MAKALAH Kelompok 6 Makul Konseling Lintas Budaya
MAKALAH Kelompok 6 Makul Konseling Lintas Budaya
MAKALAH Kelompok 6 Makul Konseling Lintas Budaya
KELAS IV B
MASITA (921862010052)
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Pertama-pertama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah
SWT, Karena tanpa rahmat dan ridhanya, kita tidak dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Dinamika kelompok dengan baik dan
selesai tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat
KELOMPOK 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4
C. Tujuan........................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. Strategi Konseling.....................................................................................................................6
B. Analisis Strategi Konseling Berwawasan Budaya Indonesia.....................................................8
C. Konsep Konseling Lintas Budaya..............................................................................................9
D. Karateristik Konselor dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya.........................................9
E. Keterampilan, Sikap dan Persyaratan Konselor Lintas Budaya...............................................10
F. Persepektif Stategi Pendidikan Bewawasan Budaya Indonesia................................................11
G. Visualisasi Strategi Pendidikan dan Bimbingan Bewawasan Budaya Indonesia......................15
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..............................................................................................................................17
B. Saran........................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi
hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan yang
optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya.proses tersebut dapat terjadi setiap
waktu.konseling meliputi hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-
kebutuhan,motivasi,dan potensi-potensi yang unik dari individu untuk
mengoperasikan ketiga hal tersebut.
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda,dan karna itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif.Agar berjalan efektif maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan
budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya,mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsive secara
cultural.
Strategi konseling yang dipilih oleh konselor untuk membantu memecahkan
masalah konseli merupakan komponen penting dalam proses konseling. Suatu strategi
konseling biasanya berkaitan dengan teori atau model konseling tertentu, masing-
masing teori atau model konseling memiliki seperangkat strategi konseling yang
terintegrasi kedalam keseluruhan proses konseling. Thompson (2003) menyatakan
bahwa saat ini telah ada lebih dari 300 strategi konseling dari berbagai orientasi
teoritik.
Bolbired (1983) menyatakan, sangat sering terjadi aturan untuk memilih
strategi tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Untuk membuat keputusan
klinis yang demikian sulit ini, tergantung pada kepekaan konselor untuk mengenali
kunci-kunci yang tersamar dalam interaksi klinis, memahami saling interaksi antara
bermacam-macam pola tingkah laku dan gaya hidup dan apresiasi yang tajam tentang
kekuatan-kekuatan lingkungan dan kemungkinan-kemungkinan yang lain yang
mengarahkan kehidupan konseli.
Pengetahuan dan aturan-aturan tersebut tidak ditemukan dalam literatur, tetapi
justru datang dari pengalaman-pengalaman konselor sebelumnya dalam interaksi
sosial, pengalaman klinis yang aktual.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada pada permasalahan ini yaitu untuk
mengetahui apa saja analisis strategi konseling berwawasan budaya indonesia?
C. Tujuan
Adapun rumusan masalah yang ada pada permasalahan ini yaitu untuk
mengetahui apa saja analisis strategi konseling berwawasan budaya indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Strategi Konseling
Dalam strategi bimbingan konseling, dapat diartikan sebagai rencana yang
cermat mengenai kegiatan untuk konseling baik individu atau kelompok agar bisa
mandiri dan berkembang optimal melalui berbagai layanan berdasarkan norma yang
berlaku. Suatu prosedur konseling akan selalu digunakan bagi setiap konseli. Seorang
konselor hendaknya selalu berusaha mempunyai suatu rencana atau suatu rasional
terhadap cara apa saja yang dia tempuh. Tahap memilih suatu strategi konseling
adalah sangat penting dalam keseluruhan proses konseling. Eisenberg dan Delancy
(1977) menyatakan bahwa “timing” memilih suatu strategi sebelum waktunya dapat
mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk keberhasilan penggunaan strategi.
Penggunaan suatu strategi sebelum waktunya dapat mempunyai pengaruh yang sangat
jelek tehadap keberhasilan proses konseling. Ada empat pedoman yang dapat
digunakan untuk mempertimbangkan “timing” (saat) yang tepat untuk
memperkenalkan suatu strategi yaitu:
1. Kualitas hubungan, Hacney dan Cormier (1979) okun (1982), menyatakan bahwa
suatu strategi konseling mungkin tidak efektif apabila hubungan konseling belum
terjalin dengan baik. Hubungan konseling yang baik dapat membantu konseli
membuat transisi dari dukungan lingkungan ke dukungan diri sendiri. Bagaimana
cara mengetahui bahwa suatu hubungan telah cukup kuat untuk memberikan
dorongan yang dibutuhkan konseli? Sekali lagi, hal itu mungkin berbeda-beda
untuk masing-masing konseli, tetapi ada indikator dari “kualitas”suatu hubungan
sebaagai berikut :
a) Konseli memberi balikan secara verbal yang menunjukkan bahwa konselor
mengerti perasaan atau permasalahan konseli secara tepat.
