Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 1
Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 1
Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 1
com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
MALAM BENCANA 1965
DALAM BELITAN KRISIS
NASIONAL
BAGIAN I
REKONSTRUKSI DALAM PERDEBATAN
Editor:
Taufik Abdullah
Sukri Abdurrachman
Restu Gunawan
www.facebook.com/indonesiapustaka
Alamat Penerbit:
Jl. Plaju No. 10, Jakarta 10230
Telepon (021) 31926978 & 3920114
Fax: (021) 31924488
e-mail: [email protected]
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.obor.or.id
Pengantar
Taufik Abdullah vii
Sambutan Mantan Menteri Pendidikan Nasional
Prof. Dr. A Malik Fadjar, M.a. ix
30 September 1965
I. G. Krisnadi 331
Taufik Abdullah
vii
viii
apa, Pak Malik, tetapi saya ini juga ada rasa dalam hati saya, coba
diatur, dimodifikasi”. Dalam modifikasi waktu itu disepakati: Satu,
tidak ada acara meninjau Lubang Buaya itu saja. “Pokoknya saya mau
ix
hanya datang sesudah itu lalu pulang”. Kedua, tidak ada ikrar yang
dibacakan oleh Ketua DPR. Ketua MPR membacakan Pancasila,
kemudian Mendiknas membacakan Mukadimah UUD 1945, ketua
DPR membacakan ikrar, kemudian Menteri Agama doa. Selaku
Menteri Agama waktu itu saya dua kali membacakan doa. Nah, pada
waktu itu untuk tidak ikrar saja sudah diperdebatkan dengan DPR.
Akhirnya kompromi sajalah yang penting-penting saja, yaitu Panca
sila, Mukadimah UUD 1945, doa, dan irupnya tetap Presiden.
Pada tahun 2001 Presiden dan Wapres hadir. Tahun 2002, susah
lagi karena Bu Megawati selaku Presiden tidak mau, Wapres juga
tidak mau. Padahal ini kan koordinasinya luar biasa, harus koordinasi
dengan DKI, Gubernur, Kodam, Garnisun, macam-macam. Sampai
ada joke, kalau tak ada yang mau, Presiden tak mau, Wapres tak mau,
seorang menteri, kalau Mendiknasnya juga tak mau, ya cari Koramil.
Wah, susah juga saya, tapi akhirnya dapat jalan keluar. Saya bicara
dengan Menko Polkam waktu itu, pak SBY, yang sekarang Presiden
kita. Ya sudah bapak saja deh, kan cocok itu, padahal di situ juga
hadir keluarga Pahlawan Revolusi. Di sela-sela perdebatan 2001 itu,
saya dipanggil Presiden. Cobalah Pak Malik cari jalan keluar, supaya
tidak timbul macam-macam penafsiran. Coba cari ahli-ahli sejarah.
Keluar dari situ, saya ditanya wartawan, intinya akan ditelaah kembali
secara baik dan akan dipimpin, saya juga tidak konsultasi dengan
beliau (Bapak Taufik Abdullah) akan dipimpin langsung oleh Bapak
Taufik Abdullah. Saya catat saja namanya yang aman, ahli sejarah
siapa lagi yang ada di Jakarta. Walaupun beliau dalam pembicaraan
itu betapa rumitnya mengurus ini. Tahun 2004, 2003 itu alasan Ibu
Presiden itu, Bu Mega mau waktu itu, karena saya bilang “Bu, nanti
kan menjelang pemilu, nah inikan bisa credit point dan supaya adem-
adem sajalah.” Tahun 2004 tetap dilaksanakan, karena Menkopolkam
Ad interim Pak Hari Sabarno, saya bilang ”Mas, sampeyan waelah
yang jadi irup, yo wis jadi gitu-gitu aja.” Sesudah itu seluruh kegiatan
www.facebook.com/indonesiapustaka
itu hanya sebatas itu, belum lagi yang dikaitkan dengan tugas-tugas
membaca pidato di radio dan televisi, tiap tanggal 30 September itu
kan kita mesti pidato, nulisnya juga ‘belepotan’. Yang selalu saya
sambati itu Pak Anhar Gonggong, menulisnya jangan ‘belepotan’,
yang objektif sajalah, bolak-balik discrub begitu, karena memang juga
tidak sederhana. Dan pada waktu terakhir pernyataan peringatan itu
bahkan di 2004 maunya di Pejambon, karena dipersoalkan apa mem
peringati Pancasila, Kesaktian Pancasilanya, atau G30S nya. Akhirnya
sampai kurang 2 hari belum clear akan upacara di mana. Selain itu
akan dilakukan semacam diskusi panel, sejarawan dan ahli-ahli lain.
Akhirnya kompromi lagi, kalau begitu dua, yaitu digelar di Pondok
Gede dengan apel, juga digelar di Pejompongan, di Gedung Pancasila.
Sementara pada waktu itu kita harus juga menghadiri pelantikan
anggota DPR/MPR 2004/2009. Nah, itulah kisahnya.
Setiap kita bicara tentang sejarah, apalagi yang menyangkut, apa
yang sekarang direncanakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR), itu juga bukan hal yang sederhana dan perlu membebaskan
diri dari perasaan suka tidak suka, tetapi lebih objektif. Mudah-
mudahan lokakarya terbatas ini bisa membukakan jalan ke arah masa
depan bangsa dengan baik, membebaskan kita dari rasa dendam, dan
sebagainya, dan saya percaya, sekali lagi percaya kepada kalangan
sejarawan dan kita yang hadir ini dari berbagai pihak, untuk melurus
kan seluruh yang sedang menimpa bangsa ini, karena sebetulnya juga
bukan ini saja, banyak hal untuk membangun, mengungkap, mencari
kebenaran, dan membangun rekonsiliasi bangsa. Sekali lagi saya meng
ucapkan terima kasih bahwa yang dirintis sejak tahun 2001, 2002,
2003 bisa ditindaklanjuti dengan berbagai makalah, masukan dari
berbagai pihak dan nanti akan dibahas. Sekali lagi saya mengucapkan
terima kasih dan dengan memohon petunjuk dari Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim,
lokakarya terbatas penulisan buku “Krisis Nasional 1965” secara
resmi saya nyatakan dibuka.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
xi
Taufik Abdullah
bunuhan dan penculikan para jenderal tidak lagi bisa dianggap sebagai
sekadar kejahatan politik. Usaha coup d’etat telah terjadi.
Umur coup ini mungkin sekali salah satu yang terpendek dalam
sejarah modern dunia. Dalam waktu yang teramat singkat, counter
coup berhasil menyusun kekuatan. Menjelang malam tiba usaha coup
d’etat itu praktis telah lumpuh. Meskipun demikian, kembali ke situ-
asi semula, ke status quo, sebelum peristiwa itu terjadi, hanya tinggal
dalam khayal belaka. Indonesia yang “kemarin” kini telah berakhir.
Peristiwa di malam menjelang subuh yang naas itu telah dengan be-
gitu saja membawa Indonesia memasuki periode baru dari sejarah
kontemporernya. Peristiwa tragis itu telah mendirikan tonggak “batas
sejarah” yang kokoh. Kini, setelah lebih dari empat dasawarsa ber-
lalu, tampaklah bahwa peristiwa tragis menjelang subuh itu sesung-
guhnya hanya satu dari sangat sedikit “batas sejarah” yang berdiri
di saat peristiwanya masih berjalan. “Batas sejarah” ini otentik pada
dirinya. Batas itu hadir begitu saja tanpa campur tangan siapa pun
juga.
Konsep “batas sejarah” atau boleh juga disebut “awal suatu peri-
ode” yang secara konseptual dianggap sebagai mengakhiri periode
sebelumnya, adalah alat-akademis, yang dibuat untuk menentukan
awal dari suatu corak dinamika sejarah yang menjadi perhatian po-
kok. Jika saja dinamika itu sejalan dengan yang pernah diimpikan
dan diperjuangkan, maka peristiwa yang dianggap sebagai “batas
sejarah” atau awal periode itupun dirayakan. Ambillah peristiwa
“Sumpah Pemuda” sebagai contoh. Betapapun, kini peristiwa yang
terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 itu dianggap dan dirasakan sa
ngat penting dalam proses pembentukan bangsa, nation formation,
dan pematangan nasionalisme Indonesia, tetapi ketika terjadi, peris-
tiwa itu hanyalah diketahui sebagai satu dari sekian banyak peristiwa
atau kejadian dalam waktu yang sama. Makna sejarah dan terutama
makna simbolik dari Sumpah Pemuda barulah kemudian disadari
dan diakui dan bahkan dirayakan. Maka peristiwa sederhana itupun
dilihat dan dirasakan sebagai awal dari kelahiran bangsa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
angsur tetapi dengan intensitas yang tinggi partai yang selama ini
sangat militan dan terorganisasi rapi itu diketepikan secara drastis,
dan kemudian dengan resmi dibubarkan dan dijadikan sebagai partai
jangan pula tindakan yang drastis dan keras itu sesungguhnya tipuan
yang dilancarkan secara melingkar—membiarkan kawan-kawan
sendiri terbunuh untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Atau, mungkinkah pula kekuatan asing yang menggerakkannya? Atau
dan atau? Sekian banyak pertanyaan pokok dan ranting lain bisa dan
telah diajukan. Tetapi, bukankah rekonstruksi dari suatu peristiwa di
masa lalu barulah bisa disebut sejarah kalau telah didampingi oleh
“keterangan peristiwa”, historical explanation?
Maka tiba-tiba pesan moral dan filosofis dari film klasik Rashomon
tidak lagi terasa sebagai fiksi tentang kebenaran yang bisa tampil de
ngan wajah yang banyak, tetapi contoh estetis tentang realitas keras
dan tragis yang mencekam kehidupan bangsa. Film arahan Akira
Kurasawa yang mempesona dan memukau ini hanyalah sekadar
berkisah tentang berbagai wajah dari “kebenaran” otentik yang di-
rasakan dan disampaikan oleh mereka yang berada di dalam dan di
sekitar peristiwa yang dijadikan sebagai fokus perhatian. Seorang
bangsawan yang sedang melakukan perjalanan dengan istrinya mati
terbunuh. Pembunuhan ini merupakan fakta yang riil dan keras. Suatu
“kronikel sejarah” yang pasti, jika hal ini diumpamakan sebagai peris-
tiwa sejarah. Tetapi bagaimanakah terjadinya fakta yang keras itu?
Sang pembunuh, yang berhasil ditangkap, memberi kesaksiannya.
Istri sang bangsawan tampil dengan kesaksian yang berbeda. Seorang
petani yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa, tetapi melihat
peristiwa pembunuhan itu, memberikan kesaksian yang lain lagi.
Akhirnya, lewat medium, bangsawan yang terbunuh itu tampil pula
dengan versinya sendiri. Kisahnya selesai, tetapi kesaksian siapakah
yang memantulkan kebenaran yang otentik? Pembunuhan itu telah
terjadi dan tidak bisa diulang lagi. Tetapi rekonstruksi manakah yang
“benar” dan seutuhnya atau sesungguhnya mewakili peristiwa yang
telah berlalu itu?
www.facebook.com/indonesiapustaka
realitas empirik yang keras, suatu peristiwa yang tak mungkin sama
sekali disamarkan sebagai “realitas dalam teks”, betapapun mungkin
canggihnya argumen dari para dekonstruksionis sejarah. Lebih dari-
pada sekadar terjadi, peristiwa itu telah meninggalkan dampak yang
mencekam dalam struktur ingatan kolektif bangsa. Peristiwa itu telah
pula menimbulkan akibat yang fundamental dalam tatanan kehidup
an bangsa dan negara. Maka, mungkinkah kebenaran yang tunggal
dan otentik didapatkan tentang peristiwa keras, yang telah membuat
“batas sejarah” itu?
Tidak seperti halnya dengan kebenaran dalam pemahaman filsa-
fat yang mungkin saja dapat membawa kita ke dalam lautan pemikir
an yang tanpa tepi, bahkan mungkin juga mengharuskan kita untuk
mengarungi wilayah misteri tanpa jawaban yang pasti dan final, “ke-
benaran sejarah” hanya menuntut hal yang sederhana saja—“apakah
yang terjadi sesungguhnya di masa lalu itu”? Jadi yang dicari bu-
kanlah kebenaran yang telah melampaui kenyataan empirik, tetapi
hanya kebenaran empirik saja. Tetapi, meskipun terasa sederhana,
bagaimanakah mendapatkan kebenaran empirik yang terjadi di masa
lalu itu? Jangan-jangan dalam kasus G30S ini kita sebenarnya bukan
saja berhadapan dengan masalah kebenaran yang bisa sangat elusive,
tak bisa dipastikan, tetapi dengan percampuran berbagai corak kese
jarahan yang pernah diteorikan Bernard Lewis, sejarawan, dan orien-
talis Inggris yang terkemuka.
Sejarah atau pengetahuan tentang masa lalu, katanya, bisa saja
adalah penemuan kembali hal-hal yang terjadi di masa lalu, yang
sekian lama telah terkubur dalam lautan lupa. Inilah pengetahuan
tentang peristiwa masa yang recovered, ditemukan kembali. Tetapi
banyak juga unsur-unsur dari pengetahuan masa lalu itu terekam
dalam kenangan kolektif dan catatan kesejarahan. Jadi peristiwa itu
sesuatu remembered, teringat. Keduanya—masa lalu yang teringat
www.facebook.com/indonesiapustaka
tak bisa lagi diulang agar corak kebenaran aktualitasnya bisa dipas-
tikan? Sekali terjadi, maka yang tertinggal hanyalah ingatan atau
bekas-bekas yang mungkin bisa dipakai sebagai sumber pengetahuan
tentang yang telah terjadi itu. Karena itulah bisa juga dikatakan bah-
wa ilmu sejarah adalah usaha kritis dan akademis yang selalu sibuk
memperbaiki hasil rekonstruksi yang telah terbentuk.
Kalau memang begitu, maka masalahnya ialah suatu kenyataan
bahwa tidak jarang sumber yang bisa dipakai untuk menjawab per-
tanyaan tentang kejadian di masa lalu itu tidak lagi dapat ditemukan
atau mungkin pula telah terlupakan. Ketika jawab yang dicari itu telah
dilandasi oleh hasrat untuk mendapatkan legitimasi bagi apa saja,
maka orang bisa saja tergelincir pada sejarah hasil “bikinan”, invent-
ed. Dengan begini, maka fiksi ataupun fabrikasi peristiwa pun telah
memasuki relung-relung rekonstruksi sejarah, yang ingin mendapat-
kan “fakta” yang sesungguhnya itu. Dichtung und Wahrheit, khayal
dan kebenaran, kata orang Jerman, telah menemukan keakraban.
Mitos mungkin bisa dianggap sebagai pantulan dari kegagalan un-
tuk menemukan jawaban faktual terhadap pertanyaan yang funda-
mental demi terwujudnya hasrat akan keutuhan sosial-kultural, atau
sebagai hasil usaha untuk menjadikan fakta empirik sebagai simbol
dari sistem nilai yang ingin dijaga atau dikembangkan, tetapi fabrika-
si atau pemalsuan sejarah—invented history—adalah pancaran dari
keinginan hegemonik atau, bisa juga, pengingkaran terhadap sistem
hegemoni yang sedang bercokol. Ketika ketiga corak asal-usul rekon-
struksi kesejarahan ini telah saling menemukan afinitas yang kokoh
dalam sebuah “rekonstruksi sejarah”, maka kita pun terpaksa meng-
gapai-gapai dalam ketidakpastian pengetahuan. Unsur manakah yang
benar, dan manakah pula hasil khayal?
Jika saja kita bertolak dari praduga bahwa sejarah sebagai hasil
dari usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lalu—jadi
www.facebook.com/indonesiapustaka
10
11
12
siapa, atau apa yang mendapat dukungan “50% plus satu”, Indonesia
juga telah kehilangan “elan revolusi”nya. Berdirinya Demokrasi
Terpimpin adalah juga sesungguhnya berarti ‘the rediscovery of our
revolution’, “Penemuan kembali revolusi kita”, sebagaimana judul pi-
datonya di Hari Kemerdekaan 1959. Pidato kenegaraan inilah yang
dijadikan sebagai landasan perumusan ideologi instrumental yang
disebut Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 45, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin)
Demokrasi Terpimpin adalah sistem politik dan sosial yang ingin
mendapatkan kembali “kepribadian nasional” dan “élan revolusi”
dengan menjalankan musyawarah dan mufakat, terpimpin, maka
ekonomi terpimpin pun diperkenalkan pula, sedangkan proses peng
ambilan keputusan dijalankan sesuai dengan keharusan UUD 1945,
yang memberi kekuasaan lebih besar pada pihak eksekutif. ‘There is
no journey’s end to a struggling nation”—Tidak ada akhir perjalanan
bagi bangsa yang berjuang”, kata Bung Karno yang suka memakai ung
kapan asing, maka paradigma konflik dalam memahami realitas sosi
al-politik pun diperkenalkan, melalui pidato, ceramah, sistem peng
ambilan keputusan, dan—mudah-mudahan sekarang masih berada
dalam ingatan kolektif bangsa—indoktrinasi politik. Dalam suasana
pemikiran yang serba-revolusi ini, secara ideologis dunia pun dibagi
atas dua kekuatan yang berada dalam situasi pertentangan antago-
nistik yang tidak bisa diperdamaikan—antara New Emerging Forces
dan Old Established Forces. Komunitas bangsa pun bisa juga terseret
menjadi dua kekuatan yang tak terdamaikan, antara kekuatan revo
lusioner dan kontra-revolusioner. Dalam suasana pemikiran seperti
ini yang ditopang pula oleh paradigma konflik dalam melihat dunia,
maka mestikah diherankan kalau sistem wacana juga sangat diwarnai
oleh pemakaian bahasa yang bersifat hiperbola, yang serba membe-
sar, dan dihiasi oleh pemilihan kata yang keras (violent words)?
www.facebook.com/indonesiapustaka
13
14
15
16
17
otentik? Hal ini rupanya juga disadari benar oleh pihak yang sedang
melakukan ofensif balasan itu. Karena itulah, untuk mengatasi segala
keraguan tentang otentisitas dari kebenaran yang telah dirumuskan
ini, dan sejalan pula dengan operasi militer dan penangkapan serta
pengerahan massa, usaha mempertahankan kredibilitas dari jawaban
yang telah diberikan terhadap pertanyaan fundamental dari peristiwa
itu dilakukan pula secara intensif. Sosialisasi dari rekonstruksi se-
jarah yang telah dibuat pun dijalankan juga. Jadi tidaklah menghe
rankan kalau sinkronisasi antara tindakan dan sistem wacana, yang
dijalankan ketika segala peristiwa masih berada dalam perbendaha-
raan ingatan pada tahap tertentu berhasil juga memberikan aura ke-
benaran. Apa yang dikatakan itu diusahakan agar diterima masyara-
kat sebagai gambaran dari kebenaran yang otentik. PKI adalah dalang
dan para pelaksana usaha coup, yang membawa bencana itu adalah
mereka yang telah berada di bawah pengaruhnya. Dengan begini se-
cara konseptual dan ideologis perwira dan anggota TNI yang ikut ser-
ta dalam gerakan itu dijadikan sebagai fakta yang “tidak pernah ada”,
karena mereka sesungguhnya telah terlebur ke dalam kategori musuh
yang harus disingkirkan.
Dalam alur pemikiran seperti inilah di belakang kata G30S, apa
pun mungkin landasan ideologis sesungguhnya dari gerakan ini, di
tambahkan kata “PKI”. Keduanya bukanlah sekadar dua kesatuan
yang beraliansi, G30S/PKI dijadikan sebagai suatu keutuhan yang ti-
dak terpisahkan. Maka terlupakanlah bahwa untaian kata yang per-
tama, G30S, adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan, sedangkan
yang kedua, PKI, adalah tuduhan yang dikenakan pada fakta itu.
Betapapun mungkin tingginya otentisitas yang diberikan oleh
jawab tunggal ini, tetapi dalam perjalanan waktu dan dinamika kese
jarahan, jawab pasti yang telah diberikan itu mulai pula kehilangan
monopoli. Kebenaran lain mulai memasuki dunia wacana. Indonesia
www.facebook.com/indonesiapustaka
ternyata bukan saja tidak sebuah negeri yang tertutup, tetapi juga ter-
diri atas keragaman yang bisa melahirkan pertanyaan dan jawaban
yang berbeda-beda. Di samping peneliti dan pengamat asing yang
18
19
jangan-jangan Dewan Jenderal yang dianggap ada dan riill ini akan
mengadakan coup. Kalau usaha coup ini betul-betul terjadi berarti
lonceng kematian PKI akan segera pula dibunyikan. Apalagi pimpin
an PKI tampaknya percaya benar bahwa penyakit yang diidap Bung
Karno telah semakin parah juga. Bukankah dokter-dokter dari RRT
telah meyakinkan Aidit soal ini? Kalau sekiranya Presiden Sukarno
ditakdirkan tidak bisa lagi berfungsi, bukankah militer lebih mem-
punyai kesempatan untuk merebut kesempatan untuk menduduki
pusat kekuasaan? Maka dalam alur pemikiran seperti ini, bukankah
sebaiknya rencana Dewan Jenderal itu didahului? Kegagalan dalam
alur berpikir inilah barangkali yang menyebabkan Bung Karno me
ngatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S ialah karena “PKI
keblinger”. Tetapi, kalau argumen ini dilanjutkan, bukankah Sukarno,
yang telah semakin akrab dengan PKI, menyadari juga hal ini, se-
hingga sebagaimana telah di-teori-kan juga, ia mungkin juga terlibat
dalam tahap perencanaan G30S itu, meskipun pembunuhan sama
sekali berada di luar skenario?
Dugaan tentang keterlibatan Sukarno umumnya bertolak dari se-
buah kesaksian, tanpa adanya sumber bandingan sebagai alat yang
disebut corroboration, alat penguji kebenaran, dan dari apa yang
bisa disebut sebagai circumstantial evidents, bukti-bukti yang ter-
bentuk berdasarkan pemahaman tentang logika dari sifat dan jalan-
nya peristiwa. Di masa-masa kritis, ketika PKI telah ditumpas dan
ketegangan antara Sukarno dengan kekuatan militer, di bawah
pimpinan Soeharto, dengan dukungan masyarakat yang anti-PKI,
terutama para mahasiswa dan pelajar, semakin memanas, kalangan
MPRS, yang telah mengalami pembaharuan dan diketuai Jenderal
Nasution, mempunyai kecurigaan yang agak keras juga atas keterli-
batan Sukarno. Seorang penulis/wartawan asing yang sengaja datang
ke Indonesia mungkin bisa dianggap sebagai peninjau pertama yang
mencurigai Bung Karno. Buku sang wartawan ini bahkan mendapat
www.facebook.com/indonesiapustaka
20
21
22
23
24
kankah Sukarno dengan nada pasti mengatakan adanya axis atau po-
ros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang-Beijing yang berarti membawa
25
sumber yang dengan sengaja dibuat oleh aktor yang terlibat atau oleh
suatu kepentingan politik untuk mengelabui. Maka berbagai corak
kritik pun harus diperlakukan. Tetapi masalahnya pun muncul juga
26
27
28
29
30
31
sejarah yang ingin dihancurkan dengan begitu saja telah diambil alih.
“Hanyalah versi sejarah saya yang benar”, katanya sambil menuntut
pembalasan dendam sejarah.
32
dalam KAPI atau KAPPI bagi para pelajar yang telah menjadi anggota
organisasi yang mempunyai afiliasi politik.
33
34
35
penentangnya. Tetapi terlepas dari semua itu, ia, sang Panglima Besar
Revolusi, telah dijadikan tak relevan oleh aliansi kekuatan politik
yang sedang terbentuk.
Begitulah, di saat-saat peristiwa krisis politik berlangsung dengan
sangat cepat bahkan saling bertumpukan ini, kedudukan Presiden
Sukarno semakin terjepit juga. Betapapun mungkin wacana revolu-
si yang dipupuk dan diajarkannya masih dipakai, tetapi makna dan
arah wacana itu telah semakin menjauhi ajarannya. Ketika ia men-
coba untuk mengembalikan sesuatu yang dirasakannya telah mulai
hilang, dengan membentuk kabinet yang terbesar dalam sejarah ia
pun mendapat penentangan yang nyaris total dari para mahasiswa.
Istana diblokir, sehingga para menteri baru yang akan menghadiri si-
dang kabinet pertama dilantik harus didatangkan dengan helikopter.
Tetapi ketika itulah korban di kalangan mahasiswa jatuh, dan seketika
itu pula jalan kembali telah tertutup. Dengan tergesa-gesa Presiden,
diikuti beberapa menteri senior, menyingkir ke istana Bogor. Di sini-
lah Presiden akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Super
Semar), yang sampai kini kontroversial, kepada Soeharto, Menteri
Pertahanan yang telah semakin memperkuat basis kekuasaan. Sejak
itu Sukarno hanya bisa bergerak dalam suasana kepura-puraan, se-
bab realitas kekuasaan telah mulai berpindah.
Apa pun mungkin latar belakang dari Super Semar itu dan seperti
apa pun suasana yang mengitarinya, namun yang jelas ialah surat
perintah ini bermata dua. Di satu pihak, surat perintah ini seakan-
akan memberi kekuasaan yang tak terbatas kepada Soeharto untuk
menyelesaikan masalah keamanan, tetapi di pihak lain perintah ini
menjerat sang pengemban perintah. Sebab ia diperintahkan untuk
menjaga keselamatan Presiden, memelihara ajaran Pemimpin Besar
Revolusi, dan melaporkan semua tindakannya kepada Presiden.
Hanya saja yang terjadi tidak selamanya sesuai dengan skenario
www.facebook.com/indonesiapustaka
36
37
dianggap sebagai hal yang biasa saja, tetapi karena diajukan kepada
“Bapak Bangsa”, maka hal ini hanya berarti satu—krisis kepercayaan
tidak lagi bisa diatasi. Ketika pidato yang dinamakan Nawaksara di-
tolak dan MPRS, yang menuntutnya memberi tambahan, maka Bung
Karno, yang mencoba tetap tegar, tinggal menunggu hari saat ia ha-
rus meninggalkan Istana Negara—istana yang pernah menerimanya
dengan penuh kemegahan pada tanggal 29 Desember, 1949, ketika
ia dengan penuh kemenangan kembali ke kota Proklamasi, setelah
sekian lama memimpin revolusi nasional di Yogyakarta.
alau saja slide-slide sejarah bisa dilhat lagi, maka bagaimanakah
K
akan terlupakan peranan Sukarno dalam proses pematangan tumbuh-
nya sebuah bangsa yang bernama Indonesia? Berbagai kritik akademis
bisa disampaikan pada pidato Bung Karno, yang berjudul Indonesia
Menggugat, di hadapan pengadilan Belanda di Bandung pada tahun
1930, bahkan juga terhadap pidatonya yang maha terkenal yang di-
ucapkan di sidang BPUPKI di bulan Juni 1945, Lahirnya Pancasila,
tetapi kedua pidato itu sangat inspiring dan jauh memasuki ingatan
dan kesadaran bangsa. Kedua pidato itu—dengan fungsi yang ber-
beda-beda—adalah dua klasik yang penting dalam sejarah pemben-
tukan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Tetapi kini, sekian tahun
kemudian, betapapun mungkin Sukarno berusaha untuk mematah-
kan semua argumen yang menentang dirinya, pidato yang berjudul
Nawaksara dan tambahannya, dengan mudah tenggelam ke dalam
lautan lupa. Kedua pidato itu tidak lagi menghadirkan Sukarno yang
selalu bisa membangkitkan semangat bangsanya dalam menghadapi se-
gala hambatan dan tantangan. Bahkan pidato Hari Proklamasi (1967),
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, hanya menjadikan publik-
politik ibukota semakin bertambah sadar akan situasi kekinian.
ejak penolakan MPRS terhadap pidato tambahan Nawaksara,
S
yang dikatakan Soekarno bukanlah suatu pertangungjawaban, tetapi
www.facebook.com/indonesiapustaka
38
39
40
41
42
43
terasa kecil, bahkan kecil sekali, jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi sesudahnya, tetapi bukankah—jika perbandingan sejarah bo-
leh dilakukan—Perang Dunia I dengan begitu saja seperti tercetus
oleh pembunuhan Putra Mahkota Austria di Sarajewo? Seketika pem-
bunuhan itu terjadi segala unsur-unsur konflik yang telah terkumpul
dalam hubungan internasional dengan begitu saja meledak keluar.
Begitu pula malam menjelang subuh 1 Oktober itu mungkin hanya
melenyapkan nyawa enam jenderal dan seorang perwira muda, tetapi
seketika terjadi serta-merta peristiwa itu segera mencetuskan konflik
yang maha dahsyat. Peristiwa kecil kadang-kadang bisa juga men-
jadi pencetus dari perstiwa besar. Peristiwa kecil itu ternyata telah
membuka sumbat-sumbat konflik yang dahsyat. Maka begitulah, luka
parah bangsa yang dimulai peristiwa di malam menjelang subuh itu
sampai kini masih harus dibalut kain putih.
44
45
46
tiwa di masa lalu itu tidak berubah. Fakta umum tentang ”apa yang
terjadi di mana, dan bila tak begitu saja tergoyahkan, bahkan kerap
kali juga tentang “siapa”, apalagi jika menyangkut zaman yang meng-
hasilkan banyak sumber tertulis dan meninggal bekas-bekas. Maka
betapapun hal-hal detail masih mungkin diperdebatkan dan direvisi
namun gambaran umum telah terwujud. Betapapun mungkin unsur-
unsur esensial tentang “siapa-siapa” yang berada peristiwa “malam
jahanam” tanggal 30 September 1965 masih diperdebatkan, namun
sebagai peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan pada waktu ter-
tentu tidak teringkari, apapun landasan teori dan betapapun sinisme
terhadap kepastian sejarah ingin dikemukakan. Jika demikian halnya,
betapapun suatu rekonstruksi sejarah secara teoretis masih mungkin
direvisi sejak semula, sejak orang mulai merenungkan makna dari
pengalaman yang dilalui, sejarah telah dipakai sebagai bahan per-
bandingan, pelajaran, renungan, perkiraan masa depan, harapan dan
entah apalagi. Maka salahkah seorang pemikir kalau ia mengatakan
bahwa sejarah adalah filsafat yang diwujudkan dalam contoh dari
perilaku manusia?
Kalau demikian masalahnya, maka timbul juga pertanyaan dapat-
kah “kata akhir” dari kontroversi yang telah berumur lebih dari em-
pat puluh tahun ini ditemukan? Seketika pertanyaan ini ditanyakan
bagaimanakah kita bisa mengelak dari kenyataan sederhana, meski-
pun sering terlupakan, bahkan diingkari, bahwa meskipun benar
sejarawan “mengisahkan dan menafsirkan masa lalu, tetapi sekali
gus ia sebenarnya adalah pula peserta dalam sejarah”. Hanya saja,
sebagaimana dikatakan oleh Statement on Standards of Professional
Conduct, yang terbaru dari American Historical Association (2003),
sejarawan melakukan penelitian dan penafsiran masa lalu itu “seba
gai suatu praktek yang bertolak dari disiplin keilmuan”. Adalah tu-
gas sejarawan untuk senantiasa berusaha mendapatkan pemahaman
kolektif tentang masa lalu melalui proses dialog kritis yang panjang
www.facebook.com/indonesiapustaka
47
berhasil merumuskan UUD yang baru. Sebagai jalan keluar dari krisis
multiaspek ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal
Nasution dan Partai Nasional Indonesia mengajukan saran agar
48
49
John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1972,
hlm. 349.
I bid.
Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia, Cet. 3, Jakarta, hlm.
31.
50
51
John D. Legge, op. cit., hlm. 363.
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia,
Jilid VI, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 311.
52
John D. Legge, op.cit., hlm. 360.
53
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, op.cit., hlm. 315.
54
kap Ketua DPR hasil Pemilihan Umum 1955, menyatakan tidak puas
dengan perkembangan keadaan. Sedangkan Mr. Iskaq mengeluarkan
pernyataan yang ditujukan kepada partainya bahwa mereka yang
duduk dalam DPR-GR bukanlah sebagai wakil dari PNI. Hubungan
mereka dengan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam DPR-
GR atas hasil penunjukan.
Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia mengajukan
pengaduan kepada Mahkamah Agung melalui suratnya tanggal 22
Juni 1960. Isinya antara lain mengadukan pelanggaran Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik yang dilakukan oleh Kabinet
di bawah pimpinan Dr. Ir. Sukarno dengan membubarkan Parlemen
hasil pilihan rakyat.
Kabinet yang dimaksud adalah Kabinet Kerja, di mana Menteri-
menterinya terdiri atas Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, para
Wakil Ketua MPRS, dan Ketua DPR-GR. Pengangkatan mereka seba
gai menteri merupakan perkembangan baru dalam tatanegara kita.
Dengan pengangkatan itu dapat diartikan seseorang mempunyai ja-
batan pada dua bidang pemerintah yang berbeda, yaitu memegang
jabatan lembaga legislatif atau yudikatif dengan status eksekutif.
Prinsip Trias Politica telah ditinggalkan, yang sekaligus menyimpang
dari prinsip-prinsip demokrasi. Sinyalemen pimpinan partai dan
tokoh politik yang menentang pembubaran parlemen tidak keliru.
Terbukti dalam praktek demokrasi terpimpin.
Dalam Demokrasi Terpimpin, DPR-GR merupakan lembaga yang
mensahkan secara formal-yuridis setiap keputusan dan tindakan
Presiden, antara lain menyangkut anggaran pendapatan dan belan-
ja negara, politik luar negeri, dan sebagainya. Dalam menegakkan
Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno membubarkan pula Front
Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dan membentuk organisa-
si baru Front Nasional, suatu organisasi massa yang memperjuang-
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ibid., hlm. 316.
55
Revolusi Kedua
Pada saat peran partai-partai politik merosot akibat kebijakan
Presiden Sukarno, sebaliknya bagi Partai Komunis Indonesia (PKI),
terbuka peluang untuk memainkan peranannya secara aktif dalam
politik praktis maupun konsepsi politik. Saat itu, Presiden Sukarno
yang sedang ‘gandrung” kepada revolusi, menyerahkan sepenuhnya
kepada Dewan Nasional untuk menyusun Garis-Garis Besar Haluan
Negara yang bersumber pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1959, dengan rumusan yang menitikberatkan pada persoalan-persoal
an pokok Revolusi Indonesia yaitu: dasar/tujuan dan kewajiban
Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, si-
fat revolusi Indonesia, hari depan revolusi Indonesia dan musuh-mu-
suh revolusi Indonesia.
Dalam kurun waktu sembilan tahun, PKI di bawah pimpinan
D.N. Aidit, Lukman, dan Nyoto, mencapai kemajuan yang luar bi-
asa. Menjelang tahun 1963 jumlah anggotanya telah mencapai sekitar
dua setengah juta orang. Selain itu, PKI juga mempunyai pengaruh
dan jaringan yang luas dengan berbagai lapisan masyarakat me-
lalui organisasi-organisasi massanya, seperti Barisan Tani Indonesia
(BTI), organisasi wanita Gerwani, gabungan serikat buruh SOBSI,
dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mulai saat ini, instabili-
tas politik terus berlangsung, PKI lambat-laun berkembang menjadi
partai terkuat, karena kondisi yang menguntungkan selama periode
Demokrasi Terpimpin.
www.facebook.com/indonesiapustaka
John D. Legge, op.cit., hlm. 366.
56
57
10
Nughroho Notosusanto (Ed.), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Balai Pustaka,
Jakarta, 1985, hlm. 6-7.
11
D.N. Aidit, Membela Pancasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, hlm. 21.
58
59
60
menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang baru dibentuk, dan se-
bagai Kepala Staf Angkatan Darat diangkat Jenderal A. Yani. Dengan
pengangkatannya, bukan berarti Yani adalah salah seorang prajurit
yang berpihak kepada komunis (pro-komunis). Sikapnya terhadap
PKI tidak berbeda dengan Nasution, yang sama-sama berusaha mem-
pertahankan kubu Angkatan Darat dari rongrongan PKI. Namun Yani
dianggap sangat setia kepada Sukarno.
Peluang baik terbuka lagi bagi PKI setelah diadakannya reorganisa-
si ABRI itu. Susunan itu memudahkan Presiden Sukarno merangkul
salah satu Angkatan untuk mendukung politiknya. Akibatnya timbul
persaingan dan sikap saling mencurigai antara Angkatan yang satu
dengan lainnya. Setiap Angkatan berlomba-lomba menjadi yang pa
ling “revolusioner” dan paling setia kepada Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi. Pimpinan Angkatan Darat sejak dini sudah bersikap “waspa-
da”, dan sikapnya itu dipertahankannya dalam suasana persaingan
di kalangan ABRI, sehingga peranannya diperkecil. Khususnya ter-
hadap TNI-Angkatan Darat, PKI melontarkan sindiran yang diucap-
kan oleh D.N. Aidit di depan taruna Akademi Laut, Surabaya, pada
tanggal 29 April 1964. Sindiran yang dimaksudkan untuk menim-
bulkan kebencian angkatan satu dengan angkatan lainnya, antara
lain berbunyi sebagai berikut: “ALRI kita tidak akan menjadi mangsa
‘Jenderal Pentagon’ yang berkulit sawo matang, yang menggambar-
kan seolah-olah musuh yang akan datang menyerbu Indonesia dari
utara (maksudnya RRC), jadi menurut mereka bukan dari SEATO,
bukan dari imperialis Amerika dan Inggris. Pengkhianatan “Jenderal-
Jenderal Pentagon” sawo matang terhadap gagasan Nefo, gagasan yang
memasukkan negeri-negeri sosialis, termasuk RRC sebagai Sekutu
Indonesia, harus dijauhi ALRI.”
Ternyata dalam tubuh Angkatan Laut lahir Gerakan Perwira
Progressif Revolusioner (GPRR) yang sudah digarap oleh PKI. Timbul
www.facebook.com/indonesiapustaka
61
12
Marwati Djoened Poesponegoro dkk, op.cit., hlm. 321.
62
13
Ibid.
63
B.M. Diah, Meluruskan Sejarah, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987, hlm. 127; Pusat Sejarah
14
64
65
15
Ibid., hlm. 379-390
66
lain Karim DP, Nyoto, Asmara Hadi, Waluyo, Suroto Naibaho, dan
Oloan Hutapea. Karena wartawannya terpecah-pecah, maka otoma-
tis koran mereka pun berbeda sesuai dengan garis programnya ma
sing-masing. Pada saat itu paling tidak ada tiga jenis koran. Pertama
koran BPS yang anti-komunis, antara lain Merdeka, Berita Indonesia,
Karyawan, Warta Berita, Semesta, Berita Republik Revolusioner, dan
Garuda. Kedua, koran-koran yang netral antara lain Duta Masyarakat
dan Sinar Harapan. Ketiga, koran-koran yang dimiliki oleh PKI dan
Partindo yang dijadikan sebagai alat kampanye dan propaganda un-
tuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya seperti Harian Rakjat,
Bintang Timur, Warta Bakti, dan lain-lain.
BPS ini mendapat dukungan luas dari masyarakat, di samping
mendapat tantangan hebat dari PKI dan pendukung-pendukungnya.
Melalui surat-surat kabar dan majalah-majalah PKI mencaci maki
BPS dengan tuduhan ‘to kill Sukarno with Sukarnoism’. Tuduhan lain
yang dilemparkan ke alamat BPS adalah koran-koran BPS telah di
suap oleh Amerika melalui agen mereka Central Intelligence Agency
(CIA) sebanyak 500 juta dolar. Uang itu digunakan untuk membiayai
usaha dan propaganda guna menghancurkan ajaran dan diri Sukarno.
