MODUL 1.sitipurani

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

MODUL 1

PEMILIHAN MEDIA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

Siti purani

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam
berinteraksi, manusia melakukan komunikasi. Sehingga komunikasi memiliki peran penting
dalam hidup manusia sebagai sarana untuk mendapatkan sebuah informasi atau untuk meraih
tujuan lainnya. Dalam berkomunikasi, ada beberapa jenis medium komunikasi atau
communication platform yang dapat digunakan oleh manusia, baik dalam kehidupan sehari-
hari maupun untuk keperluan politik.

Medium komunikasi ini dapat diterapkan sesuai dengan tujuan serta fungsi masing-
masing. Memilih medium komuniksi ini penting, karena setiap medium komunikasi memiliki
kekuatan dan kelemahan yang berbeda dan perlu disesuaikan dengan fungsi masing-masing.
Harold Lasswell (1948), menurut Laswell komunikasi merupakan salah satu upaya untuk
dapat menjawab sebuah pertanyaan yaitu apa, siapa melalui saluran apa, pada siapa serta
akan memberikan dampak apa.

Leslie J Briggs, menurut Briggs, media komunikasi adalah sebuah alat yang memiliki
bentuk fisik untuk dapat digunakan dalam menyampaikan materi. Media komunikasi menurut
Briggs dapat berupa televisi, komputer, gambar, video, grafik dan lain sebagainya. Ada 2
macam media komunikasi yaitu : Media komunikasi verbal merupakan pesan yang
disampaikan dengan menggunakan suara maupun menyampaikan pesan yang diucapkan,
serta Media komunikasi nonverbal merupakan cara penyampaian pesan tanpa perlu
menyampaikan pesan dengan mengeluarkan suara maupun dalam bentuk pesan tertulis
sekalipun. Ada beberapa bentuk dari komunikasi nonverbal, yaitu dapat berupa bahasa tubuh,
ekspresi wajah, sentuhan, gerakan tubuh, penampilan, sikap dan lain sebagainya

Penulis berfokus terhadap menelitian politik yang yang sangat erat tentang komunikasi.
(2016) oleh Thomas Tokan Pureklolon, seorang pakar politik, Maswadi Rauf mendefinisikan
komunikasi politik sebagai berikut: “Komunikasi politik adalah objek kajian ilmu politik
karena pesan yang diungkapkan dalam proses komunikasi bercirikan politik, yakni berkaitan

pemilihan media dalam komunikasi politik 1


dengan kekuasaan politik negara, pemerintahan, dan juga aktivitas komunikator dalam
kedudukannya sebagai pelaku kegiatan politik.”

Menurut Nahrul Hayat dalam buku Komunikasi Politik (2019), pesan dalam
komunikasi politik ada dan berlangsung untuk mengikuti perubahan serta perkembangan
informasi yang diinginkan masyarakat. Komunikator (aktor politik) dan partisipan politiknya
dapat mengerti dengan jelas isi, tujuan, dan keinginan pesan politik yang disampaikan
tersebut bertujuan memengaruhi serta membentuk opini publik. Henry Subiakto dan
Rachmah Ida dalam buku Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi (2012) menjelaskan
bahwa suatu komunikasi yang tampaknya pesan atau isinya bukan tentang politik, namun
secara potensial dan aktual dapat berakibat atau mempunyai konsekuensi dalam suatu fungsi
sistem politik, bisa dikatakan bahwa itu adalah komunikasi politik.

Pada proses komunikasi politik, tentunya media sangat diperlukan untuk mendukung
dan mempercepat penyampaian pesan. Dengan adanya media, masyarakat dapat memperoleh
berbagai informasi secara mudah, cepat, dan praktis. Media politik dalam komunikasi politik
dapat memperngaruhi cara manusia untuk berpendapat maupun berperilaku. Media hadir
untuk menyampaikan pesan yang beraneka ragam dan aktual tentang sosial dan politik.
Hadirnya media seperti surat kabar, radio, hingga televisi menjadi suatu sarana untuk
mengikuti perkembangan politik yang tengah terjadi maupun yang telah terjadi. Media hadir
sebagai alat penyalur berbagai pesan baik pesan politik maupun non-politik bagi masyarakat.
Televisi misalnya, televisi menjadi media yang tak kalah populer dengan media lain. Acara-
acara televisi juga tak jauh dari konten-konten politik. Apalagi ketika mendekati masa
pemilu, baik pilpres, pileg, maupun pilkada. Televisi menjadi panggung acara debat politik
jelang pemilu.

Penggunaan media dalam komunikasi politik juga menjadi upaya membentuk citra diri
para politikus dan citra partai politik untuk memperoleh suara dan dukungan dari masyarakat.
Media merupakan panggung yang memiliki pengaruh kuat terutama dalam membangun opini
publik. Komunikasi politik merupakan hal yang sangat lekat dengan media. Media menjadi
saluran untuk mengabarkan berbagai hal yang berbau politik. Media juga menjadi panggung
untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat. Perkembangan teknologi, informasi,
dan komunikasi mendorong adanya media yang lebih canggih dan praktis. Seperti dengan
adanya internet sebagai media informasi. Internet memudahkan masyarakat untuk mengakses
informasi tanpa batas jarak maupun waktu. Maka dari itu, Pada dasarnya politik

pemilihan media dalam komunikasi politik 2


membutuhkan media untuk menjadi perantara dalam penyampaian pesan politik kepada
khalayak atau masyarakat. Sehingga dengan menggunakan media sebagai perantara
diharapkan pesan politik yang ditujukan kepada masyarakat lebih mudah diakses dan
tersampaikan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.maka itu, modul ini bisa menjadi
salah satu referensi dalam menentukan pilihan media terhadap komunikasi politik.

Kegiatan 1 : mengurai mengenai sistem komunikasi politik terhadap penggunaan media


komunikasi yang tepat
Kegiatan 2 : mengurai dampak pemilihan komunikasi politik terhadap pilihan media yang
tepat.
Kegiatan 3 : mengurai mengenai komunikasi politik dalam bingkai komunikasi visual

Kegiatan 1
sistem komunikasi politik terhadap penggunaan media (media modern maupun
tradisional) komunikasi yang tepat
Media Sosial Bagi sebagian besar anggota platform media sosial publik seperti
Facebook, MySpace, Twitter, YouTube, dan Wikipedia, hanya untuk beberapa nama,
bukanlah hal baru dalam menggunakan platform komunikasi media baru itu untuk
berkomunikasi dan menjaga persahabatan dengan individu lain (Bogost, 2017). Komunikasi
tersebut tidak terbatas pada lingkaran teman mereka sendiri tetapi juga untuk pengguna media
sosial yang lebih luas di komunitas yang berbeda, waktu yang berbeda, dan agenda yang
berbeda. Meskipun media sosial telah mendapatkan popularitasnya di kalangan anggota
publik dan sebagian besar juga dibahas dalam komunikasi dan sastra politik, namun tidak ada
definisi tunggal mengenai media sosial (Effing, Van Hillegersberg, & Huibers, 2011).

Namun, sebagian besar akademisi media komunikasi setuju bahwa media sosial dapat
didefinisikan sebagai sekelompok aplikasi berbasis Internet yang dibangun di atas fondasi
ideologis dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan pembuatan dan pertukaran User
Generated Content (Kaplan & Haenlein, 2010). Berdasarkan definisi itu, dapat disimpulkan
bahwa media sosial sama sekali bukan platform komunikasi baru, namun merupakan
pengembangan web 2.0 dan dilengkapi dengan fitur yang memungkinkan penggunanya untuk
secara mandiri dan mudah menghasilkan, menyebarluaskan, mendiskusikan, dan bertukar
berbagai informasi dengan pengguna lain. Karakteristik unik ini telah membuat platform
media sosial menjadi begitu populer di kalangan pengguna komunikasi media.

pemilihan media dalam komunikasi politik 3


Media Sosial dan Media Tradisional Meskipun media sosial dan media tradisional
memiliki peran balance terhadap memediasi informasi, namun sebenarnya hal ini adalah dua
platform media yang berbeda. Kedua platform yang mempunyai karakteristik
berlolakbelakang yang membedakannya antara satu terhadap yang lain (Gainous & Wagner,
2013). Ada tiga perbedaan penting dari media sosial dan media tradisional yaitu pada model
komunikasi, liputan media, dan produsen konten. Perbandingan pada Model Komunikasi,
komunikasi media sosial merupakan bentuk komunikasi massa dalam dua arah, sedangkan
komunikasi media tradisional merupakan bentuk komunikasi massa pada satu arah (Gainous
& Wagner, 2013). Di proses dalam melakukan komunikasi, media sosial memungkinkan
komunikasi impact antara pengguna pada maksud kedua yang aktif ketika menggunakan
sebuah media. Hal tesebut berbeda dengan komunikasi media tradisional yang mana
komunikasi aktif tidak ada karena dari keduanya penggunanya aktif sementara yang lain tidak
aktif (Gainous & Wagner, 2013). Dalam kampanye politik media tradisiona contohnya, pesan
dibuat oleh kandidat pemilu, disebarluaskan melalui media massa kepada konstituen serta
pemilih mereka dan hampir setiap waktu politisi telah menjadi pembuat informasi dan
audiens adalah merupakan audiens pasif. maka, ini berbeda dengan kampanye media sosial
yang mana politikus serta calon pemilih bisa mendiskusikan, menyebarluaskan, dan
menghasilkan pesan tersebut.

Berbeda hal nya dengan Liputan Media, berkenaan terhadap liputan media, media
sosial bisa meliput audiens yang luas melebihi sebelumnya dibandingkan dengan media
tradisional. Komunikasi media sosial terjadi pada lingkungan yang memiliki keterbukaan,
membuatnya pada informasi yang dianggap sebagai sesuatu yang menarik atau terkesan
untuk didistribusikan kepada audiens yang lebih luas (Gainous & Wagner, 2013). Hal ini
berbeda dengan komunikasi media sistem tradisional yang mana komunikasi dibatasi dari
jarak dan kondisi geografi. Surat kabar serta distribusi media cetak lainnya terbatas hanya
pada area lingkungan yang bisa dijangkau oleh subjek penelitian update serta sangat
tergantung pada distribusi yang besifat manual. Perbandingan teradap Produsen Konten,
meskipun ada pembagian yang jelas dari produsen konten serta pengguna pada media
tradisional.

Pada produser dalam informasi, hanya sementara audiens merupakan user pasif dalam
informasi (Klinger & Svensson, 2015) pada platform media sosial, divisi semacam itu
merupakan sesuatu yang tidak jelas, karena kosongnya pembagian yang jelas antara kreator
ataupun pengguna informasi. Dari Tidak adanya pembuat dan invormative user yang pasti di
pemilihan media dalam komunikasi politik 4
media sosial, dan semuanya memainkan peran yang selaras dengan pencipta serta pengguna
informasi yang dikirimkan dengan menggunakan media sosial.

Perkembangan teknologi komunikasi sudah merambah di kehidupan manusia. Salah


satu bentuk perkembangan dalam teknologi yang bersifat komunikasi adalah media baru (new
media) yang kemudian memunculkan media sosial. Dalam Dunia politisi juga tak jauh dari
pengaruh perkembangan media baru dan media sosial. Media sosial ibarat dua sisi mata uang
pada aktor-aktor politisi. Di satu sisi kesuksesan memanfaatkan media sosial yang bisa
memungkinkan aktor politik mendapatkan suatu dukungan positif. Tapi pada hal lain
kegagalan memanfaatkan media sosial yang berisiko merusak citra yang dia miliki. Tulisan
ini membahas mengenai tantangan seta peluang terhadap media sosial dari para aktor politisi.
Pemaparan penggunaan media sosial dalam komunikasi politik menjadi bagian pertama dan
penting dari penulisan ini. Pada Bagian kedua membahas mengenai tantangan yang dihadapi
para politisi di era 2.0. Bagian ketiga memaparkan tawaran peluang terhadap politisi dalam
pemanfaatan suatu media sosial. Ada pun bagian keempat yang menjadi bagian terakhir
merupakan kesimpulan yang berisi apa yang sebaiknya dilakukan (aksi) oleh para aktor
politik untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan peluang yang ditawarkan dari media
sosial.

