Asal-Usul Postmodernitas

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 228

ASAL-USUL

POSTMODERNITAS
ASAL-USUL
POSTMODERNITAS

PERRY ANDERSON

Penerjemah: Robby Habiba Abror


Penyunting: Wajihuddin

Penerbit Insight Reference

Yogyakarta, 2021
Asal-usul Postmodernitas
Oleh: Perry Anderson

Diterjemahkan dari buku:


Perry Anderson, The Origins of Postmodernity
(London & New York: Verso, 1998).

Penerjemah:
Robby Habiba Abror

Penyunting:
Wajihuddin

ISBN 979-98540-0-8

Cetakan Kedua, Mei 2021

IR. 04.001

Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pracetak: Moh. Fahmi M.


Desain Sampul: Heru Supriyanto
Gambar Sampul: The Autumn of Central Paris, (after Walter Benjamin),
1972-1973, Lukisan Karya R. B. Kitaj

Penerbit:
Insight Reference
Minomartani I/10 Ngaglik, Sleman, DIY - 55581
ÓÎ

Pendahuluan

Saya menulis esai ini ketika diminta untuk mem­per­


kenal­kan sekumpulan tulisan baru karya Frederic Jameson,
The Cultural Turn. Pada kenyataannya, butuh waktu lama untuk
melakukan hal itu. Bagaimanapun, untuk menerbitkannya dalam
bentuk teks saja, saya tidak pernah ingin mengubah bentuknya:
paling baik dibaca sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya
yang mengilhaminya. Meskipun saya belum pernah menulis
tentang kerangka kerja yang tidak saya sukai, dalam satu
cara atau yang lainnya, di masa lalu unsur perlawanan selalu
menjadi bahan untuk melakukannya. Kekaguman intelektual
(intellectual admiration) di satu sisi penting, namun simpati
politik (political sympathy) di sisi lain juga penting. Buku yang
ringkas ini mencoba untuk melakukan hal lain, yang selama ini
selalu sulit saya lakukan: mengungkapkan rasa penghargaan
terhadap seorang pemikir yang dengannya, boleh dikata, saya
sulit untuk menjaga jarak. Saya tidak berani menjamin bahwa
saya telah berhasil. Namun perdebatan lebih jauh seputar karya
Jameson secara umum sangatlah dinantikan orang, dan usaha
ini setidaknya bisa mendorong ke arah itu.

v
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Judul teks ini mempunyai referensi rangkap dua.


Tujuan prinsip dari esai ini adalah untuk menawarkan sebuah
catatan yang lebih bersifat historis mengenai asal-usul ide
postmodernitas (the origins of the idea of postmodernity)
daripada yang telah ada belakangan ini: yang berusaha untuk
menempatkan sumber-sumber postmodernitas yang berbeda-
beda secara tepat dalam latar belakang spasial, politik, dan
intelektual, dan dengan lebih memperhatikan urutan waktu —
juga fokus topik — daripada lazimnya. Hanya dengan melawan
latar belakang inilah, dalam argumen saya, ciri khas kontribusi
Jameson muncul secara penuh. Tujuan kedua adalah untuk
menawarkan, untuk sementara, beberapa kondisi yang bisa
melepaskan postmodern — bukan sebagai sebuah ide, tetapi
sebagai sebuah fenomenon. Sebagian, buku ini merupakan
komentar-komentar yang berusaha memperbaiki upaya
terdahulu untuk membuat kerangka dasar pemikiran mengenai
modernisme pada fin de siècle sebelumnya, dan sebagian lagi
buku ini berusaha menggunakan literatur kontemporer yang
terkait dengan masalah-masalah lain.
Saya ingin berterima kasih atas bantuan dari
Wissenschaftskolleg, Berlin, dimana buku ini diselesaikan, dan
para pustakawannya yang luar biasa; dan saya merasa sangat
berhutang budi kepada Tom Mertes dan siswa-siswaku di Los
Angeles.c

vi
ÓÎ

Daftar Isi

Pendahuluan.........................................................................................v
Daftar Isi.............................................................................................. vii
1. Prodromes..................................................................................... 1
A. Lima – Madrid – London....................................................... 1
B. Shaanxi – Angkor – Yucatan................................................. 6
C. New York – Harvard – Chicago..........................................16
2. Kristalisasi................................................................................... 19
A. Athena – Kairo – Las Vegas................................................19
B. Montreal – Paris....................................................................32
C. Frankfurt – Munich...............................................................50
3. Penangkapan.............................................................................. 67
A. Sumber-sumber . ..................................................................68
B. Lima Gerakan ........................................................................78
C. Hasil-hasil Terakhir ...............................................................96
4. Efek-efek Sesudahnya............................................................115
A. Penentuan Waktu ............................................................. 116
B. Polaritas................................................................................ 138
C. Infleksi ................................................................................. 160
D. Skop ..................................................................................... 177
E. Politik .................................................................................... 187
Indeks...............................................................................................207
Tentang Penulis..............................................................................217

vii
j
ÓÎ

Prodromes

A. Lima – Madrid – London


“Postmodernisme” sebagai istilah dan ide mengharuskan
adanya peredaran “modernisme”. Berlawanan dengan harapan
umum, keduanya lahir di daerah pinggiran bukan di pusat
sistem budaya pada waktu itu, keduanya tidak datang dari
Eropa atau Amerika Serikat, tetapi dari Amerika Latin. Kami
berhutang budi kepada seorang pujangga asal Nikaragua
atas munculnya “modernisme” sebagai sebuah gerakan
estetis, menulis dalam jurnal Guatemala, tentang pertemuan
para sastrawan di Peru. Inisiasi Rubén Darío pada tahun
1890 tentang kesadaran diri masa kini yang memakai nama
modernismo diambil dari aliran-aliran Prancis secara berturut-
turut — romantik, parnassian, simbolik — bagi sebuah “deklarasi
kemerdekaan budaya” (declaration of cultural independence) dari
Spanyol yang menggerakkan emansipasi dari sastra Spanyol

1
ASAL-USUL POST MODERNITAS

masa lalu, pada angkatan 1890-an.1 Dalam sastra Inggris,


gagasan “modernisme” hampir tidak memasuki pemakaian
umum sebelum abad pertengahan, dalam sastra Spanyol telah
menjadi resmi satu generasi lebih awal. Di sini sastra Spanyol
mempelopori penggunaan istilah-istilah kemajuan metropolitan
(metropolitan advance) — sebagaimana banyak dijumpai pada
abad ke19, “liberalisme” adalah penemuan akan bangkitnya
sastra Spanyol melawan dominasi sastra Prancis dalam kisah
kepahlawanan Napoleon, sebuah ungkapan eksotis (exotic
expression) dari Cádiz, di rumah kemudian di ruang-ruang
menggambar di Paris atau London.
Demikian pula halnya dengan ide “postmodernisme”
pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-
an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau
Amerika. Adalah seorang teman dari Unamuno dan Ortega,
Federico de Onís, yang mengedepankan istilah postmodernismo.
Ia memakainya untuk menggambarkan pengaliran kembali
konservatif (conservative reflux) dalam modernisme itu sendiri:
sebuah pengaliran yang mencari pelarian dari tantangan lirik
(lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme
yang detail dan humor ironis yang mati, yang keistimewaan
paling orisinilnya ada pada ungkapan otentik yang memberi
kesempatan kepada perempuan. De Onís membandingkan
pola ini — berumur pendek, ia berpikir — bersama dengan sam­
bungannya, sebuah karya ultramodernismo yang mengintensifkan
gerakan-gerakan radikal modernisme ke puncak baru, dalam
sebuah seri para perintis seni atau para seniman (avantgardes)

1
“Ricardo Palma”, Obras Completas, Vol. 2, Madrid 1950, hal. 19:
“semangat baru yang menghidupkan sekelompok kecil penulis dan penyair
di Amerika Spanyol (Latin) saat ini: modernisme”, namun penuh kemenangan
dan kebanggaan.

2
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang sekarang sedang menciptakan “puisi kontemporer yang


setepat-tepatnya” dari jangkauan universal.2 Antologi De
Onís yang terkenal tentang para pujangga berbahasa Spanyol,
diatur berdasarkan skema ini muncul di Madrid pada tahun
1934, sebagai oposisi di Republik tersebut menjelang Perang
Sipil (Civil War). Dipersembahkan kepada Antonio Machado,
panorama “ultra-modernisme”nya diakhiri dengan Lorca dan
Vallejo, Borges dan Neruda.
Diciptakan oleh De Onís, ide dari gaya “post-modern”
masuk ke dalam kosakata kritisisme Latin (Hispanophone
criticism), jika jarang dipakai oleh para penulis berikutnya dengan
ketelitiannya;3 namun tetap tanpa gema yang luas. Tidak sampai
dua puluh tahun kemudian istilah tersebut muncul di kalangan
orang Inggris (Anglophone), dalam konteks yang sangat berbeda
– sebagai epoch lebih daripada kate-gori estetis. Dalam jilid
pertama dari bukunya yang berjudul A Study of History, juga
2
Federico de Onís, Antologia de la Poesia Espanola e Hispanoamericana
(1882-1932), Madrid 1934, hal. xiii-xxiv. Untuk pandangan spesifisitas
modernisme Hispanophone De Onís ini, yang pemikir-pemikir represen­
tatifnya ia percayai adalah Mani dan Unamuno, lihat “Sobre el Concepto
del Modernismo”, La Torre, April-Juni 1953, hal. 95-103. Ada potret sintetis
Darío sendiri yang bagus dalam Antologia, hal. 143-152. Selama Perang Sipil,
persahabatan dengan Unamuno menghambat De Onís, tetapi wawasan
dasarnya dapat ditemukan dalam peringatannya dalam Machado: Antonio
Machado (1875-1939), La Torre, Januari-Juni 1964, hal. 16; dan rekoleksi-
rekoleksi prinsipnya pada saat itu, lihat Aurelio Pego, “Onís, el Hombre”, La
Torre, Januari-Maret 1968, hal. 96-96.
3
Pengaruh penggunaan ini tidak terbatas di dunia yang berbicara
dengan bahasa Spanyol, tetapi juga meluas sampai ke Luso-Brazilia. Lihat,
untuk contoh yang menarik, Bezerra de Freitas, Forma e Expressão no
Romance Brasileiro — Du período colonial à época pos-modernista, Rio de
Janeiro 1947, dimana modernisme Brasilia dimulai dari the Semana de Arte
Moderna di Sao Paulo pada tahun 1922, di bawah pengaruh futurisme, dan
pada hakekatnya dihubungkan dengan keterputusan dari Mario de Andrade,
dan postmodernisme dianggap telah ditetapkan dengan reaksi para pribumi
pada tahun 1930-an: hal. 319-326, 344-346.

3
ASAL-USUL POST MODERNITAS

diterbitkan pada tahun 1934, Arnold Toynbee berpendapat


bahwa pertemuan antara dua kekuatan besar, Industrialisme dan
Nasionalisme, telah membentuk sejarah Barat belakangan ini.
Bagaimanapun, sejak seperempat abad terakhir dari abad ke19
keduanya telah masuk ke dalam pertentangan yang destruktif
satu sama lain, sejak skala industri internasional memecahkan
ikatan-ikatan nasionalitas, pengaruh buruk dari nasionalisme
itu sendiri menyebar ke dalam komunitas-komunitas etnik yang
lebih kecil dan kurang bersemangat. Perang Besar berawal dari
konflik antara kedua kecenderungan tersebut, sangat jelas
bahwa suatu zaman telah dibuka dimana di dalamnya kekuatan
nasional tidak lagi bisa mencukupi dirinya sendiri. Adalah tugas
para sejarawan untuk menemukan sebuah cakrawala baru (new
horizon) yang sesuai dengan zaman yang baru dibuka tadi, yang
hanya bisa ditemukan di tingkat berbagai peradaban yang lebih
tinggi, melampaui kategori lama negara-negara bangsa (nation-
states).4 Ini adalah tugas yang Toynbee tetapkan sendiri dalam
enam jilid dari bukunya A Study of History yang diterbitkan —
tetapi masih belum sempurna — sebelum tahun 1939.
Pada saat ia melanjutkan publikasi limabelas tahun ke­
mudi­an, pandangan Toynbee telah berubah. Perang Dunia
Kedua telah mempertahankan inspirasi orisinilnya — per­musuh­
an yang mendalam terhadap nasionalisme, dan kecurigaan
terhadap industrialisme. Dekolonisasi, juga, telah membentuk
pandangan skeptis Toynbee terhadap imperialisme Barat.
Periodisasi yang ia ajukan duapuluh tahun yang lalu sekarang
bentuknya menjadi semakin jelas dalam pikirannya. Dalam
jilid ke8 yang terbit pada tahun 1954, Toynbee memberi nama
zaman yang baru terbuka dengan adanya Perang Prancis-

4
A Study of History, Vol. 1, London 1934, hal. 12-15.

4
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Prussia (Franco-Prussia War) sebagai “era post-modern” (post-


modern age). Namun definisi yang dibuatnya mengenai hal
tersebut pada dasarnya masih terkesan negatif. “Komunitas
Barat menjadi ‘modern’,” tulisnya, “segera setelah mereka
berhasil membentuk sebuah kelompok borjuis (bourgeoisie) yang
banyak jumlahnya dan cukup kompeten untuk menjadi unsur
dominan dalam masyarakat”.5 Padahal, di era postmodern kelas
menengah (middle class) ini justru tidak lagi menempati posisi
penting. Toynbee kurang terperinci tentang hal ini. Tetapi tentu
saja era postmodern ditandai oleh adanya dua perkembangan:
bangkitnya kelas pekerja industri (industrial working class) di
Barat, dan adanya kaum generasi penerus intelektual dari luar
Barat yang menguasai rahasia-rahasia modernitas dan kemu-
dian mereka ini berubah menentang Barat. Refleksi Toynbee
yang paling kuat mengenai munculnya era postmodern terfokus
pada perkembangan yang kedua. Contoh yang ia ambil adalah
Méiji di Jepang, Bolshevik di Russia, Kemalis di Turki, dan —
baru saja lahir — Maois di Cina.6
Toynbee bukanlah pengagum rezim-rezim tersebut.
Tetapi ia membuyarkan khayalan yang congkak (hubristic
illusions) dari imperial lanjut Barat. Menjelang akhir abad ke19,
ia menulis, “suatu kelas menengah Barat (Western middle­
class) yang makmur yang belum pernah ada sebelumnya
tengah berpen-dapat bahwa akhir dari sebuah era dari sejarah
peradaban (civilization’s history) sebuah bangsa tertentu adalah
akhir dari Sejarah itu sendiri — paling tidak sejauh mereka dan
masyarakat sebangsanya terlibat. Mereka membayangkan
bahwa, demi keuntungan mereka sendiri, kesadaran, keamanan,

5
A Study of History, Vol. 8, hal. 338.
6
A Study of History, Vol. 8, hal. 339-346.

5
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kepuasan dalam Kehidupan Modern (satisfaction Modern Life)


telah secara ajaib menjadi masa kini yang tidak punya batasan
waktu tertentu”.7 Begitu serba salahnya zaman tersebut, “di
Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat bagian Utara ketenangan
kaum borjuis postmodern Barat (post-modern Western
bourgeoisie) tetap tidak terusik sampai pecahnya Perang Sipil
pertama di era postmodern pada tahun 1914”.8 Empat dekade
kemudian, dunia dihadapkan pada kemungkinan terjadinya
perang yang ketiga — Perang Nuklir (Nuclear War), Toynbee
memutuskan bahwa kategori peradaban, yang dengannya ia
telah menuliskan kembali pola perkembangan manusia (pattern
of human development), telah kehilangan fungsinya. Di satu sisi,
peradaban Barat (Western Civilization) — sebagai pemegang
tampuk keunggul-an teknologi — telah menjadi universal, tetapi
pada akhirnya runtuh bersama-sama. Otoritas politik global
(global political authority), yang didasarkan pada hegemoni satu
kekuatan besar, adalah satu-satunya cara yang aman untuk
keluar dari Perang Dingin (Cold War). Tetapi untuk jangka
panjang, hanya agama universal baru (new universal religion) --
yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah kepercayaan
sinkretis (syncretistic faith) — yang bisa memberikan rasa aman
bagi masa depan planet.

B. Shaanxi – Angkor – Yucatan


Kelemahan empiris Toynbee, dan kesimpulan yang
vatik, bergabung menjadi satu mengisolir karyanya pada masa
ketika komitmen kepada pertempuran melawan Komunisme
sedang mengen-dur. Setelah polemik awal (initial polemics),

7
A Study of History, Vol. 9, London 1954, hal. 420.
8
A Study of History, Vol. 9, hal. 421.

6
ASAL-USUL POST MODERNITAS

hal itu segera dilupakan orang, dan bersamaan dengan itu


adalah adanya klaim bahwa abad ke20 sudah bisa dipandang
sebagai era postmodern (postmodern age). Hal semacam itu
tidak terjadi pada istilah yang sama di Amerika Utara. Charles
Olson, berkirim surat kepada temannya sesama penyair,
Robert Creeley, sekembalinya dari Yucatan pada musim panas
tahun 1951, mulai berbicara tentang “dunia post-modern”
(post-modern world) yang terhampar melampaui abad imperial
Penemuan dan Revolusi Industri (Industrial Revolution).
“Pertengahan pertama abad ke20”, tulisnya kemudian, adalah
titik awal di mana era modern berubah menjadi apa yang kita
hadapi sekarang, era postmodern atau era post-Barat.9 Pada
tanggal 4 November 1952, hari dimana Eisenhower terpilih
sebagai Presiden Amerika Serikat, Olson — pura-pura mensuplai
reformasi untuk buku biografis Twentieth Century Authors —
membuat manifesto “pemahat batu” (lapidary manifesto), yang
diawali kata-kata “Menurutku, masa kini adalah prolog, bukan
masa lalu,” dan diakhiri dengan penggambar-an “masa kini yang
sedang berlangsung” sebagai post-modern, post-humanis,
post-historis.10
Istilah-istilah tersebut datang dari proyek sastra yang
berbeda (distinctive poetic project). Latar belakang Olson
terletak di New Deal. Aktif dalam kampanye Kepresidenan

9
Charles Olson dan Robert Creeley, The Complete Correspondence,
Vol. 7, Santa Rosa 1987, hal. 75, 115, 241, huruf-huruf yang bertanggal
9/8/51, 20/8/51 dan 3/10/51. Yang terakhir adalah pernyataan Olson yang
berjudul “The Law”, dimana gerakan teror nuklir mengakhiri zaman modern.
“Pintu saat ini telah tertutup”, tulis Olson. “Bio-kimia adalah post-modern.
Dan alat-alat elektronika telah menjadi ilmu pengetahuan komunikasi —
‘manusia’ telah menjadi ‘image’ mesin pengkomputasi”: hal. 234.
10
Twentieth Century Authors — First Supplement, New York, 1955, hal.
741-742.

7
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(Presidential campaign) keempat Roosevelt sebagai kepala Divisi


Nasional Asing dalam Komite Nasional Demokrat, karir Olson
sedang bersemi di Key West pada awal tahun 1945 bersama
rekan-rekan partai setelah kemenangan dalam pemilu (electoral
victory), menunggu kenaikan pangkat dalam pemerintahan yang
baru terpilih tersebut. Di sanalah tiba-tiba hidupnya berubah,
ia mulai menulis sebuah cerita kepahlawanan berjudul West,
mencakup seluruh sejarah dunia Barat (Occidental world) dari
Gilgamesh — kemudian Odysseus — sampai Amerika masa kini,
dan menulis sebuah puisi, yang aslinya diberi judul Telegram,
me­ninggalkan kantornya, dan meskipun bukan tanggung
jawab politis: “urusan manusia tetap menjadi perhatian utama”.
Kem­bali ke Washington, Olson menulis tentang Melville dan
membela Pound; serta bekerja untuk Oskar Lange — teman
semasa perang, sekarang Duta Besar Polandia untuk PBB —
melakukan lobi administrasi bagi pemerintahan yang baru
terbentuk di Warsawa. Dikejutkan oleh bom atom yang dijatuh­
kan di Hiroshima dan Nagasaki, ia menentang pencalonan
kembali Truman sebagai delegasi dalam Konvensi Demokrat
(Democratic Convention) tahun 1948.11
Pada saat ia sudah siap untuk menyusun tema kepah­
lawanan­nya, terjadi perubahan haluan. Pada pertengahan
tahun 1948, ia menulis dalam Notes for the Proposition: Man is
Prospective: “Ruang adalah tanda dari sejarah baru, dan ukuran
kerja yang sekarang sedang dilakukan adalah merupakan
kedalaman persepsi akan ruang, keduanya sebagai objek dan
isi ruang, melawan waktu, rahasia-rahasia humanitas terlunak
pelan-pelan dari bagian-bagian sempit kekinian … Manusia

11
Lihat Tom Clark, Charles Olson. The Allegory of a Poet’s Life, New York
1991, hal. 84-93, 107-112, 138.

8
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sebagai objek, bukan manusia sebagai massa bilangan ekonomi


(mass of economic integer), adalah bibit yang terpendam dalam
semua bentuk aksi kolektif yang berakar dari Marx. Bibit ini,
bukan taktiknya yang cuma mengamankan jumlah pungutan
suara atau coups d’etat, adalah rahasia kekuatan dan klaim
kolektivisme (claim of collectivism) terhadap alam pikiran
manusia. Ini adalah urat nadi dalam sejarah piramida, dan
jika hal ini dibiarkan mengakar lebih lama secara diam-diam,
kolektivisme akan mengakar sebagaimana ia telah mengakar
dalam Nazisme dan Kapitalisme dengan hukum antinomi
yang serupa (Tambahan: kegagalan yang terus-menerus untuk
memperhitungkan apa yang akan dilakukan Asia terhadap
kolektivisme, dengan jumlah penduduknya yang banyak itu saja
sudah cukup untuk menggetarkan bumi, mengesampingkan
keagungan moral (moral grace) dari para pemimpinnya seperti
Nehru, Mao, Sjahrir)”.12 Terhadap hal ini, salah satu merupakan
peristiwa istimewa bagi Olson. Tahun 1944, terkait dengan
Kantor Informasi Perang di Gedung Putih (White House for the
Office of War Information), ia telah dibuat marah oleh adanya
bias kebijakan Amerika Serikat terhadap rezim KMT di Cina dan
kekerasan terhadap basis Komunis di Yenan. Setelah perang,
dua orang temannya membantunya untuk tetap bisa memantau
berbagai perkembangan yang terjadi di Cina: Jean Riboud,
seorang bankir muda asal Prancis yang aktif dalam gerakan
Perlawanan sekarang adalah rekanan bisnis pada Cartier-
Bresson di New York: dan Robert Payne, seorang penulis asal
Inggris dari kasta Malrauvian, dosen di Kunming selama perang
Cina-Jepang dan reporter dari Yenan setelah itu, yang buku
hariannya menawarkan sebuah kesan yang tidak terlupakan
12
“Notes for the Proposition: Man is Prospective”, boundary 2, II, 1-2,
Musim Gugur 1973- Musim Dingin 1974, hal. 2-3.

9
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(indelible image) tentang bobroknya moral rezim Chiang Kai-


shek, dan bangkitnya Mao sebagai alternatif untuk mengatasi
hal tersebut menjelang Perang Sipil (Civil War).13
Pada hari terakhir Januari 1949, setelah pengepungan
damai (pieceful siege), tentara Komunis memasuki Beijing,
menyempurnakan pembebasan Cina Timur-Laut. Segera saja,
Olson mulai menga-rang sebuah puisi sebagai tanggapan
terhadap karya besar seorang modernis bernama Eliot — dalam
kata-katanya sendiri, Anti-Wasteland.14 Dia menyele-saikan draf
pertamanya sebelum PLA menyeberangi sungai Yangtze. Puisi
tersebut diselesaikan pada musim panas di Black Mountain.
Shanghai telah jatuh, tetapi Guangzhou dan Chongqing masih
berada di bawah kontrol KMT; RRC belum lagi diproklamasikan.
The Kingfisher, dengan eksordium monosilabusnya yang luar
biasa:
Apa yang tidak berubah / adalah kehendak untuk berubah
(What does not change / is the will to change)

menempatkan revolusi Cina tidak berada di bawah tanda-tanda


kejayaan masa kini, tetapi masa lalu. Puisi tersebut dibuka
dengan legenda perdagangan Angkor Wat dalam buku burung
pekakak yang hijau kebiru-biruan dan teka-teki karangan
Plutarch di Delphi, perpotongan laporan Mao kepada CCP —
ruang dan waktu dalam keseimbangan yang mengiringinya:
Aku berpikir tentang E di atas batu, dan apa yang Mao
katakan,

13
Robert Payne, Forever China, New York 1945; China Awake, New York
1947.
14
Untuk catatan naskah Olson yang menentukan puisinya terhadap
puisi Eliot, lihat George Butterwick dalam esai yang sangat ahli, “Charles
Olson’s ‘The Kingfishers’ dan Penyair-penyair Perubahan”, American Poetry,
VI, No. 2, Musim Dingin 1989, hal. 56-57.

10
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(I thought of the E on the stone, and of what Mao said)


‘La lumière
tetapi burung pekakak
(but the kingfisher)
“de I’ aurore
tetapi burung pekakak terbang ke Barat
(but the kingfisher flew west)
‘est derant nous!
ia dapati warna di dadanya dari panasnya
Matahari yang mulai terbenam
(he got the color of his breast
from the heat of the setting sun!)

Perpindahan liriknya (lyrical transfusion) sangat singkat:


Ornitologi (ilmu tentang burung) menghilangkan atribut-atribut
mistik dari Four Quartets.
Legenda-legenda itu adalah legenda-legenda
Mati, terkatung-katung, burung pekakak
Tidak akan tahu ke mana arah angin berhembus
Atau menghindari halilintar.
Tidak juga, dengan sarangnya, air yang tenang.
Bersama tahun yang baru, selama tujuh hari.

(The legends are legend. Dead, hung-up, the kingfisher


will not indicate a favoring wind,
or avert the thunderbolt. Nor, by its nesting,
still the waters, with the new year, for seven days.)

Jauh dari semua aliran sungai, di kedalaman tero-


wongan di tepian sungai, burung yang terbang ke arah Barat
itu membangun sarangnya dari reruntuh-an mangsanya. Segala
apa yang berhubungan dengan udara dan warna digambarkan
sebagai tercemar dan kegelapan:
Di atas sampah ini
(begitu mereka berkumpul untuk membentuk formasi piala)

11
ASAL-USUL POST MODERNITAS

anak-anak mereka dilahirkan.


Dan, begitu mereka diberi makan dan tumbuh,
sarang yang penuh kotoran ini, dan ikan-ikan mati
menjadi onggokan yang berbau busuk yang menetes

(On these rejectamenta


[as they accumulate they form a cup-shaped structure]
the young are born.
And, as they are fed and grow,
This nest of excrement, and decayed fish becomes
A dripping fetid mass)

Mao menyimpulkan:
Nous devons
nous lever
et agir! 15

Puisi tersebut, bagaimanapun, benar secara menyeluruh:


Cahaya sedang berada di Timur. Ya. Dan kita harus bangkit,
beraksi. Di Barat, meskipun kegelapan sangat nyata (cahaya putih
menyelimuti segalanya) jika kau perhatikan, jika bisa kau tahan, jika
kau bisa,
cukup lama
selama ini penting baginya, penuntunku
adalah mawar kuning abadi,
jadi kamu harus

(The light is in the east. Yes. And we must rise, act. Yet
in the west, despite the apparent darkness [the whiteness
which covers all] if you look, if you can bear, if you can,

15
Panggilan Mao membentuk pidato penutup dalam Laporannya
untuk pertemuan Komite Sentral CCP yang diselenggarakan pada tanggal
25-28 Desember 1947 di Yangjiagou di Shaanxi. Lihat “Situasi Saat Ini
dan Tugas-tugas Kita”, Selected Works, Vol. 4, Beijing 1969, hal. 173.
Olson menyebutkannya dalam terjemahan pidato berbahasa Prancis yang
diberikan untuknya oleh Jean Riboud.

12
ASAL-USUL POST MODERNITAS

long enough
as long as it was necessary for him, my guide
to look into the yellow of that longest-lasting rose,
so you must)

Bagi orang asli Amerika yang dulunya datang dari Asia,


dan peradaban-peradaban mereka — betapa-pun rendahnya —
tetap lebih beradab daripada peradaban-peradaban Eropa yang
menaklukkan mereka, menyisakan kepada anak turunnya puing-
puing sebuah kehidupan yang masih harus dipulihkan kembali.
Menggemakan (echoing) aliran dari Neruda Alturas de Macchu-
Picchu. Yang diterjemahkan beberapa bulan sebelumnya —
Bukan satu kematian tetapi banyak,
bukan akumulasi tetapi perubahan
bukti-bukti yang berbalik, dan bukti-bukti yang berbalik itu adalah
hukum

(Not one death but many,


not accumulation but change, the feed-back proves,
the feed-back is
the law)

— puisi tersebut diakhiri dengan pencarian masa depan yang


tersembunyi dalam kotoran dan reruntuhan.
Kuberi kau pertanyaanmu:
Akankah kau temukan madu/ditempat belatung tinggal?
Aku berburu di antara bebatuan

(I pose you your question:


shall you uncover honey / where maggots are?
I hunt among stones)

Manifesto estetisnya Olson, Projectivo Verse, muncul


pada tahun berikutnya. Komposisinya yang terbuka sebagai
bentuk perkembangan aliran objektif dari Pound dan Williams

13
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menjadi wujud pernyataannya yang paling berpengaruh. Namun


sambutan terhadap manifestonya itu secara umum gagal untuk
menghargai moto yang ia adopsi dari Creeley —“bentuk tidak
pernah lebih daripada sekedar perluasan isi” (form is never more
than an extension of content)16 — terhadap puisi-puisi Olson itu
sendiri. Beberapa penyair diperlakukan formal sejak saat itu.
Pada kenyatannya, tema-tema yang ditulis Olson menimbulkan
suatu complexio oppositorum tidak seperti yang lain. Kritik yang
hebat terhadap humanisme rasionalis — “bahwa anggapan
tertentu yang menyatakan bahwa orang Barat telah menem-
patkan dirinya sendiri antara ia sebagai makhluk alam dan di
antara makhluk-makhluk alam lainnya yang bisa kita sebut, tanpa
bermaksud menghina, menyebut objek” 17 — Olson lebih dekat
kepada pengertian Heideggerian tentang “Ada” (Being) sebagai
integritas utama. Ia memperlakukan mobil-mobil sebagai
barang-barang jinak menurut versinya, dan menjadi penyair
pertama yang mendekati sibernetika (cybernetics) Norbert
Wiener. Ia lebih tertarik kepada kebudayaan-kebudayaan kuno
(ancient cultures), zaman pra-Socrates, menghargai lahirnya ilmu
arkeologi sebagai sebuah kemajuan yang menentukan dalam
pengetahuan manusia (human knowledge), karena ilmu ini bisa
membantu untuk mengungkapkan kebudayaan-kebudayaan
kuno tersebut. Tetapi ia memandang masa depan sebagai
proyek kolektif dari penentuan nasib diri manusia itu sendiri —
manusia sebagai “prospektif”. Anaximander berada di satu sisi
imajinasinya, Rimbaud di sisi yang lainnya. Seorang demokrat
yang anti-fasis, Olson mengharap persona Yeats untuk membela
Pound dari ancaman penjara, dan sebagai seorang patriot ia

16
“Projective Verse”, Selected Writings of Charles Olson, diedit oleh
Robert Creely, New York 1966, hal. 16.
17
“Projective Verse”, hal. 24.

14
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menghasilkan puisi yang mungkin merupakan satu-satunya


puisi yang tidak membingungkan (unmystified poem) pada
Perang Sipil Amerika Serikat.18 Revolusi kontemporer berasal
dari Timur, tetapi Amerika bergabung dengan Asia: warna
fajar di Cina dan warna penerbangan ke Barat merefleksikan
adanya cahaya dari satu orbit. Frase yang dipakai Olson untuk
menggambarkan dirinya—“setelah pembubaran, seorang
arkeolog yang masih bau kencur”—menangkap kebanyakan
makna-makna tersebut.
Di sinilah kemudian unsur-unsur bagi konsep postmodern
yang bisa diterima pertama kali tercetus. Dalam karya Olson,
sebuah teori estetik terkait dengan sebuah sejarah kenabian
(prophetic history), dengan sebuah agenda menggabungkan
inovasi puitis dengan revolusi politik dalam tradisi klasik para
perintis sastra atau para seniman (avant-gardes) di era Eropa
sebelum perang. Kelanjutannya dengan Stimmung modernisme
yang asli, dalam pengertian masa kini yang menggairahkan karena
penuh dengan masa depan yang sangat penting, ditekankan.
Olson, yang menganggap dirinya sendiri penakut (timorous),
diinterogasi oleh FBI karena masuk dalam perkumpulan yang
dicurigai semasa perang di awal tahun 1950-an. Black Mountain
College, dimana ia adalah Kepala Sekolah yang terakhir di situ,
tutup pada tahun 1954. Dalam tahun-tahun pergolakan, puisi-
puisinya makin memudar (straggling) dan pendek (gnomic). Dan
referensi mengenai postmodern pun menghilang.

18
Anecdotes of the Late War, yang memulai: “yang lemah vs kekerasan
sebagai alternatif satu sama yang lain/untuk los americanos”, dan mengakhiri:
“Grant tidak tergesa-gesa./Ia hanya yang terbaik.//Lebih dulu atau lebih
akhir mati.” Bandingkan dengan kesalehan yang berarti baik dari For the
Union Dead.

15
ASAL-USUL POST MODERNITAS

C. New York – Harvard – Chicago


Pada akhir tahun 1950-an, ketika istilah post-modernisme
kembali muncul, istilah tersebut telah beralih ke tangan-tangan
pihak lain, secara kurang lebih kebetulan, sebagai pertanda
buruk (negative marker) mengenai apa yang kurang modern. Pada
tahun 1954 C. Wright Mills dan Irving Howe —bukan secara
kebetulan: mereka bersama-sama berasal dari lingkungan
pergaulan umum (common milieu) kaum Kiri New York. Sosiolog,
dengan cara yang lebih tajam, memakai istilah tersebut untuk
menunjukkan suatu zaman dimana ide-ide modern mengenai
liberalisme dan sosialisme telah ambruk, karena akal dan
kebebasan berbagi lahan dalam satu masyarakat postmodern
yang terombang-ambing dan konformitas yang kosong.19 Kritik,
dengan nada yang lebih halus, meminjam istilah postmodern
untuk menggambarkan fiksi kontemporer yang tidak bisa
menahan tekanan kaum modernis dengan satu masyarakat
sekitar yang divisi kelasnya makin tidak terbentuk dengan
adanya kemakmuran pasca-perang (post-war prosperity).20
Satu tahun kemudian, Harry Levin, berangkat dari istilah yang
digunakan Toynbee, memberikan ide tentang bentuk-bentuk
postmodern secara lebih tajam, untuk melukiskan kesusastraan

19
“Kita berada pada akhir dari apa yang disebut: Zaman Modern. Sama
seperti Zaman Kuno diikuti oleh beberapa abad kekuasaan Oriental, yang
secara kedaerahan oleh orang-orang Barat disebut sebagai Zaman Kegelapan,
jadi sekarang Zaman Modern dibuat sukses oleh periode post-modern”: C.
Wright Mills, The Sosiological Imagination, New York 1959, hal. 165-167.
20
Irving Howe, “Mass Society and Post-Modern Fiction”, Partisan Review,
Musim Panas 1959, hal. 420-436; dicetak ulang di dalam Decline of the
New, New York 1970, hal. 190-207, dengan surat tambahan. Artikel Howe,
meskipun tidak membuat referensi dengan karya Mill, jelas bergantung
padanya, khususnya White Collar: lihat dalam deskripsi khususnya tentang
“masyarakat massa” yaitu “separuh-kesejahteraan dan separuh-tentara
yang berkedudukan tetap”, dimana “publik yang koheren terpisah-pisah”.

16
ASAL-USUL POST MODERNITAS

epigon (epigone literature) yang telah meninggalkan standar-


standar intelektual yang keras tentang modernisme — tanda
keterlibatan baru antara seniman dan kaum borjuis, di persim-
pangan antara budaya dan perdagangan.21 Tak diragukan lagi,
di sinilah letak awal dari sebuah versi buruk postmodern.
Pada tahun 1960-an, keadaan ini berubah. Separo jalan
menuju ke kritik Leslic Fiedler, yang antitesis temperamental
terhadap Lovin, berbicara di sebuah konfensi yang disponsori
oleh Konggres Kebebasan Budaya (Conggress of Cultural
Freedom), yang diselenggarakan oleh CIA untuk sektor
intelek­tual Perang Dingin (Cold War). Dalam kesempatan ini,
ia merayakan sebuah perasaan bagus di kalangan generasi
muda Amerika, yang “didepak dari sejarah” — generasi muda
budaya yang miskin tantangan (nonchallance) dan terputus
(disconnection), yang punya banyak impian (hallucinogeus) dan
hak-hak sipil (civil rights) sebagai warga negara, diterima dengan
baik dalam literatur postmodern yang segar.22 Hal ini, jelas
Fiedler kemudian dalam majalah Playboy, akan melintasi kelas-
kelas dan mencampuradukkan berbagai macam aliran sastra,
meninggalkan ironi dan kesungguhan modernisme (solemnities
of modernism), dan juga perbedaan antara tinggi dan rendah,
kembali kepada hal yang sentimentil dan menggelikan. Pada
tahun 1969 pemahaman Fiedler mengenai postmodern bisa
dilihat, dalam adanya tuntutan akan pembebasan emansipasi

21
“What was Modernism?”, The Massachusetts Review, Agustus 1960,
hal. 609-630; dicetak ulang pada Refractions, New York 1966, hal. 271-295,
dengan sebuah catatan pembukaan.
22
“The New Mutans’, Partisan Review, Musim Panas 1965, hal. 505-525;
dicetak ulang pada Collected Papers, Vol. 2, New York 1971, hal. 379-400.
Howe, seperti yang diperkirakan, mengeluhkan teksnya dalam sebuah survai
yang bersungut-sungut, “The New York Intellectuals”, Commentary, Oktober
1968, hal. 49; dicetak ulang pada The Decline of the New, hal. 260-262.