Sukarno percaya akan tuduhan ini, oleh sebab itu pada tanggal 17
Desember 1964, BPS kemudian dibubarkan dan bersamaan dengan
itu koran-koran mereka pun dibekukan. Dengan dibekukannya koran
yang anti komunis, PKI berada di pihak yang beruntung. Koran-ko-
ran PKI dapat leluasa menyebarluaskan ide-idenya ke masyarakat.
Hal ini dinilai berbahaya bagi kehidupan masyarakat, oleh sebab itu
ABRI mengadakan dan menerbitkan surat kabar sendiri yang diberi
nama Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan kantor berita baru PAB
(Pemberitaan Angkatan Bersenjata). 16
www.facebook.com/indonesiapustaka
67
(Nasakom).
b. Front Nasional bertujuan untuk menggalang persatuan rakyat
revolusioner.
68
Nugroho Notosusanto (Ed.), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Cet. III, Balai
17
69
70
an. Hal ini diambil karena PKI merasa semakin kuat, dan program-
programnya sudah menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Sejak tahun 1960 tulisan-tulisan dalam media massa PKI, yaitu
Harian Rakjat, mulai bercorak ofensif serta mengumandangkan
pelbagai tuntutan dan reformasi politik dengan mengatasnamakan
rakyat dan kaum manipolis.19 Selanjutnya pada tanggal 8 Juli 1960,
PKI melakukan serangan terbuka terhadap Kabinet Kerja. Politbiro
CC PKI mengeluarkan sebuah pernyataan berisi penilaian terhadap
kebijaksanaan kabinet dan sejumlah menteri (Pembantu Presiden).
Pernyataan itu disiarkan melalui Harian Rakjat, brosur, dan edaran-
edaran dalam bentuk stensil, yang berisi sanjungan terhadap Presiden
Sukarno, tetapi sejumlah menteri yang tidak segaris dengan partai PKI
dinilai salah atau gagal, temasuk di dalamnya Kepala Staf Angkatan
darat (KSAD) Letjen A.H. Nasution dinilai salah dalam mengambil
kebijaksanaan politik keamanannya. Tindakan PKI ini bertujuan un-
tuk meritool para pejabat yang tidak mereka sukai, dengan harapan
kedudukannya dapat digantikan oleh orang-orang PKI.20
Menghadapi ofensif PKI yang mulai meningkat, pimpinan TNI-AD
menyarankan kepada Presiden Sukarno agar tidak terlalu memper-
cayai keloyalan PKI. Saran tersebut diberikan berdasarkan kepada
pengalaman-pengalaman masa lalu. Namun saran tersebut bukan
saja tidak diindahkan oleh Presiden Sukarno, tetapi justru TNI-AD
diperingatkan agar tidak bersikap phobi terhadap PKI, dan tidak me-
nyalahgunakan wewenang selaku penguasa SOB. Selanjutnya pada
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1960, Presiden Sukarno dalam pidato yang berjudul “Jalannya Revolusi
Kita (Jarek)” mempertegas pernyataan kepada pemimpin politik agar
tidak komunisto-phobi.21 Dalam menghadapi lawan politiknya PKI
berhasil menggunakan tangan Presiden Sukarno untuk membubar-
kan Masyumi dan PSI yang dituduh terlibat dalam pemberontakan
www.facebook.com/indonesiapustaka
19
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Ibid., hlm. 28.
20
Ibid., hlm. 29-30.
21
John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, Sinar Harapan, Jakarta, 1985, hlm. 371.
71
22
Depagitprop CC PKI, Resolusi-Resolusi Kongres Nasional Ke VII (Luar Biasa) Partai
Komunis Indonesia, Djakarta, 1962, hlm. 5.
23
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, op.cit., hlm. 35.
72
24
Ibid., hlm. 37.
73
lazim disebut juga “Doktrin Perang Wilayah”, oleh D.N. Aidit disebut
sebagai doktrin pemecah belah antarangkatan. Doktrin ini oleh PKI
sangat ditentang, karena program civic mission yang dilaksanakan
oleh prajurit-prajurit TNI di daerah pedesaan dan kota-kota kecil
yang langsung berhubungan dengan rakyat dan meningkatkan kese
jahteraan rakyat kecil, dianggap saingan terberat PKI dalam menarik
simpatik rakyat.25
Rangkaian ceramah yang dilakukan oleh D.N. Aidit terhadap per-
wira ABRI itu, dimaksudkan sebagai Ofensif Manipolis guna mening
katkan kekuatan legal dan illegal PKI dalam tubuh ABRI. Memasuki
tahun 1964, Ofensif Manipolis PKI makin meningkat dan semua aksi
serta tuntutan mereka dikaitkan dengan pembentukan Kabinet Gotong
Royong berporoskan Nasakom. Di tengah-tengah gencarnya aksi-aksi
dan tuntutan-tuntutan PKI itu, Ketua CC PKI D.N. Aidit memberikan
serangkaian ceramah di depan Pendidikan Kader Revolusi di Jakarta.
Dalam kuliahnya tentang Manipol/Usdek pada tanggal 16 Oktober
1964, D.N. Aidit menyebutkan bahwa “Pancasila hanya sebagai
alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak berfungsi
lagi”. Ucapan D.N. Aidit itu menimbulkan heboh. Semakin jelaslah
belang PKI, bahwa mereka menerima Pancasila hanya sebagai alat
taktik perjuangan sementara, untuk dapat kekuasaan pemerintah
dan negara. Partai-partai politik, ABRI, dan golongan non-komunis,
mempersoalkan ucapan ketua CC PKI itu, namun Presiden Sukarno
yang sudah dirangkul PKI bersikap melindungi, sehingga D.N. Aidit
dengan PKI serta ormas-ormasnya tetap bebas melakukan ofensif. Di
samping itu, PKI melancarkan Ofensif Revolusioner, untuk mencip-
takan “situasi revolusioner” dengan menggalang kekuatan progresif
revolusioner untuk menghancurkan oldefo (old established force) dan
Nekolim (Neo Kolonialisme-Imperialisme). Aksi-aksi itu dilakukan di
seluruh bidang kehidupan, baik dengan cara aksi masa yang terbuka,
seperti demonstrasi, aksi tuntutan, mogok, maupun aksi yang tertu-
www.facebook.com/indonesiapustaka
74
tubuh partai politik, organisasi masa dan ABRI, atau sabotase, sampai
tercapainya situasi revolusioner. Ciri-ciri utama situasi revolusioner
menurut PKI ialah:
a. Masa rakyat aktif melakukan aksi-aksi menuntut perubahan
yang dapat memperbaiki penghidupan mereka.
b. Kelompok anti-komunis dalam kekuasaan politik semakin terde-
sak, segi yang pro-komunis makin unggul dan politik pemerin-
tah makin banyak disesuaikan dengan tuntutan rakyat.
c. Aksi massa makin meluas sehingga peranan rakyat makin besar
dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat dan poli-
tik negara.26
75
itu PKI menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 1945” telah gagal dan
belum selesai. Dikatakan gagal sebab Revolusi itu tidak dipimpin
oleh orang-orang komunis. Revolusi itu hanya dianggap selesai apa-
76
menentang aksi-aksi PKI. Cara yang dipakai oleh PKI ialah membuat
fitnah bahwa BPS sengaja dibentuk untuk menyeleweng ajaran Bung
27
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, op.cit., hlm. 66.
77
Pematangan Situasi
D.N. Aidit selaku Ketua CC PKI memakai dua aparat rahasia yang
disebut Biro Khusus. Orang-orang PKI sendiri sebagai partai yang le-
gal tidak mengetahui eksistensi Biro Khusus ini. Aparat Biro Khusus
merupakan penghubung antara PKI dan Aidit di suatu pihak dengan
ABRI di lain pihak seperti Brigadir Jenderal (Brigjen) Supardjo,
Letnan Kolonel (Letkol) Untung, Kolonel Latief, dan lain-lain, yang
sudah dibina oleh PKI. Biro Khusus diketuai oleh Sjam Kamaruzaman
yang bertanggung jawab langsung kepada D.N. Aidit. Anggota-ang-
gota Biro Khusus tidak boleh datang ke kantor-kantor PKI untuk me-
minta dana atau fasilitas-fasilitas. Mereka sudah mempunyai anggar
an sendiri. Banyak hal yang telah diperbuat oleh Biro Khusus dalam
pematangan situasi menuju ke arah pencetusan kudeta PKI. Menurut
penilaian PKI, lawan-lawan dari partai-partai dan ormas-ormas lain
sudah dapat dikuasai, tinggal satu kekuatan yang merupakan peng-
hambat utama bagi program dan politiknya, yakni TNI-AD. Angkatan
Laut dan Kepolisian sudah dapat dinetralisir, sedangkan pimpinan
Angkatan Udara dianggap progresif dan akan menyediakan
www.facebook.com/indonesiapustaka
fasilitas.
Untuk menghadapi sikap TNI-AD yang dianggap sebagai
penghambat utama bagi pelaksanaan strategi mereka, disusunlah
78
men, karena tanpa tanda tangan ataupun paraf dan hanya tercantum
nama Gilchrist sebagai si pembuat. Namun Dr. Subandrio mengang-
79
Perencanaan Kudeta
Pada bulan Mei 1965 dalam sidang Pleno IV CC PKI, telah dikoman-
dokan “Perhebat gerakan Ofensif Revolusioner sampai ke puncaknya”.
Slogan ini merupakan tanda dikomandokannya pematangan situasi
www.facebook.com/indonesiapustaka
80
81
82
83
84
Daftar Pustaka
Aidit, D.N. 1964. Membela Pancasila; Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Depagitprop CC PKI. 1962. Resolusi-Resolusi Kongres Nasional Ke VII (Luar
Biasa) Partai Komunis Indonesia, Djakarta: tanpa penerbit
Diah, B. M. 1987. Meluruskan Sejarah. Jakarta: Pustaka Merdeka
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. 1973. Bahan-Bahan
Pokok G30S/PKI Dan Penghancurannya, Jakarta: tanpa penerbit
Legge, John D. 1972. Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan
Notosusanto, Nugroho (ed.). 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-
1969. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1984.
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Projodikoro, Wiryono. Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia. Cet. 3.
Jakarta.
Pusat Sejarah TNI. 1994. Bahaya Laten Komunis Di Indonesia, Pemberontakan
G30S/PKI dan Penumpasannya. Jilid IVA. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.
www.facebook.com/indonesiapustaka
85
AB. Lapian
Munastek
Acara penting pada tanggal 30 September 1965 ialah Musyawarah
Nasional Teknik (Munastek) yang diselenggarakan oleh Angkatan
Darat dan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII). Ketua Munastek
www.facebook.com/indonesiapustaka
86
wakil ketuanya Ir. P.C. Harjo Sudirdjo, waktu itu menjabat sebagai
Menteri Pengairan Dasar dan juga menjadi Ketua I dari PII.
residen, yang juga seorang insinyur, diundang untuk membuka
P
musyawarah ini. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II, Dokter J.
Leimena turut hadir. Waperdam I Dokter Subandrio sedang menga-
dakan kunjungan ke Medan, sedangkan Waperdam III Chairul Saleh
mengunjungi Beijing sebagai pemimpin delegasi RI dalam rangka
perayaan hari nasional Republik Rakyat Cina (1 Oktober). Ikut ser-
ta dalam rombongan presiden ialah Kolonel CPM Saelan (Wakil
Komandan Resimen Tjakrabirawa) dan Kolonel KKO AL Bambang
Widjanarko, yang bertugas sebagai ajudan Presiden.
Sebagaimana lazimnya bila Presiden akan hadir, para undangan
diminta datang satu jam sebelum acara dimulai, yang waktu itu
direncanakan pada pukul 19.00. Menurut seorang peserta, “acara
mundur hingga berjam-jam. Bung Karno datang memberi sambutan
pendek saja. Tidak seperti biasanya. Setelah itu beliau pergi mening-
galkan acara yang baru berlangsung. Mungkin ada yang mengganggu
pikirannya.” Demikian catatannya yang ditulis lebih dari tiga puluh
tahun kemudian. Tidak banyak yang dilaporkan atau diingat tentang
jalannya musyawarah.
Sementara acara berlangsung, menurut Kol. Bambang Widjanarko,
pada pukul 22.00 Bung Karno menerima surat dari Letkol Untung.
Yang menyerahkan surat tersebut ialah Bambang Wijanarko sendiri,
yang diterimanya dari salah seorang DKP (kawal pribadi) bernama
Sogol atau Nitri, yang mengatakan ada surat penting untuk Bung
Karno. Sesudah Presiden menerimanya, surat tersebut dimasukkan
ke kantong celana. Kemudian Bung Karno ke kamar kecil diikuti Kol.
Saelan, AKBP Mangil, dan Bambang Wijanarko. Surat tersebut oleh
Bung Karno dibaca di beranda luar, setelah itu dimasukkan ke dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka
H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Ed. Julius Pour.
Jakarta, Grasindo, 1999, hlm. 376-377.
AR. Soehoed; Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik, Jakarta: Sinar Harapan,
2001, hlm. 195-196.
87
saku kembali dan tidak satu pun di antara pengawalnya tahu tentang
isi surat tersebut.
AIP I Sogol Djauhari Abdul Muchid adalah anggota DKP yang
bertugas di Bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Hanya
dialah yang boleh menyediakan dan menyuguhkan minum untuk
Presiden jika akan berpidato. Namun, kata Sogol (menurut catatan
Kolonel Maulwi Saelan), adegan di atas yang dilaporkan Bambang
Wijanarko “tidak pernah ada. Isinya hanya isapan jempol dan omong-
kosong yang sengaja direkayasa.”
Acara puncak malam itu adalah pidato Presiden Sukarno. Pada ke
sempatan ini beliau mengajak para teknisi untuk bersama buruh dan
tani membina masyarakat sosialis. Kita dapat menundukkan Gunung
Kelud yang setiap tahun meletus dan menghancurkan manusia, bina-
tang, dan tanah sekitarnya. Kita telah melaksanakan proyek Jatiluhur
di Jawa Barat itu untuk menundukkan alam, untuk kesejahteraan ma-
syarakat. Tanpa ilmu pengetahuan, penundukan alam itu tidak mung-
kin dilaksanakan. Pembangunan sosialisme, kata Presiden, tak akan
dapat dibina tanpa pengetahuan teknik. Kita harus berjuang menun-
dukkan alam agar alam tidak menjadi penghalang kita, tapi menjadi
sahabat kita dan memberikan manfaat kepada kita semua. Menjadi
kewajiban kita menundukkan alam, agar alam menjadi kawan kita.
Rahadi S Karni (editor), The Devious Dalang, Sukarno and the so-called Untung-putsch.
Eye-witness report by Bambang S Widjanarko, Den Haag, Interdoc Publishing House, 1974,
hlm. 22-33. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 12.00-13.00, ketika Bung Karno
sudah berada di Halim, Letkol. Suparto diminta mengambil baju Bung Karno di rumah
Ny. Dewi, setelah Letkol Suparto datang membawa minuman dari istana untuk Bung
Karno dan baju uniform Pangti ABRI, baju tersebut digantung di kamar. Bambang
Widjanarko diperintahkan Sukarno untuk mengambil surat dari dalam saku baju, kemu-
dian diserahkan kepada Sukarno, tanpa dibacanya. Bung Karno menerima surat tersebut
dan merobek-robeknya. Surat tersebut adalah surat yang diterima dan dibaca Bung Karno
www.facebook.com/indonesiapustaka
88
Arnold C. Brackman, The Communist Collapse in Indonesia. Singapore, 1970, hlm. 71.
89
bisa bertemu dengan Sukarno jam satu tengah malam, masuk istana
melalui pintu belakang. Saya melihatnya, berjalan ke sana ke mari,
dengan pakaian kebesaran Angkatan Laut. Ketika beliau melihat saya,
ia berkata, ‘Saya tahu mengapa kau datang ....’ Beliau berkata bahwa
operasi itu akan dibatalkan. Bahwa ia lakukan hal ini “sebagai tebus
an terhadap utang kami” untuk bantuan India di Dewan Keamanan
PBB. ‘Tapi kau harus meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Sesudah
itu saya akan menutup bandar udaranya.’ Jadi saya bergegas kembali
ke hotel dan menyuruh istri saya untuk berkemas. Sisanya Anda su-
dah tahu, sudah menjadi sejarah.”
Sesudah ganti pakaian, Bung Karno pergi ke Hotel Indonesia
menjemput Ratnasari Dewi yang sedang berada di Nirwana Supper
Nightclub. Sebelumnya Ny. Dewi telah menghadiri pesta perkawinan
di kalangan korps diplomatik, yaitu Sekretaris I Kedutaan Besar Italia,
Sr. Pensa yang menikah dengan sekretaris dari Kedutaan Besar Belanda,
bertempat di tempat kediaman Duta Besar Italia di Jalan Diponegoro.
Dari sini sekelompok tamu melanjutkan pesta ke Hotel Indonesia.
“Bung Karno dengan rombongan menunggu di tempat parkir pada
halaman hotel, sedangkan Mas Suparto, sopir pribadi Bapak Presiden
menjemput Ibu Dewi yang waktu itu dikawal oleh Ajun Inspektur
Polisi II Sudiyo, seorang anggota DKP. Setelah Ibu Dewi masuk ke
dalam mobil Bung Karno, rombongan Bapak Presiden meneruskan
perjalanan ke rumah Ibu Dewi di Slipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta
Selatan, sekarang ini menjadi Museum [Satria] Mandala.”
Wisma Angkasa
Malam hari pukul 20.00, tanggal 30 September, bertempat di kediam
an resmi Menteri/Pangau terjadi pertemuan antara Laksamana Omar
Dhani bersama anggota pimpinan Angkatan Udara. Hadir pada per-
temuan ini Komodor Dewanto (Deputi Operasi), Komodor Andoko
www.facebook.com/indonesiapustaka
Wawancara A. B. Lapian dengan Shri Biju Patnaik, ‘Menembus Blokade Udara’ Majalah
Sejarah. Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, No. 4, November 1993, hlm. 63-71.
H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Ed. Julius Pour,
Jakarta, Grasindo, 1999, hlm. 377.
90
10
Tidak hadir adalah Laksamana Muda Udara Suharnoko Harbani, Deputi Administrasi,
yang sedang mengikuti kunjungan kerja Lemhannas ke Beijing. Aristides Katoppo dkk.,
Menyingkap kabut Halim 1965. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 70-71. Garda
Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (Pnb)
Heru Atmodjo. Jakarta, PEC, 2004, hlm. 10-11.
91
92
Satgas Pasopati
Hari H dan [d]jam D—menurut kesaksian Nyono—ditentukan Jumat,
tanggal 1 Oktober1965 pukul 04.00 “menjelang fajar”.13 Sementara
sebagian penduduk kota Jakarta masih tidur lelap, komplotan yang
kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September telah siap untuk
melaksanakan rencananya. Pukul 04.00 pagi, tanggal 1 Oktober,
semua pasukan yang ditugaskan untuk menculik para perwira tinggi
telah berada di tempat sasarannya.
Ada tujuh pasukan, masing-masing untuk menangkap/menculik
Jenderal A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40, Letjen A. Yani
di Jalan Lembang, Mayjen TNI Suprapto, Mayjen TNI S. Parman,
Mayor Jenderal TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutoyo Siswomihardjo,
dan Brigjen TNI D.I. Panjaitan. Dalam rencana disebut pula Brigadir
Jenderal Achmed Sukendro, namun karena berada di Beijing bersama
rombongan RI, nama beliau dihapus dari daftar.
“ Gerakan” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung bersama
Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Supardjo, secara operasional diba-
gi dalam tiga satuan tugas, masing-masing dengan nama kode yang
diambil dari dunia pewayangan, (1) Pasopati, yang terdiri dari pa-
sukan Cakrabirawa dibantu anggota Pemuda Rakyat yang telah di-
latih di Lubang Buaya, dipimpin oleh Lettu Dul Arief dan bertugas
untuk menangkap para jenderal; (2) Bimasakti, yang terdiri dari
www.facebook.com/indonesiapustaka
12
Aristides Katoppo dkk, op. cit., hlm. 71-72.
13
‘Gerakan 30 Septmber’ dihadapan Mahmilub, I (Perkara Njono). Jakarta, Pusat Pendidikan
Kehakiman A.D., 1966, hlm. 91-92.
93
Batalion Raiders 454 Diponegoro dari Jawa Tengah dan Yon Raiders
530 Brawijaya dari Jawa Timur, bertugas untuk penguasaan gedung-
gedung RRI dan Telekomunikasi di Lapangan Merdeka, pimpinan
Kapten Suradi; dan (3) Pringgodani sebagai satgas cadangan dipimpin
oleh Mayor Udara Suyono bersama Mayor Udara Gatot Sukrisno.
Hanya Jenderal Nasution yang lolos dari sergapan Operasi Pasopati.
Ketika membuka pintu dan serentak suara tembakan terdengar, be-
liau menjatuhkan diri ke lantai, istrinya menutup pintu kembali dan
menguncinya. Jenderal Nasution lari melalui pintu belakang dan
melompat pagar tembok rumah Duta Besar Irak tetangganya. Pada
waktu melompat pagar, kakinya cedera, tapi Jenderal Nasution bisa
selamat. Namun putrinya, Ade Irma Suryani, yang baru berumur lima
tahun, yang pada waktu itu sedang digendong bibinya, Mardiah, ter-
kena tembakan di punggung dan meninggal beberapa hari kemudian.
Selain itu ajudan Jenderal Nasution, Letnan Satu Piere A. Tendean,
yang malam itu menginap di paviliun, langsung disergap dan dibawa
ke Lubang Buaya. Dalam peristiwa itu, Aipda Karel Satsuitubun, peng
awal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena, yang rumahnya
berdekatan dengan Jenderal Nasution, gugur.
Tiga jenderal—Yani, Haryono, dan Pandjaitan—mati tertembak
sewaktu disergap di rumahnya, sedangkan yang lain bersama Letnan
Tendean, dibunuh di tempat penahanan di Lubang Buaya. Tujuh jen-
deral dengan kisah pengalaman yang berbeda-beda. Nasution dan
istri dibangunkan oleh nyamuk, dan Suprapto tak bisa tidur karena
terganggu oleh sakit gigi. Parman diberi kesempatan untuk menggan-
ti pakaian. Yani masih sempat menghantam penyergapnya. Rumah
Sutoyo diobrak-abrik, sedangkan Haryono belum lama pulang dari
pertemuan di rumah Dr. Eri Sudewo di Jalan Imam Bonjol.
Di rumah Pandjaitan terjadi baku tembak yang seru. Karena dian-
cam bahwa seluruh keluarga akan dihabiskan, maka beliau menye
www.facebook.com/indonesiapustaka
94
Cenko G30S
Pukul 05.00 pagi Letkol Heru Atmodjo tiba di gedung Penas
(Perusahaan Nasional Aerial Survey) yang terletak di bypass ke
Tanjung Priok, di luar pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Maksud kunjungannya ialah atas instruksi Men/Pangau untuk ber-
temu dengan Brigjen Supardjo yang, menurut Mayor Suyono, baru
bisa dijumpai pada jam dan tempat tersebut. Walaupun menurut
sumber resmi Letkol Heru dan Brigjen Supardjo dikatakan sama-
sama berperan dalam G30S dan duduk dalam Dewan Revolusioner,
namun menurut kesaksian Heru, dia sendiri “belum pernah kenal
secara pribadi, kecuali sering mendengar nama dan fungsi Supardjo
di Kolaga”.15
Heru diperkenalkan oleh Mayor Suyono dengan Brigjen Supardjo,
kemudian dengan seseorang yang tubuhnya paling tinggi di antara
mereka, Kolonel Latief, dan berikutnya dengan seseorang yang le
bih pendek dari Heru sendiri dan agak gemuk badannya dibanding
dengan Latief. Dia pendiam, tak banyak bicara kecuali menyebut na-
manya, [Letkol] Untung. Ada dua orang lain yang nampaknya bukan
militer, ‘nongkrong’ sambil mengepulkan asap rokok. Mereka tidak
menyebut namanya dan baru kemudian diketahui bahwa mereka
adalah Sjam Kamaruzaman dan Pono (Supono Marsudidjojo). Kepada
14
Bagian ini didasarkan atas berbagai sumber, antara lain, Mabes ABRI; Bahaya Laten
Komunisme di Indonesia, JIlid IV B, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya;
www.facebook.com/indonesiapustaka
Jakarta: Mabes ABRI, 1995, hlm. 189 -193; John Hughes, The end of Sukarno. A coup that
misfired: a purge that ran wild. Singapore, Archipelago Press, 2002, Bab 3; Mien Sudarpo,
Kenangan masa lampau, II. Jakarta, Sejati & Grasindo, 1997, hlm. 99-102; Irna H.N. Hadi
Soewito, Chairul Saleh, tokoh kontroversial. Jakarta, hlm. 116-118.
15
Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 8. Keterangan selanjutnya dalam
bagian ini diperoleh dari Bab I buku tersebut.
95
Leimena dan Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani. Pada pagi hari itu
Kol. Bambang bertugas di lapangan parkir timur Senayan sebagai in-
spektur upacara dalam gladi resik seluruh pasukan ABRI yang akan
96
ikut serta dalam acara peringatan hari ulang tahun ABRI tanggal 5
Oktober. Sebelum pukul 07.00 Bambang telah berada di Senayan dan
latihan diadakan pada waktu yang ditentukan. Selesai latihan parade
dan defile militer, istirahat sebentar, sebelum dilangsungkan latihan
yang kedua. Selagi istirahat, ada yang memberitakan tentang penem-
bakan dan penculikan terhadap beberapa jenderal. Seorang perwira
mengatakan bahwa ia mendengar ada pula penembakan terhadap
rumah Jenderal Nasution.
ada waktu itu tiba-tiba datang seorang komandan batalion dari
P
kesatuan Angkatan Darat yang melapor bahwa seluruh batalionnya
segera akan meninggalkan tempat karena diperintahkan harus menu-
ju markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur. Akhirnya diputus-
kan latihan dihentikan dan seluruh kesatuan kembali ke pasukannya
masing-masing. Kol. Bambang pun segera naik mobil menuju Istana.
Mendekati istana, mobilnya dihentikan oleh pasukan yang tidak
dikenalnya, tetapi ketika dikatakan bahwa ia ajudan Presiden, diper-
bolehkan masuk istana. Ajudan yang bertugas pada waktu itu adalah
kolonel Sumirat, tetapi beliau tidak berada di Istana. Beberapa orang
tamu yang sedang menunggu di beranda belakang Istana Merdeka
dan yang memang masuk dalam acara untuk bertemu dengan Bung
Karno—termasuk Bapak Leimena—menghujaninya dengan pertanya
an: “Bambang, Bapak ada di mana?”
olonel Bambang: “Segera saya bertindak menanyakan ke sana ke
K
mari. Kawal Pribadi yang berada di Istana saya, tanyai apakah ada
kontak dengan Pak Mangil, Komandan DKP, yang selalu berada dekat
dengan BK. Mereka menjawab tidak ada kontak, baik radio atau tele-
pon. Segera saya telepon ke rumah Ibu Dewi di Jalan Gatot Subroto,
BK tidak ada. Telepon ke Slipi, rumah Ibu Haryati, juga tidak ada.
Terus terang pada saat itu dalam hati saya menjadi panik. Di mana BK
berada?”16
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm.
16
169-170.
97
98
99
bil, ketuk kaca mobil depan, dan memerintahkan supaya Bung Karno
dibawa menuju ke rumah Ny. Haryati, tempat Kolonel Saelan sedang
menantikan kedatangan Presiden. Pukul 07.00 Presiden Sukarno ber-
sama pengawalnya tiba di Grogol.17
Kolonel Saelan melaporkan semua berita yang diterimanya dari
Komisaris Besar Pol. Sumirat. Kol. Saelan minta agar Presiden semen-
tara menunggu dulu, sambil mencari informasi untuk menentukan
langkah-langkah berikutnya. “Tetapi kita tidak bisa lama di sini”, kata
Bung Karno, yang dijawab oleh Saelan bahwa “memang betul, Pak,
dan sebagai alternatif kami akan mencari tempat lain.” Setelah di-
rundingkan oleh Saelan dengan Mangil dan Letnan Suparto tentang
cara menyelamatkan Presiden, diputuskan untuk pindah ke rumah di
Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, yang telah dipersiapkan oleh Komisaris
Pol. Mangil.
Tetapi menjelang pukul 08.30, Letkol Suparto yang ditugaskan un-
tuk mencari hubungan dengan Panglima Kodam Jaya dan Panglima
Angkatan Bersenjata, melaporkan bahwa dia telah mendapatkan kon-
tak dengan Panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang berada di
PAU Halim. Akhirnya Presiden Sukarno atas kehendak sendiri me-
mutuskan pergi ke PAU Halim.18 Rencana ke Jalan Wijaya I Kebayoran
Baru dibatalkan. Sementara itu tiba pula Brigjen Sunario, Jaksa Agung
Muda, bersama Kombes Pol. Sumirat, Ajudan Presiden. Agar tidak
menarik perhatian, mobil Buick Chrysler berukuran besar diganti de
ngan VW Kodok warna biru laut dengan nomor B 75177. Pengawalan
ke PAU Halim, hanya dilakukan oleh Tim Dinas Khusus DKP yang
mengenakan pakaian sipil.
ombongan Presiden berangkat jam 09.00. Dalam perjalanan ke
R
Halim, di dalam mobil VW Kodok, Presiden Sukarno duduk di be-
H. Mangil Martowidjojo, op.cit., hlm. 378-387. H. Maulwi Saelan, op.cit., hlm. 310-311.
17
Jauh sebelum peristiwa G30S, pimpinan Resimen Cakrabirawa memutuskan bahwa jika
18
www.facebook.com/indonesiapustaka
terjadi sesuatu dalam perjalanan pengawalan Presiden yang dapat mengancam kese-
lamatannya, beliau harus dibawa ke asrama ABRI terdekat. Alternatif lain adalah menuju
lapangan udara Halim Perdanakusuma tempat tersedianya pesawat kepresidenan Jet
Star, atau ke pelabuhan AL Layar Berkembang, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II
berlabuh. Alternatif terakhir, beliau dibawa ke Istana Bogor tempat tersedianya helikop-
ter kepresidenan. H. Mangil, op.cit., hlm. 387-388.
100
Dewan Revolusioner
Satuan Bimasakti mula-mula berhasil. Mereka dapat menguasai
Radio Republik Indonesia dan Gedung Telekomunikasi. Hubungan
telepon diputus. Dan sekitar pukul 07.20 pagi masyarakat diberitahu
melalui siaran RRI bahwa Gerakan 30-September yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa telah mengambil alih
kekuasaan; bahwa beberapa anggota Dewan Jenderal ditangkap kare-
na merencanakan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden
Sukarno; bahwa Presiden berada di bawah perlindungan Gerakan
tersebut. Selanjutnya diberitahukan bahwa segera akan dibentuk se-
buah Dewan Revolusioner sebagai pimpinan tertinggi yang meng-
gantikan pimpinan politik yang lama. (Pengumuman tentang Dewan
Revolusi baru disiarkan pukul 14.00).
101
102
103
19
Dikutip dari H. Maulwi Saelan; Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa; Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001. hlm. 181-182.
20
Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 15.
104
sudah berada di sana. Pada waktu itu perjalanan dari Tanah Abang
Bukit ke Halim masih harus melalui Jalan Prof. Sahardjo dan Pasar
Minggu, menuju Cililitan, sehingga sewaktu tiba di Halim, hari su-
dah mendekati pukul 08.30. Laksamana Madya Omar Dhani sedang
berdiri bersama Komodor Leo Wattimena, Panglima Komando Operasi
AU, di luar kantor Komando Operasi. Men/Pangau nampaknya “begitu
antusias” untuk mendengar laporan tentang apa yang terjadi, bahwa
Heru telah bertemu dengan Brigjen Supardjo dan mengantarkannya
ke Istana untuk menghadap Presiden, tapi beliau tidak ada. Belum se-
lesai laporan, Omar Dhani memotong dan mengatakan bahwa “Bapak
[Presiden] akan ke mari. Saya terima berita dari Overste Suparto. Oleh
karena itu kamu ambil Jenderal Pardjo, pakai helikopter itu!”
Tampaknya AURI tengah berada dalam suasana siaga. Semua
perwira dan penerbang berada di pos masing-masing. Ketika Letkol
Heru mendekati helikopter, penerbangnya telah mengerti tugasnya.
Pesawat disuruh terbang menuju Medan Merdeka Utara dan menda-
rat di lapangan utara Monas. Dari ketinggian tertentu tampak pasu-
kan Raiders berbaret hijau berada di Merdeka Selatan depan Gedung
Telkom dan di Merdeka Barat dekat Gedung RRI. Tampak pula bahwa
mereka berada dalam keadaan istirahat, bersantai, bahkan ada yang
tengah “bermain lempar pisau”.
Setelah helikopter mendarat, Letkol Heru ke luar menuju Istana
Merdeka. Rupanya Brigjen Supardjo tengah menunggu dan telah me-
lihat pesawat mendarat. Tanpa banyak basa-basi keduanya menuju
ke lapangan dan naik helikopter yang mesinnya tetap dihidupkan,
lalu pesawat segera terbang ke Halim.21
Pertemuan di Halim
Suasana gelisah di Istana Merdeka mulai membaik sejak terjadi
hubungan dengan rombongan Bung Karno. Sebuah jip milik DKP
www.facebook.com/indonesiapustaka
105
22
Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm. 171.
106
107
Asia, jilid 9, no. 2, 1979, halaman 249. Lihat pula Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief.
Soeharto terlibat G 30 S. Jakarta, Institut Studi Arus Indformasi, 2000; dan Victor M. Fic,
Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965. The collusion with China which destroyed
President Sukarno and the Communist Party of Indonesia. (draft 2004, hlm. 161-165).
108
24
Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, ed. Garda Sembiring
dan Harsono Sutedjo. Jakarta, People’s Empowerment Consortium (PEC), 2004, hlm. 25.
109
Presiden di Halim
Sementara itu, sekitar pukul 11.00, Presiden telah pindah ke rumah
Komodor Udara Susanto. Brigjen Sabur, Kapten Udara Soewarta, dan
Letnan Udara Soehardi dari PAU Halim, ditunjuk sebagai perwira
yang melayani Presiden. Seperti telah dikatakan di atas, Presiden
memerintahkan kepada ajudan Kombes Pol. Sumirat untuk memang-
gil Laksamana Madya Laut R.E. Martadinata (Men/Pangal), Inspektur
Jenderal Pol. Soetjipto Judodihardjo (Menpangak), Mayjen Umar
Wirahadikusuma (Pangdam V/Jaya), Jaksa Agung Brigjen Soetardjo,
dan Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena. Semua yang dipanggil
hadir, kecuali Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma.
arena dilaporkan bahwa Mayor Jenderal A Yani telah meninggal,
K
Presiden berusaha mencari penggantinya. Beberapa nama diajukan
untuk dipertimbangkan, dan akhirnya diputuskan untuk mengang-
kat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Men/Pangad.
Untuk itu Kolonel Bambang Widjanarko diberi tugas untuk memang-
gil Mayjen Pranoto.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bambang Widjanarko mengha-
dap ke Mayjen Soeharto di Markas Kostrad. Ternyata Soeharto tidak
mengizinkan, sebagaimana sebelumnya ia juga tidak mengizinkan
Brigjen Umar memenuhi panggilan Presiden. “Saat ini Panglima AD
Jenderal Yani tidak ada. Pimpinan untuk sementara di tangan saya,”
kata Mayjen Soeharto kepada Bambang. “Sampaikan pada Bapak
agar semua instruksi mengenai AD harap disampaikan kepada saya.
Jenderal Pranoto saat ini tidak dapat menghadap.” Lalu ditambah-
kan pula bahwa “...saya minta usahakan sedapat mungkin agar Bapak
secepatnya keluar dari Halim” sambil mengisyaratkan bahwa PAU
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm.
25
179-180.
110
Dikutip dari Pidato Pimpinan Angkatan Darat Major Jenderal Soeharto Pada tanggal 1
26
111
112
Daftar Pustaka
Abdul Latief. 2000. Pledoi Kol. A. Latief. Soeharto terlibat G 30 S. Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi.
Bambang Widjanarko. 1988. Sewindu bersama Bung Karno. Jakarta:
Gramedia.
“Bersama Buruh dan Tani Para Tehnisi Mbina Masyarakat Sosialis”, dalam
Harian Berita Yudha; 1 Oktober 1965.
Brackman, Arnold C. 1970. The Communist Collapse in Indonesia.
Singapore.
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Hughes, John. 2002. The End of Sukarno: a Coup That Misfired: A Purge That
Ran Wild, Archipelago Press.
Karni, Rahadi S. dkk (editor). 1974. The Devious Dalang, Sukarno and the so-
called Untung putsch Eye withness report by Bambang S Widjanarko.
Den Haag, Interdoc Publishing House.
Katoppo, Aritides. 1999. Menyingkap Kabut Halim. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Mangil Martowidjojo, H. Ed. Julius Pour. 1999. Kesaksian tentang Bung
Karno 1945-1967. Jakarta: Grasindo.
www.facebook.com/indonesiapustaka
113
114
AB. Lapian
115
seperti misalnya Brian May, The Indonesian Tragedy, Singapura, Graham Brash, 1978,
hlm. 83; Audrey R. dan George McT. Kahin, Subversion as Foreign policy, New York, 1995,
hlm. 114-115. Oltmans mengatakan bahwa Presiden J.F. Kennedy telah minta maaf kepa-
da Presiden Sukarno, Willem Oltmans, Dibalik Kterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
Jakarta, Aksara Karunia, 2001.
116
117
118
119
kapal selam, dsb. Patut dicatat bahwa bantuan ini diberi berupa pin-
jaman yang harus ditebus kembali di kemudian hari.
Perkembangan penting selanjutnya ialah hubungan dengan
Republik Rakyat Tiongkok, satu-satunya negara besar yang mendu-
kung politik konfrontasi RI terhadap Malaysia. Dijanjikan pula ban-
tuan RRT untuk rencana mengadakan Conefo, konferensi antara New
Emerging Forces, sementara dilontarkan gagasan mengenai poros
Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang.
Hubungan yang baik antara Presiden Sukarno dengan PKI sangat
terlihat ketika partai ini merayakan ulang tahunnya yang ke-45, tang-
gal 23 Mei 1965 di stadion Senayan. Massa rakyat yang membanjiri
stadion bisa menyaksikan Presiden spontan merangkul Aidit, dan
bisa mendengar pidatonya yang menegaskan bahwa PKI merupakan
partai yang paling konsisten revolusioner.
Kesehatan Presiden
Faktor penting di tengah-tengah ketegangan politik pada tahun 1965
ialah spekulasi mengenai keadaan kesehatan Presiden Sukarno.
Sudah selang beberapa tahun Presiden menderita penyakit ginjal dan
tekanan darah tinggi. Tanggal 4 Agustus 1965 kesehatannya sangat
memburuk sehingga harus dibawa ke tempat tidur. Walaupun bebera
pa hari kemudian beliau sembuh dan sudah aktif kembali melak-
sanakan segala macam acara kepresidenan, berbagai kalangan mulai
membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika
Presiden tidak lagi bisa berfungsi.
Terutama di kalangan dua kekuatan utama—TNI dan PKI—kecu-
rigaan tentang langkah-langkah yang sedang direncanakan pihak la-
wan tentu menjadi topik diskusi. Beberapa bulan sebelumnya, awal
Mei 1965, Badan Pusat Intelijen mengumumkan bahwa pimpinan
tertinggi TNI telah membentuk sebuah “Dewan Jenderal” yang se-
www.facebook.com/indonesiapustaka
120
Kudeta
“Gestapu” atau “Gestok”, dua nama yang muncul bulan Oktober 1965.
