Parese Plika Vokalis
Parese Plika Vokalis
Parese Plika Vokalis
Disusun oleh:
Johannes Rafael Oloan 2165050054
Pembimbing :
dr. Jenny, Sp. THT-KL, FICS
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Paresis plika vokalis adalah kelainan yang bersifat luas dan dapat disebabkan oleh
berbagai etiologi, baik spesifik maupun non-spesifik. Epidemiologi paresis plika
vokalis secara etiologi mencakup 31% kasus dengan etiologi iatrogenik, 23% kasus
dengan etiologi viral, 18% dengan etiologi yang idiopatik, 14% dengan etiologi
trauma, dan 14% lainnya yang disertai disfonia akibat ketegangan otot. (1)
Untuk
kasus-kasus dengan paresis nervus laringeus rekuren, 36% kasusnya iatrogenik, 32%
idiopatik, 13% intubasi, 11% keganasan, dan 8% viral. Untuk pasien-pasien yang
mengalami paresis nervus laringeus rekuren dan nervus laringeus superior, 44%nya
iatrogenik, 40% idiopatik, 11% viral, 4% intubasi, dan 2% akibat keganasan. Untuk
pasien-pasien dengan paresis nervus laringeus superior, 63%nya bersifat iatrogetnik,
25% idiopatik, dan 12% viral.
Paresis yang cukup berat akan mengakibatkan paralisis. Paralisis plika vokalis
unilateral biasanya hanya menyebabkan suara yang serak, namun paralisis plika
vokalis bilateral dapat menyebabkan sesak napas yang berat, yang dapat mengancam
nyawa. (2)
Oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana paresis plika vokalis tidak boleh
dianggap remeh, dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan dengan periode awitan
yang secepat mungkin agar mencegah komplikasi akibat paresis itu sendiri dan
penyakit-penyakit lain yang mendasari.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Laring memiliki sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas. Laring juga
berfungsi dalam pembentukan suara. Pada bagian atas, laring menjadi laringopharing
dan pada bagian bawah, laring berlanjut menjadi trakea. Kerangka laring dibentuk
oleh beberapa kartilago, dan dihubungkan oleh berbagai membran, ligamentum, serta
digerakkan oleh otot. Struktur laring bagian dalam dilapisi oleh membran mukosa.
Bangunan kerangka laring tersusun dari tulang hyoid dan beberapa buah tulang
rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, dan permukaan atasnya berhubungan
dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Dalam posisi
menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, namun
dalam posisi diam, otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu
menggerakkan lidah. Berbagai tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago
3
epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago
tiroid. (3)
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik intrinsik. Otot
ekstrinsik laring ada yang terletak pada suprahioid dan infrahioid. Otot ekstrinsik
terutama bekerja pada laring keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi
menggerak bagian bagian laring. Fungsi dari otot intrinsik laring adalah sebagai
berikut:
M. krikotiroid: terletak diluar laring, dan berfungsi menegangkan plika vokalis
M. tiroaritenoid: terletak di belakang kartilago tiroid sampai aritenoid, dan
berfungsi merelaksasikan plika vokalis
M. krikoaritenoid posterior: terletak di belakang kartilago krikoid sampai
aritenoid, dan berfungsi mengabduksikan plika vokalis
M. krikoaritenoid lateral: berfungsi mengadduksikan plika vokalis
M. interaritenoid dan ariepiglotis: membentuk sfingter dan bersama dengan
epiglotis menutup aditus laring selama proses menelan. (3)
Batas atas kavum laring adalah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depan laring adalah permukaan
belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara
kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateral ialah
membran kuadraangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago
krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah M. aritenoid transversus dan lamina
kartilago krikoid. Adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokalis dan ligamentum
ventrikularis membentuk plika vokalis dan plika ventrikularis. Bidang antara plika
vokalis kanan dan kiri disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis
disebut rima vestibularis. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring
dalam tiga bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik. Laring dipersarafi
oleh cabang-cabang N. vagus, yaitu N. laringeus superior, N. laringeus rekurens.