17
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dan naluri yang melemah, menengge-lamkan gema pergolakan


mahasiswa pada waktu itu, jarang sekali dikaitkan dengan
ketidak­acuhan terhadap sejarah.23 Suatu perubahan arah
yang mirip dengan hal tadi dan diketahui dari sosiologi Amitai
Etzioni, yang kemudian hari terkenal karena khut-bahnya
menge­nai komunitas moral, yang bukunya The Active Society
— dipersembahkan kepada murid-muridnya di Columbia dan
Barkeley dalam masa pemberontakan — mengetengahkan
tentang sebuah periode “postmodern” ditandai dari sejak ber­
akhirnya Perang Dunia II, dimana kekuatan bisnis besar dan kaum
elit yang sudah mapan (established elites) sedang mengalami
kemunduran, dan masyarakat bisa untuk pertama kalinya
menyukseskan demokra-si menjadi ditegakkan”.24 Pembalikan
argumentasi dari The Sociological Imagination adalah sempurna.
Tetapi jika pemakaian kata-kata Howe dan Mills dibalik
dengan kata sejenis dari Fiedler dan Etzioni, semuanya tetap
merupakan improvisasi terminologis. Karena modern, — secara
estetis dan historis — secara prinsip selalu menempatkan
keabsolutan masa kini, membuatnya sulit untuk membuat definisi
mengenai periode setelahnya, yang akan mengubahnya menjadi
masa lalu yang tidak mutlak. Dalam pengertian ini, pembuatan
satu awalan sederhana (simple prefix) —menunjukkan apa yang
datang berikutnya — sebenarnya sudah menja-di sifatnya
melekat dalam konsep itu sendiri, yang bisa lebih atau kurang
diperhitungkan di masa men-datang. Istilah “postmodern” yang
seperti inilah yang penting. Tetapi perkembangan teori adalah
soal lain lagi. Gagasan tentang postmodern tidak men-capai
penyebaran yang lebih luas sampai tahun 1970-an. c
23
“Cross the Border, Close the Gap”, Playboy, Desember 1969, hal. 151,
230, 252-258; dicetak ulang pada Collected Papers, Vol. 2, hal. 461-485.
24
The Active Society, New York 1968, hal. vii, 528.

18
k
ÓÎ

Kristalisasi

A. Athena – Kairo – Las Vegas

Saat yang menentukan telah tiba dengan kemuncul-annya


pada musim gugur tahun 1972 di Binghamton di sebuah jurnal
yang diberi judul Journal of Post-modern Literature and Culture —
tinjauan boundary 2. Warisan Olson telah kembali ke permukaan
(resur-faced). Esai utama pada isu pertama, oleh David Antin,
diberi judul “Modernism and Postmodernism: Approaching the
Present in American Poetry” (Modernisme dan Postmodernisme:
Mendekati Masa Kini dalam Puisi Amerika). Antin membabat
semua luncuran meriam dari Eliot dan Tate sampai Auden
dan Lowell, bahkan ia juga menyerang Pound, sebagai tradisi
yang regresif dan picik, yang kecenderungan moralnya tidak
ada kaitannya dengan modernisme internasional yang asli —
aliran Apollinaire, Marinetti, Khlebnikov, Lorca, József, Neruda
— yang prinsipnya merupakan kolase yang dramatis (dramatic
collage). Di era Amerika setelah perang, adalah para penyair

19
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Black Mountain, dan di atas semuanya Charles Olson, yang


telah menemukan kembali semangatnya.1 Vitalitas kekinian
post-modern, setelah jatuhnya ortodoksi puisi era 1960-
an, berhutang budi pada contoh ini. Satu tahun kemudian,
boundary 2 mencurahkan perhatiannya pada pembuatan buku
“Charles Olson: Reminiscences, Essays, Reviews” (Charles Olson:
Buku Kenang-kenangan, Esai, Review) — satu apresiasi penuh
yang pertama kali dibuat sejak kematiannya.
Penerimaan inilah yang untuk pertama kalinya menstabil­
kan gagasan postmodern sebagai rujukan kolektif (collective
reference). Dalam prosesnya, bagaimanapun, hal ini mengalami
suatu perubahan. Ketertarikan Olson akan kesusastraan pro­
yektif (projective literature) di atas humanisme dikenang
dan di­hormati. Tetapi ketertarikan politiknya kepada masa
depan setelah era kapitalisme — sisi lain dari “keberanian”
Rimbaud yang di­hormati dalam The Kingfishers — tidak dilihat
orang. Bukan karena boundary 2 sama sekali tidak mendapat
sambutan radikal (radical impulse). Penciptanya, William Spanos,
memutuskan untuk memandang jurnal tersebut sebagai
akibat dari keterkejutannya terhadap kolusi Amerika Serikat
dengan Junta Yunani, ketika ia menjabat sebagai dosen tamu
di Universitas Athena. Kemudian ia menjelaskan bahwa, “pada
waktu itu, ‘modern’ berarti, secara harfiah, sastra Modernis
yang mempercepat munculnya Kritisisme Baru (New Criticism)

1
“Penampilan Olson dan para penyair Black Mountain merupakan
permulaan akhir bagi tradisi Modernis Metafisik, yang sama sekali bukan
tradisi ‘modernis’ tetapi keganjilan secara anomali bagi puisi Amerika dan
Inggris. Inilah akibat dari benturan kuat anti-modernis dan kebajikan-
kebajikan yang bersifat kedaerahan dengan cangkokan modernisme Pound
dan modernisme Gertrude Stein dan William Carlos Williams yang lebih
murni”: boundary 2, I, No. 1, hal. 120. Antin mengangkat karya besar Olson,
“Ketika Kematian Memangsa Kita” sebagai lambangnya bagi syair-syair baru.

20
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dan Kritisisme Baru ini yang mendefinisikan Modernisme


dalam terminologi ototelik modernisme itu sendiri”. Di Athena
ia merasakan “semacam keterkaitan” di antara ortodoksi yang
telah mapan, di mana di dalamnya ia latih, dengan pemerintahan
yang kejam yang ia saksikan sendiri. Dalam perjalan-an kembali
ke Amerika, ia menyusun boundary 2 sebagai pemutusan
dengan kedua hal tersebut di atas. Pada puncak Perang Viet­
nam, tujuannya adalah untuk “menempatkan sastra kembali
ke tampuk keluasan dunia”, pada masa “paling dramatis dalam
hegemoni Amerika dan keruntuhannya”, dan untuk men­
demons­trasikan bahwa postmodernisme adalah suatu bentuk
penolakan, serangan, keruntuhan formalisme estetis dan politik
konservatif Kritisisme Baru”.2
Tetapi pada saat jurnal tersebut diluncurkan tidak
pernah bertepatan dengan tujuannya itu. Penolakan pribadi
Spanos terhadap Kepresidenan Nixon tidak diragukan lagi —
ia tidak bisa menunjukkan penolakannya tersebut. Tetapi 20
tahun masa Perang Dingin telah membuat keadaan menjadi
tidak menguntungkan bagi penyatuan visi budaya dan politik:
kesatuan Olson tidak bisa diselamatkan. Boundary 2 itu sendiri,
menurut retrospeksi editornya, tetap bertahan secara esensial
sebagai jurnal sastra, ditandai dengan sebuah existensialisme
Sartrean dalam simpati, dan kemudian ditutup oleh Heidegger.

2
“Pembicaraan dengan William Spanos”, boundary 2, Musim Panas
1990, hal. 1-3, 16-17. Wawancara ini, oleh Paul Bove — penerus Spanos
sebagai editor Jurnal — merupakan dokumen fundamental bagi sejarah
ide postmodern. Setelah membicarakan penangkapannya dalam protes
melawan pengeboman Kamboja, Spanos memahami bahwa “Saya tidak
cukup berhubungan dengan apa yang saya kerjakan sebagai warga negara
dengan perspektif kritis, sastra saya. Saya tidak ingin berkata bahwa mereka
mutlak berbeda, tetapi saya tidak sadar diri tentang hubungan-hubungan
tersebut”.

21
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Hasilnya adalah untuk menginfleksi objektivisme Olson ke


dalam metafisika “Ada” Heideggerian, yang seiring berjalannya
waktu menjadi untaian dominan dalam boundary 2. Ruang
dunia post­modern, oleh karenanya menjadi hampa. Segera
saja, ke­kosongan itu diisi oleh orang baru. Di antara para
kontributor awal jurnal tersebut adalah Ihab Hassan, seorang
kritikus yang telah menerbitkan esai pertamanya mengenai
post­modernisme. Seorang kelahiran Mesir — putra seorang
guber­nur aristokratis di antara perang-perang, terkenal karena
represi seorang demonstran nasionalis melawan Pengawasan
Inggris (atas Mesir)3 — dan seorang insinyur yang terlatih,
ketertari­kan asli Hassan terletak pada modernisme tinggi yang
ditekan menjadi minimum: apa yang disebutnya sebuah “sastra
bisu” (literature of silence), mengalir turun dari Kafka sampai ke
Beckett. Ketika ia memperluas gagasan postmodernisme pada
tahun 1971, bagaimanapun, Hassan memasukkan hal ini ke
dalam spektrum kecenderungan yang lebih luas yang radikal
atau menolak berbagai corak utama modernisme: suatu konfi­
gurasi yang meluas sampai mengarah kepada seni rupa (visual
3
Pada tahun 1930, Ismael Sidky, yang didukung oleh Istana dan Inggris,
menutup parlemen Mesir. Kekacauan pecah di seluruh wilayah negeri dan
bertemu dengan kekuatan bersenjata. Yang luka-luka dan mati khususnya
banyak sekali di El Mansura. “Pada akhir hari itu, enam orang tergeletak
mati di jalan, empat mahasiswa pada usia remaja mereka. Tidak seorang pun
menghitung yang terluka … Saya merasakan loyalitas saya terpecah antara
ayah saya dan musuh-musuhnya. Tiga tahun kemudian, Mustafa el Nahas
menjadi perdana menteri Mesir. Ayah saya dipaksa untuk mengundurkan
diri”: Ihab Hassan, Out of Egypt, Scenes and Arguments of an Autobio-graphy,
Carbondale 1986, hal. 46-48: dalam lebih dari satu cara, peringatan
sugestif. Untuk tulisan saksi mata tentang pem-bunuhan, yang dilihatnya
sebagai seorang anak berusia sebelas tahun dari sebuah balkon di atasnya,
bandingkan dengan peringatan yang sangat berbeda dari feminis Mesir,
Latifa Zayyat: The Search, London 1996, hal. 41-43. Latar belakang kejadian-
kejadian tersebut dirancang oleh Jacques Berque, L’Egypte — Impérialisme et
Révolution, Paris 1967, hal. 452-460.

22
ASAL-USUL POST MODERNITAS

arts), musik, teknologi, dan perasaan manusia secara luas.4


Penyebutan satu persatu kecenderungan-kecenderungan
dan para seniman yang mengikutinya kemudian adalah dari
Mailer sampai Tel Quel, Hippies sampai Konseptualisme. Dalam
lingkup heterogen, bagaimanapun, satu kelompok inti dapat
dikenali. Tiga nama muncul dengan frekuensi khusus: John
Cage, Robert Rauschenberg dan Buckminster Fuller. Semuanya
tergabung dengan Black Mountain College. Tidak hadir di sini, di
sisi lain, yaitu Olson. Tempatnya, diduduki oleh figur keempat
— Marshall McLuhan. Dalam kombinasi ini, poros utamanya
jelas Cage: teman dekat Rauschenberg dan Fuller, serta
pengagum McLuhan. Cage juga, tentu saja, seorang pengikut
utama aliran estetika bisu; karangannya 4/33’ secara terkenal
melebihi gerak isyarat drama tanpa kata (worldless drama) yang
manapun ketika Hassan mengakhir surveinya tentang daftar
kata-kata yang beragam (motley indices) dari postmodernisme
— berlari dari Pesawat Bumi (Spaceship Earth) menuju Kampung
Global (Global Village), kumpulan orang-orang dan peristiwa,
pengurangan aleatori dan pertunjukan lawak, ketidaktetapan
dan keberlanjutan — serta berusaha mensistesiskan semua itu
di tengah “kekejaman jiwa” (anarchies of the spirit), yang menum-
bangkan kebenaran modernisme yang jauh, si pengarang adalah
salah satu dari sedikit seniman yang bisa menjawab tantangan.
Dalam tulisan-tulisan berikutnya, Hassan menangkap
gagasan Foucault tentang sebuah perubahan epistemik untuk
menyarankan pergeser-an yang sebanding (comparable shifts)
dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, dalam masa kebangkitan

4
“POSTmodernISM: a Paracritical Bibliography”, New Literary History,
Musim Gugur 1971, hal. 5-30; dicetak ulang dengan beberapa perubahan
kecil pada The Postmodern Turn, Ithaca 1987, hal. 25-45.

23
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Heisenberg atau Nietzsche. Dalam hal ini, ia berpendapat


bahwa kesatuan yang mendasar dari postmodern terletak pada
“permainan indeterminasi dan imanensi”, yang berakar pada seni
yang dibentuk oleh Marcel Duchamp. Daftar para penerusnya
adalah termasuk Ashbery, Barth, Bartheleme dan Pynchon
dalam dunia sastra; Rauschenberg, Warhol, Tinguely dalam
dunia seni rupa. Pada tahun 1980, Hassan telah menggabungkan
sebuah daftar motif-motif poststrukturalis ke dalam sebuah
taksonomi rumit (elaborate taxonomy) mengenai perbedaan
antara paradigma postmodern dan modern serta memperluas
Gotha para praktisinya lebih lanjut.5 Namun sebuah masalah
yang lebih besar muncul. “Apakah postmodernisme itu”, ia
bertanya, “hanyalah sebuah kecenderungan artistik ataukah
juga sebuah gejala sosial (social phenomenon)?”, dan “jika
demikian, bagaimanakah dengan berbagai aspek dari fenomena
berikut — psikologis, filosofis, ekonomis, politis — juga terlibat
atau tidak terlibat?” Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut,
Hassan tidak mempunyai jawaban yang koheren, tetapi ia
membuat satu observasi penting. “Post-modernisme, sebagai
bentuk perubahan sastra, dapat dibedakan dari aliran-aliran
perintis yang lebih dahulu lahir (Kubisme, Futurisme, Dadaisme,
Surealisme, dan lain-lain), begitu juga modernisme”, tulisnya.
“Tidak juga aliran Olympian yang tidak memihak seperti aliran
sesudahnya dan tidak juga aliran Bohemian yang cengeng
seperti aliran sebelumnya, postmodernisme menawarkan suatu
jenis akomodasi baru antara seni dan masyarakat”.6
5
Secara berturut-turut: “Budaya, Indeterminasi dan Imanensi: Pinggiran
Era (Postmodern)”, Humanities in Society, No. 1, Musim Dingin 1978, hal.
51-85, dan “The Question of Postmodernism”, Bucknell Review, 1980, hal.
117-126; dicetak ulang pada The Postmodern Turn, hal. 46-83, dan (direvisi
sebagai “The Concept of Postmodernism”) hal. 84-96.
6
“The Question of Postmodernism”, hal. 122-124; kalimat terakhir tidak

24
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Jenis yang seperti apa? Jika perbedaan terus digali;


akan susah untuk menghindari politik. Tetapi di sinilah Hassan
justru mengundurkan diri. “Saya mengaku kepada rasa tidak
berselera terhadap kegusaran ideologis (ideological rage) (yang
terburuk sekarang penuh dengan intensitas yang bergairah dan
kekurangan keyakinan) serta penyelewengan dogma-dogma
agama dan sekular. Saya mengakui punya perasaan yang
bertentangan terhadap politik, yang bisa menimbulkan reaksi
yang menyesakkan terhadap seni dan kehidupan”.7 Segera
saja ia menunjukkan ketidaksukaannya secara lebih spesifik,
menyerang kritik-kritik Marxis mengenai ketundukan kepada
“penindasan kejam terhadap ideologi” dalam “determinisme
sosial, bias kolektivis, ketidakpercayaan terhadap kesenangan
estetis (aesthetic pleasure) mereka yang tersembunyi”. Yang
lebih disukai sejauh ini, sebagai filsafat bagi post-modernitas,
adalah “semangat kepura-puraan toleransi dan pengharapan
dari pragmatisme Amerika”, di atas segalanya dalam sosok
William James yang ekspansif dan meriah, yang pluralismenya
menawarkan “balsem etis” (ethical balm) bagi kegelisahan
zaman sekarang.8 Karena bagi politik, perbedaan-perbedaan
lama telah kehilangan rupa dalam segala makna yang manapun.
Istilah-istilah semacam “kiri dan kanan, basis dan superstruktur,
produksi dan reproduksi, materialisme dan idealisme” telah
menjadi “hampir tidak bisa ditemui, kecuali untuk mengabadikan
prasangka (perpetuate prejudice)”.9

muncul dalam versi revisi yang diterbitkan dalam The Postmodern Turn, hal.
89-91.
7
“Pluralism in Postmodern Perspective” (1986), dalam The Postmodern
Turn, hal. 178.
8
The Postmodern Turn, hal. 203-205, 232.
9
The Postmodern Turn, hal. 227.

25
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Konstruksi Hassan mengenai postmodern, bahwa ia


adalah orang pertama yang menghubungkannya melintasi
dunia seni, dan menandai membuatnya diterima secara luas.
Langkah menuju dunia sosial terbentang lebar. Ini pastilah satu
alasan mengapa ia menarik diri dari bidang ini pada akhir tahun
1980-an. Tetapi ada satu alasan lain, alasan internal dalam
catatannya mengenai seni itu sendiri. Komitmen orisinil Hassan
adalah kepada bentuk-bentuk yang menjengkelkan (exasperated
forms) dari modernisme klasik (classic modernism) — Duchamp
atau Berkett: apa yang sudah De Onís sebutkan sebelumnya
tentang istilah “ultramodernisme” pada tahun 1930-an. Ketika
ia mulai mengeksplorasi situasi budaya pada tahun 1970-
an, Hassan menguraikannya secara penuh melalui prisma ini.
Peran strategis jatuh di barisan depan yang bisa dilacak pada
masa Black Mountain. Dugaan semacam itu punya banyak hal
untuk dikatakan mengenai hal tersebut. Tetapi selalu ada aspek
lain dari pandangan seperti itu yang coba digambarkan oleh
Hassan, yang jauh lebih dekat kepada involusi yang menghiasi
(decorative involusion) dari élan modernis yang diperlihatkan
oleh De Onís sebagai “post-modernisme”. Warhol bisa dianggap
sebagai cara yang singkat dalam hal ini.
Ikhtisar orisinil (original conspectus) Hassan termasuk hal
ini, jika tanpa tekanan bekerja lembur, bagaimanapun, ia merasa
bahwa ini mungkin merupakan tujuan secara keseluruhan
dimana postmodern condong pada pertengahan dekade,
sebuah pertunjukan desain (design exhibition) di Grand Palais,
Styles 85, mempertontonkan kesatuan objek-objek postmodern
“dari paku payung sampai kapal pesiar” (from thumbtacks to
yachts), menuntunnya kepada perubahan perasaan (certain
revulsion) tertentu: “Berjalan menembus urut-urutan yang

26
ASAL-USUL POST MODERNITAS

cemerlang (bright farrago), berhektar-hektar semangat, parodi,


olok-olok, saya merasakan senyuman di bibir saya membeku”.10
Ketika ia datang untuk menulis kata pengantar teks-teks yang
dikumpulkannya mengenai topik ini, The Postmodern Turn tahun
1987, ia mengisyaratkan dengan jelas bahwa judul tersebut
juga merupakan semacam ucapan selamat tinggal: “Post­moder­
nisme itu sendiri telah berubah, mengambil tikungan yang salah.
Terjebak antara keganas-an ideologis (ideological truculence)
dan kesia-siaan, terperangkap dalam kegenitannya sendiri,
post-modern telah menjadi cemoohan, penuh nafsu akan ke­se­
nangan dan ketidakpercayaan yang remeh (trivial disbeliefs)”.11
Bagaimanapun, alasan Hassan mengapa ia menjadi kejam
terhadap postmodern telah memberi inspirasi bagi kebanyakan
teorisasi terkemuka mengenai postmodern untuk meneruskan
teorinya. Ironisnya, adalah dunia seni di mana ia cuma sedikit
saja memberi perhatian yang akhirnya memproyeksikan
istilah postmodern kepada masyarakat luas. Pada tahun 1972,
Robert Venturi dan teman-temannya, Denise Scott Brown dan
Steven Izenour menerbitkan manifesto arsitektur (architectural
manifesto) pada dekade itu, Learning from Las Vegas. Venturi
telah membuat dirinya sendiri mendapat kritik dari kalangan
ortodoks murni dari International Style di era karya-karya besar
Mies (the age of Mies), Mannerist yang khusyuk, masterpiece
Baroque, Rococo, dan Edwardian sebagai nilai-nilai alternatif
bagi praktek kontemporer.12 Dalam buku baru itu, ia dan
teman-temannya meluncurkan serangan yang lebih menentang

10
The Postmodern Turn, hal. 229.
11
The Postmodern Turn, hal. xvii.
12
Complexity and Contradiction in Architecture, New York 1966: “Arsitek-
arsitek tidak lagi bisa diintimidasi oleh bahasa moral puritan arsitektur
Modern ortodoks” — “Lebih adalah bukan kurang”: hal. 16.

27
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(iconoclastic attack) tentang Modernisme, atas nama citra


populer penting dari kepingan spekulasi. Di sini, mereka
berpendapat akan ditemukan pembaharuan yang spektakuler
dari asosiasi historis arsitektur melalui lukisan (painting), grafis
(graphics), dan pahat (sculpture). Saatnya kembali kepada ucapan
Ruskin bahwa arsitektur adalah dekorasi bangunan (decoration
of construction).
Belajar secara sambil lalu, pesan Learning from Las Vegas
bersandar pada dasar pikiran yang akan membuat Ruskin takjub.
“Faktor komersial menantang si arsitek untuk mengambil
pandangan positif”, Venturi dan teman-temannya menulis,
“nilai-nilai Las Vegas tidak dipertanyakan di sini, moralitas
komersial, kepentingan-kepentingan spekulatif, dan naluri
bersaing tidak dipermasalahkan”.13 Analisis formal mengenai
arak-arakan tanda yang penuh gegap gempita (joyous riot of
signs) di langit gurun tidak perlu menghindari penilaian sosial
(social judgement), tetapi analisis tersebut menegaskan suatu
hal. “Arsitektur Modern ortodoks itu progresif, bisa dibilang
revolusioner, utopis, dan puritan: hal tersebut bertentangan
dengan kondisi yang ada”. Namun perhatian prinsipil si arsitek
adalah “tidak seharusnya dengan seharusnya, tetapi dengan
apa” dan “bagaimana cara mengembangkannya”.14 Di belakang
netralitas sederhana dari agenda ini — “apakah masyarakat
benar atau salah bukan-lah urusan kita pada saat itu” —
menimbulkan sebuah pertentangan yang damai (disarming
opposition). Berlawananan dengan kemonotonan megastruktur
modernis dengan semangat dan heterogenitas kekacauan
spontan masyarakat urban, Learning from Las Vegas meringkas

13
Learning from Las Vegas, Cambridge, Mass. 1972, hal. 0 [sic].
14
Learning from Las Vegas, hal. 0, 85.

28
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dikotomi di antara mereka dalam sebuah frase: “Membangun


untuk manusia” (Building for man) vs “Membangun untuk banyak
orang (pasar)” (Building for men [markets]).15 Kesederhanaan
dalam kata di dalam kurung (pasar) mengungkapkan segalanya.
Di sinilah terletak hubungan baru antara seni dan masyarakat
yang diperkirakan oleh Hassan tetapi gagal didefinisikan.
Program Venturi, dirancang untuk menggantikan yang
modern, masih kurang memiliki nama. Tidak lama lagi. Pada
tahun 1974, istilah “postmodern” — diantisipasi satu dekade
sebelumnya oleh Pevsner, untuk menghantam historisisme
yang lemah — telah memasuki dunia seni di New York, di sana
mungkin arsitek pertama yang menggunakannya adalah murid
Venturi yaitu Robert Stern. Namun kritik yang membuatnya
mujur adalah Charles Jencks, edisi pertama dari Language
of Post-modern Arditecture muncul pada tahun 1977. Lebih
polemik lagi dalam penguburan modernismenya — menurut
dugaan dilupakan orang tahun 1972, dengan penghancuran
kebangkitan di Barat-Pertengahan — Jencks adalah orang
pertama yang lebih kritis dari Venturi terhadap kapitalisme
Amerika, dan terhadap kolusi antara keduanya dalam komisi
pembangunan pasca-perang. Namun, selagi berbeda pendapat
mengenai kebutuhan jangkauan yang lebih luas daripada yang
sudah diizinkan oleh Venturi, untuk memasukkan bentuk-
bentuk ironis dan juga simbolis, idenya ini berdasarkan pada ide-
ide dalam Learning from Las Vegas — keserbaragaman inklusif,
sifat yang mudah dibaca secara populer, simpati kontekstual.
Meskipun judulnya, Jencks awalnya ragu-ragu untuk menyebut
nilai tersebut sebagai bersifat “postmodern”, karena istilah itu
— diakuinya — “mengandung pengelakan, mengikuti zaman,

15
Learning from Las Vegas, hal. 84.

29
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dan yang paling buruk istilah itu bersifat negatif”.16 Ia lebih suka
arsitektur akan menjadi lebih baik jika digambarkan sebagai
“eklektisisme radikal” (radical eclecticism), bahkan “tradisional”
(traditionalesque), dan satu-satunya arsitek yang bisa mengikuti
hal ini adalah Antonio Gaudí.
Dalam setahun, Jencks berubah pikiran, mengadopsi
penuh ide-ide postmodern dan sekarang berpikir bahwa
eklektisisme sebagai gaya “pengkodean-ganda” (double-coding):
yaitu, arsitek-tur yang memakai sintaksis serapan modern dan
historis, dan menampilkan keduanya dalam citarasa terpelajar
dan sensibilitas populer. Adalah percampuran antara lama dan
baru, tinggi dan rendah ini, yang memberi arti modernisme
sebagai sebuah gerakan, dan terbukti di masa depan.17 Pada
tahun 1980, Jencks membantu mengorganisir seksi arsitek-
tur dari Venice Biennale yang dipimpin oleh Paulo Portoghesi,
seorang pionir praktisi postmodern yang flamboyan, berjudul
“The Presence of Past” (Kehadiran Masa Lalu), yang menarik

16
The Language of Post-Modern Architecture, New York 1977, hal.
7. Didorong sebagian oleh karya kritikus Marxis, Malcolm MacEwan,
kolega Edward Thompson pada The New Reasoner, pada tahap ini Jencks
menawarkan periodisasi “mode-mode produksi arsitektural” — kapitalis
mini; kapitalis negara sejahtera; monopoli kapitalis, atau dominansi baru
pengembang komersial yang meresap segalanya. “Beberapa arsitek modern,
dalam upaya keras untuk membuat senang diri mereka sendiri, telah
memutuskan bahwa sejak saat ini, inilah situasi yang tidak dapat dielakkan,
yang harus memiliki poin-poin bagusnya … ‘Main Street hampir semuanya
benar’, menurut Robert Venturi”; hal. 11-12, 35.
17
The Language of Post-Modern Architecture, Edisi yang direvisi dan
diperluas, New York 1978, hal. 6-8: “Modernisme menderita dari elitisme,
Post-Modernisme sedang mencoba untuk mengatasi elitisme itu”, dengan
mencapai “melalui bahasa daerah, menuju tradisi dan slang jalanan komersial”
— “arsitektur, yang telah dipaksa diet selama lima puluh tahun, hanya bisa
menikmati diri dan berkembang semakin kuat dan semakin dalam sebagai
hasilnya”. Diskusi dari Pra-Modernis Gaudi dibuang dari versi baru, atas
dasar-dasar konsistensi.

30
ASAL-USUL POST MODERNITAS

perhatian publik internasional secara luas. Sampai sekarang


Jencks telah menjadi pendukung setia akan hal itu dan
taksonomer prolifik akan perkembangannya.18 Langkah paling
penting yang diambilnya adalah membedakan, arsitektur
“modern lanjut” dari “postmodern”. Mementahkan klaim bahwa
modernisme telah runtuh di awal tahun 1970-an, Jencks
menyatakan bahwa dinamika yang terkandung di dalamnya
masih bertahan, dalam bentuk penyerangan, sebagai sebuah
estetika kegagahan teknologi (aesthetic of technological prowess)
— namun masih bertahan terhadap permainan masa lalu dan
sindiran yang menandai postmodernisme: Foster dan Rogers
melawan Moore dan Graves.19 Ini adalah padanan sastra dari
dunia arsitektur yang dimenangkan Hassan — ultramodernisme.
Menghargai persamaan, Jencks membalikkan pertenta­
ngan di antara istilah-istilah De Onís, tanpa rasa sesal. Tidak
peduli seberapa produktifnya —ultramodernisme semacam
itu secara historis ada di belakang. Adalah postmodernisme,
sumber-sumber simboliknya menjawab kebutuhan masa kini
akan spiritualitas baru, sebagaimana bangunan penuh hiasan
yang menggembirakan (exuberant baroque) dari Kontra-Refor­
masi (CounterRevolution), yang mewakili seni maju dari zaman
itu. Pada pertengahan tahun 1980-an, Jencks merayakan
postmodern sebagai peradaban dunia yang toleran dan
majemuk serta mempunyai banyak pilihan, yang membuat
polarisasi menjadi tidak masuk akal dengan istilah-istilahnya

18
Ia kemudian akan menyatakan bahwa “tanggapan terhadap kuliah-
kuliah dan artikel-artikel saya sedemikian kuat dan menyebar luas, yang
menciptakan Post-Modernisme sebagai gerakan sosial dan arsitektural”:
Post-Modernism: the New Classicism in Art and Architecture, New York, 1987,
hal. 29.
19
Late Modern Architecture, New York 1980, hal. 10-30.

31
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yaitu, “sayap kiri dan kanan, kapitalis dan kelas pekerja.” Dalam
sebuah masyarakat dimana reformasi sekarang lebih berarti
daripada produksi, tidak ada lagi “pelopor seni”, karena “tidak
ada musuh untuk ditaklukkan” dalam jaringan kerja elektronik
global (global electronic network). Dalam keadaan yang penuh
persaingan dalam dunia seni sekarang ini “tidak terhitung
lagi banyaknya individu di Tokyo, New York, Berlin, London,
Milan, dan kota-kota besar lainnya berkomunikasi dan bersaing
satu sama lain, begitu mereka ada di dunia perbankan”.20 Di
luar kreasi kaleidoskop mereka yang berubah dengan cepat,
diharapkan akan muncul “sebuah pemerintahan simbolis yang
bisa dinikmati semua orang dari hal ini sebagaimana agama
bisa melakukannya”21 — agenda utama postmodernisme. Di lain
pihak, impian sinkretistik Toynbee telah kembali.

B. Montreal – Paris
Penangkapan arsitektur dari lambang post-modern, yang
ada dari tahun 1977-1978, terbukti bisa bertahan. Gabungan
utama dari istilah yang pernah ada sejak bersama bentuk-
bentuk ruang bangunan terbaru. Namun pergeseran ini segera
saja diikuti oleh perluasan jangkauan secara lebih jauh, dalam
arah yang tidak diduga-duga karya filosofis pertama yang
mengadopsi gagasan postmodernisme adalah La Condition
Postmoderne karya Jean-François Lyotard yang muncul di Paris
pada tahun 1979. Lyotard telah memperoleh istilah tersebut
langsung dari Hassan. Tiga tahun sebelumnya, ia menghadiri
sebuah konferensi di Milwaukee mengenai postmodern dalam
pertunjukan seni yang dipimpin oleh Hassan. Menyatakan

20
What is Post-Modernism?, London 1986, hal. 44-47.
21
What is Post-Modernism?, hal. 43.

32
ASAL-USUL POST MODERNITAS

“pancang-pancang postmodernisme sebagai suatu keseluruhan


tidaklah untuk menun-jukkan kebenaran dalam penutupan
gambaran, tetapi untuk menentukan perspektif-perspektif
dalam kembalinya suatu kehendak”, Lyotard memuji film
eksperimental Michael Snow yang terkenal itu tentang sebuah
pemandangan kosong di Kanada yang diambil dengan kamera
tidak bergerak, dan proyeksi-proyeksi spasial Duchamp.22
Buku barunya cukup mendekati tema yang diangkat Hassan
— implikasi-implikasi epistemologis dari kemajuan-kemajuan
akhir-akhir ini dalam ilmu-ilmu alam. Bagaimanapun, dengan
habisnya La Condition Post-moderne adalah dibentuknya sebuah
komisi yang bertugas memberikan laporan mengenai keadaan
“pengetahuan kontemporer” (contemporary knowledge) bagi
dewan universitas di pemerintahan Quebec, dimana partai
nasionalis René Levesque baru saja memegang kekuasaan.
Bagi Lyotard, kehadiran postmodernisme terkait erat
dengan bangkitnya masyarakat post-industri — diteorikan oleh
Daniel Bell dan Alain Touraine — dimana pengetahuan telah
menjadi kekuatan produksi ekonomi utama dalam suatu arus
yang melintasi negara-negara, namun tidak pada saat yang
sama telah kehilangan legitimasi-legitimasi tradisionalnya.
Karena meskipun masyarakat sekarang tersusun dengan baik,
tidak sebagai kesatuan organik atau tidak juga ajang konflik
yang dualistis (Parsons atau Marx), tetapi sebagai sebuah
jaringan komunikasi linguistik (web of linguistic communications),
bahasa itu sendiri — keseluruhan ikatan sosial — tersusun
22
“Bawah sadar sebagai Miseen-Scène”, dalam Michael Benamou dan
Charles Caramello (eds), Performance in Postmodern Culture, Madison 1977,
hal. 95. Hassan memberikan catatan penting untuk pidato pada konferensi
ini. Untuk kontak intelektual antara keduanya pada saat ini, lihat La Condition
Postmoderne, catatan 1, 121, 188, dan The Postmodern Turn, hal. 134, 162-
164.

33
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dari beraneka ragam permainan yang berbeda-beda, yang


aturan-aturannya tidak dapat dibandingkan, dan agonistik
yang saling berhubungan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini,
ilmu pengetahuan hanya menjadi satu permainan bahasa di
antara yang lainnya: ilmu pengetahuan tidak lagi menduduki
posisi utama di atas bentuk-bentuk pengetahuan lainnya
sebagaimana pada zaman modern ilmu pengetahuan menduduki
posisi penting. Pada kenyataannya, superioritasnya sebagai
kebenaran denotatif atas gaya-gaya naratif pengetahuan biasa
menyembunyikan dasar legitimasinya sendiri, yang secara
klasik berdiri di atas dua bentuk narasi besar itu sendiri. Yang
pertama, diambil dari Revolusi Prancis, yang mengisahkan
dongeng tentang kemanusiaan sebagai agen heroik dari
pembebasannya sendiri melalui kemajuan pengetahuan; yang
kedua, diturunkan dari Idealisme Jerman, suatu kisah tentang
jiwa sebagai bentangan kebenaran yang progresif. Hal-hal
semacam itu merupakan mitos-mitos besar yang menjustifikasi
modernitas.
Ciri yang menentukan kondisi postmodern, sebaliknya,
merupakan hilangnya kredibilitas metanarasi-metarasi ter­
sebut. Bagi Lyotard, hal tersebut telah dimentahkan oleh
perkembangan imanen ilmu pengetahuan itu sendiri: di satu
pihak, oleh pemajemukan jenis-jenis argumentasi dengan per­
kem­bangbiakan paradoks dan paralogisme —yang dianti­sipasi
dalam ilmu filsafat oleh Nietsczhe, Wittgenstein dan Lévinas;
dan di lain pihak, oleh bukti-bukti yang dikembangkan, yang
terdiri dari pecahan-pecahan, yang dipimpin oleh ibukota atau
negara, mengurangi “kebenaran” menjadi “performativitas”.
Ilmu pengetahuan yang mengabdi pada kekuasaan menemu­
kan legitimasi baru. Tetapi pragmatisme aslinya dari ilmu

34
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pengetahuan post-modern tidak terletak pada pencarian


bentuk, tetapi dalam produksi paralogistis — dalam dunia mikro-
fisika, pecahan-pecahan, kekacauan, “membentuk evolusinya
sendiri tidak berkelanjutan, katastropik, tidak bisa diralat dan
paradoksikal”.23 Jika impian tentang konsensus adalah pecahan
nostalgia demi emansipasi, narasi-narasi seperti itu tidak
pernah usang, hanya menjadi lebih kecil dan lebih kompe-titif:
“narasi kecil tadi menjadi bentuk murni penemuan imajinatif”.24
Analogi sosialnya, dimana The Postmodern Condition berahir,
adalah kecenderungan menuju kontrak sementara dalam semua
wilayah keberadaan manusia: pekerjaan, emosi, seks, politik —
yang mengikat lebih ekonomis, fleksibel, kreatif daripada ikatan-
ikatan modernitas (bonds of modernity). Jika bentuk seperti ini
didukung oleh “sistem”, ini tidak sepenuhnya terikat padanya.
Kita patut berbahagia karena ini cukup mengikuti zaman dan
membaur, Lyotard menyimpulkan, karena alternatif murni yang
manapun bagi sistem pada akhirnya akan menyerupai apa yang
coba ditentangnya.
Pada pergantian tahun 1970-an, tulisan-tulisan Hassan
— utamanya dalam literatur — masih harus dikumpulkan; tulisan
Jencks terbatas pada bidang arsitektur saja. Dengan judul
dan topik, The Postmodern Condidition adalah buku pertama
yang memperlakukan postmodernisme sebagai perubah­
an umum (general change) dari keadaan manusia (hu-man
circumstance). Dengan posisi yang menguntungkan dari sang
filosof membuat postmodernisme menggema secara lebih luas,
melintasi berbagai audien, dari semua campur tangan yang

23
La Condition Postmoderne. Rapport sur le Savoir, Paris 1979, hal. 97.
Terjemahan Inggrisnya: The Postmodern Condition, Minneapolis 1984, hal.
60.
24
La Condition Postmoderne, hal. 98; The Postmodern Condition, hal. 60.