Yang pertama mengacu pada tindakan Letkol Untung dan kawan-
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ken Conboy, Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, Jakarta/Singapore: Equinox,
2004, hlm. 40
Theodore Friend, Indonesian Destinies, Cambridge Mass. & London, UK, The Belknap
Press of Harvard University Press, 2003, hlm. 102.
121
Konspirasi
Konspirasi adalah suatu komplotan yang per definisi bersifat rahasia.
Oleh sebab itu tidak banyak konspirasi yang bisa direkonstruksi se-
cara tuntas, kecuali semua pelaku dan saksi mata bisa dan mau se-
www.facebook.com/indonesiapustaka
bab itu sebuah rekonstruksi yang menyeluruh dan tuntas dalam hal
peristiwa G30S tidak memungkinkan lagi. Banyak narasumber su-
dah tiada, sedangkan sumber tertulis tidak dapat digunakan at face
value.
Namun, peristiwa penting ini, yang kini diingat sebagai mala-
petaka nasional, patut selalu dipelajari dan dikaji agar hal-hal yang
masih diliputi kabut menjadi lebih terang berdasarkan sumber baru
atau interpretasi baru dari sumber yang lama. Menurut sumber yang
belum lama diterbitkan, masih ada serial buku yang akan diterbitkan
oleh Solidamor dan TAPOL. Dengan demikian, arus informasi akan
terus berjalan untuk dapat dipelajari nanti dan melengkapi pengeta-
huan saat ini.
Kesaksian Heru menunjukkan pula bahwa keterangan yang di-
berikan di hadapan Mahmilub tidak semuanya dapat diandalkan.
Malahan untuk menyelamatkan diri sendiri terdakwa bisa saja me-
mindahkan tuduhan kepada teman sesama Tapol. Informasi seperti
ini menjadi petunjuk bahwa penelitian sumber harus dilaksanakan
dengan lebih cermat.
Sebenarnya dalam hal G30S, para pelaku peristiwa sudah jelas.
Bahkan pelaku utama, Letkol Untung, dengan tegas mengatakan
bahwa dia sendiri yang bertanggung jawab sepenuhnya. Akan tetapi
semua peneliti tidak percaya bahwa dialah otak dari Gerakan terse-
but. Maka muncul berbagai teori tentang siapakah dalang peristiwa
itu?.
Dalam hubungan ini perlu dikutip apa yang dikemukakan oleh
Theodore Friend ‘...it does not help to look for a single mastermind,
or to single out a master cabal.” Oleh sebab itu setiap rekonstruksi
bersifat spekulatif saja. Seperti telah diketengahkan di atas, ada tiga
kekuatan yang penting: Presiden Sukarno, ‘Dewan Jenderal’ (DJ), dan
Politbiro PKI. Pada tanggal 1 Oktober ’65 muncul dua kekuatan baru,
www.facebook.com/indonesiapustaka
Garda Sembiring & Heru Sutedjo (Ed.), Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (Pnb)
Heru Armodjo, Jakarta: PEC, hlm. 40
op.cit, hlm. 103
123
124
lak. Kesaksian Kol. Saelan membantah adanya surat yang diberi oleh
Sogol dari Letkol Untung untuk diserahkan kepada Presiden.
125
maka kemungkinan besar ada lebih dari satu konspirasi, karena situ-
asi memungkinkannya banyak orang terlibat dalam konspirasi; (2)
Sebagian besar dari konspirasi cenderung gagal, sebab organisasinya
126
sulit diatur dan bersifat rahasia; (3) Yang menarik keuntungan dari
konspirasi yang gagal, bukanlah mereka yang merencanakannya,
melainkan mereka yang siap mengadakan respon cepat terhadap ke
sempatan yang baru terjadi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
127
Pendahuluan
Ada sejumlah analis Barat yang mengemukakan berbagai versi terha-
dap peristiwa G30S 1965. Di antaranya ada versi yang menyebutkan
bahwa Gerakan 30 September merupakan persoalan internal
Angkatan Darat yang didalangi oleh sebuah klik, yang dipersiapkan
secara teliti. Analisis tersebut ditulis Ben Anderson, dalam karyanya
yang dikenal sebagai “Cornell Paper”, berjudul A Prelimenary Analysis
of the October 1, 1965; Coup in Indonesia, terbit di Ithaca, 1971; W. F.
Wertheim, Whose Plot? New Light on the 1965 Events; Coen Hotsapel,
The 30 September Movement, Amsterdam 1993. Teori ini bertentang
an dengan kenyataan bahwa tanpa Sjam dan gerakannya yang tertu
tup untuk membina hubungan dengan para perwira tentara, tidak
mungkin ada rekayasa politik dan militer untuk melancarkan G30S,
1965.
Kecurigaan dan permusuhan antara ABRI dan PKI amat keras.
Meskipun sempat mengalami perpecahan dengan adanya pembe-
rontakan PRRI/Permesta, namun kekompakan Kelompok Angkatan
www.facebook.com/indonesiapustaka
Darat tetap besar. Bahkan para perwira yang bentrok karena men-
dukung PRRI/Permesta, rata-rata bersikap anti komunis. Seandainya
128
Rosihan Anwar, G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA dalam Menguak Lipatan Sejarah, Jakarta:
Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.
Ribka Tjiptaning Proletariyati, Aku Bangga Jadi Anak PKI,. Jakarta, Cipta Lestari, 2000,
hlm 1. Dr. Ripka Tjiptaning Proletariyati, adalah anak Raden Mas Soeripto Tjondro
Saputro (keturunan Pakubuwono), dan Bandoro Raden Ayu Lastri (keturunan
www.facebook.com/indonesiapustaka
Hamengkubuwono), aktivis PKI, selain berdarah bangsawan tinggi, juga memiliki sejum-
lah pabrik dan perusahaan di Surakarta. Dalam ‘kamus’ PKI disebut sebagai sisa-sisa
feodal dan borjuis.
Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi Keluarga Korban, dan Saksi Peristiwa Dini Hari
1 Oktober 1965, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, Jakarta, Keluarga Pahlawan
Revolusi, 2002.
129
Nasution, A.H, Menegakkan Kebenaran II, Djakarta, Seruling Masa, 1967, hlm. 71-72.
130
Pos, Selasa 9 Maret 2004. Lihat Nasution, A.H., ibid., hlm. 71-75.
131
132
Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia, 1972. Lihat: D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara
Budaya, Kilas balik Ofensif Lekra/PKI, dkk, Jakarta: Mizan dan Harian Republika, 1995.
133
134
MP Tjondronegoro, Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola-pola Penguasaan Tanah di Jawa
dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia, 1984.
D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa (Laporan singkat tentang hasil-ha-
sil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Djawa Barat), 19674. Djakarta,
Jajasan Pembaruan.
135
Trompet Masjarakat, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 28, 29, 30 Mei 1964; 4, 5, 6, 11,
11
www.facebook.com/indonesiapustaka
12, 13, 15, 17, 18, 19, 22, 25 Juni dan 2 Juli 1964. Dalam kasus pembunuhan di Balongbendo,
Krian, Jawa Timur, pihak komunis melakukan aksi tunjuk hidung, dengan menuduh
HMI sebagai dalang/pelakunya. Surat kabar resmi PKI, Harian Rakjat, 6 Februari 1965
dengan ngawur melakukan aksi tunjuk hidung bahwa dalang Peristiwa Kanigoro, 13
Januari 1965, adalah Sjamlan, tokoh Masyumi dari Tulungagung. Lihat A. Anis Abiyoso
(kesaksian-pelaku sejarah), “Peristiwa Kanigoro Kediri” dalam Tim Cidesindo, Membuka
136
Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm.
69-82. A. Anis Abiyoso adalah Ketua Panitia Mental Training PII (Pelajar Islam Indonesia)
yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah PII Jawa Timur di Kanigoro Kediri, tahun
1965.
12
M.H. Lukman, Apa Sebab Ravolusi Agustus 1945 Belum Selesai?. Djakarta, Jajasan
Universitas Rakjat, hlm. 1-3. Kempen, Anggaran Dasar Partai Komunis Indonesia,
Disahkan Kongres Nasional IV tahun 1947 di Surakarta ; Depagitprop CC PKI, Garis
www.facebook.com/indonesiapustaka
137
15
M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nnasional, Djakarta, Jajasan Pembaruan, 1962.
16
Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara, Jakarta, Cipta Lestari, 1999, hlm. 1-3.
17
Justus M. van der Kroef, “Indonesian Communism,s ‘Revolutionary Gymnastics’, dalam
Asian Survey, Vol. No. 5 Mei 1965, hlm. 221.
138
Maret; 1965.
19
Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an,
Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
20
Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an,
Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
21
Harian Fikiran Rakjat, 6 Mei 1965.
139
22
Ibid., 24 Mei 1965.
23
Ibid., 5 dan 6 Mei 1965.
24
Husain Haikal, “Pengantar”, dalam Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram
www.facebook.com/indonesiapustaka
Islam, Yogyakarta, Jendela, 2000, hlm. ix-xxxi. Lihat: Aminuddin Kasdi, Kaum Merah
Menjarah Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Yogyakarta: Jendela, 2001, hlm.
1-96.
25
Robert Gribb, The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966,
Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa bekerjasama dengan Syarikat Indonesia, 2003, hlm.
v-xxvii.
140
Anis Abiyoso, “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam ‘Membuka Lipatan Sejarah, Menguak
26
141
27
H. Subandrio, Keaksianku tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Refomasi Total,
www.facebook.com/indonesiapustaka
142
31
Maksum dkk., (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun,
Jakarta: Grafiti, 1988, hlm. 814.
32
Aristides Katoppo dkk, Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000, hlm. 38-39.
33
Amelia Yani, Profile Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988.
143
34
Pikiran Rakjat, 26 Juni 1965.
35
Berita Yudha, 25 Mei 1965.
145
36
Harian Rakjat, 7 Mei 1965.
146
147
37
Indonesian Herald (Koran resmi Deplu), 28 Mei 1965.
38
Berita Yudha dan Harian Rakjat, 29 Mei 1965.
39
Harian Rakjat, 31 Agustus dan 4 September 1965.
148
40
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 39-42.
149
salah itu juga telah diketahui pula secara luas oleh masyarakat. Jadi
para pimpinan AD telah memahaminya. Bahkan isu masalah Dewan
Jenderal juga telah diketahui oleh keluarga para pimpinan Angkatan
Darat, yang kemudian menjadi korban G30S.41
Memperhatikan kondisi kurang kompaknya ABRI, kurang se-
rasinya hubungan antara Pangti ABRI dengan sejumlah pimpinan
militer, dan melihat situasi politik waktu itu, Laksda Udara Omar
Dhani mengira bahwa dalam tubuh AD terdapat Dewan Jenderal
dan kelompok perwira muda, maupun bawahan yang tidak puas
dengan pimpinan, terutama dalam hal kepangkatan, kesejahteraan,
dan sebagainya, sebagaimana didengar oleh Omar Dhani dari Brigjen
Achmad Wiranatakusuma, ketika masih menjadi Wakil Panglima
Koga. Golongan perwira muda dan bawahan itu menurut persepsi
Omar Dhani ingin mengadakan gerakan sebagai usaha perbaikan
dalam tubuh AD, tepat seperti yang digariskan oleh MKTBP PKI. 42
Masalah Dewan Jenderal yang bagi Omar Dhani merupakan sesu
atu yang mecurigakan, oleh PKI justru dijadikan isu sentral. Pada
saat-saat terakhir menjelang tanggal 30 September, yaitu pada tang-
gal 28 September 1965 atas undangan Aidit dalam rapat Politbiro
PKI yang diperluas, ia menekankan empat hal.43 Pertama, akan ada
aksi mendahului rencana Dewan Jenderal, yang akan bergerak adalah
para perwira progresif revolusioner, setelah itu akan dibentuk Dewan
Revolusi. PKI sendiri hanya membantu. Kedua, soal-soal militer di-
percayakan sepenuhnya kepada D.N. Aidit. Ketiga, soal-soal politik
merupakan wewenang Dewan Harian Politbiro. Keempat, Ketua CDB
Jakarta Raya, Nyono diperintahkan menyiapkan 2.000 kader untuk
membantu.44
41
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
www.facebook.com/indonesiapustaka
42
I bid.
43
Menurut hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh Soegondo sebenarnya dalan tata cara
organisasi PKI tidak ada istilah rapat ‘Politbiro yang diperluas’, namun karena yang hadir
selain anggota politbiro juga hadir anggota CC di Jawa dan semua Ketua CDB di Jawa.
44
Atmadji Sumarkidjo, Mendung di atas Istana Merdeka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000, hlm. 147.
150
151
46
Rosihan Anwar ed., Kemal Idris Bertarung Dalam Revolusi, Jakarta, Sinar Harapan, 1997,
hlm. 180.
47
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
48
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 157-158.
152
Dokumen Gilchrist
Pembahasan masalah Dewan Jenderal tidak dapat dipisahkan dengan
persoalan Dokumen Gilchrist. Dokumen ini menurut Subandrio
www.facebook.com/indonesiapustaka
153
51
Rosihan Anwar, “ G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA” dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan
Sejarah ; Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.
52
Omar Dhani, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dhani,
Jakarta, PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001, hlm. 41-42. Rosihan Anwar, Ibid.
154
53
Ibid.
54
Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 44.
55
Rosihan Anwar, loc. cit.
155
56
H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta, Grassindo,
2001, hlm. 374-375.
57
Subandrio, H., Kesaksianku tentang G30S, Jakarta, Forum Pendukung Reformasi Total,
2001, hlm. 14-15.
156
58
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 140-141.
157
158
Sebagai gambaran pada akhir 1965 di PAU Halim Perdanakusuma hanya ada 2 kompi
60
PGT Yon 2 yang bermarkas di PAU Halim, dan satu Detasemen PPP Resimen PPP yang
bermarkas di Kramat Jati Pasar Rebo Jakarta Tmur. Tiga Kompi PGT di Yon 2 masing-ma-
sing ditempatkan di PAU Husein Sastranegara, Bandung, PAU Kalijati, dan PAU Jatiwangi.
Batalion PGT lainnya ada di PAU Iswahyudi, Madiun, PAU Abdul Rahman Saleh, Malang,
di Irian serta tugas-tugas operasi Dwikora. Kompi PGT di PAU Halim ditugaskan di pos-
www.facebook.com/indonesiapustaka
pos penjagaan objek-objek vital pangkalan. Detasemen PPP dengan senjata Trippel Barrer
Oerlikon kaliber 20 mm mendapat tugas di pos-pos penjagaan anti serangan serangan
udara. Sebagian lainnya bertugas menjaga rumah-rumah dinas pimpinan AURI. Untuk
meningkatkan kesiagaan dan kemungkinan serangan udara musuh di lingkungan PAU
Halim juga telah diadakan latihan kemiliteran khusus bagi pegawai sipil dan istri AURI
(PIA Ardhya Gharini).
159
61
Keterangan ini bersesuaian dengan keterangan Sulami, Wakil II Sekjen DPP Gerwani
(1965). Lihat Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara, Jakarta, Cipta Lestari, 1999,
hlm. 2-3.
62
Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 29-36.
160
J.B. Soedarmanto, Tengara Orde Baru Kisah Harry Tjan Silalahi, Jakarta: PT. Toko Gunung
63
161
162
65
Ibid, hlm. lampiran Peta Situasi Halim tahun 1965.
66
“Bunga Kehormatan untuk 7 Kematian” dalam Keluarga Pahlawan Revolusi, Kunang-ku-
www.facebook.com/indonesiapustaka
163
Buaya tidak hanya berasal dari Jawa, melainkan juga dari luar jawa.
Misalnya, para buruh perkebunan di Medan, Sumatra Utara. Menurut
kesaksian Kemal Idris yang waktu itu (1965) menjabat Pangkopur di
Sumatra Utara, banyak anggota dewan perusahaan yang berasal dari
buruh sayap PKI saat terjadinya G30S, baru saja kembali dari pelatih
an di Lubang Buaya, Jakarta.68
D.N. Aidit, “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur”. Dalam Laporan
69
pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, Djakarta, CCPKI, 1964, hlm.
32-84.
164
70
D.N. Aidit, “Berani, Sekali Berani” dalam Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang
Pleno 19 Februari 1963, hlm. 4-5; Jarek (Jalan Revolusi Kita), pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1961; Dekon (Deklarasi Ekonomi, 1963); Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso), pidato
Presiden 17 Agustus 1964.
165
Pada 1964 para kader muda yang militan PKI makin keras menekan
pimpinannya agar lebih menegaskan lagi tujuan pejuangan partai,
serta hubungan mereka dengan kelompok lain, agar dapat membeda-
kan dengan jelas musuh-musuh komunis yang harus basmi.71
Skenario itu mereka terapkan dalam bentuk teror ditujukan kepada
lawan-lawan politiknya, seperti HMI,72 para “setan desa” dalam aksi
www.facebook.com/indonesiapustaka
71
D.N. Aidit, “Dengan Semangat Banteng Marah Mengkonsolidasikan Organisasi Komunis
Yang Besar”, Harian Rakyat, 6 Juli 1964.
72
Kesaksian Drs. Sudarpo Mas’udi dan St. Munjilah Mada Amir Hamzah “Peristiwa
Utrecht, Jember” dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta:
166
167
75
Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Ttat, Pembantu Presiden Sukarno, Jakarta: Hasta Mitra,
1995.
168
76
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 79-82.
77
Sulami, Perempuan-perempuan Dalam Penjara, Jakarta: Cipta Lestari, 1999, hlm. 2
78
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 126-127.
79
Sutopo Juwono, dalam catatan yang tidak diterbitkan, ditulis dan dihimpun oleh
Soedianto Sastro Atmodjo, dan Tolkhah Mansyur (1997). Lihat Atmadji Sumarkidjo, ibid.,
hlm. 132.
169
170
82
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 penunjukkan Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa dan mengadili tokoh-tokoh yang ter-
libat petualangan kontra-revolusi “Gerakan 30 September”.
83
Durmawel Ahmad,”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam Sri Murni Ali Said,
Ali Said di antara Sahabat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 73-93.
171
84
Ibid.
85
M. Jasin, Saya Tidak Pernah MintaAampun kepada Soeharto, Jakarta, Sinar Harapan,
1998, hlm. 67-95.
86
Maskun Iskandar dan Jopie Lasut, “ Peristiwa Pembantaian di Purwodadi”, dalam Robert
www.facebook.com/indonesiapustaka
Cribb, The Indonensia Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Jakarta,
Penerbit Matabangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia Yogyakarta, 2003, hlm.
323-384.
87
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
No. 370 Tahun 1965, tanggal 4 Desember 1965. Istilah G30S/PKI sampai akhir tahun 1965
belum dipakai.
172
173
88
Perwira-perwira yang berhasik dibina oleh Sjam hingga menjadi opposisi di kalangan
Angkatan Darat, antara lain Letkol Untung, Kolonel A. Latif, Brigjen Supardjo, dan
kawan-kawan.
89
Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16 Februari
1965, keduanya dari Politbiro PKI.
174
Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah (Kepala Biro
91
175
176
177
Ketika berada di Jakarta, Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur Kalimantan IV yang ber
92
ada di bawah Kostrad, tidak melapor kepada komandannya, yaitu Mayjen Soeharto. Hal
tersebut dipertegas oleh reaksi Mayjen Soeharto yang terkejut saat mendengar keber
adaan Soepardjo di Jakarta yang seharusnya ia berada di posnya Kalimantan.
Kepulangannya ini ternyata karena dia harus berperan dalam coup yang telah direncana-
178
kan. Sejak tahun 1958, Soepardjo berada di bawah binaan Biro Chusus PKI. (lihat: John
Huges, The End of Sukarno A Coup The Misfired: A Purge That Ran Wild, Singapore:
Archipelago Press, 2003, hlm. 69 dan J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography, Singapore:
Archipelago Press, 2003, hlm. 441).
93
I bid
179
180
181
94
Ibid
182
Ibid, lihat pula J.P. Legge, Sukarno: A Political Bography, hlm. 437
95
183
96
Lihat Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 116-122. Sekretariat Negara, loc. cit.
97
Ibid., hlm. 131.
98
Mayor Udara Soejono, sebenarnya diminta menyediakan logistik bagi seluruh pasukan,
termasuk untuk pasukan yang berada di sekitar lapangan Monas. Akan tetapi Mayor
184
Udara Soejono mengira bahwa pasukan tersebut membawa bekal logistik sendiri, sehing-
ga pada hari itu Mayor Soejono tidak menyediakannya, sementara pasukan Yon 454 dan
Yon 530 juga tidak mempersiapkannya. Tatkala Brigjen Sabirin Mochtar dan Ali Murtopo
mendekati batalion untuk membujuk mereka, secara psikologis pasukan itu sudah kesal
karena tidak diberikan sarapan dan makan siang. Hanya sebagian Batalion 454 yang le-
pas lagi, kemudian terlibat bentrok dengan pasukan RPKAD di sekitar Pondok Gede,
Jakarta Timur. Lihat: Atmadji, Sumarkidjo, op.cit., hlm. 150.
99
Jumlah pasukan yang dapat dikerahkan sebagai berikut. Satu kompi Cakrabirawa di ba-
wah pimpinan Letnan Satu Dul Arif, Komandan Kompi C Yon I/KK Men Cakrabairawa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pasukan dari AURI,yaitu Yon PPP di bawah Mayor Soejono tidak dapat dikerahkan. Dari
pasukan Brigif I/Jaya Sakti juga hanya dapat dikerahkan satu kompi. Konfigurasi pasu-
kan Gatotkaca dari G30S yang bertugas mengamankan basis di desa Lubang Buaya ada-
lah sukarelawan yang pernah dilatih di tempat itu.
100
Menurut wawancara Aswi Warman Adam dengan Kolonel A. Latief bahwa radiogram ke
Yon 454 dan Yon 530 dari Pangkostrad.
185
Sesuai dengan kesaksian anak-anak keluarga Pahlawan Revolusi, bahwa sebagian ang-
102
186
103
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 90.
187
104
J.B. Soedarmanto, op.cit., hlm. 103-106.
105
Sudisman, Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Seorang Politbiro CC PKI, Jakarta: Teplok
Press, 2000.
188
Soetojo, di Jl. Sumenep; (b) Mayjen Haryono; (c) Brigjen Panjaitan, Jl.
Hasanuddin, Kebayoran Baru ; (d) Mayjen S. Parman ; (e) Letjen
Achmad Yani, di Jl. Lembang; (f) Jenderal A.H. Nasution, Jl. Teuku
Umar; (g) dan Mayjen Soeprapto, Jl. Besuki.
ada 1 Oktober pukul 05.00 pagi, sekitar 100 sukarelawan Gerwani
P
berkumpul di Lubang Buaya menyambut datangnya kendaraan dan
truk-truk yang datang membawa korban Gerakan 30 September, terdiri
dari enam jenderal dan seorang perwira pertama yang dikira sebagai
Jenderal A.H. Nasution. Termasuk juga seorang anggota polisi: Bripka
Sukitman, yang mencari tahu perihal apa yang terjadi ketika lewat di
depan rumah Brigjen Panjaitan, ikut diciduk dan dibawa ke Lubang
Buaya. Para tawanan itu diserahterimakan dari pasukan penculik,
Pasopati, kepada pasukan Komando Basis Tempur “Pringgodani”.
Kemudian dilaporkan bahwa tiga orang jenderal telah tewas, yai-
tu Jenderal A. Yani, Mayjen S. Parman, sedangkan Mayjen Sutojo.
Mayjen Soeprapto, dan Letnan Satu Pierre Tendean masih dalam ke-
adaan segar-bugar, dengan tangannya diikat ke belakang. Para kor-
ban itu disambut para sukarelawan yang terdiri dari anggota-anggota
Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, dan SOBSI, dengan menyanyikan lagu-
lagu revolusioner ciptaan Lekra, seperti: Ganyang Kabir,106 Ganyang
3 Setan Kota, dan Genjer-genjer. Untuk memanaskan suasana para
penari Gerwani melakukan Pesta Harum Bunga, dengan cara menari-
nari yang makin memuncak. Pesta seperti itu mereka lakukan setiap
selesai pelatihan.107
Mayor Udara Gatot Soekirno, selaku Komandan Pasukan
Pringgodani melapor kepada Cenko I di Penas tentang tindakan apa
yang harus dilakukan terhadap para tawanan. Mayor Udara Soejono,
Komandan Cenko I di Penas menjawab, agar tawanan diselesaikan.
Mendapat jawaban itu Mayor Gatot Sukirno kemudian meneruskan-
nya kepada anak buahnya. Lalu terjadilah penyiksaan secara sadis
www.facebook.com/indonesiapustaka
106
Teriakan atau jargon “ganyang kabir-kaapitalis birokrat” merupakan idiom spesifik PKI
untuk menyebut para tentara yang menduduki jabatan di Perusahaan Negara. Lihat ke-
saksian Bripka Sukitman dalam, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, Jakarta:
Keluarga Phlawan Revolusi, 2002, hlm. 134-136.
107
Harian Sinar Harapan, 27 Nopember 1965.
189
dan kejam oleh anggota Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, dan SOBSI.108
Bharada Polisi Sukitman, yang waktu itu ditawan oleh pasukan G30S,
menyaksikan para tawanan diseret keluar tenda, didudukkan di se-
buah bangku di depan rumah seakan-akan tengah diperiksa layaknya
pengadilan rakyat, disiksa secara sadis, digelandang ke tepi sumur
melewati kerumunan sukwan dan sukwati yang menghujat dengan
teriakan-teriakan “Ganyang Kabir”, ”Ganyang Dewan Jenderal”, di-
jatuhkan ke dalam sumur kemudian diberondong peluru dari atas.
Siklus itu disaksikan oleh Sukitman sampai akhirnya semua korban
dibuatnya tidak berdaya dan tanpa nyawa di dasar lubang sumur.
Sukitman menyatakan saking takutnya seandainya kulitnya diiris
dengan silet tidak akan keluar darahnya. Salah seorang dari sukwati
bernama Jamilah, baru berusia 17 tahun. Terakhir para korban ditem-
bak. Misalnya, Jenderal Soeprapto pada 1 Oktober 1965 pukul 18.00
sore ditembak di pinggir sumur di Lubang Buaya, kampung Pondok
Gede. Selanjutnya tubuh mereka diseret dan dimasukkan ke dalam
sumur tua.109
Pasukan penculik ternyata gagal membawa Jenderal A.H. Nasution,
melainkan ajudannya, Letnan Satu Pierre Tendean. Karena para pen-
culik belum mengenal wajah Nasution, Tendean dikira sasarannya,
karena wajahnya mirip.
Dengan operasi tersebut gerakan dan pengerahan pasukan elit di
sekitar Lapangan Merdeka juga telah menimbulkan kejutan (surprise).
Sebenarnya, pada tanggal 30 September 1965 malam, anggota pasu-
kan “Bimasakti” sudah mengelilingi Istana, gedung Telekomunikasi
mereka kuasai pada pukul 06.30 pagi harinya, kemudian pukul 06.50
RRI juga telah mereka kuasai sepenuhnya. Pasukan Bimasakti di
bawah pimpinan Mayor Suradi, membagi Jakarta Raya menjadi 6 sek-
tor, masing-masing di bawah Muhammad, Ahmadi, Sjawal, Ahmadi,
Slamet, Supangat, dan Prajitno. Semuanya aktivis PKI.
www.facebook.com/indonesiapustaka
108
Harian Sinar Harapan, 6 Oktober 1965. Lihat, Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang,
2003. Jakarta, Pustaka Utan kayu, 2003, hlm. 2, 3, 48. Sudjinah adalah mantan fungsio-
naris Gerwani yang ditahan di Penjara Bukit Duri Jakarta.
109
Ibid. Lihat kesaksian Sukitman dalam Kunang-kunang …, 134-136.
190
191
buatan jahat Dewan Jenderal dan kaki tangannya, agar dapat melak-
sanakan amanat penderitaan rakyat dalam arti kata sesungguhnya.
Kepada para perwira, bintara dan tamtama Angkatan Darat di selu-
ruh tanah air, Komandan Letnan Kolonel Untung menyerukan su-
192
193
112
H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66; Kesaksian Wakil Komandan
Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001, hlm. 308 dan H. Mangil Martowidjojo,
Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta: Grasindo, 1999, hlm. 377, lihat BAP
Mahmillub Untung bin Sjamsuri; Putusan No.: PTS-03/MB II/U/1966.
113
Oei Tjoe Tat, Pramudya Ananta Toer (ed), Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden
Sukarno, Jakarta: Hasta Mitra, 1995, hlm. 169
194
195
196
116
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 121.
117
Ibid., hlm. 122-123.
118
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK), Rangkaian Peristiwa Pemberontakan
Komunis di Indonesia, Jakarta: LSIK, 1982, hlm. 95.
119
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 125.
120
Ibid., hlm. 126-127.
197
PENGUMUMAN PERS
No. 445/Pen/1965
PERIHAL: PERINTAH HARIAN MENTERI/PANGLIMA
ANGKATAN UDARA R.I.
Pada hari ini Djum’at tanggal 1 Oktober 1965 djam 09.30 Menteri/
Panglima Angkatan Udara R.I. Laksamana Madya Omar Dhani
telah mengeluarkan Perintah Harian jang berbunji sbb:
1. Pada tanggal 30 September 1965 malam telah diadakan Gerakan
oleh G 0 S 1965 untuk mengamankan dan menyelamatkan revo
lusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversif CIA.
Dengan demikian telah diadakan pembersihan di dalam tubuh
Angkatan Darat daripada anasir-anasir yang didalangi oleh sub-
versi asing dan yang membahayakan Revolusi Indonesia.
2. Dengan diadakannya gerakan tersebut maka subversi asing dan
antek-anteknja tidak akan tinggal diam dan kemungkinan besar
akan meningkatkan gerakan anti revolusioner.
3. Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai alat revolusi selalu
dan tetap akan menjokong dan mendukung setiap gerakan jang
progresip revolusioner. Sebaliknja Angkatan Udara Republik
www.facebook.com/indonesiapustaka
121
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, Djakarta,
LP3ES, 1988, hlm. 140-157.
198
199
Dekrit No. 1
TENTANG PEMBENTUKAN DEWAN REVOLUSI INDONESIA
I. Demi kelantjaran Negara Republik Indonesia, demi pengamanan
pelaksanaan Pantjasila dan Pantja Azimat Revolusi Indonesia
seluruhnja, demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan
Bersendjata pada umumnja, pada waktu tengah malam Kamis tang-
gal 30 September 1965 diibukota Republik Indonesia, Djakarta,
telah dilangsungkan pembersihan terhadap anggota-anggota apa
jang menamakan dirinya Dewan Jenderal yang telah merencanakan
coup mendjelang Hari Angkatan Bersendjata 5 Oktober 1965.
Djenderal-djenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi dan ob-
jek-objek vital lainnja telah djatuh ke dalam kekuasaan Gerakan
30 September. Gerakan 30 September adalah gerakan semata-
mata dalam tubuh Angkatan Darat untuk mengakhiri perbuatan
sewenang-wenang djenderal-djenderal anggota Dewan Djenderal
serta perwira-perwira lainnja yjang menjadi kaki tangan dan sim-
patisan anggota Dewan Djenderal. Gerakan ini dibantu oleh pasu-
kan-pasukan bersendjata di luar Angkatan Darat.
II. Untuk melantjarkan tindak landjut dari tindakan Gerakan 30
September 1965, maka oleh Pimpinan Gerakan 30 September akan
dibentuk Dewan Revolusi Indonensia jang anggota-anggotanja ter-
diri dari orang-orang sipil dan orang-orang militer jang mendu-
kung Gerakan 30 September tanpa reserve. Untuk sementara wak-
tu mendjelang pemilihan umum Madjlis Permusjawaratan Rakjat,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Dewan Revolusi
Indonesia mendjadi sumber dari pada segala sumber kekuasaan
dalam Negara Republik Indonesia untuk mewudjudkan Pantjasila
dan Pantja Azimat Revolusi seluruhnja. Dewan Revolusi Indonesia
dalam kegiatannja sehari-hari akan diwakili oleh Presidium Dewan
jang terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka
30 September.
III. Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke Dewan Revolusi
Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus de-
200
201
omandan
K : Letnan Kol. Untung
Wakil Komandan ; Brig. Jend. Supardjo
Wakil Komandan : Letnan Kol. U. Heroe
Wakil Komandan : Kolonel L. Soenardi
Wakil Komandan : Ajun Kom. Bes. Pol. Anwas
1.Letnan Kolonel Untung (Ketua Dewan) 24. Rahman (Wa Sekjen Front Nasional)
2.Brigadir Djenderal Supardjo (Wk. Ketua 25.Hardojo (Mahasiswa)
Dewan) 26. Major Djenderal Basuki Rachmat
3.Letnan Kolonel Udara Heru (Wk. Ketua 27. Brigadir Djenderal Riacudu
Dewan) 28. Brigadir Djenderal Solihin
4. Kolonel Laut Sunardi (Wk. Ketua Dewan) 29. Brigadir Djenderal Amir Machmud
5.Ajun Komisaris Besar Pol. Anwas (Wk.Ketua ) 30. Brigadir Djenderal Andi Rivai
6. Marsekal Madya Omar Dhani 31. Major Udara Sujono
7. Inspektur Djeneral Pol. Sutjipto Judodihardjo 32. Komodor Udara Leo Wattimena
8. Laksamana Madya Laut E. Martadinata 33. Dr. Utami Surjadarma
9. Dr. Subandrio 34. Kolonel A. Latief
10. Dr. J. Leimena 35. Major Djenderal Umar
11. Ir. Surachman (Gol. Nasionalis) Wirahadikusuma
12. Fatah Jasin (Gol. Agama) 35. Nj. Supeni
13. K.H. Siradjuddin (Gol. Agama) 37. Nj. Mahmudah Muwardi
14. Tjugito (Gol. Koumnis) 38. Nj. Suharti Suwarno
15. Arudji Kartawinata 39. Kolonel Fatah
16. Siauw Giok Tjhan 40. Kolonel Suherman
17. Sumarno, SH. 41. Kolonel Laut Samsu Sutjipto
18. Major Djenderal KKO Hartono 42. Suhardi (Wartawan)
19. Brigadir Djenderal Pol. Sutarto 43. Komisaris Besar Pol. Drs.
20. Zaini Mansur (Front Pemuda Pusat) Sumartono
21. Jahaja SH (Fornt Pemuda Pusat) 44. Djunata Suwardi
www.facebook.com/indonesiapustaka
202
II. Ketua Dewan dan Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia meru-
pakan Presidium D ewan Revolusi Indonesia jang diantara dua
sidang lengkap Dewan bertindak atas nama Dewan.
III. Semua Dewan Revolusi Indonensia dari kalangan sipil diberi
hak memakai tanda pangkat Letnan Kolonel jang setingkat.
Anggota Dewan Revolusi dari kalangan Angkatan Bersendjata
tetap memakai pangkat jang lama, ketjuali jang lebih tinggi dari
Letnan Kolonel diharuskan memakai jang sama dengan pangkat
Komandan Gerakan 30 September, jaitu Letnan Kolonel, atau
jang sederadjat.
Pada 2 Oktober Harian Rakjat, surat kabar resmi PKI, dalam edi-
torialnya memberikan dukungan kepada Gerakan 30 September 1965
sebagai berikut.
kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini
akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September
203
204
ada dua batalion Kostrad, yaitu Yon 454/Para dari Jawa Tengah dan
Yon 530/Para dari Jawa Timur yang didatangkan ke Ibukota untuk ikut
merayakan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kedua batalion terse-
but kemudian disalahgunakan oleh Gerakan 30 September 1965. Yon
454 menempati bagian utara lapangan Medan Merdeka, berhadapan
dengan Istana Merdeka, dan Yon/Para dari Jawa Timur menempati
depan Museum ke selatan sampai Bundaran Air Mancur, membelok
ke timur, gedung Postel dan Telekomunikasi, sampai bagian selatan
Stasiun Gambir. Setibanya di kantor, Mayjen Soeharto menerima
laporan mengenai peristiwa yang terjadi dan menganalisis situasi
yang berkembang. Berdasarkan pengumuman Untung pukul 07.15,
pernyataan Pangau pukul 09.00, pembentukan Dewan Revolusi, dan
Dekret pada pukul 14.00, disimpulkan bahwa telah terjadi pengkhi-
anatan terhadap TNI AD dan usaha perebutan kekuasaan. Soeharto
bertekad melawan pengkhianatan dan pemberontakan tersebut.
Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto ialah mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat berdasarkan order tetap Menpangad ten-
tang pejabat yang mewakili pimpinan TNI AD apabila Menpangad
berhalangan. Langkah ini juga disetujui oleh para perwira tinggi yang
ada di Kostrad.
Mayjen Soeharto selanjutnya memanggil Pandam V/Jaya, Mayjen
Umar Wirahadikusuma, yang sebelumnya bersama dengan Kastaf
Garnisun Ibukota Brigjen G.A. Mantik telah mengunjungi rumah para
jenderal yang telah dibunuh dan diculik, kemudian melanjutkan per-
jalanan ke Istana untuk mengecek keselamatan Presiden. Namun yang
ia temukan adalah catatan kunjungan rombongan Brigjen Soepardjo
yang ingin bertemu Presiden Sukarno dan tidak berhasil ditemui
nya. Di samping itu, laporan Mayjen Umar Wirahadikusumah, yaitu
Supardjo di istana pagi-pagi tersebut untuk melaporkan peristiwa
G30S, mengejutkan Pangkostrad Mayjen Soeharto tentang keberadaan
Pangkopur IV Kalimantan di Istana tersebut, yang seharusnya ber
www.facebook.com/indonesiapustaka
205
206
124
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 130-131.
125
Sugiarso Suroyo, Siapa menabur angin, akan menuai badai, Jakarta: 1988
207
126
A ristides Katoppo, op.cit., hlm. 132.
208
PENGUMUMAN
No. 002/Peng/Pus/1965
Dengan ini diumumkan bahwa:
1. Telah ada pengertian kerdja sama dan kenulatan penuh antara
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian un-
tuk menumpas gerakan kontra-revolusioner dari apa jang me-
namakan dirinja”Gerakan 30 September”.
2. Dengan telah diumumkannja apa jang mereka sebut “Dewan
Revolusi Indonesia” dan menganggap bahwa kabinet Dwikora
sudah demisioner, maka djelas orang-orang Gerakan 30
September” adalah orang-orang kontra revolusioner jang telah
melakukan pengambil-alihan kekuasaan Negara Republik
Indonesia dari tangan P.J.M. Presdien/Panaglima Tertinggi
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, disamping mere
ka telah melakukan pentjulikan terhadap beberapa Perwira
Tinggi Angkatan Darat.
3. Masjarakat diharap tenang dan tetap waspada serta siap siaga.
209
Aksi-aksi di Daerah-daerah
Jawa Barat
Di Bandung, Ketua CDB Jawa Barat tidak sempat menjalankan in-
struksi untuk membentuk Dewan Revolusi, tetapi di Banten pihak
CDB khusus daerah itu dapat melakukannya. Pada 1 Oktober 1965,
Letkol Pratomo, Komandan Kodim Pandeglang sempat mendirikan
Dewan Revolusi Kabupaten yang dipimpinnya sendiri, atas instruksi
Soedisman yang disampaikan kepadanya oleh Dahlan Rivai. Akan
tetapi setelah situasi tidak menguntungkan PKI, Pratomo kemudian
menghilang. Ketua Biro Khusus Jawa Barat, Haryana, setelah men-
dengar berita pada 1 Oktober 1965, segera bergerak hingga sejumlah
anggota Pusat Kavaleri yang telah dibina bergerak ke Cimahi, dan
seorang perwira lain telah bergerak ke Siliwangi. Gerakan tersebut
www.facebook.com/indonesiapustaka
127
Hermawan Sulistyo, Palu Arit …, hlm. 8, lihat catatan kaki no. 18. Lihat juga Putusan No.
