Laporan Kasus ASD

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


ATRIAL SEPTAL DEFECT

Disusun oleh :
Audhrey Bernadetta Christanty – 01073210026

Dibimbing oleh :
dr. Hendyono Lim, Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI - MARET 2023
TANGERANG
BAB 1
ILUSTRASI KASUS

1.1.Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 48 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Status pernikahan : Sudah menikah
No. rekam medis : 01 – 19 – 35 – xx

1.2. Anamnesis
Pemeriksaan dilakukan secara Autoanamnesis di Rumah Sakit Umum Siloam
Karawaci dan beberapa data diperoleh dari rekam medis pasien.

1.2.1. Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan rasa tidak nyaman di ulu hati sejak 5 tahun yang
lalu.

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan rasa tidak nyaman di ulu hati sejak 5 tahun yang
lalu. Menurut pasien, rasa tidak nyaman dirasakan seperti penuh dan menekan ke
dada bagian atas. Menurut pasien, rasa tidak nyaman muncul perlahan – lahan dan
semakin parah selama 5 tahun ini. Menurut pasien, rasa tidak nyaman muncul
hilang timbul dan tidak ada pola tertentu dari keluhan yang dialami pasien. Tidak
ada faktor yang memperingan maupun memperberat keluhan pasien. Pasien sudah
beberapa kali berobat ke klinik dan diberikan obat lambung seperti Omeprazole.
Namun, keluhan yang dialami oleh pasien tidak membaik. Kira – kira 2 tahun yang
lalu, keluhan yang dialami pasien memburuk dan disertai dengan rasa kesemutan
dan lemas pada seluruh tubuh. Pasien kemudian pergi ke rumah sakit dan
menjalani pemeriksaan EKG yang menunjukkan hasil tidak normal. Karena ada
kelainan pada EKG pasien, Pasien kemudian dirujuk ke RSUS Siloam.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Menurut pasien,
pasien sering mengalami keluhan rasa tidak nyaman pada ulu hati dan selalu
dikatakan disebabkan oleh asam lambung sejak lebih dari 5 tahun yang lalu.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien mengaku tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa, tidak
memiliki riwayat penyakit DM, hipertensi, penyakit jantung, ataupun penyakit
lainnya.

1.2.5. Riwayat Pengobatan dan Operasi


Pasien memiliki riwayat Hipertensi dan mengonsumsi Bisoprolol 2.5 mg untuk
mengontrol hipertensi yang dialami oleh pasien. Pasien belum pernah menjalani
operasi sebelumnya

1.2.6. Riwayat Kebiasaan


Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, maupun mengonsumsi
obat-obatan terlarang.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 58 kg
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 68x/menit
- Laju pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 36.5℃
- SpO2 : 100% on Room Air

Status generalis
Organ Hasil Pemeriksaan
Kepala Normosefali
Mata CA (-/-), SI (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)
Hidung Deviasi septum (-), cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Telinga Normotia, lesi (-), sekret (-), darah (-)
Mulut Mukosa bibir lembap, sianosis (-)
Leher Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), massa (-), JVP 5+2
cm
Paru Inspeksi: Pengembangan dada statis dan dinamis simetris,
pectus excavatum (-), pectus carinatum (-), barrel chest (-),
spider naevi (-), bekas luka (-)
Palpasi: Tactile vocal fremitus simetris, chest expansion
simetris
Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi: VBS +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi: Ictus cordis teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi: Batas jantung atas di ICS 3 linea parasternal sinistra,
batas jantung kanan di ICS 5 linea parasternal sinistra, batas
jantung kiri di ICS 7 linea axillaris sinistra
Auskultasi: S1 S2 reguler, murmur sistolik terutama di area
ICS 2 linea Parasternal kiri(+)
Abdomen Inspeksi: Supel, cembung, distensi (-), bekas luka (-), massa
(-), caput medusae (-)
Auskultasi: Bising usus (+) 12x/menit, bruit sound (-), metallic
sound (-)
Perkusi: Timpani pada seluruh regio abdomen, shifting
dullness (-), traube space (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-), massa (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting --/--
atas dan
bawah

