PD 02 2011

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 29

LEMBARAN DAERAH

KABUPATEN CIANJUR
NOMOR 06 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR


NOMOR 02 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI CIANJUR,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, semua pengaturan mengenai
pajak daerah perlu disesuaikan dan disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dan untuk penyesuaian dan penyempurnaan terhadap pengaturan pajak
daerah termaksud perlu ditetapkan kembali Peraturan Daerah tentang Pajak
Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun Tahun 1950 tentang Pembentukan


Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Berita Negara tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta
dan Kabupaten Subang dengan Mengubah Undang-undang Nomor 14
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2851);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3987);
Jalan Siti Jenab No. 31 Telepon (0263) 261892 Fax. (0263) 260981
Cianjur 43211 Jawa Barat
2

5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286);
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
126, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
9. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewa Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
11. Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4575);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5104);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah
Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5161);
3

19. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut
Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5179);
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
21. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah;
22. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Lembaga
Internasional yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.07/2010 tentang Badan atau Lembaga
Internasional yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
24. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 02 Tahun 2001 tentang Tata Cara Penyusunan
Peraturan Daerah dan Penerbitan Lembaran Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur
Tahun 2001 Nomor 43 Seri B) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Cianjur Nomor 02 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan
Daerah Nomor 02 Tahun 2001 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Daerah dan
Penerbitan Lembaran Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 Nomor 02
Seri C);
25. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 03 Tahun 2001 tentang Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2001 Nomor 44 Seri C);
26. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 03 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2008 Nomor 03 Seri D);
27. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 07 Tahun 2008 tentang Organisasi
Pemerintahan Daerah dan Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Cianjur
(Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2008 Nomor 07 Seri D) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Nomor 07 Tahun 2008 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah dan Pembentukan
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2010 Nomor 10
Seri D);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CIANJUR
dan
BUPATI CIANJUR

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Daerah Otonom Kabupaten Cianjur.
4

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah otonom sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Bupati adalah Bupati Cianjur.
4. Kas Daerah adalah Kas Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur.
5. Pajak Daerah selanjutnya disebut pajak adalah konstribusi wajib kepada daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
6. Dinas adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang perpajakan daerah Kabupaten
Cianjur.
7. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur.
8. Camat adalah Kepala Kecamatan selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah.
9. Notaris adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah.
10. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan
usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
11. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
12. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan
jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
13. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
14. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran,
yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk
jasa boga/katering.
15. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
16. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang
dinikmati dengan dipungut bayaran.
17. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
18. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang menurut bentuk susunan dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan atau untuk manarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau
badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan dan/atau dinikmtai oleh umum.
19. Pajak Penerangan Jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
20. Perusahaan Listrik Negara selanjutnya disebut PLN adalah perusahaan listrik negara
(Persero).
21. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk
dimanfaatkan.
22. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
5

23. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang
disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha,
termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
24. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
25. Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang burung walet.
26. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia
fuchiphagus,(walet putih), collocalia maxina (walet sarang hitam), collocalia esculenta
(walet sapi), dan collocalia linchi (burung sriti/kapinis).
27. Pengelolaan burung walet adalah rangkaian pembinaan habitat dan pengendalian populasi
burung walet di habitat alami dan di luar habitat alami.
28. Pengusahaan burung walet adalah bentuk kegiatan pengambilan sarang burung walet di
habitat alami dan di luar habitat alami.
29. Habitat alami burung walet adalah lingkungan tempat burung walet hidup dan berkembang
secara alami.
30. Di luar habitat alami burung walet adalah lingkungan tempat burung walet hidup dan
berkembang yang diusahakan dan dibudidayakan.
31. Lokasi adalah suatu kawasan/tempat tertentu dimana terdapat sarang burung walet baik
pada habitat alami maupun di luar habitat alami.
32. Sarang burung walet yang berada di :
a. habitat alami adalah meliputi kawasan hutan negara, kawasan konservasi, kawasan gua
alam dan/atau di luar kawasan yang tidak dibebani hak milik perorangan dan/atau adat;
b. luar habitat alami adalah meliputi bangunan dan/atau rumah/gedung.
33. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
34. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
35. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
36. Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
37. Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang di bidang
pertanahan dan bangunan.
38. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah daerah.
39. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
40. Nilai Jual Objek Pajak, selanjutnya disebut NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli,
NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai
perolehan baru, atau NJOP pengganti.
41. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
42. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
6

43. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
oleh Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
44. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib
pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
45. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak,
dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
46. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan
subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak
kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya.
47. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah selanjutnya disebut SPTPD, adalah surat yang oleh
wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek
pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
48. Surat Setoran Pajak Daerah selanjutnya disebut SSPD adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan
dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
49. Surat Ketetapan Pajak Daerah selanjutnya disebut SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar selanjutnya disebut SKPDKB, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan selanjutnya disebut SKPDKBT
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
52. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil selanjutnya disebut SKPDN, adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
53. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Besar selanjutnya disebut SKPDLB, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit
pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
54. Surat Tagihan Pajak Daerah selanjutnya disebut STPD, adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
55. Surat Keputusan Pembetulan selanjutnya disebut SKP, adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat
dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SKP, SKK, atau Surat
Keputusan Keberatan.
56. Surat Keputusan Keberatan selanjutnya disebut SKK, adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB atau terhadap pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
57. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap SKB yang
diajukan oleh wajib pajak.
58. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung
pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7

59. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung
pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
60. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan
retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
61. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi daerah adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan
retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
BAB II
JENIS PAJAK
Pasal 2
Dengan peraturan daerah ini, dipungut pajak:
a. hotel;
b. restoran;
c. hiburan;
d. reklame;
e. penerangan jalan;
f. mineral bukan logam dan batuan;
g. parkir;
h. sarang burung walet;
i. air tanah;
j. BPHTB.
BAB III
OBJEK, SUBJEK, DASAR PENGENAAN, TARIF DAN
TATA CARA PENGHITUNGAN
Bagian Kesatu
Pajak Hotel
Pasal 3
(1) Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan yang disediakan oleh hotel.
(2) Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran,
termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan
dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan.
(3) Objek pajak sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi :
a. fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek antara lain gubuk pariwisata
(cottage), villa yang disewakan, motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel),
losmen, rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 10 (sepuluh) atau
lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan;
b. jasa penunjang sebagaimana dimaksud ayat (2) antara lain tempat menyantap makanan
dan/atau minuman, telepon, faximile, teleks, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, dan
tranportasi, yang disediakan atau dikelola hotel;
c. fasilitas olah raga dan hiburan sebagaimana dimaksud ayat (2) antara lain pusat
kebugaran, kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik yang disediakan atau
dikelola hotel;
d. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel.
8

(4) Tidak termasuk pajak hotel, adalah :


a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan dan
panti sosial lainnya yang sejenis;
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang
dapat dimanfaatkan oleh umum.

Pasal 4
(1) Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada
orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.

Pasal 5
Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada
hotel.

Pasal 6
Tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 7
Besaran pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak hotel
sebagaimana dimaksud Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 5.

Bagian Kedua
Pajak Restoran
Pasal 8
(1) Dengan nama pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan yang oleh restoran.
(2) Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran, termasuk rumah
makan, warung makanan dan sejenisnya termasuk kafe, catering dan bar.
(3) Pelayanan yang disediakan restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau
minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di
tempat lain.
(4) Dikecualikan dari objek pajak restoran sebagaimana dimaksud ayat (2), adalah pelayanan
yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp 1.000.000,- (satu
juta rupiah) perbulan.

Pasal 9
(1) Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau
minuman dari restoran.
(2) Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran.

Pasal 10
Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya
diterima restoran.
9

Pasal 11
Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 12
Besaran pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak restoran
sebagaimana dimaksud Pasal 11 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 10.

Bagian Ketiga
Pajak Hiburan
Pasal 13
(1) Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.
(2) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
(3) Hiburan sebagaimana dimaksud ayat (2), antara lain:
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf dan bowling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa,;
j. pertandingan olah raga;
k. pusat kebugaran (fitness center);
l. kesenian rakyat.
Pasal 14
(1) Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan.
(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.

Pasal 15
(1) Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya
diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang diterima sebagaimana dimaksud ayat (1) termasuk potongan harga dan
tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.

Pasal 16
Besaran tarif pajak untuk setiap jenis hiburan adalah :
a. tontonan film sebesar Rp 35%;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana sebesar 35%;
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya sebesar 35%;
d. pameran sebesar Rp 35%;
e. diskotik, karaoke, klab malam dan sejenisnya sebesar 50%;
f. sirkus, akrobat dan sulap sebesar 15%;
g. permainan bilyar, golf dan boling sebesar 35%;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan sebesar 25%;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa sebesar 40%;
j. pertandingan olah raga sebesar 25%;
k. pusat kebugaran (fitnes center) sebesar 30%;
l. kesenian rakyat sebesar 10%.
10

Pasal 17
Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak hiburan
sebagaimana dimaksud Pasal 16 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 15.