Perkembangan teknologi komunikasi telah menjalar pada kehidupan umat manusia.


Salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi adalah media baru (new media) yang
kemudian melahirkan suatu media sosial (social media). Kehadiran media sosial banyak
mempengaruhi bidang politik. Studi di Amerika Serikat menunjukkan media sosial
merupakan alat kampanye serta berpolitik yang efektif. Sebelum era media sosial muncul,
politisi di Negeri Paman Sam sudah memanfaatkan internet guna sebagai media berkampanye
nya. (Chavez, 2012; Stietglitz & Dang Xuan, 2012).

Silih Agung Wasesa berpendapat, kehadiran media baru berbasis digital membuat
informasi politisi bukan hanya semakin masif,tetapi juga terdistribusi dengan cepat serta
memiliki bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di
sejumlah negara memanfaatkan lahan media sosial terhadap proses kampanye politik. Selain
itu media baru mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya murah (“Aktor Politik
Wajib Manfaatkan Media Sosial”, ugm.ac.id, 7 Juni 2013). Lalu hal ini yang menjadi Partai
politik di Indonesia sudah banyak yang memiliki akun Facebook, Twitter, dan YouTube, di
samping website resmi parpol (“Parpol Serius Garap Media Sosial”, Kompas.com, 29 Mei

pemilihan media dalam komunikasi politik 5


2013). Sementara masing-masing dari politisi memiliki akun pribadi.work proggres,
pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan isu terkini, atau pembicaraan-pembicaraan
yang sifatnya ringan, menanggapi mention dari masyarakat, adalah sesuatu yang umumnya
tercantum pada linimasa Twitter tokoh politisi tersebut. Media sosial memang menawarkan
peluang bagi para aktor politik untuk dapat menjaring pemilih, berinteraksi secara langsung
sekaligus dengan publik.

Membentuk perbincangan yang “akrab” dengan masyarakat publik. Tetapi di sisi lain,
media sosial juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan lelucon bahkan caci maki dari
masyarakat publik. Sebuah pertanyaan kritis diajukan oleh Momoc (2011) terkait manfaat
media sosial pada ranah politik

Media sosial masih belum dimanfaatkan secara masif oleh para aktor politik di
Indonesia. Tantangan pertama merupakan hilangnya batas-batas dalam status sosial di dunia
media sosial. Menurut Coutts & Gruman (2005: 254) dalam komunikasi yang termediasi
dengan sistem komputer, maka para peserta komunikasi akan mendapatkan kesetaraan dalam
partisipasi yang lebih luas daripada berjumpa langsung. Pendapat tersebut memang mengacu
pada aktivitas komunikasi pada sistem organisasi. Namun relevan apabila dibawa ke dalam
konteks komunikasi politik pada zaman media sosial. Dengan adanya media sosial, maka
para aktor politik pun harus menyadari meskipun dia secara nyata merupakan pejabat tinggi
politik yang berkuasa, tetapi posisinya di media sosial akan setara dengan pengguna lain.
Maka dari itu para aktor politik harus bersiap dalam menghadapi kritik (bahkan beberapa di
antaranya cenderung pedas) user lain. Media sosial merupakan ranah raya, dan praktis
sehingga tidak memiliki peraturan di dalamnya (Fitch, 2009). Apabila tantangan itu tidak
dihadapi dengan bijak, maka puncaknya politisi tersebut justru malah menjadi bahan cibiran
di dunia maya. Cukup marak diberitakan bagaimana Ibu Negara, Ibu Ani Yudhoyono,
beberapa kali terlibat perdebatan –dan itu mengenai sesuatu yang non-substantif dengan
pengguna lain di Instagram. Selain itu para aktor politik tidak boleh lagi menggunakan media
sosial sebagai arena untuk “curhat”.

Media sosial telah membelok kan pemahaman orang, apakah yang dikatakan tersebut
merupakan sikap tegas atau hanya ungkapan pemikiran atau perasaan dia sebagai personal.
institutional rhetoric serta ungkapan pribadi atau everyday talk sering tidak memiliki
kejelasan (Finet, 2001: 274-276). Subjek akan salah persepsi terhadap curhat yang dilakukan

pemilihan media dalam komunikasi politik 6


oleh aktor politik di media sosial merupakan ungkapan pada dirinya sebagai pribadi atau
mewakili institusinya.

Persoalannya politisi di Indonesia belum menyadari akan dalam berkomunikasi di


media sosial memerlukan kemampuan tersendiri. Kemampuan di sini tentu bukan hanya
kemampuan teknis, melainkan mentalitas. Kehadiran media sosial menuntut politisi untuk
beradaptasi. Hanya, para pelaku politik tersebut sering mendapatkan kesulitan terhadap fase
adaptasi tersebut (Chavez, 2012). Ada beberapa hal yang berkenaan padaold mentalities
seperti yang di nyatakan bebelumnya, serta hal ini umumnya dialami pada organisasi yang
menggunakan media sosial. Salah satunya merupakan sikap mengabaikan sifat interaktif
yang tertanam di media sosial. Pada masa politik kontemporer, politisi harus memikirkan
audiens interaktif dan kapasitasnya dalam menjawab, menanggapi, mendistribusikan serta
memodifikasi penyampaian yang diterima. Penelitian Asih (2011) mengungkapkan bahwa
partai politik di mayoritas Indonesia belum mengoptimalkan media sosial dan media baru.

Ada kalanya sebuah pendukung dari tokoh politik tertentu terlalu cepat dan lalai dalam
menyampaikan pesan melalui media sosial tanpa memperhatikan beberapa patokan kaedah
tertentu. Terkadang hanya problem kuantitas makna penyampaian yang diperhatikan tanpa
memperhatikan sisi kualitas maupun kandungan penyampaian. Kekuatan diri atau branding
yang disampaikan lewat pesan pada media sosial hendaknya sesuai dengan keinginan serta
target audience. Seperti instagram,indken, twitter, path, dan facebook dalam nya terdapat
pesan yang disampai kan hendak mempunyai bahasa yang selaras dengan masing-masing
targe audience. Dikarenakan user media sosial masih rata-rata diangka pengguna remaja yang
kelak menjadi pemula dalam menentukan, maka bahasa yang disampaikan adalah bahasa
keseharian anak muda, atau dengan sebutan bahasa gaul. Bahasa yang diguakan dalam
penyampaian harusnya merupakan bahasa yang difungsikan juga oleh audience setiap saat.
Penggunaan kata serta kalimat baku bisa dibiasakan hingga menajdi lebih lentur. Sebagai
contoh penggunaan kata “tidak” dapat diganti dengan “ngga kok”. Bahasa yang tidak baku
akan cepat melebur dan beradaptasi pada masyarakat, sehingga isi pesan dapat lebih terasa.
Selain pemanfaatan bahasa yang sesuai dengan situasi lingkungan sekitar, gambar yang
bercorak motivasi serta unik juga sebaiknya ikut disertakan pada penyampaian tersebut.
Maka sebaiknya jangan hanya menyampaikan kelebihan terhadap seorang tokoh secara
terang-terangan, namun disampaiakn lewat kandungan tulisan pesan. Seperti kalimat
motivasi, yang secara tersirat terangkan bahwa tokoh tersebut mempunyai proporsi yang
bijak. Penyampaian makna, seharusnya tersirat untuk menggambarkan kandungan dari
pemilihan media dalam komunikasi politik 7
penyampaian itu sendiri. kehidupan dan gaya hidup juga menjadi salah satu jalan untuk
masuk dan cepat beradaptasi pada audience. Lewat tampilan pesan yang sedang trend diera
nya, sebuah pesan akan cepat masuk ke benak audience.

Salah satu media nya You tube jelas menjadi wakil media sosial dalam menyampaiakn
pesan lewat cara lain bukan hanya dalam bentuk tulisan kepada audience. Sedangkan pesan
berbeda yang ditawarkan adalah lewat video unik, yang mana rata-rata pengguna you tube
lebih tertarik membuka youtube untuk memperlihatkan video unik serta berfaedah. Parodi
yang menjadi ciri khas teater tontonan Indonesia tahun 90an awal ditonjolkan pada bentuk
lagu dan musik terpopuler pada eranyassss. Sedangkan One Direction dengan lagunya yang
berjudul What Makes You Beautiful menjadi lagu paling populer dan di cari sepanjang tahun
2011.

Selain penggunaan bahasa, sisi komunikatif juga perlu dijangkau oleh para tokoh
politik yang membrandingkan dirinya lewat media sosial. Terkadang pesan yang disampaikan
hanya berbentuk komunikasi satu arah tanpa memperdulikan masukan maupun kritik dari
audience sebagai si penerima pesan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya status atau tweet di
media sosial twitter beberapa tokoh politik yang lebih mengedepankan tulisan terkait dirinya,
dan terlihat jarang menulis status yang menyertakan balasn mention untuk audience mupun
followers yang sudah bertanya atau memberi masukan. Komunikasi yang baik dalam media
sosial memang harus selalu berbentuk dua arah. Namun yang terkadang menjadi kendala
adalah, betuk balasan yang harus diberikan untuk kritikan yang diajukan oleh para audience.
Sehingga terkadang terkesan, menghiraukan masukan dan kritik yang diajukan oleh audience.
Didalam penyampaian komunikasi dua arah yang menggunakan balasa pesan dari audience,
juga tetap diperhatikan bahasa serta rangkaian kata yang digunakan. Karena lewat beberapa
susunan kalimat, akan menggambarkan karakter sang tokoh politik. Serta kedepannya,
rangkaian kalimat tersebut dapat membawa pandangan atau citra yang positif atau bahkan
dapat disalahartikan oleh audience sehingga mengakibatkan cercaan serta hujatan yang terus
menerus oleh audiene, yang lebih dikenal dengan nama media sosial bullying.

Setiap individu memerlukan komunikasi. Komunikasi sudah memungkinkan personal


untuk terus berinteraksi satu sama lain dalam mengekspresikan kekhawatiran nya serta
memikirkan problem dan kesulitan yang mereka hadapi pada kehidupan sehari hari. Maka
dari itu, Untuk berkomunikasi dengan lebih baik, manusia mengembangkan metode dalam

pemilihan media dalam komunikasi politik 8


komunikasi dan media. Akibatnya, metode komunikasi dan media selalu berubah serta
mengikuti perkembangan peradaban manusia. Di era sekarang ini, media komunikasi telah
sangat bercorak karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Perkembangan TIK telah mendorong munculnya komunikasi media baru. Komunikasi media
baru seperti Web 2.0 mempunyai alternatif media komunikasi. Perkembangan terbaru Web
2.0 yaitu media sosial telah meningkatkan efisiensi serta efektivitas komunikasi publik.