1.4. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (03/02/2023)
Hematologi Hasil Unit Nilai Normal
Complete Blood Count
Hemoglobin 11.90 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 36.30 % 35.00 – 47.00
Eritrosit 4.16 106/µL 3.80 – 5.20
Leukosit 4.71 103/µL 3.60 – 11.00
Platelet 243 103/µL 150 – 440
MCV 87.30 fL 80 – 100
MCH 28.60 pq 26 – 34
MCHC 32.80 g/dL 32 – 36
Biochemistry
Fungsi ginjal
Ureum 17 mg/dL <50
Creatinine 0.63 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 109.4 mL/menit/1.73 m2 ≥ 90
RBG 80.0 mg/dL < 200
Elektrolit
Na 135 mmol/L 135–145
K 4.2 mmol/L 3.6–5
Cl 103 mmol/L 98–107
Laboratorium (05/02/2023)
Hematologi Hasil Unit Nilai Normal
Prothrombin time 10.00 detik 9.4 –11.3
A.P.T.T 29.20 detik 23.4–31.5
INR 0.96 detik

Laboratorium (17/06/2022)
Biochemistry Hasil Unit Nilai Normal
SGOT 12 U/L 0 – 40
SGPT 6 U/L 0 – 41
Elektrolit
Na 137 mmol/L 135 – 145
K 4.0 mmol/L 3.6 – 5.0
Cl 107 mmol/L 98 – 107

Pencitraan
X-ray thorax AP/PA (10/01/2023)

Temuan:
- Paru : Corakan bronkovaskular meningkat pada perihilar bilateral
- Mediastinum : Normal
- Trakea dan bronkus : Normal
- Hilus : Prominent
- Pleura : Normal
- Diafragma: Normal
- Jantung : CTR 57%
- Aorta : Normal
- Vertebra thoracal dan tulang-tulang lainnya : Normal
- Jaringan lunak : Normal
- Abdomen yang tervisualisasi : Normal
- Leher yang tervisualisasi : Normal
Kesan:
Bendungan Paru
Kardiomegali
Elektrokardiografi (07/02/2023)

- Irama: Sinus Rhythm


- Frekuensi : 50 bpm
- Axis: Right axis deviation
- P wave: 0,08 s
- PR interval: 0,20 s
- QRS duration: 0.12 s
- rsR’ pattern: pada lead V2, V3
- ST segment: elevasi (-), depresi (-)
- Slurred S wave: pada lead I, aVL
- T-wave: Inversi (-), Tall (-)
Kesan: RAD, RBBB
Transesophageal Echocardiography (01/02/2023)

Interpretasi:
- Dilatasi Atrium dan Ventrikel kanan
- Tampak defek di septum intertrial secundum. Ukuran ASD +/- 2,4 cm x 1,8
cm. L-R Shunt
- Ukuran rim – rim sebagai berikut
• Rim aorta minimal, sebagian sisi anterior tidak ada rim
• Rim posterior 4 – 8 mm, tipis
• Rim inferior / IVC 12 mm, tipis
• Rim superior 18 mm, tebal, tidak mobile

- Semua vena pulmonalis tampak bermuara ke atrium kiri, flow deras


- Tidak tampak Sinus Venosus defect
- Katup Aorta : 3 cuspis, tidak tebal, tidak kalsifikasi, pergerakan dan fungsi
baik
- Katup Mitral : Elongasi AML dan PML. Tidak menebal, tidak tampaka
kalsifikasi. Pergerakan baik, MR trivial
- Katup Tricuspid : Tidak tebal, tidak tampak kalsifikasi, pergerakan baik.
TR Mild. TVG 27 mmHg
- Katup Pulmonal : Tidak tebal, Tidak tampak kalsifikasi, PR moderate
- Analisis Segmental : IVS Paradoks
- Kontraktilitas LV dan RV baik. LVEF 55%
- Dilatasi mean arteri pulmonal dan dilatasi RVOT
- Tidak ditemukan Patent Ductus Arteriosus
- Pembuluh Aorta : Tidak tampak plaak atheroma di aorta torakalis dan arcus
aorta
Kesimpulan :
- ASD secundum besar uk. 2,4 x 1,8 cm, L-R shunt
- Rim – rim adekuat, ideal untuk tutup ASD dengan device closure
- Hipertensi Pulmonal
- Tidak ditemukan anomali drainage vena pulmonalis
- Fungsi LV dan RV baik