Bagian Keempat
Pajak Reklame
Pasal 18
(1) Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan reklame.
(2) Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
(3) Objek pajak reklame sebagaimana dimaksud ayat (2), meliputi :
a. reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, striker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film/slide;
j. reklame peragaan.
(4) Tidak termasuk sebagai objek pajak reklame, adalah:
a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan,
warta bulanan dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi
untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha
atau profesi diselenggarakan dengan ukuran luasan tidak melebihi 0,5 (nol koma lima)
m2 ;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 19
(1) Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame.
(2) Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut menjadi
wajib pajak reklame.

Pasal 20
(1) Dasar pengenaan pajak adalah nilai sewa reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud ayat
(1) dihitung dengan memperhatikan faktor, ketinggian, sudut pandang, jenis, bahan yang
digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran
media reklame.
(4) Dalam hal nilai reklame sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap
tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana
dimaksud ayat (3).
11

(5) Nilai sewa reklame dihitung dengan cara :


A = (luas) x (nilai jual objek pajak) x (lama tayang)
B = (nilai strategis) x (nilai tarif titik simpul)
A + B = dasar pengenaan pajak.
(6) Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud ayat (5) dinyatakan dalam
bentuk tabel dan akan diatur kemudian oleh Bupati.

Pasal 21
Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).

Pasal 22
Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak reklame
sebagaimana dimaksud Pasal 21 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 20
ayat (5).

Bagian Kelima
Pajak Penerangan Jalan
Pasal 23
(1) Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik.
(2) Objek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(3) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi seluruh pembangkit
listrik.
(4) Dikecualikan dari objek pajak penerangan jalan sebagaimana dimaksud ayat (2), adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat
dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak
memerlukan izin dari instansi teknis terkait ;
d. penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah.

Pasal 24
(1) Subjek pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan
tenaga listrik.
(2) Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga
listrik.
(3) Apabila tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, wajib pajak penerangan jalan adalah
penyedia tenaga listrik.

Pasal 25
(1) Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik.
(2) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. apabila tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual tenaga
listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian
kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
12

b. apabila tenaga listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung berdasarkan
kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik dan harga
satuan listrik yang berlaku di daerah.

Pasal 26
Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebagai berikut :
a. penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk non industri, pertambangan minyak
bumi dan gas alam sebesar 6% (enam persen) dikalikan dengan nilai jual tenaga listrik;
b. penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk industri, pertambangan minyak bumi
dan gas alam sebesar 3% (tiga persen) dikalikan dengan nilai jual tenaga listrik;
c. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain non PLN untuk non industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
d. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain non PLN untuk industri, pertambangan minyak
bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
e. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu
koma lima persen).

Pasal 27
(1) Besaran pokok pajak penerangan jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud Pasal 26 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 25.
(2) Hasil penerimaan pajak penerangan jalan, sebagian dialokasikan untuk penyediaan dan
pembayaran penerangan jalan.

Bagian Keenam
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pasal 28
(1) Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logan dan Batuan dipungut pajak atas setiap kegiatan
pengambilan mineral buka logam dan batuan.
(2) Objek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah kegiatan pengambilan bahan mineral
bukan logam dan batuan, yang meliputi :
1. asbes;
2. batu tulis;
3. batu setengah permata;
4. batu kapur;
5. batu apung;
6. batu permata;
7. bentonit;
8. dolomit;
9. feldspar;
10. garam batu (halite);
11. grafit;
12. granit/andesit;
13. gips;
14. kalsit;
15. kaolin;
16. leusit;
17. magnesit;
18. mika;
19. marmer;
13

20. nitrat;
21. opsidien;
22. oker;
23. pasir dan kerikil;
24. pasir kuarsa;
25. perlit;
26. phospat;
27. talk;
28. tanah serap;
29. tanah diatome;
30. tanah liat;
31. tawas (alum);
32. tras;
33. yarosif;
34. zeolit;
35. basal;
36. trakkit;
37. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Dikecualikan dari objek pajak mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud ayat
(2), adalah :
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyata-nyata tidak
dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan
rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon,
penanaman pipa air/gas;
b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan ikutan dari
kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial;
c. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan lainnya yang akan ditetapkan
kemudian oleh Bupati.