b) Konseli menunujukan kemauan untuk melibatkan diri dalam konseling
dengan jalan: datang tepat waktu, hadir dalam pertemuan-pertemuan,
menyeleseikan tugas-tugas rumah, mengungkapkan masalah pribadi, dan
berbagi perasaan kepada konselor.
c) Konseli dan konselor membahas atau mendiskusikan segala sesuatu yang
memungkinkan terbukanya komunikasi
d) Konselor merasa nyaman dalam mengkonfrontir, mengungkapkan dan
menggunakan respon-respon lain terhadap konseli. Jika konselor telah
mendapati kondisi-kondisi tersebut diatas saat melakukan hubungan
konseling, maka konselor cukup tepat waktunya untuk memperkenalkan
strategi konseling kepada konseli.
2. Asesmen masalah, nampaknya tidak tepat untuk menyarankan penggunaan suatu
strategi apabila problem konseli belum dianalisis secara memadai. Disebabkan
masalah belum dianalisis secara memadai, memungkinkan konselor memilih
strategi yang tidak cocok atau tidak relevan. Dalam beberapa hal, konseli
hendaknya diberi kesempatan untuk merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan ini
agar dia berperan dalam menentukan waktu yang cocok untuk menggunakan
strategi.
3. Tujuan konseling jika konselor memperkenalkan suatu strategi sebelum tujuan
konseling terbentuk, maka hal itu merupakan suatu kesalahan. Karena suatu
strategi merupakan cara untuk memperlancar tercapainya suatu tujuan, tujuan
yang operasional merupakan suatu syarat untuk pemilihan suatu strategi. Jadi
konselor dan konseli telah dapat mendeskripsikan tujuan konseling yang di
inginkan sebelum konselor menyarankan suatu cara untuk mencaqpai tujuan
tersebut.
4. Kesiapan dan komitmen konseli untuk bertindak merupakan pedoman ke empat
yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan “timing”dari pemilihan strategi.
Pelaksanaan suatu strategi akan tergantung pada kualitas hubungan, ketepatan
penilaian atau analisis masalah, terbentuknya hubungan konseling yang jelas,
tingkah laku konseli yang menunjukkan kesiapan untuk bertindak, dan
pengumpulan data pokok/dasar. Ada beberapa kriteria untuk memilih strategi.
Beberapa ahli seperti Gabriel (1977), Goldfried dan Davison (1976), Okun (1982),
Shaffer (1976), mengusulkan ada enam kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih strategi yaitu:
a. Pilihan konselor
b. Data dokumentasi
c. Faktor-faktor lingkungan
d. Sifat dari masalah konseli
e. Tujuan yang diinginkan
f. Pilihan konseli
Dalam memilih strategi ke-enam ini hendaknya dipertimbangkan meskipun
yang paling penting adalah sifat masalah konseli dan petunjuk-petunjuk serta pola
diagnostik. Strategi konseling hendaknya dugunakan apabila merupakan peluang
tebaik untuk menolong konseli menyeleseikan problem secara efektif. Suatu
strategi konseling dikatakan efektif bila mempunyai 12 ciri, yaitu:
1. Mudah dilaksanakan
2. Sesuai dengan ciri-ciri dan kesengan konseli
3. Sesuai dengan problem dan faktor yang bekaitan
4. Bersifat positif dan tidak bersifat menghukum
5. Mendorong berkembangnya keterampilan mengelola diri (self-
management)
6. Memperkuat kepercayaan konseli terhadap kemampuan dirinya
7. Didukung oleh literatur
8. Dapat dikerjakan dan praktis
9. Tidak menciptakan problem tambahan bagi konseli atau bagi orang
penting lainnya
10. Tidak membebani konseli atau orang penting lainnya dengan melakukan
banyak kegiatan
11. Tidak melampaui apa yang dapat dipertangung jawabkan oleh konselor
12. Tidak mengulangi atau bertumpu pada strategi yang tidak berhasil
sebelumnya
B. Analisis Strategi Konseling Berwawasan Budaya Indonesia
Konseling berwawasan lintas budaya adalah konselor yang memiliki kepekaan
budaya dan mampu melepaskan diri dari bias-bias budaya mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya dan memiliki keterampilan yang responsif secara
kultural dalam melakukan konseling lintas budaya berwawasan Indonesia maka ke
punya kompetensi untuk mengoptimapkan proses konseling karena sangat banyaknya
ragam etnis suku maupun budaya di Indonesia ini yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu. Dalam
pengertian budaya ada tiga elemen yaitu:
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsive secara cultural.