1.5. Resume
Pasien wanita berusia 47 tahun datang dengan keluhan rasa tidak nyaman di ulu
hati sejak 5 tahun yang lalu. Rasa tidak nyaman dirasakan seperti penuh dan
menekan ke dada bagian atas. Menurut pasien, rasa tidak nyaman muncul perlahan
– lahan dan semakin parah selama 5 tahun ini. Rasa tidak nyaman muncul hilang
timbul dan tidak ada pola tertentu. Tidak ada faktor yang memperingan maupun
memperberat keluhan pasien. Pasien sudah beberapa kali berobat ke klinik dan
diberikan Omeprazole. Namun, keluhan yang dialami oleh pasien tidak membaik.
Kira – kira 2 tahun yang lalu, keluhan yang dialami pasien memburuk dan disertai
dengan rasa kesemutan dan lemas pada seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik
auskultasi jantung, ditemukan murmur sistolik terutama di area ICS 2 linea
parasternal kiri. Pada pemeriksaan penunjang Chest X – Ray ditemukan adanya
tanda – tanda bendungan paru dan kardiomegali. Sedangkan pada pemeriksaan
EKG ditemukan gambaran RAD dan RBBB. Pada pemeriksaan TEE, ditemukan
adanya defek septum atrial dengan ukuran 2,4 x 1,8 cm disertai L-R Shunt dan
hipertensi pulmonal.

1.6. Diagnosis
Diagnosis kerja:
1. ASD Secundum
2. Hipertensi

1.7.Tatalaksana
Non-medikamentosa:
- ASD closure dengan menggunakan Transcatheter Amplatzer Septal Occluder
(ASO)
Medikamentosa:
- Bisoprolol 2.5 mg 2x1 PO
- Aspilet 80 mg 1x1 PO
- Clopidogrel 75 mg 1x1 PO

1.8. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrial merupakan kelompok penyakit
jantung kongenital dengan karakteristik septum yang memisahkan atrium kiri dan
kanan gagal menutup sepenuhnya sehingga terjadi komunikasi antar keduanya.
Malformasi dari septa atrium jantung akan menyebabkan darah dari sirkulasi pulmonal
bercampur dengan sirkulasi sistemik.

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Tidak diketahui secara pasti mengenai penyebab dari ASD. Akan tetapi ASD dikaitkan
dengan pewarisan genetik Mendelian, Aneuploidi, kesalahan transkripsi, mutasi
genetik, dan eksposur maternal terhadap beberapa zat selama masa kehamilan. ASD
sering dikaitkan dengan beberapa sindrom genetik seperti; Sindrom Down, Sindrom
Treacher – Collins, Sindrom Thrombocytopenia – absent radii, Sindrom Turner, dan
Sindrom Noonan.

Kurang lebih 40% pasien dengan Sindrom Down memiliki kelainan jantung
kongenital. Dari populasi ini, 40% diantaranya mengalami ASD. Orang dewasa yang
memiliki ASD memiliki risiko sekitar 10% untuk rekurensi ASD pada keturunannya.
Selain itu, terdapat asosiasi antara paparan zat intrauterin dengan kejadian ASD.
Diabetes gestasional, Fenilketonuria, dan Influenza diketahui mungkin meningkatkan
risiko terjadinya ASD pada janin. Eksposur terhadap retinoid, OAINS, anti –
konvulsan, Thalidomide, rokok, dan alkohol juga diketahui meningkatkan insidensi
ASD pada janin.
2.3 Epidemiologi

Insidensi kumulatif dari ASD diperkirakan mencapai 56 – 88 kasus / 100.000 kelahiran


hidup / tahunnya dan merepresentasikan sekitar 8 – 10% dari kelainan jantung
kongenital. Karena ASD umumnya tidak meninbulkan gejala selama perjalanan
penyakitnya, banyak kasus ASD yang tidak terdeteksi dan prevalensi ASD yang
sebenarnya mungkin lebih tinggi. Kemajuan teknologi di bidang pencitraan telah
meningkatkan angka prevalensi dari ASD karena kasus ASD yang tidak bergejala
ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan skrining.

