Tugas KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Tugas KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Tugas KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Oleh:
NPM: 12114201200095
Kelas: B
TAHUN AJARAN
2021/2022
I. Sikap dan Teknik-teknik Komunikasi Terapeutik
Sikap sebagai kehadiran perawat dalam berkomunikasi terapeutik mempunyai peran yang
penting untuk tercapainya tujuan komunikasi/interaksi (hubungan). Sikap (kehadiran) yang harus
ditunjukkan perawat dalam berkomunikasi terapeutik ada dua, yaitu sikap (kehadiran) secara fisik
dan secara psikologis.
a. Sikap Fisik
Sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi
komunikasi yang terapeutik sebagai berikut.
1. Berhadapan. Posisi berhadapan berarti bahwa dalam komunikasi perawat harus
menghadap ke klien, tidak boleh membelakangi, atau duduk menyamping.
Sikap ini harus dipertahankan pada saat kontak dengan klien. Dengan posisi ini,
perawat dapat melihat secara jelas apa yang tampak secara verbal maupun
nonverbal klien. Arti posisi ini adalah saya siap membantu Anda.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengarkan sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Selama berkomunikasi, perawat tidak melipat
kaki atau tangan karena sikap ini menunjukkan keterbukaan perawat dalam
berkomunikasi.
5. Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberikan respons pada klien.
6. Berjabat tangan. Menunjukkan perhatian dan memberikan kenyamanan pada
pasien serta penghargaan atas keberadaannya. Berjabatan tangan juga dapat
memberi kesan keakraban dan kedekatan antara perawat dan klien.
b. Sikap Psikologis
Sikap psikologis terbagi dua yakni sikap dalam dimensi respon dan sikap dalam
dimensi tindakan.
Sikap dalam Dimensi Respons
1. Ikhlas (Genuiness): perawat menyatakan dan menunjukkan sikap keterbukaan,
jujur, tulus, dan berperan aktif dalam berhubungan dengan klien. Perawat
merespons tidak dibuat-buat dan mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya
secara spontan.
2. Menghargai: perawat menerima klien apa adanya. Sikap tidak menghakimi,
tidak mengejek, tidak mengkritik, ataupun tidak menghina; harus ditunjukkan
oleh perawat melalui, misalnya, duduk diam menemani klien ketika klien
menangis; bersedia menerima permintaan klien untuk berdiskusi atau bercerita
tentang pengalaman; bahkan minta maaf atas ucapan dan perilaku perawat yang
menyinggung klien.
3. Empati (empathy) merupakan kemampuan perawat untuk memasuki pikiran dan
perasaan klien sehingga dapat merasakan apa yang sedang dirasakan dan
dipikirkan klien. Melalui rasa empati, perawat dapat mengidentifikasi kebutuhan
klien dan selanjutnya membantu klien mengatasi masalahnya.
4. Konkret: perawat menggunakan kata-kata yang spesifik, jelas, dan nyata untuk
menghindari keraguan dan ketidakjelasan penyampaian.
a. Konfrontasi
Pengekspresian perawat terhadap perbedaan perilaku klien yang
bermanfaat untuk memperluas kesadaran diri klien. Carkhoff (dikutip oleh
Stuart dan Sundeen, 1998) mengidentifikasi tiga kategori konfrontasi sebagai
berikut.
1. Ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang dirinya)
dengan ideal diri (cita-cita/keinginan klien).
2. Ketidaksesuaian antara ekspresi nonverbal dan perilaku klien.
3. Ketidaksesuaian antara pengalaman klien dan perawat seharusnya
dilakukan secara asertif bukan agresif/marah (konfrontasi). Oleh karena
itu, sebelum melakukan konfrontasi, perawat perlu mengkaji, antara lain
tingkat hubungan saling percaya dengan klien, waktu yang tepat, tingkat
kecemasan, dan kekuatan koping klien. Konfrontasi sangat berguna
untuk klien yang telah mempunyai kesadaran diri, tetapi perilakunya
belum berubah.
b. Kesegeraan
Terjadi jika interaksi perawat-klien difokuskan untuk membantu klien
dan digunakan untuk mempelajari fungsi klien dalam hubungan interpersonal
lainnya. Perawat sensitif terhadap perasaan klien dan berkeinginan untuk
membantu dengan segera.