35
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ada sebelumnya: sampai sekarang mungkin masih merupakan


pekerjaan paling besar dalam hal ini. Namun akibat terisolasi —
buku tersebut adalah petunjuk yang menyesatkan (misleading
guide) bagi posisi intelektual Lyotard. Karena The Postmodern
Condition, yang ditulis sebagai komisi resmi, dibatasi secara
esensial dalam batas epistemologis ilmu-ilmu alam — tentang
apa yang kemudian diakui Lyotard, pengetahuannya kurang
dari terbatas.25 Apa yang ia temukan di dalamnya adalah
pluralisme kognitif, berdasarkan atas gagasan — yang masih
segar bagi para audien Gallic, dan Anglo-Saxon — permainan
bahasa yang berbeda dan tiada tara (incommensurable language-
games). Hal yang membingungkan dari konsepsi orisinil
Wittgenstein, seringkali dicatat, hanya ditutup oleh klaim
Lyotard yang menegaskan bahwa permainan seperti itu sifatnya
mementingkan diri sendiri dan menyakitkan, seandainya ada
konflik di antaranya yang tidak mempunyai ukuran umum.
Pengaruh berikutnya dari buku tersebut, dalam hal ini, adalah
dalam hubungan terbalik terhadap kepentingan intelektualnya,
sebagaimana hal ini telah menjadi inspirasi relativisme yang
sering dilewati — dimana kawan dan lawan sama saja — bagi
tanda postmodernisme.
Apa yang secara nyata dari kerangka kerja ilmiah Lyotard,
“laporan tentang pengetahuan”, kurang dilihat orang baik di
bidang seni atau politik. Hal yang membuat orang ingin tahu
tentang buku itu terletak pada fakta bahwa inilah dua gairahnya
yang paling utama bagi dirinya sebagai seorang filosof. Seorang
25
“Saya membuat banyak cerita, saya hubungkan dengan sejumlah buku
yang belum pernah saya baca, tampaknya mengesankan banyak orang,
ini semua tentang parodi kecil … Ini hanya yang terburuk dari buku-buku
saya, yang hampir semuanya buruk, tetapi itulah satu yang terburuk”: Lotta
Poetica, Seri Ketiga, Vol. I, No. 1, Januari 1987, hal. 82 — wawancara dari
kepentingan daftar pustaka lebih umum.

36
ASAL-USUL POST MODERNITAS

militan anggota kelompok Kiri Jauh Socialisme ou Barbarie


selama satu dekade (1954-1964) yang selama itu ia menjadi
komentator hebat tentang Perang Algeria, Lyotard tetap aktif
dalam pecahan organisasi Pouvoir Ouvrier tersebut untuk
dua tahun lagi. Keluar dari kelompok ini ketika ia yakin kaum
proletar tidak lagi menjadi pelaku revolusioner yang sanggup
menantang kapitalisme, ia aktif di universitas yang bergolak
di Nanterre pada tahun 1968 dan masih menafsirkan ulang
Marx untuk pemberontakan–pemberontakan kontemporer
pada akhir tahun 1969. Tetapi dengan adanya pemberon-takan
di Prancis, gagasan Lyotard berubah. Karya filosofis besar
pertamanya, Discours, Figure (1971), mempercepat tersohornya
figur aliran Freudian, sebagai oposisi terhadap catatan linguistik
Lacan tentang ketidaksadaran, sebagai dasar bagi teori seni,
yang diilustrasikan oleh puisi-puisi dan lukisan-lukisan.
Pada saat terbitnya Dérive à partir de Marx et Freud
(1973), ia menjadi semakin bersemangat untuk berpolitik.
“Akal”, katanya, “telah berkuasa dalam modal. Kita tidak ingin
modal hancur karena ia tidak rasional, tetapi karena akal dan
kekuasaan adalah satu. Tidak ada apapun dalam kapitalisme,
tidak ada dialektika pemecahan masalahnya dalam sosialisme:
sekarang jelas bagi semua orang, sosialisme sama saja dengan
kapitalisme. Semua kritik, hanyalah menggabungkannya”.
Yang sendirian bisa menghancurkan kapitalisme adalah “arus
hasrat” generasi muda di seluruh dunia untuk melakukan
“yang pembimbing tunggalnya adalah intensitas kasih sayang
dan pelipatgandaaan kekuatan yang bergairah”.26 Peran para
seniman yang maju: dulu Opojaz, Futurisme atau LEF di Rusia;
sekarang Rothko, Cage atau Cunningham di Amerika —sedang

26
Dérive à partir de Marx et Freud, Paris 1973, hal. 12-13, 16-18.

37
ASAL-USUL POST MODERNITAS

meledakkan rintangan-rintangan untuk membebaskan hasrat


ini dengan membawa bentuk-bentuk kenyataan yang sudah
ada menuju nyala api. Seni dalam hal ini ada di bawah semua
kekacauan politik. “Estetika adalah untuk orang yang berpolitik,
saya (dan tetap?) bukanlah alibi, tempat pengasingan diri yang
menyenangkan, tetapi kekurangan dan belahan yang menurun
ke lapisan tanah bagian bawah dari iklim politik, sebuah gua
yang luas yang bagian dalamnya bisa dilihat dari atas ke bawah
atau dari dalam keluar”.27
Dengan bukunya Economic Libidinal (1974), Lyotard maju
satu langkah lebih jauh. Tidak ada kritik terhadap Marx, oleh
orang-orang naif semacam Castoriadis atau Baudrillard, atas
nama pemujaan kreativitas yang saleh atau mitos nostalgis
pertukaran simbolis. Untuk menyingkap “hasrat yang bernama
Marx”, transkripsi yang sempurna diperlukan bagi politik ke
dalam ekonomi libidinal, yang tidak akan gentar menghadapi
kebenaran yang dieksploitasi itu sendiri yang dihidupkan
secara khusus — bahkan oleh para pekerja industri —sebagai
kenikmatan erotis (erotic enjoyment): kenikmatan masokistis
atau histeris (masochistic or hysterical delectation) dalam
penghancuran kesehatan fisik di pertambangan dan pabrik-
pabrik, atau dis-integrasi identitas pribadi di rumah-rumah
atau perkampungan kumuh yang tidak bernama. Modal itu
diinginkan oleh mereka yang dikuasai oleh modal itu sendiri,
dulu dan sekarang. Perlawanan menentang hal ini baru
muncul ketika kesenangan- kesenangan yang ditawarkannya
menjadi “tidak dapat dipertahankan lagi” (untenable), dan ada
pergeseran mendadak akan jalan keluar yang baru. Namun hal
ini tidak ada sangkut pautnya dengan pengkultusan tradisional

27
Dérive à partir de Marx et Freud, hal. 20.

38
ASAL-USUL POST MODERNITAS

terhadap golongan Kiri. Sama seperti tidak adanya alienasi yang


terlibat dalam investasi populer pada modal, begitu juga dalam
disinvestasi “tidak ada gengsi libidinal, kebebasan libidinal, atau
persaudaraan libidinal” —hanya ada pencarian intensitas afektif
yang baru.28
Latar belakang terbesar perjalanan Lyotard dari sosialis­
me revolusioner menuju hedonisme nihilis terletak, tentu saja,
pada evolusi dari Republik ke5 itu sendiri. Konsensus orang
Prancis di awal tahun 1960-an telah meyakinkannya bahwa
kelas pekerja sekarang secara esensial telah terintegarasi
ke dalam kapitalisme. Gejolak di akhir tahun 1960-an mem­­
berinya harapan bahwa generasi muda (bukan kelas pekerja)
di dunia mungkin bisa menjadi pertanda adanya pem­beronta­
kan. Gelombang euphoria konsumerisme yang menyapu
bersih seluruh negara di awal dan pertengahan tahun 1970-
an kemudian membawa ke arah pembentukan teori kapital­
isme sebagai mesin penggerak gairah. Pada tahun 1976,
bagaiman­apun, Partai-partai Sosialis dan Komunis telah setuju
mengenai Program Umum, dan tampaknya akan memperoleh
kemenangan pada pemilu legislatif berikutnya. Prospek PFC
di pemerintahan untuk pertama kalinya sejak permulaan era
Perang Dingin menyebarkan kepanikan dalam pendapat yang
dapat dihormati, mempercepat perlawanan balasan keras
terhadap ideologi. Hasilnya adalah meroketnya Nouveaux
Philosophes, sekelompok penerbit soixante-huitard yang ter­
dahulu, yang dilindungi oleh media dan Elysée.
Dalam perubahan haluan politik Lyotard, ada satu yang
tetap tidak berubah. Socialisme ou Barbabie adalah antikomunis
sejak awalnya, dan apapun perubahan keyakinannya, hal ini

28
Economie Libidinale, Paris 1974, hal. 136-138.

39
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tetap merupakan elemen yang tidak dapat dihilangkan dalam


pandangannya. Tahun 1974, ia menceritakan rahasianya untuk
mengejutkan teman-temannya di Amerika bahwa presiden
pilihannya adalah Giscard, karena Mitterand bergantung pada
dukungan komunis. Menjelang pemilu tahun 1978, dengan
ancaman dari partisipasi PCF secara nyata dalam pemerintahan,
ia oleh karena itu merasa mendua terhadap Nouveaux
Philosophes. Di satu pihak, serangan dahsyat mereka terhadap
komunisme membawa akibat yang bermanfaat; di lain pihak,
mereka secara terang-terangan mau berkompromi dengan
pemerintahan yang sah. Campur tangan Lyotard dalam debat
pra-pemilu, dialog sengit Instructions Paїennes (1977), mengejek
tetapi sekaligus membela mereka. Di sinilah ia pertama kali
merumuskan gagasan “meta-narasi” yang ditampilkan begitu
menonjolnya dalam The Postmodern Condition, dan membuat
targetnya yang sebenarnya menjadi sangat jelas. Hanya
satu “kisah utama” terletak pada asal-usul istilah tersebut:
Marxisme. Untungnya, kekuasaan sekarang pada akhirnya
terkikis oleh gelombang ombak — gelombang kecil yang tidak
terhitung jumlahnya dari Gulag. Benar adanya bahwa di Barat
ada juga narasi besar tentang modal: tetapi narasi ini lebih
disukai oleh orang Partai, karena ia “tidak bertuhan” (godless)
—“kapitalisme” tidak menghargai cerita dari siapa pun”, karena
”narasinya adalah tentang segala sesuatu dan bukan apa-apa”.29
Pada tahun yang sama dengan keluarnya manifesto po­
litik, Lyotard menyiapkan peraturan estetis. Les Trans­for­mateurs
Duchamp mempersembahkan pengarang Large Grass dan Given

29
Instructions Paїennes, Paris 1977, hal. 55. Penggunaan pertama istilah-
istilah Lyotard “narasi besar” (grand narratives) dan “meta-narasi” (meta-
narrative) mengidentifikasi pertaliannya tanpa berpanjang-panjang lagi
sebagai Marxisme: hal. 22-23.

40
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sebagai seniman kritis non-isomorfik (struktur sama bentuknya


tidak), keganjilan, dan ketiadataraan. Lagi-lagi membela
laporan­­nya tentang jouissance proletariat industri awal dalam
kumpulannya yang sedang retak, Lyotard berpendapat, “Jika
engkau menggambarkan nasib para pekerja” secara ekslusif
dalam istilah pengasingan, eksploitasi, dan kemiskinan, eng­kau
menampilkan mereka sebagai korban yang pasrah menung­
gu seluruh proses terjadi sampai akhirnya memperoleh pem­
beba­san pada saat munculnya perbaikan berikutnya (sosia­
lisme). Engkau kehilangan inti dari semua itu, yang bukan per­
tum­­buhan kekuatan produksi berapapun mahal harganya,
bahkan bukan pula kematian dari banyak pekerja, sebagaimana
yang Mary seringkali katakan dengan sinis yang diperindah
oleh Darwinisme. Engkau melewatkan energi yang kemudian
menyebar dalam karya seni dan ilmu pengetahuan, sorak-sorai
dan sakitnya menemukan apa yang bisa engkau raih dalam
hidup (kehidupan, bekerja, berpikir, dan dicintai) di tempat yang
diyakini tidak ada lagi perasaan untuk melakukan hal-hal seperti
itu. Katakanlah, ini memang keras. Kekerasan inilah, suatu
“asketisisme mekanis” (mechanical asceticism), yang mengilhami
enigma seksual Duchamp. The Glass adalah “penundaan” dari
kete­lanjangan; Given adalah kelanjutannya. Terlalu cepat me­lihat
si wanita merebahkan dirinya telanjang di atas the Glass, dan
terlambat di panggung the Given. Si pelaku adalah seorang pelaku
perubahan yang kompleks (complex transformer), sebuah baterei
mesin perubah bentuk. Tidak ada seni, karena tidak ada objek.
Hanya ada transformasi, pendistribusian kembali energi. Dunia
adalah pecahan-pecahan yang beranekaragam yang men­tran­s­
formasikan unit-unit energi ke unit-unit energi yang lainnya”.30

30
Les Transformateurs Duchamp,Paris 1977, hal. 23, 39-40.

41
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Daerah pedalaman di belakang The Post-modern Condi­


ion adalah lebih terurus daripada dokumen yang dikarang
bagi peme­rintahan di Québecois itu sendiri. “Laporan tentang
pengetahun menyisakan dua pertanyaan dari keprihatinan
paling mendalam terhadap mati surinya Lyotard. Apakah
implikasi-implikasi postmodernitas terhadap seni dan politik?
Lyotard segera saja menjawab pertanyaan yang pertama, di
mana ia menemukan dirinya sendiri dalam posisi yang serba
salah. Ketika ia menulis The Postmodern Condition, ia agak
tidak sadar akan penyebaran istilah tersebut dalam arsitektur,
mungkin satu-satunya bidang seni yang tidak pernah ditulis,
dengan makna berlawanan terhadap semua yang ia hargai.
Ketidakpedulian ini tidak akan lama. Tahun 1982 ia diberi kabar
tentang konstruksi postmodern Jencks, dan penyambutannya
yang hangat tersebar luas di Amerika Utata. Reaksi Lyotard
sangat tajam. Postmodern semacam itu merupakan restorasi
yang tersembunyi (surreptitious restoration) dari realisme yang
meluntur yag dahulu dilindungi oleh Nazisme dan Stalinisme
dan sekarang muncul kembali sebagai eklektisisme sinis oleh
modal kontemporer: semua yang para seniman avant-garde
telah diperjuangkan dilawan.31
Apa yang dijanjikan oleh ketegangan estetis yang me­
ngendur ini bukanlah hanya akhir dari eksperimentasi, tetapi juga
suatu pembatalan dorongan lahirnya seni modern semacam itu,
yang alirannya selalu datang dari jurang pemisah antara yang bisa
dimungkinkan (conceivable) dan bisa ditampilkan (presentable),
yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kemahamuliaan

31
“Réponse à la question: qu’est-ce que le post-moderne?”, dalam
Le Postmoderne expliqué aux enfants, Paris 1986, hal. 29-33. Terjemahan
Inggrisnya, “Answering the Question: What is Postmodernism?”, dilampirkan
pada The Postmodern Condition, hal. 73-76.

42
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(sublime) yang tentu saja berbeda dengan keindahan. Lalu


seperti apakah keaslian seni postmodern itu? Jawaban Lyotard
lemah. Postmodern tidak datang setelah modern, tetapi ia
adalah sebuah gerakan pembaharuan internal dalam dirinya
sendiri sejak pertama kalinya — aliran yang responsnya
terhadap kehancuran aslinya adalah nostalgia kebalikan akan
kesatuannya: terlepas dari penerimaan yang penuh sukacita
akan kebebasan penemuan yang dilepaskannya. Namun ini
bukanlah kemewahan. Karya seni avant-garde yang disetujui
oleh Lyotard setahun kemudian adalah Minimalisme — yang
sublime sebagai kemelaratan. Sebaliknya, yang melambungkan
pasar seni adalah hal-hal yang digembar-gemborkan oleh
Jencks: “proses percampuran, ornamentasi, hasil karya seni
(pastiche) — membangkitkan “selera” publik yang bisa tidak
punya “selera” sama sekali.32
Jika persoalan Lyotard dalam menteorisasi seni post­
modern terletak pada bergantinya kecenderungan estetis jauh
dari arah yang selalu ia perjuangkan — memaksanya untuk
menyatakan postmodernitas artistik sebagai prinsip perennial
(perennial principle), bukan sebagai kategori periodik (periodic
category), dalam kontradiksi yang nyata dari laporannya
tentang postmodernitas ilmiah sebagai babak perkembangan
yang bisa dimengerti —kesulitannya dalam membangun politik
postmodern menjadi sejalan pada waktunya. Di sini kebingungan
datang dari jalannya sejarah itu sendiri. Dalam The Postmodern
Condition, Lyotard telah mengumumkan pudarnya semua narasi
besar. Satu hal yang ia yakin telah mati adalah, tentu saja,
sosialisme klasik. Dalam teks lanjutan, ia ingin memperluas daftar

32
“Le sublime et l’avant-garde” (kuliah Berlin 1983), dalam L’Inhumain.
Causeries sur le Temps, Paris 1988, hal. 117.

43
ASAL-USUL POST MODERNITAS

narasi-narasi besar yang sekarang tidak berfungsi: penebusan


Dosa dalam agama Kristen (Christian redemption), kemajuan
Pencerahan, semangat Hegelian, kesatuan Romantik, rasisme
Nazi, keseimbangan Keynesian. Tetapi acuan utamanya tetap
selalu komunisme. Lalu apa yang mengacu pada kapitalisme?
Pada masa Lyotard menulis, pada akhir era Carter, Barat —
kemudian memasuki resesi hebat — jauh dari suasana teologis
yang ramai. Sehingga ia dapat menyuguhkan kemiripan yang
mungkin bahwa kapitalisme kontemporer hanya dikukuhkan
oleh prinsip penampilan (performance principle), yang hanya
merupakan bayangan semata dari legitimasi yang nyata.
Dengan adanya perubahan peristiwa-peristi-wa yang
tajam di tahun 1980-an — euphoria terhadap Reagan meledak,
dan perlawanan terhadap golongan Kanan, memuncak
pada jatuhnya blok Soviet pada akhir dekade tersebut —
kedudukannya ini kehilangan kredibilitas. Jauh dari narasi-
narasi besar yang telah hilang, tampaknya untuk pertama
kalinya dalam sejarah dunia jatuh dalam ayunan kisah paling
besar dari semuanya — cerita tunggal yang universal tentang
kebebasan dan kemakmuran, kemenangan pasar global.
Bagaimana Lyotard menyesuaikan diri dengan perkembangan
yag tidak terencana ini? Reaksi pertamanya adalah bersikeras
bahwa kapitalisme, meskipun tampaknya menam-pilkan akhir
sejarah universal, pada kenyataannya, justru menghancurkan
pendapat seperti itu — karena kapitalisme tidak punya nilai-
nilai yang lebih tinggi daripada keamanan faktual semata.
Kapitalisme tidak membutuhkan legitimasi, tidak menentukan
apapun, tidak perlu menempatkan aturan normatif. Kapitalisme
ada di mana-mana, tetapi sebagai kebutuhan bukan sebagai
finalitas. Bisa jadi, kapitalisme menyembunyikan kepura-puraan

44
ASAL-USUL POST MODERNITAS

norma — “menghemat waktu”: tetapi apakah itu benar-benar


dianggap sebagai akhir segalanya?33
Ini adalah catatan yang tidak berharga untuk dilontarkan.
Pada akhir tahun 1990-an, Lyotard menemukan jalan keluar
yang lebih baik dari kesulitannya. Kapitalisme, tidak bisa
dimengerti terutama sebagai fenomena sosial ekonomi semata.
“Kapitalisme, lebih tepat jika disebut figur. Sebagai sebuah
sistem, kapitalisme bersumber pada energinya sendiri, bukan
pada kekuatan buruh, secara fisik (sistem itu tidaklah terisolasi).
Sebagai figur, kapitalisme mendapatkan kekuatannya dari
gagasan ketidakterhinggaan. Ia bisa muncul dalam kehidup-an,
kekuasaan, dan kesenangan baru. Semua ini bisa buruk sekali
dan sangat menjijikkan. Namun, keinginan-keinginan tersebut
merupakan pengeja-wantahan antropologis dari sesuatu yang
secara ontologis adalah “kesegeraan” dan ketidakterhinggaan
kehendak manusia. “Kesegeraan” ini tidak mengambil tempat
berdasarkan kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial bukan
merupakan kategori-kategori ontologis yang berkaitan.34 Peng­
gantian sejarah oleh ontologi adalah satu pemberhentian,
bagaimanapun: dalam beberapa tahun, Lyotard sudah berpindah
ke astro-fisika.
Kemenangan kapitalisme atas sistem-sistem saingannya,
menurut pendapatnya sekarang, adalah hasil dari sebuah proses
seleksi yang telah men-dahului sejarah manusia itu sendiri.
Dalam keluasan jagad raya yang tiada tara ini, dimana semua
tubuh tunduk pada antropi, peluang asli — “sekumpulan bentuk-
bentuk energi yang saling tergantung” — memberi kebangkitan
33
“Mémorandum sur la légitimité” (1984), dalam Le Postmoderne expliqué
aux enfants, hal. 94.
34
“Appendice svelte à la question postmoderne” (1982), dalam Tombeau
de l’intellectuel et autres papiers, Paris 1984, hal. 80.

45
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dalam planet mungil di hadapan sistem-sistem kehidupan


yang masih belum sempurna. Karena energi eksternal sangat
terbatas, sistem-sistem tersebut harus bersaing satu sama
lain, dalam garis evolusi yang terus menerus secara kebetulan.
Akhirnya, setelah berjuta-juta tahun, satu spesies manusia
muncul yang bisa berkata-kata dan menggunakan peralatan;
kemudian “bentuk-bentuk yang beragam dari kesatuan
umat manusia muncul, dan mereka terseleksi berdasarkan
kemampuan mereka menemukan, menangkap, dan menyimpan
sumber-sumber energi”. Setelah ribuan tahun, disela oleh
revolusi neolitikum dan revolusi industri, “sistem-sistem yang
disebut demokrasi liberal “membuktikan bahwa sistem-sistem
tersebut paling baik dalam menunaikan tugasnya, mengalahkan
komunis dan Islam, dan meredakan bahaya-bahaya ekologis.
“Tampaknya tidak ada yang bisa menghentikan perkembangan
demokrasi liberal kecuali matahari telah padam. Tetapi untuk
menjawab tantangan ini, sistem itu telah mengembangkan
cara-cara yang akan memungkinkannya untuk tetap bertahan
seandainya sumber energi matahari benar-benar habis”.35
Semua riset ilmiah kontemporer dilakukan untuk menuju
eksodus, empat miliar tahun berlalu, spesies manusia dari bumi
bertransformasi.
Saat pertama kali membayangkan gambaran ini, Lyotard
menyebutnya sebagai “hiasan baru” (new décor).36 Mengambil
jalan dengan bahasa skenografi yang mengelakkan bayangan
narasi — jika pada ongkos pengusulan yang tidak disengaja,
peng­gayaan postmodern (stylization of the postmodern)
selain itu sangat tidak disukai. Tetapi ketika sudah selesai,
35
Moralités Postmodernes, Paris 1993, hal. 80-86.
36
“Billet pour un nouveau décor” (1985), dalam Le Postmoderne expliqué
aux enfants, hal. 131-134.

46
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ia menyajikannya sebagai “impian yang tidak diakui yang


diimpikan oleh dunia postmodern itu sendiri” — “fabel post-
modern”. Namun, ia bersikeras, “fabel itu realistis karena ia
menghitung kembali cerita tentang kekuatan yang menjadikan,
menghancurkan, dan mengulangi lagi realitas. Apa yang
dilukiskan oleh fabel itu adalah konflik antara proses dua energi.
“satu mengarah kepada penghancuran seluruh sistem, semua
tubuh, yang hidup atau tidak, di planet kita dan di sistem tata
surya kita. Namun, dalam proses entropi ini, yang memang harus
terjadi dan berkelanjutan, suatu proses lain yang kontingen
dan berhenti. Setidaknya untuk waktu yang lama, bertindak
secara berlawanan dengan cara mening-katkan perbedaan
dari sistem-sistemnya. Gerakan ini tidak bisa menghentikan
yang pertama (kecuali gerakan itu bisa menemukan cara untuk
mengisi ulang bahan bakar matahari), tetapi ia bisa keluar dari
malapetaka dengan cara meninggalkan habitat kosmiknya”.
Penggerak utama kapitalisme dengan demikian bukanlah
kehausan akan keuntungan, atau hasrat manusiawi: tetapi ini
adalah perkembangan neguentropi. “Perkembangan bukanlah
penemuan yang dilakukan oleh manusia. Adalah perkem-
bangan itulah yang menemukan manusia”.37
Mengapa ini bukan merupakan narasi besar -- modern
secara paling sempurna? Karena, kata Lyotard, ini adalah sebuah
cerita tanpa historisitas atau harapan. Fabel adalah postmodern
sebab “fabel tidak punya finalitas dalam cakrawala emansipasi
yang manapun”. Manusia, sebagai saksi perkem-bangan, boleh
menghadapkan wajahnya menantang sebuah proses yang mana
mereka sendiri adalah kendaraan dari proses tersebut. “namun,
meskipun kritik mereka terhadap perkembangan, terhadap

37
“Une fable postmoderne”, dalam Moralités Postmodernes, hal. 86-87.

47
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ketidaksetaraannya, terhadap ketidakteraturannya, terhadap


kefatalannya, terhadap ketidakmanusia-wiannya, adalah
merupakan ekspresi dari perkem-bangan dan ini sangat berarti
bagi perkembangan itu sendiri”. Keenergikan universal tidak
menyisakan tempat bagi penderitaan — pura-pura. Namun,
Lyotard juga dengan bebas menggambarkan kisahnya sebagai
“tragedi energi” yang “mirip Oedipus Rex yang berakhir buruk”,
namun juga “mirip Oedipus at Colonnus yang mengizinkan
dilakukannya pengampunan terakhir”.38
Kerapuhan intelektual (intellectual fragility) dari
konstruksi terakhir tadi sangat membutuhkan perhatian.
Dalam laporan orisinil Lyotard mengenai metanarasi tidak
ada yang membatasi mereka terhadap ide emansipasi — yang
hanya satu dari dua wacana modern mengenai legitimasi
yang coba dilacaknya. Fabel postmodern masih akan menjadi
narasi besar (grand narrative), bahkan sekalipun ini dikeluarkan
dari temanya. Tetapi pada kenyataannya, tentu saja, ini tidak
dikeluarkan. Apa lagi yang akan melarikan diri ke bintang selain
emansipasi dari bumi yang sedang sekarat? Dalam daftar narasi
Lyotard yang lainnya, kapitalisme berbicara tentang emansipasi
secara lebih lanjut dan lebih meyakinkan daripada sebelumnya.
Di tempat lain, Lyotard terpaksa mengakui hal ini. Bahkan ia
juga mengakui: “Emansipasi bukan merupakan pekerjaan
menghimpun dan memaksakan kebebasan dari luar” —api
emansipasi adalah ideologi yang diupayakan oleh sistem untuk
diaktualisasikan di banyak wilayah yang dicakupnya, seperti
pekerjaan, perpajakan, pasar, keluarga, seks, ras, sekolah,
budaya, komunikasi”. Rintangan dan penolakan hanya akan
semakin mendorong emansipasi menjadi semakin terbuka dan

38
“Une fable postmoderne”, hal. 91-93, 87.

48
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kompleks, mendorong tindakan spontan — dan “sebenarnya


itulah yang namanya emansipasi”. Jika fungsi kritik masih
untuk mencela kelemahan-kelemahan sistem, “maka kritik-
kritik semacam itu, apapun bentuknya, dibutuhkan oleh sistem
tersebut untuk menggantikan fungsi emansipasi secara lebih
efektif”.39
Kondisi postmodern, dinyatakan sebagai kematian narasi
besar (death of grand narrative), dengan demikian berakhir
bersama semuanya kecuali kebangkitan abadi dalam kiasan
perkem-bangan (allegory of development). Logika dari kesudahan
yang aneh (strange dénouement) ini termaktub dalam jalan politik
Lyotard. Dari tahun 1970-an dan selanjutnya, setelah komunis
lama bercokol sebagai alternatif yang menyaingi kapitalisme,
yang tidak begitu jahat — ia bahkan merayakannya dengan
sengit sebagai, tatanan yang menyenangkan. Sekali blok Soviet
terpecah-pecah, hegemoni kapitalisme menjadi kurang menarik.
Kemenangan ideologisnya tampaknya mempertahankan jenis
narasi yang melegitimasi yang telah ditulis dalam obituari Lyotard.
Daripada menentang realitas baru dalam dunia politik, solusi
Lyotard adalah sublimasi metafisik (metaphysical sublimation)
dari kapitalisme. “Fabel postmodern” tidak menggantikan
rekonsiliasi akhir apapun dengan modal. Sebaliknya, Lyotard
sekarang menemukan kembali titik-titik berat oposisi yang
telah lama berhenti dalam karyanya: pengutukan terhadap
ketidaksetaraan global (denunciation of global inequality) dan
operasi pemotongan jantung budaya (cultural lobotomy), serta
cemoohan untuk reformasi sosial demokratis (social-democratic
reformism), mengingat masa lalunya yang revolusioner. Namun,

39
“Mur, golfe, système” (1990), dalam Moralités Postmodernes, hal. 67-
68.

49
ASAL-USUL POST MODERNITAS

hanya perlawanan-perlawanan pada sistem yang bertahan


tersebut ternyata ada di dalamnya: sikap diam seniman,
ketidak­menentuan masa kecil, kebisuan jiwa.40 Kepergian
adalah “sorak-sorai kegirangan” (jubilation) dari kehancuran
awal representasi oleh postmodern; perasaan bosan yang tidak
menentu yang tidak terkalahkan (invincible malaise) sekarang
menentukan jalannya waktu. Postmodern adalah “melankoli”.41

C. Frankfurt – Munich
The Postmodern Condition diterbitkan pada musim gugur
tahun 1979. Tepatnya setahun kemudian, Jürgen Habermas
menyampaikan pidatonya Modernity — an Incomplete Project di
Frankfurt, pada saat penerimaan hadiah Adornonya dari para
bapak kota. Mata kuliah ini menempati bagian yang aneh dalam
diskursus postmodernitas. Substansinya hanya menyentuh
tingkat terbatas tentang post-modern; namun efeknya adalah

40
Lihat, khususnya, “A l’insu” (1988), “Ligne générale” (1991), dan
“Intime est la terreur” (1993), dalam Moralités Postmodernes; dan “Avant-
propos: de l’humain” (1988), dalam L’Inhumain, dimana Lyotard mengakui:
“Inhumanitas sistem saat ini berada dalam proses konsolidasi, dengan nama
pembangunan (di antara banyak nama lain), yang tidak harus dikacaukan
dengan itu, rahasia secara tidak terbatas, dimana jiwa adalah sandera. Untuk
mempercayai, seperti yang pernah saya perbuat, bahwa jenis inhumanitas
pertama itu dapat memancarkan yang kedua, memberinya ekspresi,
adalah kesalahan. Efek sistem ini agak membuang apa yang melepasnya
menjadi pelupaan”: hal. 10. Yang lebih akhir, dalam “La Mainmise”, Lyotard
menyebutkan kembali “dongeng pembangunan”, tetapi mengubah daftar: di
sini, ia “mengantisipasi kontradiksi” — karena “proses pembangunan berjalan
melawan desain emansipasi manusia”, meskipun menyatakan menjadi satu
dengannya. Untuk pertanyaan — “Adakah satu kejadian dalam kita yang
meminta diemansipasi dari emansipasi yang diduga ini?” — jawaban Lyotard
berupa “residu” yang diwariskan oleh “masa kanakkanak yang tinggal
kenangan” untuk “isyarat saksi” di dalam karya seni: Un Trait d’Union, Paris
1993, hal. 9.
41
Moralités Postmodernes, hal. 93-94.

50
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menyorotinya sebagai pertalian standard. Hasil yang paradoks


ini tentu saja, terutama karena kedudukan Habermas di dunia
Anglo-Saxon sebagai seorang filosof Eropa pertama abad itu.
Tetapi juga karena fungsi kedudukan kritis intervensinya. Untuk
pertama kalinya sejak peluncuran ide postmodernitasnya pada
akhir tahun 1970-an, tulisan ini mengalami perlakuan yang
kasar (abrasive treatment). Jika kemunculan lahan intelektual
khususnya memerlukan kutub negatif bagi ketegangan
produktifnya, Habermas inilah yang memasukkannya. Kendati
demikian, salah pemahaman secara tradisional telah melekat
pada teks ini. Secara luas dibaca sebagai tanggapan terhadap
karya Lyotard, karena kedekatan tanggalnya, namun pada
kenyataannya barangkali dituliskan sebagai pengabaian yang
kedua. Habermas bereaksi lebih pada pameran Venice Biennale
tahun 1980, sebuah tempat yang terlihat dengan jelas bagi versi
postmodernisme Jenck42 — sama seperti Lyotard, dari pihaknya,
tidak sadar saat sedang memproduksi tulisannya sendiri.
Chassecroisé ironis ide-ide berdiri pada sumber pertukaran ini.
Habermas mulai memahami bahwa semangat modernitas
estetika (spirit of aesthetic modernity), dengan pengertian
waktunya yang baru sebagai hadiah yang dibebankan pada masa
datang yang heroik, terlahir di zaman Baudelaire dan mencapai
klimaksnya di Dada, tampaknya telah memudar; kelompok

42
“Die Moderne — ein unvollendetes Projekt”, Kleine politische Schriften
(I-IV), Frankfurt 1981, hal. 444. Pidato berbahasa Jerman ini secara signifikan
lebih panjang dan lebih tajam nadanya dibanding dengan versi berbahasa
Inggris yang disampaikan oleh Habermas sebagai Kuliah James di New York
pada tahun berikutnya, diterbitkan pada New German Critique, Musim Dingin
1981, hal. 3-15. Kata-kata pembukanya mengajukan pertanyaan tumpul:
“Apakah modern akan ketinggalan zaman seperti postmodernis nantinya?
Atau apakah postmodern itu sendiri, yang dinyatakan dari sedemikian
banyak sisi, hanya suara belaka?”

51
ASAL-USUL POST MODERNITAS

perintis seni (avant-gardes) telah tua. Ide postmodernitas


berhutang kekuatannya pada perubahan yang tidak dapat
ditandingi ini (incontestable change). Namun demikian, dari
sini, para teoretikus neo-konservatif seperti Daniel Bell telah
menarik kesimpulan yang salah. Logika antinomian budaya
modernis, demikian mereka menyatakan, telah datang untuk
menembus tekstur masyarakat kapitalis, dengan memperlemah
serat moralnya dan menghancurkan disiplin kerjanya dengan
pemujaan akan subjektivitas yang tidak terhambat, pada
saat itu juga dimana budaya telah berhenti menjadi sumber
seni kreatif. Hasilnya terancam menjadi cairan hedonistis
dari tatanan sosial yang dulunya terhormat, yang hanya bisa
diperiksa dari kebangkitan kembali kepercayaan agama (revival
of religious faith) — di dunia yang tercemar, kembali dari yang
suci.
Inilah yang akan mencela modernisme estetis atas apa
yang semuanya jelas merupakan logika komersial modernisasi
kapitalis itu sendiri, demikian Habermas mengamati. Aporia
modernitas budaya yang nyata terletak di mana-mana. Proyek
Pen-cerahan modernitas memiliki dua untaian. Satu adalah
pembedaan untuk pertama kalinya dari ilmu, moralitas, dan seni
— yang tidak lagi disatukan dalam agama yang ditampakkan
— menjadi bidang-bidang nilai yang otonom, masing-masing
diatur oleh norma-normanya sendiri — kebenaran, keadil-an,
keindahan. Yang lain adalah pelepasan potensial bidang-bidang
yang baru saja dibebaskan ini men-jadi aliran subjektif kehidupan
sehari-hari, yang berinteraksi untuk memperkayanya. Ini
adalah pro-gram yang telah berjalan tersesat. Karena bukannya
masuk ke dalam sumber daya bersama komunikasi sehari-hari,
setiap bidang justru telah cenderung berkembang menjadi

52
ASAL-USUL POST MODERNITAS

spesialisme esoteris (esoteric specialism), yang tertutup untuk


dunia arti yang biasa. Bersama berjalannya abad ke19, seni
menjadi daerah kantong kritis (critical enclave) yang semakin
terasing dari masyarakat, bahkan semakin dalam memuja
jaraknya sendiri darinya. Pada awal abad ke20, aliran avant-
garde revolusioner seperti surealisme telah berusaha untuk
menghancurkan pembagian sebagai hasil antara seni dan
kehidupan dari gerakan-gerakan kehendak estetis spektakuler.
Tetapi isyarat-isyaratnya sia-sia: tidak ada emansipasi yang
mengalir dari destruksi bentuk-bentuk atau desublimasi arti-
arti — kehidupan juga tidak pernah bisa ditransfigurasikan
dengan penye-rapan seni itu sendiri. Itu memerlukan pemulihan
sumber daya ilmu pengetahuan dan moralitas juga yang terjadi
bersamaan, dan saling pengaruh-mempengaruhi ketiganya
untuk menghidupkan dunia kehidupan.
Proyek modernitas belum direalisasikan. Tetapi upaya
untuk meniadakannya — nasehat keputusasaan — telah gagal.
Otonomi bidang-bidang nilai tidak bisa ditarik kembali, di atas
penderitaan regresi. Kebutuhan masih harus menempatkan
kem-bali budaya-budaya ahli yang masing-masing telah
dihasilkan menjadi bahasa pengalaman umum (language of
common experience). Namun demikian, untuk ini, harus ada
hambatan-hambatan untuk melindungi spontanitas dunia
kehidupan (life-world) dari serbuan kekuatan-kekuatan pasar
dan adminis-trasi birokratis. Tetapi, Habermas dengan muram
menyatakan, “kesempatan-kesempatan untuk hari ini tidak
sangat baik. Lebih atau kurang di setiap tempat di dunia Barat
secara keseluruhan, iklim yang telah berkembang memajukan
aliran-aliran kritis modernisme budaya”.43 Tidak kurang dari tiga

43
Untuk para pendengar Jermannya, Habermas menjelaskan bahwa

53
ASAL-USUL POST MODERNITAS

cabang konservatisme yang berbeda sekarang ditawarkan. Anti-


modernisme kaum konservatif “muda” tertarik pada yang lama,
kekuatan-kekuatan dionysiac melawan semua rasionalisasi,
dalam tradisi yang berjalan dari Bataille sampai Foucault. Pra-
modernisme kaum konservatif “lama” dibutuhkan untuk etika
cap quasi-aristotelian kosmologis substantif, bersama baris-
baris yang diintimasi oleh Leo Strauss. Postmodernisme “neo-
konservatif” menyambut baik reifikasi bidang-bidang nilai
terpisah ke bidang-bidang keahlian tertutup yang dipersenjatai
melawan setiap permintaan dunia kehidupan, dengan konsepsi-
konsepsi ilmu pengetahuan yang mendekati ilmu pengetahuan
Wittgenstein awal, pengetahuan politik yang dipinjam dari
Carl Schmitt, pengetahuan seni yang mendekati seni Gottfried
Benn. Di Jerman, campuran anti dan pra-modernisme yang ter­
sembunyi menghantui kontra-budaya, sementara aliansi pra dan
post-modernisme yang tidak menyenangkan sedang mengambil
bentuk dalam kemapanan politik (political establishment).
Argumen Habermas, yang padat bentuknya, dengan
demikian adalah konstruksi yang aneh (curious construction).
Definisi modernitasnya, yang secara tidak kritis diadopsi dari
Weber, pada hakekatnya menurunkannya hanya menjadi
diferensiasi formal dari bidang-bidang nilai (value-spheres)
— untuk mana kemudian ia menambahkan rekonfigurasinya

kondisi “rekopling budaya modern yang dibedakan dengan praksis sehari-


hari” bukan hanya “kemampuan dunia kehidupan untuk mengembangkan
lembaga-lembaga yang bisa membatasi dinamika internal sistem ekonomi
dan sistem tindakan administratif” tetapi “juga bisa membimbing modernisasi
sosial bersama beberapa jalan non-kapitalis yang lain” — “wenn auch die
geseilschaftliche Modernisierung in andere nichtkapitalistische Bahnen
gelenk wurden kann”. Diucapkan untuk para pendengar Amerikanya,
Habermas secara berbeda membuang klausa ini, dan hanya meninggalkan
hiasan anodynnya. Bandingkan dengan “Die Moderne — ein unvollendetes
Projekt”, hal. 462 dengan “Modernity — an Incomplete Project”, hal. 13.