PTS.017/MLB-XIV/O.D/1966 tanggal 23-12-1966 hlm. 447.
128
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 141.
210
dicegah oleh Ismail Bakri, Ketua CDB Jawa Barat yang belum me-
nerima instruksi dari Jakarta. Kebingungan dan kesimpang-siuran
komando menyebabkan Dewan Revolusi Jawa Barat tidak sempat
dibentuk.
211
129
Pernyataan Oetomo Ramelan, Walikota Surakarta, anggota PKI, dalam pertemuan
Pimpinan PKI di Solo 2 Oktober 1965 menjadikan D.N. Aidit marah karena dukungan itu
membuka peranan PKI di belakang kup.Hal ini bertentangan dengan kebijakan Aidit un-
tuk menyembunyikan peranan PKI dan menyatakan Gerakan 30 September 1965 adalah
urusan intern TNI AD yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI. Lihat
Nugroho Noto Susanto-Ismail Saleh, Tragedi Nasional …, op.cit., hlm.
212
Jawa Timur
D.N. Aidit ke Jawa Timur telah mengirimkan dua orang anggota CC
PKI: Roeslan Widajasastra dan Moenir, untuk membantu CDB Jawa
Timur. Rencana-rencana PKI tidak dapat dilaksanakan. Ketua Biro
Khusus Jawa Timur, Roestomo mengirimkan perintah kepada jajaran
Biro Khusus di Malang, Jember dan Madiun agar mereka segera
melaksanakan gerakan bersenjata di tempatnya masing-masing.
Bahkan mereka melalui siaran RRI Surabaya yang dibawa beberapa
anggota ABRI, sempat mendukung gerakan. Namun, pembentukan
Dewan Revolusi Jawa Timur tidak dapat dilakukan, karena malam
harinya sudah diketahui bahwa situasi di Jakarta telah berubah.
Bahkan Roestomo kemudian berusaha menyelamatkan diri, dari ke-
jaran aparat keamanan.
Sumatra Utara
Di Medan, PKI tidak mampu melaksanakan rencana-rencana yang
telah disiapkan dengan saksama. Antara lain disebabkan tidak ada
www.facebook.com/indonesiapustaka
213
G30S hanya sampai sore hari, maka tidak satu pun aksi yang mampu
dilakukan oleh PKI di Sumatra Utara.
Sumatra Barat
Kondisi Sumatra Barat juga hampir sama dengan kondisi di Sumatra
Utara. Di Sumatra Barat, Baharudin Hanafi, setelah mendengar peng
umuman melalui RRI Jakarta, mengadakan rapat dengan unsur-un-
sur PKI setempat yang memutuskan akan mengadakan gerakan pada
esok harinya, 2 Oktober 1965. Dari militer, Kolonel Inf Sumed,
Danrem 031/Riau akan mengumumkan dukungannya terhadap su-
sunan Dewan revolusi Sumatra Barat, dan bila tidak ada, namanya
akan dicantumkan. Menurut Baharudin Hanafi, pasukan Yon 132
dan Ki Reiders dari Batusangkar akan menunggu di Lubuk Alung.
Sayang, ketika petangnya, mereka mendengar pengumuman
Pangkostrad melalui RRI Jakarta, para pemimpin pasukan tidak ada
yang berani menggerakkan pasukannya. Akibatnya, pimpinan PKI
setempat, masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Bali
Ketika mendengar pengumuman pertama, pihak CDB PKI Bali menye
lenggarakan rapat dengan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
sudah dibina. Hasilnya, akan dibentuk Dewan Revolusi Provinsi
Bali, menduduki tempat-tempat strategis di Denpasar dan sekitarnya.
Akan tetapi, pengumuman dan gerakan seperti yang direncanakan
tidak dapat dilaksanakan keesokan harinya, karena mereka mende
ngar pengumuman dari Pangkostrad malamnya.
Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan Pangdam XI/Lambung Mangkurat, Brigjen
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dekrit Nomor 1 tentang Dewan Revolusi Indonesia, Keputusan Nomor 1 tentang Susunan
130
Dewan revolusi Indonesia, dan Keputusan Nomor 2 tentang Penurunan dan Penaikan
Pangkat di lingkungan militer.
215
131
Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.
216
217
218
133
Ibid., hlm. 144-145.
134
Ibid.
219
220
135
Ibid., hlm. 152-153. Lihat catatan kaki
221
ada pagi hari, 2 Oktober 1965 Sersan Mayor Sudiono, dari Kompi
P
Benhur Yon-1/RPKAD, menahan dua truk yang membawa makanan.
Makanan yang disita tersebut selanjutnya dibagikan kepada anggota
Kompi Benhur Yon-1/RPKAD. Di lain pihak Yon-454/Raiders yang
tinggal berkekuatan sekitar 1 kompi sudah dalam keadaan lemah,
bergerak tanpa dukungan logistik maupun amunisi, dan tanpa peta.
Sore sebelumnya, pimpinan Yon 454/Reiders, Kapten Kuntjoro meng-
hadap Kolonel Wisnu, perwira Intel PAU Halim, selain pasukannya
tidak diizinkan memasuki Halim, ia juga tidak dipinjami peta topo-
grafi kawasan pangkalan. Kapten Kuntjoro ternyata juga lepas kontak
dengan Mayor Sukirno, atasannya langsung, dan G30S yang menjadi
induknya seolah-olah telah bubar.
ebenarnya, waktu itu para pimpinan G30S di Lubang Buaya
S
tengah berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya. Hadir di
antaranya, Mayor Sukirno Danyon 454/Raiders dengan sebagian pa-
sukannya, Mayor Inf. Bambang Supeno, Danyon 530/Raiders tanpa
pasukan, Letkol Inf. Untung, Brigjen Soepardjo, Sjam, dan tokoh G30S
lainnya. Diskusi berlangsung lama tanpa keputusan. Dalam diskusi,
Brigjen Soepardjo menyarankan supaya komando gerakan militer di-
berikan kepadanya. Wewenang itu akan dikembalikan kepada Letkol
Untung, setelah situasi dapat diatasi. Saran itu ditolak oleh Letkol
Untung, alasannya bahwa bertempur terus tidak memiliki dasar poli-
tik. Soepardjo menyatakan tidak mengerti maksud Untung, sedang
Sjam sebagai pimpinan pelaksana G30S sama sekali tidak memberi-
kan reaksi terhadap usul Soepardjo. Akhirnya rapat memutuskan
menghentikan perlawanan. Mereka kembali ke rumah masing-ma
sing, sambil menunggu perkembangan situasi. Mengetahui situasi
sangat gawat itu, sekitar 1.500 orang sukwan yang pernah dilatih di
Lubang Buaya, tidak memilih bertempur mati-matian melainkan ka-
bur menyelamatkan diri.136
www.facebook.com/indonesiapustaka
136
Ibid., hlm. 173-173
222
menemui Bung Karno. Akan tetapi karena jalur Pondok Gede Halim
oleh RPKAD belum diamankan, Mayor C.I. Santosa memerintahkan
Kompi Kajat dan Kompi-B Yonkav-1/Panser Kostrad RPKAD untuk
melakukan pengawalan. Kontak senjata benar-benar terjadi antara
RPKAD dan pasukan Yon 454/Reiders Diponegoro pimpinan Kapten
Kuntjoro, Wadanyon. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan Sarwo
Edhie melewati dropping zone Lubang Buaya. Dalam pertempuran
tersebut gugur seorang anggota Kompi cadangan Yon-1/RPKAD yang
bertugas mengawal Kolonel Sarwo Edhie.
ayor C.I. Santosa, di bagian utara PAU Halim, setelah mendapat
M
keterangan bahwa Sarwo Edhie akan ke Halim lewat Podok Gede,
kemudian meluncur dari arah Jatiwaringin menuju ke Pondok Gede.
Sebelum tiba di lokasi pertempuran, di kebun karet Desa Lubang
Buaya, Mayor C.I. Santosa menyaksikan kegiatan pasukan bersera-
gam hijau dan massa rakyat sedang membongkar tenda-tenda mere
ka. Setelah melihat kedatangan pasukan RPKAD, mereka melarikan
diri. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan.137
omodor Udara Dewanto selaku Deputi Operasi Menpangau
K
bersama Kapten Udara William Oscar Kundimang dari hanggar
Skuadron Teknik (Skatek), dengan jelas mendengar suara tembakan
yang terjadi. Setelah mendapat penjelasan Bintara RPKAD yang ada
di Skatek bahwa induk pasukan RPKAD dihadang oleh pasukan
Raiders 454/Diponegoro, Dewanto menemui Bintara RPKAD paling
senior dan menyatakan ia mencoba menghentikan pertempuran yang
berlangsung. Pihak RPKAD menyatakan tidak berkeberatan. Dewanto
diiringi Kundimang dengan mobil Nissan Patrol meluncur ke lokasi
pertempuran di arah selatan melalui jalan tanah dan kebun karet, ke-
mudian sampai di jalan ke arah Pondok Gede. Di lokasi itu Dewanto
melihat gerakan pasukan Yon 454/Raiders. Ia menduga pasukan itu
adalah pasukan bantuan menuju lokasi pertempuran, yang terde
www.facebook.com/indonesiapustaka
137
Ibid., hlm. 161.
223
i tempat lain, yaitu pada 1 Oktober 1965, Jum’at malam, sekitar pu-
D
kul 21.00, Kitman dibawa keluar dari Lubang Buaya untuk memban-
tu membagi-bagikan nasi bungkus kepada pasukan tentara di Gedung
Penas. Kitman kemudian digiring kembali ke tempat ia di tawan
semula di Halim. Menurut kesaksian Kitman lokasinya terletak di
sebuah lapangan bola dekat Kali Malang yang pada pintu masuknya
terdapat tulisan “Pos Penjagaan PGT”. Pada Sabtu siang, 2 Oktober
1965 seluruh pasukan yang ia ikut berlarian dan kabur.139 Kitman ti-
dak ikut meninggalkan tempat ia ditawan karena tubuhnya lemah
lunglai, dan hanya mampu berbaring di kolong sebuah truk.
Kemudian ia ditemukan oleh rombongan pasukan Cakrabirawa yang
berasal dari 4 Angkatan (Laut, Udara, Darat, dan Kepolisian) dengan
pita pengenal berwarna putih, kemudian membawanya ke markas
Cakrabirawa. Gedung itu kemudian menjadi Gedung Binagraha, di
lingkungan Istana Merdeka.
Di markas Cakrabirawa Kitman diperiksa dengan ketat dan saksa-
ma. Dalam kesempatan itu Kitman menceriterakan semua kejadian
yang dilihat dan dialaminya. Tatkala ia menyebut-nyebut adanya kor
www.facebook.com/indonesiapustaka
224
menerima telepon dari Letkol Ali Murtopo, staf dan orang dekat
J.B. Soedarmanto, op.cit., hlm. 113-115. Lihat Sulastomo, op.cit. hlm. 51.,
140
225
141
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 138-144.
142
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 176-177.
226
143
Ibid., hlm. 161
144
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 143-144.
227
145
Ibid., hlm. 144. Staf Angkatan Bersenjata Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 40 Hari
Kegagalan G.30S, 1 Oktober-10 November 1965, Djakarta, SAB-Pusjarah AB, 1965, hlm.
51.
146
Keluarga Pahlawan Revolusi, ibid., hlm. 144-146. Staf Angkatan Bersenjata, ibid.
228
“ Pada hari ini tanggal 4 Oktober 1965, kita bersama-sama dengan mata
kepala masing-masing telah menyaksikan suatu pembongkaran dari
pada penanaman jenazah para jenderal kita, ialah 6 jendral dengan
satu perwira pertama dalam satu lubang sumur lama. Sebagaimana
saudara-saudara maklum, bahwa jenderal-jenderal kita dan perwira
pertama kita kita ini, telah menjadi korban dari tindakan-tindakan
yang biadab dari petualang-petualang jang dinamakan gerakan 30
September.
Kalau kita melihat tempat ini, adalah di Lubang Buaja. Daerah Lubang
Buaja adalah termasuk dari daerah lapangan Halim. Dan kalau sauda-
ra-saudara melihat pula fakta, bahwa dekat sumur ini, telah menjadi
pusat dari pada latihan sukwan dan sukwati, yang dilakukan atau di-
laksanakan oleh Angkatan Udara. Mereka melatih para anggota-ang-
gota dari Pemuda Rakjat dan Gerwani. Satu fakta, mungkin mereka
itu latihan dalam rangka pertahanan pangkalan, akan tetapi nyata,
menurut anggota Gerwani yang tertangkap di Cirebon, adalah orang
dari Jawa Tengah, jauh dari pada daerah tersebut. Jadi kalau menurut
fakta-fakta ini, mungkin apa yang diamanatkan oleh Bapak Presiden,
Panglima Besar, Pemimpin Besar Revolusi yang sangat kita cintai ber-
sama ini, bahwa Angkatan Udara tidak terlibat di dalam persoalan ini,
mungkin ada benarnya. Akan tetapi tidak mungkin, tidak ada hubung
an dengan peristiwa ini dari pada oknum-oknum dari pada anggota
Angkatan Udara.
147
Center for Information Analysis, Gerakan 30 september Antara Fakta dan Rekayasa ber-
www.facebook.com/indonesiapustaka
dasarkan Kesaksian Para pelaku Sejarah,. Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, hlm.
87-113.
148
Menurut Buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IV A, hlm. 242, terbitan
Pusjarah dan Tardisi ABRI, 1994 disebutkan pengangkatan jenazah berlangsung dari pu-
kul 12.05-13.40.
149
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 157.
229
Oleh sebab itu saya sebagai warga dari pada anggota Angkatan Darat,
mengetok jiwa, perasaan dari para patriot anggota Angkatan Udara.
Bilamana benar ada oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan
yang kejam dari pada para jendral kita yang tidak berdosa ini, saya
mengharapkan, agar supaya para patriot anggota Angkatan Udara
membersihkan juga dari pada anggota-anggota Angkatan Udara yang
terlibat di dalam petualangan ini. Saya sangat berterima kasih, bah-
wa akhirnja Tuhan memberikan petunjuk yang terang dan jelas pada
kita sekalian. Bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan
yang tidak baik, pasti akan terbongkar. Dan saya berterima kasih pada
satuan-satuan, khususnya dari Resimen Para Ko dan juga anggota-ang-
gota dari KKO dan satuan-satuan lainnya, serta rakyat jang membantu
menemukan bukti ini dan turut serta mengangkat jenazah ini, sehing-
ga jumlah dari pada korban dapat kita temukan.
Sekian yang perlu kami jelaskan kepada saudara-saudara sekalian.
Terima kasih.150
Penutup
Gerakan 30 September adalah sebuah pemberontakan yang melibat-
kan kesadaran penuh seluruh unsur Partai Komunis Indonesia (PKI)
dengan menggunakan sejumlah unsur di TNI AD melalui jalur raha-
sia Biro Khusus. Hal ini terlihat dari aktivitas pengiriman sejumlah
anggota Politbiro serta CC-PKI ke berbagai daerah untuk membantu
CDB setempat. Di samping itu markas atau kantor pusat PKI, sehari
sebelum gerakan dipindahkan dari kantor Jl. Kramat Raya ke lokasi
yang dirahasiakan serta diikuti kepindahan D.N. Aidit ke suatu tem-
pat di dalam kompleks pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Sebagai designer semua perencanaan dan sekaligus pelaksanaannya
adalah Sjam Kamarusaman, Kepala Biro Khusus PKI yang bertang-
gung jawab langsung kepada Ketua Umum yaitu D.N. Aidit. Sjam se-
belumnya juga memberikan instruksi kepada CDB-CDB dan per-
wakilan Biro Khusus untuk terus mengikuti siaran RRI Jakarta yang
www.facebook.com/indonesiapustaka
230
bisa ditafsirkan bahwa siaran RRI itu dijadikan wahana untuk menya
lurkan instruksi untuk bertindak.
Ketua CC-PKI, D.N. Aidit dalam strategi tahap awal gerakan me-
mang tidak melibatkan secara langsung unsur-unsur resmi PKI, se-
hingga bila sesuatu hal menyebabkan gerakan gagal, maka PKI masih
bisa memberikan pernyataan bahwa tidak ada satu unsur PKI yang
resmi yang terlibat dalam penculikan dan penguasaan tempat-tempat
strategis. Keterlibatan PKI, bila ada, hanya marginal dan bukan seba
gai alat partai. Gerakan itu, sejak awal hendak dikesankan sebagai
gerakan murni yang dilakukan oleh orang-orang TNI AD dan bersifat
internal semata. Dalam skenario itu dinyatakan, bila gerakan itu ber-
hasil, dukungan dari masyarakat dilakukan dengan berbagai demon-
strasi dan kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Revolusi
di tingkat pusat maupun daerah, dukungan yang “datang dari ma-
syarakat” itu akan menunjukkan bahwa rakyat Indonesia menyetujui
terhadap apa yang dilakukan TNI AD. Dengan taktik tersebut partai
kemudian ‘hanya’ mendukung apa yang diinginkan rakyat tersebut.
Selain itu dengan keluarnya salah satu dekret, tujuan “Gerakan 30
September” menjadi jelas. Sifat sebenarnya dari “Gerakan” bukanlah
semata-mata militer, politik. Batas lingkup “gerakan” ternyata jauh
lebih luas dari Angkatan Darat atau Angkatan Bersenjata sekalipun,
melainkan skalanya sudah bersifat nasional. Kenyataan bahwa PKI
adalah dalang gerakan itu, menunjuk pada keberadaan Sam dan Pono
selaku anggota PKI, yang juga duduk dalam Central Komando. Dalam
pengakuannya, Njono mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin dari
kader-kader PKI menentukan arah politik gerakan ini. Seandainya
benar, bahwa “gerakan” hanya ditujukan terhadap jenderal-jenderal
Angkatan Darat, dan dengan demikian merupakan suatu “urusan
intern Angkatan Darat”, mengapa perlu untuk membentuk sebuah
“Dewan Revolusi” dan mendemisionerkan kabinet Dwikora, setelah
www.facebook.com/indonesiapustaka
231
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
Aidit, D.N. “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur”
Laporan pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, di
Jakarta.
Aidit, D.N. “Berani, Sekali Berani” (Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang
Pleno 19 Februari 1963), Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961,
Dekon (Deklarasi Ekonomi), 1963; Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso),
Pidato Presiden 17 Agustus 1964.
Berita Acara Pemeriksaan Makmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah
(Kepala Biro Chusus Central PKI) Dalam G-30S, September 1967.
Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Untung bin Sjamsuri. Putusan No.:
PTS-03/MB II/U/1966
Berita Acara Persidangan Mahmillub Njono bin Sastroredjo alias Tugimin
alias Rukma dalam peristiwa G30S 1965. bulan Februari 1966.
Berita Acara Persidangan Mahmillub Sudisman (Kepala Sekretariat CC PKI
dan anggota Dewan Harian Polit Biro CC PKI) Dalam Peristiwa G.30S
1965. Pada bulan Juli 1967.
Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 tentang penun-
jukkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa
dan mengadili tokoh-tokoh yang terlibat petualangan kontra-revolusi
“Gerakan 30 September”.
Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16
Februari 1965, keduanya dari Polit Biro PKI.
Surat Kabar
www.facebook.com/indonesiapustaka
232
Buku
Abiyoso, Anis. 1999. “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam Membuka Lipatan
Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta, Pustaka Cidesindo.
Latief, Abdul, Kolonel. 2000. Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G 30 S,
Cetakan III, Jakarta, Institut Studi Informasi.
Durmawel, Ahmad. 1997. ”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam
Sri Murni Ali Said, Ali Said di antara Sahabat,. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Anwar, Rosihan. 1999. “G-30S/PKI, Gilchrist, dan CIA”, dalam Menguak
Lipatan Sejarah, Jakarta, Cidesindo.
Aidit, D.N. 1964. Revolusi Indonesia dan Tugas-tugas Mendesak PKI, Peking:
Pustaka Bahasa Asing.
--------------. 1953 Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia, Pidato diut-
www.facebook.com/indonesiapustaka
233
234
235
236
Lihat Taufik Abdullah, “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah (9), hlm. 1-4.
Lihat misalnya Harold Crouch, “The Military and Politics in Southeast Asia”, dalam:
Zakaria Haji Ahmad & Harold Crouch (eds), Military Civilian Relation in South-East Asia;
Singapore, Oxford, New York: Oxford University Press, 1985, hlm. 287-317.
237
meletus secara terbuka, dan bahkan bersifat fisik, pada saat revolusi
kemerdekaan. Dalam suasana seperti itulah AD, khususnya, dan mi-
liter Indonesia, pada umumnya, dilahirkan. Dengan demikian, militer
Indonesia dari awal kemunculannya dalam panggung sejarah, telah
secara langsung bersentuhan, atau bahkan menjadi bagian integral
dari polarisasi dan konflik ideologi antara ketiga pilar utama itu.
Selain dari mereka yang secara terang-terangan memperjuang-
kan ideologinya dengan kekerasan (seperti yang terlihat pada peris-
tiwa DI/TII, Peristiwa Madiun, PRRI/Permesta, dan sebagainya), ada
juga kekuatan-kekuatan ideologis lain, yang ingin memperjuangkan
ideologinya dalam batas-batas sistem yang ada. Hal itu bisa dilihat
dari perilaku politik partai-partai Islam seperti Masyumi dan PSII
dari golongan Islam, dan partai-partai kiri seperti Murba dan PSI.
Sementara itu wakil dari golongan Nasionalis direpresentasikan oleh
PNI dan beberapa partai lain yang berhaluan serupa. Pada periode
revolusi, partai-partai yang berpengaruh memiliki laskar bersenjata
sendiri, seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat de
ngan PKI, Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) yang merupakan or-
gan PNI, dan Hisbullah/Sabilillah, yang merupakan onderbouw dari
Masyumi. Bahkan sayap militer Masyumi sudah dibentuk sebelum
Lihat misalnya, Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Perspektivisme Struktural”, Prisma (8) (1981), hlm. 3.
Pola persekutuan konflik antara militer dengan unsur-unsur di atas ini tidak pernah sta-
bil dan permanen, melainkan berubah-ubah sesuai dengan tingkat kepentingan serta si-
tuasi dan kondisi politik yang ada. Militer seringkali bersekutu dengan unsur-unsur
Islam dalam konfliknya dengan kaum Komunis dan Nasionalis Kiri, seperti yang terjadi
di tahun 1948 dan 1965/66. Sementara di waktu yang lain, militer justru berhadapan
dengan unsur-unsur Islam ini seperti yang terjadi sepanjang tahun ‘70-an dan ‘80-an, ke-
tika hubungan antara militer dan kelompok Islam memburuk oleh sejumlah persoalan
yang terkait dengan isu-isu seputar Negara Islam dan Asas Tunggal Pancasila, dan nanti-
nya akan memuncak dalam apa yang dinamakan Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di
tahun 1984. Ironis bahwa sejumlah tokoh Islam yang menjadi korban dari represi militer
pada era tersebut, seperti (alm) Amir Biki dan Abdul Qadir Djaelani adalah kawan dan
sekutu militer di tahun-tahun 1965-66, saat “pengganyangan PKI” sedang mencapai pun-
caknya. Kepentingan oportunistik yang luar biasa dari militer ini mebuatnya untuk tidak
menafikan kerjasama dengan “musuh nomor satunya” sekalipun, yaitu dengan golongan
www.facebook.com/indonesiapustaka
komunis, seperti yang terjadi saat pemberontakan PRRI-Permesta meletus di tahun 1958.
Saat itu, militer, khususnya di kawasan-kawasan yang merupakan basis PRRI-Permesta,
bekerja sama dan memanfaatkan unsur-unsur PKI setempat dalam melawan pemberon-
takan tersebut. Lihat Benedict RO’G Anderson dan Ruth T. Mc Vey, Kudeta I Oktober 1965:
Sebuah Analisis Awal; Jakarta: LKPSM-SYARIKAT, 2001, hlm. 41 dan catatan kaki No. 50
hlm. 125.
238
Beberapa peristiwa yang mencerminkan adanya konflik internal antara lain Peristiwa
Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, Peristiwa Madiun, dan sebagainya.
Tentang Peristiwa Tiga Daerah lihat Anthon Lucas, The Bamboo Spear Pierces the Payung:
The Revolution against the Bureaucratic Alite in North Central Java in 1945; Ann Arbor,
Mitch: University Microfilm International, 1980. Tentang Peristiwa Aceh-Sumatra Utara
atau yang lebih dikenal dengan nama “Revolusi Sosial Aceh Sumatra Timur” yang mele-
www.facebook.com/indonesiapustaka
tus di tahun 1945-1946 lihat Suprayitno, Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia; Yogyakarta:
Terawang Press, 2001. Tentang Peristiwa Madiun, lihat misalnya Ruud Kreutzer, The
Madiun Affair of 1948: Internal Struggle in Indonesian’s Nationalist Movement; Amsterdam:
University of Amsterdam, 1984.
Tentang dinamika revolusi Indonesia lihat misalnya George McT. Kahin, Nationalism
and Revolution in Indonesia; Ithaca: Cornell University Press, 1952.
239
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967; Jakarta: LP3ES, 1998, hlm.11.
Tuduhan bahwa Republik Indonesia yang baru diproklamirkan itu tidak lain hanyalah
sebagai “boneka” dari fasisme Jepang, tidak hanya muncul dari Belanda dan sekutu-
sekutunya saja, melainkan, secara implisit, juga datang dari unsur-unsur internal
Indonesia sendiri. Termasuk, atau terutama, dari tokoh Sosialis dan pendiri PSI Sutan
Sjahrir. Dalam brosurnya yang diterbitkan pada tahun 1945 yang berjudul Perdjoangan
Kita, Sjahrir menegaskan perlunya bangsa Indonesia yang baru merdeka ini untuk, antara
www.facebook.com/indonesiapustaka
lain, membebaskan dirinya dari noda-noda fasisme Jepang. Ini berarti secara tersirat
Sjahrir beranggapan bahwa tuduhan sebagai “boneka” Jepang itu tidak sepenuhnya
salah. Lihat pernyataan Sjahrir dalam brosur tersebut sebagaimana dikutip dalam
Rosihan Anwar (ed). Mengenang Sjahrir; Jakarta: PT Gramedia, 1980, hlm. xxxi
(pengantar)
Ibid., hlm. 32
240
Ada dugaan bahwa hal itu disebabkan oleh dominasi mantan perwira
PETA dalam jajaran militer Indonesia, di mana mereka mengadopsi
pola hubungan sipil-militer seperti yang diterapkan di Jepang pada
masa rezim fasis berkuasa di sana.10 Seperti diketahui, pada masa
Perang Dunia II, kekuasaan negara di Jepang sepenuhnya ada di ta
ngan militer, tanpa adanya partisipasi sipil sama sekali.11
Teori lain mencoba menjelaskan kecenderungan itu dengan mene
ngok ke masa-masa awal perang kemerdekaan melawan Belanda.
Ketika itu, batasan antara fungsi militer dan fungsi politik cenderung
kabur karena sifat perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri yang
di dalamnya terdapat sifat militer dan politik sekaligus. Bukan karir
militer semata yang mendorong para anggota TNI ini berjuang, tetapi
juga semangat patriotik dan pembelaan terhadap Republik. Ketika ta-
hap perang kemerdekaan ini masuk ke fase gerilya, di mana militer
berbaur dengan penduduk sipil dalam kesehariannya, batasan antara
fungsi-fungsi politik dan militer yang ada pada golongan militer itu
menjadi makin kabur.12
Selain sikap ragu kepada apa yang disebut dengan supremasi
sipil, militer juga ragu, kalau bukan antipati, terhadap fenomena
keanekaragaman ideologi yang tercermin dalam banyaknya partai
dan organisasi politik setelah kemerdekaan. Meskipun tidak memi-
liki suatu ideologi yang baku dan terumuskan dengan jelas, kecuali
ideologi negara (Pancasila) yang secara formal diakui, militer mem-
punyai kecenderungan untuk meletakkan dirinya secara ideologis
dalam posisi “tengah”, antara Komunis di kiri dan apa yang disebut
sebagai ekstrimisme Islam di sebelah kanan. Walaupun tidak bebas
sama sekali dari anasir-anasir politis dalam tubuhnya, tetapi mili-
ter (terutama AD) relatif mampu mensterilkan diri dari kelompok-
kelompok semacam itu. Berbagai pemberontakan yang terjadi, dan
yang sebagian kalau bukan semuanya, melibatkan unsur militer juga,
www.facebook.com/indonesiapustaka
10
Tentang Sejarah tentara PETA lihat misalnya Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada
Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia; Jakarta: Gramedia, 1973.
11
Sundhaussen, Politik Militer, hlm. 34.
12
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 22.
241
menjadi berkah terselubung bagi militer, karena otomatis hal itu akan
membersihkan dirinya dari golongan-golongan yang berpandangan
berbeda. Hal itu (pemberontakan-pemberontakan) bukannya mem-
perlemah, malahan sebaliknya memperkuat posisi militer dan mem-
perkuat legitimasi bahwa mereka adalah “pengawal” atau “abdi nega
ra” yang misi utamanya adalah berbakti dan berjuang demi negara
dan bukan demi kepentingan dan ideologis semata sebagaimana yang
sering dituduhkan oleh para politisi sipil.13
13
Lihat Asvi Warman Adam “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto” makalah
disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara
Jernih (Serpong: 8 September 1999), hlm. 11.
14
Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terjemahan oleh Ahmad
Baso Yogyakarta, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hlm. 86.
242
sempat berhimpun dalam satu wadah untuk waktu yang pendek saja
15
Uraian tentang Pemilihan Umum 1955 dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: KPG, 1999.
243
Tentang dinamika Islam Indonesia dalam persoalan politik kenegaraan lihat Deliar Noer,
16
Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965; Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Hasil Pemilu ini
juga cukup mengejutkan sejauh menyangkut apa yang bernama Partai Sosialis Indonesia
(PSI). Pada awalnya PSI diramalkan akan memperoleh suara cukup signifikan dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pemilu 1955. Alasannya terutama diletakkan kepada figur tokoh-tokohnya, seperti Sutan
Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan Sumitro Joyohadikusumo yang mempunyai reputasi
sebagai tokoh-tokoh nasional sebelum perang, serta pengaruh partai tersebut dalam
kepemimpinan nasional pada era Revolusi. Ternyata PSI hanya mendapatkan 753.191
suara pada tahap pertama Pemilu, atau sekitar 2% dari total suara. Lihat dalam Feith,
Pemilihan Umum, hlm. 85.
244
17
S.T.A. Prasetyo & Toriq Hadad, Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa Partai: Perjalanan
www.facebook.com/indonesiapustaka
245
19
Kesetiaan berlebihan dari pasukan terhadap komandannya pada masa itu disebut “bapak
isme”. Istilah ini menunjuk kepada seorang pemimpin atau “bapak” yang pada masa revo-
lusi sangat menentukan dalam menciptakan dan mempertahankan moral kelompok. Dia
sangat berperan sekali dalam menggembleng solidaritas kelompok dan mengikat hubung
an informal untuk tujuan politik. Lihat Sartono Kartodirjo, “Wajah Revolusi Indonesia
Dipandang dari Perspektif Struktural”, Prisma (8) (1981), hlm. 3-5. Seringkali pilihan
politik suatu kelompok gerilyawan atau tentara ini tidak ditentukan oleh orang-perorang
anggota kelompok, namun banyak ditentukan oleh keingingan dan orientasi ideologi
www.facebook.com/indonesiapustaka
politik dari komandannya. Mengenai perspektif ekonomi dari persoalan hubungan pu-
sat-daerah lihat misalnya Singgih Tri Sulistiyono, “Perdagangan antar Daerah dan
Integrasi Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-an”,
makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism: Changing Horizon in
Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus 2003.
20
Sundhaussen, op.cit., hlm. 115.
246
21
Fakta lain bahwa sebagian besar dari korps Perwira MBAD berasal dari Divisi Siliwangi,
seperti Nasution, Kemal Idris, dll, mungkin bisa menjelaskan mengapa hubungan antara
para perwira dari kelompok Markas Besar ini dengan para perwira “anti” Markas Besar
yang kebanyakan berasal dari Divisi Brawijaya, sukar untuk bisa berlangsung dengan
baik. Lebih detail bisa dilihat dalam Sundhaussen, op.cit, hlm. 111.
22
Crouch juga berpendapat bahwa latar belakang kedua kelompok ini berbeda secara
tajam. Kelompok Nasution didominasi oleh perwira yang berlatar belakang KNIL/
Belanda, sedangkan kelompok Bambang Supeno didominasi oleh perwira yang berlatar-
belakang PETA/Jepang, dan sebagiannya lagi berlatarbelakang laskar-laskar non-reguler
dari era revolusi. Lihat Crouch, op.cit, hlm. 27-28. Tentang polarisasi itu dan peran pen
ting Kolonel Bambang Supeno, sebagai perwira eks PETA yang dekat dengan Sukarno
dan para elite politik “anti pemerintah” (maksudnya kabinet Wilopo yang “pro PSI” ini)
pada saat-saat tersebut lihat Sundhaussen, op.cit., hlm. 128-130. Selain itu perbedaan
antara kedua kelompok ini juga disebabkan oleh orientasi politik yang berbeda. Kelompok
Nasution dianggap dekat dengan PSI dan sayap kanan PNI yang waktu itu memang me-
megang tampuk pemerintahan, dengan Wilopo, seorang PNI “kanan” sebagai Perdana
Menterinya. Sementara itu kelompok Bambang Supeno didukung, selain oleh perwira-
perwira yang sekubu, juga oleh Presiden Sukarno dan para politisi “sayap kiri” dari un-
www.facebook.com/indonesiapustaka
sur PNI kiri dan elemen-elemen kiri yang lain. Lihat Rocamora, op.cit, hlm. 73-76.
Peristiwa 17 Oktober selain memperlihatkan polarisasi yang makin tajam dalam tubuh
militer juga menunjukkan polarisasi yang nyata dalam tubuh PNI, antara faksi “kanan”
yang dipimpin oleh Wilopo dengan faksi “kiri” yang dipimpin oleh Sidik Joyosukarto dan
Manai Sophiaan. Lihat ibid, hlm. 73-76. Lihat juga Slamet Sutrisno, Kontroversi dan
Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta: Media Pressindo, 2003, hlm. 13-22.
247
23
Ulasan tentang dampak lebih lanjut dari Peristiwa 17 Oktober 1952 ini sebagian besar
bahannya diambil dari Sundhaussen, op.cit., hlm. 125-140.
24
Tentang adanya simpati dan dukungan Presiden Sukarno kepada para perwira “anti
Peristiwa 17 Oktober” ini dibenarkan oleh sejumlah sumber yang banyak mengkaji ten-
tang profil militer Indonesia selama era-era tersebut. Lihat misalnya Crouch, op.cit, hlm.
27-28.
248
sur eksternal militer.25 Ketika para perwira anti Nasution ini mulai
Terutama di sini adalah Presiden Sukarno dan sayap kiri PNI. Mereka melihat dengan
25
rasa curiga terhadap kecenderungan militer Indonesia yang semakin dekat dengan
249
kepentingan dan garis politik dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebuah partai kecil
“Pro Barat” yang didominasi oleh para cendekiawan yang berpaham liberal. Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Mayjen
T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, meskipun secara formal keduanya
“non-partai”, tetapi dianggap “dekat” dengan PSI. Lihat Soebagijo IN, Wilopo 70 Tahun;
Jakarta: PT Gunung Agung, 1979, hlm. 291.
26
Pembagian kedua kubu atas dasar afiliasi ideologis antara golongan “kanan” yaitu kubu
Nasution cs dengan golongan “kiri” yaitu kubu Bambang Supeno, Bambang Sugeng dan
Bambang Oetojo cs, memang bisa dilihat sebagai terlalu menyederhanakan persoalan.
Sementara ada di antara mereka, seperti Bambang Soepeno yang memang benar-benar
punya kecenderungan kiri, ada juga perwira dari kubu tersebut yang tidak bisa dikate-
gorikan kiri apalagi komunis. Sudirman dan Soemitro misalnya, dua perwira Brawijaya
dari kubu tersebut, secara politis bukanlah orang yang dapat diidentifikasi sebagai sim-
patisan kiri. Sudirman (bukan Panglima Besar) adalah seorang militer dengan ke-
cenderungan Islam yang kuat, dan di kemudian hari termasuk perwira tinggi AD yang
tidak disukai oleh Sukarno karena alasan tersebut. Lihat Dr. A.H. Nasution, Memenuhi
www.facebook.com/indonesiapustaka
Panggilan Tugas; Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 357. Sementara itu Soemitro adalah
perwira anti komunis yang menonjol selama periode 1960-an sampai awal 1970-an, dan
dikenal sebagai salah seorang “arsitek” pembangunan kamp penahanan untuk para be-
kas anggota dan simpatisan PKI di di Pulau Buru. Lihat dalam Ramadhan K.H., Soemitro
(Mantan Pangkopkamtib) Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 290.
250
27
Rangkaian pokok-pokok pikiran yang lebih lengkap yang terdapat dalam Piagam Yogya
ini dapat dilihat Sundhaussen, op.cit, hlm. 142-143.
28
KSAD periode 1952-1955, Bambang Sugeng, dan seorang perwira lain yang anti Peristiwa
17 Oktober, Bambang Supeno, adalah figur-figur perwira yang sangat loyal kepada
Presiden Sukarno dan mempunyai hubungan informal dengan PNI. Di kemudian hari, di
tahun-tahun 1966-1967, ketika kepemimpinan Presiden Sukarno mengalami krisis legiti-
masi yang hebat, Bambang Sugeng dan Bambang Supeno aktif menggalang dukungan
bagi Sukarno dengan mengandalkan para perwira Divisi Brawijaya, tempat mereka ber
asal. Lihat Crouch, op.cit, hlm. 239.
29
Meskipun sama-sama mempunyai sekutu dari kalangan politisi sipil, yaitu unsur-unsur
PSI untuk kubu Nasution, dan unsur-unsur PNI/Sukarno bagi kubu lawannya, ada sifat
jelas yang membedakan pola hubungan dari masing-masing kubu tersebut. Kolaborasi
antara kubu Nasution dengan kelompok PSI ini lebih mencerminkan suatu hubungan
yang berangkat dari perspektif supremasi militer sebagai satu entitas politik yang tidak
saja sederajat, bahkan memposisikan diri sebagai satu entitas yang mempunyai derajat
yang lebih tinggi dibandingkan entitas politik sipil. Dengan demikian kedekatan kubu
Nasution ini dengan unsur-unsur PSI dan sayap kanan PNI seperti Wilopo ini bukan
merupakan satu gambaran dari subordinasi sipil terhadap militer, karena hubungan
antara keduanya bukan merupakan hubungan yang subordinatif, dalam arti bukannya
militer yang tunduk kepada rekan-rekan sipilnya, melainkan militer (faksi Nasution)
yang mempunyai pandangan dan kepentingan politik yang sama dengan unsur-unsur
PSI dan sayap kanan PNI ini. Secara samar-samar, pandangan-pandangan politik PSI
dan sayap kanan PNI ini terutama tentang supremasi militer dan hak-hak politiknya,
sama dan sebangun dengan kubu Nasution. Secara kasar, dapat disimpulkan bahwa ke
www.facebook.com/indonesiapustaka
lompok sipil PSI dan sayap kanan PNI ini sepakat dengan pandangan rekan-rekan militer
mereka itu, yang berpendapat “bahwa tentara selamanya harus menjadi suatu kekuatan
yang dominan”. Kalimat dalam tanda petik tersebut adalah kutipan dari seorang politisi
anti Peristiwa 17 Oktober, Manai Sophiaan, seperti yang dapat dilihat dalam Soebagijo
I.N., op.cit, hlm. 299. Sementara itu kasus yang menyangkut kedekatan antara kubu mili
ter anti Peristiwa 17 Oktober atau anti Nasution dengan Presiden Sukarno atau para poli-
251
tisi sayap kiri PNI mempunyai gambaran yang berbeda karena para perwira dari kubu
anti Nasution ini justru berangkat dari keyakinan dan afiliasi ideologis dan politis kepa-
da suatu otoritas yang ada di luar mereka (militer), dalam hal ini misalnya Sukarno dan
sayap kiri PNI. Mereka menomorsatukan keyakinan ideologisnya, dalam hal ini merupa-
kan campuran antara nasionalisme populis dan sosialisme, yang di wilayah politik sipil
semangat tersebut dapat dijumpai di kalangan sayap kiri PNI dan pada sosok Presiden
Sukarno.
