MAKALAH PAI Fix
MAKALAH PAI Fix
MAKALAH PAI Fix
Dosen Pengampu:
Dr. Multazam M.Ag
Kelompok 4:
Archil Inayatus Sa’idah (2305070041)
Muhammad Ariel Alfiansyah (2304020095)
Nisrina Luthfiyah Khoirunnis (2304060062)
Menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-
Nya kepada kami semua, sehigga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah tentang
Syari’ah, Ibadah dan Muamallat.
Makalah ini kami selaku anggota penyusun hanya sebatas ilmu dan pengalaman yang dapat
kami sajikan dengan topik “Syari’ah, Ibadah dan Muamallat”. Makalah ini telah kami susun
berdasarkan materi yang kita pelajari terlebih dahulu
Akhir kata, kami selaku anggota penyusun makalah ini berharap semoga makalah tentang
“Syari’ah, Ibadah dan Muamallat” ini dapat memberikan manfaat maupun dapat diterapkan di
kehidupan sehari-hari.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Untuk mengetahui apa pengertian dan maksud Syariat, Ibadah, dan Muamalah.
2. Untuk menjelaskan perbedaan antara dalil syara’ yang disepakati dan tidak disepakati pada
hokum islam?
3. Dapat mengetahui perbedaan dari syari’ah dan ilmu fikih
1.4 Manfaat Penulisan
Karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui beberapa
informasi terkait beberapa ngaruh nya manusia dalam Islam.
BAB II
SYARI’AH
B. Hadits
Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits. Melalui hadits inilah yang akan memberikan
penjelasan lebih lanjut dari apa yang tercantum di Al-Quran. Hadits adalah satu dari 4 sumber
hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk
menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits
dimaknai sebagai jadid, qorib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar artinya warta
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi adalah sabda, perbuatan, dan persetujuan dari
Rasulullah SAW.
Sedangkan secara bahasa, hadis berarti perkataan, percakapan, berbicara. Definisi hadits
dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan segala
keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits
melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan
taqrir para sahabat dan Tabi’in.
Pada dasarnya, Al-Quran dan hadits tidaklah bisa dipisahkan, tetapi saling melengkapi. Oleh
karena itu, keduanya selama ini telah menjadi pedoman bagi masyarakat, terutama umat Muslim.
Jika umat Muslim menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan ternyata masih belum
menemukan titik terang dari suatu permasalahan, maka hadits akan menjadi pedoman yang
berikutnya setelah Al-Quran. Jadi, hadits dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al-Quran.
Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar,
sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir
2. Bayan at-Tafsir
3. Bayan at-Tasyri
4. Bayan an-Nasakh
C. Ijma
Ijma berasal dari bahasa Arab ِإْج َم اٌعijmā yang berarti konsensus. Istilah ini berasal dari kata
َأ َم َعajma‘a yang artinya menyepakati. Kata ini berakar dari َج َم َعjama‘a yang berarti
ْج
mengumpulkan atau menggabungkan. Menurut KBBI, pengertian Ijma adalah kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa. Secara etimologi,
pengertian ijma mengandung dua arti. Pertama, Ijma berarti ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu atau memutuskan berbuat sesuatu. Kedua, Ijma berarti sepakat.
Pengertian Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati dan hasil dari ijma adalah fatwa.
Pengertian Ijma merupakan bagian dari hukum Islam. Dalam Islam, Al-Qur’an dan hadits
adalah dasar hukum yang digunakan. Para ulama menggunakan Al-Qur’an dan hadits sebagai
dasar menetapkan Ijma. Pengertian Ijma penting dipahami ketika mempelajari hukum Islam.
Secara bahasa, ijma adalah mengumpulkan masalah yang setelah itu diberi hukum atas masalah
tersebut lalu diyakini.
Sedangkan menurut istilah, ijma adalah kesepakatan pendapat dari seluruh ahli ijtihad setelah
Rasulullah Muhammad SAW wafat. Kedudukan ijma ini adalah sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga setelah Al-Quran dan hadits. Jadi, Ijma adalah salah satu cara menetapkan hukum
yang tidak didapatkan di Al Qur’an dan hadits.