Pasal 29
(1) Subjek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
mengambil mineral bukan logam dan batuan.
(2) Wajib pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau badan yang
mengambil mineral bukan logam dan batuan.

Pasal 30
(1) Dasar pengenaan pajak mineral bukan logam dan batuan adalah nilai jual hasil pengambilan
mineral bukan logam dan batuan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil
pengambilan yang sudah dilaporkan dan dianalisa oleh instansi yang berwenang dengan
nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan.
(3) Nilai jual pasar sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di
daerah.
(4) Dalam hal nilai pasar dan hasil produksi mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi
yang berwenang.
(5) Nilai rata-rata harga pasar sebagaimana dimaksud ayat (3) akan diatur lebih lanjut oleh
Bupati.
14

Pasal 31
Tarif pajak mineral bukan logam dan batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).

Pasal 32
Besaran pokok pajak mineral bukan logam dan batuan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud Pasal 31 dengan dasar pengenaan pajak mineral
bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud Pasal 30.

Bagian Ketujuh
Pajak Parkir
Pasal 33
(1) Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan tempat parkir.
(2) Objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang
disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha,
termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(3) Penyelenggaraan pengusahaan tempat parkir sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi :
a. gedung parkir;
b. pelataran parkir;
c. penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor;
d. garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran;
e. bangunan umum yang digunakan untuk parkir.
(4) Tidak termasuk objek pajak parkir sebagaimana dimaksud ayat (2), adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, konsulat dan perwakilan negara asing
dengan asas timbal balik;
d. penyelenggaraan tempat parkir oleh pihak swasta dengan tidak dipungut bayaran.

Pasal 34
(1) Subjek pajak parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir kendaraan.
(2) Wajib pajak parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir.

Pasal 35
(1) Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud ayat (1) termasuk potongan harga
parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.

Pasal 36
Tarif pajak parkir ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 37
Besaran pokok pajak parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak parkir
sebagaimana dimaksud Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 35.
15

Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 38
(1) Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas setiap kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(2) Objek pajak sarang burung walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung
walet.
(3) Pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet yang dikenakan pajak, baik pada lokasi
habitat alami maupun di luar habitat alami adalah burung walet yang termasuk marga
collocalia fuciphagus (walet putih), collocalia maxima (walet sarang hitam), collocalia
esculenta (walet sapi) dan collocalia linchi (burung sriti/kapinis).
(4) Tidak termasuk objek pajak sarang burung walet sebagaimana dimaksud ayat (2), adalah
pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).

Pasal 39
(1) Subjek pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
(2) Wajib pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.

Pasal 40
Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang burung walet dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah
dengan volume sarang burung walet.
Pasal 41
Tarif pajak sarang burung walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 42
Besaran pokok pajak sarang burung walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak sarang burung walet sebagaimana dimaksud Pasal 41 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud Pasal 40.

Bagian Kesembilan
Pajak Air Tanah
Pasal 43
(1) Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut atas setiap pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
(2) Objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(3) Dikecualikan dari objek pajak air tanah sebagaimana dimaksud ayat (2), adalah
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga,
pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan.

Pasal 44
(1) Subjek pajak air tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib pajak air tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
16

Pasal 45
(1) Dasar pengenaan pajak air tanah adalah jumlah nilai perolehan air tanah.
(2) Nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang
dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air;
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan
air.
(3) Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) akan ditetapkan
kemudian oleh Bupati.

Pasal 46
Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) dari pendapatan bruto
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

Pasal 47
Besaran pokok pajak air tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak air
tanah sebagaiumana dimaksud Pasal 46 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 45 ayat (3).

Bagian Kesepuluh
BPHTB
Pasal 48
(1) Dengan nama BPHTB dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Objek pajak BPHTB adalah peroleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
(3) Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (2), meliputi :
a. pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. di luar pelepasan hak.
17

(4) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a, adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.
(5) Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umm;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan, dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Pasal 49
(1) Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan/atau bangunan.
(2) Wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan/atau bangunan.