ASD sekundum ditemukan 2 kali lebih banyak pada populasi wanita dibandingkan
pria. Namun, tipe lain dari ASD diketahui memiliki distribusi gender yang seimbang.
ASD sekundum merupakan tipe yang paling banyak ditemukan dan merepresentasikan
80% dari semua kasus ASD, diikuti oleh ASD primum yang merepresentasikan 10%
dari semua kasus ASD dan ASD sinus venosus yang merepresentasikan 5% dari semua
kasus ASD. ASD sinus koroner sangat jarang ditemukan dengan insidensi dibawah 1%.

2.4 Embriologi

Septum atrial dan ventrikular akan terbentuk diantara minggu ke – 3 dan ke – 6 dalam
perkembangan janin. Setelah tabung jantung mengalami pelekukan dan membentuk
bagian sefalik (ventrikel) dan kaudal (atrium), bagian kaudal akan membentuk atap dari
atrium. Dari atap atrium, septum primum akan terbentuk dan bertumbuh menuju
Atrioventricular junction. Sebelum septum primum mencapai endocardial cushion
akan terbentuk lubang yang disebut ostium primum. Selanjutnya terjadi perluasan
endocardial cushion superior dan inferior yang tumbuh di sepanjang septum primum
dan menutup ostium primum. Pada bagian atas septum primum akan terbentuk lubang
kedua yang disebut ostium sekundum. Kemudian dari bagian atap atrium akan
terbentuk septum sekundum yang menutupi ostium sekundum seperti tirai. Selama
proses perkembangan janin, septum sekundum dan septum primum tidak akan
bergabung melainkan membentuk foramen ovale yang berguna untuk komunikasi antar
atrium. Setelah proses kelahiran, peningkatan tekanan pada atrium kiri akan
menyebabkan penutupan foramen ovale pada lebih dari 80% populasi manusia dan
menghilangkan jalur komunikasi antar atrium.

2.5 Klasifikasi

ASD diklasifikasikan berdasarkan letak anatomi dari defek pada septum atrium.
Terdapat 4 tipe dari ASD yaitu;

• Defek Ostium Sekundum


Defek ini terjadi saat terjadi peningkatan reabsorpsi dari septum primum di atap
atrium, atau saat septum sekundum tidak menutup ostium secundum. Ostium
sekundum diasosiasikan dengan beberapa sindrom genetik seperti sindrom
Noonan dan Treacher – Collins

• Defek Ostium Primum


Defek ini terjadi karena kegagalan septum primum untuk bergabung dengan
bantalan endokardial. Defek ostium primum akan menyebabkan komunikasi
atrioventrikular dan memiliki prognosis paling baik dibandingkan dengan ASD
lainnya.

• Defek Sinus Venosus


Defek Sinus Venosus dapat terjadi pada 2 lokasi. Sinus Venosus superior terjadi
saat vena kava superior tidak menutup sempurna dan mengalir ke atrium kanan
dan kiri. Sedangkan sinus venosus inferior terjadi saat vena kava inferior tidak
menutup sempurna dan mengalir ke atrium kiri dan kanan. Defek inferior lebih
jarang terjadi dibandingkan dengan defek superior.

• Defek Sinus Koroner


Sinus koroner merupakan pembuluh yang berada diantara atrium dan ventrikel
kiri dan berfungsi sebagai pembuluh balik dari jantung. Sinus koroner
umumnya akan mengalir ke dasar atrium kanan. Defek atau lubang diantara
sinus koroner dan atrium kiri akan menyebabkan komunikasi antara atrium kiri
dan kanan

2.6 Patofisiologi

Gejala jangka panjang yang terjadi pada kasus ASD berkaitan secara langsung dengan
konsekuensi dari shunting intrakardiak dari darah. Arah shunting pada ASD umumnya
adalah dari kiri ke kanan. Hal ini disebabkan karena dalam keadaan normal, tekanan di
atrium dan ventrikel kiri lebih besar dibandingkan dengan tekanan di atrium dan
ventrikel kanan. Oleh karena itu, darah yang berasal dari atrium kirim akan
menyeberang ke atrium kanan melalui defek ASD. Derajat shunting dipengaruhi oleh
ukuran dari lesi pada ASD.