Perdarahan laring terdiri dari dua cabang yaitu A. laringis superior dan A. laringis
inferior. (3)
4
2.2 Fisiologi Laring dan Plika Vokalis
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, serta fonasi.
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Pemantauan
produksi suara dilakukan melalui umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan
sistem dalam laring itu sendiri. Fungsi fonasi yaitu membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis.
Syarat suara yang terbentuk yang nyaring adalah anatomi korda vokalis normal dan
rata, fisiologis harus normal dan harus ada aliran udara yang cukup kuat. (3)
Terdapat tiga fase dalam berbicara, yaitu fase pulmonal (paru), laringeal
(laring), dan supraglotis/oral. Fase pulmonal menghasilkan aliran energi dengan
inflasi dan ekspulsi udara. Aktivitas ini memberikan kolom udara pada laring untuk
fase laringeal. Pada fase laringeal, pita suara bervibrasi pada frekuensi tertentu untuk
membentuk suara yang kemudian dimodifikasi pada fase supraglotik/oral. Kata
(word) terbentuk karena aktivitas faring (tenggorok), lidah, bibir, dan gigi. Disfungsi
pada setiap stadium dapat menimbulkan perubahan suara, yang mungkin saja di
interpretasikan sebagai “suara serak” oleh pasien. (3)
Perbedaan frekuensi suara dihasilkan oleh kombinasi kekuatan ekspirasi paru
dan perubahan panjang, lebar, elastisitas, dan ketegangan pita suara. Otot adduktor
laringeal adalah otot yang bertanggung jawab dalam memodifikasi panjang pita suara.
Akibat aktivitas otot ini, kedua pita suara akan merapat (aproksimasi), dan tekanan
dari udara yang bergerak menyebabkan vibrasi dari pita suara yang elastis. Dalam
fungsi fonasi, laring berperan sebagai penggetar (vibrator). Komponen yang bergetar
dalam proses fonasi adalah pita suara, yang menonjol dari dinding lateral laring ke
arah tengah glotis. Pita suara diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot
spesifik pada laring itu. (3)
Selama pernapasan normal, pita suara akan terbuka lebar agar aliran udara
mudah lewat. Selama fonasi, pita menutup bersama-sama sehingga aliran udara di
antara keduanya akan menghasilkan getaran (vibrasi). Kuatnya getaran terutama
ditentukan oleh derajat peregangan pita, kerapatan pita satu dengan yang lain dan jika
ada massa pada tepinya. Tepat di sebelah dalam setiap pita terdapat ligamen elastis
yang kuat dan disebut ligamen vokalis. Ligamen ini melekat pada anterior dari
kartilago tiroid yang besar, yaitu kartilago yang menonjol dari permukaan anterior
leher (Adam’s Apple”). Pada bagian posterior, ligamen vokalis melekat pada prosesus
vokalis dari kedua kartilago aritenoid. Kartilago tiroid dan kartilago aritenoid ini
5
kemudian berartikulasi pada bagian bawah dengan kartilago lain, yaitu kartilago
krikoid. (3)
Pita suara dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke depan atau oleh
rotasi posterior dari kartilago aritenoid, yang diaktivasi oleh otot-otot kartilago tiroid
dan kartilago aritenoid menuju kartilago krikoid. Otot-otot yang terletak di dalam pita
suara di sebelah lateral ligamen vokalis, yaitu otot tiroaritenoid, dapat mendorong
kartilago aritenoid ke arah kartilago tiroid dan melonggarkan pita suara. Pemisahan
otot-otot ini juga dapat mengubah bentuk dan massa pada tepi pita suara,
menajamkannya untuk menghasilkan bunyi dengan nada tinggi dan menumpulkannya
untuk suara yang lebih rendah (bass). Selain itu, masih terdapat beberapa rangkaian
lain dari otot laringeal kecil yang terletak di antara kartilago aritenoid dan kartilago
krikoid, yang dapat merotasikan kartilago ini ke arah dalam atau ke arah luar atau
mendorong dasarnya bersama-sama atau memisahkannya, untuk menghasilkan
berbagai konfigurasi pita suara. (3)
Gambar 3. Posisi pita suara (plika vokalis) dalam kondisi bernapas (3)
Gambar 4. Posisi pita suara dalam keadaan fonasi (kiri) dan berbisik (kanan) (3)
6
2.3 Paresis Plika Vokalis
2.3.1 Definisi
Paresis plika vokalis, menurut dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan
(THT), adalah suatu spektrum gangguan gerakan yang dapat bervariasi dari sangat
ringan hingga paralisis yang komplit dan nampak. Bagaimanapun, “paresis” pada
pembahasan ini menyatakan bahwa plika vokalis tetap dapat bergerak, sehingga
membedakannya dari paralisis. Diagnosis paresis yang dimaksudkan adalah yang
diperoleh dari inspeksi visual (endoskopi atau stroboskopi) atau yang dilakukan
dengan pemeriksaan neurodiagnostik (laryngeal electromyography (LEMG)). (4)
Secara sederhana, paresis plika vokalis adalah abduksi atau aduksi inkomplit
salah satu atau kedua plika / korda vokalis. Pada kasus yang berat, paresis menjadi
paralisis, dan didefinisikan sebagai imobilitas komplit salah satu atau kedua plika /
korda, yang bertahan selama 12 bulan atau lebih meskipun telah dilakukan reparasi
operatif. (5)
7
Biasanya metastasis keganasan berasal dari karsinoma tiroid, paru-
paru, esofagus, dan mediastinum.
Trauma Paska intubasi atau trauma penetratif leher
Iatrogenik Operasi tiroidektomi, operasi tulang belakang, atau endartektomi
karotis, penyuntikan toksin botulinum
Penyakit neurologis Miastenia gravis, Charcot-Marie-Tooth, sklerosis multipel, atrofi
sistemik spinoserebelar
Penyakit reumatologi Sarkoidosis, rematik, dan skleroderma
sistemik
8
Pada kasus-kasus adanya keganasan, tumor atau massa dapat secara langsung
menghambat pergerakan plika vokalis, atau tumor yang ada di tempat lain dapat
mengalami metastasis ke nervus vagus atau nervus laringeus rekurens. Sifat
patomekanisme pada kasus ini adalah gangguan secara mekanik, dan merupakan salah
satu kasus tersering paresis plika vokalis unilateral. (6)
Selain itu, intubasi endotrakeal yang dilakukan pada prosedur-prosedur
operatif elektif dapat menyebabkan perubahan patologis pada plika vokalis, yang
menyebabkan trauma dan kerusakan nervus. Tampaknya tekanan cuff berkorelasi
dengan paralisis nervus yang disebabkan oleh penekanan nervus dan neuropraksia.
Kebanyakan kasus paresis plika vokalis akibat intubasi endotrakea menyebabkan
paresis unilateral, dan jarang menyebabkan paresis bilateral. (6)
Tindakan operatif dan iatrogenik juga kerap kali menyebabkan paresis dan
paralisis plika vokalis, dengan mekanisme yang tersering melalui trauma. (6)
Nervus laringeus sebelah kiri lebih rentan mengalami cedera dibandingkan
kanan, karena memiliki jalur yang lebih panjang pada kavitas toraks, dan melewati
lobus kiri karu-karu, dan berlanjut ke nodus limfe mediastinum dan melingkar pada
arkus aortikus. (6) Oleh karena itu, paralisis plika vokalis sebelah kiri 1,4-2,5 kali lipat
lebih sering terjadi dibandingkan yang kanan. (11)
Beberapa penyakit neurologis sistemik dapat menyebabkan paresis plika
vokalis, dengan mekanisme neuromuskular via nervus vagus, nervus laringeus, atau
otot-otot laring. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh
autoantibodi yang menargetkan reseptor asetilkolin paska-sinaptik. Keterlibatan otot-
otot laring menyebabkan paralisis m. abduktor plika vokalis, sehingga terjadi stridor,
disfagia, dan disfonia. (12)
Berbagai kelainan reumatologi sistemik juga dapat menyebabkan paresis plika
vokalis. Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa idiopatik multisistem yang dapat
mempengaruhi organ apapun dalam tubuh, dan paling sering menyerang traktus
respiratorius, dengan predileksi traktus bagian bawah. Kelainan yang disebabkan
memiliki patogenesis inflamatori granulomatosa, dan sering menyebabkan paralisis
plika vokalis unilateral. Pemeriksaan foto polos atau CT scan dada dapat
menunjukkan pembesaran nodus limfe hilus, perihilus, atau karina, yang
menyebabkan kompresi nervus laringeus rekurens dan menyebabkan paralisis plika
vokalis. (13)
9
Pada kelainan autoimun, terjadi peradangan pada banyak jaringan yang
ditandai dengan infiltrasi sel-sel inflamatori. Beberapa kelainan autoimun yang
menyebabkan gangguan paresis plika vokalis adalah artritis rematik, lupus
eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjogren, dan skleroderma. (14)
10
sistem saraf lain, seperti paralisis nervus fasialis, dan keterlibatan nervus optikus.