c. Keterbukaan perawat
Tampak ketika perawat memberikan informasi tentang diri, ide, nilai,
perasaan, dan sikapnya sendiri untuk memfasilitasi kerja sama, proses belajar,
katarsis, atau dukungan klien. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Johnson
(dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987: 134), ditemukan bahwa peningkatan
keterbukaan antara perawatklien menurunka tingkat kecemasan perawat klien.
d. Katarsis emosional
Klien didorong untuk membicarakan hal-hal yang sangat mengganggunya
untuk mendapatkan efek terapeutik. Dalam hal ini, perawat harus dapat
mengkaji kesiapan klien untuk mendiskusikan maslahnya. Jika klien
mengalami kesulitan mengekspresikan perasaanya, perawat dapat membantu
dengan mengekspresikan perasaannya jika berada pada situasi klien.
e. Bermain peran
Membangkitkan situasi tertentu untuk meningkatkan penghayatan klien
dalam hubungan antara manusia dan memperdalam kemampuannya untuk
melihat situasi dari sudut pandang lain serta memperkenankan klien untuk
mencobakan situasi yang baru dalam lingkungan yang aman.
d. Mengulang (restating/repeating)
Maksud mengulang adalah teknik mengulang kembali ucapan klien dengan
bahasa perawat. Teknik ini dapat memberikan makna bahwa perawat memberikan
umpan balik sehingga klien mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan
mengharapkan komunikasi berlanjut.
Contoh:
K : “Saya tidak nafsu makan, seharian saya belum makan.”
P : “Bapak mengalami gangguan untuk makan?”
e. Klarifikasi (clarification)
Teknik ini dilakukan jika perawat ingin memperjelas maksud ungkapan klien.
Teknik ini digunakan jika perawat tidak mengerti, tidak jelas, atau tidak mendengar
apa yang dibicarakan klien. Perawat perlu mengklarifikasi untuk menyamakan
persepsi dengan klien.
Contoh : “Coba jelaskan kembali apa yang Bapak maksud dengan kegagalan
hidup? ”
f. Memfokuskan (focusing)
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga
lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien
ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa
informasi yang baru. Perawat membantu klien membicarakan topik yang telah dipilih
dan penting.
Contoh:
Klien : “Ya, beginilah nasib wanita yang teraniaya seperti saya. Tapi, saya
pikir untuk apa saya pikirkan sakit ini?”
Perawat : “Coba ceritakan bagaimana perasaan ibu sebagai wanita.”
g. Merefleksikan (reflecting/feedback)
Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil
pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah pesan diterima dengan benar.
Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh syarat nonverbal klien.
Menyampaikan hasil pengamatan perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih
jelas tanpa harus bertambah memfokuskan atau mengklarifikasi pesan.
Contoh: “Ibu tampak sedih.”
“ Apakah Ibu merasa tidak senang apabila Ibu ….”
i. Diam (silence)
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi
pikirannya. Penggunaan metode diam memerlukan keterampilan dan ketetapan waktu.
Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi terhadap dirinya sendiri,
mengorganisasi pikirannya, dan memproses informasi. Bagi perawat, diam berarti
memberikan kesempatan klien untuk berpikir dan berpendapat/berbicara.
l. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau
klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Sering kali perawat hanya
menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, dan teknik komunikasi ini harus dilakukan
tanpa pamrih.
Contoh: “Saya ingin Anda merasa tenang dan nyaman.”
“… dan kemudian …?
o. Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan serta menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Contoh:
“Bagaimana menurutmu?” atau “Bagaimana perasaanmu?” Dengan teknik ini
, dapat diindikasikan bahwa pendapat klien adalah berharga.
p. Humor
Humor yang dimaksud adalah humor yang efektif. Humor ini bertujuan untuk
menjaga keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi. Perawat harus hati-hati dalam
menggunakan teknik ini karena ketidaktepatan penggunaan waktu dapat menyinggung
perasaan klien yang berakibat pada ketidakpercayaan klien kepada perawat.
