Locus Eksternal Vs Locus Internal
Locus Eksternal Vs Locus Internal
Locus Eksternal Vs Locus Internal
PSIKOLOGI SOSIAL
NIM : 121107058
Fakultas : Psikologi
Perjalanan menemukan diri sendiri itu tidak mudah, mungkin saat ini baru setengah perjalanan
hidup karena saat ini masih berumur 32 tahun. Saya seorang pria keturunan chinese yang lahir
di Jakarta dan besar di Tangerang. Saya memiliki orang tua yang memiliki perbedaan
kepercayaan/agama. Ayah seorang Kristen dan Ibu seorang muslim, akan tetapi keduanya
adalah non praktisi atau bahasa umumnya “agama ktp”.
Hal tersebut membuat saya dan kedua adik saya bebas untuk memilih agama dan tidak
dipaksakan sejak kecil, walaupun dari pihak keluarga besar mereka berdua selalu berusaha
mengajak saya dan adik saya untuk memeluk agama kepercayaan mereka. Setelah melewati
proses seleksi oleh diri saya pribadi, pada akhirnya saya memilih untuk beragama Kristen.
Ayah pernah mengalami kesuksesan diawal tahun 2000an, tetapi bisnisnya tidak lama bangkrut
dan sejak moment tersebut, ia mengalami diskrepansi dikarenakan actual self tidak sejalan
dengan ideal self dan actual self tidak sejalan dengan ought self sehingga menyebabkan
mengalami kekecewaan untuk membangun bisnis kembali serta malu untuk kembali bekerja
sebagai karyawan.
Hal tersebut menyebabkan perekonomian keluarga kami berantakan, ditambah lagi terbuktinya
fakta bahwa ayah mempunyai istri simpanan, sehingga hal itu menyebabkan ibu meninggalkan
ayah saat itu juga. Saya yang awalnya sangat kecewa dengan kejadian tersebut, kemudian saya
menyadari bahwa saya tidak bisa merubah keadaan yang sudah terjadi walaupun secara social
identity, hal tersebut dapat menjadi bahan perundungan atau setidaknya pertanyaan
dilingkuangan pertemanan saya.
Hal yang paling menyebalkan bagi saya adalah kakak rohani ataupun pemuka agama saya selalu
meminta saya untuk mengampuni kejadian yang orang tua saya telah perbuat, yang mana hal
tersebut awalnya saya sudah berdamai, ketika selalu diingatkan dan diberikan berbagai opini
malah membuat saya membenci kejadian bahkan membuat saya trauma, walaupun trauma
tersebut memotivasi saya bahwa dimasa depan saya tidak ingin menjadi individu yang seperti
sosok ayah saya dan lebih teliti dalam memilih pasangan yang tidak memiliki sifat seperti ibu
saya, yang meninggalkan keluarga, yang salah satunya karena faktor ekonomi.
Trauma tersebut membuat saya sampai dengan saat ini tidak pernah lama dalam menjalin
sebuah hubungan, dikarenakan saya mungkin terlalu sering membandingkan apakah karakter
pasangan saya seperti ibu saya, yang sebenarnya hal tersebut sangat salah bahwa menghakimi
karakter pasangan hanya secara penampilan dan gaya komunikasinya tanpa bertanya secara
langsung kepada orang tersebut.
Saya juga memiliki juga individu yang memiliki perasaan insecure sejak kecil. Hal tersebut baru
saya sadari setelah dewasa terutama sejak saya masuk ke perkuliahan psikologi bahwa
kemungkinan adanya ketidaktepatan pola asuh oleh orang tua saya. Saat masih kecil, ketika
saya berbuat kesalahan, saya selalu dimarahi dengan nada tinggi bahwa apabila hal tersebut
salah adalah salah. Saya tidak pernah diberikan kesempatan untuk dijelaskan kenapa hal
tersebut salah, bahkan tindakan saya selalu dibatasi. Kejadian tersebut membuat stimulus
terhadap diri saya, yaitu saya selalu takut untuk mencoba sesuatu hal yang baru dan
kecenderungan memiliki overthinking yang tinggi.
Diskrepansi yang terjadi membuat saya mengalami gangguan kecemasan yang menyebabkan
saya mengalami tourete syndrome, yaitu gangguan sistem saraf yang menyebabkan gerakan
berulang dikondisi fisik saya yang tanpa disadari telah terjadi sejak saya remaja.
Akan tetapi semakin bertambahnya umur dan pengalaman hidup melalui berbagai masalah dan
reward yang saya jalani, membuat saya dapat berdamai dengan keadaan diri saya. Kondisi
berdamai tersebut tidaklah mudah dikarenakan saya dalam kondisi self esteem yang sangat
rendah saat itu ditambah saya yang mempunyai kecenderungan overthingking, yaitu mulai dari
mempertanyakan kenapa saya dilahirkan, untuk apa saya hidup, kenapa saya terjebak dalam
kondisi social yang membuat saya membandingkan dengan orang lain bahwa saya tidak
menjadi seperti ini karena tidak mempunyai kesempatan yang sama.
Pada akhirnya kondisi yang dapat membuat saya berdamai, bahwa saya tidak dapat
ketergantungan pada kontrol dari pihak eksternal (Locus Eksternal). Hal yang saya dapat
lakukan adalah berusaha untuk menjalani proses kehidupan dengan sebaiknya yang dibawah
control saya sendiri.
Saya percaya dengan hukum kausalitas atau sebab akibat, bahwa apa yang saya lakukan saat
ini, menentukan hasil dimasa depan. Peristiwa yang saya hadapi adalah dibawah control penuh
saya tanpa adanya kendali faktor “X (The Higher Being)” bila terjadi sesuatu baik suka ataupun
duka, sehingga hal tersebut membuat saya menjadi individu yang lebih bertanggungjawab pada
diri sendiri. Karena sependapat saya, banyak orang yang terjebak dengan berbagai peristiwa
kehidupan yang dikarenakan mereka menjadi “manja” karena berharap bahwa hidup mereka
dibawah kendali pihak eksternal, yaitu “Faktor X (The higher being)”, kemudian berakhir pada
kekecewaan bahkan gangguan psikologis karena ekspteasi yang diharapkan tidak sesuai dengan
kenyataan.