30
Upacara ini berlangsung bahkan tanpa dihadiri oleh korps musik resmi AD, yang ikut
www.facebook.com/indonesiapustaka
memboikot upacara tersebut, sehingga panitia terpaksa mendatangkan korps musik dari
satuan Pemadam Kebakaran. Lihat Sundhaussen, op.cit, hlm. 148. Hal ini memperli-
hatkan betapa sedikitnya pengaruh yang dimiliki oleh para perwira “kiri” ini dalam
konstelasi politik di lingkup internal militer dan hal itu akan menjadi preseden serta
akan menjadi variabel yang sangat menentukan dalam pergulatan politik di era
1965/1966.
252
Mayoritas perwira AD memilih Nasution sebagai calon ideal mereka dibanding dengan
31
nama-nama lain yang disodorkan sebagai calon seperti Simbolon dan Gatot Subroto.
Bahkan sejumlah perwira dari kelompok anti Peristiwa 17 Oktober, seperti Sudirman
dari Brawijaya termasuk di antara yang mendukung Nasution. ibid, hlm.166. Hal ini
membuktikan bahwa tidak seperti lawannya, kubu militer anti Peristiwa 17 Oktober ini
bukanlah merupakan sebuah kelompok yang solid.
253
254
33
Ibid., hlm. 174-175.
255
34
Lihat Prasetyo & Hadad, Jenderal tanpa Pasukan, hlm. 108-109. Lima hari sebelum dipro-
klamirkannnya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, para pemberontak telah mengeluar-
www.facebook.com/indonesiapustaka
kan ultimatum yang isinya sama-sekali tidak menyinggung tentang isu-isu kedaerahan:
1) Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda harus menyerahkan madnatnya Presiden; 2)
Presiden menugaskan Drs. Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk
membentuk Zaken Kabinet. Lebih jelasnya lihat dalam S. Marzoeki, “Dukungan Negara-
negara Asing Terhadap PRRI/Permesta (1958-1961)”, makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah V (Pekanbaru: 25-26 Juli 1995).
256
perusahaan Belanda. Jadi, meskipun satu faksi militer lokal telah ber-
hasil dicabut dari akar warlordism yang menguasai sumber-sumber
ekonomi lokal, namun sesungguhnya sumber ekonomi yang diting-
galkan itu dipegang kembali oleh ‘new warlords’ dari faksi militer lain
yang merupakan kepanjangan tangan dari MBAD. Bahkan kedudu-
kan mereka semakin kuat setelah perusahaan-perusahaan Belanda
yang dinasionalisasi ‘diamankan’ oleh kelompok tentara yang men-
jadi sumber korupsi dan kehancuran perusahaan-perusahaan yang
berjaya pada zaman Belanda. Jadi dalam soal ini, tidak ada keberhasil
an apa pun yang diraih oleh pemerintah sipil pusat.
Dampak yang lain lagi, pemberontakan ini mendorong Presiden
Sukarno untuk mempercepat apa yang sudah lama diinginkannya,
yaitu diakhirinya sistem demokrasi parlementer yang tidak disukai
nya, karena dianggap kebarat-baratan. Secara ideologis, Sukarno me-
mang sejak muda tidak pernah bersimpati kepada demokrasi liberal.
Ia menganggap sistem itu terlalu menekankan kepada hak-hak politik
rakyat, sementara yang lebih penting menurutnya, yaitu hak-hak eko-
nomi, diabaikan. Sebetulnya sejak tahun 1956, Sukarno mulai sering
berpidato dengan nada mengkritik parlementarisme dan keseluruh
an sistim politik yang berlaku saat itu. Salah satu yang terkenal di
antaranya diucapkan pada kesempatan memperingati Hari Sumpah
Pemuda, tanggal 28 Oktober 1956. Di depan para utusan organisasi-
organisasi massa dan pemuda, Sukarno mengkritik habis-habisan,
apa yang ia namakan “penyakit partai-partai”:35
“Kita telah telah melakukan kesalahan yang sangat besar dalam tahun
1945 ketika kita menyerukan pembentukan partai-partai, partai-par-
tai, partai-partai... Mimpi saya adalah bahwa para pemimpin partai-
partai itu akan bertemu, akan berkonsultasi satu sama lain, lalu ber-
sama-sama sampai pada keputusan” mari kita sekarang bersatu untuk
mengubur semua partai”.
www.facebook.com/indonesiapustaka
35
Ulf Sundhaussen, op.cit, hlm. 221-222.
257
yang demikian, jelas tidak ada halangan apapun, ketika pada 5 Juli
1959 Sukarno membubarkan parlemen dan memberlakukan kembali
258
UUD 45. Sejak itu pula, era Demokrasi Liberal benar-benar berakhir
riwayatnya, dan era Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai.
bobot dan legitimasi politik dari golongan militer, dan semakin me-
mantapkan mereka untuk terjun secara penuh dalam arena politik.
Sejak berakhirnya pemberontakan-pemberontakan daerah pada akhir
259
260
261
36
Lihat Asvi Warman Adam, ‘Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto’, makalah
disampaikan pada Seminar Pra-Kipnas: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih
(Serpong: 8 September 1999), hlm. 6-9. Lihat juga Asvi Warman Adam, “Keterlibatan
Tentara dalam Percobaan Kudeta”, dalam Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah
Indonesia; Yogyakarta: Tride, 2004, hlm. 141-144. Lihat juga Tim ISAI, Bayang-bayang
PKI; Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1995, hlm. 37-38.
37
Lihat misalnya Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di
Sekitar Peristiwa G30S/PKI (Djakarta: KOTI, 1965.
38
G.J. Pauker, The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia; Santa Monica: Rand
Corporation, 1969.
www.facebook.com/indonesiapustaka
39
Ada beberapa ‘buku putih’ peristiwa G30S yang diterbitkan oleh pemerintah ORBA
antara lain Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt o the ’30 September
Movement’ in Indonesia; Djakarta: Pembimbing Mas, 1968; Dinas Sejarah Angkatan Darat,
Pemberontakan PKI dan Penumpasannya; Jakarta: 1974; Kantor Sekretariat Negara,
Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi,
dan Penumpasannya; Jakarta: 1994, dan sebagainya.
262
40
Naskah Cornell Paper telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, lihat B.R.O’G Anderson
& R.T.McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat,
2001.
41
Tim ISAI, Bayang-bayang PKI, 22.
263
tuk memancing agar terlibat dalam suatu gerakan yang pada akhirnya
bisa menjadi dalih bagi AD untuk menghabisinya.42
Pendapat yang menekankan peranan AD sebagai dalang G30S juga
dikemukakan oleh Harold Crouch, menjelang peristiwa naas itu Staf
Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi
ini sebetulnya sama-sama bersikap anti PKI, meskipun berbeda si-
kap ketika berhadapan dengan Presiden Sukarno. Faksi yang pertama
merupakan “faksi tengah” yang loyal kepada Sukarno. Faksi yang
dipimpin oleh Menpangad Mayjen Ahmad Yani yang menentang ke-
bijakan Sukarno tentang persatuan nasional di mana PKI berada di
dalamnya. Faksi kedua adalah “faksi kanan” yang menentang Sukarno
dan menentang kebijakan Yani yang bernapaskan Sukarnoisme.
Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini.
Peristiwa 30 September yang berdalih ingin menyelamatkan Sukarno,
sesungguhnya ditujukan untuk menyingkirkan “faksi tengah” untuk
melapangkan jalan bagi “faksi kanan” untuk berkuasa.43
Sementara itu versi ketiga yang berpendapat bahwa dalang G30S
adalah CIA dikemukakan antara lain oleh Peter Dale Scott dan Geofrey
Robinson. CIA (Amerika Serikat) memandang kecenderungan haluan
politik Sukarno yang mengarah “ke kiri” sangat merisaukan Amerika
Serikat. Jika Indonesia jatuh ke tangan pemerintahan komunis, maka
posisi Amerika di Asia Tenggara menjadi sangat teancam karena
Vietnam sudah terlebih dahulu dikuasai oleh rezim komunis (teori
Domino). Di mana-mana agen asing tidak bisa bekerja tanpa bantuan
unsur kekuatan dalam negeri. Oleh karena itu CIA menjalin hubung
an yang mesra dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI
agar melakukan tindakan, untuk kemudian dihabisi. Menjelang me-
letusnya drama berdarah itu Amerika telah berbaik hati untuk men-
42
Ben Anderson mencatat bahwa Sjam merupakan tokoh misterius yang penuh petualang
www.facebook.com/indonesiapustaka
an. Ia pernah menjadi Ketua Ranting PSI Rangkasbitung tahun 1951. Bahkan pada masa
revolusi ia pernah menjadi intel Recomba Jawa Barat (buatan Belanda). Pada akhir tahun
1950-an ia menjadi informan dari komandan KMK (Komando Militer Kota) Jakarta. Lihat
‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.edu/apakabar/
basisdata/1996/09/28/0063.html
43
Tim ISAI, op.cit, hlm. 18.
264
44
ibid, hlm. 27.
265
M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN, 2000, hlm. 71.
46
266
47
Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 222-224.
48
Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30 S-PKI dan Peran Bung
Karno; Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 208-209.
49
Siregar, Naiknya Para, hlm. 27-29.
50
Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 84-87. Nugroho Notosusanto, Tragedi
nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989), hlm. 30-44.
267
Pelaksana G30S
Dalam berbagai pertemuan telah diputuskan bahwa pasukan yang
bergerak di bawah SENKO dibagi dalam tiga grup:
1. Grup Pasopati yang berada di bawah pimpinan Letnan Satu Dul
Arif dan Letnan Dua Siman. Mereka membawahi satu kompi,
masing-masing dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen
Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua pele-
ton masing-masing dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan
Para Angkatan Udara, serta Kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas
menculik anggota utama Dewan Jenderal dan dibawa ke Lubang
Buaya. Dalam daftar nama siapa-siapa yang akan diculik ter-
dapat: Nasution, Yani, Suprapto, Harjono M.T., S. Parman, D.I.
Panjaitan, Sutojo Siswomihardjo, dan A. Sukendro. Akan tetapi
khusus untuk Sukendro, beberapa saat menjelang aksi Gerakan
namanya dicoret dari daftar, karena dia sedang berada di luar
negeri.
2. Kesatuan Bimasakti yang berada di bawah komando Kapten
Suradi diberi tugas menguasai Jakarta dan menguasai tempat-
tempat penting. Kota dibagi menjadi enam sektor. Tempat-tem-
pat penting di sektor pertama yaitu Lapangan Merdeka dan
sekitarnya, di mana terdapat Istana Presiden di Merdeka Utara,
stasiun radio di Merdeka Barat dan gedung telekomunikasi di
Merdeka Selatan. Pasukan ini terdiri dari tiga kompi yang ma-
sih tersisa dari Batalion Para 454, empat kompi yang tersisa dari
Batalion 530. Kesatuan ini juga mendapat tugas untuk mem-
bantu kesatuan Pasopati.
3. Kesatuan Pringgodani dipimpin Mayor Udara Sujono terdiri
dari satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan pasukan
cadangan serta kekuatan massa yang dipersenjatai. Mereka ber-
tugas mengamankan Lubang Buaya, menguasai logistik dan me-
www.facebook.com/indonesiapustaka
268
269
satu regu dari Cakrabirawa, serta dua regu dari Pemuda Rakyat
bertugas untuk mengambil Letjen Ahmad Yani.
3. Sub-kesatuan yang dipimpin oleh Sersan Kepala Sulaiman yang
membawa dua regu dari Resimen Cakrabirawa bertugas untuk
mengambil Mayjen Suprapto.
4. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Mayor
Satar yang terdiri dari satu regu Cakrabirawa dan satu peleton
dari Batalion 530 bertugas menahan Mayjen S. Parman.
5. Sub-kesatuan yang bertugas untuk mengambil Brigjen Sutoyo
Siswomiharjo berada di bawah komando Sersan Mayor
Surono dari Cakrabirawa yang terdiri dari tiga regu resimen
Cakrabirawa.
6. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Kepala
Bungkus dari Cakrabirawa yang membawa tiga regu tentara
bertugas untuk mengambil Mayjen M.T. Haryono.
7. Sub-kesatuan yang berada di bawah pimpinan Sersan Mayor
Sukardjo dari Batalion 454 yeng terdiri dari masing-masing satu
regu Brigade Infanteri 454 dan Brigade Infanteri 1 bertugas un-
tuk mengambil Brigjen D.I. Pandjaitan.
270
Buaya. “Tumbal” yang lain dari lolosnya Nasution ini ialah putrinya
sendiri, seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang terluka akibat pelu-
ru nyasar dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari enam orang
jenderal sisanya, tiga orang ditembak mati di rumahnya karena mela-
wan, sedangkan tiga lainnya dieksekusi di Lubang Buaya, termasuk
Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Nasution. Mayat ketujuh orang
itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di kawasan yang sama.
Pada saat yang hampir bersamaan unit-unit militer yang pro ku-
deta juga bergerak ke pusat kota, menduduki lapangan Merdeka,
Stasiun Pusat RRI dan kawasan sekitar Istana Presiden. Di Lubang
Buaya sendiri sejumlah tokoh inti kudeta telah berada di sana pada
saat kudeta dimulai. Bahkan ada yang telah berhari-hari mempersiap-
kan segala sesuatunya di Lubang Buaya, di antaranya Letnan Kolonel
Untung Sutopo, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan (KK);
Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur II Kolaga;
Kolonel Abdul Latief, Komandan Brigade Infantri I/Jaya; Mayor Udara
Soejono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim (P3AU);
Mayor Udara Gatot Sukrisno, dan Letnan Kolonel Udara Heru Atmojo,
seorang perwira intel di Mabes AU. Sementara itu di Pangkalan
Halim, Menteri Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Udara
Omar Dhani telah hadir di sana. Malam sebelumnya ia telah memba-
has tentang adanya gerakan tersebut bersama sejumlah perwira tinggi
dan menengah AURI. Di Halim juga hadir Ketua CC PKI D.N. Aidit,
tepatnya di rumah Sersan Udara Suwardi, seorang bintara P3AU yang
menempati rumah di kompleks pangkalan udara Halim. Menurut be-
berapa sumber, Aidit selalu ditemani oleh Kamaruzaman alias Sjam,
seorang sipil misterius, yang diduga mempunyai peran besar dalam
peristiwa-peristiwa penting di hari-hari tersebut. 54
www.facebook.com/indonesiapustaka
54
Versi standar Orde Baru menyebut Sjam sebagai Ketua Biro Khusus PKI, yang tugas
pokoknya adalah merekrut pengikut dari kalangan militer. Versi tersebut juga menyebut-
nya sebagai orang yang berperan sentral dalam kudeta, karena ia yang menjadi peng-
hubung antara para pelaku gerakan dengan pimpinan PKI. Akan tetapi tidak semua
pengamat setuju dengan kesimpulan itu. Secara ekstrem bahkan ada yang berteori bahwa
justru militerlah yang menyusupkan Sjam ke dalam PKI.
271
Serangan Balik
Sebagaimana disinggung di depan bahwa pada awalnya G30S di-
maksudkan untuk menjadi gerakan kontra kudeta untuk mencegah
kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal. Oleh karena itu target
dari G30S adalah para jenderal yang diduga menjadi anggota Dewan
Jenderal.
Masyarakat umum mendengar adanya G30S dari siaran berita RRI
Jakarta pada pukul 07.00 pagi hari, tanggal 1 Oktober 1965. Siaran
itu menyebutkan telah terjadinya “gerakan militer dalam Angkatan
Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September” yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, Pasukan
Pengawal Pribadi Presiden. Gerakan ditujukan kepada jenderal-jen-
deral anggota Dewan Jenderal yang telah merencanakan sebuah kup
menjelang Hari Angkatan Perang. Siaran itu juga menyebutkan bah-
wa sejumlah jenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang pen
ting-penting serta objek-objek vital lainnya telah dikuasai oleh ger-
akan tersebut, Sementara itu Presiden Sukarno dalam keadaan aman
di bawah perlindungan mereka. Diterangkan juga bahwa akan diben-
tuk “Dewan Revolusi Indonesia” mulai dari tingkat pusat sampai ke
tingkat desa.55 Selanjutnya pada pukul 11.00 disiarkan sebuah dekret
yang intinya menyatakan bahwa seluruh kekuasaan negara Indonesia
telah dialihkan kepada suatu Dewan Revolusi Indonesia yang akan
memegang pemerintahan sampai pemilihan umum dapat diselengga-
rakan. Dalam siaran ini juga diumumkan susunan komando Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka
55
Tentang siaran itu lihat Sugiyarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G
30 S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 207-208.
272
terhadap gerakan Untung. Tidak hanya dari unsur militer saja, dukung
an juga datang dari Walikota Solo, Utomo Ramelan, seorang anggota
PKI dan saudara ipar mantan Panglima AURI, Suryadi Suryadarma.
273
Namun demikian, hanya itu yang diperoleh oleh para pelaku kudeta,
sebab para penguasa militer dan sipil, serta berbagai tokoh politik
dan ormas di seluruh pelosok negeri, bersikap menunggu dengan
hati-hati perkembangan yang terjadi.56
Reaksi yang paling menentukan datang dari arah yang mungkin
tidak diduga sebelumnya, yaitu dari Pangkostrad Mayjen Soeharto,
seorang perwira AD yang selama ini dikenal pendiam, apolitis, dan
yang paling penting, dia dikenal secara pribadi oleh para pemimpin
kudeta. Pada sore hari itu juga Soeharto berhasil menguasai pusat kota,
menarik sebagian pasukan pro kudeta dan mengusir sisanya, serta
merebut semua objek vital dari tangan mereka. Ia juga mengambil-
alih kepemimpinan AD ke dalam genggamannya. Pukulan yang paling
mematikan dari Soeharto ialah saat di depan corong RRI menyatakan
G30S sebagai kontrarevolusioner, dan mengajak seluruh rakyat untuk
menumpasnya. Ini merupakan pukulan moril dan psikologis yang
sangat dahsyat bagi kelompok kudeta, karena seruan Pangkostrad itu
berarti aba-aba bagi siapa saja yang tidak sepakat dengan kudeta itu
untuk segera melawannya. Meskipun lewat siarannya pada malam
hari tanggal 1 Oktober itu, Soeharto belum memberi identifikasi poli-
tik sama sekali kepada G30S, tetapi di sebagian kalangan militer dan
masyarakat sipil, sudah ada anggapan bahwa PKI pasti berada “di be-
lakang” kelompok kudeta. Sebagian besar komandan militer daerah
di luar kelompok pendukung kup, rata-rata memang bersikap ‘wait
and see’, menunggu kejelasan situasi. Akan tetapi ada yang bertindak
lebih jauh dari sekedar menunggu kejelasan. Kolonel Tharmat Wijaya,
komandan sebuah Brigade Infantri di Palopo, Sulawesi Selatan, mulai
melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pengurus-pengurus
PKI setempat, saat ia mendengar siaran Untung yang pertama.57 Dari
kalangan sipil, khususnya kelompok-kelompok yang nyata anti ko-
munis, juga diperoleh cerita-cerita serupa. Seorang tokoh pimpinan
organisasi mahasiswa muslim terkemuka, HMI, segera menyimpul-
www.facebook.com/indonesiapustaka
274
Untung pada pagi hari 1 Oktober itu.58 Bagaikan bola salju, reaksi
balas yang dipimpin oleh Soeharto ini menggelinding dengan hebat
dan melindas tanpa ampun siapa pun yang dianggap pendukung atau
sekedar memiliki hubungan dengan G30S, baik dari kalangan mili-
ter sendiri maupun dari sipil. Sejak saat itu pengejaran dan rentetan
pembunuhan yang panjang yang dilakukan oleh militer bersama se-
kutu sipilnya dialami oleh anggota dan simpatisan atau yang diduga
anggota dan simpatisan PKI baik dari kalangan militer maupun sipil.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa garis penting bahwa keter-
libatan militer khususnya Angkatan Darat dalam politik sudah me-
miliki akar yang panjang dalam sejarah Indonesia modern bahkan
hal itu sudah dimulai sejak masa akhir kolonial Belanda. Situasi sosi
al dan politik sejak kemerdekaan lebih memberikan pembelajaran
kepada kelompok militer mengenai keterlibatannya dalam dunia
politik. Perkembangan politik pada masa perang kemerdekaan, masa
Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin semuanya memberi-
kan kesempatan bahkan mendorong militer untuk melangkah lebih
jauh dan mendalam untuk ikut ambil bagian dalam memperebutkan
kekuasaan.
udah barang tentu di dalam tubuh militer sendiri tidak terdapat
S
keseragaman dalam cara pandang mereka terhadap peran politik
yang harus mereka mainkan. Demikian juga perbedaan itu juga mun-
cul dari basis kultural dan ideologi yang berbeda di antara kelom-
pok-kelompok dalam tentara. Basis ini memberikan penghayatan dan
praktik yang berbeda dalam permainan politik. Tidak bisa dipungkiri
juga bahwa faksi-faksi yang ada dalam tubuh militer juga dipenga-
ruhi mekanisme situasi sosial politik bangsa Indonesia sejak prokla-
masi kemerdekaan. Keterkaitan antara militer dengan dinamika sosial
www.facebook.com/indonesiapustaka
58
Sulastomo; Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966; Jakarta: CV Haji Masagung, 1990, hlm.
29.
275
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah No. 9
Adam, Asvi Warman. 2004. Pelurusan Sejarah Indonesia; Yogyakarta:
Tride.
Adam, Asvi Warman. “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto”,
makalah disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi
Nasional 1965 Secara Jernih; Serpong: 8 September 1999.
Ahmad, Zakaria Haji & Harold Crouch (eds). 1985. Military Civilian Relation
in South-East Asia; Singapore, Oxford, New York: Oxford University
Press.
Anderson, B. R. O’G & R.T.McVey. 2001. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah
Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat.
Anwar, Rosihan. (ed). 1980. Mengenang Sjahrir, Jakarta: PT Gramedia.
‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.
edu/ apakabar /basisdata/1996/09/28/0063.html
Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar
Harapan.
Dinas Sejarah Angkatan Darat. 1974. Pemberontakan PKI dan Penumpasannya,
Jakarta.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia; Jakarta: KPG.
www.facebook.com/indonesiapustaka
276
277
Prasetyo, S. T. A. & Toriq Hadad. 1998. Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa
Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution; Jakarta: Grafiti Pers.
Ramadhan K.H. 1994. Soemitro (Mantan Pangkopkamtib) Dari Pangdam
Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Rocamora, J. Eliseo.1991. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan
Runtuhnya PNI 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi. 1965. Tjatatan Kronologis di
Sekitar Peristiwa G30S/PKI, Djakarta: KOTI.
Siregar, M. R. 2000. Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN.
Soebagijo, I. N. 1979. Wilopo 70 Tahun, Jakarta: PT Gunung Agung.
Soerojo, Soegiarso. 1989. Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30
S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota.
Sundhaussen, Ulf. 1998. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta:
LP3ES.
Sulastomo. 1990. Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966, Jakarta: CV Haji
Masagung.
Sulistyono, Singgih Tri. 2003. “Perdagangan antar Daerah dan Integrasi
Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-
an”, makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism:
Changing Horizon in Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus.
Suprayitno. 2001. Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia; Yogyakarta: Terawang
Press.
Sutrisno, Slamet. 2003. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta:
Media Pressindo.
Tim ISAI. 1995. Bayang-bayang PKI, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
278
Nina Herlina
Pendahuluan
Hingga saat ini ada beberapa buku yang membahas Peristiwa G30S.
Pertama, adalah buku resmi yang dikeluarkan pemerintah dengan
judul Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada
tahun 1994 ini, dijelaskan bahwa dalang Gerakan 30 September
adalah PKI dengan Biro Khususnya yang memperalat unsur ABRI.
Tujuan gerakan ialah merebut kekuasaan dan menciptakan masyara-
kat komunis di Indonesia. Setahun kemudian, muncul buku Bayang-
bayang PKI, yang peredarannya dilarang Kejaksaan Agung. Dalam
buku ini disebutkan bahwa menjelang tahun 1965, terjadi perpecah-
an di kalangan atas pimpinan PKI, yang tidak diketahui oleh mayori-
tas anggota PKI di seluruh Indonesia. Sebagian pimpinan PKI, seperti
Aidit dan Sjam Kamruzzaman, yang bersekongkol dengan beberapa
perwira, merancang gerakan tersebut.
uku lainnya yang juga membahas “dalang” peristiwa G30S, ialah
B
buku-buku yang ditulis di luar negeri dengan berbagai versinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
279
280
Siapa Sukarno?
Dalam biografi tentang Sukarno yang ditulis oleh Lambert Giebels
(2000) dijelaskan tentang apa dan siapa Sukarno secara detail. Kusno
Sosro Sukarno lahir di Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, sebagai anak
kedua dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo, seorang guru seko-
lah dasar bumiputra di Singaraja Bali, dengan Ida Ayu Nyoman Rai,
putri salah satu keluarga Bali dari kelas Brahmana. Nama depannya
tidak dipakai lagi sejak masa kanak-kanak, sehingga ia hanya dike-
nal sebagai Sukarno. Sebagai tanda bukan orang sembarangan,
Sukarno menceritakan bahwa kelahirannya disambut dengan letus
an Gunung Kelud, sebuah gunung berapi dekat Kediri Jawa Timur.
Sejak kecil, Sukarno diasuh oleh inang pengasuh bernama “Sarinah”.
Nama ini rupanya begitu melekat di hati Sukarno kecil hingga dewa-
sa. Salah satu bukunya yang diterbitkan pada tahun 1947, diberi
judul dengan nama Sarinah, juga bangunan pertokoan monumental
di Jalan Thamrin di Jakarta, diberinya nama Sarinah.
Pendidikan pertama Sukarno diperoleh di sekolah desa di
Tulungagung, Jawa Timur. Ketika Sukarno berumur 6 tahun, ke-
luarganya membawa pindah ke Sidoarjo, kemudian pindah lagi ke
Mojokerto, di mana ayahnya mendapat pekerjaan sebagai guru di
Sekolah Kelas Dua. Tahun 1914, ia memasuki ELS di Mojokerto. Pada
tahun 1916 (ada yang menyebut tahun 1915, ada pula yang menye-
but tahun 1917), atas jasa baik Tjokroaminoto, ia dapat bersekolah di
HBS Surabaya dan lulus tahun 1921. Setelah itu ia mendaftarkan diri
ke Technische Hoge School (THS) yang baru didirikan pada tahun
1919 di Bandung.
Sukarno menyerap filsafat Jawa dari kakek-neneknya di
Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto, dan dari Wagiman, seorang
petani miskin yang sering menceritakan para pahlawan dari dunia
pewayangan. Ketika masih mahasiswa di Bandung ia sering mengi-
www.facebook.com/indonesiapustaka
281
282
Lihat Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial
Bandung.
283
Peter Dale Scott, 1985, “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno”, makalah, hlm. 7
284
Nekolim. Ketika PKI merayakan HUT ke-45 pada tahun 1965, Jakarta
dipenuhi poster-poster raksasa, di mana gambar Presiden Sukarno
dipajang sama besarnya dengan DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx di
beberapa jalan utama Jakarta. Bung Karno dengan wajah berseri-seri
berpakaian kebesaran dengan semua bintang menghiasi dadanya
tampil di depan massa mendapat sambutan gegap-gempita. Di sini-
lah keluar ucapan Bung Karno yang terkenal, ditujukan kepada PKI,
“Ora sanak, ora kadang, yen mati aku melu kelangan” (bukan sauda-
ra, bukan keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan). Memasuki
awal tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 60-an, panggung
politik nasional pada dasarnya hanya memunculkan tiga kekuatan
politik utama: Sukarno, PKI, dan TNI-AD. Dalam perkembangannya
kemudian, salah satu dari tiga pilar politik tersebut, yakni PKI,
setelah merasa kuat secara politik maupun militer, kemudian mem-
persiapkan langkah-langkah penting untuk merebut pusat
kekuasaan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Staf Badan Pusat
Intelijen Brigjen Polisi Soetarto, DN Aidit menyebarkan isu tentang
adanya Dewan Jenderal, sebagai dewan yang terdiri dari para jende
ral yang memiliki tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno.
Menurut isu yang dikembangkan PKI ini, Dewan Jenderal diperki-
rakan akan merebut kekuasaan dari tangan Sukarno menjelang per-
ingatan hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Setelah itu,
Pelda Sujono seorang perwira pertama TNI AD oleh PKI dicap dari ka-
langan “Kabir” (kapitalis birokrat), tewas oleh orang-orang PKI/BTI di
Perkebunan Negara Bandar Betsy, Sumatra Utara. Peristiwa itu men-
jadikan sikap TNI AD makin keras terhadap PKI. Pertentangan antara
TNI AD dan PKI makin tajam. Presiden Sukarno menanyai Jenderal
Ahmad Yani tentang isu Dewan Jenderal ini. Menpangad menjelas-
kan bahwa tidak ada yang namanya “Dewan Jenderal” seperti yang
diisukan itu, yang ada adalah sejumlah jenderal yang bertugas mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka
285
Rollad Challis, Shadow of a Revolution; Thrupp: Sutton Publishing, 2001, hlm. 77.
286
motif dari tindakan ini ialah untuk membujuk Presiden Sukarno agar
menyetujui rencana-rencana komplotan ini. Namun yang jelas, ke-
beradaan Presiden Sukarno di Halim Perdanakusumah menimbulkan
287
288
290
friksi yang kuat antara mereka yang pro dan anti Sukarno. Dikotomi
militer dalam kelompok pro dan anti Sukarno bisa dipetakan dengan
berdasarkan pada trikotomi kekuatan politik anti komunis sebagaima-
na digambarkan Ulf Sundhaussen. Kelompok pertama adalah kelom-
pok militer yang bersikap kritis terhadap Sukarno hanya sepanjang
Sukarno belum memperlihatkan sikap tegas dalam menindak PKI.
Kelompok ini di antaranya mencakup Angkatan Laut, Angkatan
Kepolisian, dan sebagian besar perwira dari Divisi Brawijaya dan
Diponegoro. Kedua, kelompok militer yang di samping menuntut si-
kap tegas Sukarno dalam menindak PKI, juga menginginkan adanya
pembersihan total terhadap kekuatan-kekuatan komunis yang masih
berada di pemerintahan, termasuk pembersihan kabinet dari para
koruptor, pembatasan kekuasaan presiden untuk menghindarkan ke-
sewenang-wenangan Presiden dalam membuat keputusan, serta peng
hentian konfrontasi dengan Malaysia. Kelompok Pembaru Moderat
ini dipimpin oleh Soeharto dan Nasution. Kelompok ketiga, merupa
kan kelompok yang menginginkan adanya perubahan tatanan politik
lama secara total serta tidak lagi memberi tempat bagi Sukarno. Kaum
radikal dalam tubuh militer ini di antaranya terdiri dari para perwira
dan para veteran yang condong kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI),
seperti Daan Jahja, Suwarto, Kemal Idris, H.R. Dharsono, Soemitro,
dan Sarwo Edhie Wibowo. Ketiga kelompok kekuatan anti komunis
ini dalam perkembangannya kemudian dapat dikatakan mengkristal
menjadi dua kekuatan besar, yakni kekuatan pro Sukarno, yang di-
representasikan oleh militer kelompok pertama, serta kekuatan anti
Sukarno, yang direpresentasikan oleh militer dari kelompok kedua
dan kelompok ketiga.
riksi yang terjadi di tubuh militer dalam menghadapi kekuasaan
F
Sukarno tampaknya tidak menjadi halangan bagi kelompok mili-
ter anti Sukarno untuk melanjutkan manuver-manuver politiknya.
Dalam situasi seperti ini, terjadilah adu strategi di antara pihak-pihak
www.facebook.com/indonesiapustaka
291
kan PKI sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab serta
ketidaktegasan Sukarno dalam menyikapi peran PKI pada peristiwa
G30S, secara konsisten dan intens digunakan kelompok militer anti
Sukarno untuk memperoleh simpati rakyat, sekaligus menjadikan
rakyat agar antipati terhadap Sukarno. Masyarakat Indonesia yang
terkenal religius dan anti komunis diformat sedemikian rupa agar
sampai pada suatu anggapan bahwa Sukarno ternyata lebih memihak
PKI daripada membela keinginan rakyat.
paya kelompok militer anti Sukarno mengoptimalkan isu-isu di
U
seputar G30S bisa dikatakan mencapai hasil yang baik. Hal ini ter-
bukti dengan munculnya dukungan dari berbagai elemen masyara-
kat, khususnya mahasiswa, tokoh-tokoh agama, dan ormas Islam.
Akibatnya, aksi-aksi demonstrasi anti Sukarno merebak di Jakarta dan
di beberapa daerah di luar ibu kota. Dalam situasi seperti itu, dapat
diduga, militer yang memiliki kepentingan dengan adanya aksi-aksi
demonstrasi anti Sukarno, berupaya memayungi aksi-aksi tersebut.
Kalangan mahasiswa dan ormas-ormas Islam yang sejak awal banyak
yang kurang simpati dengan kebijakan-kebijakan politik dan ekono-
mi Sukarno, dengan adanya payung dari militer, menjadi semakin
leluasa untuk mengadakan aksi-aksinya.
emasuki awal bulan Maret 1966, berbagai aksi demonstrasi
M
dalam skala besar digelar oleh kesatuan-kesatuan aksi (KAPPI-KAMI).
Aksi demonstrasi pada awal Maret ini bahkan meluas sampai ke dae-
rah-daerah lain di luar ibu kota negara. Namun demikian, berbeda de
ngan aksi-aksi demonstrasi sebelumnya, aksi-aksi demonstrasi KAPPI
dan KAMI kali ini ditandai oleh adanya bentrokan fisik dengan para
demonstran yang mendukung Presiden Sukarno. Adanya aksi demon-
strasi tandingan dari pendukung Presiden Sukarno dimungkinkan
karena kepiawaian Presiden Sukarno dalam menghidupkan kembali
semangat para pendukungnya untuk melawan aksi-aksi yang dinilai
www.facebook.com/indonesiapustaka
292
Presiden.
293
294
sisi kabinet baru tersebut bisa dikatakan hampir tidak ada seorang
menteri pun yang dapat diandalkan Sukarno untuk melaksanakan
295
Ulf Sundhaussen, op cit, hlm. 410.
Ibid., hlm. 412-413
10
296
Simpulan
Dengan memperhatikan latar belakang sosio-politik dalam kehidup
an Presiden Sukarno, jelas bahwa Sukarno menganggap komunis ha-
rus bisa hidup berdampingan dengan golongan lainnya seperti ter-
cermin dari ideologi Nasakom. Pemikiran-pemikirannya tentang hal
itu selalu dihidupkan dalam berbagai cara dan di berbagai kesempat
an. Ketika terjadi konflik antar golongan yang mengakibatkan ter-
jadinya krisis, maka Presiden Sukarno merasa harus memilih jalan-
nya sendiri. Jelas bahwa ia ikut terlibat dalam perencanaan G30S,
namun pada akhirnya skenario diambil alih oleh Soeharto yang telah
merencanakan untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Sukarno, seba
gaimana terlihat dari langkah-langkah pasti yang dilakukannya me-
lalui Supersemar. Bahwa ada pihak lain yang terlibat (CIA) tidak bisa
dipungkiri, ikut andil dalam melapangkan jalan terjadinya suksesi
kepemimpinan nasional di negeri ini.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O’ G dan Mc Vey, Ruth. 1971/2001. Kudeta 1 Oktober
1965; Sebuah Analisis Awal (terj.). Yogyakarta: LKPSM/Syarikat
Challis, Roland. 2001. Shadow of a Revolution. Thrupp: Sutton Publishing.
Elson, R. E. 2001. Soeharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge
University Press
Giebels, Lambert. 2001. Sukarno: Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.
K.H., Ramadhan. 1981. Kuantar ke Gerbang. Jakarta: Sinar Harapan.
Latief, Abdul. 2000. Pleidooi Kolonel A. Latief. Soeharto Terlibat G30S.
Jakarta: ISAI
Legge, John D. 1985. Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar
Harapan.
Lubis, Nina H. ed. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Bandung: Satya Historika
----------. 2001. Mitos di Sekitar Kelahiran Bung Karno. Makalah. Bandung
www.facebook.com/indonesiapustaka
297
Roeder, O.G. t.t. Anak Desa; Biografi Presiden Soeharto. Jakarta: Gunung
Agung
Scott, Peter Dale. 1985. “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno”.
Makalah.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. (G30S
PKI dan Peran Bung Karno). Jakarta.
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: KPG.
Sundhaussen, Ulf. 1986. Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-
1967; Jakarta: LP3ES.
www.facebook.com/indonesiapustaka
298
Aminuddin Kasdi
299
semeja dan bekerja sama semeja). Yang dimaksud Bung Karno adalah
agar PKI yang pada Pemilu tahun 1955 keluar sebagai salah satu par-
tai pemenang diikutsertakan dalam pemerintahan. Partai-partai poli-
tik diberi waktu seminggu untuk memberikan jawaban.
artai politik yang menyetujui adalah PKI, Murba, PNI, PRN,
P
Baperki, dan Persatuan Pegawai Polisi Negara. Masyumi dan Partai
Katolik menolak, sedang NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolak
secara halus. Bung Karno mengancam akan membubarkan partai-par-
tai karena dianggapnya sebagai biang keladi ketidakstabilan. Namun,
tatkala pimpinan partai besar seperti PNI menyatakan ketidak-se-
tujuannya atas ancaman Presiden itu, Bung Karno menghindar dan
menyatakan saran agar partai-partai disederhanakan. Sementara itu
terjadi perkembangan yang cepat di beberapa daerah, Letkol Ventje
Sumual, Panglima TT Indonesia Timur, dalam pertemuan antara TT
Sumatra Barat, TT Sriwijaya dan TT Indonesia Timur di Palembang,
mengumumkan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang in-
tinya menuntut pemulihan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, otonomi
daerah, penggantian pimpinan AD, dan pelarangan komunisme di
Indonesia.
ada September 1957 diselenggarakan Munas yang mengha-
P
silkan super team, terdiri dari Sukarno, Hatta, dan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, untuk membuat terapi dan diagnosis guna
mengatasi keadaan. Dalam hal ini Bung Karno telah melihat Hatta
sebagai representasi kekuatan tiga daerah yang anti komunis. Oleh
karena hal ini bertolak belakang dengan konsepsi yang telah dikemu-
kakannya, Bung Karno kemudian menolak kembalinya Dwi Tunggal
dengan Hatta, ia bersikeras melaksanakan konsepsinya dengan
konsekuen.
ikap Bung Karno terhadap persoalan Dwi Tunggal dan ketegasan-
S
nya untuk mewujudkan konsepsi yang ia ajukan, khususnya dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dalam Konsepsi Presiden itu antara lain akan dibentuk Dewan Nasional, kedudukannya
sederajat dengan Kabinet Gotong Royong. Dewan Nasional bertugas memberikan nasihat
kepada Presiden baik diminta ataupun tidak diminta.