Pada awalnya, ijma ini dijalankan oleh para khalifah serta para petinggi negara. Dari
musyawarah yang sudah mereka lakukan, lalu hasilnya akan dianggap sebagai perwakilan dari
pendapat umat Muslim.
Setelah berjalannya waktu, musyawarah yang dilakukan pun semakin banyak diikuti.
Terutama diikuti oleh ahli ijtihad dan dilanjutkan hingga saat ini. Ijma sendiri dibagi menjadi dua
yaitu ijma sharih dan ijma sukuti.
Ijma sharih atau lafzhi adalah suatu kesepakatan dari para mujtahid yang dilakukan melalui
pendapat atau pun dari perbuatan terhadap suatu hukum perkara tertentu. Untuk ijma sharih ini
tergolong jarang terjadi.
Sedangkan ijma sukuti adalah kesepakatan dari para ulama melalui seorang mujtahid yang
sudah mengutarakan pendapatnya mengenai hukum suatu perkara. Setelah itu pendapat dari
mujtahid tersebut pun menyebar dan banyak orang yang mengetahuinya. Dalam hal ini, mujtahid
lainnya tidak menyatakan ketidaksetujuan pada pendapat tersebut setelah melakukan riset atau
penelitian tentang pendapat itu.
Penetapan Ijma tetap berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pengertian Ijma, maka
dapat dikatakan bahwa Ijma berasal dari Ijtihad para ulama. Selain itu, Ijma menjadi alat
penafsiran hukum sesuai syariat Islam dan sebagai wujud toleransi terhadap tradisi yang berbeda
dalam Islam.
Menurut istilah para ahli ushul fiqh, pengertian Ijma adalah kesepakatan terhadap
permasalahan hukum syara pada suatu peristiwa. Kesepakatan ini dilakukan para mujtahid
Muslim pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah wafat.
D. Qiyas
Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat rukun dan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:
1. Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik
dalam nash maupun ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai
dan maqis ‘alaih atau tempat meng-qiyas-kan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang
akan digunakan sebagai ukuran atau pembanding.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada
jalur sam’isyar’i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashal. Selain
itu, ketetapan hukum pada ashal harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan karena nash atau
ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.
2. Far’u
Far’u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang sudah
ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far’u dapat ditetapkan dalam qiyas antara
lain far’u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus ditemukan
illat ashl pada far’u dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat yang
terdapat pada ashl.
3. Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum terhadap far’u.
4. Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan dalam
hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang diperhatikan
syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.
Jadi, dalam menjalani kehidupan ini, umat Islam harus mengikuti hal-hal apa yang boleh
dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran
merupakan sumber hukum Islam tertinggi.
Selain penjelasan dari keempat dalil syara’ yang disepakati, terdapat juga dalil syara’ yang
tidak disepakati. Terdapat 6 dalil syara’ yang tidak disepakati, berikut ini penjelasannya:
A. Istihsan
B.Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
C.menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
D.kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
E. Az Zuhaili terdiri dari dua
definisi:
F. a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
G.qiasi
H.b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
I. tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
J. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
K.menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
L. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
M. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
N.a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
O.qiasi
P. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
Q.tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
R.Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
S. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
T. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
U.Az Zuhaili terdiri dari dua
definisi:
V.a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
W. qiasi
X.b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
Y.tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
Z. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
AA. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
BB. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
CC. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
DD. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
EE. qiasi
FF. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
GG. tersebut. Disebut
istihsan Istinai’.
Istihsan menurut Bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Sedangkan
menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas)
kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istinai. Menurut
Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
1. Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jaili karena ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan qiasi.
2. Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk
untuk hal tersebut.
B. Marsahah Mursalah
Menurut Abdul Khalaf, sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak ada ketegasann
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil yang mendukung maupun yang
menolaknya, sehingga ia dikatakan Maslahah al Mursalah (maslahah yang lepas dari dalil
secara khusus).
