan.7

Gambar 3. Bagan Miopia yang disederhanakan


(Dikutip dari Cantor LB, et al. Basic and Clinical Science Course: Section 3; Clinical
Optics. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology, 2019)

Dikenal beberapa bentuk miopia antara lain:

1. Miopia refraktif: bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti kornea

dan lensa.

2. Miopia aksial: akibat panjangnya sumbu bola mata dengan

kelengkungan kornea dan lensa yang normal.


58

Menurut derajatnya miopia dibagi beberapa tingkat yaitu:

- Miopia ringan: < 1-3 D

- Miopia sedang: < 3-6 D

- Miopia berat atau tinggi: >6 D

Penderita miopia akan mengeluhkan penglihatan kabur saat melihat jauh, hanya

jelas pada jarak tertentu atau dekat. Keluhan sakit kepala dapat dirasakan namun jarang.

Seseorang dengan miopia akan sering mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi

sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).18

Pemeriksaan funduskopi akan ditemukan miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit

yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopik. Selain itu juga dapat ditemukan

stafiloma posterior, atrofi korioretina, degenerasi makula, dan degenerasi retina bagian

perifer.17

Penyulit pada miopia adalah terjadinya ablasio retina, juling, dan glaukoma. Hal ini

tentunya akan menyebabkan kehilangan lapangan pandang, penurunan visus yang

ekstrim, bahkan kebutaan.17

3.5.2 Astigmatisme

Astigmat berasal dari bahasa Yunani, “a” yang berarti tidak dan “stigma” yang

artinya titik. Astigmat merupakan suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan

dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina

tidak pada satu titik melainkan pada banyak titik. 17


59
Etiologi dari astigmat bisa diakibatkan oleh adanya kelainan pada kelengkungan,

pusat atau indeks bias dari bagian-bagian mata. Kelainan kelengkungan pada kornea

merupakan yang tersering mengakibatkan astigmat dimana lengkung vertikal lebih besar

dari lengkung horizontal. Kelainan ini biasanya kongenital dan ditemukan pada 68% dari

anak-anak berumur 4 tahun sedangkan anak umur 7 tahun ditemukan sebanyak 95%.

Berdasarkan letak titik–titik fokus pembiasan yang ada, astigmat dibagi

atas:

a. Astigmat regular

Disini semua titik pembiasan letaknya pada sumbu penglihatan. Terdapat dua bidang

utama dengan daya pembiasan terkuat dan terlemah. Berdasarkan dua bidang tersebut

astigmat regular dibagi atas (Gambar 4):

- astigmatisma miopia simplek, salah satu meridian utama

emetropia dan meridan utama lainnya miopia

- astigmatisma miopia kompisitus, kedua meridian utama miopia dengan

derajat yang berbeda

- astigmatisma hipermetropia simplek, salah satu meridian utama

emetropia dan meridian utama lainnya hipermetropia

- astigmatisma hipermetropia kompositus, kedua meridian utama

hipermetropia dengan derajat yang berbeda

- astigmatisma mikstus, satu meridian utama hipermetropia dan

meridian utama lain miopia.


60

Gambar 4. Bagan klasifikasi astigmatisme regular yang disederhanakan (Dikutip


dari Cantor LB, et al. Basic and Clinical Science Course: Section 3; Clinical
Optics. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology, 2019)

b. Astigmatisme iregular

Apabila permukaan kornea tidak teratur atau lapisan – lapisan kornea terdapat

kekeruhan sehingga sinar yang dibiaskan menjadi tidak teratur dan tidak terdapat dua

meridian ekstrim yang saling tegak lurus yang membiaskannya.


