Kajian Public 160
Kajian Public 160
Kajian Public 160
A. PENDAHULUAN
1. Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(untuk selanjutnya disebut dengan UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan tujuan negara
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melaksanakan pemenuhan dan perlindungan hak-
hak rakyat Indonesia dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menjamin kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat atau informasi melalui saluran
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia termasuk melalui saluran
informasi dan transaksi elektronik (ITE). Selain itu negara juga bertanggung jawab terhadap
hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
2. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir telah
menimbulkan dinamika ditengah-tengah masyarakat, oleh karenanya hal tersebut
membutuhkan pengelolaan dan pengaturan yang secara khusus guna mengatasi permasalahan
di bidang ITE. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik diundangkan pada tanggal 21 April 2008 dan kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 25 November 2016 (untuk
selanjutnya disebut dengan UU ITE) dalam pelaksanaannya berkembang sangat dinamis dan
menemui banyak kendala dan permasalahan yang tidak mampu diimbangi dengan pengaturan
yang memadai karena pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE diatur mengenai kewenangan Pemerintah
dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan ITE. Terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah
C. KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan yang diangkat dalam Buku ini dan berdasarkan kajian dan evaluasi
terhadap data dan informasi yang diperoleh melalui metode yuridis normatif dan yuridis empiris,
maka dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU ITE tidak cukup memadai digunakan
sebagai dasar hukum penyelenggaraan pengelolaan ITE saat ini dan yang akan datang. Selain itu
Bahwa Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE jo. Pasal 44 huruf b UU ITE
telah mengatur informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Ketentuan mengenai alat bukti elektronik sejatinya juga telah diakomodir di dalam
undang-undang lain sebagai alat bukti yang sah. Permasalahan terkait dengan alat
bukti elektronik adalah dimana Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 44 huruf b UU
ITE belum mengatur dengan rinci terkait perluasan dari alat bukti dimana informasi
dan/atau dokumen elektronik dapat ditafsirkan sebagai perluasan alat bukti, tetapi
juga dapat ditafsirkan sebagai penambahan jenis alat bukti. Keduanya memiliki
makna penafsiran yang berbeda terkait penggunaan alat bukti elektronik dalam proses
penegakan hukum.
Sertifikasi keandalan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU ITE dan
Pasal 68 PP 71/2019 dimana salah satu fungsi sertifikat keandalan adalah untuk
memberikan jaminan kepada konsumen bahwa transaksi elektronik tersebut aman untuk
diakses. Namun hingga saat ini, sertifikasi keandalan belum diterapkan hal ini disebabkan
karena LSK selaku lembaga yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat keandalan dan
Bahwa Pasal 26 ayat (3) UU ITE menjamin hak untuk dilupakan (right to be
forgotten) yang tata cara penghapusannya diatur dalam PP 71/2019 melalui penghapusan
(right to erasure) dan pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting). Pasal 26
ayat (3) UU ITE mengatur lingkup yang lebih luas daripada penghapusan (right to erasure)
yaitu dengan cara penghapusan dari daftar mesin pencari (right to delisting) melalui
penetapan pengadilan, termasuk rekam jejak di masa lalu namun tidak relevan dengan
kejadian saat ini. Right to delisting berpotensi menimbulkan sengketa karena
bersinggungan dengan kemerdekaan pers yang dijamin oleh Pasal 4 UU Pers.
Terhadap frasa “tidak relevan” yang tidak diberikan penjelasan apapun berpotensi
menimbulkan multitafsir baik bagi APH maupun masyarakat. Pengecualian untuk
mempertahankan data pribadi tetap diperlukan terutama untuk rekam jejak di masa lalu
yang berkaitan dengan kejahatan yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak
korban. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak
relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang
tidak dapat dimintakan untuk dihapuskan.
Perbuatan pidana judi online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE memiliki
persinggungan dengan unsur atau delik perjudian yang diatur dalam Pasal 303 KUHP.