Ketiga matra tersebut hendaknya dijadikan objek orientasi pendidikan yang tidak
hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini, kehidupan itu sendiri mengarah
pada masa depan, bukan surut kebelakang waktu. Dengan kata lain, lembaga
pendidikan harus berupaya merebut dan menginternalkan masa depan kehidupan
masyarakat yang majemuk pada masa kni melalui strategi pendidikan yang tepat.
Hasil studi tentang pelaksanaan program pembaruan dibidang pendidikan (1999-
2000) didelapan provinsi merekomendasikan perlunya pembinaan kesatuan bangsa
melalui bidang pendidikan. Implementasi pembinaan tersebut hendaknya diwujudkan
dalam bentuk penciptaan lembaga-lembaga pendidikan didaerah yang becorak budaya
binneka tunggal ika melalui strategi pendidikan yang menumbuh kembangkan nilai-
nilai religius, teoritik, ekonomi, humanistik, politik dan estetika secara terpadu.
Dalam rekomendasi studi dinyatakan, bahwa langkah-langkah operasional tentang
pembinaan, kesatuan bangsa yang dimaksud hendaknya sejalan dengan otonomi
daerah. Adapun yang menjadi dasar pertimbangannya yaitu:
1. Setiap daerah berpotensi untuk mengembangkan kebinnekaan yang unggul,
sehingga apabila teraktualisasikan melalui pendidikan, maka akan memperkuat
keikatan bangsa indonesia.
2. Strategi pendidikan yang memadukan nilai-nilai termasuk meuupakan salah satu
langkah kebijakan yang demokrasi dalam rangka pembedayaan daerah melalui
bidang pendidikan.
Selanjutnya, dalam uji coba implementasi program pendidikan berwawasan
kebangsaan (2002-2003) pada sebelas provinsi dan melibatkan SLTP sampel
diperoleh gambaran, bahwa progam tersebut berdampak positif dan konstruktif
terhadap pembagunan bangsa yang bersemboyan Binneeka Tunggal Ika melalui
pendidikan dalam wujud aktifitas yang bersifat rekreatif, kreatif, dan inovatif serta
sesuai dengan karakteristik khas daerah masing-masing. Guna mengembangkan
manusia yang dapat hidup dan mampu mengahadapi masa depan yang dimaksud,
pendidikan seyogyanya diorientasikan pada kondisi masa depan dan karakteristik
manusia sebagai sumberdaya dan wahana belajar sepanjang hayat.
Petter jarvis (1992), menggambarkan bahwa proses belajar manusia berlangsung
dalam kondisi paradoks, yakni suatu kondisi yang tumbuh dari kulminasi kontradiksi
kehidupan dalam masyarakat. Masalah-masalah yang muncul dalam paradoks tersebut
bukanlah semata-mata masalah ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan sosial,
melainkan masalah kemanusiaan. Hal ini mengisyaratkan, bahwa upaya yang
intervensi, sistematik, diperlukan untuk membawa umat manusia kearah yang lebih
cerah dan bermutu agar tidak tejerumus kejurang kenistaan.
Suatu hal yang menguntungkan bagi manusia, karena Bronowski Sunaryo
Kartadinata (2000) manusia memiliki atau memiliki masa belajar yang panjang,
fleksibilitas, dan plastisitas berfikir, yang membuat dirinya mampu berimajinasi,
merekonstruksi, dan memaknai pengalaman masa lalu serta membentuk,
mengklarifikasi, dan mengantisipasi kepuasan-kepuasan yang dapat dicapainya pada
masa yanga akan datang.
Pendidikan yang berorientasi pengembangan individu manusia sebagai pribadi
yang bermutu pada dasarnya adalah pendidikan yang berpangkal tolak pada
pengembangan diri, dan bertujuan kembali kepada persoalan pribadi yang
mengintegrasikan relasi atau nafsani dan jasmani dalam kesatuan wujudnya. Jadi,
membina pribadi berarti membanguin insan seutuhnya, yang berasaskan
keseimbangan anatara pembangunan fisik, materil dengan fisik religius. Dalam
konsep islam, orientasi ini disebut pembinaan nafsin (Kamarul hadi 1986). Dengan
kata lain, melalui pendidikan manusia dapat menjadi pribadi yang bermutu, apabila ia
mau belajar ,mengetahui apa yang dipelajari atau dikerjakan, untuk apa belajar, dan
apa dasarnya ia belajar. Strategi makro pendidikan uyang mengarah kepada belajar
sepanjang hayat dan diorientasikan untuk mengembangakan pribadi yang bermutu
oleh para ahli disebut inovatif learning atau belajar inovatif.