Jika dalam beberapa dekade terakhir, peran mediator dalam penyebaran informasi
hanya pada media tradisional seperti media cetak, TV, dan radio, namun pada sekarang ini
media sosial telah dapat menggantikannya. Penggunaan media sosial saat ini luas dan tidak
terbatas pada percakapan sehari-hari, juga telah diperluas ke komunikasi politik. Sifat
interaktif dan fleksibel dari media sosial telah membuatnya sekarang banyak dipergunakan
oleh baik anggota masyarakat, politisi, serta partai politik dalam perkembangan komunikasi
politik. Media sosial kini telah menjadi sarana utama terhadap kampanye dan komunikasi
politik. Namun, politisi harus tegas dan tenang dalam menggunakan media sosial untuk
komunikasi politik karena penggunaan komunikasi menengah ini menghadirkan berbagai
kelebihan dan kekurangan, terutama bagi penikmat. Menggabungkan media yang bersifat
tradisional dan sosial modern untuk komunikasi mungkin menjadi suatu solusi terbaik dalam
menjaga keterlibatan serta komunikasi dengan audiens.

Untuk sebuah penelitian Dari bentuk kelompok masyarakat didasarkan atas Jumlah
pemilih pada generasi Y dan Z yang signifikan pada Pemilu 2024 nanti sejalan dengan hasil
survey penduduk yang dikeluarkan oleh BPS pada grafik Statistik Indonesia 2022.
Berdasarkan publikasi dalam penelitian tersebut jumlah penduduk pada rentang kelompok
umur 25-44 tahun sampai tahun 2021 terdapat sebesar 85.520 jiwa, atau sekitar 31% dari total
jumlah penduduk Indonesia (85.520 jiwa). Pada Kelompok usia ini, dikategorikan oleh
Bencsik, Csikos serta Juhez sebagai generasi Y. Dalam publikasi dari sistem yang sama juga
disampaikan bahwa pada jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur rentang 15-24 tahun
adalah sebesar 44,777 jiwa, yaitu kapasitas 16 % dari 272.682 jiwa total masyarkat Indonesia.
Jika merujuk pada definisi rentang era muncul yang disampaikan oleh Bencsik, Csikos dan
Juhez, maka kelompok umur ini bisa dikelompokkan pada generasi Z. Jika jumlah kelompok
generasi Y dan Z tersebut digabungkan, maka pada kesemua kelompok generasi Y dan Z
hingga tahun 2021 pada saat survey penduduk tersebut dilakukan merupakan 47% dari total
jumlah masyarakat di Indonesia. Angka 47 tentunya angka yang cukup signifikan jika dilihat
dari statistik jumlah tersebut diletakkan ada persentase jumlah Daftar Pemilih tetap (DPT)
pemilihan media dalam komunikasi politik 9
yang nantinya akan ditetapkan oleh KPU RI. Tingginya jumlah pada pemilih pada generasi Y
dan Z adalah fakta yang patut menjadi perhatian pentingbagi partai politik, sebagai salah satu
pihak yang sangat mempunyai hubungan erat dengan persoalan pemilih. Salah satu hal yang
bisa dilakukan tersebut disampaikan oleh Ketua DPD Gerindra Jateng, Abdul Wahid pada
salah satu Musdalub PD Tidar Jateng mengemukakan bahwa angka yang memilih pada
kategori dua generasi tersebut hampir mencapai 50% pada tingkat nasional, dan lebih dari
50% di wilayah Jawa Tengah (Suara Merdeka.com, 2021). Partai Nasdem pun
memberikanperhatian lebih terhadap tingginya pada jumlah pemilih generasi millennial serta
Z. Wakil Ketua Umum Partai tersebut membenarkan bahwa seluruh kader partai harus
memberikan perhatian besar pada fakta tingginya jumlah pemilih generasi Milenial serta Z
ini, caranya adalah dengan benar-benar mengerti karakter pemilih dari kelompok ini (Media
Indonesia.com, 2021). Signifikansi tingginya jumlah pemilih generasi Y dan Z serta
pengaruhnya terhadap pematokan hasil pemilu mendatang hingga disampaikan oleh Arif
Nurul Imam (Direktur IndoStrategi Research Consulting). Ia mengatakan bahwa secara
kuantitatif pada jumlah pemilih milenial dan Z sangat luas sehingga sangat berpengaruh,
dengan demikian peluang dari corak milenial menjadi bidikan parpol untuk mendapatkan
kekuatan sokongan.

Membangun komunikasi politik yang baik dan efektif haruslah menjadi pekerjaan
rumah besar bagi semua partai politik jika harapannya ingin mendapatkan sokongan dari
pemilih generasi Y (milenial) dan Z pada pemilu 2024 mendatang. Karakter pola konsumsi
komunikasi yang dimiliki pada dua generasi ini tentunya harus dimaknai dengan baik.
Komunikasi politik antara parpol dengan masyarakat sejatinya tidak hanya disusun atas dasar
masa kampanye politik. Meskipun era itu merupakan waktu yang paling tepat dan krusial
dalam mendekati serta mengajak pemilih untuk menentukan pilihannya. Membangun
komunikasi politik secara intens dan berkelanjutan merupakan hal yang paling baik dan
membangun untuk dilakukan oleh partai politik. Dalam sebuah sistem politisi, parpol adalah
salah satu agen terdepan untuk menampung dan menyalurkan pendapat dari masyarakat pada
si pembuat kebijakan. Persebaran pemilih muda (Y dan Z) di Indonesia yang sangat luas
harusnya menjadi tantangan tersendiri pada parpol untuk dalam membangun saluran
komunikasi yang efektif serta efisien dengan mereka. Lalu saluran atau media komunikasi
seperti yang bisa dimaksimalkan fungsinya dari parpol untuk bisa mendekati dan
memberikan edukasi politik pada generasi milenial dan Z

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 0
Membicarakan konstituen generasi milenial dan Z terhadap hubungannya dengan pola
atau karakter konsumsijenis media komunikasi yang mereka gunakan, maka dari personal
akan sampai pada sebuah fakta bahwa kedua generasi di era ini merupakan kelompok yang
paling banyak menggunakan saluran komunikasi pada tingkat modern yang berbasiskan pada
jaringan internet. Hal ini sejalan dengan yang diterangkan oleh Lyons (dalam Putra, 2019)
berkaitan karakterstik pada kedua kelompok generasi tersebut. Generasi Y seringkali di
nyatakan sebagai generasi yang berkembang pada masa internet booming. Lebih lanjut
Lyons (2004) mengungkapkan ciri khas dari generasi Y adalah adanya karakteristik masing-
masing individu berbeda, tergantung pada tempat ia dibesarkan. Pola komunikasinya sangat
lurus jika dibandingkan pada generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi pemakai media
sosial yang fanatik serta kehidupannya sangat terpengaruh pada perkembangan teknologi.
Generasi Z mempunyai kesamaan pada generasi Y, tapi generasi Z mampu mengaplikasikan
hampir seluruh kegiatan pada satu waktu (multi tasking) seperti: menjalankan sistem media
sosial, menggunakan ponsel, browsing menggunakan peralatan PC, dan mendengarkan musik
menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan dari hal tersebut berhubungan
dengan dunia maya. Sejak kecil generasi ini telah mengenal teknologi serta akrab pada gadget
canggih yang secara tidak langsung mempengaruhi terhadap kepribadian yang dimiliki, dan
reaksinya terhadap lingkungan sekitarnya (Putra, 2019) Generasi Z memiliki keserupaan
dengan generasi Y, akan tetapi tapi generasi Z mampu mengaplikasikan seluruh kegiatan
pada satu waktu (multi tasking).

Soal

Untuk pendalaman materi, maka jawab lah soal-soal berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi dan politik serta kait kan keduanya !
2. Bagaimana komunikasi politik bejalan dalam organisasi politik !
3. Sebutkan jenis media yang di gunakan dalam komunikasi politik !
4. Jelaskan bagaimana media dapat menjadi alat yang lekat dengan politik dalam
visualisasinya!

Rangkuman

Perkembangan dalam tahap teknologi komunikasi telah menjalar pada setiap


kehidupan umat manusia. Salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi
adalah media baru (new media) yang kemudian melahirkan suatu media sosial (social

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 1
media). Kehadiran media sosial banyak mempengaruhi bidang politik. Studi ini
menunjukkan media sosial merupakan alat kampanye serta berpolitik yang efektif. Dan
yang kedua adalah teknologi tradisional dalam sistem penyambugan setiap komunikasi
politik.

Kegiatan 2 :

dampak pemilihan komunikasi politik terhadap pilihan media yang tepat

Kembali ke media sosial sebagai seistem digunakan yang terdapat dalam media
komunikasi dimana di era demokrasi saat ini, penggunaan media sosial saat ini sudah
diperpanjang dari sekadarkomunikasi sehari-hari hingga komunikasi politik baik dari anggota
masyarakat maupun politisi menggunakan media sosial untuk tujuan politik yang berbeda.
Tak hanya itu, anggota masyarakat menggunakan media sosial sebagai sarana untuk
membahas masalah politik, dan terlibat dengan organisasi dalam masyarakat sipil serta
pemimpin politik. Sebagian besar politisi menggunakannya dalam media kampanye sebagai
alat mempertahankan citra publik mereka, dan sebagai media komunikasi untuk
mempertahankan keterlibatan dengan beberapa wartawan dan audiens potensialnya (Howard,
Savage, Saviaga, Toxtli, & MonroyHernández, 2016) . maka karena itu, tidak tabu apabila
jalur media sosial saat ini dipenuhi dengan diskusi politik selain percakapan sehari-hari.

Hal ini untuk Mempertimbangkan kekuatan platform media sosial sebagai sarana
menyebarkan informasi yang perlu serta besar ke audiens yang lebih luas, dan dilihat juga
pada keberhasilan para pebisnis dalam memasarkan produk mereka kepada pelanggan
yangberada dala jangkauan nya dengan cara yang efisien dan efektif. Pada Saat ini politisi
condong merangkul sistem komunikasi media sosial sebagai strategi atau cara mereka untuk
berkomunikasi dengan audiens potensial mereka (Nulty, Theocharis, Popa, Parnet, & Benoit,
2016), dengan adanya media sosial sekarang sudah menjadi platform utama dalam lahannya
untuk kampanye politik dan mendapatkan dukungan dari calon pemilih, untuk
mengumpulkan pendukung partai politik, dan tujuan politik lainnya. Maka dari itu hal ini
merupakan beberapa peran penting dalam media sosial pada komunikasi politik.

A. Media Sosial Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi serta kreatifitas pada Politisi.
Kampanye politik menggunakan media sosial dapat lebih efektif dan efisien dalam

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 2
mempusatkan terhadap calon pemilih. Permisalan empiris telah mengemukakan bahwa
media sosial bisa dipergunakan untuk politisi dan mendukung cara politik secara offline.
Salah satu permisalan nya adalah keberhasilan penggunaan media sosial adalah dalam
pemilihan presiden Amerika Serikat 2008. Selama berlangsungnya kampanye pemilu, Barack
Obama dengan sistematis memperlakukan pada platform media sosial untuk sebagai sarana
utama dalam menjalankan kampanyenya. Pada masa itu, ada lima belas platform pada media
sosial yang difungsikan oleh Obama bersama dengan situs webnya secara personal(Effing et
al., 2011), dan ketika menjalankan sistemnya secara efektif menggunakan media sosial untuk
kampanye politiknya, pada akhirnya akhirnya terpilih menjadi presiden Amerika Serikat pada
tahun 2008. B. Media Sosial Mendekatkan Politisi pada Pemilihnya yang ber banding terbalik
dengan media tradisional, media sosial dapat memungkinkan politisi serta audiens mereka
ketika langsung berkomunikasi. Komunikasi ini bisa berlangsung di tempat serta pada waktu
yang berbeda dan agenda perencanaan yang berbeda. Di Meksiko, contoh nya, seorang
politisi bernama Jaime Rodriguez Calderon yang biasa dikenal sebagai ‘El Bronco’ sudah
berhasil memfungsikan media sosial untuk menjaga komunikasi serta kedekatan pada
konstituennya. Maka dari itu, menggunakan media sosial dalam kampanye politik di
kampanye pemilihan gubernatorial serta terus menggunakannya lebih melampaui hari
pemilihan dari diskusi sehari-hari mengenai kehidupan publik dengan publik negara bagian
Nuevo Leon (Howard et al., 2016).

