PERDA Kabupaten Kotabaru Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 26

BUPATI KOTABARU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU


NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU,

Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber


pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
kemandirian daerah perlu dilakukan perluasan
terhadap objek pajak daerah berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan;
b. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, maka dipandang perlu untuk melakukan
penyesuaian Peraturan Daerah yang berkenaan
dengan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang


Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun
1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di
Kalimantan sebagai Undang-Undang (Lembara Negara
Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3987);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lemabaran
Negara Republik Indoneia Nomor 3984);
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 )
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
11. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
12. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3258), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5145);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang


Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4578);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4609), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4855);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif
pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5161);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang
Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5179);
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 310);
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun
2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
694);
23. Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 05
Tahun 1991 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Dati II Kotabaru (Lembaran
Daerah Kabupaten Kotabaru Dati II Kotabaru Tahun
1991 Nomor 02 Seri C);
24. Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 03
Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Kotabaru Tahun 2009 Nomor 03);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KOTABARU


dan
BUPATI KOTABARU

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK PAJAK BUMI


DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Kotabaru.
2. Bupati adalah Bupati Kotabaru.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Kotabaru.
4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di
bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
6. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara
(BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD)
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
7. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
8. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah
dan perairan pedalaman serta laut wilayah
kabupaten/kota.
9. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan pedalaman dan/atau laut.
10. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat
NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan
bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
NJOP pengganti.
11. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat dikenakan Pajak.
12. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
13. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang.
14. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1
(satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
15. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar
pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun
Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
16. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai
dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau
retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi
yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau
retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi
serta pengawasan penyetorannya.
17. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya
disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh
Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
18. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya
disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Bupati.
19. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya
disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang
terutang.
20. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang
selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang
digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
terutang kepada Wajib Pajak.
21. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya
disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya
disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak.
23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang
selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya
tidak terutang.
24. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya
disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa
bunga dan/atau denda.
25. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat
keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah yang
terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang,
Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan
Keberatan.
26. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan
atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
27. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan
pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
28. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap
suatu keputusan yang dapat diajukan Banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
29. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
30. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi
serta menemukan tersangkanya.
31. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah
yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung
seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk
membayar seluruh pengeluaran daerah.

BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 2
Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan dipungut pajak atas bumi dan/atau
Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang dipergunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
Pasal 3

(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan


Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu
kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, yang merupakan suatu
kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan, kilang minyak, air dan gas,
pipa minyak; dan
i. menara.

Pasal 4
(1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek
pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional,
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan
purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam,
hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan
tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga
internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

Bagian Kedua

Subjek dan Wajib Pajak

Pasal 5
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas Bangunan.

BAB III

DASAR PENGENAAN TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN

Pasal 6
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak
tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya.

(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dilakukan oleh Bupati.
Pasal 7
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

Pasal 8
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

Pasal 9
(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.

Pasal 10
(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Bupati yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
Subjek Pajak.

Pasal 11
(1) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
(2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
BAB III

WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 12
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

BAB IV

MASA PAJAK

Pasal 13
(1) Masa Pajak Daerah adalah jangka waktunya selama 1
(satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang.
(2) Saat terutang dalam masa pajak terjadi menurut
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.

BAB V

PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara pemungutan

Pasal 14
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang
berdasarkan SPPT atau SKPD.

Pasal 15
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
sendiri dibayar dengan menggunakan SKPD.
(2) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani
oleh Wajib Pajak atau kuasanya disertai dengan
lampiran-lampiran yang diperlukan.
(3) Setiap Wajib Pajak Bumi dan Bangunan wajib mengisi
SPOP.
(4) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Bupati yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
Subjek Pajak.
(5) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
(6) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)
tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
(7) Penetapan SKPD sebagimana dimaksud pada ayat (6)
hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan.

Pasal 16
(1) Tata cara penerbitan SKPD, SPPT, dan SPOP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan
Pasal 15 diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan
penyampaian SKPD, SPPT dan SPOP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 diatur
dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua

Surat Tagihan Pajak

Pasal 17
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar;
b. dari hasil penelitian SPOP terdapat kekurangan
pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau
salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa
bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama
15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh
tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dan
ditagih melalui STPD.

Bagian Ketiga

Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 18
(1) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau
lunas.
(2) Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat
lain yang ditunjuk oleh Bupati sesuai waktu yang
ditentukan dalam SKPD.
(3) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang
di tunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas
Daerah dalam keadaan bruto selambat-lambatnya 1 x 24
jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(4) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan dengan menggunakan SSPD.
(5) Bupati dapat memberikan persetujuan kepada wajib
Pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam waktu
tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
(6) Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), harus dilakukan secara teratur dan
berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau
kurang dibayar.

Pasal 19

(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran


dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya
SPPT oleh Wajib Pajak.
(2) SPPT, SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan
persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,
penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan
penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 20

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, STPD,


Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang
dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih
dengan Surat Paksa.
(2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain
yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan
penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat
jatuh tempo pembayaran.
(3) Dalam Jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang
sejenis, Wajib Pajak harus melunasi pajak yang terutang.
(4) Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat lain yang
sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikeluarkan oleh Bupati melalui Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 21
(1) Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak
dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat
lain yang sejenis, jumlah pajak yang harus dibayar
ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Bupati menerbitkan Surat Paksa segera telah lewat 21
(dua puluh satu) hari sejak tanggal Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis.