54
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sebagai aspirasi Pencerahan (Enlightenment) yang menginter­


komunikasikan sumber daya dalam dunia kehidupan, ide
yang asing bagi Weber dan sulit dideteksi dalam Aufklärung
(yang berbeda dari Hegel) itu sendiri. Namun demikian, apa
yang cukup jelas, adalah bahwa “proyek” modernitas seperti
yang ia sketsakan adalah paduan kontradiksi dua prinsip yang
berlawanan: spesialisasi dan popularisasi. Bagaimana sintesis
keduanya pada setiap tahap akan direalisasikan? Sedemikian
ditetapkan, dapatkah proyek pernah diselesaikan? Tetapi jika
dalam pengertian ini ia tampak kurang tidak terselesaikan,
daripada tidak bisa dikerjakan, maka alasannya terletak dalam
teori sosial Habermas sebagai keseluruhan.
Karena ketegangan-ketegangan modernitas estetika
dalam miniatur yang mereproduksi ketegangan dalam struktur
tulisan masyarakat kapitalis bebasnya. Di satu pihak, ini diatur
oleh “sistem-sistem” koordinasi impersonal, yang diperantarai
oleh mekanismemekanisme pengatur uang dan kekuasaan,
yang tidak bisa dipulihkan oleh suatu lembaga kolektif, dengan
mengorbankan de-diferensiasi regresif tatanan-tatanan kelem­
bagaan yang terpisah — pasar, administrasi, hukum, dan lain-
lain. Di lain pihak, “dunia kehidupan” yang dipersatukan oleh
norma-norma intersubjektif, dimana aksi komunikatif daripada
aksi instrumental yang lazim berlaku, harus dilindungi dari
“kolonisasi” sistem-sistem tersebut — namun demikian, tanpa
mengganggunya. Dualisme apakah yang dikesampingkan
adalah suatu bentuk kedaulatan rakyat (popular sovereignty),
baik dalam pengertian tradisi-onal maupun radikal. Pengaturan
diri dari produsen-produsen yang berasosiasi secara bebas
ada di luar agenda. Apa yang tertinggal adalah kemauan lemah
rekonsiliasi dua bidang tidak setara yang tidak mungkin. Karena

55
ASAL-USUL POST MODERNITAS

The Theory of Communicative Action Habermas, maka “bidang


publik” akan men-jadi tempat demokratis yang memperkuat
antara keduanya — namun yang kemunduran strukturalnya telah
ia lacak sejak lama. Dalam Modernity — an Incomplete Project,
tidak ada sebutan tentang hal itu. Tetapi ia memiliki gemanya
dalam contoh positif tunggalnya dari apa yang akan tampak
pada penyediaan kembali seni dalam eksistensi sehari-hari:
gambaran para pekerja muda di Berlin sebelum perang yang
membahas altar Pergamon dalam Aesthetics of Resistance karya
Peter Weiss, yang mengingatkan akan persamaan-persamaan
bidang publik borjuis “kampungan” yang dibangkitkan dalam
pengantar studinya yang terkenal kemudian hari. Tetapi, tentu
saja, ini bukan satu-satunya ilustrasi fiktif. Estetika melepas
keantikan klasiknya, bukan modernitas; yang ditetapkan dalam
waktu, sebelum para avant-garde menjadi tua.
Mal à propos dapat diambil sebagai indeks selipan yang
mendasari argumen Habermas. Ada keterpisahan dasar antara
fenomena yang dimulai dengan mendaftar — kemunduran
modernisme estetika yang tampak — dan tema yang berjalan
untuk mengembangkan — spesialisasi yang berlebihan dari
bidang-bidang nilai. Dinamika ilmu pengetahuan dengan
jelas telah dipengaruhi oleh yang kedua. Mengapa seni harus
demikian? Habermas mengusahakan tanpa jawaban: pada
kenyataannya, bahkan tidak menempatkan pertanya-an.
Hasilnya adalah kesenjangan yang menganga antara masalah dan
solusi. Memudarnya vitalitas eksperimental terletak pada satu
tujuan alamat, reanimasi dunia kehidupan pada tujuan yang lain,
dan benar-benar tidak ada hubungan di antara keduanya. Salah
konstruksi memiliki gejalanya yang digeser dalam taksonomi
khayalan (fanciful taxonomy) dengan mana ia berakhir. Apapun

56
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang akan dibuat oleh kritisisme dari intelektual yang turun


dari Bataille sampai Foucault (ada banyak), namun tidak bisa
dengan setiap goresan imajinasi yang akan dijelaskan sebagai
“konservatif”. Demikian juga sebaliknya, walaupun keturunan
neo-konservatif Wittgenstein, Schmitt atau Benn, belum lagi jika
berbicara tentang para pemikir seperti Bell, untuk menghukum
mereka sebagai sarana-sarana “postmodernisme” yang secara
ganjil menyimpang dari kebiasaan: mereka khususnya telah
berada di antara kritikus-kritikus yang paling tajam. Untuk
menambahkan label pada lawan yang demikian adalah sama
dengan meniadakan postmodern sama sekali.
Ini bukanlah kata terakhir Habermas atas pokok
permasalahan. Yang kurang diperhatikan, tetapi lebih substansial,
adalah kuliah yang ia berikan tentang “Arsitektur Modern dan
Postmodern” di Munich setahun kemudian. Di sini Habermas
terlibat dengan benteng teori estetika postmodern yang
nyata, yang memperlihatkan pengetahuan dan semangat yang
mengesankan tentang subjeknya. Ia mulai dengan mengamati
bahwa gerakan modern dalam arsitektur — satu-satunya gaya
yang menyatukan sejak neo-klasikisme — memancar dari
semangat avant-garde, namun telah berhasil dalam menciptakan
tradisi klasik yang sebenarnya bagi inspirasi rasionalisme Barat.
Saat ini, rasionalisme ada di bawah serangan luas pem-binasaan
kota yang mengerikan dari sedemikian banyak kota pasca-
perang. Tetapi “apakah wajah nyata arsitektur modern tampak
dalam kekezaman-kekezaman ini, atau apakah wajah arsitektur
modern menyimpangkan semangatnya yang sebenarnya?”44
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan melihat kembali
44
“Moderne und postmoderne Rchitektur”, kumpulan dalam Die Neue
Unübersichtlichkeit, Frankfurt 1985, hal. 15; terjemahan Inggrisnya dalam
The New Conservatism, Cambridge, Mass. 1989, hal. 8.

57
ASAL-USUL POST MODERNITAS

asal-usul gerakan tersebut.


Pada abad ke19, revolusi industri (industrial revolution)
telah menampilkan tiga tantangan seni arsitektur yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Revolusi memerlukan desain dari
jenis-jenis bangunan yang baru — baik budaya (perpustakaan,
sekolah, rumah-opera) dan ekonomi (jalan kereta api — stasiun,
pertokoan, gudang-gudang, perumahan pekerja); revolusi
mendukung teknik-teknik dan material-material baru (besi, baja,
beton, kaca); dan memaksakan perintah-perintah sosial yang
baru (tekanan-tekanan pasar, rencana-rencana administra-tif),
dalam “mobilisasi kapitalis semua kondisi kehidupan kota”.45
Kebutuhan-kebutuhan saat ini membuat kewalahan arsitektur,
yang gagal dalam menghasilkan tanggapan yang koheren
terhadap kebutuhan, malahan mendisintegrasikan historisisme
yang bersifat memilih-milih dari berbagai sumber atau utilitas
yang suram. Dengan bereaksi pada kegagalan di awal abad ke20
ini, gerakan modern mengatasi kekacauan gaya bahasa (stylistic
chaos) dan simbolisme yang tidak wajar (factitious symbolism)
dari arsitektur Victorian akhir, dan siap mentransformasikan
totalitas lingkungan yang dibangun, dari bangunan-bangunan
ekspresif dan paling monumental sampai ke bangunan paling
kecil dan paling praktis.
Dengan berbuat demikian, gerakan memenuhi dua tan­
tangan pertama dari revolusi industri yang penuh kemena­
ngan, dengan kreativitas formal luar biasa. Tetapi revolusi
tidak pernah bisa menguasai yang ketiga. Modernisme
arsitektural, benar-benar dari permulaan, sangat melebih-
lebihkan kemampuan untuk membentuk kembali lingkungan
kota (urban environment): salah perhitungan yang terkenal

45
“Moderne und postmoderne Architektur”, hal. 18.

58
ASAL-USUL POST MODERNITAS

diekspresikan pada hubris awal Le Corbusier utopian. Setelah


perang, ketegangan sederhana yang diserahkannya tidak
berdaya di hadapan tekanan-tekanan rekonstruksi kapitalis,
yang mengarah pada pemandangan kota yang terpencil untuk
mana ia kemudian harus memikul kecaman. Pada akhir rencana
perjalanan ini, terletak reaksi yang tidak baik dari pemandangan
saat ini: pembalikan konservatif terhadap neo-historisisme
(Terry), pencarian vitalis untuk arsitektur masyarakat (Kier),
dan seperangkat panggung cemerlang dari postmodernisme
yang tepat (Hollein atau Venturi). Pada kesemuanya, kesatuan
bentuk dan fungsi yang telah mendorong proyek modernisme
sekarang dilarutkan.
Tentu saja ini adalah tulisan tentang nasib modernitas
estetis yang lebih bersifat cerita, pada kepekaan semua seni
yang paling sosial, dibanding kuliah Frankfurt. Tetapi pidato
Munich, meskipun jauh lebih kaya dan lebih persis, masih
menempatkan masalah sama yang mendasari. Apa yang pada
hakekatnya telah menyebabkan keruntuhan taksiran publik
atas gerakan modern dalam arsitektur? Di atas permukaan,
jawabannya sudah jelas: ketidakmampuannya untuk menahan
atau mengepung hambatan-hambatan uang dan kekuasaan
pasca-perang: “kontradiksi-kontradiksi modernisasi kapitalis”,
seperti pada satu pokok yang ditempatkan untuk itu oleh
Habermas.46 Tetapi seberapa jauh modernisme arsitektural
— secara sengaja atau tidak — ikut serta dalam perintah-
perintah ini? Habermas menyetujui beberapa tanggung
jawab untuknya, karena salah memahami dinamika orisinilnya
sendiri. Secara historis, akar-akar modernisme terletak pada
tiga tanggapan terhadap kubisme di bidang desain murni

46
Ibid., hal. 23.

59
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(pure design): konstruktivisme Rusia, De Stijl, dan lingkaran


yang mengitari Le Corbusier. Bentuk eksperimental lebih
memberikan fungsi praktis, daripada jalan lain yang memutar.
Tetapi karena Bauhaus mendapatkan dominansi, ia melupakan
sumber-sumbernya dan salah mere-presentasikan arsitektur
baru sebagai “fungsionalis”. Pada akhirnya, kebingungan ini
menyandarkan diri dimana semuanya terlalu siap dieksploitasi
oleh para pengembang dan birokrat, dengan mengangkat dan
mendanai bangunan-bangunan yang fungsional bagi mereka.
Tetapi dengan tidak melihat pengkhianatan dari dirinya
sendiri, betapapun seriusnya, bukan sebab yang efisien dari
kebuntuan modernisme (impasse of modernism), yang terletak
dalam ham-batan-hambatan lingkungan sosialnya yang tidak
bisa diatasi. Pada pandangan pertama, Habermas di sini
tampaknya sedang menuduh logika kapitalisme pasca-perang
yang kasar, yang menyebarkan blok-blok kantor yang brutal dan
kenaikan tinggi yang dibangun secara serampangan untuk semua
lanskap kota. Jika memang demikian, maka pem­balikan sosial
radikal dapat dibayangkan, dimana diktat-diktat keuntungan
dihapuskan dan jalinan kota disembuhkan dengan kemampuan
kolektif arsitektur tempat perlindungan, sosiabilitas, keindahan.
Bagai-manapun, inilah apa yang dikesampingkan oleh Habermas
secara efektif. Karena kesalahan utama modernisme, ia
menjelaskan, bukan pada banyaknya kekurangan kewaspadaan
terhadap pasar, yang terlalu banyak mempercayai rencana.
Bukan juga perintah modal, tetapi kebutuhan modernitas —
pembedaan masyarakat struktural, lebih dari pengejaran sewa
atau laba — yang menghukumnya dengan frustrasi. “Utopia
bentuk-bentuk kehidupan yang diterima sebelumnya, yang
telah mengilhami desain-desain Owen dan Fourier tidak dapat

60
ASAL-USUL POST MODERNITAS

direali-sasikan, bukan hanya karena pengabaian keaneka-


ragaman yang tidak berdaya, kompleksitas dan variabilitas
masyarakat, tetapi juga karena masyara-kat-masyarakat yang
termodernisasi dengan saling ketergantungan fungsional
mereka yang berjalan melampaui dimensi-dimensi kondisi-
kondisi hidup yang dapat diukur dengan imajinasi perencana”.47
Di sini, dengan kata lain, keterulangan skema yang
dilacak dari pidato Frankfurt, berasal dari dualisme sama yang
dilumpuhkan yang dipasang dengan teori gerakan komunikasi
(theory of communi-cation action) Habermas: sistem-sistem
yang tidak bisa dilanggar dan dunia-dunia kehidupan yang
inoperatif. Tetapi di sana paling sedikit kemungkinan beberapa
pemulihan jalan tempat teduh dengan yang kedua ini secara
nominal dibiarkan terbuka. Di sini, Habermas mengambil
konsekuensi-konsekuensi dari dasar pikirannya secara lebih
tidak dapat didamaikan. Bukan hanya mimpi-mimpi kota
kemanusiaan modernis yang tidak bisa dipraktekkan. Ide
kota itu juga semuanya dihukum menjadi usang oleh tafsiran-
tafsiran fungsional koordinasi impersonal, yang menyerahkan
setiap upaya untuk menciptakan kembali arti kota yang koheren
menjadi sia-sia. Dulu, “kota bisa didesain secara arsitektural dan
secara mental digambarkan sebagai habitat yang bisa dipahami”.
Tetapi dengan industrialisasi, kota “ditanam ke dalam sistem-
sistem abstrak yang tidak bisa lagi ditangkap secara estetis
dengan kehadiran yang bisa dipahami”.48
Dari awal, perumahan proletarian tidak pernah bisa
disatu­kan menjadi metropolis, dan saat waktu berlalu, perkem­
bangan­biakan sub-sub zona aktivitas komersial atau per­

47
Ibid., hal. 23.
48
Ibid., hal. 25.

61
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dagangan menyebar lebih jauh menjadi tempat membingungkan


yang tidak memiliki ciri. “Grafik-grafik merk dagang perusahaan
dan iklan-iklan neon memperlihatkan bahwa diferensiasi harus
berjalan dengan alat-alat selain dari bahasa arsitektur formal”.
Tidak ada pembalikan kembali dari nasib ini. “Pengelompok-
an-pengelompokan kota telah lebih cepat daripada konsep
lama kota yang masih akan tetap di hati kita. Namun demikian,
itu bukan kegagalan arsitektur modern, bukan juga kegagalan
arsitektur lain”.49 Dituliskan ke dalam logika pengembangan
sosial, melampaui modal atau tenaga kerja, sebagai persyaratan
modernitas itu sendiri. Bukan akumulasi finansial, tetapi
koordinasi sistemik, yang tidak bisa ditunda, yang membuat
ruang kota tidak bisa digambarkan.
Di sini pathos dari teori Habermas sesudahnya, yang
secara simultan menegaskan kembali ideal-ideal Pencerahan
dan menolak setiap kesem-patan realisasi, menemukan ekspresi
termurninya: dengan menginversi formula Gramsci, apa yang
akan disebut eudaemonisme inteligensia, kekalahanisme
kehendak (defeatism of the will). Habermas mengakhiri dengan
mengekspresikan simpati yang dibimbing untuk aliran-aliran
logat daerah dalam arsitektur yang mendorong partisipasi
rakyat dalam proyek-proyek desain, sebagai kecenderungan
yang di dalamnya, beberapa impulsi Gerakan modern secara
defensif berhasil hidup. Tetapi — sama seperti pada kontra
budaya lebih luas — “nostalgia bagi bentuk-bentuk eksistensi
yang didediferensiasikan melimpahkan kecenderungan-
kecenderungan suasa-na anti-modernisme ini”50; daya tariknya
yang tidak terucap untuk Volksgeist ini mengingatkan kembali

49
Ibid., hal. 26.
50
Ibid., hal. 27.

62
ASAL-USUL POST MODERNITAS

contoh yang mengerikan, namun demikian yang berbeda dalam


intensi monumentalnya, suasana arsitektur Nazi. Jika Habermas
mengakui, tanpa entusiasme, bahwa ada persoalan “kebenaran”
yang bagus dalam bentuk oposisi ini, apa yang ia tidak — tidak
bisa — katakan adalah bahwa ada harapan di dalamnya.
Di sanalah, pada musim gugur tahun 1981, persoalan-
persoalan berada. Tiga puluh tahun setelah pengertian darinya
pertama kali dijernihkan oleh Olson, postmodern telah
mengkristalisasi sebagai pertalian biasa dan perbincangan
yang bersaing. Dalam sumber-sumbernya, ide-ide selalu
disentuh dengan asosiasi-asosiasi yang melampaui Barat —
Cina, Meksiko, Turki, bahkan kemudian, di belakang Hasan
atau Lyotard terletak Mesir dan Algeria, dan anomali Quebec.
Ruang ditanamkan di dalamnya dari permulaan. Secara
budaya, post-modern menunjuk melampaui apa yang telah
menjadi modernisme; tetapi ke arah apa, tidak ada konsensus,
hanya sekumpulan oposisi yang berjalan kembali ke De Onís,
dan pada seni-seni atau ilmu-ilmu pengetahuan apa, yang
hanya memutuskan kepentingan dan opini-opini yang silang
menyilang. Intervensi-intervensi Lyotard dan Habermas yang
terjadi kebetulan untuk pertama kalinya menutup bidang
dengan cap otoritas filosofis. Tetapi kontribu-si-kontribusi
mereka sendiri masing-masing secara ganjil tidak menentukan.
Latar belakang orisinil dari kedua pemikir adalah Marxis, tetapi
sangat menge-jutkan bagaimana sedikit darinya yang mereka
angkat ke dalam tulisan-tulisan postmodernitas mereka. Tidak
satupun yang mencoba penafsiran historis yang nyata dari
postmodern, yang mampu menentukannya dalam ruang atau
waktu. Malahan, mereka menawarkan penanda-penanda
kosong atau yang lebih kurang mengambang sebagai tanda pe-

63
ASAL-USUL POST MODERNITAS

nampilannya: delegitimasi narasi-narasi besar (tidak bertanggal)


bagi Lyotard, kolonisasi dunia kehidupan (jika tidak dijajah?)
bagi Habermas. Secara paradoks, konsep menurut definisi
kekurangan bobot berkala temporal pada keduanya.
Tidak ada kabut yang menyelimuti istilah perkembangan
sosial yang dihilangkan oleh peng-gunaannya sebagai kategori
estetis (aesthetic category). Baik Lyotard maupun Habermas
sangat melekat pada prinsip-prinsip modernisme tinggi (high
modernism); tetapi jauh dari komitmen yang memungkinkan
mereka mengangkat postmodernisme ke dalam fokus lebih
tajam, tampaknya telah memasukkannya. Dengan mundur dari
bukti yang tidak disambut dari apa yang akan berarti, Lyotard
direduksi untuk menolak bahwa ini lebih dari lipatan modernisme
batin itu sendiri. Habermas, yang lebih ingin terlibat dengan
seni dalam pandangan, bisa memahami bagian dari modern
ke postmodern, tetapi jarang yang bisa menjelaskannya. Tidak
ada pekerjaan berbahaya dari setiap eksplorasi bentuk-bentuk
postmodern untuk dibandingkan dengan pembahasan detail
Hassan atau Jencks. Efek bersihnya adalah penyebaran yang
tidak saling bersambungan: di satu pihak, tinjauan luas filosofis
(philosophical overview) tanpa isi estetis yang signifikan, di lain
pihak wawasan estetis (aesthetic insight) tanpa horison teoretis
yang koheren. Kristalisasi tematis (thematic crystallization)
telah terjadi — post-modern sekarang, seperti yang dikatakan
Habermas, “tentang agenda” — tanpa integrasi intelektual.
Bagaimanapun, bidang ini memperlihatkan jenis kesatuan
yang lain: secara ideologis konsisten. Ide postmodern, yang
didapat dalam penyatuan ini, dalam satu atau cara lain menjadi
bagian dari Hak. Hassan, dengan menyanjung permainan
dan keti-daktentuan sebagai tanda resmi postmodern, tidak

64
ASAL-USUL POST MODERNITAS

membuat rahasia keengganannya terhadap sensibili-tas yang


menjadi antitesis mereka: penindasan besi kelompok Kiri
(iron yoke of the Left). Jencks merayakan berlalunya modern
sebagai pembebasan pilihan konsumen, ketenangan untuk
merencanakan di du-nia, dimana para pelukis dapat berdagang
secara bebas dan secara global sebagai bankir-bankir. Bagi
Lyotard, parameterparameter kondisi baru tersebut ditentukan
dengan mendiskreditkan sosialisme seba-gai narasi besar
terakhir — versi penghabisan dari emansipasi yang tidak lagi
dianggap berarti. Habermas, yang menolak kesetiaan terhadap
post-modern, dari posisi yang masih tetap Kiri, namun
mengakui ide kelompok Kanan, menguraikannya sebagai figur
neo-konservatisme. Umum untuk semuanya adalah penulisan
prinsip-prinsip dari apa yang disebut oleh Lyotard — dulunya
adalah yang paling radikal — demokrasi liberal, sebagai wawasan
wak-tu yang tidak dapat dilampaui. Tidak ada hal lain kecuali
kapitalisme. Postmodern adalah sebuah kalimat tentang ilusi-
ilusi alternatif. c

65
l
ÓÎ

Penangkapan

Itulah situasi ketika Fredric Jameson memberikan


kuliah pertamanya tentang postmodernisme pada musim
gugur tahun 1982. Dua karyanya telah menetapkan dirinya
sebagai kritikus sastra Marxis terkenal dunia, meskipun ia telah
membuat istilah-istilah yang terlalu membatasi. Marxism and
Form (1971) adalah rekonstruksi orisinil, meskipun studistudi
Lukács, Bloch, Adorno, Benjamin dan Sartre, benar-benar
merupakan ajaran intelektual Marxisme Barat yang lengkap
antara History and Class Consciousness dan Critique of Dialectical
Reason, dari sudut pandang estetika kontemporer yang benar
untuk keabsahannya yang bersisi banyak. The Prison-House
of Language (1972) menawarkan tulisan pelengkap model
linguistik yang dikembangkan oleh Saussure dan proyeksi-
proyeksinya pada for-malisme Rusia dan strukturalisme
Prancis, dengan menyimpulkan semiotika Barthes dan Greimas:
survei manfaat-manfaat dan keterbatasan-keterbatasan tradisi
sinkronis yang mengagumkan namun keras yang meletakkan
wajahnya melawan godaan-godaan temporalitas.

67
ASAL-USUL POST MODERNITAS

A. Sumber-sumber
Komitmen Jameson sendiri sebagai kritikus adalah
tegas dan berbeda. Komitmen-komitmennya barangkali paling
baik ditangkap dari Kata Penutupnya pada Aesthetics and
Politics (1976), sebuah buku yang mengkoleksi perdebatan-
perdebatan klasik yang telah menjajarkan Lukács, Brecht, Bloch,
Benjamin dan Adorno satu terhadap yang lain. Bagi Jameson,
penulisan hanya sebagai gagasan-gagasan postmodernisme
yang mulai bersirkulasi di fakultas-fakultas literatur, apa yang
dipertaruhkan pada pertukaran ini adalah “konflik estetika
antara realisme dan modernisme, yang pengarungan dan re-
negosiasinya masih tidak bisa kita hindarkan saat ini”.1 Jika
masing-masing mempertahankan kebenar-annya, namun tidak
lagi diterima seperti itu, maka tekanan tulisan Jameson secara
tidak kentara tetapi tidak salah lagi, masuk ke sisi oposisi yang
tidak diperhatikan. Sementara mencatat defisiensi-defisiensi
upaya Lukács untuk memperpanjang bentuk-bentuk realisme
tradisional menjadi seperti sekarang ini, ia menunjukkan bahwa
Brecht tidak bisa diambil hanya sebagai penawar racun (antidote)
modernis, dengan permusuhannya sendiri terhadap eksperi-
mentasi formal murni. Brecht dan Benjamin benar-benar telah
melihat pada seni revolusioner yang mampu menempatkan
teknologi modern untuk mencapai audiensi-audiensi populer
— sementara Adorno memiliki logika formal modernisme tinggi
itu sendiri dengan tampak lebih bagus, dalam oto-nomi dan
abstraksinya itu, merupakan satu-satunya tempat pelarian
politik yang sesungguhnya. Tetapi perkembangan kapitalisme

1
“Reflection in Conclusion” untuk Ernst Bloch et al., Aesthetics and
Politics, London 1977, hal. 196, dicetak ulang sebagai “Reflections on the
Brecht-Lukács Debate”, dalam Ideologies of Theory, Vol. 1, Minneapolis
1988, hal. 133.

68
ASAL-USUL POST MODERNITAS

konsumen pasca-perang telah menghapuskan kemungkinan:


industri hiburan (entertainments industry) yang mencemooh
harapan Brecht atau Benjamin, sementara budaya kemapanan
(establishment culture) contoh Adorno menjadi mumi.
Hasilnya saat ini adalah dimana “kedua alternatif
realisme dan modernisme tampaknya tidak bisa kita toleransi:
realisme karena bentuk-bentuknya yang menghidupkan kem­
bali pengalaman lama dari jenis kehidupan yang tidak lagi
siap kita busukkan bagi masyarakat konsumen mendatang;
modernisme karena kontradiksi-kontradiksinya dalam praktek
te-lah terbukti lebih akut daripada realisme”. Secara persis
di sini, bisa dianggap, keduanya meletakkan pembuka bagi
postmodernisme sebagai seni abad ini. Bagaimanapun, apa
yang mengejutkan dalam retrospek tidak sebanyak yang
ingin dihindari oleh resolusi ini, yang dibicarakan dan ditolak.
“Estetika keterbaruan saat ini — telah dimahkotai sebagai
ideologi kritis dan formal dominan — yang dengan susah payah
harus berusaha untuk memperbaharui diri dengan rotasi-rotasi
yang semakin cepat dengan aksisnya sendiri, modernisme
yang berusaha untuk menjadi postmodernisme tanpa berhenti
menjadi modern”. Tanda-tanda dari involusi yang demikian
adalah kembalinya seni figuratif, sebagai representasi gambar-
gambar, daripada hal-hal dalam foto realisme, dan kehidupan
kembali persekongkolan dalam fiksi, dengan masa lalu narasi-
narasi klasik. Kesimpulan Jameson adalah tantangan logika
ini, yang membalikkan pengertian-pengertiannya melawan
diri sendiri. “Dalam situasi-situasi seperti ini, ada beberapa
pertanyaan apakah pembaharuan modernisme yang utama,
subversi dialektis konvensi-konvensi estetika revolusi abadi
yang sekarang terotomatisasi, barangkali bukan hanya …

69
ASAL-USUL POST MODERNITAS

realisme itu sendiri!”. Karena teknik-teknik modernisme yang


merenggangkan telah berdegenerasi menjadi kon-vensi-
konvensi konsumsi budaya yang terstandardisasi (standardized
conventions of cultural consumption), maka “kebiasaan frag­men­
tasinya” (habit of fragmenta-tion) sekarang harus direnggangkan
dengan suatu seni yang mentotalisasi secara baru. Perdebatan-
perdebatan tentang masa antarperang dengan demikian
memiliki pelajaran yang sifatnya paradoks untuk masa kini.
“Dalam pernyataan yang tidak diharapkan, barangkali Lukács
— salah, ketika pada tahun 1930-an — ia memiliki kata terakhir
yang berupa ketetapan bagi kita saat ini”. Keabsahan tahun-
tahun itu yang berkontradiksi meninggalkan tugas yang tidak
bisa dipertimbangkan secara persis, “Tugas tentu saja tidak
bisa mengatakan pada kita, tentang konsepsi realisme apa yang
seharusnya; namun studinya membuat tidak mungkin bagi kita
untuk tidak merasakan kewajiban untuk menemukan kembali
studi tersebut”.2
Dengan demikian, pandangan awal sekilas Jameson
tentang postmodernisme cenderung melihatnya sebagai tanda
dari sejenis kelalaian batin akan kewajiban dalam modernisme,
penyembuhan yang mana terletak dalam realisme baru, namun
harus dibayangkan. Ketegangan-ketegangan dalam posisi ini
selanjut­nya ditemukan, dan ekspresi yang masih lebih ditunjuk­­
kan dalam esai programatis yang ia terbitkan tentang “The Ideo­
logy of the Text” yang benar-benar pada waktu yang bersama­
an. Karena intervensi kritis ini dibuka dengan kata-kata: “Semua
jerami di angin tampaknya menegaskan perasaan yang me­
nyebar luas bahwa ‘zaman modern sekarang sudah berakhir’

2
Aesthetics and Politics, hal. 211-213; The Ideologies of Theory, Vol. 2,
Minneapolis 1988, hal. 145-147.

70
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dan bahwa beberapa pembagi fundamental, beberapa coupure


dasar atau loncatan kualitatif, sekarang memisahkan kita secara
menentukan dari apa yang digunakan sebagai dunia baru awal
abad ke20, dunia baru modernisme yang menang”. Di antara
feno­mena yang menyaksikan “suatu jarak yang tidak dapat
ditarik kembali dari masa lalu” — bersama dengan peran kom­
pu­ter, genetika, détente, dan yang lain-lain — adalah “post­mo­
de­rn­isme dalam literatur dan seni”. Semua perubahan yang
demi­kian, kata Jameson, cenderung menghasilkan ideologi-
ideo­­logi perubahan, yang biasanya bersifat memaafkan dalam
pem­­buangan, dimana teori bisa menghubungkan “transformasi
besar” saat ini dengan “tujuan sistem sosial-ekonomi jangka pan­­­
jang” yang kita butuhkan.3 Satu ideologi seperti ini, ideologi ke­­
pen­tingan dan pengaruh khusus, adalah ide tekstualitas saat ini.
Dengan mengambil studi Barthes tentang novela
Balzac berjudul Sarrasine sebagai contoh gaya analisis sastra
baru ini — Barthes sendiri sebagai “peta-demam” (fever-chart)
gaya-gaya intelektual yang berurutan — Jameson menyatakan
bahwa peta dapat dibaca sebagai sejenis permainan ulang
kontroversi realisme atau modernisme. Ditransfor-masi oleh
Barthes menjadi oposisi antara yang dapat dibaca (legible) dan
yang dapat dituliskan (scriptible), dualitas mendorong penilaian-
penilaian sensoris narasi-narasi realis (realist narratives),
yang moralismenya berfungsi sebagai kompensasi atas
ketidakmampuan untuk menempatkan perbedaan-perbeda-
an formal dalam sejarah diakronis, tanpa pujian atau kecaman
ideologis. Antidote yang terbaik terhadap evaluasi-evaluasi
yang demikian adalah dengan “menghistorisasi oposisi kembar,
3
“The Ideology of the Text”, Salmagundi, No. 31-32, Musim Gugur
1975-Musim Dingin 1976, hal. 204-205, versi yang direvisi, The Ideologies
of Theory, Vol. 1, hal. 17-18.

71
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dengan menam-bahkan istilah ketiga”. Karena “segala sesuatu


berubah, maka momen yang kita bayangkan ‘sebelumnya’
dengan realisme itu sendiri” — cerita-cerita abad pertengahan,
novela-novela renaisans, yang menampakkan modernitas
yang ganjil (peculiar modernity) abad ke19 membentuk diri,
sebagai sarana revolusi budaya (cultural revolution) yang unik
dan tidak dapat diulang, yang dibutuhkan untuk mengadaptasi
manusia pada kondisi-kondisi eksis-tensi industri yang baru.
Dalam pengertian ini, “realisme dan modernisme harus dilihat
sebagai ekspresi-ekspresi historis spesifik dan tertentu dari
tipe struktur-struktur sosio-ekonomi agar keduanya sesuai,
yaitu kapitalisme klasik (classical capitalism) dan kapitalisme
konsumen (consumer capitalism)”. Jika ini bukan tempat bagi
tulisan rangkaian Marxis yang lengkap itu, “tentu saja inilah
saat­nya menyelesaikan tulisan-tulisan dengan ideologi modern­
isme yang telah memberinya sebutan untuk esai saat ini”.4
Signifikansi bagian ini terletak pada revisinya. Kupasan
tentang Barthes yang cerdik dan luwes dari Jameson dengan
demikian meninggalkan kekosong-an yang dapat dideteksi
antara dasar pikiran awalnya dengan kesimpulan yang demikian.
Karena “The Ideology of the Text” telah dimulai dari men-daftar
pembagi dasar antara masa kini dan zaman modernisme, maka
sekarang dinyatakan “selesai”. Jika intuisi itu benar, bagaimana
salah satu gejala dari perubahan ini, ide tekstualitas, bisa
menjadi kecil dibanding ideologi yang mendahuluinya? Ini-
lah celah logis yang, ketika ia merevisi esai untuk publikasi
buku dua belas tahun kemudian, Jameson bermaksud untuk
menutupnya. Di sini, secara re-trospektif, dapat ditempatkan
ambang yang akan dilintasi dengan ketepatan besar untuk

4
“The Ideology of the Text”, Salmagundi, No. 31-32, hal. 234, 242.

72
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kembali ke postmodern. Dengan menunda bagian buku di atas,


ia sekarang menulis: “Upaya untuk menyelesaikan dualisme
yang tampaknya tidak bisa dihapuskan dengan menambah
istilah ketiga ini, dalam bentuk narasi ‘klasik’ — atau pra-
kapitalis — terbukti hanya berhasil sebagian, dengan mengubah
kategori-kate-gori kerja Barthes tetapi bukan skema historis
dasarnya. Karena itu, mari kita coba untuk menggeser hal
terakhir ini dengan cara berbeda, dengan memperkenalkan
istilah ketiga pada ujung spektrum tempo-ral yang lain. Konsep
postmodernisme ini dalam kenyataan, menggabungkan semua
ciri estetika Barthesian”.5
Inilah pandangan yang, secara menggiurkan menutup,
masih tetap jauh dari jangkauan akhir tahun 1970-an. Teks-
teks lain pada masa itu meragukan pengarungan yang sama.
Apa yang memungkinkan Jameson membuat teori, benar-
benar satu pukulan — beberapa tahun kemudian? Beberapa
sumber perubahan ini arahnya kemudian dicatat oleh Jameson
sendiri; sedang yang lain tetap menjadi masalah penyatuan.
Yang pertama dan paling penting terletak pada pengertian
keterbaruan kapitalisme pasca-perangnya sendiri. Halaman-
halaman pertama Marxism and Form menekankan pemisahan
semua kontinuitas dengan masa lalu, dengan model-model
organisasi modal yang baru. “Realitass dengan mana kritisisme
Marxis tahun 1930-an bicarakan adalah kritisisme Eropa dan
Amerika yang lebih sederhana, yang tidak lagi eksis. Dunia
yang demikian memiliki bentuk-bentuk kehidupan yang
lebih sama dari abad-abad sebelumnya dibanding masa kita
sendiri”. Meredanya konflik kelas dalam metropolis, sementara

5
The Ideologies of Theory, Vol. 1, hal. 66. Ditulis pada akhir tahun 1980-
an.

73
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kekerasan diproyeksikan tanpanya; beban iklan dan fantasi


media yang teramat besar dalam menekan realitass-realitass
pembagian dan eksploitasi; keterputusan eksistensi swasta dan
pemerintah — semua ini telah menciptakan masyarakat tanpa
preseden. “Menurut istilah psikologis, kita bisa berkata bahwa
sebagai ekonomi jasa kita sejauh ini diangkat dari realitass-
realitass produksi dan kerja dimana kita mendiami dunia
mimpi stimuli artifisial dan pengalaman yang ditelevisikan:
pada semua peradaban sebelumnya, tidak pernah memiliki
keasyikan metafisik (metaphysical preocupations) yang besar,
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang ada (being) dan
arti kehidupan (meaning of life), yang tampaknya dicuapkan
sedemikian terpencil dan tak berarti”.6
Di sini, tepat dari awal, dapat dilihat asal-usul tema
yang akan menggambarkan postmodernisme yang sedemikian
besar dalam karya akhir Jameson. Dua pengaruh, menurut
tulisannya sendiri, membantu mengembangkannya, sehingga
memungkinkan dirinya menegakkan masing-masing sumber
pada efek yang cukup baru pada tahun 1980-an. Satu adalah
publikasi Late Capitalism dari Ernest Mandel, yang menawarkan
teori sejarah modal sistematis pertama yang muncul sejak
perang, yang memberikan dasar — empiris dan konseptual —
bagi pe-mahaman masa kini sebagai konfigurasi baru secara
kualitatif dalam perlintasan model produksi ini. Jameson ingin
menyatakan hutangnya pada karya yang mematahkan jalan
ini pada banyak kesempat-an. Yang kedua — lebih kecil, meski
tetap signifikan — stimulus berasal dari tulisan Baudrillard
tentang peran bayang-bayang tiruan (role of simulacrum) dalam

6
Marxism and Form, Princeton 1971, hal. xvii-xviii.

74
ASAL-USUL POST MODERNITAS

imajiner budaya (cultural imaginary) kapitalisme kontemporer.7


Inilah baris pemikiran Jameson yang telah diantisipasi, tetapi
saat Baudrillard di San Diego ketika Jameson sedang mengajar
di sana, tentu saja berdampak padanya. Perbedaannya, tentu
saja, adalah menurut saat ini ketika Baudrillard — secara orisinil
menutup Situasionis — dengan penuh semangat membebaskan
keabsahan Marxis yang dirancang untuk dikembangkan oleh
Mandel.
Jenis katalisator yang lain barangkali bisa dilacak dari
keberangkatan Jameson ke Yale pada akhir tahun 1970-an.
Karena, tentu saja, inilah universitas yang bangunan Seni dan
Arsitekturnya, didesain oleh Paul Rudolph, sekaligus sebagai
dekan sekolah arsitektur, telah dipisahkan dari Venturi sebagai
lambang dari brutalisme nihil ke dalam mana Gerakan modern
telah surut, dan dimana Venturi, Scully dan Moore, semua
mengajar di sana. Jameson dengan demikian menemukan diri
dalam pusaran konflik-konflik arsitektural antara modern dan
postmodern. Dalam catatan dengan humor yang bagus inilah
seni membangunkan dirinya dari “tidur dogmatis” (dogmatic
slumbers), dimana Jameson tidak ragu menyebut keadaan ini.
Barangkali akan lebih baik dikatakan bahwa keadaan inilah

7
Untuk pemahaman Sumber-sumber Jameson ini, lihat “Marxism
and Postmodernism”, dalam The Cultural Turn – Selected Writing on the
Postmodern, 1983-1998, London-New York 1998, hal. 34-35. Baudrillard
mempresentasikan kasus spesial untuk genealogi postmodern. Karena
meskipun ide-idenya tentu saja berkontribusi pada kristalisasinya, dan
gayanya dapat dianggap sebagai paradigmatis bentuknya, ia sendiri tidak
pernah menteorisasikan postmodernisme, dan pernyataan tunggalnya
yang diperluas tentang itu merupakan penolakan amat berbisa: lihat “The
Anorexic Ruins”, dalam D. Kamper dan C. Wulf, Looking Back at the End
of the World, New York 1989, hal. 41-42. Ini adalah seorang pemikir yang
wataknya, untuk lebih baik atau lebih buruk, tidak dapat membenarkan
setiap gagasan dengan penerimaan kolektif.