C. Media Sosial Memediasi antara Komunikasi Politik dengan Audiens dalam lingkup yang
Lebih Luas Penggunaan media sosial pada konteks politik internasional sudah membantu
politisi untuk berkomunikasi dengan audiens yang lebih luas dari berbagai kebangsaan dan
bahasa. Pada tahapn pemilihan parlemen Eropa 2014, misalnya, kandidat pemilu berkenaan
dengan partai mereka menggunakan media sosial dalam berkomunikasi dengan audiens di 28
negara anggota Uni Eropa. Media sosial sudah menyediakan sarana teknologi yang unik
dalam menjembatani pemisahan linguistik, serta hal ini juga untuk memperluas jangkauan
komunikasi politik dari kandidat dan partai pada pemilih yang terletak pada sistem politik
multi-nasional Uni Eropa.(Nulty et al., 2016)

Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Media Sosial Sesudah membahas mengenai


karakteristik media sosial, perbedaannya pada media tradisional, serta statusnya di
komunikasi politik, maka ada baiknya juga jika membahas kelebihan serta kekurangan
penggunaan media sosial bagi anggota masyarakat sebagai audiensi politik. Media sosial

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 3
telah berkontribusi positif pada perkembangan komunikasi politik yang menyediakan
platform baru dalam memfasilitasi komunikasi politik lebih langsung serta interaktif (Nulty et
al., 2016) karena membantu dalam meningkatkan komunikasi antara anggota masyarakat
serta politisi. Salah satunya ialah media sosial telah membantu politisi dalam mengambil
keuntungan politik dari pada pengenaan sistem komunikasi yang diupgrade. penggunaan
media sosial politisi saat sekarang bisa melakukan kampanye politik serta komunikasi politik
lainnya dengan efisien dan efektif. Namun demikian, meskipun pengaplikasian media sosial
untuk komunikasi politik memunculkan manfaat bagi politisi, itu juga mengikuti
dibelakangnya beberapa kelemahan yang mesti menjadi perhatian para politisi. Salah satu
kemungkinan dalam kerugian dari menggunakan media sosial pada politisi adalah operasi
media sosial memrlukan keterampilan dan sumber daya yang memadai. Karena tidak semua
politisi megetahui pneggunaan internet swera keterampilan komunikasi yang cukup, dengan
demikian bisa sangat sulit oleh mereka untuk mengimbangi media sosial (Howard et al.,
2016). Selain mengoperasikan media sosial juga memakan waktu.

Sifat platform media sosial yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah akan
memaksa politisi dalam mengalokasikan beberapa waktu dalam menanggapi komentar dan
posting audiens yang melimpah yang dapat menimbulkan kesulitan bagi politisi untuk
menanggapi semua konten audiens. Untuk menghadapi hal-hal yang berkalitan dengan
masalah ini politisi kemudian condong menunjuk seseorang untuk mengemukakan tanggapan
kepada audiens mereka yang menciptakan suatu beban lain bagi sumber daya manusia dan
manajemen (Howard et al., 2016). Kerugian lainnya adalah mengalokasikan media sosial
sebagai media komunikasi politik dalam ruang lingkup publik secara online yang akan
membuat politisi mempunyai kurang kontrol atas informasi yang tersedia tentang mereka di
dunia maya (Kaplan & Haenlein, 2010). Hal hal ini membuat semakin sulit bagi politisi
dalam mempertahankan citra positif mereka atas konstituen potensial karena pengaplikasian
media sosial mungkin bisa membuahkan hasil dan menyebarluaskan sebanyak mungkin
informasi menjerumuskan dari politisi ke saluran media sosial. Pemilihan Gubernatorial DKI
Jakarta 2017 di Indonesia dapat menjadi contoh empiris dan kongkrit atas kerugian dalam
penggunaan media sosial ketika kampanye politik kandidat. dalam proses pemilu ini dapat
disaksikan masifnya penfungsian media sosial secara negatif dalam kampanye hitam pada
calon satu pemilu Basuki Cahaya Purnama yang dikenal sebagai Ahok. Dan Media sosial
sudah menginspirasi pengguna dalam mempraktikkan ujaran kebencian yang menaik kan

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 4
sentimen sektarian serta nilai rasis (Lim, 2017), sambil membiarkan politisi sebagai
pengamat tak berdaya karena hal ini tidak dapat mengubah komentar bentuk negatif yang
diposting secara publik. Hal ini selaras ketika Ahok beserta timnya gagal mendapatkan citra
publiknya meskipun penyampaian kontra besar-besaran sudah diposting ke publik pada jalur
media sosial.

Namun, disamping itu kelebihan dan kekurangan dalam memfungsikan media sosial
untuk politisi, sejumlah literatur memberitahukan bahwa juga memiliki kemungkinan
keuntungan serta kerugian dalam audiens ketika politisi menggunakan platform media sosial
yang berbasis baru ini untuk melewati media tradisional. Pertama, platform media sosial akan
meyakinkan mengenai keterlibatan secara langsung antara anggota masyarakat serta politisi
dalam kegiatan berpolitik. Berbeda dari singkronisasi dalam penggunaan media tradisional
yang notabemenya sulit didapatkan dikarenakan meningkatnya daya saing terhadap audiens
serta politik lainnya. Karakteristik media sosial yang memberikan akses terbuka dan gratis
pada penggunanya (Klinger & Svensson, 2015) memudahkan masyarakat dalam
berkomunikasi dan mentransfer penyampaian mereka langsung ke politisi. Oleh karena itu,
pemfungsian media sosial akan dapat meningkatkan kemungkinan bahwa anggota
masyarakat untuk terlibat cesara langsung dalam politisi dan partai politik. Kedua,
penggunaan media sosial terhadap komunikasi politik dapat meningkatkan partisipasi politik
anggota masyarakat(Lilleker, 2015).

Tidak hanya itu, komunikasi politik menggunakan media tradisional yang membuat
komunikasi satu arah, komunikasi media sosial memungkinkan terjadinya komunikasi dua
arah. Komunikasi timbal balik ini lah yang akan mendorong masyarakat dalam menjadi
peserta yang lebih aktif. Penggunaan media sosial akan mendorong timbulnya suara baru
dalam debat politik (Scaramuzzino & Scaramuzzino, 2017) sebagai individu menjadi anggota
yang lebih aktif. Ketiga, media sosial memunculkan alternatif terhadap akses komunikasi
dengan sistem politisi. Jika puluhan tahun, komunikasi politik sebagian besar dibuat pada
saluran media tradisional, saat ini komunikasi ini juga bisa dibuat melalui media sosial.
Sebagai anggota publik serta aktor politik saat ini sudahbanyak menggunakan media sosial
sebagai sarana terhadap komunikasi politik (Nulty et al., 2016). Pada Saat ini komunikasi
antara kedua belah pihak tidak lagi bertalian pada mediasi dengan sistem media tradisional.
Baik anggota masyarakat ataupun politisi tidak perlu lagi bersaing dalam mendapatkan ranah
1
pemilihan media dalam komunikasi politik 5
di media tradisional terhadap diskusi politik. Dengan adanya media sosial kedua belah pihak
bisa menggunakannya ketika membuat domain sendiri untuk membahas isu politik. Terakhir,
penggunaan media sosial meningkatkanpemahaman serta literasi politik dalam kehidupan
masyarakat. Penggunaan media sosial terhadap komunikasi politik dimungkinkan anggota
masyarakat bisa mendapatkan lebih banyak informasi mengenai politik dan meningkatkan
kesempatan mereka untuk memahaminya. Oleh karena itu, sebaiknya bagi politisi serta partai
politik, juga hal ini berkenaan dengan media tradisional, mengaplikasikan media sosial untuk
pendidikan politik baik dalam konstituen mereka serta audiens politik yang lebih general
(Speakman, 2015). Terlepas dariitu, keuntungan penggunaan media sosial di atas terhadap
audiens, penggunaannya media sosial memiliki beberapa kelemahan. Pertama, penggunaan
media sosial pada komunikasi politik bisa membentengi partisipasi publik terhadap kegiatan
politik. beberapa faktor yang berkontribusi pada pembatasan ini yaitu sensor pemerintah
kepada media sosial. Dalam hal ini disebabkan dari peraturan sensor yang dijalankan oleh
pemerintah. Penerapan sensor media terhadap beberapa negara seperti di Zimbabwe,
Indonesia, China dan Turki sudah menimbulkan beberapa tantangan terhadap penggunaan
media sosial dalam komunikasi politik terutama dalam anggota masyarakat.

Di negaranegara diatas di mana penyensoran diterapkan dengan ketat pada setiap


platform media,dengan melakukan komunikasi politik pada media sosial akan sulit bagi
anggota masyarakat untuk sepenuhnya mengkaitkan diri dalam komunikasi politik terhadap
politisi terfokusnya yang dianggap sebagai oposisi bagi pemerintah. Akan ada banyak risiko
yang dihadapi oleh anggota masyarakat untuk menghasilkan, berkomunikasi, dan
mendiskusikan isu-isu sensitif terkait hal tersebut, terutama yang memiliki tujuan untuk
mengkritik pemerintahan nya. Di Cina dan Turki pemerintah pusat mengerahkan kontrol atau
pengendalian penuh serta berlebihan atas penggunaan media sosial publik (Miller et al.,
2016,) Sebagai hasil dari kontrol ini, publik di Cina memfungsikan media sosial pada
hiburan, alih-alih komunikasi politik. sementara itu di negara Turki tenggara, penggunaan
media sosial dalam mengkritik pemerintah akan mengekspos user terhadap sanksi
pemerintah. Faktor lain yang berkontribusi pada terbatasnya partisipasi publik dalam
komunikasi politik yang disebabkan dari penggunaan media sosial adalah perpecahan
ideologi serta pendapat pada media digital yang ada. Fakta bahwa pemisahan digital masih
ada pada komunitas di setiap negara juga berkontribusi terhadap batas partisipasi publik
dalam kegiatan komunikasi politik. Pemisahan digital itu sendiri dapat didefinisikan sebagai

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 6
kondisi yang mana beberapa bentuk proporsi masyarakat kurang mampu tidak mengakses
Internet, sementara beberapa proporsi lain yang kaya, kelas menengah, dan muda, ketika
tinggal di daerah perkotaan memiliki akses ke Internet (Norris, 2001).