Nervus vagus, auditori, hipoglosus, trigeminus, aksesorius spinal, dan troklear lebih
jarang terlibat. (13)
2.3.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis paresis plika vokalis harus dengan pengamatan langsung atau
modalitas radiologi yang adekuat. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
1. Laringoskopi / videostroboskopi
Laringoskopi dan stroboskopi merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk
pasien-pasien yang mengeluhkan kesulitan bicara atau komplain lainnya pada laring.
Pada pemeriksaan, paralisis atau paresis yang jelas akan tampak sebagai
hipomobilitas plika vokalis atau insufisiensi glotis. Beberapa hasil lain yang
menunjang pemeriksaan adalah melengkungnya plika vokalis (pada pasien berusia
<50 tahun), penurunan abduksi atau adduksi, kemiringan aksial dari laring, mismatch
ketinggian vertikal, phase lag, dan amplitudo serta frekuensi mukosa yang asimetris.
(4)
Temuan yang paling spesifik dari paresis plika vokalis unilateral adalah: 1)
pelebaran ventrikel laringeus; 2) deviasi medial dan penebalan plika ariepiglotika; dan
3) dilatasi sinus piriformis. Pelebaran ventrikel laringeus adalah hasil pasif dari atrofi
11
korda ipsilateral. Perubahan pada plika ariepiglotika dan sinus piriformis diakibatkan
oleh paralisis m. krikoaritekoid posterior, dan otot ini adalah satu-satunya otot yang
mengabduksikan korda vokalis. Selain temuan-temuan ini, beberapa tanda yang
kurang spesifik lain telah ditemukan pada literatur. Pada potongan koronal, korda
yang mengalami atrofi dapat memiliki penampakan yang meruncing. Pada potongan
aksial, area subglotis daerah yang terkena dapat tanpak penuh karena korda yang
mengalami paralisis menjadi kendor. Seringkali, korda yang mengalami paralisis juga
memiliki posisi paramedian karena tidak mampu berabduksi. Temuan yang dapat
membantu menemukan lokasi kerusakan nervus vagus adalah keterlibatan nervus-
nervus kranialis lainnya. Contohnya, kelainan patologis pada tingkat foramen
jugularis akan berakibat pada keterlibatan nervus glosofaringeus (IX), nervus
aksesorius (XI), dan nervus hipoglosus (XII), yang menyebabkan atrofi m. konstriktor
faringeus (IX), m. sternokleidomastoideus dan trapezius (XI), dan otot lidah (XII). (19)
Gambar 6. Penampakan operatif asimetis plika vokalis pada pasien dengan paresis
plika vokalis kanan yang didiagnosis secara klinis dan elektromiografi (4)
12
paresis. Penyakit-penyakit seperti Guillian-Barre dan miastenia gravis memiliki pola
paresis yang fluktuatif. Hal lain yang perlu diingat adalah pada penyakit seperti
artritis reumatik atau trauma intubasi sebelumnya, trauma atau peradangan yang
terjadi dapat menyebabkan keterbatasan gerakan plika vokalis akibat batasan gerakan
sendi dan bukan batasan saraf. Oleh karena itu, asimetrisitas tidak selalu menandakan
adanya paresis. (4)
Gambar 8. Edema area paska-krikoid pada pasien dengan artritis rematik (14)
Gambar 9. Bamboo nodule pada 1/3 medial plika vokalis kanan pada pasien dengan
artritis rematik (14)
13
pemeriksaan fisik masih tidak jelas, konfirmasi dengan LEMG dapat membantu
menegakkan diagnosis. (4)
14
Tabel 2. Diagnosis diferensial paralisis plika vokalis pada bayi (20)
Kongenital Akuisita
Patologi sistem saraf pusat (malformasi Iatrogenik (ligasi duktus arteriosus yang
Chiari, perdarahan intraventrikular, dll) paten, operasi servikal atau kardiotoraks,
kelahiran yang traumatik)
Sindrom miastenik kongenital Dislokasi aritenoid