61
62
BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang anak laki-laki An. Z, usia 10 tahun datang berobat

ke RSMH dengan keluhan kedua mata terlihat juling ke dalam sejak lahir. Juling semakin

lama semakin bertambah besar. Keluhan dikatakan terlihat lebih jelas saat pasien

melamun dan lelah. Keluhan lain seperti pandangan kabur dan penglihatan ganda tidak

ada. Pada pemeriksaan oftalmologi, didapatkan acies visus pada mata kanan pasien

adalah 6/21 dengan koreksi C-2.75 X 175 O


6/7.5 sedangkan mata kiri 6/60 dengan

koreksi S-3.25 C-2.00 X 35 O6/7.5. Hal ini menunjukkan adanya Astigmatisme Myopia

Simpleks Okuli Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus Okuli Sinistra. Pada

pemeriksaan visus mata kanan dan kiri, terdapat penurunan tajam penglihatan walaupun

telah diberi koreksi yang terbaik dan pada pasien juga dilakukan crowding didapatkan

crowding phenomena (-) dan amblyogenic factor(+) sehingga pasien didagnosis

dengan Ambliopia Okuli Dextra Sinistra. Pada pasien ini juga dijumpai nistagmus pada

mata kanan kiri sehingga pasien juga didiagnosis dengan Nystagmus Okuli Dekstra

Sinistra. Pada Hirschberg test ET 15° ODS. Tes Hirschberg dilakukan untuk menilai

kedudukan bola mata dan derajat deviasi bola mata abnormal dengan melihat refleks

cahaya pada kornea. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan Alternate Cover Test (ACT).

Tes alternate cover mendeteksi penyimpangan laten (heteroforia) dan manifes

(heterotropia). Saat pasien melihat target, pemeriksa menggerakkan okluder dari satu

mata ke mata lainnya, mengamati arah pergerakan masing-masing mata saat terbuka.

Pengujian harus dilakukan pada fiksasi jauh dan dekat. Pada pemeriksaan ACT pada
pasien ini didapatkan shifting (+) alternan dimana kedua mata fiksasi secara bergantian.

Pada pemriksaan ini juga didapatkan perbedaan Esodeviasi dimana pada fiksasi jauh

sebesar 30 PD Esotropia dan pada fiksasi dekat 45 PD Esotropia. Hal ini menunjukkan

adanya esodeviasi melihat dekat lebbih besar dibandingkan dengan melihat jauh sehingga

disebut Convergence Excess Pemeriksaan segmen anterior dan posterior menunjukkan

hasil yang normal. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi diatas, maka

ditegakkan diagnosis Esotropia Convergence Excess Alternan + Astigmatsime Myopia

Simpleks Okuli Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus Oculi Sinistra + Amblyopia

Oculi Dextra Sinistra + Nystagmus Oculi Dextra Sinistra.

58
Pasien mengalami gangguan penglihatan sejak usia kurang dari 6 bulan ditandai

dengan adanya nistagmus. Nistagmus merupakan suatu kelainan yang disebabkan oleh

tidak berkembangnya reflek fiksasi pada anak yang puncaknya terjadi pada usia 6 bulan.

Hal ini menyebabkan anak mengalami gangguan penglihatan. Setelah dikoreksi dengan

bcva didapatkan mata kanan pasien dengan koreksi C –2,75 X 175°→ 6/7.5 sedangkan

mata kiri dengan koreksi S –3,25 C –2,00 Ax 35° → 6/7.5. Adanya ketidakmampuan fusi

divergen untuk mengimbangi peningkatan tonus konvergen tersebut menyebabkan

esotropia yang disebabkan oleh kontraksi dari otot rektus medius yang terjadi secara terus

menerus.

Pada pasien ini juga terdapat ambliopia. Ambliopia isometropia dimana Ambliopia

akibat penurunan tajam penglihatan bilateral akibat defokus gambar retina kronis, yang

disebabkan oleh kesalahan refraksi yang sama besar yang tidak dikoreksi pada kedua

mata. Disebabkan oleh hiperopia >4,00–5,00 D dan miopia >5,00–6,00 D. Ambliopia

meridional adalah ambliopia akibat astigmatisma tinggi bilateral yang dapat menyebabkan

hilangnya kemampuan khusus untuk meridian yang kabur secara kronis. Perkiraan

prevalensi ambliopia pada anak usia 6 hingga 71 bulan berkisar antara 0,7% hingga 1,9%.