II. Reiew Journal Caring Perawat dengan Hubungan Terapeutik Perawat Klien.
Pelatihan ini dilakukan di salah satu rumah sakait Sumatra Barat yakni, RSUP M. Djamil
Padang. Hal yang melatarbelakangi pelatihan ini adalah ditemukan adanya permasalahan dalam
komunikasi terapeutik perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Komunikasi yang
diterapkan perawat tidak memenuhi standar komunikasi terapeutik, komunikasi cenderung ke arah
komunikasi sosial. Faktor yang menyebabkan tidak terjadinya komunikasi terapeutik karena
kurang terpaparnya perawat dengan komunikasi terapeutik, beban kerja yang tinggi dan faktor
psikososial pasien yang tidak dipahami oleh perawat dengan baik. Permasalahan ini tentu dapat
berdampak pada kualitas pelayanan dan nilai kepuasaan pasien. kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman perawat dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik melalui pelatihan
komunikasi terapeutik. Dampak lanjutnya dapat menunjang outcome dari program pengobatan dan
perawatan pasien di rumah sakit.
Pemberian pelatihan ini dilakukan dengan metode sosialisasi guna terciptanya komunikasi
terapeutik yang ideal. Ada empat materi yang disajikan yaitu, tentang konsep komunikasi
terapeutik, prinsip komunikasi pada pasien dengan penyakit kronik dan terminal, prinsip
komunikasi dalam penyampaian berita buruk dan kondisi pasien sulit, prinsip komunikasi pada
pasien dewasa, dan prinsip komunikasi pada pasien lansia dan keluarga. Masing-masing sesi
materi diberikan melalui metode ceramah, diskusi, dan demonstrasi. Sebelum dan setelah kegiatan,
peserta diberikan kuesioner untuk mengukur pengetahuan peserta tentang komunikasi terapeutik.
Perawat adalah tenaga profesional kesehatan yang paling besar andilnya dalam layanan
perawatan di suatu rumah sakit. Perawat memiliki waktu yang paling banyak berhubungan dengan
pasien dan disebut sebagai garda terdepan dalam pelayanan perawatan terhadap pasien. Oleh
karena itu, semakin baik pelayanan yang diberikan oleh perawat, maka semakin baik pula kualitas
pelayanan di rumah sakit. Untuk menciptakan hubungan terapeutik, maka seorang perawat
profesional harus mampu menghindari diri menggunakan komunikasi sosial yang dapat merusak
hubungan terapeutik dengan pasien. Perawat harus memahami batasan-batasan dalam memberikan
setiap layanan keperawatan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Kegiatan
pelatiahan komunikasi terapeutik yang dilakukan di RSUP M. Djamil Padang, dilakukan selama
delapan jam yang diberikan dengan metode ceramah, diskusi dan demonstrasi. Kegiatan ini
terbukti sangat efektif dapat meningkatkan pengetahuan peserta tentang komunikasi terapeutik.
Metode ceramah dalam kegiatan ini diberikan dengan cara memberikan materi melalui penjelasan
dan diselingi dengan kegiatan diskusi, sehingga materi yang disampaikan dapat dipastikan
diterima baik oleh peserta. Setelah pemberian materi, kegiatan dilanjutkan dengan demonstrasi
yang berupa role play cara berinteraksi sehingga dapat memperkuat pemahaman peserta terhadap
komunikasi terapeutik setelah mendapatkan penjelasan pada sesi ceramah.
Lewat hasil pre-test yang dilakukan sebelum kegiatan pelatihan ditemukan bahwa
kesadaran caring dalam kominikasi terapeutik perawat di rumah sakit terkait masih jauh dari yang
ideal. Namun, setelah melakukan pelatihan ada perubahan yang baik dari tingkah laku perawat
yang bekerja di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, disarankan pelatihan ini dapat dilakukan
secara rutin guna meningkatkan pemahaman perawat tentang komunikasi terapeutik, sehingga
pada akhirnya dapat menjadi perilaku yang membudaya dalam penerapan asuhan keperawatan
pada pasien. Selain itu, juga disarankan agar kegiatan ini dilakukan dalam rentang waktu yang
agak panjang, sehingga memungkinkan peserta dapat melakukan demonstrasi langsung ke pasien
di ruangan perawatan.