75
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang melepas dirinya untuk yang visual. Sampai tahun 1980-


an, Jameson telah mengkonsentrasikan seluruh perhatiannya,
meskipun secara tersendiri, pada literatur. Kembali ke teori
post­modern dengan pukulan yang sama, akan menjadi
perubahan yang tertahan pada tingkat seni — hampir ke tingkat
utuh — yang melampauinya. Ini tidak melibatkan penyimpangan
tambatan politik. Dalam hal lingkungan yang dibangun segera,
ia memiliki sumber daya signifikan untuk diwariskan dalam
keabsahan Marxisme Barat dalam karya Henri Lefebvre — tamu
lain di Kalifornia. Jameson barangkali adalah orang pertama
di luar Prancis yang membuat penggunaan korpus (kumpulan
naskah atau tulisan) Lefebvre yang baik untuk ide-ide sugestif
tentang dimensi-dimensi ruang dan kota kapitalisme pasca-
perang; karena ia kemudian cepat mendaftar tulisan arsitektural
kritikus Venesia, Manfredo Tafuri yang hebat, cap Marxis yang
lebih Adornian.
Akhirnya, barangkali terdapat provokasi langsung yang
ditempatkan oleh Lyotard sendiri. Ketika terjemahan Inggris
untuk La condition Postmoderne akhirnya siap pada tahun
1982, Jameson diminta untuk menuliskan pengantarnya.
Serangan Lyotard pada meta-narasi barangkali khusus
ditujukan padanya. Karena terjadi hanya setahun sebelum
ia mempublikasikan karya terbesar teori sastra, The Political
Unconscious, yang argumen pokoknya paling mengesankan
dan mengekspresikan pernyataan untuk Marxisme sebagai
narasi hebat yang pernah dibuat. “Hanya Marxisme yang bisa
memberikan rasa misteri esensial masa lalu budaya yang cukup
bagi kita”, tulisnya — “misteri (yang) hanya bisa diberlakukan
jika petualangan manusia adalah satu”. Jadi, hanya masalah-
masalah kematian lama yang demikian saja yang menjadi

76
ASAL-USUL POST MODERNITAS

transhumance suku, kontroversi teologis, benturan-benturan


polis, duel-duel parlemen abad ke19, hidup lagi. “Masalah-
masalah tersebut bisa memulihkan urgensinya bagi kita hanya
jika masalah-masalah tersebut diceritakan kembali dalam
satuan cerita kolektif tunggal yang hebat; hanya jika, dalam
bentuk yang betapapun tersamar dan simbolisnya, dipandang
sebagai tema dasar tunggal milik bersama — karena Marxisme,
adalah perjuangan kolektif untuk merengkuh dunia Kebebasan
dari dunia Kebutuhan; hanya jika perjuangan dipahami sebagai
episode-episode vital dalam plot tunggal besar yang tidak
terselesaikan”.8 Ketika Lyotard melancarkan serangannya, tidak
ada kaum Marxis yang pernah benar-benar mempre-sentasikan
Marxisme sebagai narasi pada hakekatnya — yang lebih umum
dipahami sebagai analitis. Tetapi dua tahun kemudian, seakan
menurut kebutuhan, Jameson menawarkan apa yang telah
benar-benar diusulkan oleh Lyotard.
Tetapi jika pengertian The Postmodern Condition yang
harus menjadi tantangan paling langsung bagi Jameson ini
bisa diterima, maka sisi lain argumen Lyotard sama dengan
serangannya sendiri yang luar biasa. Untuk dasar pemikiran
kedua pemikir ini — pengejaan, jika ada, bahkan lebih empatis
dari Lyotard daripada Jameson — adalah narasi yang merupakan
kejadian mendasar pikiran manusia.9 Provokasi tulisan
postmodernitas Lyotard dengan demikian, untuk suatu tingkat

8
The Political Unconscious, Ithaca 1981, hal. 19-20.
9
Bagi Lyotard, bukan hanya “narasi yang merupakan bentuk pengetahuan
biasa murni” sebelum kedatangan ilmu pengetahuan modern, tetapi “narasi
kecil (little narrative) tetap menjadi bentuk penemuan imajinatif biasa, paling
khusus pada ilmu pengetahuan”: La Condition Postmoderne, hal. 39 dan 98;
The Postmodern Condition, hal. 19 dan 60; sementara Jameson menganggap
“penceritaan kisah sebagai fungsi utama pikiran manusia”: The Political
Unconscious, hal. 123.

77
ASAL-USUL POST MODERNITAS

telah bertindak sebagai pedang yang ambivalen (ambivalent


foil) bagi Jameson, yang mempercepat refleksi-refleksinya
sendiri tentang subjek. Tugas sulit memperkenalkan karya
dengan siapa sikap menyeluruh yang bisa ia miliki memiliki
simpati sedemikian kecil, ia bebaskan dengan anggun dan tipu
muslihat. Kasus Lyotard tentu saja sangat menyolok. Tetapi
dalam konsentrasinya pada ilmu pengetahuan, hanya sedikit
yang dikatakan tentang perkembang-an-perkembangan dalam
budaya, namun bukan tentang politik yang akan datang, atau
dasarnya di dalam perubahan-perubahan kehidupan sosial-
ekonomi.10 Inilah agenda untuk mana Jameson sekarang akan
berbalik.

B. Lima Gerakan
Teks pendiri yang membuka The Cultural Turn, kuliah
Jameson untuk Whitney Museum of Contemporary Arts
pada musim gugur tahun 1982, yang menjadi inti esainya
“Postmodernism — the Cultural Logic of Late Capitalism”
diterbitkan dalam New Left Review pada musim semi tahun
1984, telah menggambarkan kembali peta keseluruhan post-
modern dengan satu pukulan — isyarat pembuka hebat yang
telah memerintah bidang ini sejak saat itu. Lima gerakan yang
menentukan, menandai intervensi ini. Yang pertama, dan paling
mendasar, muncul dengan judulnya — tempat pembuangan
sauh postmodernisme dalam perubahan-perubahan tatanan
modal ekonomi objektif itu sendiri. Tidak lagi perubahan estetis
(aesthetic break) atau pergeseran epistemologis (epistemological
shift) belaka, postmodernitas menjadi sinyal budaya tahap baru
di dalam sejarah model produksi. Menyolok bahwa ide ini,

10
“Pendahuluan” untuk The Postmodern Condition,hal. xii-xv.

78
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sebelum mana Hassan telah meragukan dan kemudian berbalik,


cukup asing bagi Lyotard maupun Habermas, meskipun
keduanya berasal dari latar belakang Marxis yang sama sekali
tidak berbeda.
Pada Whitney, istilah “masyarakat konsumen” (consumer
society) bertindak sebagai jenis penemu tingkat awal untuk
survei pada resolusi letih tinggi yang akan datang. Dalam versi
yang berikut, untuk New Left Review, “momen baru kapitalisme
multinasional” yang muncul dengan fokus lebih utuh. Di sini,
Jameson menunjuk pada ledakan teknologis elektronika
modern (technological explosion of modern electronics), dan
perannya karena memimpin pinggir keuntungan dan inovasi;
sampai predominansi korporasi-korporasi transnasional
organisasional, yang memunculkan operasi-operasi manufaktur
ke lokasi-lokasi dengan upah murah di luar negeri; sampai
kenaikan hebat tingkat spekulasi internasional; dan sampai
kebangkitan konglomerat-konglomerat media yang mematrikan
kekuatan untuk semua komunikasi dan batasan-batasan
sejenis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan-
perkembangan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi
sangat besar untuk setiap dimensi kehidupan di negara-negara
industri maju — siklus-siklus bisnis, pola-pola ketenagakerjaan,
hubungan-hubungan kelas, bentuk-bentuk regional dan poros-
poros politik. Tetapi dalam tinjauan lebih panjang, perubahan
paling mendasar dari semuanya itu terletak pada wawasan
masyarakat baru yang eksistensial ini. Modernisasi sekarang
adalah sisa-sisa terakhir yang lengkap dan melenyapkan bukan
hanya bentuk-bentuk sosial pra-kapitalis, namun setiap dataran
tinggi natural yang utuh, bukan hanya ruang atau pengalaman,
yang telah mempertahankan atau membuatnya terus hidup.

79
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Dalam semesta yang dengan demikian dibersihkan dari


alam, budaya harus memperluas pokok dimana ia telah benar-
benar menjadi koeks-tensif dengan perekonomian itu sendiri,
bukan hanya sebagai dasar yang menggejala dari beberapa
industri terbesar di dunia — turisme saat ini melampaui semua
cabang ketenagakerjaan global yang lain — tetapi jauh lebih
dalam, karena setiap jasa imaterial dan objek material menjadi
tanda yang bisa dilacak secara tidak terpisahkan dan menjadi
komo-ditas yang bisa dijajakan. Budaya dalam pengertian ini,
sebagai jaringan kehidupan yang tidak bisa dilepas di bawah
bekas kapitalisme, yang sekarang menjadi sifat kita yang
kedua. Dimana modernisme menarik tujuan dan energinya
dari kekerasan hati dari apa yang belum modern, keabsahan
post-modernisme masa lalu yang masih pra-industri, menandai
penutupan jarak itu, penjenuhan dari setiap pori-pori dunia
dalam serum modal. Ditandai tanpa penggalan politik yang
sebenarnya, tidak ada badai tiba-tiba di langit-langit sejarah,
“wahyu sedang atau sangat sederhana, hembusan laut
belaka”11 menggambarkan transformasi bermomen-tum dalam
mendasari struktur-struktur masyarakat borjuis kontemporer.
Apa yang telah menjadi konsekuensi-konsekuensi dari
perubahan di dunia objek bagi pengalaman subjek ini? Gerakan
kedua Jameson yang berbeda adalah penjelajahan metastasis
batin (metastates of the psyche) dalam penyatuan baru ini.
Awalnya pembicaraan dimulai sebagai komentar tentang
“kematian subjek” (death of the subject), perkembangan tema ini
segera menjadi yang paling terkenal dari semua segi konstruksi
postmodernnya. Dalam serangkaian deskripsi fenomenologis

11
Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism, Durham 1991,
hal. xiv.

80
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang menawan, Jameson mensketsakan karakteristik waktu


Lebenswelt, sebagai bentuk-bentuk kebajikan postmodern yang
spontan. Inilah lanskap batin, demikian pernyataannya, yang
dasarnya telah dipatahkan oleh kekacauan hebat tahun 1960-
an — ketika sedemikian banyak selubung identitas tradisional
(traditional casings of identity) yang dipatahkan terlepas dari
penghancuran hambatan-hambatan kebiasaan — tetapi
sekarang, setelah kekalahan-kekalahan politik tahun 1970-an,
dibersihkan dari semua sisa-sisa radikal. Pada kenyataannya, di
antara sifat-sifat subjektivitas baru, terdapat kehilangan suatu
rasa aktif sejarah, baik sebagai harapan atau sebagai memori.
Rasa masa lalu yang dibebankan — baik sebagai tradisi-
tradisi yang menekan atau penampungan mimpi-mimpi yang
menghalangi; dan pengharapan masa depan yang meninggi
— sebagai kataklisme atau transfigurasi potensial — yang
berkarakterisasi modernisme, telah hilang. Yang terbaik, lenyap
kembali ke masa kini yang abadi, gaya-gaya retro dan gambar-
gambar yang berkembang biak sebagai pengganti temporal.
Di abad satelit dan serat optik (optical fibre) ini, di lain
pihak, kekuasaan ruang mengharuskan imajiner ini sebagai
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Unifikasi elektronik
bumi, yang melembagakan simultanitas peristiwa-peristiwa di
seluruh dunia sebagai tontonan sehari-hari, telah meletakkan
geografi yang seolah dialami sendiri dalam ceruk-ceruk setiap
kesadaran (recesses of every consciousness), sementara jaringan-
jaringan modal multinasional yang mengelilingi benar-benar
telah mengarahkan sistem melampaui kapasitas-kapasitas dari
setiap persepsi. Penaikan ruang lewat waktu dengan makeup
postmodern ini dengan demikian selalu di luar keseimbangan:
realitas-realitas untuk mana ia menjawab kekuatan yang

81
ASAL-USUL POST MODERNITAS

melampauinya secara konstitutif — yang menyebabkan,


Jameson me­nyatakan dalam sebuah bagian yang terkenal,
sensasi itu yang merupakan satu-satunya yang akan ditangkap
oleh pem­baharuan pelajaran Kant yang sengit: “keagungan
histeris” (hysterical sublime).
Secara konvensional, histeria menunjukkan titi nada
emosi yang berlebihan (overpitching of emotion), separuh
kesadaran kepura-puraan intensi-tas yang lebih baik dalam
menampilkan mati rasa batin (atau secara psikoanalisis, jalan
lain memutar). Bagi Jameson, inilah kondisi umum pengalaman
postmodern, yang ditandai dengan “kemunduran afek” yang
terjadi sebagai diri lama yang terikat mulai menjadi tenang.
Hasilnya adalah tidak adanya kedalaman subjek baru, yang
tidak lagi didapat pada parameterparameter yang stabil, dimana
registerregister tinggi dan rendah tidak ragu-ragu. Sebaliknya,
di sini kehidupan batin dibuat kebetulan dan tidak teratur,
ditandai dengan celupan tiba-tiba level atau gerakan tiba-tiba
rasa, yang mengingatkan sesuatu dari fragmentasi schizophrenia.
Aliran yang berbelok dan gagap ini merintangi buku pelajaran
agama atau sejarah. Secara signifikan, untuk keterombang-
ambingan investasi nafsu hidup dalam kehidupan pribadi telah
bersesuaian dengan erosi penanda-penanda generasional
dalam ingatan publik, karena beberapa dekade sejak tahun
1960-an cenderung telah merata menjadi rangkaian tidak
berciri yang meresap di bawah roster postmodern biasa itu
sendiri. Tetapi jika keterputusan yang demikian memperlemah
rasa perbedaan antara dua periode pada level sosial, efek-
efeknya jauh dari monoton pada level individual. Sebaliknya,
ada polaritas-polaritas subjek khas yang berjalan dari keriangan
“banjir komoditas”, euphoria yang tinggi dari penonton atau

82
ASAL-USUL POST MODERNITAS

konsumen, untuk menolak dasar “kehampaan nihilistis lebih


dalam badan kita”, sebagai terpidana dari tatanan yang menolak
setiap kontrol atau arti lain.12
Dengan menentukan bidang kekuatan post-modernitas
dalam perubahan-perubahan struktural kapitalisme lanjut,
dan pembuatan jenjang identitas yang meresap dengannya,
Jameson dapat membuat gerakan ketiganya, di atas bidang
budaya itu sendiri. Di sini, inovasinya adalah topikal. Dengan
demikian, setiap suara postmodern telah menjadi sektoral,
Levin dan Fiedler telah mendeteksinya dalam literatur; Hassan
memperluasnya menjadi seni lukis dan seni musik, jika lebih
dengan kiasan daripada dengan eksplorasi; Jencks berkon­
sentrasi pada arsitektur; Lyotard bertempat dalam ilmu penge­
tahuan; Habermas menyentuh filsafat. Karya Jameson menjadi
karya dari skop yang lain — perluasan luar biasa postmodern
lewat spektrum yang keseluruhannya benar-benar seni, dan
banyak dari perbincangan yang mengapitnya. Hasilnya adalah
lukisan dinding abad ini yang lebih kaya dan lebih komprehensif
dibanding setiap catatan lain dari budaya ini.
Arsitektur, dorongan bagi pembalikan Jameson yang
melampaui modern, selalu tetap berada di pusat visi dari apa
yang telah membuatnya berhasil. Analisis karya postmodern
pertamanya yang diperluas adalah karya besar tentang hotel
Bonaventure dari Portman di Los Angeles, yang debutnya akan
ditemukan di bawah ini — atas bukti penghargaan, latihan
tunggal paling bisa dikenal dalam semua literatur tentang
postmodernisme. Meditasi-meditasi Jameson kemudian telah
mengambil jalan sengaja melalui lapangan kandidat yang
penuh sesak untuk komentar: pertama Gehry, kemudian

12
Postmodernism, hal. 317.

83
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Eisenmann dan Koolhaas. Besarnya ruang dalam kerangka


kategoris pemahaman postmodern, saat ia membacanya,
kurang lebih memastikan bahwa arsitektur akan memiliki
kebanggaan tempat dalam mutasi budaya kapitalisme lanjut.
Di sini, Jameson secara konsisten menyatakan, energi-energi
penemuan eksplosif telah dilepas, dalam tingkat bentuk-
bentuk dari sangat sedikit sampai berlimpah, bahwa tidak ada
seni bersaing saat ini yang bisa sesuai; sementara pada saat
bersamaan juga menggambarkan seni lain lebih secara grafis,
daripada jenis-jenis subsumsi untuk sistem ekonomi dunia yang
baru, atau upaya-upaya untuk mengelakkannya — bukan hanya
dalam ketergantungan praktis bandara-bandaranya, hotel-
hotelnya, bursa-bursanya, museum-museumnya, vila-vila atau
departemen-departemennya atas perkiraan-perkira-an laba
atau tingkah-tingkah prestis, tetapi dalam kenyataan bentuk-
bentuknya sendiri.
Berikutnya, dalam sistem seni-seni post-modern
muncul sinema. Mengherankan, meskipun akan tampak
dalam retrospek, film adalah ketiadaan yang mencurigakan
(conspiciuous absence) dalam pembahasan postmodernisme
awal. Bukan bahwa kebisuan itu cukup tidak dapat diterangkan.
Alasan utama untuk itu barangkali bisa ditemukan pada ucapan
terkenal Michael Fried: “sinema bukanlah seni modernis,
bahkan pada seni yang paling eksperimentalnya pun”.13
Ia maksudkan pada sebagian film itu, sebagai yang paling
bercampur dari semua media, dihalangi dari dorongan menuju
pemurnian presensi khusus untuk setiap seni itu, diserap dari
referensi dengan setiap referensi lain, dimana Greenberg telah

13
“Art and Objecthood”, Artforum, Juni 1967; dicetak ulang dalam G.
Battcock (ed), Minimal Art, Berkeley dan Los Angeles, 1995, hal. 141.

84
ASAL-USUL POST MODERNITAS

mendapatkan jalan modern yang megah. Tetapi penilaian


dapat diangkat dengan pengertian lain yang dirasa lebih luas.
Karena bukan kemenangan realisme Hollywood yang benar-
benar membalikkan jalan lintas modernisme, Technicolor yang
membuang keberanian sine-ma bisu (silent cinema) juga menjadi
pra-sejarah industri? Dengan demikian, pada setiap tingkat
terdapat tantangan yang harus diambil oleh Jameson.
Kepentingan pertamanya dikaitkan dengan gaya filmik
yang akhirnya diangkat dengan gaya bahasa oksimoron
“nostalgia untuk masa kini” yang sugestif: film-film seperti
Body Heat atau dalam kunci lainnya Star Wars, atau ada lagi Blue
Velvet, yang mengekspresikan bahkan secara lebih mendalam
daripada gelombang ombak dari bioskop-bioskop mode
rétro — lebih dua dekade dari hasil produksi yang sekarang
ini, dari American Graffiti to Indochine – hilangnya pengertian
postmodern yang manapun dari masa lalu secara aneh, dalam
kontaminasi aktual terselubung dengan keprihatinan, sebuah
waktu yang merindukan dirinya sendirinya pada yang impoten,
memindahkan dengan diam-diam. Jika bentuk-bentuk yang
demikian, pengganti-pengganti atau penggeseran-penggeseran
memori periodik yang benar, mengikuti jejak pembusukan
temporal, gaya-gaya yang lain dapat dibaca sebagai tanggapan-
tanggapan pada datangnya ultra-spasial: di atas semuanya, film
konspirasi — Videodrome atau The Parallax View, ditafsirkan
sebagai alegori-alegori tanpa dasar dari totalitas modal global
dan jaringan-jaringan kerja kekuasaan impersonal yang tidak
dapat digambarkan.
Pada saatnya, Jameson mencapai kemajuan pada
teorisasi sejarah sinema yang lebih lengkap yang menyimpan
logika penyelidikannya. Ada dua lingkaran yang terpisah

85
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dalam perkembangan seni ini, ia berargumen. Film bisu


(silent film) sesungguhnya telah mengikuti jalur dari realisme
ke modernisme, jika yang satu — dengan alasan penentuan
waktunya sebagai kemungkinan teknis — keluar dari ritme
dengan gerakan dari kapitalisme nasional ke imperial yang
selain itu memimpin transisi ini. Tetapi perkembangan ini telah
dibendung oleh suara berisik sebelum adanya kesempatan
manapun dari momen postmodern. Lingkaran kedua kemudian
merekapitulasi fasefase yang sama pada tingkat teknologis
yang baru, Hollywood menciptakan realisme kasa (screen
realism) dengan pakaian besi dari gaya-gaya narasi (panoply
of narrative genres) dan konvensi-konvensi visual semua yang
dimilikinya, serta sinema seni tahun-tahun pasca-perang Eropa
yang memproduksi gelombang modernisme tinggi yang baru.
Jika sinema postmodern yang sejak kemunculannya dicap oleh
tekanan-tekanan nostal-gia, nasib baik gambar perpindahan
dalam periode ini menjadi tidak ada artinya mencari sasaran
dengan menggunakan radar mereka sendiri. Sebenarnya, video
kemungkinan besar muncul sebagai medium postmodern yang
aneh — apakah dalam bentuk-bentuk televisi komersial yang
dominan, dimana hiburan dan periklanan sekarang sebetulnya
dilebur, atau dalam praktek-praktek video bawah tanah
oposisional. Yang tidak terlelakkan, kritisisme masa depan
harus memperhatikannya secara lebih meningkat lagi.
Dunia desain grafis dan periklanan, sebaliknya, se­karang
semakin terinterpenetrasi dengan kesenian murni, sebagai
impulsi untuk gaya atau sumber material. Di ruang yang ber­
gambar, ketiada-an kedalaman postmodern telah menemukan
ekspresi yang sempurna di bagian-bagian luar karya Warhol
yang dilemahkan, dengan kekosongannya secara hipnotis

86
ASAL-USUL POST MODERNITAS

setelah gambar-gambar halaman mode, rak supermarket,


layar televisi. Di sini Jameson membuat panggung sebagian
besar keberanian dari semua pensejajaran antara modern
tinggi dan postmodern, dalam perbandingan dengan sepatu
boot petani (peasent boots) Van Gogh, lambang dari tenaga
kerja yang diselamatkan dalam pancaka warna, dan satu dari
sekumpulan pompa Warhol, simulakra seperti kaca (vitreous
cimulacra) tanpa nada atau dasar, yang ditahan dalam ruang
hampa es. Pada kenyataannya, kedatangan Seni Pop (Pop Art)
telah lama diperhatikan oleh Jameson sebagai peringatan
barometriks dari perubahan-perubahan suasana yang sedang
berjalan — pemberian pertanda dari anti-siklon budaya lebih
luas yang akan datang. Sekali sepenuhnya dalam postmodern,
perhatiannya bergerak ke praktek-praktek yang berusaha untuk
mencapai jarak lebih jauh daripada konvensi-konvensi momen
yang telah ia tinggalkan di belakang, dalam seni konseptual
yang mematahkan kebebasan dari kerangka gambaran secara
bersamaan. Dalam instalasi-instalasi Robert Gober, la-munan-
lamunan masyarakat yang tidak dapat ditempatkan, dan Hans
Haacke, alat-alat perang pem-berontakan forensik, jenis-jenis
imajinasi alternatif — yang berhutang sesuatu pada Emerson
atau Adorno — pembuatan ruang antara utopian yang
sebenarnya dari tekanan-tekanan postmodern itu sendiri.
Energi-energi radikal seperti ini, yang dilepas sebagai
batas-batas antara seni lukis dan seni patung, bangunan dan
lanskap semakin larut, termasuk pada produktivitas lebih
luas, yang dapat diamati pada banyak bentuk yang semakin
dapat dibengkokkan menurut perintah. Keganjilan budaya
ini, demikian kata Jameson, adalah hak istimewa visual yang
menandainya lepas dari modernisme tinggi, dimana yang verbal

87
ASAL-USUL POST MODERNITAS

masih mempertahankan sebagian besar otoritas kunonya.


Bukan bahwa literatur kurang dipengaruhi oleh perubahan
periode; tetapi dalam pandangan Jameson, karya yang kurang
orisinil telah dihasilkan darinya. Karena di sini, barangkali lebih
dari setiap seni yang lain, motif seni baru yang paling bertahan
lama adalah parasitisme pada seni lama. Dalam teks-teks
Jameson, nama alat ini adalah haisl karya seni (pastiche). Sumber
penggunaan ini terletak pada kritik Adorno tentang apa yang ia
anggap sebagai kemampuan memilih berbagai sumber regresif
dari Stravinsky dalam The Philosophy of Modern Music; tetapi
Jameson memberinya definisi yang lebih pasti. Pastiche adalah
“parodi kosong” (blank parody), tanpa impulsi satiris, gaya-
gaya dari masa lalu. Menyebar dari arsitektur sampai ke film,
seni lukis sampai musik rock, pastiche telah menjadi penanda
postmodern yang paling terstandardisasi, untuk semua seni.
Tetapi bisa dinyatakan bahwa fiksi sekarang menjadi bidang
pastiche par excellence. Karena di sini, peniruan yang tidak
terbit lagi (mimicry of defunct), yang tidak terhambat oleh kode-
kode bangunan atau hambatan-hambatan kantor pos, dapat
mengacaukan bukan hanya gaya-gaya, tetapi juga periode-
periode itu sendiri sekehendak hati — dengan memutarbalikkan
dan membelah masa-masa lalu yang “artifisial”, dengan men-
campur dokumenter dan fantastis, mengembang-biakkan
anakronisme, dalam kebangkitan kembali apa yang disebut
novel historis besar-besaran — dari apa yang masih akan
disebut sebagai terpaksa. Jameson menempatkan bentuk
ini pada permulaannya, dalam bacaan eleginya dari fiksi-fiksi
politik Doctorow dari masa lalu Amerika yang radikal, sekarang
terlupakan, dimana ketidakmungkinan menangkap bayang-
bayang pertalian historis merupakan gerhana kesedihan novel-
novel itu juga.

88
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Bersama perubahan-perubahan dalam seni ini,


dan seringkali benar-benar secara langsung pada karya di
dalamnya, perbincangan-perbincangan yang secara tradisional
mengenai bidang budaya telah mengalami peledakannya
sendiri. Apa yang dulunya merupakan disiplin-disiplin sejarah
seni, kritisisme sastra, sosiologi, ilmu politik, dan sejarah yang
berbeda secara tajam mulai mengendorkan batas-batasnya
yang jelas, dan menyilang bersama masing-masing dalam
cangkokan, melintasi penyelidikan-penyelidikan yang tidak
lagi dengan mudah bisa dibagi-bagi menjadi satu atau lain
bidang. Karya Michel Foucault, demikian tulis Jameson, adalah
contoh paling terkenal dari oeuvre yang tidak dapat diberikan.
Apa yang menggantikan pembagian-pembagian disiplin lama
adalah fenomena baru yang tidak saling bersambungan, yang
terbaik ditunjukkan dengan tulisan steno Amerikanya: “Teori”.
Bentuk yang berbeda dari banyak karya ini merefleksikan
meningkatnya teskstualisasi objek-objeknya — apa yang dapat
disebut sebagai kebangkitan kembali praktek “komentar” kuno,
yang secara luar biasa lebih cakap dalam berbagai hal. Contoh-
contoh terkenal gaya dalam studistudi sastra ini adalah tulisan
dekonstruktif Paul DeMan, dan “historisisme baru” Walter
Benn Michael, tubuh-tubuh karya yang oleh Jameson telah
diserahkan pada kritisisme yang mengagumkan tetapi parah,
tanpa menolak perkembangan itu sendiri — dari mana karyanya
sendiri tentang Adorno dalam banyak cara dapat dianggap
sebagai contoh yang banyak dikenal.
Melampaui efek-efek segeranya, reorganisasi apa dari
bidang intelektual yang disinyalkan ini adalah perusakan lebih
mendasar. Tanda khas modernitas (hallmark of modernity),
Weber secara klasik telah menyatakan, adalah diferensiasi

89
ASAL-USUL POST MODERNITAS

struktural: otonomisasi praktek-praktek dan nilai-nilai, yang


dulunya secara tertutup menyatu dalam pengalaman sosial,
menjadi bidang-bidang yang secara tajam terpisah. Inilah
proses yang oleh Habermas selalu dikatakan tidak dapat
ditunda, dengan mengorbankan penurunan. Di atas dasar-
dasar pemikiran yang demikian, tidak ada lagi gejala beberapa
retakan yang lebih nyata dalam modern daripada perusakan
pembagian-pembagian yang telah dimenangkan dengan sulit
ini. Inilah proses yang telah diramalkan oleh Fried dan ditakuti
pada tahun 1967. Satu dekade kemudian, ide bukan hanya
tersebar dari seni-seni sampai ilmu-ilmu sosial atau humaniora
(humanities or social sciences), tetapi dengan kedatangan
kartu pos filosofis (philosophical post-card) dan tanda neon
konseptual, sedang menghancurkan garis di antara keduanya.
Apa yang oleh postmodernitas tampaknya dijadikan pesona
adalah sesuatu yang telah diabaikan oleh para teoretikus besar
modernisasi: dediferensiasi bidang-bidang budaya yang tidak
dapat dipikirkan.
Penambatan postmodernisme (anchorage of post­modern­
ism) dalam transformasi modal; pemerik-saan perubahan-
perubahan subjek; perluasan ren-tang penyelidikan budaya
(cultural enquiry) — dengan semua ini, Jameson bisa membuat
gerakan keempat yang logis. Apakah dasar-dasar sosial dan pola
geopolitik postmodernisme? Kapitalisme lanjut (late capitalism)
tetap sebagai sebuah masyarakat kelas (class society), tetapi
bukan kelas di dalamnya yang cukup sama seperti sebelumnya.
Vektor budaya postmodern dengan segera tentu saja akan
ditemukan dalam tingkatan karyawan-karyawan yang baru saja
kaya dan para profesional yang tercipta dari pertumbuhan jasa
yang cepat dan sektor-sektor spekulatif masyarakat-masyarakat

90
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kapitalis maju. Di atas korporasi-korporasi multinasional itu


sendiri — servo-mekanismemekanisme produksi dan kekuatan
yang amat besar, yang operasi-operasinya silang-menyilang
dengan perekonomian global, menetapkan wakil-wakilnya
dalam imajiner kolektif (collective imaginary). Di bawah, sebagai
tatanan industri lama yang diaduk dan ditumbuk, formasi-
formasi kelas tradisional telah melemah, sementara identitas-
identitas tersegmentasi dan kelompok-kelompok yang
terlokalisasi, khususnya berdasarkan perbedaan-perbedaan
etnis dan seksual, semakin berkembang biak. Di atas skala
dunia — di zaman postmodern, arena yang menentukan —
bukan struktur kelas yang stabil, sebanding dengan kelas
kapitalisme sebelumnya, namun telah mengkristalisasi. Mereka
yang di atas memiliki koherensi hak istimewa; mereka yang di
bawah kurang kesatuan dan solidaritas. “Tenaga kerja kolektif”
(collective labourer) yang baru belum muncul. Inilah kondisi-
kondisi yang masih merupakan indefinisi vertikal tertentu.
Pada saat bersamaan, perluasan sistem horisontal yang
tiba-tiba, dengan integrasi untuk pertama kalinya dari seluruh
planet yang sebenarnya ke pasar dunia (world market), berarti
masuknya orang-orang baru ke panggung global (global stage),
yang bobot manusianya dengan cepat meningkat. Otoritas
masa lalu, yang secara konstan ada di bawah tekanan-tekanan
inovasi ekonomi Dunia Pertama, tenggelam pada cara lain
dengan ledakan demografis (demografic explosion) di Dunia
Ketiga, saat generasi-generasi kehidupan yang baru muncul
melebihi jumlah legiun-legiun yang mati. Ekspansi ikatan-
ikatan modal tersebut secara tidak terelakkan mencairkan
saham-saham budayanya yang diwariskan. Hasilnya adalah
penurunan karakteristik pada “level” dengan postmodern.