300
Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai,Jakarta, 1988, hlm. 214.
301
PKI ke-45 bulan Mei 1965, Bung Karno dengan wajah berseri-seri
Ibid., hlm. 215.
Ibid., hlm. 219.
Harian Rakjat, tanggal 24 Mei 1965.
302
Kesaksian Suyitno Sukirno (Marsekal Muda TNI AU), Peristiwa G-30 S./PKI di Auri yang
303
wa yang ada ialah Wanjakati, yaitu yang menilai promosi dari pang-
kat Kolonel menjadi Jenderal. Akan tetapi bola panas “Dewan Jenderal”
telah menggelinding di medan politik Indonesia. Pada 28 Mei 1965,
dalam sebuah rapat para panglima tentara, ia menyatakan telah me-
miliki bukti-bukti bahwa nekolim akan membunuh dia, Subandrio,
dan Yani. Apabila rencana itu gagal nekolim akan menggunakan
“kaki tangan mereka, tentara setempat”.
ubandrio selaku kepala Badan Pusat Intelejen (BPI), seharusnya
S
memeriksa otentisitas Dokumen Gilchrist, tetapi ia hanya memperca-
yakan kepada Kepala Stafnya Brigjen (Pol) Sutarto, yang ternyata tidak
memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes di Laboratorium
Kriminal Angkatan Kepolisian. Sutarto menyerahkan kembali kepada
Subandrio dan mengatakan bahwa dokumen itu asli. Subandrio ke-
mudian menyatakan bahwa dokumen tersebut otentik, dan tanggal
25 Mei 1965 Subandrio menyerahkannya kepada Bung Karno. Sejak
saat itu Bung Karno sangat dipengaruhi dan percaya akan adanya
Dewan Jenderal yang dianggap bersikap anti Bung Karno. Dan Bung
Karno tampak sering marah-marah terhadap beberapa jenderal AD,
dan sebaliknya ia juga kerap menerima kunjungan beberapa jenderal
lain yang lebih dipercayanya.10
i tengah-tengah situasi polemik tentang masalah penyelesaian
D
revolusi, adanya Dewan Jenderal, konfrontasi mengganyang Malaysia
dan kesulitan ekonomi akibat Indonesia diisolasi oleh dunia interna
sional, karena keluar dari PBB, DN. Aidit Ketua CC PKI, menuntut
dilaksanakan penasakoman pada semua unsur pemerintahan. Dalam
hal ini Aidit menyatakan bahwa konsep Nasakom yang dicetuskan
oleh Bung Karno pada tahun 1926 itu makin hari makin terbukti ke-
benarannya. Dilihat dari segala segi, bagi rakyat Indonesia tidak ada
Berita Yudha dan Harian Rakjat,29 Mei 1965.
Rosihan Anwar, “G.30 S/PKI, Gilchrist, dan CIA”, dalam Tim Cidesindo, Membuka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lipatan Sejarah: menguak Faakta gerakan PKI, 1999, Jakarta, Pustaka Cidesindo, hlm.
43-48. Dokumen tersebut ternyata disusun oleh intel pada Atase Militer Cekoslowakia
di Jakarta yang kemudian menyeberang ke AS.
10
Bambang S. Widjanarko, The Devious Dalang ; Sukarno and the so-called Untung-putch
Eye-witness report by Bambang S. Widjanarko,The Hague: Interdoc Publishinhg House,
1974, hlm. 10.
304
11
Soegiarso Soerojo, op, cit., hlm. 218.
12
John Hughes, The End of Sukarno, A Coup that Misfired: A. Purge that ran wild., Singapore,
Stamford Press Pte Ltd., 2002, hlm. 117.
13
Ibid., hlm. 221.
305
14
Ibid., hlm. 215.
15
Warta Bhakti, 7 Maret 1965
16
John Hughes, op. cit, 2002
17
Ibid., hlm. 219.
18
Anthonie C.A. Dake, op.cit, hlm. 408.
306
307
Ibid.
21
308
22
Ibid., hlm. 267.
309
saja to, Pak, kan wewenang ada di tangan Bapak. Dewan Jenderal itu
ndak ada Pak. Yang ada adalah Wanjakti, yang tugasnya membantu
Men/Pangad untuk peneropongan Kolonel-kolonel yang akan dinaik-
kan jadi Jenderal, jadi bukan untuk tujuan lain”. Bung Karno: ”Wis,
kowe ora usah campur, diam saja kamu. Kowe wis dicekoki Nasution,
ya”. Bung Karno: ”Sudah kamu jangan banyak bicara. Kamu tahu,
dalam Revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak bisa ma-
kan anaknya sendiri. Kamu tahu?” Sugandhi: ”Waduh, kalau begitu
Bapak ini sudah jadi PKI.” Bung Karno: ”Diam kau. Tak tempeleng
pisan kowe mengko. Sudah pulang sana. Yang ngati-ati”.23
Brigjen Sugandhi, kemudian juga menghadap Jenderal A. Yani dan
memberitahu niat PKI. Tetapi Jenderal A. Yani tak percaya. “Mana
mungkin PKI berani melancarkan kup. TNI-AD kompak dan kuat,”
kata A. Yani.24 Pada 27 September 1965 CC PKI menyebarkan instruk-
si ke semua CDB di seluruh Indonesia. Instruksi itu ditandatangani
oleh Sudisman selaku Sekretaris Jenderal CC PKI sebagai berikut:
23
Djenderal Dr. AH Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi Orde
Baru) II, Djakarta: Seruling Masa, 1967, hlm. 30-32.
24
Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 266-267.
310
ttd.
(Sudisman)
311
312
Berani Mati 5 x
C VI A.25
www.facebook.com/indonesiapustaka
313
ementara itu, figur yang secara nyata akan menangani dan me-
S
mimpin gerakan militer adalah Brigadir Jenderal Supardjo, yang saat
itu seharusnya berada di pos tugasnya di Kalimantan, yaitu di fron
konfrontasi dengan Malaysia. Atas panggilan Omar Dhani, pada 28
September 1965 Brigjen Supardjo ke Jakarta. Bung Karno mengetahui
Omar Dhani memanggil Supardjo, namun ia akan mengambil kepu-
tusan dan memegang kendali di tangannya sendiri.
Pada 29 September 1965 Supardjo bertemu Bung Karno sehubung
an dengan rencana pemberian komando kepada pasukan-pasukan
yang ada digaris depan untuk menyerbu Malaysia. Dalam kesempatan
tersebut Supardjo juga melaporkan bahwa ia telah bertemu dengan
para pemimpin PKI dan menyatakan bahwa kelompok Sjam-Untung
telah mengadakan 10 kali pertemuan sejak ia datang ke Jakarta pada
bulan Agustus.26 Ternyata pada malam harinya Supardjo oleh Sjam,
kepala Biro Khusus dari PKI, diperkenalkan dengan para pimpinan
G30S lainnya. Semalam sebelum G30S dilaksanakan.27 Tanggal 28
September 1965 selepas tengah hari Men/Pangau Omar Dhani meng
hadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta. Ketika ia ma-
suk kamar, Bung Karno mengenakan kaos oblong tanpa peci, sedang
mencukur kumis. Men/Pangau melaporkan bahwa para perwira dan
bawahan AD yang tidak puas terhadap pimpinannya, sudah tidak
sabar lagi untuk melakukan gerakan. Bung Karno menjawab bahwa
ia akan mengambil keputusan menyetujui atau menolak langkah itu
pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965 di Istana Bogor.28
arena sikap Presiden Sukarno itu, kemudian PKI mengambil
K
langkah mendahului, yaitu pasukan-pasukan penculik untuk mem-
bangunkan para jenderal dengan dalih karena dipanggil untuk segera
menghadap Presiden. Anehnya, panggilan menghadap Presiden tang-
gal 1 Oktober 1965 juga dibenarkan oleh para korban dan keluarga
nya. Jika memang adanya panggilan Presiden kepada para Pimpinan
www.facebook.com/indonesiapustaka
26
Antonie C.A. Dake, op.cit., hlm. 406, berdasarkan Pembelaan Sjam di Mahmillub.
27
Berita Acara Pememriksaan (BAP) Mahmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah
(Kepala Biro Khusus CC PKI, dalam G. 30 S., 1965.
28
Aristides Katoppo, dkk., Menyingkap Kabut Hali, 1965, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
2000.
314
29
Harian Rakyat, 2 Oktober 1965. Lihat Anthonie C. A. Dake, op.cit., hlm. 407.
30
Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 224.
31
Aristides Katopo, Dkk.,op.cit., hlm. 131. Lihat: Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 226.
315
kesatuan-kesatuan yang terlibat G30S oleh kompi Yon 203 dan kompi
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 81-82. Lihat catatan kaki no. 15 (atas), dan catatan
32
316
Kavaleri 7 panser dapat diringkus 140 dari Yon 530 Para dan 97 dari
Yon 454 Para di Bekasi dalam perjalanan mereka kembali ke Jawa
Tengah. Sampai 16 Oktober 1965 telah berhasil ditangkap 1.334 ok-
num yang terlibat langsung dalam G30S. Sementara itu pengejaran
terhadap anggota-anggota Pemuda Rakyat yang ikut aktif dalam pem-
bunuhan Pahlawan Revolusi di daerah Bekasi dapat ditangkap ratus
an orang, 39 pucuk senjata dengan 5.000 butir peluru, 5 buah peluru
anti tank. Di Tanjung Priok anggota-anggota KKO berhasil menyita
100 buah granat tangan buatan RRC dan beberapa pucuk senjata.
ada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, Jenderal Supardjo bersa-
P
ma-sama dengan Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Mayor
Sukirno (Dan Yon 454 Para), dan Kapten Heru Atmodjo menghadap
Presiden di Istana Merdeka untuk melaporkan pelaksanaan G30S
dalam rangka pengamanan Presiden dari kudeta Dewan Jenderal.
Ternyata malam itu Presiden tidak tidur di istana sesuai dengan jad-
wal, melainkan bermalam di kediaman Dewi Sukarno di Wisma Yaso
(sekarang Museum Satrya Mandala). Di situ Bung Karno memperoleh
laporan apa yang terjadi pada malam harinya. Tatkala Bung Karno ber-
sama rombongannya akan kembali ke istana, setelah sampai di Budi
Kemuliaan oleh Kolonel M. Saelan diberitahu bahwa istana dikepung
oleh tentara tidak dikenal, karena itu Bung Karno kemudian memutus
kan untuk pergi ke Halim. Tiba di Halim sekitar pukul 09.00. Karena
tidak mengetahui di mana keberadaan Bung Karno, Kapten Heru
Atmojo memutuskan kembali ke Halim untuk malapor kepada Men/
Pangau. Setibanya di PAU Halim Perdanakusuma Heru Atmojo mela-
por kepada Omar Dhani, kemudian diberitahu bahwa Presiden juga
akan ke Halim. Maka Omar Dhani menyuruh Heru Atmodjo menjem-
put Brigjen Supardjo dengan helikopter Men/Pangau. Setibanya di
Halim, dengan perantara Omar Dhani, Supardjo menghadap Presiden
melaporkan tentang jenderal-jenderal yang telah berhasil diamankan
(diculik). Perginya Presiden Soekarno ke PAU Halim dan kedatangan
www.facebook.com/indonesiapustaka
317
mereka bertiga, yaitu Supardjo, Bung Karno, dan Omar Dhani. Ketiga
tokoh ini merupakan kunci dari banyak persoalan yang nyaris tidak
terjawab mengenai masalah kudeta G30S. Khususnya dalam hal hu-
bungan antara peristiwa G30S, Omar Dhani, Supardjo, dan Presiden
Soekarno.33
Dalam kesempatan itu, Supardjo melaporkan bahwa Jenderal
Nasution lolos. Mendengar laporan itu Men/Pangau Omar Dhani ber-
teriak gusar, “Rusak … rusak … rusak”, dan Presiden menanyakan
“Kok bisa lolos, bagaimana?” Setelah itu Bung Karno memberikan
pujian atas hasil kerja Brigjen Supardjo sambil menepuk bahunya,
dan mengatakan, “Kamu telah bekerja dengan baik!” Padahal menurut
pandangan umum, tepukan tangan itu juga bermakna sebagai ucapan
selamat (congratulatory) terhadap yang telah dikerjakan Supardjo.34
Dengan demikian sebenarnya perilaku itu merupakan kecerobohan
yang menyingkap sikap Bung Karno bahwa tindakan Supardjo itu te-
lah direncanakan dan telah ia ketahui sebelumnya.35 Apalagi Bung
Karno sebagai Pangti juga tidak memerintahkan menindak para pe-
laku penculikan, adalah merupakan sikap yang aneh, dan dengan
mudah menduga bahwa tindakan itu telah menunjukkan berada di
pihak mana ia berada.
indakan Bung Karno lainnya yang membuka jalan untuk men-
T
duga atas keterlibatannya dalam G30S 1965 ialah responnya terha-
dap berita tentang diculiknya para Jenderal pimpinan AD sedemikian
enteng (ringan-menganggap sepele). Hal ini dapat dikatakan sebagai
indikasi bahwa sejak semula penculikan para Jenderal itu memang
akan dibunuh. Dalam hal ini Bung Karno tidak menjatuhkan disi-
plin apapun terhadap Supardjo. Menurut Omar Dhani, Bung Karno
bertanya kepada Supardjo apakah ia memiliki bukti-bukti dokumen
tentang keberadaan Dewan Jenderal dan tindakan subversif mereka.
Supardjo menjawab, “kata orang” bahwa Dewan Jenderal memang
www.facebook.com/indonesiapustaka
33
John Hughes, op.cit., hlm. 64.
34
Ibid.
35
Harian Jawa Pos, “Dari Silaturrahmi Anak-anak Bangsa. Mengubur Luka Dendam Sejarah
II”, 9 Maret 2004. Lihat Nasution, op.cit., hlm. 71-75. Lihat juga, Bambang S. Widjanarko,
op. cit., hlm. 71.
318
38
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 82.
39
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK), Rangakaian Peristiwa Pemberontakan
Komunis di Indonesia, 1982, Jakarta, LSIK, hlm. 95. Lihat: H. Maulwi Saelan; Dari Revolusi
’45 Sampai Kudeta ’66, 2001, Jakarta, Yayasan Hak Bangsa, hlm. 314-315. Menurut M.
Saelan perintah Bung Karno untuk mencari jenazah para jenderal AD pada 3 Oktober
1965.
319
40
Aristides Katoppo, Dkk., op.cit., hlm. 126-127.
41
Kesaksian Suyitno Sukirno,(Marsekal Muda TNI AU), Peristiwa G. 30 S/PKI di AURI yang
Saya Alami, Jakarta, 25 Nopember 1984. Lihat ; Ulf Sundhaussen¸ Politik Militer Indonesia
1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri,1988, Djakarta, LP3ES, hlm. 140-157.
42
Anthonie CA. Dake, op.cit., hlm. 409.
320
43
HJ. Maulwi, Saelan, lok. cit.
44
Aristides Katoppo, op, cit., hlm. 181-182.
45
Ibid
46
I bid.
321
322
323
USUL
VI. Keputusan PYM harus memuat:
1. Penyelesaian Dewan Jenderal dan G30S sepenuhnya harus ber
ada dalam tangan PYM/Pangti/PBR.
2. Untuk itu diperlukan ketenangan, oleh karena itu dilarang
adanya pernyataan-pernyataan yang bersifat mengutuk baik
Dewan Jenderal maupun G30S.
www.facebook.com/indonesiapustaka
324
(D.N. Aidit)49
Jenderal Dr. AH Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi Orde
49
325
50
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 95.
51
Ibid.,hlm. 97.
52
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 96-97.
326
Kesimpulan
Sebagai penutup dari kajian mengenai terlibat-tidaknya Bung Karno
dalam peristiwa G30S 1965 dapat dilihat dari beberapa perspektif.
Pertama, dari kepergian Bung Karno ke PAU Halim dapat diduga
bahwa tindakan tersebut merupakan salah satu indikator bahwa Bung
Karno sebelumnya telah mengetahui dan bahkan ikut merencanakan
G30S, sebagai tindakan tegas terhadap Dewan Jenderal yang diang-
gap sebagai kaki tangan CIA. Faktor-faktor yang memperkuat tuduhan
ini antara lain: (1) Halim menjadi Central Komando (Cenko) G30S;
(2) saat kedatangan Bung Karno di Halim pada pukul 09.30 bertepat
an dengan penganiayaan jenderal-jenderal yang dibawa oleh G30S
tetapi masih hidup; (3) telah ada laporan dari Omar Dhani pada 28
September 1965 dan pemberitahuan Untung kepada Bung Karno pada
tanggal 30 September 1965 malam hari di Istora Senayan yang mu-
lai mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal; (4) tindakan me-
nepuk pundak dan mengatakan bahwa Supardjo telah melaksanakan
tugasnya dengan baik saat Jenderal itu melapor kepada Bung Karno;
(5) pada tanggal 1 Oktober 1965 juga telah ada di PAU Halim.
Kedua, dari perspektif keberadaan Dewan Jenderal yang mem-
perkuat dugaan keterlibatan Bung Karno terdapat petunjuk-petun-
juk bahwa, (1) berdasarkan laporan antara lain dari Jenderal Mursid,
Bung Karno mengetahui bahwa ada sejumlah jenderal yang bersi-
kap kritis terhadap kebijakannya sehingga ia tidak senang terhadap
mereka, yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI dengan legitimasi
Dokumen Gilchrist sebagai “Dewan Jenderal”; (2) Bung Karno pernah
membahas tindakan yang akan diambil terhadap “Dewan Jenderal”;
(3) untuk kepentingan itu Bung Karno menyatakan akan mengambil
www.facebook.com/indonesiapustaka
tindakan militer yang akan dilakukan oleh Jenderal Sabur, dan secara
politik akan dilakukan oleh PKI; (4) ucapan Bung Karno tatkala me-
nerima laporan Supardjo bahwa Nasution lolos, cara meresponnya
327
dalam persembunyiannya.
da beberapa faktor yang menjadi antitesis atau alibi terhadap
A
keterlibatan Bung Karno dalam G30S. Pertama, (1) kepergiannya
328
Daftar Pustaka
Berita Yudha dan Harian Rakjat,29 Mei 1965.
Dinuth, Alex. 1993. Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G30S/PKI,
Jakarta: Lemhanas
Harian Jawa Pos. “Dari Silaturrahmi Anak-anak Bangsa. Mengubur Luka
Dendam Sejarah II”, 9 Maret 2004.
Harian Rakjat, 24 Mei 1965 dan 2 Oktober 1965.
Hughes, John. 2002. End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge that ran
wild, Singapore: Stamford Press Pte Ltd.
Katopo, Aristides dkk.. 2000. Menyingkap Kabut Hali, 1965, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Kesaksian Suyitno Sukirno (Marsekal Muda TNI AU). 1984. Peristiwa G30S./
PKI di Auri yang Saya Alami, Jakarta.
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK).1982. Rangakaian
Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Jakarta: LSIK.
Nasution, A. H. 1967. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi
Orde Baru) II, Djakarta: Seruling Masa.
Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, Jakarta:
Yayasan Hak Bangsa.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Jakarta
www.facebook.com/indonesiapustaka
(n.p)
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi
Fungsi ABRI, Djakarta: LP3ES
329
330
I. G. Krisnadi
331
332
Ibid.
Teori ini beranggapan, seluruh kartu domino yang dimainkan secara otomatis akan jatuh
berantai, seperti halnya jika suatu negara sudah jatuh ke tangan komunis, maka negara-
negara tetangga lainnya segera jatuh ke tangan komunis secara berantai. Norman Harper,
A Great Powerfull Friend: A Study of Australian American Relations Between 1900 and
www.facebook.com/indonesiapustaka
1975; Queensland Press, 1987, hlm. 323. Henry Meyer, Australian Politics, Melbourne:
The Grifin Press, 1973, hlm. 761.
Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI;
Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994, hlm. 52-53.
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 32.
10
Stanley, op.cit., hlm. 63.
333
11
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 55.
12
Y. Pohan, Siapa Sesungguhnya Yang Melakukan Kudeta Terhadap Pemerintahan Presiden
Sukarno Amsterdam: Stichting “Indonesia Media, 1985, hlm. 4.
13
Ibid.
14
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 30.
334
Jawaban Barat. Terj. Tim Redaksi; Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, hlm 100.
16
Stanley, op.cit., hlm. 62.
17
Ibid., hlm. 33.
18
Wawancara dengan mantan anggota DPRGR, Hardoyo 2 Oktober 2001.
19
Melacak “The Soeharto-CIA Connection,” dalam DeTAK No. Th. 1, 29 September-5 Oktober
1998. Hlm. 10.
335
20
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 45.
21
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, 19 Januari 1996.
22
Peter Dale Scott, 1998, op.cit., hlm. 16-17.
23
Hilman Adil, Australia’s Policy Toward Indonesia During Confrontation 1962-1966;
Singapura: Institute of South East Asian Studies, 1977, hlm. 24.
336
24
Hilman Adil, op.cit., 50-51.
25
J. Siboro, Sejarah Australia; Bandung: Tarsito, 1994, hlm. 179-180.
26
Nadia Darkach, The Sovyet Policy Towards Indonesia in The West Irian and Malaysia
Disputes,” dalam Survey, Vol. 11, 1965, hlm. 568.
337
27
Stanley, op.cit., hlm. 67.
28
Ibid., hlm. 69.
29
Ibid., hlm. 71.
338
“... Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita
di dalam Angkatan Darat (our local army friends) bahwa kehati-hatian
yang memerlukan keseksamaan, disiplin dan koordinasi adalah es-
ensi dari suksesnya usaha.”
sung.32 Selain itu ada lagi dokumen palsu lainnya yang diproduksi
30
Stanley, Ibid., hlm. 72.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 73.
339
340
34
Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief; Soeharto Terlibat G.30.S; Jakarta: ISAI, 2000, hlm.
128-129.
35
Latief, op.cit., hlm. xxxiv.
36
Ibid., hlm. xxxv.
341
jenderal dan 1 perwira pertama, serta satu jenderal lolos dari target
operasi, yaitu A. H. Nasution.37 Pada Jumat pagi, pukul 07.00 WIB, 1
Oktober 1965, rakyat Indonesia dikejutkan siaran berita RRI Jakarta
yang pada waktu itu telah dikuasai G30S. Di dalam siaran tersebut
diberitakan sebagai berikut: (1) pada waktu tengah malam, Kamis
30 September 1965 di Jakarta terjadi sebuah gerakan dalam tubuh
Angkatan Darat dengan dibantu oleh satuan-satuan dari unsur-unsur
angkatan beserta lainnya; (2) G30S yang dipimpin oleh Komandan
Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung telah menahan anggota-anggota
“Dewan Jenderal” yang disponsori CIA, yang semenjak sakitnya
Presiden Sukarno awal Agustus 1965 telah menunjukkan kegiatan
“luar biasa”. Hal ini terbukti bahwa ”Dewan Jenderal” telah membawa
pasukan-pasukan dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur ke
Jakarta untuk melakukan kudeta sekitar HUT Angkatan Bersenjata,
5 Oktober 1965; (3) para anggota “Dewan Jenderal” tersebut gila
kekuasaan, mengabaikan kesejahteraan pasukannya, hidup mewah di
atas penderitaan rakyatnya, merendahkan wanita dan menghambur-
hamburkan uang negara; (4) mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kudeta yang dilakukan “Dewan Jenderal” terhadap Presiden
Sukarno; (5) G30S adalah suatu gerakan yang murni dari intern
Angkatan Darat yang ditujukan untuk melawan “Dewan Jenderal”; (6)
Presiden Sukarno ada dalam keadaan selamat di bawah perlindungan
G30S; (7) Dewan Revolusi akan segera dibentuk di Jakarta yang diikuti
oleh Dewan Revolusi di tingkat provinsi dan tingkat pemerintahan
yang lebih rendah di daerah; (8) Dewan Revolusi akan melaksanakan
kebijakan-kebijakan Presiden Sukarno seperti Panca Azimat Revolusi,
politik luar negeri bebas aktif dan menentang Nekolim.38
37
Para korban jenderal tersebut adalah: (1) Menpangad Letjen Ahmad Yani, (2) Deputi II
Pangad, Majen R. Soeprapto, (3) Deputy III Pangad, Majen Harjono Mas Tirtodarmo, (4)
www.facebook.com/indonesiapustaka
Asisten I Pangad, Majen Siswondo Parman, (5) Asisten IV Pangad, Brigjen Donald Izacus
Pandjaitan; (6) Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigjen Soetojo
Siswamihardjo, dan seorang perwira pertama, Lettu Piere Andreas Tendean. Seorang
target operasi yang lolos adalah Menkohankam/PANGAB Jenderal A.H. Nasution.
38
Naskah siaran berita tersebut dikutip M.R. Siregar dari sumber CIA, “The Coup That
Backfired, Intelligence, December 1968.” M.R. Siregar, op.cit., hlm. 2-3.
342
“Saya berada di suatu tempat dalam keadaan sehat. Semua ini dise-
babkan oleh hal-hal yang terjadi tadi malam. Anak-anak ini yang
www.facebook.com/indonesiapustaka
39
Aristides Katoppo dkk. Menyingkap Kabut Halim ; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999,
hlm. 118-119.
40
Ibid., hlm. 123.
41
Ibid., hlm. 122.
343
Pada sore hari setelah Dewi mengetahui Sukarno ada di PAU Halim,
kemudian segera menyusulnya. Setelah bertemu dengan Sukarno, ia
menanyakan seputar peristiwa yang telah terjadi seperti yang ditu-
turkan Dewi berikut ini.
42
MR Siregar, Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN: 2000, hlm. 21.
43
Ibid., hlm. 21-22.
44
Ibid., hlm. 123.
344
45
Aristides Katoppo, op.cit hlm., 125.
46
Y. Pohan, op.cit., 12.
47
Ibid., hlm. 13.
345
346
yang dimuat Harian Rakyat (koran PKI) yang telah dikuasai TNI-AD
berisi dukungan PKI terhadap G30S. Munculnya artikel “tepat waktu”
terasa aneh, sebab sudah jelas gerakan itu gagal. Lagi pula pada saat
itu ada larangan pemuatan berita tentang. Berkenanan dengan itu,
Wertheim berpendapat, keseluruhan penerbitan Harian Rakyat pada
hari itu merupakan pemalsuan editorial yang dilakukan militer untuk
merusak citra PKI.50
Suatu bukti bahwa opini publik seputar G30S merupakan per-
soalan internal TNI-AD, dapat dilihat dalam pidato sambutan A.H.
Nasution pada upacara penguburan 6 jenderal yang terbunuh pada
HUT ABRI 5 Oktober 1965, yang tidak menuduh PKI sebagai dalang,
seperti dalam kutipan berikut ini:
“Sampai hari ini pun HUT ABRI kita masih tetap penuh khitmad dan
kebanggaan meskipun ditandai oleh peristiwa yang merupakan noda
bagi kita ABRI. Yaitu bahwa telah terjadi suatu fitnah dan pengkhi-
anatan serta kekejaman atas perwira-perwira tinggi kita. Walaupun
begitu saudara-saudara kita yang menjadi korban itu adalah tetap
merupakan pahlawan-pahlawan di hati kita bangsa Indonesia. Yang
pada akhirnya nanti kebenaran pasti akan menang meskipun kita
telah difitnah oleh pengkianat-pengkianat itu. Hal mana pada waktu-
nya nanti kita akan memperhitungkannya.”51
Pidato Jenderal A.H. Nasution itu sama sekali tidak memberi kesan
bahwa PKI sebagai dalang pembunuhan 6 jenderal. Sebaliknya, pi-
dato tersebut mengesankan peristiwa G30S itu akibat konflik inter-
nal Angkatan Darat. Istilah “fitnah dan pengkianatan” dalam pidato
itu menunjuk oknum-oknum yang tidak benar di jajaran TNI-AD,
yaitu Soeharto bersama kliknya.
Seluruh surat kabar di Jakarta pada saat itu sudah dikendalikan
TNI-AD untuk dimanfaatkan membentuk opini publik tentang keben-
cian terhadap PKI. Demi tujuan itu, militer memanipulasi berita de
www.facebook.com/indonesiapustaka
50
Stanley, op.cit., hlm. 21.
51
Melatinur, “Mencekik dengan Kain Sutera”; Surat-surat Terbuka dari Ratna Sari Dewi
Sukarno dan Willem Oltmans; Tanpa Kota Penerbit: Yayasan Indonesia Baru, 1998, hlm.
8.
347
52
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia; Tanpa Kota
Terbit: Garba Budaya dan Kalyanamitra, hlm. 517.
53
Ibid., hlm. 517.
54
Ibid.
348
pol belaka. Tim dokter pada saat itu menemui kesulitan menyusun
laporan akhir otopsi, karena berita yang dilansir di media massa su-
dah terlanjur misinformation.55
55
Stanley (b), “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan; Fitnah
dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka” (makalah). Disajikan dalam
seminar sehari “Tragedi Nasional 1965” yang diadakan MSI pada 8 Nopember 1999 di
Gedung Dewan Riset Nasional; Kompleks Puspitek, Serpong. hlm. 4-5.
56
Stanley (a), op.cit., hlm. 134.
349
57
Ibid., 106.
58
Stanley (a), op.cit., hlm 105.
350
59
Stanley (Penyunting), Bayang-Bayang PKI (Jakarta: ISAI, 1995), hlm 65-66.
60
D.S. Moeljanto, Taufiq Ismail, Prahara Budaya; Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk; Jakarta:
Mizan, 1995, hlm. 6.
61
Wawancara dengan Hardoyo 2001.
351
62
MR Siregar, op.cit., hlm. 63.
63
Stanley, 136-137)
64
Stanley (a), op.cit., hlm. 128.
352
keliru.” “Tidak, ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-
353
buktinya.” Jawab Yoga. “Waduh, kok PKI. Kalau salah nanti bagaima-
na?” Sudah, kita harus melakukan persiapan-persiapan,” kata Yoga
menghentikan percakapan.67
Simpulan
Terjadinya peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab yaitu,
kelihaian subversif nekolim, adanya oknum-oknum “yang tidak
benar”, dan pimpinan PKI yang “keblinger.” Keterlibatan Nekolim
Barat terhadap penghancuran anasir komunis di Indonesia dimulai
sejak AS memberikan dana bantuan kepada Pemerintahan Hatta
(1948) untuk mendukung Program Rera, dan penghancuran FDR/PKI
di Madiun (September 1948). Penempatan Arthur Campbell (CIA)
sebagai awal penanaman ideologi kapitalis yang anti-komunis di
kalangan para pimpinan nasional, para pimpinan partai (PSI dan
Masyumi), dan TNI-AD. Mereka itu dikenal dengan kaum kanan atau
kaum reaksioner. Keterlibatan AS bersama kaum reaksioner (PSI dan
Masyumi) dalam pemberian dukungan terhadap pemberontakan
PRRI/Permesta sebagai manifestasi ketidaksenangan komunis tum
buh dan berkembang di Indonesia. Kehadiran SESKOAD mengubah
prajurit yang revolusioner menjadi pro-Nekolim, anti-PKI. Melalui
SESKOAD tersusun strategi dan taktik penghancuran PKI dan
penggulingan pemerintah Sukarno. Pemilihan taktik Kup Komunis
Prematur dengan mempercayakan Sjam sebagai agen ganda (Soeharto
dan Aidit) dan melepas isu “Dewan Jenderal” dari kalangan jenderal
yang loyal Sukarno, Soeharto memperoleh justifikasi untuk meng
hancurkan PKI dan memudahkan menggulingkan Sukarno. Tindakan
pembangkangan Pangkostrad Mayjen Soeharto dan Pangdam V Jaya
Jenderal Umar Wirahadikusuma secara sengaja membiarkan atau
tidak mencegah Kol. Latief bersama kawan-kawan melakukan gerakan
penangkapan “Dewan Jenderal” yang merencanakan kudeta terhadap
www.facebook.com/indonesiapustaka
354
Daftar Pustaka
Adil, Hilman. 1977. Australia’s Policy Toward Indonesia During Confrontation
1962-1966 Singapura: Institute of South East Asian Studies.
----------. 1993. Hubungan Australia-Indonesia 1945-1962. Jakarta:
Djambatan.
Amnesti Internasional Report. 1977. New York Review of Books.
Briton, Peter. 1996. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perpektif
Tradisi-tradisi Jawaban Barat. Terj. Tim Redaksi. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia.
Darkach, Nadia. 1965. The Sovyet Policy Towards Indonesia in The West
Irian and Malaysia Disputes,” dalam Survey, vol. 11.
DeTAK Th. 1, 29 September-5 Oktober 1998. “ Melacak The Soeharto-CIA
Connection”.
Harper, Norman. 1987. A Great Powerfull Friend: A Study of Australian
American Relations Between 1900 and 1975 (Queensland Press).
Katoppo, Aristides. dkk. 1999. Menyingkap Kabut Halim. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Krisnadi, IG. 2001. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES.
Latief, Abdul. 2000. Pledoi Kol. A. Latief; Soeharto Terlibat G.30.S. Jakarta:
ISAI.
Melatinur. 1998. “Mencekik dengan Kain Sutera”; Surat-surat Terbuka dari
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ratna Sari Dewi Sukarno dan Willem Oltmans. Tanpa Kota Penerbit:
Yayasan Indonesia Baru.
Meyer, Henry. 1973. Australian Politics; Melbourne: The Grifin Press.
355
356
Abdul Syukur
Untuk sejarah pembentukan CIA lihat tulisan mantan Deputy Director of CIA. Ray
S.Cline, Secrets Spies and Scholars: Blueprint of the Essential CIA; ttp: 1976, hlm. 93-96.
David Wise dan Thomas Ross, the Invisible Government; New York: Random House, 1964
dikutip oleh Willem Oltmans, Dibalik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, Jakarta:
Aksara Karunia, 2001, hlm. 53-54.
357
358
Untuk latar belakang perang dingin lihat, John lukacs, A History of the Cold War; New
York: Doableday, 1961, dan Hugh Higgins, The Cold War; London: Hienemann Educational,
1984.
359
Untuk sejarah perkembangan golongan komunis di Indonesia, lihat Ruth T. McVey, The
Rise of Indonesian Communism; Ithaca: Cornell Univerisity Press, 1968 dan Rex Mortimer,
Indonesian Communism under Sukarno: ideology and Politics 1959-1965, Ithaca: Cornell
University Press, 1974.
Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafitipers, 1987,
hlm. 197-256.
360
dari keterlibatan Amerika Serikat dan dua partai politik anti komunis
Lihat George McT. Kahin dan Audrey R. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret
Eishonhower and Dulles Deblacle in Indonesia, New York: The New Press, 1995.
361
Tentang pengaruh Soviet dan RRC di Indonesia, lihat Justus M. van der Kroef, “Soviet
and Chinese Influence in Indonesia” dalam Alvin Z. Rubinstein (ed.), Soviet and Chinese
Influence in the Third Word, New York: Praegen, 1975.
362
363
10
Arnold C. Brackman, Communist Colaps in Indonesia, New York: W.W. Norton, 1969,
hlm. 26-27
11
Resimen Cakrabirawa dibentuk pada tanggal 14 Mei 1962 setelah terjadi usaha pem-
bunuhan terhadap Presiden Sukarno sewaktu melaksanakan sholat Idul Adha di depan
Istana Merdeka, Jakarta. Kekuatan Resimen Cakrabirawa terdiri dari satu Detasemen
Kawal Presiden dan empat batalion dari masing-masing angkatan, yakni Angkatan Darat,
Angkatan Laut (Marinir), Angkatan Udara (PGT = Pasukan Gerak Tjepat), dan Angkatan
Kepolisian (Brimob = Brigade Mobil). Para anggota Resimen Cakrabirawa merupakan
www.facebook.com/indonesiapustaka
364
12
Dokumen Siaran RRI Jakarta 1 Oktober 1965 setelah warta berita pukul 07.00 WIB ter-
dapat dalam Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, Jakarta: Intermasa, 1997,
www.facebook.com/indonesiapustaka
hlm. 42-44.
13
Lihat Perintah Harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia Nomor
445/ Pen /1965 dalam ibid, hlm. 50.
14
Teks pidato Pelengkap Nawaksara ditulis lengkap dalam ibid, hlm. 201-205.
15
Artikel ini dicetak untuk kembali untuk diketahui oleh masyarakat umum pada tahun
1995 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000. Lihat David T.
365
diperkenalkan pertama kali oleh Antonie C.A. Dake, In the Spirit of the Red Banteng:
Indonesia Communists Between Moscow and Peking 1959-1965, The Hague: Mouton,
1973.
19
Khusus seputar keterlibatan Soeharto dalam kudeta Gerakan 30 September telah diperke-
nalkan oleh W.F. Wertheim, “Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link”, Journal
of Contemporary Asia, 1 (Winter), 1970.
366
367
beberapa jam setelah siaran RRI pukul 07.15 WIB 1 Oktober 1965.
Informasi dari Sukendro memperkuat penilaian Soeharto bahwa
kudeta Gerakan 30 September dilakukan oleh PKI. Hubungan baik
368
369
370
371
372
373
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O’ G., dan Ruth T. McVey. 1971. A Preliminary Analysis
of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, Interim Report Series,
Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, New York.
www.facebook.com/indonesiapustaka
20
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bung Karno Sahabatku,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
21
Willem Oltman, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?; Jakarta: Aksara
Karunia, 2001.
374
375
376
dugaan. Hanya saja, peristiwa ini dibantah oleh Kol. Saelan yang juga
mengawal Presiden Sukarno pada malam itu. Jadi, benar tidaknya
masih harus kita lacak lebih mendalam.
377
Dirjen Kebudayaan pada waktu itu, Ibu Edi Sedyawati, juga hadir.
Ketika ia mendengar bahwa saya akan mengadakan wawancara de
ngan Patnaik. Ibu Edi bertanya pada saya, boleh ikut tidak, saya bi-
378
lang boleh saja. Jadi ada yang mendengar kesaksian dari Patnaik.
Hasil wawancara ini sudah diterbitkan dalam majalah Sejarah No.
4 tahun 1993. Hasil wawancara itu setelah saya susun dalam bahasa
Inggris, selanjutnya dikirim ke India, lalu dikembalikan, baru diter-
bitkan dalam majalah Sejarah pada tahun 1993. Yang menarik, waktu
itu saya juga menanyakan kapan terakhir bertemu dengan Presiden
Sukarno? Lalu dia bilang pada malam tanggal 30 September. Kenapa?
Waktu itu mungkin Saudara masih ingat hubungan RI dengan India
sedang memburuk. Kerja sama RI-RRT dirasakan sebagai ancaman
bagi India. Malahan ada berita rahasia bahwa Indonesia mau menye
rang India dari laut. Bahkan Presiden Sukarno mengatakan “bukan
Indian Ocean tapi Indonesian Ocean”. Kedutaan besar kita di New
Delhi didemonstrasi dan dirusak. Jadi ketegangan antara Indonesia
dan India meningkat pada waktu itu dan ada rumor di pihak India
bahwa kita akan membantu RRT melawan India.