Namun, UU ITE memberikan ancaman sanksi pidana penjara, yang lebih rendah dari
ancaman pidana perjudian yang diatur dalam Pasal 303 KUHP. Jika dilihat dari akibat
yang ditimbulkan dari perjudian, maka perjudian online memiliki dampak moral hazard
yang lebih berat dibandingkan judi konvensional. Oleh karena itu ketentuan Pasal 27 ayat
(2) UU ITE perlu dilakukan harmonisasi dengan Pasal 303 KUHP.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai
perbuatan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam ranah ITE. Pada
implementasinya ketentuan Pasal tersebut menimbulkan kritik dan kontroversi karena sifat
multitafsir rumusan norma penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga berpotensi
menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Permasalahan utama dari ketentuan
Pasal ini dikarenakan tidak jelasnya kualifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama
baik.
Dari data yang dihimpun lembaga Southeast Asia of Expression Network pada
tahun 2020, mayoritas pengaduan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik berasal
dari orang-orang dengan status sosial tinggi yang mengadukan orang dengan latar
belakang status sosial lebih rendah. Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah
mengeluarkan SKB UU ITE sebagai pedoman pelaksana yang bertujuan menjembatani
permasalahan norma penghinaan dan pencemaran nama baik dengan penegakan hukum di
lapangan. Meskipun demikian, dari aspek yuridis pemberlakuan SKB UU ITE tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat karena bukan termasuk peraturan perundang-
undangan. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai klasifikasi korban
penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana dimuat dalam SKB UU ITE.
Ketentuan tindak pidana “pemerasan” dan “pengancaman” dalam Pasal 27 ayat (4)
UU ITE pada intinya menggabungkan dua norma KUHP yang berbeda yaitu tindak pidana
“pemerasan” Pasal 338 KUHP dan “pengancaman” Pasal 339 KUHP. Implikasi
penggabungan tersebut adalah adanya delik biasa dan delik aduan yang termuat dalam satu
ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE, yang mengakibatkan multitafsir bagi APH maupun
bagi masyarakat.
Unsur “individu” sebagai objek ujaran kebencian (hate speech) telah mengaburkan
dimensi ruang konseptual dari Pasal 156-Pasal 157 KUHP yang mengatur bahwa ujaran
kebencian (hate speech) hanya ditujukan kepada suatu atau beberapa golongan tertentu.
Selain itu, ujaran kebencian (hate speech) yang ditujukan kepada individu sudah diatur
dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.
Unsur “antargolongan” ditempatkan dalam posisi yang setara dengan unsur suku,
agama, dan ras, namun tidak diberikan penjelasan sehingga bersifat multitafsir. Putusan
MK Nomor 76/PUU-XV/2017 menyatakan “antargolongan” adalah konstitusional tetapi
disarankan kepada pembentuk undang-undang untuk mengganti kosakata lain yang lebih
tepat dengan terminologi hukum sesuai dengan konteks keberlakuannya.
Ancaman pidana Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur
ketentuan pidana yang bersifat kumulatif dan alternatif, sedangkan Pasal 156-Pasal 157
KUHP mengatur ketentuan pidana yang lebih ringan dan bersifat alternatif. Adanya
perbedaan ancaman pidana dalam kedua ketentuan tersebut dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dan multitafsir diantara APH maupun masyarakat.
SKB UU ITE menyepakati pedoman implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar
memiliki kesamaan paham antar penegak hukum dan meminimalisir hal-hal yang
multitafsir dalam UU ITE. SE Kapolri No. SE/6/X/2015 yang telah dikeluarkan sebagai
bentuk pedoman penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang memuat beberapa
ketentuan baru yang tidak sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seperti penambahan
objek ujaran kebencian, bentuk-bentuk ujaran kebencian, serta dampak dari ujaran
kebencian. Adanya penambahan unsur diluar Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini berpotensi
menimbulkan disharmoni secara substansi, multitafsir dalam penegakan hukum oleh APH,
dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, sehingga diperlukan revisi atas Pasal
28 ayat (2) UU ITE.