91
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Budaya modernisme tidak terlepas dari budaya kaum elit: yang


dihasilkan dari pembuangan-pembuangan terpencil, minoritas-
minoritas yang tidak dipengaruhi, barisan-barisan depan yang
tidak mau menyerah. Seni tercetak dalam cetakan heroik, yang
merupakan sifat berlawanan: bukan hanya konvensi-konvensi
selera yang mencemooh, tetapi yang lebih penting adalah
menentang permintaan pasar.
Budaya postmodernisme, demikian Jameson telah
menyatakan, sebaliknya jauh lebih menurun. Karena di sini, jenis
dediferensiasi lain yang lebih menyapu telah berjalan. Dengan
melewati batas-batas antara dua kesenian murni yang biasanya
telah menjadi isyarat dalam tradisi seniman avant-garde yang
tidak mengakomodasi. Penghancuran batas-batas antara jenis
aliran yang “tinggi” dan “rendah” dalam budaya pada umumnya,
telah dinyatakan oleh Fiedler pada akhir tahun 1960-an, yang
menjawab logika yang berbeda. Dari awal, arahnya jelas adalah
kepada rakyat atau populis. Dalam hal ini, postmodern telah
ditandai dengan pola-pola baru konsumsi dan produksi. Di satu
pihak, misalnya, karya-karya fiksi terkenal — dilambungkan
dengan iklan dan publisitas harga — dapat secara reguler
menghantam daftar-daftar penjualan terlaris (best-seller lists),
jika bukan layar lebar, dengan cara yang sebelumnya tidak
mungkin. Di lain pihak, tingkat kelompok-kelompok penting
yang demikian disingkirkan — wanita, minoritas etnis dan
minoritas-minoritas lain, imigran — men-dapatkan akses untuk
bentuk-bentuk postmodern, sehingga memperluas basis
output artistik begitu besar. Dalam kualitas, beberapa efek
yang menyama-ratakan tidak bisa dielakkan: zamannya tanda
tangan-tanda tangan individual hebat dan karya-karya ahli
modernisme sudah berlalu. Sebagian ini merefleksikan reaksi-

92
ASAL-USUL POST MODERNITAS

reaksi terhadap norma-norma karisma yang sekarang sudah


anakronistis. Tetapi juga mengekspresikan hubungan baru
dengan pasar — tingkat yang menunjukkan bahwa inilah budaya
penyertaan (culture of accompaniment), lebih dari antagonisme,
dengan tatanan ekonomi.
Namun demikian, di dalamnya, secara persis terletak
kekuatan postmodern. Apabila pada masa jayanya modernisme
tidak pernah jauh lebih dari sebuah daerah kantong
(enclave), demikian Jameson menunjukkan, postmodernisme
sekarang sifatnya hegemonis. Tidak berarti postmodernisme
menghabiskan bidang produksi budaya. Setiap hegemoni,
seperti yang dinyatakan oleh Raymond Williams, adalah sistem
“dominan” lebih dari total, sebuah sistem yang benar-benar
memastikan — karena definisi-definisi realitasnya yang selektif
— hidup berdampingannya bentuk-bentuk “residual” dan “yang
baru muncul” yang bersifat menolaknya. Postmodernisme
adalah dominan dari jenis ini, tidak lebih. Tetapi itu sudah cukup
amat besar. Karena hegemoni ini bukan persoalan lokal. Untuk
pertama kalinya, secara tendensi inilah global dalam skop. Bukan
sebagai penyebut umum murni untuk masyarakat-masyarakat
kapitalis maju, namun sebagai proyeksi kekuatan dari salah
satunya. “Postmodernisme bisa dikatakan menjadi gaya global
Amerika Utara secara khusus untuk pertama kalinya”.14
Jika ini merupakan koordinat-koordinat pokok post­
modern, apakah sikap yang tepat untuk itu? Gerakan akhir
Jameson barangkali adalah yang paling orisinil dari semuanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap kontribusi
penting dengan ide postmodernitas telah mengangkat
penilaian darinya yang kuat — negatif atau positif. Penilaian-

14
Postmodernism, hal. 20.

93
ASAL-USUL POST MODERNITAS

penilaian antitetis Levin dan Fiedler, Hassan dan Jencks,


Habermas dan Lyotard, menawarkan sekumpulan pola.
Dari ting­kat kedudukan politik yang berbeda, kritikus
dapat me­ratapi kelahiran postmodern sebagai pembusuk-
an modern (corruption of the modern), atau merayakannya
sebagai emansipasi. Terlalu awal — tidak lama setelah kuliah
Whitneynya — Jameson memetakan kombinasi cerdas oposisi-
oposisi yang demikian dalam “Teori-teori Postmodern” (Theories
of the Postmodern), yang direproduksi dalam The Cultural Turn.
Tujuan pidatonya adalah untuk menunjukkan jalan keluar
dari ruang tertutup yang berulang ini. Komitmen-komitmen
politik Jameson sendiri sangat mendukung kelompok kiri
dengan setiap figur yang terpetakan di dalamnya. Ia sendiri
telah dengan tegas mengidentifikasi postmodernisme dengan
tahap baru kapitalisme, yang dipahami dalam pengertian
Marxis klasik. Tetapi pengelupasan (excoriation) belaka tidak
lebih membuahkan hasil daripada kelekatan (adhesion). Jenis
pembelian lain yang dibutuhkan.
Godaan yang harus dihindari, di atas semuanya, adalah
moralisme. Kerumitan postmodernisme dengan logika pasar dan
tontonan tidak dapat dipersalahkan. Tetapi hukuman sederhana
darinya sebagai budaya tidak membuahkan hasil. Sekali lagi dan
lagi — untuk keheranan banyak orang, baik kelompok kiri maupun
kanan yang sejenis — Jameson telah menyatakan kegagalan
memoralisasikan kebangkitan postmodern. Bagaimanapun
akuratnya penilaian-penilaian lokal diberikan, namun moralisme
yang demikian merupakan “kemewahan yang memiskinkan”
(improverished luxury) dimana pandangan historis tidak bisa
mendukung.15 Dalam hal ini, Jameson sangat mempercayai

15
Postmodernism, hal. 62.

94
ASAL-USUL POST MODERNITAS

keyakinan-keyakinan yang sudah lama dipertahankan. Doktrin-


doktrin etis (ethical doctrines) mensyaratkan homogenitas sosial
(social homogeneity) tertentu, dimana mereka dapat menuliskan
kembali tafsiran-tafsiran kelembagaan sebagai norma-norma
interpersonal, sehingga menekan realitas-realitas politik dalam
kategori-kategori baik dan buruk yang kuno, lama semenjak
diungkap oleh Nietzsche sebagai “sisa-sisa hubungan kekuatan
yang mengendap”. Well sebelum membicarakan diri dengan
postmodern, ia telah mendefinisikan posisi dari mana ia akan
memandangnya: “etika, apapun yang membuat penampilannya
kembali, bisa diangkat sebagai tanda niat yang menyesatkan,
khususnya untuk menggantikan penilaian-penilaian kompleks
dan ambivalen perspektif dialektis dan politis dengan lebih
tepat dengan penyederhanaan mitos kembar (simplifications of
a binary myth) yang nyaman”.16
Ucapan-ucapan tersebut ditujukan pada moralisme
konvensional golongan kanan. Tetapi ucapan –ucapan tersebut
berlaku tidak kurang juga bagi moralisme kelompok kiri, yang
berusaha untuk menghilangkan atau menolak postmodernisme
en bloc. Kategori-kategori moral adalah kode-kode biner (binary
codes) dari sikap individual; yang diproyeksikan ke bidang
budaya, yang secara intelektual dan secara politis membuat
tidak cakap. Bukan peribahasa-peribahasa Kulturkritik dari
setiap hal lebih besar yang berguna, dengan sorotan diam
mereka pada imajiner dari satu atau lain masa lalu yang me­
rupakan pemandangan menarik, dari balkonnya masa kini
yang jatuh dapat dibuktikan kembali. Keberanian usaha,
di atas mana Jameson telah berangkat — ia menekankan

16
Fables of Aggression — Wyndham Lewis, the Modernist as Fascist,
Berkeley dan Los Angeles 1979, hal. 56.

95
ASAL-USUL POST MODERNITAS

bahwa dibutuhkan banyak tangan — adalah sesuatu yang


lain. Kritik sejati postmodernisme tidak dapat menjadi
penolakan ideologis darinya. Tugas yang agak dialektis adalah
mengerjakan jalan kita sedemikian lengkap melaluinya, dimana
pemahaman waktu kita akan muncul mentransformasi pada
sisi itu. Pemahaman kapitalisme baru yang tidak terbatas dan
mentotalisasi — teori yang layak untuk skala global konvensi-
konvensi dan keterpisahan-keterpisahannya — tetap menjadi
proyek Marxis yang tidak bisa dinyatakan. Ia memasukkan
tanggapan-tanggapan manichean dengan postmodern. Untuk
para kritikus dari kelompok kiri yang cenderung mencurigai
akomodasinya, Jameson menjawab dengan tenang. Lembaga
kolektif yang dibutuhkan untuk menghadapi kekacauan ini
masih hilang; tetapi kondisi dari kemunculannya merupakan
kemampuan untuk memahaminya dari dalam, sebagai sebuah
sistem.

C. Hasil-hasil Terakhir
Dengan parameterparameter tersebut di tempat, tulisan
tentang postmodernitas yang koheren telah tiba. Dengan
melihat ke depan, satu visi hebat memerintah bidang ini,
dengan meletakkan istilah-istilah teoretis yang berlawanan
dengan cara yang bisa dibayangkan paling menyolok. Inilah
nasib normal konsep-konsep strategis yang akan menjadi
pokok bahasan bagi tangkapan dan pembalikan politik yang
tidak diperkirakan, bersama berjalannya perjuangan yang
tidak saling bersambungan atas artinya. Secara karakteristik,
di abad ini, hasilnya adalah détournements untuk kelompok
Kanan — “peradaban” (civilization), katakanlah, sekali bendera
kebanggaan pemikiran Pencerahan progresif, menjadi

96
ASAL-USUL POST MODERNITAS

stigma dekadensi (stigma of decadence) di tangan-tangan


konservatisme Jerman; “masyarakat sipil” (civil society). Istilah
kritik untuk Marxisme klasik, sekarang menjadi pusat perhatian
dalam logat daerah liberalisme kontemporer. Di daerah yang
melewati istilah postmodernisme yang dimenangkan oleh
Jameson, kita menyaksikan prestasi yang berlawanan: konsep
yang sumber-sumber penggambarannya semua dihapuskan
dalam penggunaan-penggunaan yang sesuai dengan tata-nan
yang dimapankan, diputarbalikkan dari peraga-an inteligensia
teoretis yang hebat dan energi sebagai penyebab kelompok
Kiri revolusioner. Ini telah menjadi kemenangan tidak ber­
sambungan yang didapat melawan semua keganjilan politik
(political odds), dalam masa hegemoni neo-liberal ketika setiap
penanda kelompok Kiri yang dikenal tampaknya tenggelam di
bawah gelombang-gelombang reaksi pasang dan surut. Tidak
diragukan, kemenangan ini dikarenakan pemetaan dunia
kontemporer kognitif yang ditawarkan menangkap sedemikian
tidak terlupakan — sekaligus secara liris dan secara kaus-tis
— struktur-struktur imajinatif dan pengalaman waktu yang
dihidupkan, serta kondisi-kondisi batasnya.
Bagaimana kita seharusnya menempatkan prestasi ini?
Dua jawaban menyatakan diri. Yang pertama berhubungan
dengan perkembangan pemikiran Jameson sendiri. Di sini, ada
paradoks yang sangat jelas. Perbendaharaan kata postmodern
muncul, seperti yang tercatat di atas, secara relatif terlambat
bagi Jameson, setelah tanda-tanda keberatan awal (signs
of initial reservation). Tetapi problematiknya adalah adanya
pengungkapan sangat awal melalui tulisan-tulisan berurutan
dengan kontinuitas yang mengagumkan. Dalam monograf
pertamanya, Sartre — The Origins of a Style (1961), yang

97
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dituliskan pada tengah usia dua puluhannya, ia telah menuliskan


“masyarakat tanpa masa depan yang tampak, masyarakat silau
dengan permanensi besar-besaran lembaga-lembaganya sendiri
dimana tidak ada perubahan yang tampaknya mungkin dan ide
kemajuan itu sudah mati”.17 Sepuluh tahun kemudian, dalam
Marxism and Form, dengan membandingkan hiasan-hiasan
dari pecah-belah surealisme yang menarik dengan komoditas-
komoditas kapitalisme pasca-industri (postindustrial capitalism)
— “produk-produk yang diucapkan tanpa kedalaman”, yang
“isi plastiknya sama sekali tidak bisa melayani sebagai alat
penghantar energi batin” — ia bertanya “apakah kita di sini
tidak berada dalam presensi transformasi budaya dari proporsi-
proporsi sinyal, keterputusan historis dari jenis yang absolut
tidak diharapkan?”18
Marxisme and Form berakhir dengan mengamati jenis
modernisme baru itu, yang diartikulasikan oleh Sontag dan
Hassan, telah merata, yang tidak lagi — sebagai modernisme
lama telah — “diperhitungkan dengan permusuhan instingtif
publik kelas menengah dari mana ia berdiri sebagai negasi atau
peniadaan”, tetapi agak “populer; barangkali bukan di kota-
kota kecil tengah Barat, tetapi di dunia media massa dan mode
yang dominan”. Film-film Warhol, novel-novel Burroughs,
drama-drama Beckett adalah dari jenis ini; dan “tidak ada
kupasan yang memiliki satupun kekuatan mengikat yang tidak
memberikan kekaguman dari semua hal ini sebagai penggayaan
realitas”.19 Catatan yang bukan tidak sama dituliskan dalam The
Prison-House of Language (Rumah-Penjara Bahasa), dimana

17
Sartre — The Origins of a Style, New York 1984 (edisi kedua), hal. 8.
18
Marxism and Form, hal. 105.
19
Marxism and Form, hal. 413-414.

98
ASAL-USUL POST MODERNITAS

“pembenaran-pembenaran lebih dalam” tentang penggunaan


model-model linguistik dalam formalisme dan strukturalisme
terletak tidak sedemikian banyak pada validitas ilmiahnya,
seperti pada karakter masyarakat-masyarakat sezaman, “yang
menawarkan bentuk-bentuk tontonan dunia dari mana sifatnya
telah dieliminasi, dunia yang jenuh dengan pesan-pesan dan
informasi, dimana jaringan komoditasnya yang berbelit-belit
bisa dilihat sebagai prototipe sistem tanda-tanda yang itu juga”.
Di sana dengan demikian, ada “persesuaian amat besar antara
linguistik sebagai metode dan mimpi buruk yang tersistematisasi
dan tidak diwujudkan, yang merupakan budaya kita saat ini”.20
Bagian-bagian tulisan seperti ini kedengaran seperti
sedemikian banyak penyesuaian orkestral untuk simponi yang
akan datang. Tetapi jika bagian-bagian tersebut mengantisipasi
secara demikian langsung motif-motif presentasi post-modern
Jameson, barangkali ada penanda tidak langsung lain dari apa
yang diletakkan ke depan. Dari awal, Jameson tampaknya telah
merasakan jenis pembantuan modern sebagai sekumpulan
bentuk estetis, yang menarik perhatiannya pada para penulis
yang berbaris di samping atau yang menanganinya. Dua novelis
untuk siapa ia memberikan studistudinya yang berdiri sendiri
adalah Jean-Paul Sartre dan Wyndham Lewis. Satu alasan untuk
ketertarikannya pada mereka tentu saja adalah karena keduanya
adalah penulis yang sangat politis, yang berada di ujung-ujung
spektrum berlawanan (opposite ends of the spectrum): Kiri
ikonoklastis (iconoclastic Left) dan Kanan radikal (radical Right).
Alasan lain yang telah ia tekankan sendiri adalah apa yang
oleh Jameson disebut sebagai “optimisme linguistik” (linguistic
optimism) yang sama-sama mereka miliki — kepercayaan bahwa

20
The Prison House of Language, Princeton 1972, hal. xviii-ix.

99
ASAL-USUL POST MODERNITAS

segala sesuatu dapat diekspresikan dengan kata-kata, asalkan


mereka tidak cukup sial.21 Tetapi hal yang sama pentingnya, dan
tidak saling berkaitan adalah sudut pada mana keduanya berdiri
sebagai aliran pokok modernisme — Lewis terpisah dengan
ekspresionisme mekanistisnya, Sartre dengan pembalikan-
pembalikannya yang menjerat melodrama. Secara tidak sengaja
dalam satu hal (pengabaian Lewis yang berikutnya seperti
dalam kapsul waktu (timecapsule), memelihara “kesegaran dan
keserbabisaan” (freshness and virulence) penggayaan yang mati
dalam pembalseman rekan-rekan sezamannya yang hebat),
dan secara sengaja pada yang lain (pernyataan sengaja Sartre
untuk melepaskan diri dari bentuk-bentuk yang mengabdi
dan “lapangan-lapangan kerja pasif-reseptif” modern-modern
tinggi),22 para penulis tersebut yang dengan gayanya sendiri
telah melambung melawan batas-batas modernisme. Ada
saatnya ketika Jameson menganggap beberapa spesies baru
realisme akan muncul melampaui keduanya. Tetapi ruang untuk
pertarungan salto menjadi postmodern telah dibersihkan.
Dipandang secara biografis, gerakan Jameson menuju
teori postmodernisme dengan demikian tampak benar-benar
dituliskan pada jalan lintasannya sejak dari awal — seakan
dengan koherensi “pilihan orisinil” yang cerdik dalam pengertian
Sastrean. Tetapi ada cara lain dalam meninjau hasil yang sama.
Tulisan Jameson tentang postmodern termasuk pada baris
intelektual khusus. Dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia
Pertama, saat gelombang besar kekacauan revolusioner di Eropa
Tengah telah mereda, dan negara Soviet telah terbirokratisasi
dan terisolasi, di sana berkembang tradisi teoretis Eropa yang

21
Sartre, hal. 204; Fables of Aggression, hal. 86.
22
Fables of Aggression, hal. 3; Sartre, hal. 219.

100
ASAL-USUL POST MODERNITAS

berbeda yang pada akhirnya membutuhkan nama Marxisme


Barat. Terlahir dari kekalahan politik — benturan pem-
berontakan-pemberontakan proletarian (crushing of proletarian
insurgencies) di Jerman, Austria, Hungaria dan Italia di mana
para pemikir besar pertamanya seperti Lukács, Korsch, dan
Gramsci telah hidup bersamanya — Marxisme ini dipisahkan
dari korpus klasik materialisme historis dengan penggalan yang
tajam. Dengan ketiadaan praktek revolusioner rakyat, strategi
politik untuk menumbangkan modal telah surut, dan sekali
depresi hebat telah lewat memasuki Perang Dunia Kedua,
maka analisis ekonomi untuk transformasi-transformasinya
cenderung meloncat juga.
Dalam kompensasi, Marxisme Barat menemukan
pusat gravitasinya dalam filsafat, dimana serangkaian pemikir
generasi keduanya yang terkenal — Adorno, Horkheimer, Sartre,
Lefebvre, Marcuse — membangun bidang teori kritis (critical
theory) yang terkenal, bukan dalam keterpisahan dari aliran-
aliran pemikiran non-Marxis yang menge-lilinginya, tetapi
khususnya dalam ketegangan kreatif dengannya. Inilah tradisi
yang sangat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan
metode — epistemologi pemahaman masyarakat yang kritis
— yang mana Marxisme klasik telah meninggalkan beberapa
penunjuknya. Tetapi skop filosofisnya bukan hanya prosedural:
skopnya memiliki satu fokus sentral kepentingan substantif,
yang membentuk wawasan bersama dari jajaran ini sebagai
satu keseluruhan. Marxisme Barat di atas semua hal adalah
sekumpulan investigasi teoretis (theoretical investigations)
budaya kapitalisme maju. Keunggulan filsafat di dalam tradisi,
memberikan cetakan khusus untuk penyelidikan-penyelidikan
tersebut: bukan secara eksklusif, tetapi secara menentukan,

101
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tradisi ini tetap benar bagi kepentingan-kepentingan estetika.


Apapun yang lain, tradisi memasukkan, budaya yang menandai,
pertama dan terutama, sistem seni. Lukács, Benjamin, Adorno,
Sartre, Della Volpe membentuk aturan di sini; Gramsci atau
Lefebvre, dengan pengertian budaya yang lebih antropologis,
merupakan pengecualian.23
Untuk semua ciri yang umum sebagai tradisi, Marxisme
Barat dalam banyak cara secara relatif tidak menyadari diri.
Secara keseluruhan, para pemikirnya yang terkenal jarang
memberitahu semua batas linguistik di Eropa satu dengan
yang lain. Karya pertama yang mendukung kajian repertoirenya
tidak muncul sampai awal tahun 1970-an, dari Amerika: dan itu
tidak lain dari Marxisme and Form. Di sini, seperti tidak ada teks
sebelumnya, penyatuan dan keanekaragaman Marxisme Barat
ditempatkan dalam peragaan yang elegan. Jika buku Jameson
berkonsentrasi pada Adorno dan Benjamin, Bloch dan Marcuse,
Lukács dan Sartre, dengan meninggalkan Lefebvre dan Gramsci
— masing-masing menulis — terpisah, di sini ia memegang janji
dari judul buku itu. Cabang dominan dari keturunan ini adalah
estetika. Untuk pertama kalinya, orang bisa berkata, Marxisme
Barat secara diam-diam berhadapan dengan kebenarannya.
Bagaimanapun, apakah totalisasi yang demikian, menandai
masa depan tradisi ini? Ada banyak orang, termasuk saya
sendiri, yang memperhitungkan bahwa kondisi-kondisi yang
telah menghasilkannya sekarang sudah menjadi masa lampau,
dan jenis-jenis Marxisme lain — yang lebih mendekati model-
model klasik — kemungkinan akan menggantikannya.

23
Saya telah mendiskusikan latar belakang umum dan karakter tradisi
ini dalam Considerations on Western Marxism, London 1976: untuk sifat yang
terakhir, lihat hal. 75-78.

102
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Estimasi ini didasarkan pada peragian radikal (radical


ferment) yang diperbaharui di Eropa Barat akhir tahun 1960-
an dan awal tahun 1970-an, dan atas kembalinya energi-energi
intelektual yang tampak terhadap pertanyaan-pertanyaan
ekonomi dan strategi politik yang telah mendominasi agenda
lama materialisme historis (historical materialism). Kekacauan
bulan Mei 1968 di Prancis dapat dilihat sebagai mercusuar
dari perubahan yang berputar ini, yang menyinari sinyal bahwa
Marxisme Barat saat ini disusul, melewati peringkat keabsahan
terhormat. Penilaian lebih cerdas melihat bahwa Revolusi Mei
dengan sinar yang sedikit berbeda, bukan sebagai akhir tetapi
sebagai klimaks tradisi ini. Raiding the Icebox (Perampasan
Kotak Es) dari Peter Wollen adalah satu-satunya karya yang
kekuatannya menghasilkan perbandingan dengan karya
Jameson sebagai peta jalan budaya abad ke20. Episode pokok
dalam narasinya adalah cerita dari Internasional Situasionis,
akhir dari para avant-garde historis “yang pembubarannya pada
tahun 1972 mengangkat akhir sebuah zaman yang dimulai
di Paris dengan Manifesto Futuris pada tahun 1909”. Tetapi
situasionisme, yang membesarkan Lukács, Lefebvre dan Breton,
bukan hanya ini. Secara teoretis dalam membuka ledakan Mei
1968, Wollen berkata, “kita sama-sama dapat melihatnya
sebagai ringkasan dari Marxisme Barat”.24 Ini adalah bacaan
yang lebih masuk akal. Walau demikian, hasilnya cukup mirip.
Pelajaran-pelajaran dari Marxisme Barat, sebagai para avant-
garde klasik, perlu dipelajari dan dihargai, tetapi waktu sudah
berlalu — “satu periode telah berakhir”.25

24
Raiding the IceBox. Reflections on Twentieth Century Culture, London
1993, hal. 124.
25
Ibid.

103
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Putusan dari tulisan Jameson inilah yang sedemikian


sempurna telah dipungkiri. Teorisasi postmodernismenya,
yang dimulai pada awal tahun 1980-an, mengambil tempatnya
di antara monumen-monumen intelektual besar Marxisme
Barat. Sesungguhnya, orang bisa berkata bahwa tradisi inilah
yang mencapai puncaknya. Bangkit sekali lagi dari pengalaman
kekalahan politik — penumpasan kekacauan tahun 1960-
an — dan berkembang dalam kontak kritis dengan gaya-gaya
pemikiran baru — strukturalis, dekonstruktif, neo-historisis
— jauh dari Marxisme, karya Jameson tentang postmodern
telah menjawab koordinat-koordinat dasar yang sama sebagai
teks-teks klasik masa lalu. Tetapi jika di dalam pengertian itu,
inilah kontinuasi rangkaian, inilah juga kumpulan rekapitulasi
pada level kedua. Karena di sini, instrumen-instrumen dan
tema-tema berbeda dari repertoire Marxisme Barat berpadu
dalam sintesis yang hebat. Dari Lukács, Jameson mengambil
komitmennya pada periodisasi dan ketakjuban dengan
narasi; dari Bloch, sebuah respek untuk harapan dan mimpi-
mimpi yang tersembunyi di dunia objek yang berkilauan; dari
Sartre, kefasihan luar biasa dalam tekstur-tekstur pengalaman
segera; dari Lefebvre, keingintahuan tentang ruang kota; dari
Marcuse, pengejaran jalan konsumsi berteknologi tinggi; dari
Althusser, konsepsi ideologi positif, sebagai imajiner sosial
yang dibutuhkan; dari Adorno, ambisi untuk merepresentasikan
totalitas objeknya sebagai ketiadaan kurang dari “komposisi
metaforis”.26
Elemen-elemen yang demikian tidak secara lembam
terletak menyatu dalam kombinasi yang dipaksakan. Elemen-
elemen tersebut dimobilisasi dalam upaya orisinil yang

26
Lihat Marxism and Form, hal. 7.

104
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tampaknya tanpa upaya untuk menyerapnya. Dua ciri diberikan


untuk karya ini dengan kesatuan anehnya. Yang pertama adalah
prosa Jameson itu sendiri. Ia pernah mengatakan bahwa dari
para pemikir Marxisme Barat, Adorno adalah “ahli paling hebat
dari semuanya”.27 Tetapi seringkali pembaca akan bertanya-
tanya apakah deskripsi ini lebih baik, atau pada suatu tingkat
secara lebih konsisten, berlaku bagi dirinya. Ia membuka
buku pertamanya dengan kata-kata: “Selalu tampak bagi saya
bahwa gaya modern adalah sesuatu yang dalam dirinya sendiri
dapat dipahami, di atas dan melampaui arti buku terbatas
yang dituliskan di dalamnya, dan bahkan melampaui arti-arti
persis yang membuat kalimat-kalimat individual tersusun ingin
disampaikan”.28 Penelitian-penelitian selanjutnya atas tulisan
Jameson sendiri dapat mengambil kata-kata tersebut sebagai
semboyan. Untuk saat ini, cukup dicatat adanya dua ciri gaya
atau style kemegahan yang memaksa. Irama-irama ruang dari
sintaksis kompleks namun luwes — hampir Jamesian dalam
bentuk-bentuk pidatonya — melakukan penyerapan sedemikian
banyak sumber yang bervariasi dalam teori itu sendiri; sementara
ledakan tiba-tiba intensitas metaforis, membuat gembira
loncatan-loncatan figural dengan kabel tinggi seluruh miliknya,
berdiri sebagai lambang gerakan-gerakan diagonal yang tegas,
yang lebih mendekati puisi daripada inteligensia analitis,
dengan mana karya ini secara tidak diduga melintashubungkan
tanda-tanda fenomena total yang terpisah dalam pandangan.
Kita sedang membicarakan seorang penulis besar.
Pada saat bersamaan, karya Jameson tentang post­
modern menyatukan sumber-sumber di atas mana tulisan

27
Marxism and Form,hal. xiii.
28
Sartre, hal. vi.

105
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menggambarkan pengertian substantif lebih dalam. Tradisi


Marxis Barat menarik bagi estetika sebagai hiburan tidak sengaja
karena melampaui politik dan ekonomi. Hasilnya adalah tingkat
refleksi mengagumkan pada aspek-aspek budaya kapitalisme
modern yang berbeda. Tetapi ini semua tidak pernah disatukan
menjadi teori pem-bangunan ekonominya yang konsisten,
khususnya yang tetap berada pada satu sudut terspesialisasi dan
sedikit terlepas pada gerakan masyarakat lebih luas: bahkan bisa
dikenai pajak dengan idealisme tertentu, dari sudut pandang
Marxisme yang lebih klasik. Tulisan postmodernisme Jameson,
sebaliknya, untuk pertama kalinya mengembangkan teori “logika
budaya” modal (cultural logic of capital) yang secara simultan
menawarkan potret transformasi bentuk sosial ini sebagai satu
keseluruhan. Inilah visi yang jauh lebih komprehensif. Di sini,
pada bagian dari sektoral ke umum, lapangan kerja Marxisme
Barat telah mencapai penyempurnaannya yang paling lengkap.
Kondisi-kondisi yang memperluas ini sifatnya
historis. Pandangan bahwa akhir tahun 1960-an menandai
keterputusan kritis pada lanskap Kiri bukan sama sekali salah.
Secara intelektual, seperti yang ditunjukkan oleh judul esai
dan bukunya yang sebagai penanda itu, berbaliknya Jameson
ke teori postmodern dimungkinkan oleh tulisan Mandel dalam
Late Capitalism, sebuah studi ekonomi yang mensituasikan
diri dalam tradisi klasik yang berbeda dari suatu bayangan
Marxisme Barat. Secara empiris, kehidupan ekonomi itu sendiri
telah sedemikian diresapi oleh sistem-sistem informasi simbolis
dan persuasi dimana gagasan tentang bidang produksi yang
kurang lebih akultural independen semakin kehilangan arti.
Dengan demikian, setiap teori budaya terikat untuk mencakup
lebih banyak peradaban modal (civilization of capital) daripada

106
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang pernah terjadi sebelumnya. Objek tradisional Marxisme


Barat semakin diperbesar. Jadi resumsi warisannya Jameson
dapat menghasilkan deskripsi kondisi-kondisi kehidupan
kontemporer politis dan lebih sentral dibanding preseden-
preseden yang digambarkannya.
Sangat penting bagi efek tulisan Jameson di sini adalah
pengertian “epochality”-nya. Cara membaca tanda-tanda
zaman ini banyak berhutang pada Lukács. Tetapi pelaksanaan
pokok Lukács dalam analisis zaman, The Soul and Forms serta
The Theory of the Novel tetap estetis atau metafisik. Ketika ia
bergerak menuju politik, dalam sebuah studi pendeknya yang
terkenal berjudul Lenin, Lukács mendefinisikan zaman yang
telah membuka bencana Perang Besar sebagai bencana yang
tercetak di atas segala hal oleh “aktualitas revolusi” (actuality of
revolution). Ketika kejadian-kejadian tesrsebut mengecewakan
pengharapan atau perkiraan, maka tidak ada deskripsi lebih
lanjut yang dapat mengikuti. Gramsci inilah yang kemudian,
sebagai pemikir dalam Marxisme Barat dari siapa Jameson
telah mengambil yang paling sedikit, yang mencoba untuk
menangkap sifat konsolidasi atau kontra-revolusi modal antara
dua perang. Pada kenyataannya, catatan-catatannya tentang
Fordisme menggambarkan satu-satunya preseden yang nyata
dalam tradisi bagi upaya Jameson ini. Bukan kebetulan bahwa
mereka telah membangkitkan sedemikian banyak diskusi
setelah Perang Dunia Kedua, atau berbagai upaya untuk
mensketsakan ciri-ciri “post-Fordisme” di tahun 1970-an dan
1980-an.
Tetapi, sekuat dan seorisinil adanya (seringkali sangat
idiosinkratis), ide-ide Gramsci tentang Fordisme -- yang
mencakup produksi massa, disiplin kerja amat kuat dan tingkat

107
ASAL-USUL POST MODERNITAS

upah yang tinggi di AS, puritanisme untuk tatanan-tatanan


rendah dan kemerdekaan lapisan atas, agama sektarian pada
Amerika liberal dan organisasi korporatis di Italia fasis — namun
demikian tetap singkat dan tidak sistematis. Dalam pengertian,
“epochalitas” mereka terlalu macet atau gagal. Dalam banyak
hal yang mendahului waktu, di belakangnya dalam beberapa
hal, catatan-catatan tersebut terbukti sangat sugestif setelah
peristiwa itu. Tulisan Jameson tentang postmodern berisikan
wawasan-wawasan tidak sebanding ke dalam proses produksi
tenaga kerja, yang menyandarkannya pada literatur ekonomi
yang berdiri sendiri dari dirinya sendiri. Tetapi tentu saja, tulisan
ini lebih maju dan sangat detail sebagai definisi zaman, dan
didukung oleh pengalaman sezaman (kontemporer). Namun
banyak beban kritis teori ini juga muncul dari ketegangannya
dengan iklim waktu yang digambarkan itu juga. Karena, seperti
yang kita baca pada kalimat pertama dalam Postmodernism:
“Paling aman memahami konsep postmodern sebagai upaya
untuk memikirkan masa kini secara historis dalam zaman yang
telah lupa bagaimana harus berpikir secara historis di tempat
yang pertama”.29
Jika, dalam semua cara ini, karya Jameson muncul
sebagai final Marxisme Barat yang hebat dan megah, dalam
cara lain karyanya secara signifikan telah melampaui tradisi ini.
Berkembang di Eropa, karya para pemikir besar ini tidak pernah
bergerak jauh melampauinya sebagai kekuatan intelektual.
Lukács dikenal di Jepang sebelum perang, dan dalam pem­
buangan, Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) menemukan
Amerika Serikat. Kemudian, Sartre dibaca oleh Fanon dan
Althusser yang belajar di Amerika Latin. Tetapi pada hakekatnya,

29
Postmodernism, hal. ix.

108
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Marxisme inilah yang radius pengaruhnya tetap terbatas pada


inti orisinil dunia kapitalis maju: Barat bukan hanya dalam
sumber dan tema-temanya, tetapi juga pengaruhnya. Teori
post­modern Jameson telah mematahkan pola ini. Formulasi-
formulasi awalnya pada prinsipnya berfokus pada Amerika
Utara. Tetapi ketika tulisannya tentang pertanyaan berkem-
bang, implikasi-implikasinya meluas: postmodernisme, demi­
kian ia menyimpulkan, adalah — bukan secara tambahan, tetapi
secara intrinsik — udara budaya sistem global yang mengabaikan
semua pembagian geografis. Logikanya memaksa perubah-an
terbesar di bidang penyelidikan Jameson sendiri.
Sampai fajar tahun 1980-an, praktek kritis Jameson
secara eksklusif adalah kesusastraan dan objek-objeknya secara
istimewa adalah Barat. Proust, Hemingway, Balzac, Dickens,
Eichendorff, Flaubert, Conrad — adalah figur-figur menonjol
dalam per­hatiannya. Pada tahun 1980-an, terjadi perubahan
tajam. Bentuk- bentuk visual mulai bersaing dengan bentuk-
bentuk tertulis dan dengan cepat menonjol --perubahan
terbukti pada Postmodernisme itu sendiri. Secara simultan
terdapat gerakan menyolok semenjak itu, pada budaya-budaya
dan wilayah-wilayah yang melampaui Barat. Dalam periode ini,
Jameson ingin merefleksikan Soseki dan Karatani di Jepang; Lu
Xun dan Lao She di Cina; Sembène di Senegal dan Solas atau
Barnet di Kuba; Edward Yang dari Taiwan dan Kidlak Tahimik
dari Filipina.30 Dalam The Cultural Turn, diskusi-diskusi dapat

30
Lihat, secara berturut-turut, “Soseki and Western Modernism”,
bondary 2, Musim Gugur 1991, hal. 123-141; “In the Mirror of Alternate
Modernities”, South Atlantic Quarterly, Musim Semi 1993, hal. 295-310;
“Third World Literature in the Era of Multinational Capitalism”, Social
Text, Musim Gugur 1986, hal. 65-88; “Literary Innovation and Modes of
Production”, Modern Chinese Literature, September 1984, hal. 67-72; “On
Literary and Cultural Import Substitution in the Third World: the Case of

109
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ditemukan pada film-film Paul Leduc, direktor film bisu (silent


movie) Meksiko yang menetap di Venezuela, dan Souleymane
Cissé dari Mali. Apakah ada kritikus sezaman bahkan dengan
tingkat yang sebanding secara jauh?
Pengertian dari intervensi-intervensi seperti ini adalah
dengan mendorong “estetika geopolitik” (geopolitical aesthetic)
yang cukup bagi perluasan alam semesta budaya dalam kondisi-
kondisi post-modern. Namun tidak ada keterlibatan dari
jauh. Jameson pertama kali menetapkan ide-idenya tentang
postmodernisme secara komprehensif dalam sebuah kuliah
di Beijing tahun 1985, dan mempublikasikan sebuah koleksi
tentang pokok masalah di Cina beberapa tahun sebelum ia
menghasilkan koleksinya di Amerika. Tulisannya tentang “Post-
modernism and the Market” diuji di Seoul. Kita berhutang
teks terbesar tentang “Transformations of the Image” pada
sebuah pidato di Karakas. Keadaan seperti ini bukan masalah
peluang. Teori post-modernitas Jameson telah memenangkan
audiensi yang semakin berkembang di negara-negara yang
dulunya merupakan dunia Kedua atau Ketiga, karena tulisan
itu membicarakan penggambaran budaya yang sudah mereka
kenal, sebagian dari jaringan pengalaman mereka sendiri.
Marxisme secara natural sedemikian betah di pusat-pusat
metropolitan besar Selatan dan Timur yang bukan lagi terbatas
pada Barat. Dengan keterputusan dari dunia Barat ini, ide
postmodern telah muncul menjadi lingkaran penuh kembali ke
inspirasi orisinilnya, sebagai waktu ketika dominansi Barat akan
berhenti. Kepercayaan bayangan Olson tidak tergantikan; The
Kingfishers benar-benar dapat dibaca sebagai brevet atau ijazah

the Testimonio”, Margins, Musim Semi 1991, hal. 11-34; The Geopolitical
Aesthetic, London 1992, hal. 114-157, 186-213.

110
ASAL-USUL POST MODERNITAS

bagi prestasi Jameson.


Tetapi jika itu mungkin, itu juga terjadi karena
Jameson memiliki sesuatu yang sama dengan Olson, yang
membedakannya dari jajaran intelektual dari mana ia turun
atau berasal. Dalam satu respek amat penting, karya Jameson
berangkat dari tenor keseluruhan Marxisme Barat. Itulah tradisi
yang monumen-monumen terbesarnya dalam satu atau lain
cara, secara rahasia atau terbuka, semua dipengaruhi oleh
pesimisme historis yang dalam.31 Tema-tema paling orisinil dan
kuat mereka — “perusakan akal” (destruction of reason) Lukács,
“perang posisi” (war of position) Gramsci, “malaikat malapetaka”
(angel of catastrophe) Benjamin, “subjek yang dihancurkan”
(damaged subject) Adorno, “kekejaman kelangkaan” (violence
of scarcity) Sartre, “ilusi yang ada di mana-mana” (ubiquity of
illusion) Althusser — dibicarakan bukan dari masa depan yang
diredakan, tetapi dari masa kini yang bersikap kepala batu. Nada-
nada divariasikan dalam tingkat umum, dari nada stois sampai
nada melankolis, nada musim dingin sampai nada pewahyuan.
Tulisan Jameson memiliki warna nada yang berbeda. Meskipun
topiknya tentu saja bukan topik yang nyaman bagi kelompok
Kiri, namun perlakuannya untuk itu tidak pernah sengit atau
remuk redam. Sebaliknya, keajaiban gaya Jameson adalah
menyatu menjadi wujud apa yang akan dianggap tidak mungkin
— peningkatan atau peninggian dunia yang cerah.
Tema-temanya penting seperti dalam setiap tradisi. Tetapi
semprotan keajaiban dan kesenangan — perubahan-perubahan
kebahagiaan pada zaman yang mencekik — tidak pernah jauh
dari peng-gelembungan refleksi bahkan yang paling tidak
menyenangkan. “Bergerak, memerintah, membuat senang”. Jika

31
Untuk aspek ini, lihat Considerations on Western Marxism, hal. 88-92.

111
ASAL-USUL POST MODERNITAS

beberapa pemikir lain yang subversif telah datang sedemikian


dekat dengan tujuan-tujuan seni, maka akal tidak diragukan
sebagian bersifat kemungkinan. Jameson dapat membangkitkan
pengalaman secara lahiriah yang bisa dikenang seperti Sartre,
tetapi nada perasaannya menurut kebiasaan berlawanan — lebih
mendekati kegembiraan daripada kebencian. Kegembiraan-
kegembiraan intelek dan imajinasi tidak kurang secara hidup
diberikan, daripada kegembiraan indera. Sinar dengan mana
Jameson dapat melimpahkan objek-objek, konsep-konsep,
fiksi-fiksi adalah sama.32 Sumber-sumber biografis kehangatan
ini adalah satu hal. Dasar-dasar pemikiran filosofisnya adalah
hal lain. Di balik persetujuannya pada dunia ini terletak cetakan
Marxisme Jameson yang sangat Hegelian, yang diamati oleh
banyak kritikus,33 yang telah memperlengkapinya dalam
menghadapi kesengsara-an-kesengsaraan zaman, dan karya
melalui kebingungan-kebingungannya, dengan ketenangan hati
pemberani yang semuanya miliknya sendiri. Kategori-kategori
seperti optimisme atau pesimisme tidak memiliki tempat dalam
pikiran Hegel. Karya Jameson tidak dapat dijelaskan sebagai
optimistis, dalam pengertian dimana kita dapat berkata tentang
tradisi Marxis Barat bahwa itu adalah pesimis. Politik-politiknya

32
Barangkali contoh yang paling baik adalah esainya tentang Passion
dari Godard dalam The Geopolitical Aesthetic, London 1992, hal. 158-185.
Kebalikan dengan perlakuan Adorno tentang dunia objek, bahkan pada
kefasihan bicaranya yang paling baik, adalah penceritaan. Bandingkan, pada
topik yang sangat mirip, bagian pada Minima Moralia (hal. 40) — yang dengan
sendirinya merupakan keindahan hebat — pada jendela yang dibuka dengan
mendorong keluar atau grendel yang lembut, dan bantingan pintu mobil
atau pintu-pintu yang dingin sekali, dengan angan-angan Jameson tentang
kesembronoan garasi orang Kalifornia dalam Signatures of the Visible, (hal.
107-108).
33
Lihat, khususnya, Michael Sprinker, “The Place of Theory”, New Left
Review, No. 187, Mei-Juni 1991, hal. 139-142.