Ambliopia bilateral lebih jarang daripada ambliopia unilateral, tetapi proporsi yang

dilaporkan sangat bervariasi yaitu 5% hingga 41% dari semua kasus ambliopia. Ambliopia

unilateral dikaitkan dengan strabismus pada 19%-50% kasus dan anisometropia pada

46%-79% kasus. Sekitar 50% anak dengan esotropia mengalami ambliopia pada saat

diagnosis awal.10
59
60

Ambliogenik faktor pada pasien ini berupa myopia, astigmatisme dan strabismus.

Hubungan ambliopia dan strabismus dapat berkaitan karena interaksi yang berlawanan

antara neuron yang membawa input nonfusible dari kedua mata. Korteks visual

didominasi oleh input dari mata yang terfiksasi, sehingga responsivitas terhadap mata

yang tidak terfiksasi menurun. Penekanan input yang konstan dari mata yang sama dapat

menyebabkan ambliopia. Ambliopia juga dapat menyebabkan strabismus baru atau

memperparah strabismus. Pasien dengan ambliopia akan memiliki kelainan binokular

seperti gangguan ketajaman stereoskopik dan sumasi binokular yang abnormal.

Strabismus baru atau dekompensasi strabismus juga dapat terjadi karena gangguan fusi

binokular. Sedangkan hubungan ambliopia dan anisometropia adalah karena adanya

gangguan perkembangan penglihatan disebabkan daya refraksi yang tidak sama sehingga

bayangan yang diproyeksikan ke salah satu atau kedua retina menjadi tidak jelas. Hal ini

dapat menyebabkan sel- sel korteks visual primer kehilangan kemampuannya untuk

merespons rangsangan pada salah satu atau kedua mata, dan sel-sel yang tetap

responsif menunjukkan defisiensi fungsional yang signifikan, sehingga terjadi penurunan

tajam penglihatan walaupun telah diberi koreksi yang terbaik. Ambliopia juga berhubungan

dengan keadaan astigmatisme bilateral. Ambliopia meridional adalah ambliopia akibat

astigmatisme tinggi bilateral yang dapat menyebabkan hilangnya kemampuan khusus

untuk meridian yang kabur secara kronis. 9


61

Nistagmus pada pasien ini adalah nistagmus tipe fusion maldevelopment nystagmus

syndrome (FMNS). FMNS terkait kuat dengan gangguan perkembangan binokular pada

masa bayi, baik dari strabismus atau deprivasi penglihatan spasial monokular (ambliopia).

Perkembangan fungsi sensorik dan motorik binokular pada bayi dimulai sekitar usia 1

bulan. Binokularitas dimulai dengan hubungan horizontal antara kolom dominasi okular V1

(ODCs) dari okularitas yang berlawanan. Koneksi ini belum matang pada minggu-minggu

pertama kehidupan ditandai dengan respons binokular lemah yang kasar. Pematangan

koneksi binokular membutuhkan aktivitas yang sinkron antara mata kanan dan input

genikulostriat mata kiri. Adanya dekorrelasi input yang dihasilkan oleh nonkorespondensi

binokular, menyebabkan hilangnya koneksi horizontal. Jika pematangan normal

binokularitas terhambat oleh ketidaksejajaran mata atau deprivasi monokular, bias ke

arah nasal tetap ada dan menjadi jelas. Penyebab klinis paling umum dari dekorrelasi

binokular adalah strabismus yaitu paling sering esotropik (konvergen). 15 Kemampuan

untuk fiksasi secara mantap biasanya diperoleh pada usia 6 bulan pertama kehidupan,