Pasal 50
(1) Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai peroleh objek pajak sebagaimana dimaksud ayat (1), dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
18

o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah
lelang.
(3) Jika nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a, sampai dengan
huruf o tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan
pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai
adalah NJOP pajak bumi dan bangunan.
(4) Dalam hal NJOP pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud ayat (3) belum
ditetapkan pada saat terutangnya BPHTB, NJOP pajak bumi dan bangunan dapat
didasarkan pada surat keterangan NJOP pajak bumi dan bangunan.
(5) Surat keterangan NJOP pajak bumi dan bangunan sebagaimana ayat (4) adalah bersifat
sementara.
(6) Surat keterangan NJOP pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud ayat (4) dapat
diperoleh di kantor pelayanan pajak atau instansi yang berwenang di daerah.
(7) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
(8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu sederajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

Pasal 51
Tarif BPHTB adalah ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

Pasal 52
(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
dimaksud Pasal 51 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 50 ayat (1)
setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud Pasal
50 ayat (7) dan (8).
(2) Dalam hal NJOP sebagaimana dimaksud Pasal 50 ayat (3) tidak diketahui atau lebih rendah
dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud Pasal 51 dengan NJOP pajak bumi dan bangunan
setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud Pasal 50 ayat (7) dan (8).

Pasal 53
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa SSPD.
(2) Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa SSPD.
(3) Kepala Kantor hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran
peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa
SSPD.

Pasal 54
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
19

(2) Tata cara pelaporan pejabat sebagaimana dimaksud ayat (1) akan diatur kemudian oleh
Bupati.

Pasal 55
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 53 ayat (1) dan ayat (2)
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) setiap laporan.
(3) Kepala Kantor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (3)
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 56
Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 3, 8, 13, 18, 23, 28, 33, 38, 43 dan Pasal 48 dipungut di
wilayah daerah.

BAB V
MASA PAJAK DAN SAAT PAJAK TERUTANG
Bagian Kesatu
Masa Pajak
Pasal 57
(1) Masa pajak untuk Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak sarang
Burung Walet adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kaleder.
(2) Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung,
menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang.

Bagian Kedua
Saat Pajak Terutang
Pasal 58
(1) Saat terutang pajak hotel adalah pada saat pembayaran atas pelayanan di hotel.
(2) Saat terutang pajak restoran adalah pada saat pembayaran atas pelayanan di restoran.
(3) Saat terutang pajak hiburan adalah pada saat penyelenggaraan hiburan.
(4) Saat terutang pajak reklame terjadi pada saat penyelenggaraan reklame.
(5) Saat terutang pajak penerangan jalan terjadi pada saat penggunaan tenaga listrik.
(6) Saat terutang pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pada saat kegiatan eksploitasi
mineral bukan logam dan batuan.
(7) Saat terutang pajak parkir adalah pada saat pelaksanaan parkir.
(8) Saat terutang pajak sarang burung walet terjadi pada saat sarang burung walet
dipanen/diambil.
20

(9) Saat terutang pajak air tanah adalah pada saat melakukan pengambilan dan/atau
pengambilan air tanah.
(10) Saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk :
1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
2. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan Nasional;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
10. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
15. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

BAB VI
PENETAPAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tatacara Penetapan dan Pemungutan
Pasal 59
(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan.
(2) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah :
a. Pajak Air Tanah;
b. Pajak Reklame;
c. Pajak Bumi dan Bangunan.
(3) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak adalah :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Parkir;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. BPHTB.
21

Pasal 60
(1) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya dengan penetapan Bupati
sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (2) dibayar berdasarkan SKPD atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat (1), berupa karcis dan nota
perhitungan.
(3) Tata cara penetapan pajak akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Pasal 61
(1) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya dengan dibayar sendiri sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (3) dibayar berdasarkan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta
ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud ayat (1) harus disampaikan kepada Bupati selambat-
lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Dokumen SSPD pada BPHTB berfungsi sebagai SPTPD.
(5) Bentuk, isi, tata cara pegisian dan penyampaian SPTPD diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 62
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat
menerbitkan :
a. SKPDKB jika :
1. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau
kurang bayar;
2. SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari
dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran;
3. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap
dihitung yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud ayat (1),
huruf a angka 1 dan 2 dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan, dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud ayat (1),
huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak melaporkan
sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud ayat (1), huruf a,
angka 3, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
22

Pasal 63
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan SPTPD, SKPDKB dan
SKPDKBT sebagaimana dimaksud Pasal 60 dan Pasal 61, diatur degan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan peyampaian SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud Pasal
60 dan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Surat Tagihan
Pasal 64
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD, jika :
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud ayat (1), huruf
a dan b, ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Tagihan
Pasal 65
(1) Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang ditetapkan selama :
a. 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak yaitu untuk :
1. Pajak Hotel;
2. Pajak restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7. Pajak Parkir; dan
8. Pajak Air Tanah.
b. Saat terjadinya transaksi untuk pajak BPHTB.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat keputusan
keberatan dan putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan.
23

Bagian Keempat
Keberatan dan Banding
Pasal 66
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas
suatu :
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN;
f. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang
jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud ayat (1), kecuali jika
wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan
diluar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Bupati.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3) dan
ayat (4), tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk
atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai bukti penerimaan
surat keberatan.

