Makalah Hubungan Aqidah Dan Syariah
Makalah Hubungan Aqidah Dan Syariah
Makalah Hubungan Aqidah Dan Syariah
MAKALAH
Dosen Pengampu :
Erwin Syah Muhammad, M.Pd.I
Oleh :
M.ANDI KHUSNUNNASIKIN
MOH.ROMADHONI
Dan dalam penyusunan makalah ini saya sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan kritikan positif,
sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL............................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang...........................................................................................1
2. Rumusan Masalah......................................................................................2
3. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Aqidah..........................................................................................3
B. Kedudukan Aqidah Dalam Islam...................................................................4
C. Pengertian Syari’ah........................................................................................5
D. Hubungan Aqidah Dan Syari’ah....................................................................7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan
Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman (akidah), Islam
(syariat), dan ihsan (akhlak). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah
satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.
Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
Hal yang melatar belakangi kami membuat makalah ini ialah selain sebagai tugas
kami selaku Mahasiswa juga kami ingin lebih mengetahui dan memahami tentang apa
pengertian Aqidah, Syariah, dan bagaimana hubungan antara aqidah dan syariah.
1
b. RUMUSAN MASALAH
c. Apa yang dimaksud dengan aqidah?
d. Bagaimana kedudukan aqidah dalam Islam?
e. Apa yang dimaksud dengan Syariah?
f. Bagaimana Hubungan akidah dengan syariah?
g. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu aqidah.
b. Untuk mengetahui kedudukan aqidah dalam islam.
c. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan syariah.
d. Untuk mengetahui bagaimana hubungan aqidah dengan syariah serta diharapkan
dapat bermanfaat bagi kita semua.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AQIDAH
ْ yang berarti ikatan, at-
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (ُ)ال َع ْقد
ْ
tautsiiqu (ُ )التَّوْ ثِ ْيقyang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu ( )اِإل حْ َكا ُم
yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (ُال َّر ْبط
)بِقُ َّو ٍةyang berarti mengikat dengan kuat.
Pengantar Studi Akhlak menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang
teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang harus
dibenarkan dalam hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi
yakin serta mantap tidak dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh
syakwasangka. Sedang Syekh Hasan al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang
seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan
kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan. Ke dua pengertian tersebut
menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional,
sebab ada masalah tertentu yang tidak rasional dalam akidah;
2. Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah
menimbulkan ketentraman dan ketenangan;
3 Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam
pelaksanaan akidah harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan
keraguan;
4 Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah
“thayyibah” dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
Ibn Jaza al-Maliki, seorang ulama dari mazhab Maliki mengelompokkan fikih
menjadi dua, yakni: (1) ‘ibadah, dan (2) mu’amalah. Adapun cakupan mu’amalah adalah:
perkawinan dan perceraian, pidana (uqubah), yang mencakup hudud, qisas dan ta‟zir,
jual beli (buyu’), bagi hasil (qirad), gadai (alrahn), perkongsian pepohonan (al-musaqah),
perkongsian pertanian (almuzara’ah), upah dan sewa (al-ijarah), pemindahan utang (al-
hiwalah), hak prioritas pemilik lama/tetangga (al-shuf’ah), perwakilan dalam melakukan
akad (al-wakalah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), barang titipan (alwadi’ah), al-gasb,
barang temuan (luqathah), jaminan (al-kafalah), sayembara (al-ji’alah), perseroan
(syirkah wa mudlorabah), peradilan (alqadla’), wakaf (al-waqf atau al-habs), hibah,
penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), wasiat, pembagian harta pusaka (fara’id).
5
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.
Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al
Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak
dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup
beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa
yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara
yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an
atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas
pertama Syara' dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat
umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW
hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa
atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan
tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula
dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir
maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
Furu' Syara' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran
dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya
tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat
menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
6
3. HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARIAH
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar
diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang
kemudian ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman
(Aqidah), Islam (Syariat), dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW
dengan malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam,
dan Ihsan tersebut sebagai berikut:
Ditinjau dari hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar
ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar
(Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).
Hubungan aqidah dengan syariat akan dijelaskan lebih terperinci disini.
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah
dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang
kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang
dilahirkan oleh akidah tersebut.
7
Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena
adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah
naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Ada juga yang menyatakan bahwa hubungan aqidah dengan syariat adalah
hubungan di antara budi dan perangai. Dalam undang-undang budi, suatu budi yang
tinggi hendaklah dilatihkan terus supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang
telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui
pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan
itu mendorongnya supaya mencari perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh
Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa
dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus.
Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan
keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa
mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu.
Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya
jangan bercampur bohong.
Inilah aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini
telah dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah
mempunyai prinsip yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-
orang dengan penuh rasa tanggung-jawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila
mereka berada di atas dasar kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan mereka.
Kalau ia melihat mereka menyimpang dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan
sendiri.
Rasulullah bersabda:
نccكم ان حسccوا انفسcc ولكن وظن،أثccاءوا اسccنث وان اسccاس احسcc ان احسن الن، انا مع الناس: اليكن احدكم أمعة يقول
)الناس ان ثحسنوا وان اساءوا ان ثجثنبوا اساءثهم (رواه الترذي
Artinya : “Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian,
ia berkata: Saya ikut bersama orang-orang. Kalau orang berbuat baik, saya juga berbuat
baik; dan kalau orang berbuat jahat, saya juga berbuat jahat.
8
Akan tetapi teguhlah pendirianmu. Apabila orang berbuat baik, hendaklah kamu juga
berbuat baik dan kalau mereka berbuat jahat, hendaklah kamu jauhi perbuatan jahat itu.”
(HR. Turmuzi)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa iman itu merupakan satu hal yang
sangat fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam kehidupan. Untuk
memantapkan uraian ini, iman laksana mesin bagi sebuah mobil yang menggerakkan
segala kekuatannya untuk berjalan. Tanpa mesin, maka mobil itu tak ubahnya seperti
benda-benda mati yang lain yang tidak bisa bergerak dan berjalan.
Kemantapan iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha
illa al-Allah (Tiada tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat
kecuali Allah; dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah.
Pendket kata, kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi
mengemukakan beberapa pengaruh kalimat tauhid ini dalam kehidupan manusia:
a) Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang
berpandangan sempit dan berakal pendek.
b) Keimanan mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya
sebagai manusia.
c) Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke
dalam diri manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
d) Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar.
e) Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang
bagaimanapun.
f) Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan
percaya teguh kepada Allah SWT.
g) Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia.
h) Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap
cinta damai dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
i) Pengaruuh yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh
kepada hukum-hukum Allah.
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaitan antara aqidah, syariah dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat
akar, batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi
kehancuran untuk pohon tersebut.
Aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa
aqidah, syariat dan akhlak yang baik tidak akan terbentuk, atau pun sebaliknya.
Rasulullah pernah menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang
kepadanya sebagai seorang manusia.
Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas
satu sama lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariah dan akhlak
akan kehilangan keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk
memelihara ketiganya dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of
Allah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang.
Dr. Asmaran As., M.A. 2002. Text Box: Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
1970, Al Aqidah Islam, Kuwait: Dar al Bayan.
Mahmud Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al-Kalam.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas.
11