apabila pada tahap ini terjadi kehilangan penglihatan monokular maka dapat

mengakibatkan fiksasi terganggu dan kehilangan penglihatan bilateral dapat muncul

dengan nistagmus. Fiksasi bergantung pada refleks yang dimediasi secara visual

(optokinetik dan pelacakan pengejaran yang mulus), yang bergantung pada kemampuan

otak untuk menentukan kecepatan target pada retina dan mencocokkannya dengan

kecepatan mata. Perhatian dan refleks yang diperlukan untuk mengarahkan fovea ke arah

objek yang penting, dan kemampuan untuk menekan saccade yang tidak memadai, juga

mempengaruhi kemampuan untuk memfiksasi. Sehingga apabila terjadi gangguan visual

misalnya katarak kongenital, strabismus dan ambliopia, maka menghasilkan fiksasi yang
62

tidak stabil dan terjadi nistagmus.17


63

Tujuan utama penatalaksanaan strabismus adalah mengembalikan penglihatan

binokular normal baik dengan tindakan bedah maupun tindakan non bedah. Pada pasien

ini, direncakana untuk dilakukan tatalaksana berupa prosedur Recess Medial Rectus Oculi

Dextra dan Faden Rectus Lateral Oculi Sinistra adalah tindakan yang bertujuan untuk

melemahkan otot rectus medial kanan, otot dilepas dari mata dan dibebaskan dari

perlekatan fasia, kemudian otot tersebut dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di

belakang insersinya semula. 1,19,20

Pada intraoperatif, dilakukan diawali dengan Resess Muskulus Rektus Medial Okuli

Dekstra 10 mm dengan cara dijahitkan 3 mm di belakang insersi awal ke sclera dan

adjustable suture secara hangback 7 mm. Kemudian dilakukan Faden Muskulus Rectus

Lateral Kiri dengan cara penjahitan Rektus Lateral 2 mm dibelakang insersi langsung

dijahitkan ke daerah setengah ketebalan sklera dengan jahitan djoko sarwono dan di

simpul sebanyak 7 kali.


64

Pada follow up 1 hari setelah operasi, pemeriksaan Hirschberg test kedudukan

bola mata didapatkan ortoforia. Pada Alternate Cover Test (ACT) tidak didapatkan shifting.

Pada Tajam penglihatan didapatkan acies visus pada mata kanan pasien adalah 6/21

dengan koreksi C –2,75 Ax 175°→ 6/7.5 sedangkan mata kiri 6/60 dengan koreksi S –3,25

C –2,00 Ax 35°→ 6/7.5. Post operatif akan terus dilakukan observasi untuk menilai

kedudukan bola mata dan kemungkinan terjadinya komplikasi. Perawatan setelah operasi

adalah pemberian antibiotika, antiinflamasi sistemik dan topikal, analgetik, serta

pemakaian kaca mata goggle untuk mencegah terjadinya infeksi. Pada pasien didapatkan

adanya Astigmatisme Myopia Simpleks Okuli Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus

Okuli Sinistra akan direncanakan untuk dibuatkan kacamata. Prognosis pada penderita ini

quo ad vitam bonam, quo ad functionam adalah bonam, dan quo ad sanationam bonam.

Prognosis quo ad vitam bonam pada pasien ini karena tidak ditemukan kelainan lain yang

mengancam jiwa pada pasien ini


65
BAB V
KESIMPULAN

Telah diuraikan sebuah kasus Esotropia Convergence Excess Alternan +

Astigmatisme Myopia Simpleks Okuli Dextra + Astigmatisme Myopia Compositus Okuli

Sinistra + Amblyopia Okuli Dextra Sinistra + Nystagmus Oculi Dextra Sinistra yang

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan ditatalaksana dengan

Recess Rectus Medial Okuli Dekstra + Faden Rectus Lateral Okuli Sinistra. Keadaan

myopia astigmatisme, esotropia, amblyopia dan nystagmus pada pasien ini berhubungan

satu sama lain. Esotropia dapat terjadi karena dominasi fusi konvergen sebagai akibat

dari gangguan refraktif dan perkembangan visual pada pasien ini. Selain itu, esotropia

juga menjadi salah satu ambliogenik faktor bersama dengan myopia dan astigmatisme

yang mengakibatkan terjadinya amblyopia pada pasien ini.