Diwariskan dalam keluarga Stenosis glotis posterior
Infeksius
Penyakit jantung kongenital dengan
kardiomegali
2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana paresis plika vokalis bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Pada
kasus-kasus kongenital seperti malformasi Arnold-Chiari, jika terdapat
kegawatdaruratan medis, dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeotomi untuk
memastikan jalan napas tetap paten dengan pungsi ventrikel yang segera. Setelah itu,
harus dilakukan shunt ventrikular untuk mengurangi tekanan intrakranial dalam 48
jam setelah awitan gejala disfungsi otak belakang. Jika prosedur ditunda, dapat
menurunkan kemungkinan kesembuhan paresis plika vokalis. Degenerasi nukleus
ambiguus menyebabkan paralisis plika vokalis yang ireversibel, namun jika tekanan
intrakranial dapat diturunkan tepat waktu, paralisis dapat disembuhkan dengan
sempurna. (8)
Tatalaksana pasien-pasien dengan peradangan yang mendasari, seperti pada
kasus-kasus autoimun atau reumatologi adalah dengan kortikosteroid oral. Penyakit
skleroderma yang merupakan penyakit autoimun sistemik diobati dengan obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, dan obat-obatan imunosupresif. (14)
Pada pasien dengan keganasan, tatalaksananya adalah reseksi massa, jika dapat
dilakukan.
Beberapa pendekatan tatalaksana yang dapat dilakukan untuk paresis plika
vokalis bilateral adalah sebagai berikut:
1. Trakeostomi
Trakeostomi adalah intervensi operatif paling sering untuk paresis bilateral, namun
sekarang jarang dilakukan karena menciptakan luka terbuka yang perlu perawatan
jangka panjang dan menciptakan masalah psikososial. Studi-studi terbaru
menunjukkan bahwa trakeostomi lebih kurang efektif secara biaya dibandingkan
15
teknik endoskopi (kordotomi dan aritenoidektomi). Bagaimanapun, trakeostomi masih
merupakan tatalaksana awal untuk keadaan darurat jangka pendek. (21)
2. Artenoidektomi
Aritenoidektomi adalah prosedur operatif permanen dan ireversibel yang memperluas
inlet glotis pada aksis transversalnya, yang menciptakan jalan napas yang lebih luas.
Seringkali, aritenoidektomi dikombinasikan dengan reseksi parsial plika vokalis
(aritenoid kordektomi). (21)
3. Kordotomi
Kordotomi juga merupakan pendekatan operatif yang ireversibel, yang bertujuan
memperluas jalan napas pada tingkat glotis dengan eksisi jaringan. Kordotomi
berbeda dengan aritenoidektomi, karena kordotomi adalah reseksi pada jaringan lunak
laring, seperti bagian dari plika vokalis, ligamentum vokale, atau m. tiroaritenoid,
sedangkan aritenoidektomi berfokus pada ablasi kartilago aritenoid. Akhir-akhir ini,
kordotomi endoskopi dengan lasr menjadi intervensi terapi pilihan untuk tatalaksana
jangka panjang paresis plika vokalis bilateral. Kordotomi juga lebih tidak destruktif,
dan pasien memiliki risiko yang lebih kecil mengalami aspirasi. Kordotomi bahkan
dapat menjadi alternatif untuk trakeostomi, meskipun pada awal saat diagnosis. (21)
5. Reinervasi
Anastomosis nervus laringeus rekurens dapat dilakukan pada kasus-kasus yang
bermasalah pada m. abduktor, dan nervus frenikus adalah contoh sumber suplai
nervus yang baik karena mengandung komposisi motoneuron yang homogen dan aktif
selama inspirasi. Prosedur yang paling sering digunakan adalah transplantasi
16
pedikulus nervus-otot yang aktif ke m. abduktor, yang diambil dari muskulus
aksesorius pernapasan (omohyoid atau sternohyoid). (21)