Para ulama' belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah dapat dijadikan
sumber hukum islam artinya maslahah al mursalah termasuk sumber hukum Islam yg masih
di pertentangkan, golongan mazhab Syafi'i dan Hanafi tidak menganggap maslahah al
mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya dalam katagori
bab qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan
dalam qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/tidak diterima. Sedangkan Imam malik
dan Imam Hambali mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber
hukum apabila memenuhi syarat. Adapun syaratnya yaitu:
1. Adanya persesuian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan tujuan syariat (maqashid as syari'ah).
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
para ulama, di antaranya ialah:
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah
ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada. Adapun syarat-syarat istihab yaitu:
1. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut: seperti tidak
adanya kewajiban melaksanakan syari'at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia
wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah
ketika dia sudah baligh.
2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar'i au al-'Aqli 'ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash
menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan) sehingga ada dalil yang
menghilangkan hukum tersebut sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang
diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
3. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat
hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan
tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau
baunya.
D. ‘Urf
Kata 'urf secara etimologi berarti "sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal sehat".
Sedangkan secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu "Sesuatu yang tidak asing lagi
bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka
baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Oleh karna itu Ulama Mazhab Maliki dan Hanafi bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan
'urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari'i. Adapun pembagian 'Urf
dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. 'Urf yang Fasid (rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu 'Urf yang bertentangan dengan
Nash Qath'i
2. Urf yang shahih (baik/Benar), suatu kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syariat
E. Syara’ dari agama sebelum Islam
Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam
Quran dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat
Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat
sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Qur’an adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan
bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.
F. Mashab Sahab
A. Pengertian
Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam
masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan RasululIah SAW
memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka
kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-
sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan
fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it tabi'in
dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan,
apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?
Para ulama sepakat bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah,
yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari
Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya
b. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya
B. Sifat Ta’abbudi
Sifat ta’abbudi ini merupakan ketaatan mutlak yang bersifat non rasional, namun memiliki
nilai ta’aqquli tersebut, sebagai contoh yaitu ibadah yang tak ada alasannya kenapa dilakukan,
seperti sholat maghrib dikerjakan tiga rakaat karena sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT.
C. Sifat Wasathiyah
Sifat Wasathiyah merupakan ketegasan seseorang untuk bersikap adil, seperti contoh yang
diibaratkan sebagai seorang wasit didalam pertandingan sepak bola (ia tidak harus berada
ditengah tetappi dituntut dapat menegakkan keadilan dalam sebuah pertandingan).
BAB II
IBADAH
BAB IV
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat simpulkan Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, sedangkan fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu
tentang tata cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan yang sangat
erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas, cinta, takut, dan harap pada Allah
semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan,
kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak.
NOTULIS
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Hidaya Agung,1990), h. 321 5
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiieqy, Falsafah Hukum Islam, ( Semarang:Pustaka Rizki
Putra,2001), h.29
Gramedia.com. Tidak ada tahun. Pengertian Syariah Sebagai Pedoman Beragama Umat Islam. Diakses
pada 20 September 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-syariah/
Gramedia.com. Tidak ada tahun. Memahami 4 Sumber Hukum Islam yang Telah Disepakati Lebih
Dalam. Diakses pada 20 September 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/sumber-hukum-islam/
Al Manhaj.or.id. Tidak ada tahun. Pengertian Ibadah Dalam Islam. Diakses pada 21 September 2023, dari
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html
NU.or.id. 19 Juli 2019. Perbedaan Ibadah Mahdhah dan Ghoiru Mahdhah. Diakses pada 23 September
2023, dari https://nu.or.id/syariah/perbedaan-ibadah-mahdhah-dan-ghairu-mahdhah-xYfKF
Islam religius.blogspot.com. Tidak ada tahun. Hikmah Ibadah. Diakses pada 23 September 2023, dari
https://islamireligius.blogspot.com/2009/08/hikmah-ibadah.html
Luhfi Cahyadi, dkk (2021) Makalah Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati. Karawang: Universitas
Singaperbangsa Karawang