112
ASAL-USUL POST MODERNITAS

selalu realis. “Sejarah adalah apa yang terluka, sejarah adalah


apa yang menolak kehendak dan menetapkan batas-batas
yang tidak mengenal ampun terhadap individual dan juga
praksis kolektif” — di atas segalanya dalam “kegagalan tidak
tertentu dari semua revolusi yang telah berlangsung dalam
sejarah manusia” sampai hari ini.34 Tetapi kerinduan-kerinduan
utopian tidak dengan mudah ditekan, dan dapat dibangkitkan
kembali dalam penyamaran-penyamaran yang pa-ling tidak
dapat diprediksi. Ini adalah juga catatan — kerasnya kehendak
bawah tanah untuk berubah — yang telah memberi kekuatan
daya tariknya pada tulisan Jameson yang melampaui wilayah-
wilayah Barat yang letih dan lesu. c

113
m
ÓÎ

Efek-efek Sesudahnya

Penangkapan postmodern oleh Jameson telah menen­


tukan persyaratan debat yang berikutnya. Tidak mengherankan
bahwa intervensi-intervensi paling signifikan sejak masuknya
ke bidang ini sebagai asal-usulnya adalah Marxis. Tiga
kontribusi terkenal dapat dibaca sebagai upaya untuk meleng-
kapi atau mengoreksi, masing-masing dengan caranya sendiri,
merupakan tulisan orisinil Jameson. Buku Alex Callinicos yang
berjudul Against Post-modernism (1989) mengajukan analisis
lebih dekat dari latar belakang politik bagi postmodern. David
Harvey dengan Condition of Postmodernity (1990) menawarkan
teori prakiraan-prakiraan ekonominya yang jauh lebih utuh.
Terry Eagleton dengan Illusions of Postmodernism (1996) mem­
bicarakan dampak dari penyebaran ideologisnya. Semua karya
tersebut menampilkan masalah-masalah demarkasi (problems
of demarcation). Bagaimana postmodern akan menjadi paling
baik diperiodisasikan? Postmodern itu sesuai untuk konfigurasi
intelektual apa? Apakah tanggapan yang tepat untuk itu?

115
ASAL-USUL POST MODERNITAS

A. Penentuan Waktu
Pertanyaan yang pokok di sini adalah, pertama — masalah
periodisasi. Kritik paling awal Jameson tentang kelompok
Kiri telah menunjukkan sambungan yang longgar dalam
konstruksinya.1 Jika postmodernisme adalah logika kultural
kapitalisme lanjut (cultural logic of late capitalism), apakah itu
tidak sangat cocok dengan waktu? Namun karya Mandel, Late
Capitalism, tentang mana Jameson mendasarkan konsepsinya
untuk tahap baru dalam perkembangan kapitalis, berawal dari
kedatangan umumnya dari tahun 1945 — sementara Jameson
menempatkan kemunculan postmodern pada awal 1970-an.
Bahkan jika dapat dinyatakan bahwa realisasi penuh model
Mandel tidak datang dalam semalam, namun kesenjangan
yang demikian tetap mengganggu. Callinicos dan Harvey,
yang benar-benar menulis pada saat bersamaan, menarik
kesimpulan-kesimpulan yang berlawanan. Harvey, yang karya
awalnya berjudul The Limits of Capital, telah menguraikan teori
Marxis paling orisinil dan sistematis untuk krisis ekonomi,
dengan menyatakan bahwa lahirnya postmodernitas, yang
dengan benar ditempatkan menuju permulaan tahun 1970-
an, pada kenyataannya, merefleksikan keterputusan sezaman
dengan model perkembangan kapitalis pasca-perang. Dengan
resesi tahun 1973, Fordisme — yang dihancurkan oleh
meningkatnya kompetisi internasional, dan yang membuat
jatuh laba-laba perusahaan dan mempercepat inflasi — telah
tenggelam ke dalam krisis akumulasi yang berlebihan (crisis of
overaccumulation) yang tertunda lama.

1
Lihat Mike Davis, “Urban Renaissance and the Spirit of Postmodernism”,
New Left Review, No. 151, Mei-Juni 1985, hal. 106-113.

116
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Sebagai tanggapan, rezim baru “akumulasi fleksibel”


(flexible accumulation) telah muncul, saat modal meningkatkan
ruang­nya untuk manuver di semua papan. Periode baru
menyaksi­kan fleksibilitas yang lebih besar dari pasar-pasar
tenaga kerja (kon-trak-kontrak sementara; cucuran keringat
imigran dan domestik), proses-proses manufaktur (yang keluar
dari pabrik-pabrik; produksi tepat waktu), hasil-hasil komoditas
(pengiriman dalam tumpukan besar), dan yang paling penting
adalah operasi-operasi finansial terderegulasi (deregulated
financial operations), dalam sebuah pasar dunia tunggal (single
world market) untuk uang dan kredit. Ini adalah sistem spe­
kulatif yang resah, yang merupakan dasar eksistensial dari
berbagai bentuk budaya post-modern, yang realitas dan
keterbaruannya tidak diragukan — kebijakan yang erat terkait
dengan dematerialisasi uang (dematerialization of money),
keberlang­sungan mode yang hanya sebentar (ephemera-lity
of fashion), persediaan simulasi yang melimpah ruah (glut of
simulation) dalam perekonomian yang baru. Tidak satupun
darinya yang memuncak sampai ke perubahan mendasar dalam
model produksi yang demikian — membiarkan sendiri solusi
tekanan-tekanan overakumulasi berjangka panjang, yang masih
sedang menjalani pengentalan penurunan keberanian modal
besar-besaran yang dibutuhkan. Sesungguhnya, akumulasi
fleksibel itu sendiri tidak bisa dijelaskan sebagai dominan secara
universal; secara lebih khusus, ia hidup berdampingan dengan
pola-pola campur dengan bentuk-bentuk Fordis yang lama, dan
bahkan perubahan-perubahan dari satu ke lain bentuk yang
sama sekali tidak selalu dapat dibalikkan.2 Apa yang secara
kritis harus diubah, adalah posisi dan otonomi pasar-pasar
2
The Condition of Postmodernity, Oxford 1990, hal. 121-197.
Seimbangnya karya ini sangatlah mengesankan.

117
ASAL-USUL POST MODERNITAS

uang dalam kapitalisme, yang mengepung pemerintahan-


pemerintahan nasional, yang instabilitas sistemiknya (systemic
instability) diserang oleh jenis serangan yang belum pernah
terjadi sebelumnya.
Callinicos, di lain pihak, membalikkan garis argumen ini.
Sementara benar bahwa modal global (global capital) saat ini
lebih terintegrasi dibanding yang pernah terjadi sebelumnya,
dan memiliki ting-kat mobilitas yang baru, namun cara ini
menambah “keterputusan” dalam sejarah kapitalisme. Karena
negara-negara nasional mempertahankan kekuatan regulasinya
yang substansial, seperti keberhasilan ironis keynesianisme
militer Reagan dalam meratakan kembali perekonomian
dunia telah ditunjukkan pada tahun 1980-an. Seperti halnya
dengan ciri-ciri “akumulasi fleksibel” yang lain, keadaan paling
diper­buruk atau dimitoskan: kekuatan tenaga kerja kurang
tersegmentasi, produksi tumpukan besar (batch production)
yang kurang tersebar luas, sektor jasa kurang penting dibanding
teori-teori yang diusulkan pasca-Fordisme — sama seperti
Fordis­me itu sendiri yang merupakan gagasan yang dihem-
buskan, yang mem­proyeksikan dominansi homogen produksi
massa ter­stan­dardisasi (standardized mass productioni) yang
belum pernah ada, menyelamatkan sejumlah industri bertahan
konsumen yang terbatas. Demikian juga, postmodernisme
sebagai sekum­pulan praktek artistik yang beda — membiarkan
sendiri dominan budaya — terutama sebagai isapan jempol.
Setiap perangkat estetis atau ciri yang benar-benar dipertalikan
dengan postmodernisme — bricolage tradisi, bermain dengan
pendesen­trisasi subjek figuralitas, hasil karya seni (pastiche),
cangkokan, reflek­sivitas dan populer — yang dapat ditemukan
dalam modern­isme. Tidak ada keterputusan kritis yang bisa
dilihat di sini juga.

118
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Apa yang dapat diamati adalah sesuatu yang berbeda:


yaitu degradasi modernisme (degradation of modernism) itu
sendiri yang bertahap, seakan telah semakin terkomoditi dan
terintegrasi ke dalam ling-karan-lingkaran arus modal pasca-
perang (circuits of post-war capital). Bagaimanapun, sumber-
sumber kemunduran ini akan dilacak dari kejadian pertama, tidak
sebanyak perubahan-perubahan ekonomi yang lebih besar, atau
setiap logika estetis yang abadi, seperti sejarah politik zaman
ini secara lebih lang-sung. Secara historis, modernisme telah
mencapai titik puncaknya dengan pengelompokan gerakan-
gerakan avant-garde revolusioner di antara dua perang —
konstruktivisme di Rusia, ekspresionisme dan neue Sachlichkeit
di Jerman, surealisme di Prancis. Kemenangan Stalin dan Hitler
itulah yang menghabisi gerakan-gerakan tersebut. Secara
analog, postmodernisme — secara estetis lebih kecil dari
putaran kecil dalam spiral modernisme yang turun ke bawah —
meskipun secara ideologi menjadi kepentingan yang jauh lebih
besar — seharusnya dilihat sebagai produk dari kekalahan politik
generasi radikal (radical generation) akhir tahun 1960-an. Dengan
harapan-harapan revolusioner yang dikecewakan, kelompok
ini telah menemukan kom-pensasi dalam hedonisme sinis
(cynical hedonism) yang menemukan tempatnya yang nyaman
dalam ledakan overkonsumsi tahun 1980-an. “Penghubung ini
— kemakmuran kelas menengah baru Barat (prosperity of the
Western new middle class) berkombi-nasi dengan penjelasan
politis yang sebenarnya (political disillusionment) banyak
anggotanya yang paling terkenal — memberikan konteks bagi
perkembangbiakan pembicaraan postmodernisme”.3

3
Against Postmodernism, Cambridge 1989, hal. 168.

119
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Diagnosis-diagnosis yang sedemikian dikon-traskan,


yang dicapai dari titik keberangkatan bersama, menampilkan
masalah yang menempatkan postmodern dengan suatu akurasi
secara akut. Dalam sketsa asal-usul modernisme (origins of
modernism) dalam Belle Epoque Eropa, saya pernah menyatakan
bahwa yang paling baik dipahami sebagai hasil dari medan
kekuatan yang dibentuk segitiga oleh tiga koordinat: ekonomi
dan masya-rakat semi industri yang masih baru, dimana orde
yang mengatur tetap untuk bidang pertanian luas signifikan
atau aristokratis; teknologi dengan pe-nemuan-penemuan
dramatis, yang dampaknya tetap segar atau baru saja dimulai;
dan horison politik yang terbuka, dimana pergolakan-pergolakan
revolusioner (revolusionary upheavels) merupakan satu dan lain
jenis yang melawan orde yang menonjol yang sangat diharapkan
atau sangat ditakuti.4 Di ruang yang sedemikian terikat, varasi-
variasi yang luas dari inovasi-inovasi artistik dapat meledak
— simbolisme, imagisme, ekspresionisme, kubisme, futurisme,
konstruktivisme: beberapa kenangan klasik yang mengejar
buruannya atau gaya-gaya patrician (patrician styles), dan
lain-lain yang digambarkan dalam puisi-puisi tentang mesin-
mesin baru, namun yang lain dibakar oleh visi-visi pergolakan
sosial (visions of social upheavel); tetapi tidak satupun yang
mendapatkan kedamaian dengan pasar sebagai prinsip budaya
modern yang mengatur — dalam pengertian itu, benar-benar
tanpa pengecualian anti-borjuis.
Perang Dunia Pertama, yang menghancurkan rezim-
rezim lama di Rusia, Austro-Hungaria, dan Jerman, serta
memperlemah para tuan tanah di mana saja, berubah, tetapi
4
“Modernity and Revolution”, New Left Review, No. 144, Maret-April
1984; dicetidak ulang, dengan catatan tambahan (1985), dalam A Zone of
Engagement, London 1992, hal. 25-55.

120
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tidak membalikkan keadaan ini. Kelas-kelas atas Eropa dan train


de vie mereka lebih banyak dibanding sebelumnya, bentuk-
bentuk lanjut organisasi industri dan konsumsi massa — ide
Fordisme Gramsci — tetap sangat terbatas di Amerika Serikat;
revolusi dan kontra-revolusi bertarung dari Vistula sampai
ke Ebro. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, gerakan-gerakan
perintis seni (avant-garde movements) dan bentuk-bentuk
kekuatan besar terus muncul — Opojaz di Rusia, Bauhaus di
Jerman, surealisme di Prancis. Penggalan sejarah muncul
bersama Perang Dunia Kedua, yang hasilnya menghancurkan
elit-elit agraria lama dan gaya hidup mereka untuk sebagian
besar wilayah Eropa daratan, dengan terpasangnya demokrasi
kapitalis yang stabil (installed stable capitalist democracy) dan
ketahanan konsumen terstandardisasi (standardized consumer-
durables) di Barat, serta keberanian ideal-ideal revolusi (gutted
the ideals of revolution) di Timur. Dengan semua kekuatan
yang secara historis telah didorong pergi, élan modernisme
dihabisi. Modernisme telah hidup dari non-sinkronius — apa
yang merupakan masa lalu atau masa depan dalam masa kini
(what was past or future in the present) — dan mati dengan
kedatangan ketersezamanan murni: sifat tetap monoton orde
Atlantik pasca-perang. Dengan demikian, seni yang masih akan
tetap radikal secara rutin ditakdirkan bagi integrasi komersial
(commercial integration) atau kepemilihan kelembagaan
(institutional cooption).
Banyak yang bisa dikatakan tentang uraian cepat ini,
dengan cara ekspansi atau kritisisme, saat ini. Kritik mengundang
nuansa yang lebih geografis. Apa yang menentukan lereng
entusiasme teknologis (technological enthusiasm) dalam bentuk-
bentuk modernisme awal ini? Mengapa Inggris tampaknya

121
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sedemikian tandus dari gerakan-gerakan inovatif — atau


benarkah tandus sama sekali? Dapatkah surealisme dianggap
hanya sebagai yang terakhir dalam serangkaian gerakan
perintis seni terbesar di antara dua perang, atau apakah ia juga
menggambarkan sesuatu yang baru? Jawaban-jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan harus melihat secara
lebih dekat pada kekhususan-kekhususan nasional dari budaya-
budaya berbeda zaman ini. Secara skematis, misalnya, orang
dapat menggambarkan spektrum sikap-sikap ideal dengan
keajaiban-keajaiban mekanis baru awal abad ke20, yang secara
terbalik bervariasi dengan tingkat pencangkokannya: dua
kekuatan daratan Eropa secara paling industrial terbalik, Italia
dan Rusia, yang menghasilkan perintis-perintis teknisi paling
kuat, dengan futurisme mereka masing-masing; sementara
Jerman, yang mengkombinasikan industri majunya di Barat
dengan lanskap Timurnya yang memburuk, terpecah antara
kebencian ekspresionis dan pengambilhatian Metropolis
Bauhaus; Prancis, di lain pihak, dengan pola produksi kecilnya
yang makmur secara paling sederhana di kota dan desa,
memungkinkan sintesis dalam surealisme yang lebih bercanda,
persisnya tergiur oleh saling berjalinnya yang lama dan yang
baru. Seperti halnya dengan Inggris, kegagalan impulsi-impulsi
modernisnya yang cemerlang untuk menahan apa yang tentu
saja terkait dengan ketiadaan suatu benang pemberontak besar
dalam gerakan pekerja. Tetapi juga tidak diragukan inilah fungsi
industrialisasi awal, dan perkembangan bertahap perekonomian
terurbanisasi secara melimpah ruah namun yang telah terikat
tradisi, yang kelambanannya bertindak sebagai penyangga
melawan kejutan zaman mesin baru (new machinc-age) yang
menggalvanisir para perintis seni di mana-mana.

122
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Tetapi yang lebih penting adalah batas-batas tulisan yang


dilacak kembali di atas, akan diketemukan pada akhir cerita,
dan bukan pada permulaan cerita. Titik potong yang dinyata­
kan untuk modernisme setelah tahun 1945 tentu saja terlalu
tergesa-gesa. Sejarah Peter Wollen penuh dengan penunjuk-
an hal itu. Keabsahan para perintis seni pra-perang tidak dapat
dibedakan hanya dalam semalam, karena masih harus berdiri
sebagai model dan kenangan internal, tidak masalah betapa tidak
menguntungkannya situasi-situasi luar untuk mere-produksikan­
nya. Di Amerika, ekspresionisme abstrak menawarkan ilustrasi
tajam dan pedas tentang situasi baru ini. Secara formal, isyarat
modernis yang dijadikan contoh, keterputusan kolektif paling
radikal dengan figuralitas sampai hari ini, kelompok New York
ber­jalan dari loteng di bawah atap sampai ke perwujudan
sempurna (apotheosis) dengan — diucapkan secara komparatif
— kecepatan yang seperti kilat, menandai sesuatu yang cukup
baru dalam sejarah seni lukis. Inilah perintis seni yang menjadi
ortodoksi dalam rentang kehidupannya sendiri yang pendek,
yang dikapitalisasi sebagai investasi simbolis (symbolic investment)
dengan uang besar dan diumumkan sebagai nilai ideologis oleh
negara. Namun Perang Dingin membunyikan terompet seni ini
dengan USIA yang memiliki ironi ganjil. Koneksi-koneksi dengan
surealisme adalah vital dalam ekspresionisme abstrak, dan
politik para pelukisnya yang terkenal hampir tidak bisa diajukan
dari kegunaannya sebagai ketentuan moral bagi Dunia Bebas:
Rothko adalah anarkis, Motherwell adalah sosialis, dan Pollock
— dengan opini pribadinya tentang Greenberg, kampiun publik
terbesar — bukan apa-apa selain dari “stalinis kedewaan (goddam
stalinist) dari awal sampai akhir”.5
5
Lihat T.J. Clark, “In Defense of Abstract Expressionism”, Oktober, No.
69, Musim Panas 1994, hal. 45.

123
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Di Eropa, dimana logika pencaplokan (annextionist logic)


pasar seni pasca-perang kurang melimpah, dan kekuatan-
kekuatan penolakan signifikan untuk sistem Perang Dingin
bertahan di Barat, kontinuitas-kontinuitas dengan tujuan-
tujuan pemberontak para perintis seni antar-perang jauh
lebih kuat. Surealisme masih dapat memicu proyek-proyek
berurutan yang kurang lebih diterima dalam gambarnya, seperti
yang ditunjukkan oleh Wollen dalam rekonstruksi detailnya
tentang gerakan COBRA dan lettrismenya terhadap Situasionis
Internasional.6 Di sini, ambisi heroik para perintis seni historis —
transfigurasi seni dan politik-politik yang sejenis — memancar
pada kehidupan sekali lagi. Tetapi bahkan sebelum klimaks
tahun 1968, penyatuan telah menjadi longgar. Pada hakekatnya,
sayap-sayap artistik situasionisme adalah produk dari daerah
pinggiran: Denmark, Belanda, Belgia, Piedmont, di mana sistem
galerinya lemah. Kepala politik dipusatkan di Prancis, di mana
militansi revolusioner (revolutionary militancy) dan pasar seni (art
market) jauh lebih kuat, dengan menciptakan medan kecurigaan
dalam Internasional tempat para artis membayar harganya, dalam
pengusiran atau keberangkatan; dengan menyalahkan SI yang
pada gilirannya ke dalam keadaan bahaya, dan kesementaraan,
dari suatu politisasi yang berlebihan. Petualangan besar lain
pada tahun-tahun ini berlangsung lebih lama. Dengan beberapa
cara yang secara aneh sejajar dengan titik potong, sinema
Godard bergerak secara tetap menuju bentuk-bentuk yang
lebih radikal — dengan bulat panjang naratif, puntiran antara
bunyi dan gambar, judul halaman didaktik — pada periode yang
sama, melemparkan serial yang mendekati karya-karya agung,
sebelum memuncak dalam tawaran meningkat yang membuat

6
Raiding the Icebox, hal. 135-150.

124
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tertawa tanpa bisa ditahan di ujung tahun 1968. Kemudian,


penarikan Godard ke Swiss bisa dibandingkan dengan pelarian
Jorn ke Liguria atau Denmark: jenis produktivitas berbeda,
yang sekali lagi berada di daerah pinggiran.
Seperempat abad setelah berakhirnya permusuhan
dengan demikian tampak dalam peninjau-an peristiwa antar-
masa pemerintahan (retrospect an interregnum), dimana energi
kaum modernis tidak tunduk pada penundaan tiba-tiba, tetapi
tetap menyala secara berselang-seling di sana-sini, apabila
kondisi-kondisi memungkinkan, di dalam iklim umum yang
tidak dapat diberi tumpangan. Tidak sampai setelah perputaran
tahun 1970-an bahwa dasar bagi konfigurasi yang sama sekali
baru dikerjakan. Jika kita ingin memperbaiki kemunculan
postmodernisme secara lebih akurat, salah satu caranya
adalah dengan melihat apa yang telah menggantikan faktor-
faktor penentu pokok modernisme (principal determinant of
postmodernism). Pada kenyataannya, karya Jameson berisikan
banyak penunjuk perubahan-perubahan yang paling rele-van,
yang mana pengaturan kembali yang paling kecil mendukung
fokus lebih persis yang dibutuhkan. Postmodernisme dapat
dianggap sebagai bidang budaya yang dibentuk segitiga
(cultural field triangulated), dengan pembalikannya, menurut
tiga koordinat historis yang baru. Yang pertama terletak pada
nasib penguasa atau orde yang memerintah itu sendiri. Pada
akhir Perang Dunia Kedua, kekuatan tradisi aristokratis telah
menerima pukulan mereka yang mematikan di seluruh Eropa
kontinental. Tetapi bagi generasi yang lain, perubahan tradisi-
onalnya — kawan dan lawan — bertahan. Kita masih bisa
membicarakan kaum borjuis sebagai kelas, dalam arti istilah
dimana Max Weber dapat berkata dengan bangga bahwa ia

125
ASAL-USUL POST MODERNITAS

termasuk kelas itu. Yaitu dengan berkata, kekuatan sosial dengan


pengertian identitas kolektifnya sendiri, yang mencirikan
kode-kode moral dan habitat budaya. Jika kita menginginkan
potongan dunia visual tunggal ini, inilah potongan dengan
mana orang-orang masih mengenakan topi. Amerika Serikat
memiliki versinya dalam bentuk uang lama dari kemapanan
Timur (Eastern establishment).
Schumpeter selalu menyatakan bahwa kapi-talisme,
sebagai sistem ekonomi amoral (amoral economic system) yang
secara intrinsik didorong oleh pengejaran laba, telah meng­
hancurkan semua hambatan untuk kalkulasi pasar, yang secara
kritis bergantung pada pra-kapitalis — dalam golongan kebang­
sawan pokok — nilai-nilai dan cara-cara untuk mendapatkannya
bersama sebagai tatanan sosial dan politik. Tetapi “dengan
peng­elilingan” aristokratis ini, seperti yang ia katakan,
khususnya diperkuat oleh struktur dukungan kedua, dalam
kepercayaan lingkungan borjuis martabat moral panggilannya
sendiri: secara subjektif lebih men-dekati potret-potret Mann
daripada Flaubert. Di zaman Rancangan Marshall dan kelahiran
Masyara-kat Eropa, dunia ini dihidupkan. Di bidang politik,
figur-figur penting seperti Adenauer, De Gasperi, Monnet
mewujudkan persistensi ini — hubungan politik mereka dengan
Churchill atau De Gaulle, kehebatan dari masa lalu seigneurial,
seakan kesan setelah kepadatan orisinil yang secara sosial tidak
valid lagi. Tetapi, seakan dibalikkan, dua kurung dalam struktur
lama ini lebih saling bergantung daripada yang tampak pada
mulanya.
Karena dalam rentang dua puluh tahun kemudian, kaum
borjuis juga — dalam setiap pengertian ketat, sebagai kelas
yang memiliki kesadaran diri dan moral — semuanya musnah.

126
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Di sana sini, kantongkantong keadaan kaum borjuis tradisional


masih bisa ditemukan di kota-kota kedaerahan Eropa, dan
barangkali di daerah-daerah tertentu Amerika Utara, khususnya
yang dipelihara oleh kelompok taat beragama: jaringan-
jaringan keluarga di tanah-tanah Veneto atau Basque, bangsa-
wan-bangsawan konservatif di Bordelais, bagian-bagain dari
Mittelstand Jerman, dan sebagainya. Tetapi bagaimanapun,
kaum borjuis seperti Baudelaire atau Marx, Ibsen atau
Rimbaud, Grosz atau Brecht — atau bahkan Sartre atau O’Hara
— memahaminya, bahwa itu adalah sebagai bagian dari masa
lampau. Sebagai pengganti gedung ampi-teater yang kokoh
(solid amphitheater) itu terdapat akuarium dengan bentuk-
bentuk mengambang yang menghilang — proyektor-proyektor
dan manajer-manajer, auditor dan penjaga-penjaga gedung,
administrator dan spekulator modal sezaman: fungsi-fungsi
alam semesta moneter yang tidak mengetahui kestabilan-
kestabilan sosial (social fixities) atau identitas-identitas stabil
(stable identities).
Bukan bahwa mobilitas antargenerasi (intergenerational
mobility) yang semakin meningkat di dalam masyarakat-
masyarakat kaya dunia pasca-perang. Ini semua tetap
distratifikasi secara objektif seperti sebelumnya. Tetapi penanda-
penanda budaya dan psikologis posisi telah semakin terkikis
secara tetap di antara mereka yang menikmati kekayaan atau
kekuasaan. Agnelli atau Wallenberg sekarang membangkitkan
masa lalu yang jauh, pada zaman dimana selubung-selubung
khasnya adalah Milken atau Gates. Dari tahun 1970-an ke
depan, personil menonjol negara-negara terbesar berganti bulu
juga — Nixon, Tanaka, Craxi adalah di antara bulu-bulu baru itu.
Secara lebih luas, di bidang pemerintahan, demokratisasi cara-

127
ASAL-USUL POST MODERNITAS

cara dan ketiada-an hambatan lebih lanjut menyatu. Sudah


lama, para sosiolog telah memperdebatkan pemborjuisan kelas
pekerja (embourgeoisment of the working-class) di Barat — tidak
pernah menjadi istilah yang sangat menggembirakan untuk
proses-proses pada persoalan itu. Menjelang tahun 1990-an,
bagaimanapun, fenomena lebih menyolok adalah penyaluran
umum kelas-kelas yang memiliki — seakan: putri-putri bintang
harapan muda dan presiden-presiden bola — yang tipis dan
tidak kuat, ranjang-ranjang untuk disewakan di pemukiman
resmi dan uang sogok untuk iklan-iklan pembunuh, disneyfikasi
protokol-proto-kol (disneyfication of protocols) dan tarantinisasi
prak-tek-praktek (tarantinization of practices), orang-orang
pengiring yang begitu gemar akan jalan melintang di bawah
jalan lain pada malam hari atau pasukan gubernuran. Dalam
adegan-adegan seperti ini terletak banyak latar belakang sosial
postmodern.
Untuk apa lanskap ini berarti adalah, bahwa dua kondisi
modernisme telah lenyap menurut ucapan. Tidak ada lagi sisa
kemapanan akademisi (academicist establishment) terhadap
mana seni maju yang dapat membuat lobang sendiri. Secara
historis, konvensi-konvensi seni akademis selalu erat terkait,
bukan hanya dengan representasi diri kelas atas atau kelas
bertitel, tetapi juga kebajikan dan pretensi-pretensi kelas
menengah tradisional yang ada di bawahnya. Dengan berlalunya
dunia borjuis, kumparan estetis (aesthetic foil) ini hilang. Titel dan
kedudukan bungkusan anak nakal seram paling berhati-hati di
Inggris ini tampaknya mengatakan segala hal: Sensasi — dengan
alamat Royal Academy. Demikian juga, modernisme mengetuk
energi-energi keras pemberontakan melawan moralitas zaman
yang resmi — standard-standard penindasan dan hipokrisi yang

128
ASAL-USUL POST MODERNITAS

distigmatisasi secara jahat, dengan alasan, sespesifik kaum


borjuis. Pembuangan barang-barang keluar untuk mengurangi
beban dari setiap pretensi nyata yang menahan standard-
standard tersebut, secara meluas tampak dari tahun 1980-
an ke depan, satu-satunya adalah mempengaruhi situasi seni
yang berlawanan: sekali moralitas borjuis dalam pengertian
tradisional sudah berakhir, seakan seperti penguat yang tiba-
tiba terpotong. Modernisme, dari sumber-sumber paling
awalnya dari Baudelaire atau Flaubert ke depan, benar-benar
mendefinisikan diri sebagai “anti-borjuis”. Postmodernisme
adalah apa yang terjadi ketika, tanpa kemenangan pun, yang
merugikan itu berlalu atau menghilang.
Kondisi kedua dapat dilacak dari evolusi teknologi
(evolution of technology). Modernisme diperkuat oleh
kegembiraan sekelompok besar penemuan-penemuan baru
yang mengubah bentuk kehidupan kota pada awal tahun-
tahun abad ini: kapal-kapal samudera, radio, sinema, gedung
pencakar langit, mobil, pesawat terbang, dan pembuatan mesin
dinamis menurut konsepsi abstrak yang ada di belakangnya.
Ini semua memberikan gambar-gambar dan kondisi-kondisi
bagi banyak seni paling orisinil pada periode itu, dan semua
darinya memberikan rasa yang mencakup perubahan cepat.
Masa antarperang membaik dan memperluas teknologi-
teknologi penting tinggal landas modernis dengan kedatangan
perahu terbang, mobil terbuka untuk dua orang, bunyi dan
warna di atas layar, autogyro, tetapi yang secara signifikan tidak
menambah daftar mereka. Glamour dan kecepatan, lebih dari
sebelumnya, menjadi catatan-catatan dominan dalam daftar
perseptual. Inilah pengalaman Perang Dunia Kedua yang tiba-
tiba mengubah keseluruhan Gestalt ini. Kemajuan ilmiah untuk

129
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pertama kalinya saat ini mengasumsikan bentuk-bentuk yang


secara tidak salah mengancam, sebagai peningkatan teknis
konstan yang melepaskan tali instrumen-instrumen destruksi
dan kemati-an yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, yang
menghentikan ledakan-ledakan nuklir demonstratif. Jenis
mesin-mesin lain yang secara tidak terbatas lebih hebat,
yang jauh melampaui tingkat pengalaman sehari-hari, namun
mencetak bayangan penuh bungkusan atasnya, kini telah tiba.
Setelah semua pandangan sekilas pewahyuan ini, leda­
kan pasca-perang mengubah ketenangan mekanis yang lebih
dekat di tangan dan cara-cara yang berjalan langsung. Pro­­duksi
perang, di atas semuanya — jika bukan hanya — di Amerika,
telah mengkonversi inovasi teknologi menjadi prinsip perma­
nen hasil produksi industri, dengan memo-bilisasi budget-
budget riset dan tim-tim desain untuk kompetisi militer.
Dengan re­konstruksi waktu damai dan ledakan pasca-perang
yang panjang, produksi massal barang-barang terstandardisasi
meng­inte­grasikan dinamika yang sama. Hasilnya adalah versi
industri parabola spiritual Weber: ketika aliran yang baru ter­­jadi
dalam kontinuitas arus yang sama itu juga, karisma teknik di­
ubah bentuk menjadi rutin, dan kehilangan kekuatan-kekuatan
mag­netisnya bagi seni. Sebagian juga, kedangkalan ini me­
reflek­si­kan ketiadaan, di tengah-tengah kelimpahan pening­
katan-peningkatan yang tiada henti, dari setiap kelompok pene­
muan-penemuan menentukan yang sebanding dengan pene­
muan-penemuan era sebelum Perang Dunia Pertama. Untuk
keseluruhan periode, kegembiraan modern ini berkurang secara
diam-diam, tanpa banyak mengubah medan visual orisinilnya.
Perkembangan yang mengubah segala sesuatu adalah
televisi. Inilah kemajuan teknologi pertama dari momen historis

130
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dunia pada zaman pasca-perang. Dengan televisi, lonjakan


kualitatif dalam kekuatan komunikasi massa telah tiba. Radio
jelas telah terbukti, pada tahun-tahun antar-perang dan masa
perang, menjadi instrumen penangkapan sosial yang jauh lebih
kuat dibanding barang cetak: bukan hanya dengan alasan
kebutuhannya yang lebih kecil atas kualifikasi kependidikan,
atau kedekatan penerimaan yang lebih dekat, tetapi yang paling
penting adalah karena jangkauan temporalnya. Penyiaran
seputar jam menciptakan pendengar-pendengar yang secara
potensial permanen — audiensi-audiensi yang terjaga dan
mendengarkan jam-jam itu dapat dipersatukan di atas limit.
Efek ini hanya dimungkinkan, tentu saja, karena pemisahan
telinga dari mata, yang berarti bahwa sedemikian banyak
aktivitas — makan, bekerja, melakukan perjalanan, relaksasi —
dapat dijalankan dengan radio sebagai latar belakang. Kapasitas
televisi dalam memerintahkan atensi pada “audiensinya” jauh
lebih besar dan tidak terukur, karena bukan hanya: mata
ditangkap sebelum telinga dipasang. Media baru apa yang
diangkat adalah kombinasi dari kekuatan yang tidak terimpikan:
ketersediaan radio yang terus-menerus dengan persamaan
monopoli cetak perseptual, yang meniadakan bentuk-bentuk
atensi lain oleh pembaca. Kejenuhan imajiner (saturation of the
imaginary) merupakan tatanan yang lain.
Pertama dipasarkan pada tahun 1950-an, televisi
tidak memerlukan kemenonjolan terbesar sampai awal tahun
1960-an. Tetapi selama layarnya masih hitam-putih, media —
apapun manfaat-manfaat lainnya — mempertahankan tanda
inferiori-tas (mark of inferiority), seperti jika secara teknis
masih sebagai anak yang terlambat melangkah dari sinema.
Momen yang sebenarnya dari meningkat-tingginya televisi

131
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tidak muncul sampai kedatangan televisi berwarna, yang per­


tama kali menjadi umum di Barat pada awal tahun 1970-an,
dan memicu krisis dalam industri film yang efek-efek box-
office­-nya masih tetap bersama kita. Jika ada satu batas air
teknologi tunggal dari postmodern, batas air itu terletak di sini.
Jika kita bandingkan keadaannya, televisi telah menciptakan
pembuka abad ini, perbedaan dapat ditempatkan cukup
seder­hana. Dulu, dalam sorak kegirangan atau tanda bahaya,
modernisme dirampas oleh gambar-gambar mesin (images of
machinery); sekarang, postmodernisme akan menguasai mesin
gambar-gambar (machinery of images). Dalam dirinya sendiri,
perangkat televisi atau terminal komputer, yang mana pada
akhirnya ia akan muncul, secara ganjil mengosongkan objek-
objek — meniadakan zona-zona rumah tangga atau interior
biro­­kratis yang bukan hanya tidak cocok sebagai “konduktor
energi jiwa” (conductors of psychic energy), tetapi cenderung
mene­­tralisasikannya. Jameson telah mengatakan ini dengan
kekuatan karakteristik: “Mesin-mesin baru ini dapat dibedakan
dari ikon-ikon futuris lama dengan dua cara yang berhubungan:
mesin-mesin ini semuanya adalah sumber reproduksi, lebih dari
sekedar ‘produksi’ dan bukan lagi benda-benda padat pahatan
(sculptural solids) dalam ruang. Peletakan komputer jarang me­
wujud­kan atau memanifestasikan energi-energi ganjil (peculiar
ener­gies) dengan cara sama dimana bentuk sayap (wing shape)
atau cerobong asapnya yang miring (slanted smokestack) be­
kerja”.7
Di lain pihak, dengan gambar yang menan-tang (image-
resistant) itu sendiri, mesin-mesin itu menuangkan aliran

7
Signature of the Visible, New York 1992, hal. 61; juga Postmodernism,
hal. 36-37.

132
ASAL-USUL POST MODERNITAS

gambar yang deras (torrent of image), dengan volume yang


tidak dapat disaingi oleh seni. Lingkungan postmodern yang
teknis dan menentukan diwujudkan oleh “Niagara dinding
muka visual” (Niagara of visual gabble) ini.8 Sejak tahun 1970-
an, penyebaran perangkat-perangkat tatanan kedua dan
pemosisian-pemosisian pada sebanyak praktek estetis hanya
dapat dipahami dengan menggunakan realitas primer ini. Tetapi
kemudian, tentu saja, ini bukan hanya sekedar gelombang
gambar-gambar (wave of images), tetapi juga — dan yang paling
penting — pesan-pesan. Marinetti atau Tatlin dapat mendirikan
ideologi dari mekanis, tetapi sebagian besar mesin itu sendiri
hanya berkata sedikit. Peralatan-peralatan baru, sebaliknya,
adalah mesin-mesin emosi yang terus-menerus, yang me­man­­
car­kan percakapan-percakapan yang berupa ideologi dinding
ke dinding, dalam pengertian istilah yang kuat. Suasana intelek­
tual postmodernisme, lebih sebagai doxa daripada sebagai seni,
menarik banyak impulsinya dari tekanan bidang ini. Karena
postmodern adalah ini juga: indeks perubahan kritis (index of
critical change) dalam hubungan antara teknologi maju (advanced
technology) dengan imajiner populer (popular imaginary).
Koordinat ketiga situasi baru ini, tentu saja, terletak
pada perubahan-perubahan politik saat itu. Permulaan Perang
Dingin, setelah tahun 1947, telah membekukan batas-batas
strategis dan mendinginkan semua harapan pemberontakan di
Eropa. Di Amerika, gerakan buruh dinetralkan dan kelompok
Kiri dibatasi. Stabilisasi pasca-perang diikuti dengan periode
pertumbuhan internasional tercepat dalam sejarah kapitalisme.
Pemerintahan lima puluh negara Atlantik, yang menyatakan