7. Toksin Botulinum
Toksin botulinum diproduksi Clostridium botulinum, dengan 7 tipe toksin yang
berbeda secara serologis (A-G). Tipe A dan B adalah yang paling sering digunakan
secara klinis. Toksin ini mencegah pelepasan asetilkolin dari akson terminal dan
mencegah paralisis flaksid. (21)
8. Terapi Gen
Terapi ini berfokus pada memberikan gen pada neuron yang mengalami cedera
dan/atau otot yang mengalami denervasi, sehingga mempercepat pertumbuhan neuron
yang rusak dan memperbaharui otot laring. Terapi ini tampak sangat menjanjikan,
namun kendalanya adalah efeknya hampir nihil untuk mencegah sinkinesis. Lebih
banyak studi diperlukan untuk meminimalisir kerusakan neuron akibat virus ke sistem
saraf pusat, namun teknik ini sejauh ini berguna untuk paresis akibat penyakit-
penyakit neurodegeneratif. (21)
17
2.3.8 Komplikasi dan Prognosis
Paresis plika vokalis yang ringan biasanya tidak menyebabkan komplikasi lain selain
suara yang serak atau hilang seiring berjalannya hari. Paresis plika vokalis yang berat
dapat berujung pada obstruksi jalan napas, aspirasi yang berujung pada pneumonia
aspirasi, dan hingga kematian. Apapun penyebabnya, paresis plika vokalis harus
diselidiki dan ditatalaksana dengan penuh untuk menghindari komplikasi sistemik
dari penyakit-penyakit yang biasa mendasarinya. (6)
Prognosis dengan elektromiografi laring dan awitan waktu merupakan
prediktor yang signifikan untuk luaran klinis pasien dengan paresis plika vokalis. (4)
Prognosis secara spesifik bergantung pada penyakit yang mendasarinya, dan diagnosis
yang cepat serta tatalaksana yang adekuat hampir selalu dapat mengembalikan fungsi
plika vokalis seperti sedia kala.
18
BAB 3
KESIMPULAN
Paresis plika vokalis adalah suatu kondisi klinis yang unik yang memiliki spektrum
yang sangat beragam, dari hampir normal hingga tidak ada pergerakan plika vokalis
sama sekali. Pada presentasi klinis yang ekstrim, dalam bentuk paralisis, kondisi ini
mudah diidentifikasi, namun pada kondisi ringannya, paresis kemungkinan dapat
tidak dikenali. Dalam menilai pasien dengan suspek paresis, penting untuk melihat
fungsi laring secara langsung, untuk menilai kondisi yang mendasarinya. Anatomi
kartilago yang asimetris juga dapat menyebabkan asimetri posisi atau pergerakan
plika vokalis sehingga dapat disalah diagnosis sebagai paresis. Paresis dapat timbul
akibat berbagai penyakit akut, kronik, sistemik, dan neurologis, sehingga diagnosis
bandingnya luas. Waktu awitan gejala dan penyebab yang mendasari terkadang dapat
membantu memprediksikan perjalanan penyakit ini. Pada pasien-pasien dengan
awitan yang baru, LEMG yang digunakan dengan baik dapat memberikan informasi
prognostik yang sangat berguna.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Stager SV. Vocal fold paresis: etiology, clinical diagnosis and clinical
management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck surg. 2014 Des; 22(6): 444-9.
2. Wiegand S, Teymoortash A, Hanschmann H. Endo-extralaryngeal laterofixation
of the vocal folds in patients with bilateral vocal fold immobility. In Vivo. 2017
Nov-Des; 31(6): 1159-62.
3. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy: Head, Neck and
Neuroanatomy. Ed 15. Munich: Elsevier, 2011.
4. Syamal MN, Benninger MS. Vocal cord paresis: a review of clinical presentation,
differential diagnosis, and prognostic indicators. Curr Opin Otolaryngol Head
Neck Surg. 2016 Jun; 24(3): 197-202.