Shunting dari kiri ke kanan pada ASD akan menyebabkan gejala dalam 2 mekanisme
primer. Pertama, ruang jantung kanan akan mengalami distensi untuk mengakomodasi
volume darah yang bertambah. Distensi atrium kanan yang progresif akan
menyebabkan perubahan pada arus listrik jantung yang menyebabkan aritmia atrium.
Selain itu, distensi ventrikel kanan juga dapat menyebabkan disfungsi dari ventrikel
kanan dan gagal jantung kanan. Proses ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan pada
dinding ventrikel kanan sehingga energi yang dibutuhkan juga meningkat.

Selain mekanisme tersebut, shunting dari kiri ke kanan juga menyebabkan sistem
vaskularisasi pulmonal terpapar aliran darah yang terlalu banyak. Pada beberapa kasus,
mekanisme ini akan menyebabkan perubahan pada sistem vaskularisasi pulmonal dan
menyebabkan Pulmonary Arterial Hypertension (PAH). PAH akan menyebabkan
kenaikan dari tekanan dinding ventrikel kanan dan kemungkinan terjadinya gagal
jantung kanan.

Pada beberapa kasus, ASD juga dapat menyebabkan shunting darah dari arah kanan ke
kiri. Fenomena ini terjadi sementara pada beberapa keadaan seperti pada saat pasien
melakukan manuver valsava atau mendapatkan infus cairan dalam waktu cepat. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gagal jantung kanan yang sudah parah. Shunting
dari kanan ke kiri dapat menyebabkan embolisasi paradoksikal dari thrombus dan
embolisasi sistemik dari gelembung udara atau partikel yang berasal dari infus
intravena.
2.7 Diagnosis

- Anamnesis

Pada masa awal kehidupan, mayoritas pasien dengan ASD umumnya tidak
memiliki gejala apapun. Pada pasien tanpa gejala, defek pada ASD mungkin
terdeteksi saat melakukan skrining rutin atau untuk pemeriksaan penyakit lain
yang tidak berhubungan. Seiring dengan pertambahan usia dan meningkatnya
tekanan pada dinding ventrikel kanan, gejala seperti kelelahan ringan dan
dyspnea saat beraktivitas mungkin muncul. Distensi pada Atrium kanan
mungkin menyebabkan aritmia atrial yang dirasakan pasien sebagai palpitasi
atau takikardia. Apabila terjadi hipertrofi pada bentrikel kanan, akan terjadi
regurgitasi katup trikuspid dan disfungsi kontraktil. Pasien mungkin merasakan
gejala tipikal dari gagal jantung kanan seperti berkurangnya kemampuan untuk
beraktivitas karena sesak dan lelah.

- Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Splitting S2 dan Murmur sistolik pada
katup pulmonal. Dengan dilatasi ventrikel yang bersifat progresif, ventrikel
kanan mungkin teraba pada area subxiphoid. Apabila sudah terjadi gagal
jantung kananm tekanan vena jugular mungkin mengalami peningkatan. Gagal
jantung kanan juga mungkin disertai dengan edema pada ekstremitas bawah
dan sianosis yang bertambah parah dengan aktifitas fisik.
- Pemeriksaan Penunjang

EKG

Pemeriksaan EKG pada ASD yang signifikan umumnya akan menunjukkan


adanya konduksi ventrikel kanan yang terlambat (rSR) dan Right Bundle
Branch Block (RBBB). Dapat juga ditemukan hipertrofi dari atrium kanan yang
ditandai dengan kenaaikan gelombang P pada lead II. Berdasarkan tingkat
keparahan dari shunting dan adanya hipertensi pulmonal, dapat juga ditemukan
Right Axis Deviation (RAD).

Chest X-Ray

Pada kasus ASD yang signifikan, gambaran jantung pada X-ray dapat
menunjukkan pembesaran dengan dilatasi atrium dan ventrikel kanan. Pada
paru – paru pasien dapat ditemukan percabangan dari arteri dan vena pulmonal
yang berlebihan akibat hipertensi pulmonal.