66
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmmology. (2022). Pediatric Ophthalmology and

Strabismus: Esodeviations. San Francisco. Section 6.

2. Brodsky, M. C. (2016). Pediatric neuro-ophthalmology. Springer Science &

Business Media.

3. Nash, D. L., Diehl, N. N., & Mohney, B. G. (2017). Incidence and types of

pediatric nystagmus. American journal of ophthalmology, 182, 31- 34.

4. Hussain, N. (2016). Diagnosis, assessment and management of nystagmus in

childhood. Paediatrics and Child Health, 26(1), 31-36.

5. Hennein, L., & Robbins, S. L. (2021). Heavy eye syndrome: Myopia- induced

strabismus. Survey of Ophthalmology, 66(1), 138-144.

6. Ranka, M. P., & Steele, M. A. (2015). Esotropia associated with high myopia.

Current opinion in ophthalmology, 26(5), 362-365.

7. Kekunnaya, R., Chandrasekharan, A., & Sachdeva, V. (2015).


Management of strabismus in myopes. Middle East African journal of
ophthalmology, 22(3), 298.
8. Papageorgiou, E., McLean, R. J., & Gottlob, I. (2014). Nystagmus in childhood.

Pediatrics & Neonatology, 55(5), 341-351.

9. American Academy of Ophthalmmology. (2020). Pediatric Ophthalmology and

Strabismus: Disorders of the Retina and Vitreous. San Francisco. Section 12.

p358-360

67
68

10. Wallace, D. K., Repka, M. X., Lee, K. A., Melia, M., Christiansen, S. P.,

Morse, C. L., & Sprunger, D. T. (2018). Amblyopia preferred practice Pattern®.

Ophthalmology, 125(1), P105-P142.

11. Kazlas, M. (2017). Corneal Diseases in Children: Amblyopia Management. In

Corneal Diseases in Children (pp. 133-142). Springer, Cham.

12. Gallin, P. F. (2019). Amblyopia. In The Columbia Guide to Basic Elements of Eye

Care (pp. 453-458). Springer, Cham.

13. France, L. W. (2006) Evidence-Based Guidelines for Amblyogenic Risk Factors,

American Orthoptic Journal, 56:1, 7-14.

14. Blair, K., Cibis, G., & Gulani, A. C. (2021). Amblyopia. StatPearls.

Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430890/

15. Tychsen, L., Richards, M., Wong, A., Foeller, P., Bradley, D., & Burkhalter, A.

(2010). The neural mechanism for latent (fusion maldevelopment) nystagmus.

Journal of Neuro-Ophthalmology, 30(3), 276-283.

16. Horwood, A. M. (2019). Typical and atypical development of ocular alignment

and binocular vision in infants–the background. American Academy of

Ophthalmology.

17. Michelle L. How to detect myopia in the eye clinic. Eye Health.

2019;32(105):201915.

18. Khurana AK. 2014. Comprehensive Ophthalmology, Fifth edition. New

Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers


69

19. Aring, E., Gronlund, M. A., Hellstrom, A., & Ygge, J. (2007). Visual fixation

development in children. Graefe's Archive for Clinical and Experimental

Ophthalmology, 245(11), 1659-1665.

20. Zhu, H., Yu, J. J., Yu, R. B., Ding, H., Bai, J., Chen, J., & Liu, H.

(2015). Association between childhood strabismus and refractive error

in Chinese preschool children. PloS one, 10(3), e0120720.

Anda mungkin juga menyukai