Pasal 22
Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam
jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan
Surat Paksa, Bupati segera menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
Pasal 23
Setelah dilakukan penyitaan dan wajib Pajak belum
melunasi utang pajaknya, setelah lewat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Bupati mengajukan permintaan penetapan
tanggal pelelangan kepada Instansi Yang Berwenang
melaksanakan lelang negara.

Pasal 24
Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam
dan tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita memberitahukan
dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak.

Pasal 25
(1) Bupati dapat menetapkan jadwal waktu tindakan
penagihan pajak yang menyimpang dari jadwal waktu
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dengan
memperhatikan situasi dan kondisi Daerah.
(2) Penagihan seketika dan sekaligus atas jumlah pajak
yang masih harus dibayar, dilakukan oleh Bupati yang
mengeluarkan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika
dan Sekaligus.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, segera
dilakukan tindakan penagihan pajak dengan Surat
Paksa, Surat Perintah Membayar Pajak, serta permintaan
penetapan tanggal dan tempat pelelangan tanpa
memperhatikan tenggang waktu yang telah ditetapkan

Pasal 26
Bentuk, jenis dan isi formulir yang dipergunakan untuk
pelaksanan penagihan pajak Daerah diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 27
(1) Setiap pembayaran pajak diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
(2) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan
buku penerimaaan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VI

KEBERATAN DAN BANDING


Bagian Kesatu
Keberatan

Pasal 28
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDLB;
d. SKPDN; dan
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah
membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
Bupati atau pejabat yang ditunjuk atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 29
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.

Bagian Kedua

Banding

Pasal 30
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari
surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan
kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 31

(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding


dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan
banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50
% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BAB VII

PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,


DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI
ADMINISTRATIF

Pasal 32

(1) Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat


memberikan pengurangan, keringanan dan
pembebasan pajak.
(2) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya,
Bupati dapat membetulkan SPPT, SKPD, STPD, SKPDN
atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(3) Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi
administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan
pajak yang terutang menurut peraturan
perundangundangan perpajakan daerah, dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib
Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD,
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan
pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak
sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang
berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar
Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(4) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan
Ketetapan dan Penghapusan atau pengurangan sanksi
administrasi atas SKPD atau STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara
tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati, atau Pejabat
yang ditunjuk selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterima SKPD atau STPD dengan
memberikan alasan yang jelas.
(5) Bupati paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal
ini diterima, sudah harus memberikan Keputusan.
(6) Apabila setelah waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Bupati tidak memberikan
keputusan, permohonan pembetulan, pembatalan,
pengurangan ketetapan dan penghapusan atau
pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau


penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau
pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VIII

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 34
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak kepada Bupati atau Pejabat secara
tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :
a. Nama dan Alamat Wajib Pajak;
b. Masa Pajak;
c. Besarnya Kelebihan Pajak; dan
d. Alasan yang Jelas.
(2) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilampaui Bupati tidak memberikan keputusan,
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus
diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya,
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
(6) Apabila kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB, Bupati atau Pejabat memberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pajak.

Pasal 35
Apabila kelebihan pembayaran pajak diperitungkan dengan
utang pajak lainnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 35
ayat (4), pembayarannya dilakukan dengan cara pemindah
bukuan dan bukti pemindah bukuan juga berlaku sebagai
bukti pembayaran.

BAB IX

KEDALUWARSA

Pasal 36
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila
wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa atau ;
b. ada pengakuan utang pajak dan wajib pajak baik
langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran atau Surat Paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a),
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang Pajak Secara langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak
dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang Pajak dan belum melunasinya kepada
Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat di ketahui dari
pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib
Pajak.

Pasal 37
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena
hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa
dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang
Pajak Kabupaten yang sudah kedaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah
kedaluwasa diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB X

PEMERIKSAAN

Pasal 38

(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk


menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
daerah dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan
dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak
yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
Pajak diatur dengan Peraturan Bupati
BAB XI
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 39
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat
diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.

BAB XII

PENYIDIKAN

Pasal 40

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan


Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan
atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana perpajakan daerah tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
pribadi atau badan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajak daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan
dokumentasi-dokumentasi lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumentasi-dokumentasi lain, serta melakukan
penyitaan terhdap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas pemnyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang
meninggalkan ruang atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
pidana perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk di dengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau sanksi;
j. menghentikan Penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah menurut hukum.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum, sesuai dengan kententuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
acara Pidana.

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 41
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan SKPD atau mengisi dengan tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang
tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
SKPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
(3) Wajib Pajak yang tidak memotong dan/atau memungut
Pajak sehingga menimbulkan kerugian Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

Pasal 42
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) merupakan penerimaan negara.

Pasal 43

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut


setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau
berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun
Pajak yang bersangkutan.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Pajak yang masih
terutang sepanjang tidak diatur dalam peraturan daerah ini
masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutang.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka
Peraturan Perpajakan Daerah beserta peraturan
pelaksananya yang bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini,
sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 47
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kotabaru.

Ditetapkan di Kotabaru
pada tanggal 21 Mei 2012

BUPATI KOTABARU,

H. IRHAMI RIDJANI

Diundangkan di Kotabaru
pada tanggal 21 Mei 2012

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KOTABARU,

H. SURIANSYAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU TAHUN 2012 NOMOR 10

Anda mungkin juga menyukai