PM India waktu itu Shastri menugaskan pada Patnaik, “kamu ha
rus bisa bertemu dengan Sukarno untuk menahan aksi ini”. Hubungan
Patnaik dengan Sukarno sangat baik, ketika putri pertama Presiden
Sukarno lahir di Yogya ada petir, lalu Presiden tanya kepada Patnaik,
bahasa Sansekerta petir itu apa? Mega, jawab Patnaik. Jadilah na-
manya Megawati. Karena itu Patnaik ditugaskan untuk bisa menahan
Indonesia agar tidak menyerang India. Ini rumor, tapi bagaimana-
pun, PM India Shastri menugaskan Patnaik untuk datang. Meskipun
ia sangat sukar bertemu Sukarno, karena koordinasi pengamanan di
sekitar Bung Karno waktu itu sangat ketat dan tidak mengizinkan
ia masuk ke istana. Menurut Patnaik, “lewat pintu belakang ia bisa
masuk dan hanya bisa bertemu pukul 24.00 malam pada tanggal 30
September. Jadi ini cocok dengan apa yang kita ketahui bahwa beliau
kembali dari Istora ke Istana untuk ganti pakaian, selanjutnya pergi
ke Wisma Yarso di Gatot Subroto. Yang saya agak lebih confidence,
ia mengatakan “Ya, saya lihat Sukarno waktu itu baru kembali dari
www.facebook.com/indonesiapustaka
Senayan dengan pakaian kebesaran AL”. Dan saya sendiri ingat wak-
tu itu melihat di televisi Presiden Sukarno malam itu berpakaian AL.
379
07.20 pagi waktu itu, Bung Karno masih di rumah Nyonya Haryati,
beliau sudah dengar berita tentang pengumuman dari Letkol Untung,
tapi berita tentang Dewan Revolusi itu baru disiarkan ketika beliau
380
sudah berada di Halim. Mengenai hal ini juga ada banyak teori, nan-
ti kita dapat dengar dari kawan-kawan lain. Tapi yang penting dan
menarik, Pak Taufik mendapatkan draft dari seorang guru besar di
Kanada yang mengadakan wawancara dengan Latif dan dari polisi
Sucipto Yudodiharjo. Dua sumber ini saya kira belum banyak diketa-
hui. Kita bisa membaca draft buku ini, karena saya kira belum ter-
bit, atau sudah terbit. Saya hanya membaca draft dari buku itu. Apa
yang terjadi dalam rapat sidang kabinet di Halim waktu itu. Menurut
Victor Vic beliau agak terkejut. Juga bisa kita baca dari buku Saelan
bahwa “Bung Karno itu terkejut.
“Terkejut” atau “kaget”. Tapi bisa juga over rumput itu seakan-
akan disergap. Tapi kata yang dipakai dalam konteks ini artinya beliau
kaget dan tidak tahu apa-apa. Ini suatu keterangan yang kami dapat.
Lalu yang juga dilihat oleh Victor Vic adalah adanya dialog atau ada
kedekatan antara Brigjen Soeparjo dengan kelompok Istana dan Bung
Karno. Tetapi ketika diumumkan oleh Dewan Revolusi, sebenarnya
itu suatu kudeta. Karena perintah pertama disebutkan bahwa Kabinet
Dwikora itu demisioner. Dan hanya Presiden yang bisa mengatakan
kabinet sudah demisioner. Begitu pula mengenai pangkat-pangkat
yang di level atas semuanya diturunkan menjadi Letkol dan yang di
bawah pangkatnya justru akan naik. Hal-hal seperti itu menunjuk-
kan pengambil alih kekuasaan. Di sini juga dapat dilihat bahwa nama
Bung Karno itu tidak ada dalam Dewan Revolusi, walaupun sebena-
rnya nama-nama itu juga tidak semua setuju. Tidak adanya nama
Bung Karno, berarti juga beliau sudah disingkirkan.
Sementara itu, apa yang terjadi, misalnya, di Kostrad. Di sana sudah
berkumpul Jenderal TNI AD, yaitu Mayjen Soeharto, lalu ada Jendral
Nasution, yang kakinya sudah cedera dan mendapat perawatan darurat
di Kostrad, Brigjen Umar Wirahadikusumah, Mayor Jenderal Pranoto,
semuanya ada di Kostrad. Ketika kabinet Dwikora yang dipimpin
www.facebook.com/indonesiapustaka
381
Ambarwulan (Pembicara)
Di dalam melihat atau melakukan suatu eksplanasi terhadap keterli-
batan PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, baik pelaku,
sasaran, maupun lokasi tidak mungkin tidak dikaitkan dengan peris-
tiwa-peristiwa berikutnya, yaitu peristiwa pada tanggal 1 Oktober
1965, dengan dikeluarkannya Dekrit Pertama yang berisi antara lain
pembentukan Dewan Revolusi.
Sebelum membahas permasalahan keterlibatan PKI, perlu juga
dikemukakan tentang bagaimana kondisi perpolitikan yang men-
dukung pada saat itu. Peristiwa G30S tahun 1965 merupakan suatu
kondisi yang tidak terlepas dari kebijakan Presiden Sukarno dalam
melakukan perimbangan kekuatan atau balance of power policy anta-
ra Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat dengan PKI. Karena
www.facebook.com/indonesiapustaka
383
384
385
386
387
388
lokal dan politisi tingkat nasional yang mungkin kecewa dengan ke-
hidupan politik di tingkat pusat.
Saya melihat tradisi persoalan internal AD ini mungkin muncul
kembali pada tahun 1965, terutama yang bersumber dari versi PKI,
bahwa G30S merupakan persoalan internal AD. Persoalan internal
ini sebetulnya pada masa-masa sebelumnya sudah merupakan sesu
atu yang tidak asing bagi dunia militer di Indonesia, dan pada akhir
nya juga menyeret politisi lokal maupun politisi nasional ke dalam
persoalan yang mereka hadapi. Dengan demikian, menjelang tahun
’65, tentara, khususnya AD, sebagai sebuah lembaga, sebetulnya su-
dah memiliki soliditas yang tinggi di dalam proses tawar-menawar
politik, artinya dia tidak mau ada campur tangan sipil yang signifikan
di dalam tubuh mereka, tetapi mereka semakin memiliki naluri yang
tinggi untuk ikut campur tangan di dalam bidang politik sipil.
Persoalan kedua, ternyata AD secara kelembagaan solid, tetapi se-
cara personal terjadi klik-klik atau kelompok-kelompok, atau bukan
merupakan sesuatu yang monolitik, dan mereka terdiri dari banyak
faksi faksi yang didasarkan atas berbagai macam kepentingan. Apakah
mereka setuju dengan PKI atau tidak? Setuju dengan Angkatan V atau
tidak? Apakah mereka Sukarnois atau tidak, mereka dari luar Jawa
atau tidak? Atau antara perwira tinggi dengan perwira bawahan yang
mungkin kesejahteraannya kurang, dan sebagainya. Hal itu bisa men-
jadi semacam bom waktu untuk meletusnya persoalan internal AD
yang nanti akan terbukti pada masa G30S. Jadi, saya melihat per-
soalan internal AD itu sebagai “sebuah tradisi dalam tanda petik”
dan dalam dunia AD memang itu merupakan konsekuensi dari keter
libatan mereka di dunia politik yang begitu mendalam pada waktu
itu.
Peran AD sendiri dalam peristiwa G30S, seperti yang saya jelas-
kan pada awal tadi, saya tidak ingin atau mungkin saya tidak bisa
mengungkapkan atau membuktikan bahwa Angkatan Darat itu
www.facebook.com/indonesiapustaka
dalang atau tidak dalam peristiwa G30S. Saya hanya ingin menun-
jukkan peranan AD di dalam peristiwa G30S itu sangat signifikan, hal
itu bisa diukur dari berbagai indikator. Yang pertama ialah, kita lihat
389
dari sisi pemimpin gerakan itu sendiri, kemudian juga pelaksana ge
rakan, kemudian yang ketiga, target gerakan, dan keempat, serangan
balik terhadap G30S itu sendiri, dan terakhir, siapa yang memimpin
setelah gerakan itu selesai.
Mengenai para pemimpin gerakan, kita semua sudah tahu bahwa
para pemimpin utama yang terdiri dari Letkol. Untung, Kolonel Abdul
Latief, dan Brigjen Suparjo sebagai pucuk pimpinan G30S. Kalau kita
lihat dari dokumen Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung,
terdapat 45 anggota Dewan Revolusi. Tetapi saya tidak yakin apakah
Dewan Revolusi itu disusun secara profesional atau tidak, atau asal
comot saja. Yang jelas, dari 45 anggota itu, jumlah personel PKI yang
disebut di situ secara eksplisit hanya 1, yaitu Sugito, meskipun ada 3
orang lain yang sebetulnya juga orang PKI, berarti ada 4. Sedangkan
AD ada 11 orang, AL 3 orang, kepolisian 4 orang, dan AU juga 4 orang.
Memang betul Aidit ada di sana, tapi keberadaannya masih menjadi
tanda tanya. Karena berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang
saya peroleh, sebagian mengatakan bahwa keberadaan Aidit di sana
itu karena terpaksa, dan dia sendiri tidak menyadari ini mau dibawa
ke mana.
Kemudian kalau kita lihat dari pelaksana gerakan sendiri, ada
3 grup yang pada waktu itu di bagi-bagi oleh Letkol Untung. Yang
pertama adalah Grup Pasopati. Kedua Grup Bimasakti atau kesatuan
Bimasakti, dan yang ketiga adalah Kesatuan Pringgondani, semuanya
nama wayang.
Grup pertama dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif dan Letnan
Dua Siman, para anggota dari gerakan ini terdiri dari Batalion
Cakrabirawa sendiri. Selanjutnya Batalion 454, kemudian Batalion
530, juga 1 Brigade Infantri Satu, pasukan para Angkatan Udara, dan
1 kesatuan Kavaleri, jadi semuanya militer. Demikian juga untuk ke-
satuan yang kedua, Bimasakti, yang dipimpin oleh Kapten Suradi,
diberi tugas untuk menguasai tempat-tempat penting di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Terdiri dari beberapa kompi dari Batalion 454 dan Batalion 530 dari
Jawa Timur. Kemudian yang ketiga, Kesatuan Pringgondani, berada di
bawah pimpinan Mayor Udara Sujono, yang diberi tugas untuk meng
390
391
semua berkutat tentang siapa yang jadi dalangnya? Lalu orang akhir
nya tidak bisa memutuskan siapa dalangnya?
Seperti yang saya katakan, akan berteori-teori. Begini, sejarawan
itu kalau kekurangan data atau kebingungan dengan sumber yang
ada, ia akan lari pada teori, kenapa? Teori-teori itu kadang-kadang
bisa menutupi, bisa membuat analisis, meskipun mungkin data yang
diperoleh itu meragukan. Setidak-tidaknya dugaaanlah bisa dibuat
begitu.
Kalau ditanya, adakah sumber baru yang dipakai? Mungkin ya,
kalau dilihat semua studi yang telah dilakukan, baik oleh sejarawan,
antropolog, wartawan, ataupun kesaksian dari para korban. Sumber
yang baru itu terutama hasil wawancara saya dengan anak Aidit, Iwan
dan Ilham. Saya berdiskusi antara tahun 2003-2004 melalui internet.
Iwan ternyata teman kuliah saya di ITB, tanpa saya tahu bahwa dia
anak Aidit. Saya dikirimi oleh Iwan dari Paris berupa buku-buku, dan
katanya tolong Ibu Nina mau membuka tabir peristiwa G30S ini. Dari
diskusi itu lama-lama saya pikir, biar bagaimanapun Iwan anak Aidit.
Kemudian Ilham sengaja datang ke Bandung ngomong panjang de
ngan saya. Lalu akhirnya, dalam hati saya berkata, bahwa betapapun
mereka adalah Anak Aidit, tentu yang dibela juga Bapaknya. Ketika
saya berpikir lain, maka terhentilah diskusi itu, karena rupanya mere
ka berpikir bahwa saya akan mengatakan bahwa korban adalah selalu
benar.
Kita lihat sekarang ini ada kecenderungan sumber-sumber yang
ditulis oleh korban-korban itu, apakah dia itu PKI ataupun keluar-
ganya, seolah olah korban itu selalu benar. Ada sebagian sejarawan
berpikir seperti itu. Padahal belum tentu juga. Artinya, kita tidak bisa
mengambil jarak, karenanya saya abaikan saja hasil wawancara saya
dengan mereka itu, dan saya tahu bahwa mereka kecewa karena saya
tidak menyalahkan pihak di luar PKI, saya sendiri termasuk yang me-
www.facebook.com/indonesiapustaka
392
393
katakan saja, tidak bisa punya pendirian. Dan itu terbukti ketika ia
mengatakan menyerah dan membuat surat bersalah. Kalau dilihat-
lihat, kok bisa? Ya bisa saja, dilihat Sukarno sebagai negarawan, apa-
lagi sebagai politisi, bisa berbuat apa saja.
Kemudian kita lihat ketika masa mudanya, memang punya pe-
mikiran atau punya pendirian yang seperti itu. Dan ini bisa dilihat
ketika ia sudah jadi Presiden, tepatnya pada tahun 1948, ada Madiun
Affair, dan sikap Bung Karno jelas kelihatan. Sebetulnya ia tidak me-
mihak, bahkan dikatakan disuruh memilih, mau Muso dengan PKI
nya atau Dia dengan Sukarno-Hatta-nya. Ini masih kelihatan sikapnya
seperti apa? Tapi ketika sesudah tahun 1955, makin kentara bahwa
Sukarno itu bukan komunis, tapi ke kiri sikapnya. Itu sangat terlihat
dan sudah diuraikan oleh banyak buku. Apa saja yang menunjukkan
bahwa ia membela atau mendukung PKI, tapi ia bukan sebagai ko-
munis, karena ia selalu mengatakan, misalnya, “Ya, kalau ini susah-
susah tahun 62-63 dan begitu susah keadaan negeri ini, maka ia se-
lalu mengatakan kalau begitu pakai saja cara-cara Marx”. Untuk apa?
Mengatasi kemelut seperti ini, itulah yang ia katakan. Kita pun tahu
bahwa tadi sudah disinggung apa yang terjadi, dan dari sumber-sum-
ber berupa pengakuan Wijanarko, misalnya, kita tidak bisa melaku-
kan kolaborasi, apakah kesaksian ini bisa dipercaya? Apakah Sugandi
yang diwawancara kemudian jauh sesudah peristiwa itu juga, apakah
ia bisa netral? Karena apa?
Kredibilitas sumber itu hanya ditentukan oleh 2 hal, pertama,
apakah ia mau mengungkapkan kebenaran, dan kedua, mampu ti-
dak ia mengungkapkan semua kebenaran, sehingga kita tidak bisa
menangkap apakah pengakuan-pengakuan itu kredibilitasnya tinggi.
Mengingat situasi yang sudah berubah, misalnya Sugandi mengatakan
ia dibilang melaporkan mau ada kudeta. Dan kapan pengakuan itu
dilakukan. Kesimpulannya bahwa buku yang membahas peristiwa
www.facebook.com/indonesiapustaka
G30S, dan tentunya yang terbaru karya Kerstin Beise, membantu saya
dalam membaca pemetaan seluruh studi yang dilakukan.
394
395
396
397
399
baliknya dari Jakarta, Peking, Phnom Penh, dan Hanoi. Keadaan ini
menimbulkan kekhawatiran Amerika, sehingga kongres membatal-
kan atau menghentikan bantuannya. Namun untuk AD bantuan terus
diberikan, hal itu dapat dilihat, misalnya, pada akhir 1965, ketika
sekitar 4.000 perwira TNI AD dikirim ke Amerika.
al lain, kebijakan nasionalisasi tidak berjalan efektif karena
H
para jenderal yang menguasai perusahaan asing yang dinasionalisasi
itu korup, juga militer menggunakan dana taktis operasional untuk
menggulingkan Sukarno dan PKI. Dan yang lebih penting lagi kunci
sebenarnya SSKAD, sebagai negara bayangan yang disponsori oleh
Pentagon, Ford Foundation, dalam merumuskan strategi dan taktik-
taktik yang diperlukan.
Untuk menerjemahkan strategi itu, jelas di sini keterlibatan in-
telektual PSI, M. Sadli, Sumitro, dan sebagainya. Kebijakan konfron-
tasi dengan Malaysia misalnya, kita mendapat kecaman dari musuh
kita dari Selatan ANZUS (Australia, New Zealand, dan United State),
kemudian dari garis atas ada SEATO, dan bagaimana dengan Uni
Soviet? Uni Soviet netral, Uni Soviet pada tahun ’60-an itu dalam
Soviet Policy Towards West Irian and Malaysia disebutkan khusus
untuk Irian, Uni Soviet membantu negara yang sedang merdeka mela
wan kolonial, akan tetapi dalam memandang konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia adalah persoalan sesama negara yang baru merde-
ka. Lain halnya dengan RRT, RRT memaknai konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia, Indonesia adalah negara baru merdeka yang perlu
didukung. Sementara Malaysia adalah negara bikinan Inggris dan
otomatis sekutunya. Bukti lain adanya Bel proposal, juga dokumen
dari Gilchrist dan dokumen Bill Palmer.
Subandrio, ketika di Kairo dengan pers, mengungkapkan tentang
kabut Halim itu dengan membagikan foto copy dokumen tersebut.
Sebenarnya itu dilakukan untuk mencari simpatik agar mendapat du-
www.facebook.com/indonesiapustaka
400
pada waktu itu. Apalagi diramaikan dengan isu Dewan Jendral, maka
lengkaplah sudah provokasi yang dapat menyeret PKI ke dalam kon-
flik fisik, yang oleh Jefry Robinson dianggap sebagai scoop prema-
ture PKI menjadi sebuah kenyataan. Bahkan dari bukti lain, William
Ottman mengatakan bahwa Amerika itu sudah siap untuk memban-
tu. Bahkan mantan anggota CIA, Maggy Hie, menyebutkan bahwa ia
telah memberi rekomendasi agar metode atau model yang dipakai
CIA di Indonesia telah menjadi model baku dalam clandestin, beru-
pa model operasi rahasia yang pernah diterapkan keberhasilannya
dalam menggulingkan Presiden Allende yang dikenal dengan Jakarta
East Approaching atau Jakarta East Coming. William mewawancarai
12 anggota CIA yang pernah bekerja di Indonesia. Dari 12 anggota
CIA yang diwawancarai, ada 8 anggota yang mengaku bahwa mer-
eka secara rahasia membantu gerakan ini. Kunci sebenarnya ada pada
Soeharto. Jika Soeharto waktu itu, ketika mendapat laporan dari Latief
bahwa “nanti malam saya mau bergerak”, dan Soeharto mau menang-
kapnya, maka tidak akan terjadi peristiwa G30S. Jadi kuncinya ialah
Soeharto. Apalagi sebagai Pangkostrad, seharusnya ia melaporkan ke-
pada pimpinannya, yaitu A. Yani dan Nasution. Tapi mengapa hal itu
tidak dilakukannya? Bung Karno mengatakan “ada oknum yang tidak
benar”. Namun bagi Soeharto, masalahnya bukan benar atau tidak
benar, karena tanpa ini tidak ada Orde Baru. Di sinilah masalah yang
sebenarnya mengenai peristiwa itu.
Hal penting lainnya ialah pimpinan PKI yang keblinger. Saya
mencoba menganalisisnya. Sebenarnya pada masa demokrasi ter-
pimpin, Sukarno gandrung akan kekuatan persatuan revolusioner
guna mewujudkan samenbundelen van alle revolutioner krachten.
Di sini sebenarnya Bung Karno menghendaki semua komponen yang
revolusioner untuk bersatu. Sukarno sebenarnya ingin memperke-
nalkan ajarannya tentang Nasakom. Di dalam Nasakom ini, menurut
Crouch, Sukarno sebenarmya bermain di dalam dua kekuatan. Untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka
apa? Justru agar jangan sampai dua-duanya lebih kuat, dan kekua-
saan terkonsentrasi pada dirinya. Terbukti Sukarno mampu mendo-
401
mestikasikan PKI dalam hal isu-isu buruh yang dalam teori Marxis
seharusnya ini diperjuangkan, tapi justru diarahkan oleh Sukarno
untuk Ganyang Malaysia. Di dalam kenyataannya yang lebih penting
lagi bahwa Sjam memegang peran penting atau peran kunci. Sjam
adalah kunci permasalahan, Sjam itu agennya Soeharto atau agen-
nya Aidit? Di sinilah permasalahannya. Sjam itu siapa? Sjam dekat
dalam kelompok Patuk, tetapi ia juga dekat dengan Soeharto, bahkan
sering ke rumahnya. Sjam juga punya utang budi dengan Aidit, se-
baliknya Aidit juga punya utang budi pada Sjam, ketika Aidit ma-
suk Jakarta, ia diselamatkan atau dibantu oleh Sjam. Karena itu Sjam
adalah agen ganda. Menurut Aidit, Sjam adalah agen yang disusup-
kan ke dalam militer, tapi menurut Soeharto, Sjam adalah agen yang
bisa disusupkan ke dalam PKI. Hal ini terbukti ia berhasil menyeret
Aidit melakukan Advonturisme Militer bersama Biro Khusus Pusat
tanpa dirembug lebih dulu dengan Dewan Harian Politbiro, juga tan-
pa melalui tingkat Sidang Pleno Politbiro. Tidak hanya itu, di dalam
Biro Khusus terjadi perpecahan. Terdapat dua pendapat (walaupun
ini masih rahasia). Sjam mengatakan “kita didahului didukung oleh
Aidit”. Tetapi Bono, Pono Hamim, dan Sujono mengatakan “siapa
itu?”, mereka mengatakan “Jangan, kalau kita mendahului, rakyat ti-
dak simpatik dengan kita, bahkan orang yang sudah simpatik dengan
PKI kalau kita mendahului jadi tidak simpatik”. Intinya, sebaiknya
jangan mendahului, tapi kita tunggu saja. Keputusan Bono, Pono
tetap memilih yang kedua. Tetapi ketika mau disosialisasikan ke dae-
rah, justru diselewengkan oleh Aidit dan Sjam. Kesimpulan ini masih
sementara, sebagai pancingan.
Akhirnya saya ingin menegaskan bahwa latar belakang terjadi
nya G30S adalah ada tiga faktor penyebab, yaitu, Pertama, Kelihaian
Necolim, dan Amerika Serikat sangat dominan. Kedua, Pangkostrad
Soeharto bersama kliknya sebagai oknum-oknum yang “tidak benar”
yang memicu G30S. Sebab, jika ketika Latief melaporkan bahwa saya
www.facebook.com/indonesiapustaka
402
403
404
405
406
ini tantangan yang harus kita hadapi. Upayanya tentu ikhtiar kejujur
an untuk mencari kebenaran, tetapi sekali lagi logic itu merupakan
pemberian yang maha pengasih. Saya kira itu bukan satu-satunya
yang harus menentukan, bahkan bisa menyesatkan, karena belum
tentu yang logical itu factual, atau fakta itu dari banyak fakta terba
ngun realitas yang lebih besar, melihat sebagian dari keseluruhan
bisa merupakan suatu distorsi daripada kebenaran. Apalagi kalau
memang kita alami selama ini.
Bukan untuk menjelek-jelekkan Orde Baru, tapi kenyataan bahwa
waktu Orde Baru melegitimasi kekuasaannya, ia perlu memonopoli
kebenaran, dan kebenaran itu dilakukan secara sangat sistematik,
baik oleh pers yang menjadi Weapon of Mass Deception dan bukan
destruction, dan mungkin juga destruction of the truth, atau reality,
termasuk saya. Mungkin banyak di antara kita yang tidak menyadari
bahwa kita, sadar atau tidak sadar atau langsung atau tidak langsung,
sebenarnya terlibat dalam sesuatu, punya kebanggaan profesional,
tetapi sebenarnya pengingkaran terhadap the quest for truth.
Ada satu point, yang kalau boleh saya sampaikan, adalah sering-
kali tadi ada teori, skenario, dan sebagainya. Tetapi berdasarkan
pengalaman, seringkali suatu kejadian yang berdampak historis yang
besar, bukan lahir dari sesuatu yang mungkin direncanakan atau di-
rancangkan, atau dilakukan dengan sangat sadar, misalnya salah satu
contoh kalau boleh saya sebut, dalam salah satu paper disebut pada
waktu Bung Karno di Halim, Soeharto waktu itu memberi ultimatum
bahwa Halim akan ia gempur dan Presiden Sukarno diminta mening-
galkan Halim. Untuk itu diutus, kalau tidak salah, Wijanarko dan be-
berapa yang lain. Konon Bung Karno sendiri dalam keadaan bingung,
tetapi pada waktu itu, at least, menurut versi ini ia merasa semacam
menjadi tawanan atau bisa merupakan suatu halangan atau menjadi
sandera. Memang keadaannya tidak seluruhnya jelas hitam putih,
www.facebook.com/indonesiapustaka
407
totally neutral, bahkan mungkin punya simpati, atau kalau ada yang
disebut, misalnya, Sudisman memberi tahu kepada Sugandhi, itu
kan aneh. Tapi di Indonesia, it can happen, misalnya, salah satu ang-
gota saudara adalah pimpinan Masyumi, yang satu adalah pimpinan
dari PKI. Seorang saudara Sakirman, adalah pimpinan dari Angkatan
Darat.
Pada waktu kejadian, misalnya, Sukarno digiring menuju Hercules
yang tadinya akan terbang, paling tidak dikatakan terbangnya ke
Madiun dan tidak ada opsi lain. Soeharto mengatakan harus kelu-
ar, tetapi yang menguasai medan pada waktu itu adalah kelompok
Suparjo dan lain-lain. Jadi, waktu iring-iringan itu berjalan menu-
ju Hercules, kalau yang saya ketahui, misalnya, adalah pada saat
wawancara Sukarno naik mobil VW Kodok yang disupiri Mangil,
ajudan komisaris, pengawal pribadinya sejak lama, dan waktu naik
mobil diajak serta Pak Leimena, mungkin karena dianggap No Threat,
waktu iring-iringan mobil berjalan ke Hercules, Mangil bertanya
kepada Bung Karno ke mana, Pak? Bung Karno melihat ke Oom Yo.
Kalau tidak salah dalam bahasa Belanda, ke mana? Oom Yo bilang
Bogor. Pada saat itu Mangil masih bertanya lagi kepada Bung Karno,
dan Bung Karno menganguk-anguk lagi, dan, ya Bogor. Mobil VW itu
memisahkan diri dari iring-iringan, dan hal itu nampaknya menge-
jutkan atau mengacaukan rencana yang menyebut namanya G30S.
Karena dengan demikian, Sukarno tidak lagi dalam cengkeramannya,
tidak bisa dipresentasikan kepada rakyat bahwa berada di tengah-te
ngah mereka. Paling tidak ia tidak mendukung pembunuhan itu, dan
seterusnya.
Saya pernah tanya kepada Oom Yo waktu ambil keputusan, “Kenapa
Anda sebut Bogor“. Ia tidak bilang kalau ada skenario, tapi Saelan
betul, mungkin ada skenario harus ke Tangsi AD, atau AU ada pe-
sawat Jetstar atau ke AL ada Faruna, ia mengatakan, “Wah, itu adalah
ilham”. Dan memang beliau sebagai orang yang selalu tidak segan-se-
www.facebook.com/indonesiapustaka
gan dalam keadaan kritis berdoa meminta petunjuk dari Yang Maha
Kuasa. Ini kejadian yang signifikan, yang tidak direncanakan sama
sekali sebelumnya dan bahkan si pelakunya tidak mengerti. Tapi saya
408
kira banyak sekali mengubah jalan ceritanya. Jadi, saya kira banyak
sekali contoh yang semacam ini dan ini juga saya kira teori.
Syak wasangka, sesuatu yang sudah kita pikirkan buruk sangka,
atau alibi yang sudah kita telan mentah-mentah, kita sudah inter-
nalized sebagai sesuatu bagian dari kebenaran dan tidak bisa men-
distinct-kan lagi. Tapi kalau kita berpegang teguh, jika kita bertanya
siapa dalangnya, saya kira banyak dalangnya, dan kita mesti menjaga
juga jangan simplifikasi, misalnya CIA. Ada ungkapan, “Kol. Benson
sangat akrab, sangat dekat dengan Yani”. Ia adalah satu-satunya Atase
Militer yang berani keluar masuk kamar tidur atau kamar kerja Yani.
Bahkan ketika mau mendarat di Pekanbaru, staf umum AD tidak pu-
nya peta yang paling akhir, mereka meminta ke Benson. Beberapa
jam sebelum RPKAD mendarat di Pekanbaru, mereka mendapat peta-
peta itu. Apakah kebetulan, bahwa jam tiga pagi ada air drop, kata
nya dari CIA, untuk pasukan PRRI Permesta. Jam lima pagi, dua jam
kemudian, RPKAD mendarat di situ. Mereka seolah-olah berterima
kasih mendapat gift. Apakah itu alibi atau tidak, bagaimana diatur,
bolehlah kita bersangka-sangkaan, waktu itu pure luck dari TNI, bisa
juga. Tetapi kalau sekedar mencatat fakta, masing-masing dari kita
berhak berinterpretasi sendiri-sendiri, dan memang akan kaya dalam
interpretasi. Maksud saya adalah CIA dari sisi AS, bukan single ac-
tor. Di sini juga disebut bahwa, misalnya, Duta Besar AS di Malaysia
menyarankan kepada State Department, supaya membantu Malaysia
dengan ANZUS-nya untuk melakukan gerakan menumbangkan
Sukarno.
Howard Jones yang ada di sini berpendapat beda, dan itu per-
nah menjadi semacam pengulangan dari waktu Howard Jones juga
dikirim ke sini, karena Indonesia dianggap akan menjadi komunis,
maka ada pendapat Allen Dulles dari CIA, John Foster Dulles dari
State Department, “Sudahlah SEATO daripada lubang besar, ada em-
pat NATO, SENTO, SEATO termasuk Pakistan, India—tidak apa-apa
www.facebook.com/indonesiapustaka
409
na apa? Karena, salah satu, mungkin dia dari militer, yang notabene
lebih teliti dalam membaca laporan Benson. Laporan Benson bukan
ke CIA, tetapi ke Pentagon, biasanya Pentagon lapor ke Presiden. Jelas
ada peran, apakah peran utama? Apakah bukan Inggris yang punya
peran lebih penting? Karena kita sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Pasukan yang berhadapan dan bertembak-tembakan dengan sukare-
lawan kita di Kalimantan itu adalah pasukan Inggris dan memang
MI6 tidak begitu tenar seperti The Kazens, tetapi tidak bisa diang-
gap tidak memainkan peranan, dan apakah kebetulan bahwa itu Gill
Crist documents—kok pakai dubes? Walaupun itu dipalsukan,tetapi
dalam soal kelihaian spy game, saya kira sampai hari ini Amerika
yang bisa kita lihat. Mungkin kalau ini terbuka bisa foto Pak Salim
pakai kacamata atau tidak. Tetapi kalau namanya human intelligence
di Iran atau di Irak, ia angkat topi kepada Inggris. Di sini sepintas
lalu disebut peran Inggris, tetapi tidak terfokus seperti pembahasan
CIA, sementara mungkin itu lebih penting. Apakah kebetulan bahwa
Inggris yang sekarang membentuk freedom of information act yang
baru awal tahun ini disahkan, sekaligus mengatakan bahwa semua
dokumen mengenai Indonesia, khusus yang menyangkut tentang ta-
hun 1965 diperpanjang lagi hingga 25-30 tahun, baru boleh diung-
kapkan karena security, sesuatu yang terjadi. Itu contoh bahwa masih
ada sumber yang belum digali. Alhasil, saya kira bagus sekali kita
mencoba menampilkan berbagai persepsi. Dari perbenturan persep-
si-persepsi mudah-mudahan kita bisa salvage the truth. Tapi masih
dipertanyakan, apakah kita bisa mendapatkan the whole truth and
nothing but the truth, sebab yang sekarang cuma ada kepingannya
saja. Terima kasih.
Sulastomo (Pembahas)
Kita perlu mengetahui apa yang tersirat dari fakta-fakta apa yang su-
dah disampaikan. Dimulai dengan presentasi Pak AB Lapian menge-
www.facebook.com/indonesiapustaka
nai apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober. Barangkali saya bisa
mulai dari satu hari sebelumnya, yaitu tanggal 29 September 1965,
ketika Bung Karno menolak tuntutan Aidit untuk membubarkan
410
411
saya berkeliling ke Jalan Merdeka, Teuku Umar. Dari apa yang terlihat,
timbul pertanyaan, “Kok, ini ada pasukan Diponegoro?” Kemudian
kami kembali ke Jalan Banyumas 4, kediaman Mas Subhan. Mas
Subhan baru makan pagi. Kesan kami, rasanya ia belum tahu apa
yang terjadi dengan peristiwa hari itu. Begitu saya beritahu, ia lang-
sung mengikat sarungnya naik ke atas, kemudian turun lagi membawa
pistol dan diletakkan di meja. Ini saya ingin menggambarkan betapa
orang pada waktu itu merasa tegang luar biasa. Subchan saja terkejut
dan tegang seperti itu. Subhan, seorang tokoh politisi muda, pembe
rani, begitu saya beri tahu, makannya belum selesai, naik ke atas lang-
sung membawa pistol dan terus memberikan instruksi-instruksi.
ekitar pukul 10.00, PB HMI sudah berkumpul semuanya, mem-
S
bagi pekerjaan, antara lain dokumen-dokumen dipindahkan, dan
lain-lainnya. PB HMI pindah kantor dari Diponegoro 16 ke Pasuruan
6, karena kita menganggap kalau ini betul PKI tentu HMI akan men-
jadi sasaran. Perlu ditambahkan, di kalangan masyarakat tertentu,
dan juga PKI sendiri, dikatakan suasana sudah hamil tua. Jadi bahwa
akan ada clash antara PKI dengan AD, bagi kalangan tertentu, terma-
suk yang saya pahami, tinggal menunggu waktu, besok pagi, lusa,
kapan, ya tinggal menunggu waktu. Jadi, pada waktu G30S terjadi,
meskipun terkejut, sedikit banyak kita sudah memperhitungkan akan
terjadi peristiwa seperti itu. Siapa mendahului, apakah AD atau PKI,
itu sudah menjadi pembicaraan di kalangan kami semua. Ini yang
pertama yang ingin saya sampaikan.
ang kedua, saya sangat setuju, bahwa banyak yang berkepen
Y
tingan. Apakah CIA, KGB, AS, atau segala macam lainnya. Saya
kira sangat naif kalau menganggap AS tidak punya kepentingan di
Indonesia, begitu juga KGB dan lainnya.Tetapi saya juga mengatakan
sangat naif jika dengan intervensi itu kemudian kita menyimpulkan
atau lepas tanggung jawab bahwa seolah-olah kita tidak bertanggung
www.facebook.com/indonesiapustaka
jawab atas yang terjadi di Indonesia. Bahwa CIA campur tangan, in-
filtrasi, lobi, tadi saya katakan kepada teman-teman saya sendiri, de
ngan kedutaan AS, istilahnya apakah didekati atau mendekati. Tetapi
412
413
juga kita baca, sebenarnya Letnal Kolonel atau (Kolonel) Heru Atmojo
sudah memprediksi operasi ini akan gagal karena tidak memenuhi
syarat operasi militer sekecil apa pun, kenapa? Pimpinannya tidak
jelas. Ini menurut Heru Atmojo. Tapi, bahwa itu diputuskan oleh Biro
Khusus, itu ada faktanya.
Tokoh kunci peristiwa G30S adalah Sjam Kamaruzaman yang
menurut Dr. Fic sejak tahun 1964 adalah salah satu ketua Biro Khusus
itu. Meskipun Biro Khusus itu berada di luar struktur PKI, tetapi akhir
nya disetujui oleh Sentral Komite PKI dengan pertimbangan memang
diperlukan tugas-tugas yang dibantu oleh kalangan militer.
Apakah Sjam itu double agent? saya masih kesulitan mengecek
Sjam ini siapa, termasuk kepada Bpk. Rosihan Anwar. Kalau kalang
an militer umumnya tidak mengakui bahwa dia double agent, apalagi
“double agent” Aidit dan militer, khususnya Soeharto. Tetapi yang
jelas ia adalah Biro Khususnya PKI. Kemudian bagaimana peran AD?
Tadi telah dikatakan bahwa yang berperan waktu itu hanya AD dan
PKI dengan Bung Karno sebagai penyeimbang. Yang lain, termasuk
ormas dan partai politik, ibaratnya cuma penggembira saja. Kalau ti-
dak pro AD, ya pro PKI, pilihannya cuma dua itu. Dan kesadaran AD
terhadap gerakan Komunis tidak hanya 1-2 tahun. Saya kira, sudah
lama dimulai dengan pembentukan badan kerja sama pemuda-mili-
ter, buruh-militer, dan sebagainya, yang semua itu sebenarnya untuk
mengcounter SOBSI dan lain-lainnya. Bahwa AD berpolitik, sebenar
nya telah terjadi sejak awal kemerdekaan. Jika kita membaca buku
Pak Nas, buku Syaifudin Zuhri dan lain-lainnya, pokoknya asal ter-
kait dengan Pancasila, UUD 1945, AD pasti terlibat.
Kenapa Pak Nas mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia ( IPKI ) di tahun 1954 atau menjelang pemilu 1955? Karena
khawatir PKI sudah akan menang, sehingga Pak Nas khawatir keadaan
Negara tidak akan sesuai dengan cita-cita proklamasi. Kira-kira itu alas
an pendirian Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Demikian
www.facebook.com/indonesiapustaka
juga pada saat 1959, ketika kembali ke Dekrit Presiden UUD 1945, ada
cerita bahwa Pak Idham Chalid, Ketua PB NU didatangi oleh Pak Nas,
pukul 01.30 malam untuk ikut menyakinkan Sukarno agar kembali
414
415
gung jawab. Dan karena itu, meskipun keblinger, dialog saya pada
hari pertama 1 Oktober dengan telepon di rumah Mas Subhan tadi
bahwa G30S adalah PKI, itu adalah betul, meskipun PKI hanya ke-
blinger. Dan tidak perduli campur tangan CIA, dokumen Gillchrist,
kedutaan Inggris, dan segala macam lainnya. Kenapa sampai begitu?
Meskipun keblinger, saya katakan, saya yakin pelakunya PKI, sekali
lagi, meskipun keblinger. Jadi maaf adik-adik sekalian yang menga
takan masih complicated segala macam, bagi saya ini makin jelas pada
hari ini bahwa meskipun PKI keblinger, tetap salah. Cuma ekses beri-
kutnya ini yang saya kira harus dapat perhatian dari kita. Saya kira
Sdr. Rahman Tolleng ingat waktu itu semangat anti PKI sangat luar
biasa, terjadi bunuh-bunuhan. HMI datang ke Bung Karno, “Pak, ini
tidak betul”. Kemudian Bung Karno mau mengirim misi HMI ke Jawa
Tengah untuk “melerai”, istilahnya menenangkan keadaan dan kita
sudah siap, tapi tidak tahu kenapa, itu tidak terjadi. Pada tanggal 17
Oktober itu, di kali Solo, Klaten, mayat-mayat sudah bergelimpangan.
Rasanya, aduh! Saya hampir ketangkap waktu itu. Saya ke Solo me-
lihat situasi dikawal oleh Dik Marno, saya bilang kamu jangan bawa
senjata. Kita dulu semua dikasih senjata. Saya bilang, kita menyamar
saja. Jadi saya tidak bawa senjata, dia bawa. Dia mengawal saya dan
dia malah tertangkap. Saya malah tidak tertangkap. Ya, itulah ekses
yang terjadi. Justru inilah yang harus kita bicarakan bahwa ribuan
orang terbunuh. Saya kira ini jadi pengalaman buruk bagi Indonesia.
Jadi, saya berani pertegas pendapat dengan segala literatur yang ada,
bahwa G30S adalah tetap PKI meskipun keblinger.