Echocardiography

Transthoracic Echocardiography (TTE) merupakan modalitas yang paling


banyak tersedia dalam membantu mendiagnosis ASD. TTE dapat membantu
menentukan ada atau tidaknya lesi ASD dan menentukan lokasi lesi ASD.
Namun, karena sulitnya visualisasi septum interatrial pada prosedur ini, TTE
pada pasien dengan ASD umumnya akan membantu membuktikan adanya
sekuela dari ASD. TTE diketahui paling berguna dalam mendeteksi sekuela
yang disebabkan oleh Left to right shunting yang diasosiasikan dengan ASD.
Beberapa sekuela yang dapat terdeteksi antara lain; pembesaran atrium dan
ventrikel kanan, penipisan septum interventrikular, dan peningkatan aliran
darah pulmonal yang dideteksi dengan menggunakan fungsi Doppler.

Transesophageal Echocardiography (TEE) digunakan untuk mengevaluasi


lokasi dan ukuran dari lesi ASD. Lokasi insonasi dari esofagus meningkatkan
kemungkinan mendeteksi defek anatomis dibaandingkan dengan TTE. TEE
juga umum digunakan sebagai pemandu dalam prosedur penutupan ASD baik
metode perkutaneus ataupun bedah.

Kateterisasi Jantung

Saat ini, kateterisasi jantung merupakan prosedur tambahan yang dilakukan


setelah diagnosis ASD berhasil ditegakkan. Meskipun angiografi dapat
membantu mendeteksi lokasi anatomis dari lesi ASD, metode pencitraan yang
disebutkan diatas lebih sering digunakan dibandingkan dengan kateterisasi
jantung. Akan tetapi, kateterisasi jantung tetap memiliki peran penting dalam
penanganan ASD dengan memberikan informasi terkait fungsi hemodinamik
jantung yang membantu menentukan metode penanganan lesi ASD.

2.8 Tatalaksana

Pasien dengan defek ASD yang lebih kecil dari 5 mm umumnya akan mengalami
penutupan spontan pada tahun pertama kehidupan. Defek yang berukuran lebih dari 1
cm umumnya akan membutuhkan tata laksana medis untuk menutup defek tersebut.
Pasien dengan disritmia atrial harus menjalani tata laksana untuk mengontrol disritmia
terlebih dahulu sebelum menjalani tata laksana definitif. Pada pasien dewasa dengan
ukuran defek yang kecil, perlu dilakukan pengecekan setiap 2 sampai 3 tahun dengan
metode echocardiography untuk mengevaluasi fungsi dan struktur dari jantung kanan.

Pada pasien ASD yang memerlukan penutupan defek, terdapat 2 pilihan metode yang
dapat dilakukan yaitu; intervensi bedah atau perkutaneus. Indikasi dari penutupan ASD
termasuk riwayat stroke, shunt yang mempengaruhi fungsi hemodinamik secara
signifikan, dan adanya desaturasi oksigen sistemik. Sedangkan kontraindikasi dari
metode ini adalah; defek lain selain defek ostium sekundum, defek yang tidak
mempengaruhi fungsi hemodinamik secara signifikan, dan defek ostium sekundum
dengan hipertensi pulmonal. Penutupan dengan metode transkateter perkutaneus
memiliki risiko komplikasi yang lebih kecil dibandingkan metode bedah. Akan tetapi,
metode perkutaneus hanya dapat dilakukan pada pasien ASD dengan defek pada
ostium sekundum. Komplikasi yang diasosiasikan dengan metode perkutaneus adalah
aritmia, AV block, erosi jantung, dan tromboemboli. Metode bedah untuk penutupan
defek ASD umumnya dilakukan dengan pemasangan patch pada lokasi defek melalui
insisi pada atrium kanan.

2.9 Prognosis

Sebanyak 33 – 75% pasien dengan ASD mengalami penutupan spontan tanpa tata
laksana apapun. Faktor yang mempengaruhi penutupan spontan tersebut adalah ukuran
dari defek dan juga usia dari pasien saat diagnosis pertama kali ditegakkan. Ukuran
defek < 8mm yang ditemukan pada usia anak umumnya akan mengalami penutupan
spontan.