Pemisahan digital yang ada sudah menimbulkan penggunaan media sosial untuk
komunikasi politik tidak efektif karena tidak semua masyarakat bisa mengakses platform
mediaa yang disediakan. Oleh karena itu penggunaan media sosial akan mengecualikan
mereka untuk berpartisipasi pada kegiatan politik serta meningkatkan defisit demokrasi.
Kedua, penggunaan media sosial dalam komunikasi politik akan memunculkan marginalisasi
pada anggota masyarakat tertentu. Fakta bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki
akses ke Internet yang akan membuat penggunaan media sosial uptrendisasi marginalisasi
dan polarisasi audiens politik, meninggalkan sebagian kelompok terpinggirkan dikarenakan
akses terbatas ke partisipasi politik online. Kondisi ini akan mengurangi peluang mereka
untuk berinteraksi serta berkomunikasi dengan para politisi menyampaikan aspirasi,
pemikiran, dan kritikus mereka. Ketiga, penggunaan media sosial adalah sumber kekuatan
dan keterampilan yang menekankan (Scaramuzzino & Scaramuzzino, 2017). Untuk
beroperasi, pengguna media sosial memerlukan perangkat seperti ponsel dan komputer serta
harus ada infrastruktur Internet. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa pengguna harus
sadar akan internet. Prakondisi tersebut telah membuat penggunaan media sosial tidaklah
mudah. Meskipun pembagian digital di komunitas tertentu menurun yang ditandai dengan
peningkatan terhadap perkembangan/pertumbuhan dan meratanya distribusi dalam
infrastruktur Internet, sistem dalam media sosial yang beroperasi masih memunculkan
tantangan pada anggota masyarakat karena masalah terhadap literasi. Faktor lain yang
mungkin membatasi penggunaan terhadap media sosial adalah karena fakta bahwa platform
media ini tidak sepenuhnya media yang bersifat gratis. Untuk mengoperasikan aplikasi media
berbasis sosial seperti Facebook, Twitter, Telegram, dan Blackberry Messenger, misalnya,
pengguna platform media sosial tersebut diwajibkan memiliki koneksi internet; dan untuk
menyambung koneksi seperti itu tidak selalu gratis. Terakhir, penggunaan media sosial
memancarkan polarisasi pada kalangan anggota masyarakat. Penggunaan media sosial untuk
melakukan komunikasi politik mendorong dalam pembentukan kelompok terhadap
masyarakat berdasarkan ideologi dan preferensi politik. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pengguna media sosial cenderung menjalin persahabatan serta komunikasi mengenai
pengguna yang memiliki preferensi dan ideologi politik yang sama.

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 7
Pengaruh media sosial terhadap dunia politik khususnya dalam hal komunikasi politik,
terutama dalam kampanye Pemilu (Chavez, 2012; Riaz, 2010; Stietglitz & Dang-Xuan,
2012). Penting bagi institusi politik terjun langsung untuk merasakan berpartisipasi aktif
dalam komunikasi politik yang berbasiskan media sosial, terutama dalam kampanye Pemilu.
Media sosial untuk selanjutnya menggambarkan sebagai sudut sarana ideal dan berbasis
informasi untuk mengetahui beberapa opini publik tentang kebijakan dan posisi politik, selain
untuk membangun dukungan didalamnya bahwa munitas kepada politisi yang tengah
berkampanye. Sejumlah penelitian memberitahukan bahwa politisi di seluruh dunia telah
mengadopsi media sosial untuk menjalin hubungan dengan konstituen, berdialog secara
langsung dalam masyarakat serta membentuk diskusi politik. Kemampuan menciptakan ranah
dialog antara politisi dengan opini publik serta menarik minat para pemula/pemilih muda
membuat media sosial semakin penting bagi politisi.

Sebelum menggunakan media sosial, para politisi sudah menggunakan internet dalam
sistem berkampanyenya. Internet bisa menjadi cara yang sangat potensial dalam mendobrak
aturan sistem politik demokrasi dari massa yang opresif yang menyuarakan suara dari bawah
ke atas, yang mana kerap dilakukan dengan power yang dimiliki, penguasa dimanfaatkannya
untuk dan oleh suatu dari kepentingan golongannya. Internet diharapkan dapat menjadi media
bagi mengalirnya informasi dua arah yang bersifat interaktif antara politisi dan para
pendukungnya. Internet menjanjikan memberikan forum yang seluas-luasnya bagi
pengembangan kelompok dalam kepentingan dan sebagai sarana penyaluran opini (Asih,
2011).

Keberhasilan menggunakan media sosial dilihat sebagai salah satu faktor yang menjadi
kesuksesan Barack Obama dalam memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat. Sekitar
30 persen pesan-pesan kampanye Obama disampaikan melalui media baru (Riaz, 2010).
Beberapa tahun sebelum Obama naik , terdapat nama Howard Dean yang mampu dalam
memanfaatkan internet untuk meraih atensi publik pada masyarakat AS. Namun saat itu Dean
kandas di konvensi nasional Partai Demokrat (Chavez, 2012). Di Inggris, tidak sedikit
anggota parlemen menggunakan blog dan Yahoo Groups dalam mengkomunikasikan gagasan
mereka dan mendengarkan ide orang lain (Gurevitch, et.al. 2009). Bagaimana dengan di

1
pemilihan media dalam komunikasi politik 8
Indonesia? Media sosial memang mulai dilirik pada kurun waktu sekitar beberapa tahun
terakhir. Para pendukung Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama pada kampanye
pemilihan gubernur memanfaatkan DKI Jakarta YouTube untuk memposting video
kampanye kreatif mereka. Bahkan sempat ada game online yang memiliki alur cerita dalam
game seperti game Angry Birds, dengan tokoh utama Jokowi.

Faktor interaktifitas dibiarkan. Dari 34 parpol peserta Pemilu 2009, seluruhnya


memiliki website. Sayangnya situs web tersebut belum dipergunakan secara maksimal
sebagai media komunikasi dua arah. Hampir di semua website parpol tidak memiliki forum
dengan memungkinkan komunikasi dua arah. Kalau pun tersedia, forum ini sulit untuk dapat
diakses. Facebook dan Twitter yang difungsikan oleh politisi dan partai politik yang ternyata
isinya hanya untuk menginformasikan hal-hal kepentingan yang baik-baik saja. Transaksi
informasi yang terjadi didominasi pada posting-posting yang disampaikan oleh simpatisan
parpol ataupun politisi. Politisi dan partai politik agak sulit dan terlalu terbuka menggunakan
jejaring sosial untuk berinteraksi. Media sosial masih dipergunakan sebagai media kampanye,
belum interaktif, belum aspiratif. Padahal media sosial mempunyai potensi sebagai sarana
dalam mendengarkan suara masyarakat. Di era interaktif digital, produksi pesan serta citra
politik malah justru terbagi menjadi hal yang rawan untuk "diganggu". Pelaku politik diharus
kan mempertimbangkan terhadap kemungkinan bahwa pesan-pesan mereka akan
dimodifikasi oleh pihak lain ketika pesan tersebut diungkapkan melalui media sosial. ranah
media digital tidak menghargai integritas informan, ketika informasi itu sudah dipublikasikan
melalui jejaring online, maka siapa pun menjadi bebas untuk memodifikasinya (Gurevitch,
et.al,2011)

Kesuksesan branding denganjalur media sosial ditentukan oleh pengelolaan media


sosial secara up to date dan harus selalu menjaga komunikasi secara konsisten untuk
menggunakan struktur percakapan yang terus upgrade dalam lingkungan masyarakat
(Lipiainen & Karjaluoto, 2012). Menjaga terhadap pengelolaan media sosial yang terus up to
date serta melayani publik untuk memberikan informasi tidaklah mudah. Konsistensi dapat
menjadi kata kunci yang perlu dipahami dari seluruh pihak. Selain itu politisi juga
menghadapi tantangan lain terkait penggunaan pada media sosial sebagai upaya pembentukan
branding yaitu menampilkan diri secara pribadu sesuai dengan yang diharapkan masyarakat
(Guervitch, et.al., 2009). Berdasarkan penelitian yang berkembang pada saat itu,
1
pemilihan media dalam komunikasi politik 9
pengaplikasian media sosial mempunyai beberapa keuntungan strategis. Secara general
keuntungan dari hal tersebut yang dihasilkan dari branding menggunakan media berbasis
internet meupakan suatu kemudahan dan kemurahan,serta praktis, dan efektif (Anshari, 2013

Harga yang harus dikorbankan juga menjadi pertimbangan utama dari penggunaan
media sosial sebagai alat branding. Cukup dengan memaksimalkan peran fitur pada media
sosial, maka pesan akan tiba dengan otomatis kepada benak masyarakat. Hanya dengan
kekuatan internet satu pesan dapat tersebar luas ke banyak pihak, sesuai pada sifat internet,
yaitu many to many. Namun masih banyak juga para politisi yang memenntingkan old
fashion branding dengan pemasangan baleho, spanduk, hingga poster yang menonjolkan
kecakapan serta kelebihan yang ditawarkan dari dirinya jika terpilih. Hal ini disebabkan
banyak tokoh politik yang masih mempercayai bahwa pemilih yang hidup di pelosok tidak
pandai dan belum paham akan penggunaan internet. diukur dengan penggunaan media sosial,
banyak harga yang bisa di hemat dari hal tersebut. Biaya pemasangan spanduk dan sejenisnya
dapat diminimalisir dengan ketetpatan dan ketelatenan untuk memberikan informasi pada
media sosial. Praktis juga menjadi nilai plus tersendiri, sifat branding yang cukup mudah
karena dapat menapak seluruh kalangan, tanpa perlu mengeluarkan uang banyak untuk
warga. Dibandingkan branding Cukup praktis apabila dengan old fashion yang harus
memudarkan konsentrasi serta jenis pesan yang akan disampaikan pada golongan mulai dari
warga kelas atas, kelas menegah, dan kelas bawah yang belum mampu. Namun demikian,
dengan angka pengguna media sosial di Indonesia yang mencapai jumlah 75 Juta pengguna,
jelas adalah cara yang lebih praktis jika branding dipusatkan untuk penggunaan media sosial.

Nyaknya keuntungan yang diberikan dalam pengunaan media sosial sebagai


pertandingan branding tokoh politisi, juga tidak boleh habis dari beberapa patokan penting
yang harus tetap diperhatikan. Dikarenakan media sosial juga termasuk sebagai salah satu
alat untuk berkomunikasi pada audience serta calon pemilihnya, maka di satu sisi
komunikasi harus selalu ada didalamnya. Dalam hal ini, variabel yang diperlukan merupakan
kandungan message atau pesan yang mau di sampaikan kepada khalayak harus sesuai pada
terget yang ingin dicapai. Hal lain yang juga merupakan variabel adalah sisi komunikatif
dengan terciptanya komunikasi dua arah pada audience sebagai calon pemilih.

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 0
Teknologi komunikasi adalah peralatan perangkat keras yang terstruktur dan memiliki
nilai sosial yang tinggi bagi personal untuk mengumpulkan, memproses, dan bertukar
informasi dengan personal yang lain. (Rogers, 1986: 2). Teknologi komunikasi berkaitan
dengan teknologi perluasan pesan kepada khalayak luas berbasis pada sistem komunikasi
komputer, teknologi komunikasi kerapkali disamakan dengan teknologi komunikasi yang
baru, media baru, ataupun komunikasi interaktif, yang bisa membawa perubahan mendasar
serta terarah dalam komunikasi manusia. (Susanto, 2018).

Sedangkan media sosial adalah sarana personal sebagai masyarakat untuk berbagai
informasi dalam bentuk teks, gambar,serta video, dan audio. Media secara faktual
merupakan perwujudan dari teknologi komunikasi yang menjadi dorongan pada terjadinya
berbagai jenis interaksi antar personal yang sangat kompleks. Pengguna media sosial bisa
mengelola informasi untuk disebarkan pada user lainya pada dukungan teknologi
komunikasi berbasis internet. Pada Hakikatnya, media sosial merupakan menggambarkan
bermacam-macam teknologi yang difungsikan untuk saling berhubungan pada satu
kelompok kecil maupun kelompok yang lebih luas hingga dapat bertukar informasi dengan
adanya dukungan internet.