Balajar inovatif merupakan strategi pendidikan yang diprediksi relevan denagn
tuntutan dan kebutuhan masayarakat modren dan global, yang bebeda dengan strategi
maintenance learning, yang cenderung berlaku pada masyarakat tradisional dan lokal.
Dalam strategi belajar memelihara atau maintenance learning, kegiatan belajar
dilakukan terutama untuk mempertahankan apa yang sudah ada dalam masyarakat dan
kebudayaan yang dimiliki sebagai warisan kultural. Strategi belajar ini terlalu bersifat
adaptif atau menyesuaikan diri secara pasif dengan apa yang sudah ada. Sudah barang
tentu, strategi belajar demikian akan terasa kurang memadai, bila diperhadapkan
dengan semakin derasnya arus informasi sekarang dan kedepan.
Hasil hasil belajar memelihara tidak pernah berdaya ketika dihadapkan pada
situasi baru, situasi yang tidak terduga sebelumnya. Akhirnya akan terjadi suatu krisis
yang muncul dalam bentuk ketidakberdayaan atau shock. Kondisi semacam ini
selanjutnya memaksa manusia mencari suatu modus belajar yang baru, yang benar-
benar efektif untuk menghadapi keadaan yang baru tadi.
Kelambanan gerak pada modus belajar tradisional (belajar memelihara) dibanyak
negara termasuk negara-negara maju, muncul dalam gejala learning lag (Mochtar
Buchori, 1987) yang besarnya dapat mencapai 30 tahun atau lebih. Learning lag ialah
kesenjangan yang terdapat antara waktu ketika pertama kali timbul kesadaran akan
perlunya suatu perubahan dalam suatu program belajar dengan waktu ketika
perubahan tadi benar-benar dilaksanakan.
Perlunya strategi belajar inovatif dikarenakan masalah-masalah yang dihadapi
sekarang dan dimasa depan bersifat saling berkaitan atau berbentuk jaringan-jaringan
yang kompleks. Selanjutnya, segenap persoalan atau pemasalahan dimasa depan akan
terselesaikan melalui tindakan bersama (cooperative action). Apabila pendidikan
terlalu mengandalkan strategi belajar memelihara, maka hasilnya lebih
mengutamakan adanya persaingan dari pada kebersamaan, lebih banyak melahirkan
kemampuan menyusun solusi alih-alih kemampuan melakukan aksi. Sementara itu,
dalam strategi belajar inovatif terdapat dua aspek kegiatan belajar, yaitu antisipasi dan
partisipasi. Perilaku yang inovatif hanya akan timbul kalau terdapat kemampuan
untuk berantisipasi, yakni kemampuan un tuk memperkirakan secara sistematis dan
realisitik apa yang mungkin akan terjadi. Inovasi muncul sebagai hasil dari persiapan-
persiapan untuk menyambut apa yang diperhitungkan akan terjadi tadi.
Sebaliknya, setiap pola prilaku baru hanya akan berdampak inovatif dalam
masyarakat apabila dilaksanakan oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau
apabila setiap anggota masyarakat turut berpartisipasi dalam usaha menyesuaikan diri
dengan tuntutan zaman. Dengan pernyataan lain, antisipasi mendorong lahirnya
solidaritas dalam waktu, sedangkan partisipasi menciptakan solidaritas dalam ruang.
Delors (1996) memperluas makna strategi makro pendidikan yang dimaksud ke dalam
bentuk empat pilar pendidikan, yakni:
1) Learning to know
Merupakan pilar pertama yang akan menyangga individu untuk menguasai
perangkat-perangkat pemahaman. Tipe belajar ini pun dapat dihargai, baik
sebagai suatu awal maupun akhir didalam kehidupan. Sebagai suatu awal,
melalui belajar ini setiap individu dipersiapkan untuk memahami berbagai
kesulitan tentang lingkungan hidupnya, mengembangkan keterampilan-
keterampilan kerja dan komunikasi. Sebagai suatu akhir, learning to know
merupakan dasar untuk menyenangi pemahaman, pengetahuan dan penemuan.
2) Learning to do
Sebagai pilar ke dua tidak hanya bermakna belajar untuk melakukan tugas
pekerjaan yang perhatiannya diberi upah dengan segera. Secara umum,
individu di upayakan untuk menguasai berbagai kompetensi dan keterampilan
dalam menghadapi dan menangani situasi yang bervariasi, bekerja didalam
suatu tim, dan kaya akan pengalaman bekerja diberbagai konteks jaringan.