Salim Said
Tentang Gestapu: Sebuah Usaha Awal untuk Mengerti
Sepanjang masa berkuasanya rezim Orde Baru, pemerintah ingin
kita sepakat dengannya bahwa peristiwa G30S itu adalah hasil karya
PKI. Tapi betulkah demikian yang sebenarnya? Betulkah hanya PKI
www.facebook.com/indonesiapustaka
416
417
rampasan kekuasaan. “Gandhi, kau tau apa? Kau itu sudah dicekoki
Nasution.“ Begitu reaksi Bung Karno dengan marah kepada mantan
ajudannya itu.
ada briefing-briefing sebelumnya, soal otentik palsunya Dokumen
P
Gilchrist telah pula jadi bahan. Dan itu semua dihubungkan dengan
ketegangan yang makin memuncak antara PKI dengan Angkatan
Darat. Adapun ketegangan antara Sukarno dengan Angkatan Darat,
kemudian kita tahu secara terinci setelah Rosihan Anwar mener-
bitkan bukunya, Sebelum Prahara, yang merupakan catatan harian
wartawan senior itu selama masa Demokrasi Terpimpin. Sementara
itu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur makin banyak cerita mengenai
ketegangan yang melanda hubungan golongan santri dan orang-orang
nasionalis, di satu pihak dan PKI di pihak lain, yang menyiratkan
makin percaya dirinya dan makin agresifnya PKI. Pokoknya seperti
itulah terjadinya Gestapu. Maka bisa dimengerti jika ada hanya satu
tafsiran yang mudah dicerna akal sehat waktu itu mengenai siapa di
belakang gerakan tersebut. Dan itu adalah PKI.
afsiran alternatif mulai muncul ketika di Jakarta beredar dari
T
tangan ke tangan, apa yang lebih populer disebut sebagai Cornell
Paper, hasil analisis sementara ahli-ahli Indonesia dari Cornell
University. Kalau penjelasan resmi pemerintah Orde Baru mene
lusuri akar Gestapu pada perkembangan konflik TNI dengan PKI
serta peran Soekarno yang makin memberi angin kepada golongan
komunis, maka Cornell Paper berkonsentrasi pada analisis potensi
konflik dalam Angkatan Darat, terutama antara orang-orang Kodam
Diponegoro di Jawa Tengah, di satu pihak, dan perwira-perwira di
metropolitan Jakarta, di pihak lain. Singkatnya, Cornell Paper lebih
melihat Gestapu sebagai akibat konflik internal Angkatan Darat, dan
PKI hanya jadi korban. Anehnya memang, PKI pun ingin Gestapu
dilihat sebagai konflik internal Angkatan Darat.
www.facebook.com/indonesiapustaka
418
ga Oktober 1965, akan sulit sekali bagi Anda untuk tidak melihat PKI
berada di balik Gestapu.
ebih 20 tahun kemudian saya mendapat kesempatan menjadi ma-
L
hasiwa Pasca sarjana di Ohio, Amerika Serikat. Kesempatan itu saya
manfaatkan untuk juga memuaskan hasrat tahu saya mengenai apa
dan siapa sebenarnya yang berada di balik Gestapu itu? Kesimpulan
saya kemudian tidak sesederhana keyakinan kami di Indonesia pada
hari-hari dan tahun-tahun pertama setelah tanggal 1 Oktober. Meski
saya tetap yakin bahwa PKI terlibat Gestapu, tapi saya juga yakin PKI
bukan pelaku tunggal, bahkan mungkin bukan perancang tunggal,
gerakan berdarah itu. Lalu siapa saja yang terlibat?
ahwa ada konflik yang makin tajam antara PKI dengan Angkatan
B
Darat yang mendapat dukungan golongan anti komunis, itu kenyata-
an sejarah tak terbantah. Bahwa hubungan Angkatan Darat dengan
Presiden Sukarno makin memburuk, juga bukan rahasia di Jakarta
sepanjang tahun 1965. Bahwa PKI makin meningkatkan ofensif revo
lusioner dan agitasi politiknya di hampir segala sektor, itu juga sesu
atu yang terdokumentasi dalam koran-koran terbitan masa itu. Yang
barangkali kurang diperhatikan orang di Indonesia waktu itu adalah
peran agen-agen intelejen asing dari Barat—terutama CIA Amerika
dan M 16 Inggris—maupun dari Timur yakni KGB Rusia, agen-agen
Eropa Timur dan Cina.
api yang sama sekali luput dari perhatian orang banyak di
T
Indonesia waktu itu adalah konflik yang berkembang dalam tubuh
Angkatan Darat: antara kelompok Nasution dengan kelompok Markas
Besar Angkatan Darat pimpinan KSAD Achmad Yani, kelompok
Kostrad pimpinan Soeharto yang merasa dianggap remeh oleh kelom-
pok Yani, Angkatan Udara pimpinan Omar Dhani yang sangat loyal
kepada Panglima Tertinggi ABRI, dan karena itu cenderung bersikap
antagonistik terhadap Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian yang
www.facebook.com/indonesiapustaka
419
jadi pelindung PKI yang tumbuh makin subur dalam alam Nasakom.
Inggris yang menghabiskan energi mendukung Malaysia yang diga
nyang Sukarno tentu juga ingin segera mengakhiri ketegangan, bah-
420
kan bentrokan bersenjata yang sudah sering terjadi waktu itu. Jadi,
masuk akal kalau CIA dan M 16 berusaha memanfaatkan segala ke-
sempatan untuk secepatnya mengakhiri kekuasaan Sukarno waktu
itu. Termasuk dalam kelompok keempat ini ialah dinas rahasia Uni
Soviet dan Cina. Hubungan Beijing-Moskow waktu itu sudah sangat
tegang. PKI memilih memihak garis Beijing, sesuatu yang sejalan
dengan politik luar negeri Sukarno, yang membangun poros Jakarta,
Beijing, Pyongyang. Bagaimana KGB dan dinas rahasia Cina mener-
jemahkan ketegangan Beijing-Moskow itu ke dalam konflik segi tiga
TNI, Sukarno, dan PKI, itulah yang hingga kini belum terungkap.
Kita hanya bisa menduga bahwa apa yang mereka lakukan, siapa
yang mereka bantu dan bagaimana caranya? Itulah pekerjaan yang
menanti kedatangan para peneliti.
ementara itu, pada kelompok ketiga, khususnya Angkatan Darat,
S
ternyata terjadi juga pengelompokan. Paling sedikit ada tiga kelom-
pok yang aktif waktu itu: kelompok Nasution, Ahmad Yani, dan
kelompok Soeharto. Nasution menganut garis keras menghadapi
Sukarno, Yani mencoba merangkul sang Pemimpin Besar, sementara
Soeharto berdiri di sudut dengan perasaan yang diremehkan oleh ke-
lompok Yani yang berkuasa. Kalau Nasution menilai Soeharto sebagai
seorang oportunis, Yani menilai Soeharto sebagai prajurit yang bodoh.
Sementara itu antara Yani dan Nasution sendiri terjadi konflik yang
memuncak pada awal tahun 1965. Konon pada awal tahun 1965, Yani
memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah seorang asistennya,
menangkap Nasution. Perintah yang nampaknya dimaksudkan untuk
menunjukkan loyalitas Yani kepada Sukarno itu dibatalkan beberapa
hari kemudian, sehingga bentrok antara pendukung masing-masing
yang nyaris terjadi, sempat terhindarkan.
etika kita membicarakan konflik dalam Angkatan Darat waktu
K
itu, faktor para perwira Diponegoro yang dimunculkan secara mena
www.facebook.com/indonesiapustaka
421
422
terjadi kerja sama antara PKI, tentara dan Nekolim dalam mendesain
dan melaksanakan Gestapu? Sukarno tidak menjelaskannya, bahkan
tidak pernah mengemukakan bukti. Tapi saya kira justru di situlah
peran Sukarno dan Soeharto menjadi mungkin sangat penting.
ebelum saya berbicara tentang peran Sukarno dan Soeharto,
S
ada baiknya saya mengingatkan kita semua kepada tradisi daulat,
mendaulat, dan pendaulatan yang di zaman revolusi sering mun-
cul dalam bentuk penculikan. Yang paling menyolok tentu saja
penculikan terhadap Sukarno dan Hatta oleh para pemuda Jakarta
menjelang proklamasi 1945. Kedua pemimpin Indonesia itu dibawa
oleh para pemuda ke Rengas Dengklok untuk didaulat mengumum-
kan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin. Lalu ada penculikan
Perdana Menteri Sjahrir di Solo oleh elemen pemuda dan tentara yang
anti diplomasi Sjahrir dengan Belanda. Dengan penculikan Sjahrir
diharapkan perundingan dengan Belanda bisa dicegah. Setelah di-
daulat, Kabinet Sjahrir memang bubar, tapi kabinet yang mengganti-
kannya tetap saja menjalankan perundingan.
jahrir, Sukarno, dan Hatta diculik tanpa dianiaya secara fisik.
S
Tapi Dr. Muwardi, pemimpin Barisan Banteng di Solo pada zaman
revolusi, diculik dan dibunuh. Kasus penculikan dengan tujuan
pendaulatan cukup banyak terjadi di zaman revolusi, karena pen-
culikan pada zaman itu menjadi suatu modus operandi perubahan
elit atau kebijakan. Sedangkan yang dialami Dr. Muwardi merupakan
usaha likuidasi oleh lawan politiknya. Yang ingin saya tekankan se-
hubungan dengan cerita culik tersebut adalah culik untuk mendaulat
sebagai salah satu modus perubahan elit di sebuah zaman ketika
aturan main yang ada adalah terutama aturan main revolusi. Tapi apa
pun namanya, culik sebagai alat mendaulat telah mengendap rapi
dalam sejarah politik Indonesia.
J ika Sukarno dan Soeharto dianggap terlibat Gestapu, maka menu-
www.facebook.com/indonesiapustaka
423
424
425
426
Gestapu pada 1960-an di pimpin oleh Subhan ZE dan Harry Tjan se-
hingga waktu itu oleh Wiratmo Sukito secara kelakar sering menye-
butnya sebagai Dinasti Can.
427
428
buah lembaga yang dikenal dengan nama Opsus. Saya kira Des Alwi,
barangkali ia dapat menerangkannya kejadiannya sebelum G30S
sejumlah perwira yang setia kepada Pak Harto. Cara beroperasinya,
wallahualam, tetapi dari luar secara samar-samar terlihat perbedaan
garis antara Soeharto dan Omar Dhani di dalam Komando Mandala
Siaga.
430
gikan gerakan itu sendiri.” Kemudian ada dokumen yang bisa saya
katakan PKI dalangnya. Pertama, tulisan atau pidato tentang Revolusi
Indonesia DN Aidit. Dia mengatakan bahwa mencapai tujuan me-
lalui tujuan perjuangan bersenjata. Kedua, juga ada dokumen Aidit,
yaitu surat Aidit kepada CDB-CDB nya tiga hari sebelum G30S. Dia
mengatakan begini, “Jika 1 Oktober kita gagal melakukan ini, senjata
disimpan supaya menyelamatkan nyawanya”. Jadi kata-kata JIKA itu
sudah kelihatan. Jika setelah 1 Oktober kita gagal lakukan a, b, c, d,
e sebuah instruksi. Dia mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan
adalah dengan melakukan perjuangan bersenjata. Hal ini diperkuat
oleh Pledoinya Sudisman. Dia mengatakan bahwa memang PKI, ka-
lau untuk merebut kekuasaan, melakukan perjuangan bersenjata,
dengan buruh dan tani sebagai tulang punggung.
Kemudian mengenai Bung Karno, traumanya kepada AD tinggi
sekali. Usul PKI untuk mempersenjatai buruh dan tani yaitu angkatan
ke 5, dan sebelumnya tahun 1948, waktu Pak Dirman menolak untuk
melakukan perjuangan melalui diplomasi. Memang benar Bung Karno
itu trauma sekali kepada AD, Pak Nasution juga pernah mengharap-
kan beliau ke istana pada waktu Dewan Jenderal diisukan dia per-
caya, sehingga itu ditumpangi oleh PKI. Lalu yang terakhir masalah
konfrontasi dengan Malaysia. Saya baru dengar dari Pak Panggabean
sebelum dia meninggal. Waktu akan merebut Irian Barat kita mem-
butuhkan senjata, negara yang bisa memberikan senjata gratis yaitu
Rusia, tapi syarat yang diberikan ada dua. Pertama, jangan halangi
PKI untuk mengembangkan kekuasaannya atau mengembangkan par-
tainya. Yang kedua, usir Nekolim dari Asia Tenggara. Itulah konfron-
tasi dengan Malaysia. Ini saya dengar dari Pak Panggabean.
Jadi, masalah G30S ini konteksnya banyak sekali. Keluar artinya
Grand Strategy yang ada di blok Barat maupun di blok Timur. Hal itu
ber pengaruh sekali pada masalah PKI seperti Indochina. Sebetulnya
www.facebook.com/indonesiapustaka
431
rus tahan Bung Karno. Tapi dia bukan seorang Lenin dan juga bukan
seorang Mao Zedong. Dia berhenti. Dan itu patal karena momentum
yang begitu bagus sudah berada di tangannya, dia hentikan. Disitulah
Pak Harto masuk. Jadi kami kira ini banyak dokumen-dokumen ma-
suk yang bisa dikaji kenapa PKI gagal? Lalu disini saya tulis dialog
atau surat menyurat antara Bung Karno dengan DN Aidit. Sewaktu
di Jawa Tengah, Bung Karno kirim surat dibalas Aidit. Jadi kami kira
banyak hal yang perlu kita bicarakan lebih lanjut mengenai masalah
ini. Jadi kalau kita meluruskan sejarah jangan menutup mata kita ke-
pada hal-hal yang mungkin lebih luas lagi. Terima kasih.
432
433
karena semua elemen yang ada di dalam doktrin PKI itu sudah ada di
Indonesia—tentang kelas—dia bikin kekacauan dimana-mana. Waktu
itu kami berdua tidak berani menyampaikan perkiraan itu. Maklumlah
karena suasananya sudah pro Nasakom. Kita tahu juga Sukarno yang
sejak mudanya, sudah menulis tentang Marxisme, Islamisme dan
Nasionalisme. Beliau makin lama semakin cenderung kepada komu-
nisme. Ini diperkuat lagi oleh penglihatan saya di Kodam III. Para
perwira yang terlibat PKI umumnya dari Jawa Tengah. Kelompok
Jawa Tengah itu filialnya di Kodam III, sejak dari panglimanya sam-
pai pada perwira-perwira pertamanya. Saya mengira bahwa kelom-
pok-kelompok yang menjadi aktor ini berinteraksi satu dengan lain-
nya. Faktor pemicunya dalam penglihatan saya adalah berita sakitnya
Bung Karno. Jadi kalau tidak ada berita sakitnya Sukarno, mungkin
aktor-aktor yang masing-masing punya rencana terselubung ini tidak
akan berani tampil ke depan. PKI tidak, AD juga tidak, CIA atau apa-
pun juga tidak. Jadi, kemungkinan besar masing-masing pelaku itu
tidak siap.
Mayjen Syamsudin sudah menulis buku tentang itu dan saya de
ngan sedikit latar belakang pendidikan militer juga melihat PKI mau
berontak tapi amatir sekali. Seorang perwira pertama yang mendapat
kursus pendidikan Pleton saja, kami lihat tidak memenuhi syarat
sebagai operasi militer. Ini operasi tertutup PKI yang spekulatif dan
mungkin dalam istilah PKI ini juga semacam subjektivisme. Jadi se-
cara teori, PKI tidak terlalu pintar. Dia mesti melihat bahwa sesung-
guhnya masyarakat Indonesia itu tidak begitu cocok dengan teorinya
PKI. Dan mohon jadi perhatian kita, dan ini agak missing dalam pre-
sentasi tadi, daerah-daerah yang dipengaruhi PKI adalah daerah-dae-
rah yang dipengaruhi oleh budaya Jawa.
Dan kalau kita bisa percaya bukunya Leo Suryadinata tentang pen-
duduk Indonesia, partai-partai yang kultur politiknya sangat sentral-
www.facebook.com/indonesiapustaka
istik adalah di daerah Jawa, seperti PNI, PKI, PKB, PDI-P. Sumatra
Utara itu boleh kita katakan 30-40% penduduknya adalah orang
Jawa. Sumatra Barat dan Riau itu dulu perwiranya banyak dari Jawa.
434
Jadi mohon aspek kultur politik ini juga mendapat analisa yang lebih
besar. Mengapa di pulau-pulau lain tidak ada, seperti di Sulawesi
misalnya. Itu tidak begitu nampak. Papua saat itu belum dibawah
pemerintahan kita, belum terlalu banyak penguasaan. Jadi saya setuju
dengan pendapat Mas Sulastomo, ini kerja PKI. Mereka yang paling
siap sebagai partai. Dia punya 2 jenis organisasi, yang aboveground
dan underground, punya kader, dia sudah masuk kepada AD dengan
teori MKTWP-nya tahun 1952. Metode tiga kombinasi bentuk per-
juangan termasuk bekerja di kalangan musuh.
Saya usulkan juga supaya pengadilan terhadap Biro Khusus
Sumatra Barat ini dapat dibongkar untuk membuktikan sebagai tam-
bahan bahwa PKI-lah yang mempersiapkan itu dengan masuk ke ka-
langan tentara. Saya juga punya penglihatan bahwa tentara kita tidak
terlalu sophisticated dalam bidang politik. Jadi keterlibatan mereka
sejak tahun 1958, itu juga sebagai by default. Prof. Juwono Sudarsono
yang paling sering mengatakan bahwa kelemahan sipil menyebabkan
tentara itu harus masuk. S aya melihat bahwa keadaan sekarang ini
hampir sama dengan tahun 1955, sudah menang pemilu partainya
tawuran sendiri. Sekarang lebih jelek lagi, ideologinya tidak jelas.
Sehingga pihak tentara juga trauma tidak akan mau masuk politik.
Susahnya, Indonesia sekarang ini siapa yang akan memegang kepe-
mimpinan ini. Sudah berkali-kali tentara dihujat, yang terpilih ten-
tara lagi. Saya kira masalah yang paling mendasar yang perlu kita
jawab apakah krisis nasional ini by design atau by default? Dari segala
macam itu, kelihatannya by default sebab tidak ada yang sungguh-
sungguh siap. PKI-nya pun juga tidak siap untuk mengambil alih.
TNI AD juga belum selesai konsolidasinya. Sejak tahun 1958 mau
disentralisasi. Dan PKI-nya, PKI Melayu, beberapa kali berontak tidak
ada yang berhasil. Tidak sama dengan Partai Komunis Vietnam atau
Partai Komunis Cina. Tetapi bagaimanapun saya menghargai adanya
pertemuan ini. Dan bahan-bahan baru saya memang melihat bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka
435
Ada teman saya dari Jawa Timur bahwa PKI juga melakukan keke-
jaman-kekejaman. Dan banyak reaksi terhadap PKI itu akibat dari
kekejaman PKI. Baiknya kedua belah pihak ini kita tampung penga
duannya. Saya di Komnas HAM juga menampung pengaduan dari
korban PKI. Jadi mari kita lihat krisis nasional itu secara kontekstual
memperhitungkan seluruh faktor. Terimakasih.
436
lah-olah teori yang terjadi berkembang. Itu menurut saya apa yang
terjadi.
Saya tidak percaya Bung Karno terlibat. Apa Bung Karno tahu? Ya
terang tahu bahwa ini akan terjadi sesuatu. Tapi apa terlibat, itu lain
soalnya. Apakah Pak Nas tahu? Tahu karena sudah dibicarakan dengan
Pak Nas. Dan saya dengar juga pimpinan AD tahu bahwa ini semua
akan terjadi. Dalam percakapan kita, tadi Mas Sulastomo mengatakan
bahwa di dalam mahasiswa atau kepartaian, kapan ini semua akan
terjadi? Ada yang percaya, ada yang tidak, ada yang kurang percaya,
dan lain sebagainya. Lalu saya kira marilah kita menulis.
437
cara dengan Soeharto. Ini suatu hal yang aneh juga, mungkin yang
diceritakan Pak Salim Said benar bahwa memang tidak ada kecocok
an antara kelompoknya Yani dengan kelompoknya Soeharto atau
Soeharto pribadi.
Apa peranannya dari Pak Slamet Cokro ini? Beliau dalam keduduk
annya sebagai seorang yang kemudian oleh banyak orang dinyatakan
cukup netral, pada saat itu dia diutus oleh AURI untuk melihat Lubang
Buaya. Kalau membaca bukunya Ibu Yani, di situ disebut Marsekal
Slamet datang ke Lubang Buaya. Dan dia yang sebetulnya diminta
untuk bargaining, berbicara dengan RPKAD karena siang itu RPKAD
akan masuk ke Halim. Dia diminta agar RPKAD tidak berbuat terlalu
eksklusif sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi tembak-menembak.
Dan faktanya memang RPKAD masuk ke Halim dengan keadaan yang
biasa-biasa saja, damai-damai saja.
Seperti saya ceritakan tadi, dia ditangkap oleh orang-orang AURI
sendiri untuk dimintai keterangan apa yang terjadi sebetulnya dalam
situasi yang begitu sangat tegang antara AURI dan AD. Dia banyak
bercerita mengenai persoalan ini, antara lain—ia bercerita juga pada
banyak orang—bahwasanya dia sudah memperingatkan kepada
orang-orang sekitar Yani hati-hati. S. Parman sendiri sudah diperingat
kan. Tetapi seperti yang sudah diceritakan Pak Salim tadi, bahwa ke-
lompok Yani sangat overconfidence dan merasa bahwa semua bisa
diatasi dengan mudah. Dan kenyataannya terbunuh.
Dari semua itu yang paling penting adalah mengenai Soeharto.
Dalam kedudukannya ini, saya kurang setuju kalau dikatakan
sebetulnya dia loyal kepada Bung Karno. Saya pikir dalam situasi
yang seperti itu, Bung Karno nanti akan menjelaskannya di dalam
Supersemar. Tanggal 9 Maret, Pak Harto meminta bantuan dari
Hasyim Ning dan Dasaad—dari bukunya Hasyim Ning—untuk ber-
bicara kepada Bung Karno mengenai suatu surat yang bisa diberikan
www.facebook.com/indonesiapustaka
438
439
saya, kalau secara sejarah, mana fakta yang kuat—pada malam ja-
hanam yang melakukan pembunuhan itu adalah Cakrabirawa, anak
buahnya Untung. Dan tanggal 1 Oktober yang mengumumkan Dewan
Revolusi adalah Untung. Pertanyaan saya, mengapa kita tidak mulai
dari Untung? Mengapa kita mulai dari begitu banyak teori? Saya usul
agar berangkat dari Untung, karena dia yang jelas melakukan itu. Dia
berpihak pada siapa, dekat dengan siapa. Terima kasih.
440
441
Momentum yang bagus ini kami sarankan lebih baik kalau tema
yang lalu adalah tema G30S itu. Peristiwa 1965 yang besar telah diker
dilkan dengan peristiwa—walaupun itu suasana yang hebat—men-
culik 6 Jenderal dalam 1 jam. Itu suatu yang luar biasa. Tapi kejadian
dinihari itu sudah berhasil digagalkan dalam membentuk Dewan
Revolusi. Dan pukul 10-11, Supardjo menghadap Bung Karno. Dan
Bung Karno memerintahkan “Hentikan sampai di sini, jangan dilan-
jutkan”. Untuk Dewan Revolusi “Jangan dilanjutkan”. Tetapi ke Senko
1, tidak ada orang. Ke Senko 2 dengan Sjam semua dibahas, tetapi di-
tolak, dan tetap dilaksanakan. Pukul 1 siang diumumkan pembentuk
an Dewan Revolusi.
DN Aidit malam hari terbang ke Yogya, tidak mau diperlakukan
sebagai Menko, minta diperlakukan sebagai gerakan rahasia. Di sana
diterima oleh CDB bersama Biro Khusus PKI daerah, ketemu di Yogya
dan Solo. Terus ke Semarang. Bagaimana mungkin Dewan Revolusi
yang berhasil menguasai Kodam Diponegoro dan berhasil menguasai
Korem, Danremnya tanggal 1 ditangkap. Dini hari tanggal 2 Oktober
beliau di Kentungan di Batona L dikepruk, terus terjadi yang lain-
lain. Bagaimana dibilang Pancasila sakti? Sekarang mohon maaf,
apa tepat tanggal 1 Oktober dibilang hari pengkhianatan terhadap
Pancasila? Karenanya, kami juga akan menulis buku, mohon maaf
kalau nanti terdapat disinformasi Strategi Komunis, Pemberontakan
Dewan Revolusi PKI digelapkan. Dan untuk Dewan Revolusi ini cu-
kup banyak datanya. Bagaimana Sjam mengumpulkan orang-orang
Biro Khusus dari daerah datang ke Jakarta, sebelum G30S, “kamu
bentuk dulu Dewan Revolusi, nanti dengar radio, kalau ada berita
Dewan Revolusi, kamu deklarasikan yang sudah kamu bentuk, terus
dukung Dewan Revolusi tersebut.” Tidak ada bicara G30S. Sejak awal
orang hanya membicarakan Bung Karno sakit, kemudian ada Dewan
Jenderal yang mau ini, tidak ada yang ngomong-ngomong G30S, kare-
na ini operasi rahasia, operasi terbatas.
www.facebook.com/indonesiapustaka
442
Ini memang paketnya, dilaporkan ke RRC atau memang itu nanti in-
ternal AD, mohon maaf, bahasa Jawa Timurnya ‘G30S dikasih PKI
pangkat sepuluh.’
443
kena itu bukan target. Targetnya cuma 7 jenderal. Jadi jangan membe-
sar-besarkan G30S. Yang ingin saya katakan jumlahnya tidak banyak,
yang terlibat G30S hanya sekitar dua ribu hingga tiga ribu. Ini golong
444
P. Hasibuan (Penanggap)
Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh pembicara ter-
dahulu, ada upaya untuk menulis buku sejarah yang benar, terutama
peristiwa 1965. Karena belakangan ini seolah-olah PKI lah yang
benar, dan yang salah TNI.
Begini, soal tradisi bahwa ada konflik intern di AD, tidak usah
heran, sejak dari dulu, contoh eks-PETA dengan eks-KNIL. Sekarang,
lulusan Wamil dengan Akmil, dan lulusan Sesko dengan yang tidak,
atau antara pasukan khusus dengan yang tidak. Namun itu masalah
intern, selama tidak dipolitisir tidak masalah, biasa-biasa saja dalam
rangka meraih prestasi, karier yang lebih tinggi. Jadi sebenarnya itu
bukan masalah. Saya katakan tadi, kalau tidak dipolitisasi tidak apa-
apa. Dari awal berdirinya, TNI sudah dipolitisasi. Mau bentuk tentara
atau tidak saja ditunda dulu oleh elit-elit politik. Suasananya tidak
pas, sekutu masih kuat dan lain-lain. Pak Dirman dilantik saja ditun-
da satu bulan lebih, 3 Juli 1948. Saya setuju dengan Pak Sulastomo
www.facebook.com/indonesiapustaka
445
itu cocok dengan cerita-cerita tadi, bagaimana pun juga it’s in the air,
akan terjadi. Tetapi dianggap tidak serius, tiba-tiba terjadi juga. Jadi
saya pulang dari Sudjatmoko. In our mind, ini PKI, tidak bisa lagi.
446
ngan Soeharto.
Saya pertama kali kenal Soeharto pada waktu pergi menjemput
Pak Dirman tanggal 7 Juli bersama dia. Dia kayak orang Jawa, meneng
447
saja, sama saya kulino meneng. Tidak pernah ngomong tuh. Saya ma-
kin tahu ini orang, ditambah dengan pengetahuan saya sebelumnya
baik mengenai Sukarno maupun Soeharto. Jadi kesimpulannya, coba
Saudara-saudara masukkan ini dalam wawasan dan kelengkapan
Saudara meninjau soal pengetahuan psychological inside human per-
sonality orang-orang itu, sehingga cerita by default atau by design, itu
benar.
448
449
Humaidi (Penanggap)
Kebetulan saya beberapa bulan yang lalu baru menyelesaikan skripsi
www.facebook.com/indonesiapustaka
450
makan, juga ada beberapa nama yang ditulis salah. Pak Heru Atmojo,
ketika saya wawancarai, beliau pun menanyakan kepada saya, “Apa
kah kamu yakin nama Heru di Dekrit Dewan Revolusi tanggal 1 itu
451
PKI yang ingin saya sampaikan. Juga saya tetap menganggap bahwa
PKI terlibat peristiwa 1 Oktober tahun 1965.
452
Adapun hal yang ingin saya katakan bahwa waktu itu, orang mau
masuk mencari pintu. Langsung mengadakan serangan, kan repot.
Tapi ini ada kesempatan, karena Bung Karno punya problem sendiri.
Pada waktu itu begitu complicated-nya keadaannya, Amerika punya
kepentingan, Eropa Timur punya kepentingan, PKI punya kepenting
an, AD punya kepentingan, tidak ada yang berani masuk. Semua
mau masuk ke dalam ruangan. Bung Karno punya problem, dan dia
melakukan gerakan. Itu menjadi pintu bagi masuknya ini semua. Jadi
bagi saya tidak terkejut. Saya sudah tahu PKI akan melakukan itu.
Tadi ada tambahan, Pak Parman itu sebelumnya sudah ke Lubang
Buaya, di mana dia beberapa hari kemudian dikuburkan. Pak Yani
malam itu menyuruh pulang para pengawal. Dia tidak percaya bah-
wa itu akan terjadi. Sudah dikirim oleh MBAD pengawal, menambah
pengawal karena akan ada serangan PKI. Jadi artinya, semua kita tahu
akan terjadi, tetapi bagaimana terjadinya? Lewat mana masuknya?
Kita tidak tahu. Begitulah kira-kira.
Hal yang kedua yang ingin saya ingatkan soal PKI, harap diban
dingkan—apakah ditulis atau tidak—tiga pemberontakan PKI di
Indonesia. Persamaannya besar sekali, peristiwa tahun 1926, 1948, dan
1965 adalah sama, semuanya tidak disepakati oleh Politbiro.Yang jelas
ditentang oleh Tan Malaka di tahun 1926. Tahun 1948 oleh Sumarsono,
Muso ada di luar, Muso ketika bertemu Pak Harto mengatakan, “Kalau
saya dibeginikan terus, ya saya melawan”. Sebenarnya daulat. “bu-
daya penting dalam sejarah kita ini. Jadi, pimpinan PKI tahun 1926
mendaulat Politbiro, inilah akar dari permusuhan antara PKI dan Tan
Malaka yang menjadi Moerba kemudian. Tahun 1948, terjadi lagi, ta-
hun 1965 terjadi lagi. Tahun 1965 yang melakukan daulat itu Aidit. Ia
lebih percaya kepada Opsus-nya atau Biro Khusus daripada Politbiro.
Gentlemanly ini diakui oleh Sudisman di dalam otokritiknya.
Saya kira kita juga harus melihat konteksnya, kalau mengetahui ber
arti sudah terlibat atau mengetahui sebagian sudah terlibat, itu saya
453
454
mengatakan, “Selama ada AD, selama saya pimpinan AD, PKI will
never take over di Indonesia. Dengan kata lain, mengisyaratkan kami
siap. Memang saya kira itu diketahui. Sebenarnya Sinar Harapan ter-
masuk yang ikut Badan Pendukung Sukarno yang digalang oleh BM
Diah dan Adam Malik, sebagai suatu gerakan anti komunis. Tetapi
memakai nama Sukarno, seakan-akan saya mau menggambarkan
konteksnya, maksudnya supaya kalau tidak ada konteks dan banyak
fakta, itu seolah-olah meaning-nya atau artinya bisa menjadi lepas-
lepas. Jadi jelas waktu itu ada pertarungan.
Memang betul bahwa Sukarno di tengah-tengah, dan diketahui
bahwa Sukarno incapacity, apakah lumpuh, meninggal atau apa, ini
langsung akan terjadi perbenturan. Dan dari teman AD, saya diberi
tahu, “Kami dukung Sukarno tapi sekarang kuasanya makin besar”,
kasih angin sama PKI. Ya tidak apa-apa, akan begini-begini, nanti
akan ambruk sendiri. Jadi itu bukan suatu yang konspirasi, itu terbu-
ka kok, dibahas bahwa dua-duanya siap. Bahwa kemudian ada Sjam
Kamaruzaman, saya kira ini salah satu elemen kalau tadi dikatakan
teliti Untung. Menurut hemat saya, Kamaruzaman merupakan salah
satu aktor yang sangat penting karena dia bisa memengaruhi Aidit
dan dia bisa mendapat kepercayaan dari S. Parman mungkin, bahkan
kalau sekarang orang tanya apa betul dia dieksekusi? Di mana mayat-
nya? Where is he now? Itu masih ada banyak hal yang saya kira mesti
ditanya apakah waktu PKI, jelas Biro Khusus itu ada, saya waktu itu
berdebat dengan Ben Anderson, saya kira bisa kita verifikasi lah.
Mengenai Sjam memainkan peran penting. Aidit memang tidak
menggunakan seluruh Politbiro, saya kira hanya sebagian Politbiro
yang diketahui atau mengetahui, apalagi secara operasional. Dan itu
dibenarkan oleh Sudisman. Apakah itu legal, berarti organization ter-
libat atau tidak, itu pertanyaan. Tetapi satu hal lagi, pemerintah bebe
rapa kali menerbitkan buku putih. Salah satu buku putih itu dari Pak
Domo, tetapi yang terakhir adalah waktu itu masih wakil Presiden,
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pak Darmono, tetapi tidak jadi. Mula-mula tidak jadi, waktu itu lama
sekali. Waktu itu salah satu kunci adalah Jenderal Taher, CPM yang
melakukan persiapan Mahmilub, dan sebagainya. Saya tanya apakah
455
Tentang buku yang disiapkan oleh Sekneg itu dulu memang tebal
sekali, karena saya turut membaca draft-draft tersebut, atau tidak
456
karena dia menganggap saya tahu, orang-orang yang tahu lebih tahu
dibanding kelompoknya dulu. “Bagaimana Saudara Harry tentang
457
458
459
Salim : Mas Harry, itu yang saya coba jelaskan dengan teori
saya, bahwa Soeharto seorang oportunis, doesn’t
matter for him jambon atau merah, dia dapat ke-
sempatan di situ untuk membalas sakit hati ke-
pada Yani dan untuk membalas sakit hati kepada
Nasution yang memberhentikan dia dari Pangdam
Diponegoro. Selain itu, dia punya klik dan punya
ambisi. Saya dengar dari almarhum Zen Maulani
yang baru saja meninggal. Katanya di markasnya
Soeharto, “Sekarang Yani tidak ada lagi, ini giliran
kita sekarang!”
Harry Tjan : Tidak begitu dong kalau Harto.
Salim : Bukan Soeharto, orang-orangnya Soeharto. I know
you’re the friend of Soeharto.
Harry Tjan : No… no…no… I know him, I think dia tidak meng
akui kalau saya tahu dia.
Salim : I’m joking
Harry Tjan : Kelompoknya tidak terdiri dari orang-orang yang
begini-begini.
Salim : Itu kan saya yang mengatakan. That’s my way, but
yang saya mau katakan pada Anda, sadar betul mere
ka bahwa Yani sudah lewat. Bersihkan orang Yani
dan juga Nasution. Makanya Nasution dihabisin.
Tinggallah klik Soeharto.
Harry Tjan : Itu juga tidak terlalu betul, karena pada waktu Pak
Nas dicopot sebagai Menko, Pak Harto yang datang
kepada Pak Nas, “Kenapa ini kamu terima?” “Ya, tapi
kan sudah sama saja karena Sarbini yang jadi. Kita
kan sealiran.”
www.facebook.com/indonesiapustaka
460
462
peran dalam sejarah kemelut 101, 162, 185, 190, 268, 390
politik, 237-242 Bell, James, 337
Angkatan ke-5, 119, 142, 143, 144, Bell’s Proposal, 338
146 Bergsma, P., 360
463
464
465
466
peranan, 263
permusuhan dengan ABRI, 128 Rabidi, Joseph, 212
Rahmat, Nasuki, 294
467
468
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Untung, 6, 17, 82, 83, 121, 222,
240 266, 341, 364
TNI (Tentara Nasional Indonesia), 5 Utoyo, Bambang, 249, 252
Angkatan darat, 335
The Devious Dalang, 125
The End of Sukarno, 130 Waluyo, 82
‘the invisible government’, 357 Warta Bakti, 67
Tjakrabirawa, 6 Wattimena, Leo, 91, 106
Tjoe Tat, Oei, 131, 194, 280 Wertheim, 263
Tjokrohadisuryo, Iskaq, 54 Wibowo, H., 66
“trilogi sejarah”, 283 Wibowo, Sarwo Edhie, 143, 204,
Tritura, 34 222, 291
Tri Ubaya Sakti, 61 Widjanarko, Bambang, 87, 96, 217,
Truman, Harry S., 359 325, 326, 345
Wirahadikusuma, Umar, 204, 205,
341
Undang-Undang Dasar Sementara, Wirjodiprodjo, Hartono, 86
242 Wisner, Frank, 333
Undang-Undang Dasar 1945, 49
Undang-Undang Pokok Agraria, 15, Yamin, Muhammad, 50
30 Yani, Ahmad, 61, 62, 63, 84, 118,
Uni Soviet, 337, 359, 362 143, 147, 270
United Nations Temporary Yusuf, M., 294
Executive Authority (UNTEA),
363
Zedong, Mao, 359
www.facebook.com/indonesiapustaka
469
Taufik Abdullah, Ahli Peneliti Utama LIPI dan Guru Besar (Luar
Biasa) Sejarah Universitas Gadjah Mada. Menjadi ketua LIPI dari
tahun 2000 sampai 2002; direktur LEKNAS-LIPI tahun 1974-1978;
Ketua HIPIIS tahun 1975-1979; Ketua Umum Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) tahun 1995-2005; Presiden IAHA tahun 1996-1998;
Ketua Akademi Jakarta sejak tahun 2006 hingga sekarang; Ketua
Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak
tahun 2008, dan sejak tahun 200 hingga sekarang sebagai Direktur
Partner Institute, Asian Public Intellectuals Program/Nippon
Foundation. Memperoleh gelar sarjana dalam bidang sejarah dari
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada tahun
1962. Melanjutkan studi di Cornell University, Amerika Serikat, dan
memperoleh gelar PhD dalam bidang Sejarah Asia Tenggara pada
tahun 1970. Karya-karya ilmiahnya banyak dipublikasikan di
berbagai buku, jurnal, majalah dalam dan luar negeri. Sebagai
ilmuwan ia telah memperoleh penghargaan dari dalam dan luar
negeri, antara lain Fukuoka Asian Cultural Prize, Jepang (1991),
Bintang Jasa Utama (1994), Mahaputra Utama (1999), Habibie Award
(2001), anggota kehormatan KITLV (2001), Penghargaan Sarwono
Prawirohardjo (2001), Doktor Honoris Causa (UI) tahun 2009, dan
lain-lain.
471
G. Ambar Wulan, PNS Pusat Sejarah TNI, selain itu juga menjadi
dosen Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana UI, dan juga
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia. Gelar Doktor diraihnya
dari Program Studi Sejarah Univeritas Indonesia (2008). Sebelumnya,
gelar master (2001) dan sarjana (1986) diperoleh dari jurusan Sejarah
dari universitas yang sama. Aktif melakukan penelitian dan menulis
di berbagai jurnal ilmiah dan surat kabar. Satu di antara bukunya
adalah Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi
Tahun 1945-1949. Selain itu juga aktif dalam berbagai pertemuan
ilmiah di dalam dan luar negeri.
www.facebook.com/indonesiapustaka
473
474