PERDA Kabupaten Kotabaru Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
PERDA Kabupaten Kotabaru Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
PERDA Kabupaten Kotabaru Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
BUPATI KOTABARU,
MEMUTUSKAN :
BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 2
Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan dipungut pajak atas bumi dan/atau
Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang dipergunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek
pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional,
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan
purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam,
hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan
tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga
internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Bagian Kedua
Pasal 5
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas Bangunan.
BAB III
Pasal 6
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak
tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya.
Pasal 8
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
Pasal 9
(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Pasal 10
(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Bupati yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
Subjek Pajak.
Pasal 11
(1) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
(2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
BAB III
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 12
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
BAB IV
MASA PAJAK
Pasal 13
(1) Masa Pajak Daerah adalah jangka waktunya selama 1
(satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang.
(2) Saat terutang dalam masa pajak terjadi menurut
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara pemungutan
Pasal 14
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang
berdasarkan SPPT atau SKPD.
Pasal 15
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
sendiri dibayar dengan menggunakan SKPD.
(2) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani
oleh Wajib Pajak atau kuasanya disertai dengan
lampiran-lampiran yang diperlukan.
(3) Setiap Wajib Pajak Bumi dan Bangunan wajib mengisi
SPOP.
(4) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Bupati yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
Subjek Pajak.
(5) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
(6) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)
tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
(7) Penetapan SKPD sebagimana dimaksud pada ayat (6)
hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan.
Pasal 16
(1) Tata cara penerbitan SKPD, SPPT, dan SPOP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan
Pasal 15 diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan
penyampaian SKPD, SPPT dan SPOP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Pasal 17
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar;
b. dari hasil penelitian SPOP terdapat kekurangan
pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau
salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa
bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama
15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh
tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dan
ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Pasal 18
(1) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau
lunas.
(2) Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat
lain yang ditunjuk oleh Bupati sesuai waktu yang
ditentukan dalam SKPD.
(3) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang
di tunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas
Daerah dalam keadaan bruto selambat-lambatnya 1 x 24
jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(4) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan dengan menggunakan SSPD.
(5) Bupati dapat memberikan persetujuan kepada wajib
Pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam waktu
tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
(6) Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), harus dilakukan secara teratur dan
berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau
kurang dibayar.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
(1) Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak
dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat
lain yang sejenis, jumlah pajak yang harus dibayar
ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Bupati menerbitkan Surat Paksa segera telah lewat 21
(dua puluh satu) hari sejak tanggal Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis.
Pasal 22
Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam
jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan
Surat Paksa, Bupati segera menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
Pasal 23
Setelah dilakukan penyitaan dan wajib Pajak belum
melunasi utang pajaknya, setelah lewat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Bupati mengajukan permintaan penetapan
tanggal pelelangan kepada Instansi Yang Berwenang
melaksanakan lelang negara.
Pasal 24
Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam
dan tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita memberitahukan
dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak.
Pasal 25
(1) Bupati dapat menetapkan jadwal waktu tindakan
penagihan pajak yang menyimpang dari jadwal waktu
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dengan
memperhatikan situasi dan kondisi Daerah.
(2) Penagihan seketika dan sekaligus atas jumlah pajak
yang masih harus dibayar, dilakukan oleh Bupati yang
mengeluarkan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika
dan Sekaligus.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, segera
dilakukan tindakan penagihan pajak dengan Surat
Paksa, Surat Perintah Membayar Pajak, serta permintaan
penetapan tanggal dan tempat pelelangan tanpa
memperhatikan tenggang waktu yang telah ditetapkan
Pasal 26
Bentuk, jenis dan isi formulir yang dipergunakan untuk
pelaksanan penagihan pajak Daerah diatur dengan
Peraturan Bupati.
Pasal 27
(1) Setiap pembayaran pajak diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
(2) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan
buku penerimaaan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VI
Pasal 28
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDLB;
d. SKPDN; dan
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah
membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
Bupati atau pejabat yang ditunjuk atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 29
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
Bagian Kedua
Banding
Pasal 30
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari
surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan
kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 31
BAB VII
Pasal 32
Pasal 33
BAB VIII
Pasal 34
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak kepada Bupati atau Pejabat secara
tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :
a. Nama dan Alamat Wajib Pajak;
b. Masa Pajak;
c. Besarnya Kelebihan Pajak; dan
d. Alasan yang Jelas.
(2) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilampaui Bupati tidak memberikan keputusan,
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus
diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya,
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
(6) Apabila kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB, Bupati atau Pejabat memberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pajak.
Pasal 35
Apabila kelebihan pembayaran pajak diperitungkan dengan
utang pajak lainnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 35
ayat (4), pembayarannya dilakukan dengan cara pemindah
bukuan dan bukti pemindah bukuan juga berlaku sebagai
bukti pembayaran.
BAB IX
KEDALUWARSA
Pasal 36
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila
wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa atau ;
b. ada pengakuan utang pajak dan wajib pajak baik
langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran atau Surat Paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a),
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang Pajak Secara langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak
dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang Pajak dan belum melunasinya kepada
Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat di ketahui dari
pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib
Pajak.
Pasal 37
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena
hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa
dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang
Pajak Kabupaten yang sudah kedaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah
kedaluwasa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB X
PEMERIKSAAN
Pasal 38
Pasal 39
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat
diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 40
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan SKPD atau mengisi dengan tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang
tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
SKPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
(3) Wajib Pajak yang tidak memotong dan/atau memungut
Pajak sehingga menimbulkan kerugian Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Pasal 42
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) merupakan penerimaan negara.
Pasal 43
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Pajak yang masih
terutang sepanjang tidak diatur dalam peraturan daerah ini
masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutang.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka
Peraturan Perpajakan Daerah beserta peraturan
pelaksananya yang bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini,
sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur dengan
Peraturan Bupati.
Pasal 47
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Kotabaru
pada tanggal 21 Mei 2012
BUPATI KOTABARU,
H. IRHAMI RIDJANI
Diundangkan di Kotabaru
pada tanggal 21 Mei 2012
H. SURIANSYAH