3) Learning to live together
Merupakan pilar pendidikan yang serupa dengan belajar untuk hidup bersama
orang lain yang beragam. Tipe belajar seperti ini merupakan isu umum dalam
pendidikan dewasa ini, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang majemuk seperti indonesia. Melalui tipe belajar
untuk hidup bersama, individu seyogyanya dikembangkan pemahamannya
tentang orang lain, sejarah, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai spiritual yang
melandasi mereka dalam menciptakan semangat baru dalam kehidupan yang
saling bergantung, penuh resiko dan tantangan masa depan. Sudah barang
tentu, pembelajaran yang menggunakan strategi dinamika kelompok sangat
diapresiasi dalam hal ini.
Dalam konteks pendidikan berwawasan kebangsaan, belajar hidup bersama
bersama orang lain yang berbeda disamping matra paham kebangsaan,
terlingkup pula rasa kebangsaan yang merupakan manifestasi dari nilai
perdamaian serta semangat kebangsaan atau nilai demokrasi (UNESCO-
APNIEVE, 2000). Dengan kata lain, pendidikan yang berwawasan
kebangsaan sama pula dengan pendidikan nilai untuk perdamaian, hak asasi
manusia dan demokrasi.
4) Learning to be atau belajar mandiri
Tipe belajar ini diupayakan untuk mengembangkan kepribadian individu dan
kemampuan untuk bertindak lebih mandiri, mempertimbangkan serta
tanggungjawab pribadi. Dalam konteks pemikiran ini, learning to be dapat
dikatakan sebagai pendidikan akhlaqul karimah yang menjembatani
silaturrahim antara manusia dengan alam, sesamanya dan dengan Tuhannya.
G. Visualisasi Strategi Pendidikan dan Bimbingan Bewawasan Budaya Indonesia
Pada prinsipnya pendidikan pendidikan berwaawasan kebangsaan terintegrasi
dalam praksis dan fungsi pranata pendidikan yang mengembangkan sumber daya
manusia yang bemutu. Artinya, pendidikan yang berwawasan kebangsaan tidak
terpisahkan atau merupakan bagian integral dari pendidikan yang diarahkan pada
pengembangan sumber daya manusia yang berbekal nilai-nilai kehidupan yang
potensial, sehingga teraktualisasikan melaui poses belajar menjadi, belaja hidup,
belajar tahu dan belaja kerja serta konsisten menginternalisasi nilai paham, rasa dan
semangat kebangsaan indonesia.
Individu yang beragam sebagai masukan yang potensial, melalui praksis
pendidikan diharapkan menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang
Maha Esa, mandiri, berpartisipasi, belajar efektif dan pribadi pekerja yang produktif.
Setiap nilai kehidupan yang potensial dalam diri individu merupakan kerangka acuan
untuk bertindak dalam meraih masa depan dengan berhasil, asalkan satu nilai tidak
menguasai nilai lainnya, dan gerakan nilai-nilai sepantasnya berlangsung secara
seimbang, sehingga nilai satu dapat mengendalikan nilai yang lainnya (Judistira K.
Garna & Ade Makmur K, 1999).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan yang berorientasi pengembangan individu manusia sebagai pribadi
yang bermutu pada dasarnya adalah pendidikan yang berpangkal tolak pada
pengembangan diri, dan bertujuan kembali kepada persoalan pribadi yang
mengintegrasikan relasi atau nafsani dan jasmani dalam kesatuan wujudnya. Jadi,
membina pribadi berarti membanguin insan seutuhnya, yang berasaskan
keseimbangan antara pembangunan fisik, materil dengan fisik religius.
Dalam konsep islam, orientasi ini disebut pembinaan nafsin (Kamarul hadi
1986). Dengan kata lain, melalui pendidikan manusia daapt menjadi pribadi yang
bermutu, apabila ia mau belajar ,mengetahui apa yang dipelajari atau dikerjakan,
untuk apa belajar, dan apa dasarnya ia belajar. Strategi makro pendidikan uyang
mengarah kepada belajar sepanjang hayat dan diorientasikan untuk mengembangkan
pribadi yang bermutu oleh para ahli disebut inovatif learning atau belajar inovatif.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
http://konselortsaka I.blogspot.com/2012/11/strategi-konseling.html
http://karyaboy.blogspot.com/2008/02/konseling-lintas-budaya.html/07-09-2013
Analisis Strategi Konseling Berwawasan Budaya Indonesia | MyLieza (my-
lieza.blogspot.com)