5. Kovesi T, Porcaro F, Petreschi F, Trozzi M, Bottero S, Cutrera R. Vocal cord
paralysis appears to be an acquired lesion in children with repaired esophageal
atresia/tracheoesophageal fistula. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2018 Sep; 112:
45-7.
6. Toutounchi SJS, Eydi M, Golzari SEJ, Ghaffari MR, Parvizian N. Vocal cord
paralysis and its etiologies: a prospective study. J Cardiovasc Thorac Res. 2014;
6(1): 47-50.
7. Prabhakar H, Ali Z, Rath GP. Recurrent stridor due to raised intracranial pressure
after meningitic hydrocephalus. J Neurosurg Anesthesiol. 2007 Jan; 19(1): 66-7.
8. Arora N, Juneja R, Meher R, Bhargava EK. Bilateral vocal cord palsy with Arnold
Chiari malformation: a rare case series. J Clin Diagn Res. 2016 Sep; 10(9):
MR01-3.
9. Oestreicher-Kedem Y, DeRowe A, Nagar H, Fishman G, Ben-Ari J. Vocal fold
paralysis in infants with tracheoesophageal fistula. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2008 Des; 117(12): 896-901.
10. Bhatt NK, Pipkorn P, Paniello RC. Association between upper respiratory
infection and idiopathic unilateral vocal fold paralysis. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2018 Okt; 127(10): 667-71.
11. Furukawa M, Furukawa MK, Ooishi K. Statistical analysis of malignant tumors
detected as the cause of vocal cord paralysis. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec.
1994 Mei-Jun; 56(3): 161-5.
20
12. Sethi PK, Batra A, Sethi NK, Torgovnick J, Arsura E. Vocal cord palsy: An
uncommon presenting feature of myasthenia gravis. Ann Indian Acad Neurol.
2011 Jan-Mar; 14(1): 42-3.
13. Coffey CS, Vallejo SL, Farrar EK, Judson MA, Halstead LA. Sarcoidosis
presenting as bilateral vocal cord paralysis from bilateral compression of the
recurrent laryngeal nerves from thoracic adenopathy. J Voice. 2009 sep; 23(5):
631-4.
14. Iacovou E, Vlastarakos PV, Nikolopoulos TP. Laryngeal involvement in
connective tissue disorders. Is it important for patient management? Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2014 Jan; 66(Suppl 1): 22-9.
15. Kikura M, Suzuki K, Itagaki T, Takada T, Sato S. Age and comorbidity as risk
factors for vocal cord paralysis associated with tracheal intubation. Br J Anaesth.
2007 Apr; 98(4): 524-30.
16. Saito Y, Takeuchi H, Fukuda K, Suda K, Nakamura R, Wada N, et al. Size of
recurrent laryngeal nerve as a new risk factor for postoperative vocal cord
paralysis. Dis Esophagus. 2018 Jun 1; 31(6).
17. Al-Khtoum N, Shawakfeh N, Al-Safadi E, Al-Momani O, Hamasha K. Acquired
unilateral vocal fold paralysis: retrospective analysis of a single institutional
experience. N Am J Med Sci. 2013 Des; 5(12): 699-702.
18. Sasaki CT. Vocal cord polyps, nodules, and granulomas. [Internet] Dalam: Merck
Manual. Diakses 2022 Juli 15. Diakses dari:
https://www.merckmanuals.com/home/ear,-nose,-and-throat-disorders/mouth-and-
throat-disorders/vocal-cord-polyps,-nodules,-and-granulomas.
19. Dankbaar JW, Pameijer FA. Vocal cord paralysis: anatomy, imaging and
pathology. Insights Imaging. 2014 Des; 5(6): 743-51.
20. Wong JP, Arivudainambi VC, Venu I, Etoom Y, Moodie RG, Wong PD. A 6-
week-old girl with weak cry and cardiac murmur. Paediatr Child Health. 2017 Jul;
22(4): 177-8.
21. Li Y, Garrett G, Zealear D. Current treatment options for bilateral vocal fold
paralysis: a state-of-the-art review. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2017 Sep; 10(3):
203-12.
21