Bahwa Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah mengatur mengenai kewenangan
Pemerintah dalam memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan melanggar hukum guna melindungi kepentingan umum serta bertujuan agar
mencegah penyalahgunaan informasi dan/atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut
kemudian diteruskan dengan terbitnya PP 71/2019 yang secara substansi mengatur
mengenai batasan, kategori serta klasifikasi mengenai informasi dan/atau dokumen
elektronik yang mengatur muatan melanggar hukum. Bahwa maksud dan tujuan yang
diatur didalam Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) juga sejalan dengan Putusan MK Nomor
81/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan
bahwa ketentuan mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses internet
diperlukan melihat bahwa perkembangan teknologi yang sangat cepat, luas dan masif.
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE diatur mengenai kewenangan Pemerintah
dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan ITE. Terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah
yaitu Kominfo yang dibantu oleh Bareskrim Polri yang dilaksanakan melalui pembentukan
satuan kerja tersendiri. Untuk menjalankan tugasnya, Kapolri menerbitkan SE/2/11/2021
tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih,
Sehat, dan Produktif. SE tersebut dikeluarkan menanggapi permintaan Presiden agar Polri
lebih selektif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ketetapan SE ini berlaku
untuk setiap kasus yang sedang ditangani maupun kasus yang berpotensi muncul di masa
mendatang. SE ini kemudian diperkuat dengan adanya ST No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021.
Namun koordinasi antar Pemerintah yang berwenang terkait pengawasan ITE selama
ini belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya transaksi
elektronik berupa investasi atau pinjaman online yang tidak berizin atau tidak tersertifikasi
namun tetap bisa beroperasi dan masih maraknya kasus tindak pidana penipuan online yang
merugikan konsumen seperti arisan online atau pinjaman online. Dalam mengatasi
permasalahan dalam implementasi Pasal 40 ayat (2) UU ITE maka diperlukan penguatan dari
sisi koordinasi antara instansi terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan
dan pencegahan agar kasus penipuan online tidak terjadi lagi.
Ketentuan Pasal 16 UU ITE mengatur tentang syarat minimum setiap PSE dalam
mengoperasikan sistem elektronik. Dalam memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut
selama ini masih ditemukan beberapa hambatan yang terjadi, terutama mengenai sarana
dan prasarana yang belum memadai dalam melaksanakan perlindungan informasi
D. REKOMENDASI
a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE, perlu diatur lebih rinci terkait dengan
kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai perluasan dari alat bukti serta
hukum acaranya dalam rangka penegakan hukum.
b. Pasal 10 UU ITE, perlu mendorong pembentukan LSK karena memiliki peranan penting
dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance
technology. Selain itu, perlu mendorong Kominfo dan instansi terkait untuk melakukan
kerjasama dengan pihak swasta yang berkompeten dalam memberikan sertifikasi
keandalan kepada para pelaku usaha.
c. Pasal 26 ayat (3) UU ITE, perlu diberikan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data
“tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu
yang tidak dapat dimintakan penghapusan.
d. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, perlu diberikan kejelasan rumusan frasa
“melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih atau disharmoni dengan Pasal 281-Pasal
282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi.
e. Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 303 KUHP,
khususnya pada ketentuan maksimum ancaman pidana penjara.
f. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE perlu diberikan kejelasan rumusan
mengenai kualifikasi korban, dimana substansi SKB UU ITE yang relevan dapat menjadi
acuan dalam revisi UU ITE.
g. Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 368 dan
Pasal 369 KUHP terkait jenis delik biasa dan jenis delik aduan.
h. Pasal 28 ayat (2) UU ITE, perlu dihapuskan unsur “individu” karena sudah diatur dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dan perlu diberikan kejelasan rumusan unsur “antargolongan”
agar tidak multitafsir, serta perlunya penertiban peraturan teknis seperti SKB UU ITE dan
SE Kapolri No. SE/6/X/2015 agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum.
i. Pasal 29 UU ITE perlu dilakukan revisi yaitu dengan penambahan norma maksud
dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan
Pasal 335 KUHP.
j. Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE perlu ditegaskan kewenangan Pemerintah hanya dalam
memutus akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
melanggar hukum (moderasi konten).
k. Perlu mengangkat norma dalam SKB UU ITE menjadi materi perubahan UU ITE.
b. Perlu dibuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan
Pemerintah.
c. Perlu peningkatan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah
SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat
internet.
a. Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh oleh DPR, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program
pemerintah terkait penyelenggaraan ITE.