Tindakan serta kinerja pemerintah yang tersebar sebagai informasi masyarakat dapat
diketahui oleh publik. Karenanya, jika masyarakat menilai kinerja badan publik kurang
berhasil ataupun kurang sempurna, maka hal ini bisa saja publik mengkritik ataupun
memberikan masukan terkait perbaikan kepada badan publik pada jalam media sosial.
pelaksana kebijakan publik tentu saja tidak hanya terbatas pada badan publik di tingkat pusat,
tetapi hal ini juga badan publik dimana semua tingkatan sampai pada pemerintahan desa
atau kelurahan. Dari Berbagai program dalam pemerintah yang dilaksanakan oleh badan
publik, meskipun sudah melalui perencanaan terbaik tetapi tidak mustahil akan memperoleh
kritik terus-menerus dari masyarakat publik melalui media sosial. Pengguna media sosial
bisa dengan mudah mengungkapan pendapat yang menilai kinerja pemerintahan. Bahkan
dalam semangat dalam mengkritik terkait dengan kebijakan publik yang dalam persepsi
pemerintah aman-aman sahaja, maka dari itu dicari kelemahannya. Memang di era
keterbukaan, masyarakat memiliki hak ketika menyampaikan pendapat yang
bertanggungjawab demi demi meningkatkan kinerja institusi dalam pemerintah untuk
menjalankan kebijakan publik terkait Persoalannya informasi ataupun penilaian kinerja yang
diajukan kepada badan publik tersebut, tidak mustahil hal seperti ini berisi pernyataan

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 1
ataupun data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan serta dibantu aspek yang faktual.
Berdasarkan uraian diatas, masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana karakteristik
dalam pesan dari media sosial terkait pada kebijakan publik yang berbasis pada kepentingan
rakyat yang diatur oleh anggota-anggota publik. Sedangkan makna dalam tujuan penelitian
ini adalah : (1) memperoleh gambaran mengenai informasi terhadap media sosial yang
merupakan masukan ataupun kritik pada kinerja badan publik dalam menjalankan kebijakan
masyarakat, (2) mengetahui respon serta tindakan badan publik terkait informasi dari media
sosial yang mengemukakan saran dan kritik.

Teknologi komunikasi berhubungan pada teknologi penyebaran pesan dengan khalayak


luas berbasisi kepada sistem dalam komunikasi berbasis komputer, teknologi komunikasi
selalu disamakan dengan teknologi komunikasi yang baru, media baru, ataupun komunikasi
yang bersifat interaktif, sehingga dapat membawa suatu perubahan yang mendasar pada
komunikasi manusia. (Susanto, 2018).

Komunikasi Politik yang ada di Indonesia memiliki Disiplin komunikasi politik di


Indonesia, setidaknya sampai saat sekarang ini, masih seperti “barang baru” yang harus terus
diperkenalkan kepada publik. Tidaklah mengherankan jika tidak terdapat data yang kuat
tentang riset-riset komunikasi politik yang sudah pernah dibuat di Indonesia. baik ilmuwan
komunikasi maupun publik.

Pada Era Presiden Soeharto yang selalu hubungkan dengan Rezim Orde Baru-nya sejak
1966 hingga Mei 1998, membuat Pers di seluruh penjuru megara sebagai susunan ideologis
negara. Dengan itu, Rezim Orde Baru membuat mekanisme kontrol yang sangat berkinerja
pada hampir seluruh bagian dari kehiduan. Hidayat dan kawan-kawan, meringkas dengan
tersusun sistematika kontrol tersebut sebagai berikut: 1. membuat kontrol preventif serta
korektif dalam pemilikan institusi media, dengan jalan Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP); kedua izin ini yang dikeluarkan atas dasar prinsip-prinsip
politik. 2. membuat kontrol terhadap individu serta praktisi profesional (wartawan) melalui
sistem mekanisme seleksi dan regulasi, seperti keharusan untuk wartawan ketika masuk
sebagai anggota dari satu-satunya kelompok organisasi wartawan yang diberi izin untuk
berdiri pada waktu itu, keharusan untuk Para pimpinan redaksi dalam mengikuti penataran
tentang Pancasila merupakan ideologi negara yang pada prinsipnya merupakan sebuah uPaya
indoktrinasi. 3. Melakukan kontrol melalui pemilihan individu yang dirasa bisa dalam posisi-
posisi tertentu dari media yang dipunyai pemerintah (seperti TVRI dan RRI).
2
pemilihan media dalam komunikasi politik 2
Melakukan kontrol dalam produksi teks berita (baik untuk isi maupun formatnya)
melalui berbagai sistem mekanisme, termasuk contohnya adalah “budaya telpon” ke ruang-
ruang redaksi media dalam memperingatkan agar media tidak membuat siaran pada kejadian-
kejadian tertentu yang dianggap dapat mengganggu sistem dan mekanisme pemerintah.
Melakukan kontrol pada sumber daya, contohnya monopoli suplai kertas. membuat kontrol
terhadap akses pada pers, contohnya, dengan melarang membuat berita pers pada tokoh-
tokoh yang dianggap menentang pada pemerintah.

jika kebebasan lebih besar pada kepemilikan media ungkapkan sekaligus bersama
dengan analisis isi media, maka terkuaklah kecenderungan yang terprediksi mengenai negara
yang sedang dalam transisi politik seperti Indonesia terperangkap terhadap sesuatu yang
dinamakan Bagdikian (1997:248) merupakan “the fallacy of the TwoModel Choice”
(kepalsuan atau perangkap “Dua Pilihan Saja”). Yang maknanya, seakan-akan masyarakat
hanya bisa memilih diantara ke 2 sistem media yaitu(1) sistem yang dikontrol sepenuhnya
atau hampir pada keseluruhannya dari negara (authoritarian system), dan (2) sistem yang
relatif sama sekali bebas serta tidak dikontrol dari negara ataupun dari masyarakat (librtarian
system). Hal ini tentunya pilihan kedua umumnya membuat jauh lebih kreatif serta jauh lebih
menghibur dibandingkan pilihan pertama, contohnya ketika era di negara Indonesia hanya
mempunyai TVRI saja. Perangkap pada “Dua Pilihan Saja” tersebut sseharusnya menafikan
pilihan altematif yang lain nya, yang paling tidak harus dilihat dan dikemukakan bersama-
sama tehadap pilihan kedua sebelumya. Pilihan alternatif itu merupakan bentuk Penyiaran
Publik serta Lembaga Penyiaran yang besifatKomunitas, atau juga media komunitas lain
yang di sana-sini memiliki dukungan terhadap dana publik ataupun keuangan yang berasal
dari komunitas, karena mendatangkan kebaikan-kebaikan serta manfaat yang berada
didalamnya.

Pada sisi pengelola pada program media, khususnya di TY, meskipun mereka akan
berusaha keras untuk besikeras tetap mencoba menggali serta mengekspos informasi yang
dibutuhkan publik ketika masa kampanye, tetaplah memiliki keterbatasan pada jam tayang
yang bisa disediakan pada program-Program yang memungkinkan tidak akan menghasilkan
rating yang baik dan bagus. Sekuat apapun mereka akan mencoba melakukan perubahan agar
memiliki kesan dramatis dan munculnya isu yang kontroversial pada dialog tersebut sehingga
tayangannya bukan merupakan sungguh yang bisa menjadi sebuah tayangan yang normatif
untuk pertukaran wacana serta detail yang termuat didalamnya janji kampanye pada suasana

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 3
sejuk, mempunyai waktu panjang, serta bisa pula melibatkan publik yang relatif luas (selain
dari Pengamat politik yang juga telah terkenal sebagai selebritis). Format tersebut itu lebih
spesifik muncul di Lembaga Penyiaran Publik serta Lembaga Penyiaran Komunitas, yang
disayangkan hingga saat artikel ini disusun belum banyak terlihat menggunakan peranan
berarti ke arah tersebut. Hal ini merupakan Salah satu keunggulan kedua jenis bentukdalam
lembaga penyiaran ini contohnya pada format perjumpaan warga komunitas “multi-
stakeholders” pada tingkatan tertentu, yang umum disebut “ town-hall meeting.” TVRI dan
RRI sebagai satu-satunya Lembaga Penyiaran Publik berfokus pada jenis medium televisi
serta radio radio akantetapi belum mampu membuka dirinya jauh dari tradisi lama, apakah itu
sebagai pihak yang tidak yakin dalam bertindak dikarenakan takut disebut sebagai media
yang lebih banyak memberikan kesempatan untuk calon presiden yang sedang memerintah,
ataupun kekurangan inisiatif serta kreativitas dalam mengambil peluang dalam pembahasan
ataupun dialog yang berlainan pada stasiun komersial. Keraguan yang sama bisa juga adalah
orang yang menggunakan radio-radio komunitas, walau pada hakikatnya mereka bisa jadi
medium yang lebih bermanfaat serta efektif ke arah tersebut, baik dalam aspek manajemen
program serta skala bisnis/politik maupun manajemen isu yang langsung berkaitan dengan
kepentingan pemilih (politik) pada hal yang paling mendasar yaitu komunitas tersebut.

Soal

Untuk pendalaman materi, maka jawab lah soal-soal berikut :

1. Apa yang menjadi pengaruh komunikasi dan politik serta kait kan keduanya !
2. Bagaimana dampak media tradisisional maupun modern pada komunikasi politik
bejalan dalam organisasi politik !
3. Sebutkan jenis media tradisional yang di gunakan dalam komunikasi politik !
4. Jelaskan bagaimana media dapat menjadi pengaruh yang kuat dalam
politik komunikasi !

kesimpulan

Kesuksesan komunikasi yang bersifat politik dengan jalan media sosial ditentukan oleh
pengelolaan media sosial secara up to date serta diharus selalu menjaga komunikasi secara
konsisten untuk menggunakan struktur percakapan yang terus upgrade dalam lingkungan
masyarakat Menjaga terhadap pengelolaan media sosial yang terus up to date serta melayani
publik untuk memberikan informasi tidaklah mudah. Konsistensi dapat menjadi kata kunci

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 4
yang perlu dipahami dari seluruh pihak. Selain itu politisi juga menghadapi tantangan lain
terkait penggunaan pada media sosial sebagai upaya pembentukan branding yaitu
menampilkan diri secara pribadu sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Baik itu dalam
lingkup media tradisional maupun modern.

Kegiatan 3 :

mengurai mengenai komunikasi politik dalam bingkai komunikasi visual

Keluwesan media sosial berhubungan dengan pemanfaatan penggunaan yang semakin


mudah. Setiap orang tanpa kesukaran yang bisa di fungsikan media sosial untuk mencari,
memperoleh dan memanfaatan informasi yang beragam dalam koridor kebebasan
berkomunikasi. Media sosial sebagai entitas pengolah dan penyebar informasi yang fleksibel
dimanfaatkan ada user yang tidak tersegmentasi pada entitas sosial, ekonomi dan politik.
Fleksibilitas media sosial mampu membangun dan meningkatkan hubungan antar individu
maupun kelompok di dunia maya, yang tidak diblock oleh persepsi status di masyarakat.
Bentuk popular media sosial berbasis internet antara lain, adalah Blog, Twitter, Facebook,
Wikipedia, dan MySpace. Media sosial berkembang seiring meningkatnya aplikasi berbasis
internet yang bersifat dua arah (Web 2.0) sampai user mudah berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi untuk membangun kesamaan makna. Asosiasi Penyelenggara Jaringan
Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 mempunyai base survey bahwa terdapat 132,7
juta orang Indonesia telah terhubung ke internet, naik 51,8 persen dibandingkan angka
pengguna internet pada 2014 yang hanya 88 juta pengguna internet. (Kompas, 2016) Media
sosial memiliki hakikat untuk memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk berinteraksi
lebih intensif tanpa jarak dan waktu yang kerapkali merupakan penghambat. Pesan dapat
mengalir dengan cepat kepada pihak yang berkepentingan ataupun entitas yang memiliki
perhatian terhadap berbagai pemberitaan. Sosial media memang mempermudah oleh
penggunanya dalam berbagi serta menciptakan pesan melalui jejaring sosial, media online,
forum dunia maya dan dunia virtual (Mayfield, 2008: 6). Media sosial yang termasuk media
baru memiliki kesamaan saluran tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis, kegunaan, konten
dan konteks (Rice, dalam Mc.Quail, 2010: 143). 5 bentuk media baru tersebut yaitu (1)

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 5
Media komunikasi interpersonal, mencakup telepon dan email, yang secara umum kontennya
bersifat pribadi, mudah hilang dan keterkaitan yang terbentuk lebih penting dibandingkan
informasi yang disampaikan, (2) Media interaktif, yang didasarkan pada komputer dan video
game memiliki kekuatan pada interaktivitas dan dominasi proses (3) Media pencari
informasi, misalnya internet, yang dipahami sebagai perpustakaan serta data base, yang
aktual dan mudah diakses, (4) Collective participatory media, meliputi fungsi internet untuk
tujuan berbagai dan menukar informasi, ide, pengalaman dan pembangunan hubungan
personal, (5) Substitution of Broadcast media, merupakan referensi utama dalam
menggunakan media untuk menerima atau mengunduh konten yang telah disiarkan atau
didistribusikan oleh media lain sebagaimana program televisi yang telah disiarkan.