Secara umum, pasien ASD usia dewasa yang tidak mendapatkan tata laksana apapun
terbukti memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibandingkan populasi normal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanpa tata laksana apapun hanya 50% pasien
ASD yang dapat hidup melebihi usia 40 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di tahun
2018 diketahui bahwa pasien ASD yang tidak menjalani prosedur terapi untuk menutup
defek lebih sering meninggal akibat penyakit gagal jantung dan penyakit paru.
BAB III

ANALISA KASUS

Pasien wanita berusia 47 tahun datang dengan keluhan rasa tidak nyaman di ulu
hati sejak 5 tahun yang lalu. Rasa tidak nyaman dirasakan seperti penuh dan menekan
ke dada bagian atas. Menurut pasien, rasa tidak nyaman muncul perlahan – lahan dan
semakin parah selama 5 tahun ini. Rasa tidak nyaman muncul hilang timbul dan tidak
ada pola tertentu. Tidak ada faktor yang memperingan maupun memperberat keluhan
pasien. Pasien sudah beberapa kali berobat ke klinik dan diberikan Omeprazole.
Namun, keluhan yang dialami oleh pasien tidak membaik. Kira – kira 2 tahun yang
lalu, keluhan yang dialami pasien memburuk dan disertai dengan rasa kesemutan dan
lemas pada seluruh tubuh. Pasien kemudian melakukan pemeriksaan EKG di rumah
sakit lain dan ditemukan adanya kelainan sehingga pasien dirujuk ke RSUS Siloam.
Pada pemeriksaan fisik auskultasi jantung ditemukan murmur sistolik terutama
di area ICS 2 linea parasternal kiri dan batas jantung juga dicurigai membesar. Pada
pemeriksaan penunjang Chest X – Ray ditemukan adanya tanda – tanda bendungan
paru (Corakan bronkovaskular meningkat pada perihilar bilateral) dan kardiomegali
(CTR 57%). Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditemukan gambaran RAD dan
RBBB. Pada pemeriksaan TEE, ditemukan adanya defek septum atrial dengan ukuran
2,4 x 1,8 cm disertai L-R Shunt dan hipertensi pulmonal. Atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan yang telah dilakukan pada pasien dipikirkan diagnosis Atrial Septal
Defect Secundum.
Pada pasien ini, dipikirkan diagnosis ASD Secundum atas dasar pemeriksaan
fisik berupa murmur sistolik di area ICS 2 linea parasternal kiri dan kardiomegali.
Penemuan pada pemeriksaan fisik juga diperkuat dengan pemeriksaan penunjang Chest
X – Ray yang menunjukkan adanya kardiomegali dengan CTR 57%. Pada pemeriksaan
EKG juga ditemukan gambaran RAD dan RBBB yang umum ditemukan pada kasus
Atrial Septal Defect. Pasien juga kemudian melakukan pemeriksaan Transesophageal
Echocardiography (TEE) dan ditemukan adanya defek pada septum atrial dengan
ukuran 2,4 x 1,8 cm dan disertai juga dengan hipertensi pulmonal yang umum terjadi
pada pasien dengan ASD yang tidak ditangani dalam jangka waktu yang lama.
Pada pasien ini, diberikan tata laksana operatif berupa penutupan defek dengan
menggunakan metode transcatheter ASO (Amplatzer Septal Occluder) setelah
dipastikan defek dapat ditutup dengan menggunakan ASO. Setelah pasien menjalani
proses transcatheter ASO, pasien diberikan terapi Dual Anti Platelet Therapy (DAPT)
berupa Aspilet 80 mg 1x1 dan Clopidogrel 75 mg 1x1 untuk mencegah pembentukan
gumpalan darah pada ASO yang dipasang pada defek pasien. Selain itu, pasien juga
disarankan untuk rutin melakukan pemeriksaan echocardiography untuk evaluasi
gejala residual dari ASD yang dialami pasien.

Anda mungkin juga menyukai