Pasal 67
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak tanggal surat keberatan
diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian menolak
atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi
suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 68
(1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1), diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (3) bulan sejak putusan diterima,
dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai
dengan1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.
Pasal 69
(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
24

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud ayat (1), dhitung sejak bulan pelunasan sampai
dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.

Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan Penghapusan Atau
Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 70
(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan SPPT,
SKPD, SPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
(2) Bupati dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administartif berupa bunga, denda dan
kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilapan, wajib pajak atau bukan
karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPFKB, SKPDKBT atau STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau menghapuskan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan
tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan
membayar wajib pajak atau kondisi tertentu oleh pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan atau sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
ayat (2), akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

BAB VII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 71
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Bupati.
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud ayat (1), harus
memberikan keputusan.
25

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) telah dilampaui, Bupati tidak
memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila wajib pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu
utang pajak tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan
dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua)
bulan, Bupati atau pejabat memberikan imbalan denda sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
kelambatan pembayaran kelebihan pajak.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud ayat (1), akan
diatur lebih lanjut oleh Bupati.

BAB VIII
KADALUARSA PENAGIHAN
Pasal 72
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima)
tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali wajib pajak melakukan tindak pidana
dibidang perpajakan daerah.
(2) Kadaluarsa penagihan sebagaimana dimaksud ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran dan surat paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan surat paksa sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a,
kadaluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, adalah
wajib pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh wajib pajak.

Pasal 73
(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan
sudah kadaluarsa, dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak daerah yang sudah kadaluarsa
sebagaimana dimaksud ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang pajak akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

BAB IX
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 74
(1) Wajib pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) per tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Kriteria wajib pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud ayat (1), akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.
26

Pasal 75
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
(2) Wajib pajak yang diperiksa, wajib :
a. memperhatikan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dianggap perlu dan
memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pajak, akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

BAB X
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 76
(1) Dinas yang melaksanakan pemungutan pajak dapat diberi insentif atas dasar kinerja
tertentu.
(2) Besaran insentif sebagaimana dimaksud ayat (1), ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud ayat (1), akan diatur
lebih lanjut oleh Bupati dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB XI
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 77
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2), adalah :
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan
kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan
pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud ayat (2), agar
memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepada
pihak yang ditunjuk.
27

(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati
dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan tenag
ahli sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis
dan keterangan wajib pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (5), harus menyebutkan nama tersangka
atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan daerah diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak
benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan daerah, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang.

Pasal 79
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 78 tidak dituntut setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau
berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak.
(2) Denda sebagaimana dimaksud Pasal 55 dan Pasal 78 merupakan penerimaan negara.

BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 80
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud ayat
(1), berada di bawah koordinasi Kepolisian Republik Indonesia.
(3) Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana pajak daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang pajak daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang pajak daerah;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
pajak daerah;
28

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan


dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang pajak daerah;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen
yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana pajak daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu unyuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang pajak daerah sesuai dengan paraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian
Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis
pelaksanaannya akan ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 82
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :

1. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pajak Galian Golongan
C;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 11 Tahun 1998 tentang Pajak Reklame;
3. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 14 Tahun 1998 tentang Pajak Hiburan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 04 Tahun 2001 tentang Pajak Pengelolaan dan
Pengusahaan Sarang Burung Walet;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 05 Tahun 2001 tentang Pajak Parkir;
6. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel;
7. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan,
beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku.
29

Pasal 83
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah.

Ditetapkan di Cianjur
pada tanggal 21 Pebruari 2011
BUPATI CIANJUR,

Cap/ttd.-

TJETJEP MUCHTAR SOLEH

Diundangkan di Cianjur
pada tanggal 23 Pebruari 2011
Plt. SEKRETARIS DAERAH,

Cap/ttd
Drs. BACHRUDDIN ALI
NIP.19571231 198503 1 086

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2011 NOMOR 06 SERI A.

Anda mungkin juga menyukai