Keberagaman dari aspek umur, jenis kelamin, stutus sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, ras, etnisitas, penduduk desa dan perkotaan (Perrin, 2015 : 3). Keberagaman
pengguna media sosial yang memiliki kesamaan dalam mencari informasi merupakan sasaran
penyebaran informasi para integrator sosial yang berupaya membangun konten homogen
sesuai dengan kepentingannya. Pada konteks ini, meskipun mempunyai kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, tetapi para pengguna dalam posisi pasif sebagai penerima
informasi, sehingga pembuat pesan leluasa secara terusan membuat pesan untuk
mendapatkan keuntungan. Keleluasaan para pembuat pesan yang positif maupun negatif
semakin kuat karena perangkat untuk mengakses atau menggunakan media sosial semakin
murah dan terjangkau oleh masyarakat meskipun dalam kualitas yang terbatas. Data dari
APJII tahun 2016 menerangkan bahwa rata-rata pengakses internet di Indonesia
menggunakan perangkat genggam. Rinciannya adalah 67,2 juta orang atau 50,7 persen
mengakses melalui perangkat genggam dan computer, 63,1 juta orang atau 47,6 persen
mengakses dari smartphone, sedangkan 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari
komputer. Melihat pengakses internet menggunakan perangkat genggam, sudah barang tentu
terkait pula dengan pengguanaan media sosial. Media sosial memiliki fungsi antara lain untuk
memperluas interaksi sosial manusia menggunakan internet dan teknologi web,
mentransformasikan kegiatan komunikasi sejalan media siaran pada satu institusi media ke
banyak audience (one to many) menjadi praktik komunikasi dialogis antar banyak audience
(many to many). Media sosial mendukung demokratisasi pengetahuan dan informasi yang
dibutuhkan masyarakat. Perkembangan pada diseminasi data yang sangat progresif pada
ruanglingkup keleluasaan komunikasi antara lain mentransformasi seseorang sebagai

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 6
pengguna isi pesan, menjadi pembuat pesan itu sendiri. Media sosial sebagai media
penyebaran pesan sebagai jurnalisme warga, membutuhkan penyesuaian standar jurnalistik
agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kaidah dasar jurnalisme. “Jurnalisme warga perlu
perlindungan, karena menjangkau halhal yang bersifat sangat lokal yang jarang bisa disentuh
oleh jurnalisme arus utama,” kata Eni Mulia, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan
Media Nusantara (Kompas, 30 Maret 2017, halaman 12)

Pengguna media sosial yang beragam dan berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan
politik yang berbeda, diikat oleh satu kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan
kultur literasi malas membaca dan mencari kebenaran. Channel Berita Satu mengungkapkan,
kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lekat dengan budaya membaca dan
menulis, ingin yang serbainstan, serta daya kritis masih rendah. hal ini tidak cukup dimiliki
oleh mereka yang berpendidikan rendah, kelas menengah dengan pendidikan tinggi pun
banyak yang seolah kehilangan akal sehat tatkala menerima materi informasi yang tidak
akurat. Informasi itu diamini hanya karena sesuai dengan sentimen pribadi maupun dari segi
kelompoknya tanpa pikir panjang tentang apakah benar, apakah membahayakan, apakah
memecah belah atau tidak, informasi kemudian dibagikan kepada yang lain.

Ober 2014). Secara umum media sosial memiliki pemasukan dari iklan sangat memadai
karena para pemilik usaha mengetahui bahwa pengguna ataupun khalayak media sosial
sangat banyak, sehingga sesuatu yang diberitahu dengan cara yang menarik juga dengan
cepat dikenal masyarakat luas. Dalam perspektif pemberitaan yang ideal, media sosial
seringkali dengan tidak memperhatikan kebenaran faktual, empati serta keseimbangan,
sumber yang tidak jelas, dan berbagai nilai pemberitaan lain yang tidak layak dikonsumsi
publik. Khalayak pada media utama semakin berkurang jumlahnya. Media massa yang
umum, memiliki posisi kuat dalam menumbuhkan wawasan publik. Surat kabar, majalah,
radio, dan televisi memberikan informasi bermutu kepada masyarakat. “Media yang dipakai
penguasa sebagai instrumen politik pemerintah untuk menyebarkan dan mempromosikan
program sosial ekonomi pemerintah sebagai tujuan nasional” (Biagi, 2005: 350). Keterlibatan
pemerintah seringkali lebih banyak memposisikan pers sebagai media yang harus dikontrol.
Kontrol terang-terangan maupun terselubung terhadap media massa bertujuan menjaga
keamanan dan stabilitas politik. Media wajib aksi dalam latihan sistem serta pemerintah
campur tangan dalam membatasi pengoperasian media melalui aneka macam regulasi.
Kecenderungan negara menguasai rakyat melalui penyebaran informasi, diulas oleh

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 7
Durkheim, yang menyebutkan, “negara sering mempunyai gagasan baru untuk mengarahkan
masyarakat sejauh mungkin” (dalam Giddens, 1986 :126). Dalam bingkai kebebasan
komunikasi, media merupakan arus terdepan terperangkap pada kontrol media demi
kepentingan politik. Penyebaran informasi merupakan langkah politis untuk mengendalaikan
hak masyarakat untuk memperoleh informasi realistis dan akurat dari sumber yang
kredibilitasnya diakui

Permasalahan mengenai pers yaitu pers bebas yang memicu bentrokan antara media
massa dengan publik yang dikarenakan oleh informasi yang memihak. Posisi media
seharusnya bersikap “konsisten dalam peliputannya, yaitu impartial, fair, balance dan tetap
menjadi pelindung masyarakat yang terpingirkan oleh sistem yang menekan dunia saat ini”
(Eisy, 2007: 46). Perkembangan teknologi komunikasi dan demokratisasi informasi,
mengemukakan hak masyarakat dalam memilih sumber data yang bisa memenuhi kebutuhan
secara transparan. Pilihan menggunakan media social dan meninggalkan media arus utama
merupakan hak masyarakat. Media sosial mewartakan gambaran faktual dengan prinsip
keseimbangan dan kejujuran, bukan sebatas mengejar kecepatan dalam pemberitaan dan
menyebarkan berita bohong demi mempengaruhi kelompokkelompok di masyarakat.

Media sosial yang memiliki kekuatan dalam penyebaran informasi politik menjadi
pertimbangan bagi elite dalam kekuasaan negara dan partai politik untuk membangun
komunikasi politik dengan pendukungnya. ”Komunikasi politik merupa kan proses interaktif
mengenai transmisi informasi kalangan politisi, media berita dan publik (Norris, 1999:163).
Pesan dalam komunikasi politik menyangkut; cara kandidat, pemerintah, pelobi, maupun
kelompok prinsip ketika mencapai tujuan yang strategis/jelas, serta otoritas opini publik
untuk mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Melalui media sosial, komunikasi
politik tidak lagi dominasi linier ber arus satu arah, tetapi memiliki sifat interaktif terbuka di
alam maya. Komunikasi virtual ini muncul sebagai gambaran kekuatan media sosial sebagai
media baru. Pemanfaatan media baru memungkinkan pengguna dapat membentuk jaringan
integratif seluasluasnya, dan dapat menunjukkan identitas berbeda dari pengguna di dunia
nyata (Flew, 2002: 25). Pilihan menggunakan media sosial untuk membangun jaringan
komunikasi politik yang kuat merupakan hal yang wajar dalam upaya meraih dukungan.
Jaringan komunikasi politik merupakan pola sistematis yang mengatur hubungan antar
individu, maupun kelompok dalam pertukaran informasi politik. terbangunnya jaringan
komunikasi politik dengan membuat media social yang merupakan alasan praktis untuk

2
pemilihan media dalam komunikasi politik 8
menumbuhkan partisipasi yang membangun kontribusi serta umpan balik umpan balik,
keterbukaan tanpa jarak antar sumber berita dan khalayak yang dapat menguatkan diskusi

Stratifikasi politik dalam kehidupan ber negara dan masyarakat masing-masing lapisan
memiliki perbedaan peran. Enam bentuk stratifikasi dalam politik, diantaranya (1) proximate
decession maker, (2) influential, (3) aktivis, (4) Attentive Public, (5) Voters, (6) kelompok
Nonpartisipan. Setiap bentuk mempunyai relasi serta komunikasi politik yang open, sehingga
bisa saja tidak ada jangkauan yang tegas, khususnya yang menyangkut satu lapisan ke atas
dan satu lapisan ke bawah (Putnam, 2013:10-14

Kelompok pengamat (attentive public) sebagai kumpulan orang kritis, memiliki banyak
informasi, wawasan luas, tetapi tidak akan bisa terjun secara langsung dalam dunia politik.
Voters dalam bentukan ini merupakan pemberi suara dari pemilihan umum, memiliki sumber
politik kolektif yang penting karena jumlahnya besar, tetapi sebagai individu tidak memiliki
pengaruh penting. Kelompok terakhir adalah Nonpartisipan, yang sama sekali tidak
berpartisipasi pada politisi karena kemauan sendiri, atau diasingkan oleh penguasa. Mereka
memiliki jarak kekuasaan dengan elite politik. Berdasarkan stratifikasi politik tersebut,
penggunaan media sosial di setiap lapisan memiliki perbedaan walaupun secara umum
mempunyai kesamaan untuk mendukung tujuan dalam persaingan politik yang laten maupun
manifest.

Posisi di media sosial dan tujuan politik dalam paradigma komunikasi transaksional
maupun interaktif bisa berubah-ubah mengingat pengirim pesan dapat berganti sebagai
penerima pesan dalam interaksi di media sosial. Pesan pada media baru dibangun dengan
kerjasama terkhusus diantara bagian-bagian yang memiliki komunikasi. Proses beroperasi
pembentukan interest dibuat secara horisontal ditengah aktor-aktor politik serta juga vertikal
ke atas sebagai bentuk respon opini publik pada mereka yang berwenang (Chekuvanol, et.al.,
2013:4). Pemahaman makna terhadap pesan politik dari pengguna media sosial sangat
dinamis, sehingga posisi serta tujuan ketika memanfaatkan media sosial dapat dengan cepat
terbalik. Dalam upaya membangun kesamaan makna, golongan 1 sampai 3 memposisikan
penyebaran informasi sebagai alat untuk mendapatkan dukungan melalui komunikasi yang
bersifat integratif. Sejalan dengan bentuk Komunikasi pada perspektif politik, sebagai bentuk
menafsirkan peristiwa, dan membentuk tanggapan masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah. Keberhasilannya ditentukan oleh cara membingkai pesan yang diterima
masyarakat (Győri, 2016 : 14). Berpijak pada pendapat tersebut, relasi komunikasi politik
2
pemilihan media dalam komunikasi politik 9
yang memberi jalan untuk saling bernaung, dan menciptakan ikatan diantara individu maupun
kelompok yang ada dalam 1 entitas politik diperlukan membangun pemahaman bersama
demi mencapai tujuan politik dalam demokrasi bernegara. Prinsip terpenting demokrasi ialah
persamaan, kebebasan, serta kontrol pada sistem pemerintahan yang berpihak untuk
kepentingan rakyat. Penggunaan media sosial yang merupakan pendukung komunikasi yang
bersifat politik adalah perwujudan dari kehendak rakyat ketika menggunakan hak politik.

Pengguna media sosial yang memiliki heterogin pada aspek seperti sosial budaya,
ekonomi dan yang terpenting politik itu, tidak dapat disangkal bahwa personal itu dapat
bertindak sebagai pribadi ataupun kelompok yang menggunakan media sosial dalam
kepentingan-kepentingannya yang beragam dan berhubungan dengan opini publik demi
memenuhi kebutuhan informasi menyenangkan meski tidak benar dan menyesatkan. Majalah
Tempo memberikan pandangan kecenderungan hoax adalah berita buruk, orang ramai
diharapkan tidak sembarang menyebarkan berita tidak sahih. Pada Kenyataannya, tanpa
pemeriksaan yang cermat, dari sebagian orang turut menikmati berita bohong dikarenakan isi
kabar tersebut memenuhi harapannya tentang keadaan orang atau lembaga yang menjadi
korban hoax (Sahidah, Tempo 2017:62) Penggunaan media sosial dalam konsep politik yang
melekat pada elite cenderung harus memenuhi daripada kesenangan semata terhadap
informasi tentang lawan politiknya, melampiaskan dendam politik, membangun konflik,
meminimalisir konflik, mencari sokongan dimasa massa untuk menggapai atau
mempertahankan jabatan publik, pencitraan, serta perilaku lain yang bermuara daripada
kepentingan politik. Informasi dan informasi yang disebarkan tersebut sebagai respon
terhadap beritaacara positif maupun negatif, bisa tidak sesuai kenyataan, penuh
rekayasa/kebohongan ataupun tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap kebenaran nya.

komunikasi politik bisa diterima dengan membawa jutaan orang dari seluruh dunia,
tanpa harus hubungan yang bersifat pribadi. Khalayak yang tercipta oleh media sosial
tersebut sangat bedampak yang merupakan sebuah masyarakat yang terbentuk oleh jaringan
komputer, yang disebut masyarakat maya (Arifin, 2011: 158-159). Media baru
mengemukakan keuntungan dalam komunikasi politik daripada media massa lama. Jenis dari
media baru setiap orang bisa terlibat dan membuntuti masa politik baru. Media baru
memberikan ruang publik terhadap politisi serta warga masyarakat dalam berinteraktif. (M.
Alwi Dahlan, 2012:7). Kegiatan komunikasi politik memiliki pengaruh dalam hubungan
masyarakat serta media yang merupakan strategi manajemen terhadap informasi yang

3
pemilihan media dalam komunikasi politik 0
dibentuk bertujuan meyakinkan partai politik dalam publisitas maksimum serta
meminimalkan penilaian yang bersifat negatif. (McNair, 2012:7) Komunikasi politik
merupakan suatu proses komunikasi yang didalamnya memiliki implikasi atau konsekuensi
terhadap aktivitas politik. (Cangara, 2009:36).

Politik komunikasi media masa sebenarnya lebih ke perilaku dalam berpolitik


menggunakan internet. Menurut Susri Adeni dalam tulisannya “Internet and Democracy; Is It
An Ambiguity Of New Agent For Democracy?” menjelaskan kualitas demokrasi bisa
menguat seiring penggunaan teknologi tinggi yang sehingga meningkatkan pemahaman
demokrasi. Internet bisa menjadi agen dalam keterlibatan terhadap demokratis serta proses
pembelajaran demokrasi (Media Komunikasi Politik, 2011:147). Penggunaan internet pada
kegiatan politik merupakan bentuk dalam kesiapan seorang individu berpartisipasi politik.
Partisipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson yaitu kegiatan
masyarakat yang harus bertindak sebagai pribadi, dimaksudkan untuk mempengaruhi suatu
pembuatan dalam keputusan oleh pemerintah. Partisipasi memiliki sifat individual ataupun
kolektif, memiliki bentuk terorganisir atau spontan, secara damai ataupun dengan kekerasan,
legal ataupun illegal, efektif ataupun tidak efektif (Budiardjo, 2008:367). Coleman (1999)
manyampaikan ‘peran media baru pada layanan yang bersifat subversif dari penilaian
ekspresi secara bebas berada di bawah persyaratan dalam kontrol otoriter mengenai alat-alat
dalam berkomunikasi’ yang tidak kalah pentingnya. Tidaklah mudah untuk pemerintah dalam
mengendalikan akses pada penggunaan internet dari warga negara yang memiliki perbedaan
pendapat pada segala hal, tetapi juga bukannya hal tersebut tidak mungkin terjadi. Gagasan
dalam keidealan tentang ranah publik sebagai arena kosong bagi komunikai publik, debat
serta pertukaran pemikiran serta gagasan terlihat hingga dapat dipenuhi dari berbagai bentuk
komunikasi (khususnya internet) yang secara cultural warga negara mengekspresikan
gagasan mereka dan saling berkomunikasi juga kepada para pemimpin politik tanpa
meninggalkan pondasi rumah masing-masing. Penelitian Scheufele dan Nisbet (2002)
mengenai internet serta warga negara, terdapat kesimpulan bahwa karakter yang sangat
sedikit bagi internet dalam menawarkan perasaan aktif dan efektif, pengetahuan serta
partisipasi. (McQuail, 211: 165-167). Selain dari pada itu, terdapat istilah lainnya dalam
penggunaan internet dalam rangka mengimplementasikan demokrasi yaitu cyberdemokrasi.
Cyberdemokrasi adalah sebuah konsep dengan memperhatikan internet sebagai teknologi
yang mempunyai pengaruh sosial serta memperluas partisipasi dalam demokrasi. Menurut

3
pemilihan media dalam komunikasi politik 1
John Hartley, cyberdemokrasi merupakan sebuah konsep optimis yang tiba ketika awalawal
kehadiran internet. pada mulanya konsep ini sangat berkaitan pada konsep awal dari
electronic democracy

Dalam dunia perpolitikan, generasi millenial mengimpikan sosok pemimpin dari yang
mempunyai sifat terbuka, sederhana, serta pembawa harapan, dan pemimpin egaliter. Para
politisi dan partai politik tidak akan lagi membuat pemuda sebagai komoditi, akantetapi
berhadapan dengan pemuda dengan pendekatan partisipatif. Pengamat dari Lembaga Charta
Politika, Muslimin, menyatakan berdasarkan pada data Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah
populasi yang berada pada generasi millennial diperkirakan gelaran Pemilu 2019 memiliki
sekitar 47 – 50 persen pemilih seorang pemuda. Dari 268 juta pemilih, ada 84 jutaan pemilih
di tahun 2019 yang dapat dikategorikan dalam kelompok generasi millennial. Dari hal 47 –
50 persen penentu pada generasi millennial, dapat di kategorikan sebagai generasi now
dengan analogi bentuk 4C yakni Criticisme, Chek, Communicatif dan Community. criticisme
atau kritis, Chek and balance dalam artian selalu mengharapkan perubahan, komunikatif
yang pandai komunikasi dua arah, dan tingkah laku mereka ber-community atau membentuk
kelompok sesuai profesi masing-masing, hobby serta minat bakat mereka.

David Phillip dan Philip Young (2009:11) menjabarkan sejumlah aplikasi media sosial
untuk sebagai geograpi. Geograpi media sosial adalah petunjuk utama untuk menyelami dan
memahami media sosial yang ada. jalur media sosial menjadikan komunikasi menjadi sangat
cepat. Menurut David Philip dan Philip Young ada berbagai macam jenis aplikasi yang bisa
disebut sebagai media sosial. Media sosial diatas meliputi: blog, chatting, e-mail, game,
pesan instan, papan pesan, monitoring dan evaluasi, siaran media sosial, konferensi online,
podcasting, RSS, Survei online, Usenet, Video-sharing, lingkungan virtual, komunitas virtual,
VoIP, Website, widget, wiki. Setiap saluran dalam daftar di atas memiliki perbedaan secara
praktis dandapat digunakan oleh orang-orang dengan berbagai cara. Aplikasi-aplikasi media
sosial tersebut dapat diakses melalui komputer atau PC melalui koneksi internet. Bisa juga
diakses melalui perangkat lain seperti gadget. Saluran ini memiliki kegunaan beragam seperti
surat personal, buku harian, buku, surat kabar dan majalah seperti halnya dalam media cetak.
Saluran-saluran komunikasi media sosial tersebut, pada masa yang akan datang,
memungkinkan tidak lagi digunakan, karena sifat dari teknologi yang cepat berkembang.
Oleh karena itu, ke depan saluran komunikasi media sosial harus tetap melakukan
penyesuaian sesuai dengan trend perkembangan media sosial. Seperti diketahui, sebagian dari

3
pemilihan media dalam komunikasi politik 2
yang disebutkan di atas kini sudah tidak lagi atau jarang digunakan oleh pengguna internet.
Untuk Indonesia sendiri, podcasting dan VoIP tidak terlalu popular, sehingga jarang
digunakan. Saat ini yang paling umum difungsikan oleh lembaga maupaun perseorangan
sebagai sarana berkomunikasi dengan audiens adalah jenis media sosial yang memungkinkan
terjalinnya pertemanan dan partisipasi aktif dari audiensnya yaitu jejaring sosial. Melalui
jejaring sosial seseorang juga memungkinkan berbagi dengan berbagai bentuk dokumen
sebagai bentuk atau bagian dari pesan komunikasi. User bisa berbagi foto ke Picmix atau
Instagram, atau berbagi video ke Youtube atau Vimeo, sementara untuk berbagai pesan
tulisan bisa dibuat melalui blog. Selain dari itu , mereka juga membagikannya ke media
sosial seperti melalui Facebook, Twitter ataupun google+ dan lainnya agar konten-konten
yang diciptakan dapat diterima, dibaca, atau diketahui oleh publik. Lebih jauhnya, melalui
komunitas yang dibangun dapat mempersuasi anggota-anggotanya.

Soal

Untuk pendalaman materi, maka jawab lah soal-soal berikut :

5. Apa yang menjadi visual komunikasi dan politik diera modern !


6. Bagaimana pengaruh media modern pada komunikasi politik dalam visualitasnya !
7. Sebutkan jenis media modern yang di gunakan dalam komunikasi politik !
8. Jelaskan bagaimana media dapat menjadi pengaruh yang kuat dalam politik
komunikasi !

Kesimpulan

Media sosial dari tingkatan massa sebagai bentuk suara kelompok politik, dipakai untuk
alat dalam mencari informasi yang bisa memenuhi kesiapan yang memiliki sifat positif,
seperti memberikan pengajaran, pengetahuan luas terhadap hidup bernegara serta
menyuarakan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Media sosial memiliki dimensilain
yang dipakai untuk menemukan informasi yang memiliki sifat negatif terhadap individu
ataupun kelompok yang kurang disukai, misalnya pesan yang memanaskan pertikaian
diantara kelompok masyarakat. Kebencian pada kelompok yang tidak disukai, menunjukkan
keunggulan kelompoknya serta bersifat etnosentrisme, sektarianisme, komunalisme, semangat

3
pemilihan media dalam komunikasi politik 3
sub- nasional serta informasi atau berita negatif lainnya yang memberikan bentuk dari
kepuasan pada jerat konflik yang laten maupun manifes.

3
pemilihan media dalam komunikasi politik 4

Anda mungkin juga menyukai