8
Ucapannya Robert Hughes: Nothing if Not Critical, New York 1990, hal.
14.

133
ASAL-USUL POST MODERNITAS

berakhirnya ideologi (the end of ideology), tampaknya menyam­


paikan dunia politik tahun 1920-an dan 1930-an ke masa lalu
yang jauh. Angin revolusi, yang pernah dilancarkan oleh para
perintis seni, telah berlalu. Khususnya, pada periode ini, ketika
sebagian besar eksperimen hebat tampaknya berlalu, dimana
gagasan “modernisme” memerlukan arus sebagai istilah yang
kom­­prehensif, akan membatasi ajaran karya-karya klasik di­
mana saat ini para kritikus yang sezaman telah meninjaunya
kembali.
Namun penampilan keluar penyelubungan lengkap
horison-horison politik di Barat, untuk periode keseluruhan,
tetap menipu. Di Eropa daratan, partai-partai Komunis massa
di Prancis dan Italia — dan gerakan-gerakan bawah tanah di
Spanyol, Portugal dan Yunani — tetap tidak bisa didamaikan
dengan pemerintahan yang ada; tidak masalah bagaimana
moderatnya taktik mereka, gerakan eksistensi mereka sebagai
“perangkat penghafal atau pembantu ingatan (mnemonic device)
sebagaimana adanya, mendapatkan tempat di hala-man-
halaman sejarah” karena kebangkitan kembali aspirasi-aspirasi
yang lebih radikal.9 Di Uni Soviet, turunnya Stalin melepaskan
tali proses-proses re-formasi yang tampaknya di era Khrushchev
akan bergerak menuju model Soviet yang lebih internasionalis
dan kurang menekan — model yang bekerja untuk membantu,
lebih dari membuat frustrasi gerakan-gerakan pemberontak di
luar negri. Di Dunia Ketiga, dekolonisasi sedang menggoncang
benteng-benteng pertahanan terbesar pemerintahan kerajaan
yang longgar, dan dalam serangkaian pergolakan revolusioner
— Indocina, Mesir, Algeria, Kuba, Angola — menghasilkan
kemerdekaan pada banyak wilayah lebih luas. Di Cina, birokrasi

9
Marxism and Form, hal. 273.

134
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang telah mapan menjadi target gerakan yang diorkestrakan


oleh Mao, yang membangkitkan ideal-ideal Komune Paris.
Keadaan yang demikian, dengan campuran realitas-
realitas dan ilusi-ilusinya, karena berjalinnya energi-energi
revolusioner, meledak tiba-tiba di antara pemuda terdidik
dari negara-negara kapitalis maju — bukan hanya di Prancis,
Jerman atau Italia, tetapi juga di Amerika Serikat atau Jepang
— pada tahun 1960-an. Gelombang pemberontakan maha-
siswa, dengan cepat, jika secara lebih selektif, diikuti dengan
pergolakan buruh — yang paling terkenal, pemogokan umum
pada bulan Mei-Juni 1968 di Prancis, Musim gugur yang Panas
di Italia tahun 1969 dan buntutnya yang berlarut-larut, serta
pemogokan-pemogokan buruh tambang tahun 1973-1974 di
Inggris. Dalam kekacauan besar ini, gaung-gaung dari masa lalu
Eropa (Fourier, Blanqui, Luxemburg: belum lagi kita bicarakan
Marx sendiri), Dunia Ketiga hadir (Guevara, Ho Chi Minh,
Cabral) dan Komunis masa depan (“revolusi kebudayaan” yang
digambarkan oleh Lenin atau Mao) berselang-silang untuk
menciptakan ragi politik (political ferment) yang tidak terlihat
sejak tahun 1920-an. Pada tahun-tahun ini juga, topangan-
topangan vital tatanan moral tradisional, yang mengatur
hubungan-hubungan antara dua generasi dan dua jenis kelamin,
mulai menyerah. Tidak seorang pun yang telah melacak kembali
parabola saat itu lebih baik dibanding Jameson, dalam esainya
“Memperiodisasikan tahun 1960-an” (Periodizing the Sixties).10
Cukup natural, esai melihat nyalanyala api seniman avant-garde
yang hidup menyembur kembali.
Tetapi penghubung inti terbukti hanya bersifat
musim­an. Dalam beberapa tahun yang lain, semua tanda itu

10
The Ideologies of Theory, Vol. 2, hal. 178-208.

135
ASAL-USUL POST MODERNITAS

berbalik ketika, satu demi satu, mimpi-mimpi politik 1960-


an dipadamkan. Revolusi Mei di Prancis benar-benar dihisap
tanpa jejak di daerah-daerah angin mati politik tahun 1970-
an. Musim Semi Czechoslowakia — yang paling tegas dari
semua eksperimen pembaharuan Komunis — dihancurkan oleh
bala tentara Pakta Warsawa (Warsaw Pact). Di Amerika Latin,
gerilya-gerilya yang disemangati atau dipimpin oleh Kuba
dibasmi. Di Cina, Revolusi Kebudayaan menabur teror daripada
pembebasan. Di Uni soviet, mundurnya Brezhnevite yang
panjang akhirnya tiba. Bagi Barat, di sana sini pemberontakan
buruh bertahan lama; tetapi menjelang paruh kedua dekade,
gelombang militansi telah mereda. Callinicos dan Eagleton
benar dalam menekankan sumber-sumber postmodernisme
seketika dalam pengalaman kekalahan. Tetapi kemunduran
ini hanyalah mukadimah menuju penyerahan tanpa syarat ke
depan yang lebih menentukan.
Pada tahun 1980-an, Hak yang menang (victorious Right)
diberlakukan bagi yang menyerang. Di dunia Anglo-Saxon
pemerintahan Reagan dan Thatcher, setelah meratakan gerakan
buruh, menggulirkan kembali regulasi dan redistribusi. Menyebar
dari Inggris ke daratan Eropa, privatisasi sektor pemerintah yang
memotong pengeluaran sosial dan tingkat pengangguran yang
tinggi men-ciptakan norma baru pengembangan neo-liberal,
yang pada akhirnya diberlakukan oleh partai-partai Kiri tidak
kurang dari partai Kanan. Menjelang akhir dekade, misi pasca-
perang demokrasi sosial di Eropa Barat — negara sejahtera
berbasis tenaga kerja penuh dan ketetapan universal — telah
banyak dibuang oleh Sosialis Internasional. Di Eropa Timur dan
Uni Soviet, Komunisme — yang tidak mampu bersaing secara
ekonomi di luar negeri atau secara politik berdemokratisasi di

136
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dalam negeri — dihapus sama sekali. Di Dunia Ketiga, negara-


negara yang baru lahir dari gerakan-gerakan kemerdekaan
nasional dimana-mana terperangkap dalam bentuk-bentuk
baru subordinasi internasional, dan tidak mampu melepaskan
diri dari hambatan-hambatan pasar uang global (global financial
markets) serta lembaga-lembaga kepengawasannya.
Kemenangan modal universal menandai lebih dari se­
kedar kekalahan semua kekuatan yang dulunya menyatu mene­
ntangnya, meskipun memang juga demikian. Pengertiannya
yang lebih dalam terletak pada penundaan alternatif-alternatif
politik (cancellation of political alternatives). Modernitas sam­pai
pada akhirnya, seperti yang diamati Jameson, ketika moder­nitas
kehilangan setiap kata lawannya. Kemungkinan peme­rintahan-
pemerintah-an sosial yang lain merupakan wawa­san modernisme
yang esensial. Sekali itu hilang, sesuatu seperti post­modernisme
menggantikan tempatnya. Inilah momen ke­benaran yang
tidak diucapkan dalam konstruksi orisinil Lyotard. Bagaimana
kemudian, apakah perbantuan post­modern akan dijumlahkan?
Perbandingan singkat dengan modern­isme akan berjalan, yaitu:
postmodernisme muncul dari kons­telasi pemerintahan yang
mengatur déclassé, teknologi yang diperantarai (mediatized
technology) dan politik-politik satu warna (monochrome politics).
Tetapi tentu saja, koordinat-koor­dinat tersebut dengan sendirinya
hanya merupakan dimensi-dimensi dari perubahan lebih besar
yang mendahului pada tahun 1970-an.
Kapitalisme sebagai keseluruhan memasuki fase
sejarah baru, dengan lenyapnya ledakan pasca-perang yang
tiba-tiba. Sebab yang mendasari ayunan turun yang panjang
dengan tingkat pertumbuhannya (rates of growth) yang jauh
lebih lambat dan tingkat ketidaksetaraan (rates of inequality)

137
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang lebih tinggi ini merupakan intensifikasi kompetisi inter­


nasional, yang tidak henti-hentinya memaksakan tingkat laba
dan juga penutupan-penutupan investa-si, dalam per­eko­
nomian global yang tidak lagi dapat dibagi menjadi ruang-
ruang nasional yang secara relatif terlindungi. Inilah arti
sesung­guhnya dari kedatangan kapitalisme multinasional
yang disam­paikan oleh Jameson. Tanggapan sistem terhadap
krisis meng­hasilkan konfigurasi tahun 1980-an: pen-dobrakan
tenaga kerja di daerah-daerah inti, larinya pabrik-pabrik ke
lokasi-lokasi berupah tenaga kerja murah di daerah pinggiran,
pergeseran investasi ke jasa dan komunikasi, ekspansi belanja
militer, dan kenaikan beban spekulasi keuangan relatif yang
membuat pusing dengan mengorbankan produksi inovatif.
Dalam ramuan-ramuan pemulihan Reagan ini, semua unsur
postmodern yang rusak muncul secara bersamaan: pameran
orang kaya baru (nou-veau riche) yang tidak terkendali, keahlian
negara-wan dengan tuntutan segera, konsensus kumbang
yang biasanya bertelur di buah kapas dan merusak buah itu.
Inilah euphoria perbandingannya yang dengan penetapan
tepat waktu, menghasilkan ilumi-nasi nyata yang pertama
dari postmodernisme. Titik-balik ekonomi (economic turning-
point) Kepresidenan Reagan muncul pada tanggal 12 Agustus
1982, ketika pasar saham Amerika lepas landas — permulaan
spekulasi atas naiknya harga-harga efek yang berakhir dengan
resesi Carter. Tiga bulan kemudian, Jameson menyampaikan
pidato di Whitney.

B. Polaritas
Jika hal semacam telah menjadi kondisi-kondisi post­
modern, apa yang bisa dikatakan tentang kontur-konturnya?

138
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Secara historis, modernisme pada hakekatnya adalah kategori


post facto, yang menyatu setelah peristiwa berbagai macam
bentuk dan gerakan eksperimental, yang nama-namanya sendiri
tidak mengetahui tentang hal itu. Sebaliknya, postmodernisme
jauh lebih dekat dengan gagasan ex ante, konsepsi yang
berkecambah sebelum praktek-praktek artistiknya muncul
untuk digambarkan. Bukanlah bahwa postmodernisme secara
signifikan telah diadopsi oleh para praktisi itu sendiri, lebih dari
modernisme dalam masa jaya (retrospektif)nya. Tetapi masih
ada perbedaan besar dalam bobot-bobot istilah masing-masing.
Zaman modern adalah zaman genius yang tidak dapat diulang
— “modernisme tinggi” (high modernism) Proust, Joyce, Kafka,
Eliot; atau barisan depan yang tidak mau menyerah — gerakan-
gerakan kolektif Simbolisme, Futurisme, Ekspresionisme,
Konstruk-tivisme, Surealisme. Inilah dunia demarkasi-demar-
kasi yang tajam, yang batas-batasnya dipertaruhkan dengan
instrumen manifesto: deklarasi-deklarasi identitas estetis
yang ganjil bukan hanya untuk para seniman avant-garde,
tetapi juga pada karakteristik gaya penulis-penulis yang lebih
tidak langsung dan diagungkan seperti Proust atau Eliot, yang
memisahkan dasar seniman yang suka memilih-milih dengan
bidang-bidang samar yang melampauinya.
Pola ini hilang dalam postmodern. Semenjak tahun 1970-
an, ide tentang seniman avant-garde itu sendiri, atau tentang
genius individual, telah jatuh di bawah kecurigaan. Gerakan-
gerakan inovasi kolektif yang suka berperang telah menjadi
lebih sedikit secara tetap, dan lambang novel, kesadaran diri
“isme” bahkan lebih langka. Karena alam semesta postmodern
bukan alam pembatasan (delimitation), tetapi saling bercampur
— dengan merayakan penyeberangan jalan, cangkokan, bunga

139
ASAL-USUL POST MODERNITAS

rampai. Dalam iklim inilah, manifesto menjadi ketinggalan


zaman, barang peninggalan purisme yang sombong dan tegas
dengan variansi semangat zaman itu. Dengan ketiadaan sistem
penentuan-penentuan diri internal untuk bidang praktek-
praktek artistik sendiri, modernisme sezaman yang menyolok
mata sendiri tidak pernah menjadi rubrik komprehensif bagi
semuanya. Kesenjangan antara nama dan waktu telah tertutup.
Bukannya ingin berkata bahwa tidak ada perbedaan sama
sekali. Sejarah ide postmodern, seperti yang telah kita lihat,
dimulai dengan baik sebelum kedatangan sesuatu yang siap
diidentifikasi sebagai bentuk postmodern saat ini. Bukan juga
tatanan teorisasinya yang sesuai dengan tatanan penampilan
fenomenalnya. Sumber-sumber gagasan postmodernisme
ini adalah sastra, dan proyeksinya yang termashyur sebagai
gaya adalah arsitektural. Tetapi lama sebelum ada bangunan-
bangunan baru yang menjawab deskripsi standard postmodern,
benar-benar semua sikapnya telah ada di bagian muka seni
lukis. Semenjak Zaman Belle, ini biasanya menjadi seismografi
paling sensitif (sensitive seismograph) dari perubahan-perubahan
budaya lebih luas. Karena seni lukis dipasang terpisah di
antara banyak seni dengan kombinasi feature yang berbeda,
yang memuncak pada kedudukan tinggi yang spesial. Di satu
pihak, dalam skala sumber-sumber daya yang dibutuhkan
sebagai praktek, ongkos-ongkos produksinya sejauh ini yang
paling rendah (bahkan seni pahat juga menggunakan bahan-
bahan yang lebih mahal) — hanya minimal cat dan kanvas,
sedang jumlah modal yang dibutuhkan untuk arsitektur
atau film luar biasa besar, sementara menulis atau membuat
komposisi biasanya memerlukan tata letak yang dapat diukur
untuk mencapai publikasi atau performansi. Cara lain untuk

140
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menyatakan ini hanya dengan mencatat bahwa pelukis pada


prinsipnya adalah produsen yang sepenuhnya independen,
sebagai penguasa yang tidak memerlukan pengantar lebih
lanjut agar bisa merealisasikan karya seni.
Di lain pihak — dan dalam kontras yang dramatis —
pasar untuk seni lukis secara potensial melibatkan tingkat
keuntungan paling tinggi atas investasi awal dari suatu seni.
Semenjak Perang Dunia Kedua, sistem galeri (gallery system) dan
ruang pelelangan (auction room) secara ajeg telah meningkat
nilai-nilainya, menuju figur-figur ketinggian di puncak atas.
Apa yang ganjil tentang pasar seni, tentu saja, dan yang bisa
menjelaskan harga-harga yang membuat pusing ini adalah
karakter spekulatif. Inilah karya-karya yang dapat dibeli dan
dijual sebagai barang dagangan murni (pure commodities) di
pasar masa depan, demi laba yang akan didapat. Dua sisi situasi
yang berlawanan dari seni lukis, tentu saja, saling terkait.
Sebuah gambar yang murah dalam memproduksi, karena tidak
melibatkan teknik reproduksi — tidak ada derek atau baja,
tidak ada kamera atau studio, tidak ada orkestra, tidak ada
pers-cetak. Tetapi persisnya untuk alasan itulah, apa yang tidak
dapat direproduksi — inilah yang: unik -- karena bisa menjadi
sangat berharga secara tidak dapat dipadankan. Paradoks ini
disatukan dengan paradoks lain dalam praktek seni lukis itu
sendiri. Tidak ada seni lain yang menjadi penghambat bagi
inovasi formal yang sedemikian rendah. Hambatan-hambatan
dapat dipahami secara verbal, biarkan sendiri hukum-hukum
teknik, jauh lebih kaku dibanding kebiasaan-kebiasaan mata.
Bahkan seni musik, bergantung pada ketrampilan-ketrampilan
telinga spesial, jauh kurang bebas, karena audiensi lebih kecil
secara tidak terbatas bagi eksperimen modernis dalam media

141
ASAL-USUL POST MODERNITAS

bunyi atau suara yang memperjelas.


Dengan demikian, bukan kebetulan bahwa seni lukis
mulai mematahkan konvensi-konvensi representasi (conventions
of representation) dengan baik di depan seni yang lain, bahkan
juga puisi, dan telah menyaksikan sejumlah revolusi formal
yang jauh paling besar semenjak itu. Di depan kanvas, pelukis
menikmati kebebasan individual (individual freedom) tanpa
pasangan yang persis. Namun, jauh dari menjadi pengejaran
amat sempurna dari ketersendirian, seni lukis secara objektif
telah menjadi paling kolaboratif dari seni-seni modern.
Dengan tidak adanya istilah-istilah “kelompok” dan “gerakan”
— dalam pengertian tujuan bersama dan pembelajaran timbal
balik yang kuat — ia berulang sedemikian sering dan secara
aktif. Secara orisinil, pelatihan di akademi atau studio tidak
diragukan sangat penting untuk ini semua. Tetapi barangkali
juga, pada level lebih dalam, kebebasan melukis yang itu juga,
dalam ruang penemuannya yang tidak membuat bingung, telah
memerlukan kompensasi kemampuan sosial yang berbeda.
Pada semua peristiwa, pelukis khususnya telah saling bergaul,
yang jarang dilakukan oleh para penulis atau musisi, dan dalam
interaksi mereka telah memperlengkapi serial pematahan gaya
bahasa (stylistics breaks) yang jauh paling jelas dalam sejarah
modernisme umum.
Ciri-ciri ini menandai seni lukis sebelumnya yang
kemungkinan menjadi tempat yang istimewa bagi transisi
postmodern. Kelompok ekspresionisme abstrak modern
terbesar terakhir, adalah yang pertama kali menghantam
puncak keberhasilan saat ini. Tetapi apa yang diberikan pasar, ia
ambil. Seperti yang ditulis Greenberg: “Pada musim semi tahun
1962, terjadi keruntuhan tiba-tiba, seperti pasar dan seperti

142
ASAL-USUL POST MODERNITAS

publisitas Ekspresionisme Abstrak sebagai manifestasi kolektif”


— sebuah tempat yang “disentuh oleh penurunan pasar saham
yang panjang pada musim dingin dan musim semi tahun 1962,
yang tidak berhubungan dengan seni secara intrinsik”.11 Enam
bulan kemudian, New York menyaksikan kemenangan Seni
Pop (Pop Art) pada musim gugur. Secara orisinil, gaya baru ini
memiliki hubungan-hubungan kuat dengan masa lalu radikal.
Rauschenberg telah mengajar di Black Mountain di bawah Albers
dan Olson, dan menikmati hubungan dekat dengan Duchamp
dan Cage; Johns pada awalnya dipuja sebagai neo-Dada.
Ketakjuban dengan lingkungan harian buatan-mesin (machine-
made) adalah kembali ke satu ketertarikan seniman avant-garde
paling tua. Tetapi pada tahun 1960-an, ini telah muncul sebagai
impulsi dengan perbedaan. Beberapa mesin nyata difigurkan
dalam lukisan ini, meskipun pengecualian-pengecualian—kilau
kamar kematian Rosenquist—sugestif. “Ikon-ikon karak-teristik
Seni Pop bukan lagi benda-benda mekanis itu sendiri, tetapi
faksimili komersialnya. Seni potongan kartun (art of cartoon-
strips) ini, nama-nama merk (brand-names), penyematan (pin-
ups), spanduk-span-duk yang bersinar dan idola-idola yang
remang-re-mang disediakan, seperti yang dikatakan oleh
David Antin tentang Warhol pada tahun 1966, “serangkai-an
gambar dari gambar-gambar”.12 Dengan menye-butkan frase
itu dua tahun kemudian, Leo Steinberg barangkali adalah orang
11
Clement Greenberg, The Collected Essays and Criticism, Vol. 4, Chicago
1993, hal. 215, 179.
12
“Konsekuensi serial regresi dari suatu gambaran awal dunia nyata”
(The Consequence of a series of regressions from some initial image of the real
world): “Warholl: Rumah Petak Perak” (Warholl: the Silver Tenement), Artnews,
Musim Panas 1966, hal. 58. Steinberg membahas bagian buku ini dalam
Other Criteria, New York 1972, hal. 91, dimana ia mencirikan “bidang gambar
dengan semua tujuan” (all-purpose picture plane) dari Rauschenberg sebagai
dasar dari “lukisan post-Modernis” (post-Modernist painting).

143
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pertama yang memberi nama lukisan ini sebagai postmodernis.


Dengan Steinberg inilah Warhol, sesungguhnya,
post­modern yang utuh telah sampai secara tidak dapat
dipertanyakan: dengan melintasi bentuk-bentuk yang tidak
peduli — grafik, lukisan, foto-grafi, film, jurnalisme, musik
populer; rangkulan pasar yang dikalkulasi; heliotropis yang
membelok menuju media dan kekuasaan. Inilah kurva yang
disesalkan oleh Hassan, dari disiplin bisu (dicipline of silence)
sampai ke olok-olok roman muka yang tidak berubah (badinage
of the dead-pan), benar-benar dilacak dalam sebuah gaya tunggal
— meskipun demikian, bukan tanpa semua efek yang merusak.
Tetapi jika Seni Pop menawarkan satu parabola postmodern,
saat ia bergerak menuju estetika rayuan (aesthetic of flirtation),
maka gerakan-gerakan tersebut berhasil mengambil orientasi
yang lebih tidak berkompromi. Minimalisme, yang diluncurkan
tahun 1965-1966, menentang setiap daya tarik mudah ke mata,
bukan dengan mencampurkan bentuk-bentuk, tetapi dengan
menghancurkan perbedaan-perbedaan antara keduanya:
awalnya, dengan produksi objek-objek yang bukan seni lukis
dan juga bukan seni pahat (Judd), kemudian dengan pindahnya
seni pahat menuju lanskap atau arsitektur (Smithson, Morris).
Inilah serangan kaum modernis yang karakteristik tentang
konvensi-konvensi perseptual yang diradikalisasi ke dua arah,
sebagai konsepsi-konsepsi ruang yang diberi pengalaman-
pengalaman waktu atau temporal, dan pertunjukan-pertunjukan
kelembagaan yang difrus-trasikan oleh lokasi yang mengikat.
Konseptualisme, dengan mengikuti tumit Minimalisme
— artikulasi-artikulasi pertamanya muncul sekitar tahun 1967
— berjalan lebih jauh, dengan mengungkap objek artistik
itu sendiri dengan interogasi kode-kode yang mewakilinya

144
ASAL-USUL POST MODERNITAS

sedemikian. Sesuai dengan ketinggian gerakan anti-perang dan


gelombang pemberontakan kota di Amerika pada akhir tahun
1960-an, konseptualisme jauh lebih politis dalam intensi, dengan
menggerakkan teks melawan gambar untuk penolakan bukan
hanya ideologi-ideologi tradisional estetika dalam pengertian
sempit, tetapi juga bagi budaya tontonan kontemporer secara
umum. Gerakan ini juga jauh lebih internasional — Amerika
yang menikmati prioritas singkat, tetapi bukan hegemoni,
sebagai varian-varian dari seni konseptual yang muncul secara
independen ke seluruh dunia, dari Jepang atau Australia
sampai ke Eropa Timur atau Amerika Latin.13 Dalam pengertian
ini, konseptualisme dapat dianggap sebagai gerakan avant-
garde global pertama: momen pada mana layar-layar api
seni modern — euro-amerika — terkuak untuk membuka
panggung postmodern. Tetapi konseptualisme adalah ini dalam
pengertian lain juga. Kanvas formalis bukan hanya digantikan
oleh objek-objek atau benda yang tidak dapat diklasifikasi,
yang menghindari sistem kesenian murni. Seni lukis sendiri
diberhentikan sebagai puncak visual, dan diuapkan menjadi
bentuk-bentuk lain. Di depan terletak emerjensi seni instalasi.
Gambaran masih ditunda dalam kejutan setelah pergolakan ini.
Keterputusan antara modern dan postmodern dengan
demikian bukan hanya muncul sebelumnya dalam seni lukis
13
Tulisan terbaik tentang sumber-sumber dan efek-efek gerakan
adalah “Konseptualisme Global” (yang akan datang). Untuk kupasannya
yang berjangkauan jauh, lihat versi alternatif Benjamin Buchloh, “Seni
Konseptual 1962-1969: dari Estetika Administrasi sampai Kritik Lembaga-
lembaga” (Conceptual Art 1962-1969: from the Aesthetics of Administration to
the Critique of Institutions), Oktober, No. 55, Musim Dingin 1990, hal. 105-
143, yang menarik pajak konseptualisme dengan “pembantuan gambar dan
keterampilan, memori dan visi” yang secara paradoks berkontribusi pada
pernyataan kembali “rezim spekular” yang itu juga, yang berusaha untuk
menghindari. Argumen ini jauh dari selesai.

145
ASAL-USUL POST MODERNITAS

atau seni pahat daripada dengan setiap media lain, tetapi


lebih drastis — gangguan radikal sifat seni-seni itu sendiri.
Dengan demikian tidak mengherankan bahwa persisnya inilah
area yang memberikan peningkatan pada teori-teori nasib
estetika yang paling melompat. Pada tahun 1983, sejarawan
seni Jerman bernama Hans Belting mempublikasikan Das
Ende der Kunstgeschichte?; setahun kemudian, filosof Amerika
bernama Arthur Danto dengan esainya “Kematian Seni” (The
Death of art).14 Konverensi dekat tema-tema mereka telah
menemukan ekspresi lebih jauh di dalam edisi kedua karya
Belting yang diperluas, Eine Revision nach, zehn Jahren (1995),
yang menurunkan tanda tanya pada edisi pertama, dan buku
Danto berjudul After the End of Art (1997).
Tesis orisinil Belting mengambil bentuk serangan ganda:
tentang “gagasan-gagasan seni ideal” regulatif (regulative
“ideal notions of art”) yang telah menginformasikan sejarah
seni profesional sejak Hegel, tetapi yang sumber-sumbernya
berasal dari Vasari; dan tentang konsepsi-konsepsi avant-garde
“kemajuan” berkelanjutan dalam seni modern. Dua wacana ini,
demikian katanya, selalu telah dipisahkan, karena sejarawan-
sejarawan seni — dengan pengecualian-pengecualian paling
langka — tidak pernah mengatakan tentang seni pada zaman
mereka, sementara para seniman avant-garde cenderung
menolak seni masa lalu dan bahkan menghambatnya. Tetapi
keduanya merupakan penyelu-bungan atau penggelapan
sejarah. Tidak ada hakekat menyatu atau logika yang tidak
terungkap dalam seni, yang bukan hanya mengasumsikan
bentuk-bentuk yang sangat beraneka ragam, tetapi secara
14
Teks Danto membentuk “esai terkenal” dalam simposium yang diedit
oleh Beryl Lang, The Death of Art, New York 1984: hal. 5-35 — sisanya
tersusun dari berbagai tanggapan untuknya.

146
ASAL-USUL POST MODERNITAS

radikal memenuhi fungsi-fungsi yang berbeda, di berbagai


masyarakat dan zaman sejarah manusia.
Di Barat, dominansi seni lukis kuda-kuda baru berawal
sejak zaman Renaisans, dan sekarang sudah berakhir. Di
tengah-tengah disintegrasi jenis-jenis aliran tradisional, saat ini
sah saja jika bertanya apakah seni Barat telah mencapai jenis
penghabisan dimana bentuk-bentuk seni klasik dari Asia Timur
seringkali ada di halaman rumah mereka yang dirasa akan sampai
pada akhirnya. Pada semua peristiwa, jelas bahwa tidak ada
“sejarah seni” koheren — yaitu, varian-varian Baratnya, karena
sejarah universal tidak pernah menawarkan yang ti-dak lagi
mungkin, hanya penyelidikan-penyelidikan yang berdiri sendiri
menjadi episode-episode khusus masa lampau; dan bahwa
tidak ada hal seperti “karya seni” konstan sebagai fenomena
tunggal, yang rentan terhadap gerak interpretasi yang valid
secara universal. Bersama berjalannya waktu, Belting berlanjut
ke ilustrasi amat besar dari argumennya pada Bild und Kult
(1990), sebuah studi representasi-representasi persembahan
dari akhir zaman Kuno sampai akhir Abad Pertengahan, dengan
melacak “sejarah gambar sebelum era seni”.
Ketika ia mengkaji kasusnya pada tengah tahun 1990-an,
Belting tidak lagi memiliki keraguan bahwa sejarah seni yang
pernah dipahami sudah habis. Atensinya sekarang berbalik ke
nasib seni itu sendiri. Dulu, seni dipahami sebagai gambaran
realitas (image of reality), asal sejarah seni menghiasi kerangka. Di
zaman itu, bagaimanapun, seni telah melepaskan kerangkanya.
Definisi-definisi tradisi-onal tidak lagi mengungkapkannya,
ketika bentuk-bentuk dan praktek-praktek baru berkembang
biak, bukan hanya dengan mengangkat media massa sebagai
materi-materinya, tetapi seringkali diberi oleh media elektronik

147
ASAL-USUL POST MODERNITAS

itu sendiri, atau bahkan dari dunia mode, sebagai saingan-


saingan gaya bahasa (stylistic rivals) dari apa yang tetap menjadi
seni-seni pesolek (beaux arts). Praktek-praktek visual adegan
postmodern ini harus dijelajahi dari semangat etno-grafis yang
sama seperti ikon-ikon pra-modern, tanpa komitmen pada
suatu ilmu pengetahuan penampilan yang indah. Pada abad
ke19, Hegel telah mendeklarasikan akhir seni (the end of art),
dan dengan pukulan yang sama menemukan perbincangan
baru tentang sejarah seni. Saat ini, bagi Belting, kita mengamati
akhir sejarah seni linear, karena seni meninggalkan definisi-
definisinya. Hasilnya berlawanan dari penyelubungan:
keterbukaan yang disambut baik dan belum pernah terjadi
sebelumnya, menandai zaman ini.
Danto sampai pada penegasan yang sama, dengan
sedikit — meskipun secara pedas — rute yang berbeda. Inilah
“akhir seni” (the end of art) yang dinyatakan lebih secara
filosofis, sebagai keruntuhan dari semua narasi ahli yang
meminjamkan arti kumulatif pada karya-karya masa lalu yang
terpisah. Tetapi seruan Lyotard yang demikian sama sekali tidak
menandai kesamaan deduksi (similarity of deduction). Narasi
yang kematiannya ingin dirayakan oleh Danto adalah tulisan
dinamika seni lukis modern dari Greenberg, yang bergerak
dengan pembersihan-pembersihan berurutan melampaui
figurasi, kedalaman, pelampauan sampai perataan dan warna
belaka. Pemakamannya adalah Seni Pop, yang dalam satu atau
lain varian secara tidak diharapkan benar-benar memulihkan
segala sesuatu yang telah dinyatakan oleh Greenberg akan
diguna­kan. Bagi Danto, Seni Pop menandai catatan seni lukis ke
dalam kebebasan “post-historis”, dimana segala sesuatu yang
dapat dilihat bisa menjadi karya seni — momen dari mana Kotak

148
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Brillo dari Warhol (Warhol’s Brillo Box) dapat ber­diri sebagai


epifani (perayaan tiga raja dalam Kristen). Karena Seni Pop
bukan hanya “pemujaan hal-biasa” (adoration of the common­
place) yang bermanfaat, setelah metafisika ekspresionisme
abstrak kaum elit (dengan hu-bungan-hubungannya yang
mencurigakan dengan surealisme). Ini juga sebuah demonstrasi
— di sini, koneksi dengan Duchamp sangat pokok — dimana
“pada kenyataannya, estetika bukanlah kepemilikan seni yang
menentukan atau esensial”. Karena tidak ada lagi suatu model
seni yang mengharuskan, maka sebuah gula-gula batangan
(candy bar) dapat menjadi karya seni yang dapat diterima, jika
sedemikian dinyatakan, seperti setiap seni yang lain.15
Kondisi “kebebasan artistik sempurna” (perfect artistic
freedom) ini, dimana “segala sesuatu diperbolehkan” (everything
is permitted), bagaimanapun tidak berkontradiksi dengan
Estetika Hegel, tetapi sebaliknya, direalisasikannya. Karena
“akhir seni terdiri dari datangnya kesadaran sifat seni filosofis
yang sebenarnya” — yaitu, seni masuk melalui filsafat (seperti
yang Hegel katakan itu harus) pada momen yang hanya
keputusan intelektual saja yang dapat menentukan apakah itu
seni atau bukan. Inilah keadaan akhir yang secara tegas oleh
Danto dihubungkan dengan prospek Hegelian yang lain, akhir
sejarah (the end of history) seperti itu, yang dikerjakan ulang
oleh Kojève. Jika yang kedua belum perlu dicapai, maka yang
pertama memberikan pravisi yang bahagia darinya kepada kita.
“Betapa indahnya percaya bahwa dunia seni pluralistis masa

15
After the End of Art, Princeton 1997, hal. 112, 185: “Gula-gula
batang yang merupakan karya seni yang dibutuhkan tidak harus gula-gula
batang yang khususnya baik. Ia hanya harus sebuah gula-gula batang yang
dihasilkan dengan niatnya menjadi seni. Orang masih bisa memakannya
karena dapatnya dimana sesuai dengan seni wujudnya”.

149
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kini historis merupakan pelopor dari hal-hal politis yang harus


muncul!”16 Konstruksi Belting — kontras pokoknya dengan
konstruksi Danto inilah — yang lebih diberitakan oleh Hegel
daripada diserukan. Namun, inilah yang menggoreskan catatan
sangat mirip, persisnya pada titik inilah, dimana tema kondisi
pasca-historis dikirimkan oleh Henri De Man kepada Gehlen, dari
sumber alternatif Cournot, yang berulang pada persimpangan
yang sama: “Post-historis (posthistoire) para seniman, saya ingin
menyatakan, dimulai lebih dulu dan telah diungkap secara lebih
kreatif daripada post-historis para pemikir historis”.17
Kerapuhan intelektual (intellectual fragility) dari
argumen-argumen yang saling bertautan tersebut cukup ter­
bukti. Persamaan ikon-ikon pra-modern dengan bayang-
bayang tiruan post-modern inilah, sebagai seni sebelum dan
sesudah seni, melibatkan paralogisme yang jelas — karena sejak
pertama, objek-objek secara retrospektif diberi status estetis,
sementara pada tempat kedua objek-objek yang diekspresikan
menolaknya. Kualitas apa kemudian, yang kedua ini sebagai seni
sama sekali? Bagi Danto, jawaban pada hakekatnya merupakan
putusan seniman atau artis. Perbedaan antara komo-ditas di
supermarket dan reproduksinya di museum terletak pada
isyarat sopan (debonair gesture) Warhol itu sendiri. Akan sulit
membayangkan filsafat seni yang, dalam substansi, kurang
Hegelian. Inspirasi nyata di sini lebih mendekati Fichte: ego
yang menempatkan apapun yang dikehendaki dunia. Kemelut
idealisme subjektif ini asing bagi Belting, yang berlanjut dengan

16
After the End of Art, hal. 12, 30-31, 37.
17
Das Ende der Kunstgeschichte. Eine Revision nach zehn Jahre, Munich
1995, hal. 12. Saya telah mendiskusikan asal-usul intelektual dari ide
Posthistoire dalam “The Ends of History”, A Zone of Engagement, hal. 279-
375.

150
ASAL-USUL POST MODERNITAS

langkah antropologis yang lebih berhati-hati. Tetapi hal sama


bagi kedua teoretikus tersebut adalah kegemaran yang spesifik
bidang (field-specific predilection). Postmodern ditafsirkan dan
dikagumi, pada hakekatnya melalui bentuk-bentuk berlagaknya
yang paling sombong: artis-artis emblematis tersebut adalah
Warhol atau Greenaway.
Tetapi keterputusan dapat juga dituliskan dengan cara
yang sangat berbeda. Karena Hal Foster, teoretikus “neo-avant-
garde” yang paling yakin, ia berhutang pada para pendahulu
historisnya, tetapi tidak harus lebih rendah dibanding mereka
— benar-benar barangkali mampu merealisasikan tujuan-tujuan
yang mereka hilangkan — ini bukan kecerdasan figuratif Seni
Pop, tetapi abstraksi-abstraksi Minimalisme yang sederhana
yang menandai momen keterputusan: “perubahan para-
digma menuju praktek-praktek postmodernis yang terus akan
diperluas hari ini”.18 Karena jika para seniman avant-garde orisinil
telah mengkonsentrasikan semangat mereka di atas konvensi-
konvensi seni, mereka telah memberikan perhatian yang secara
relatif kecil pada lembaga-lembaganya. Dalam pengeksposan
ini, neo-avant-garde — sebagaimana adanya, setelah peristiwa
itu — telah mengkonsumsi proyek mereka. Inilah tugas yang
dijalankan oleh kelompok artis yang karyanya merepresentasikan
bagian paling efektif dari minimalisme sampai konseptualisme:
Bure, Broodthaers, Asher, Haacke. Postmodern tidak pernah
sepenuhnya menghapuskan modern, dua wujud yang selalu
dalam suatu pengertian “dihormati”, karena sedemikian banyak
masa depan yang dibayangkan dan masa lalu yang dinyatakan
kembali. Tetapi postmodern menobatkan tingkat “cara-cara

18
The Return of the Real, hal. 36.

151
ASAL-USUL POST MODERNITAS

baru untuk mempraktekkan budaya dan politik”.19 Gagasan


postmodern, demikian kata Foster, apapun salah penggunaan
kemudian yang dibuat darinya, bukan gagasan tertinggal yang
seharusnya menyerah.
Tulisan-tulisan seperti itu benar-benar memunculkan
antitesis, bukan hanya dengan nada este-tis, tetapi nada politis.
Namun kesamaan-kesamaan yang ada di balik norma-norma
berlawanan dari ma-sing-masing juga jelas. Secara parodis,
orang dapat berkata: tanpa Duchamp, tidak ada Rauschenberg
atau Johns — tanpa Johns, tidak ada Warhol atau Judd — tanpa
Ruscha atau Judd, tidak ada Kosuth atau Lewitt — tanpa Flavin
atau Duchamp (akhirnya terkepung), tidak ada Buren. Bahkan
harapan terakhir abstraksi modernis, Frank Stella, yang pernah
ditetapkan sebagai benteng pertahanan melawan segala sesuatu
yang meluncur menuju postmodern, memainkan bagian yang
bukan tidak dapat dipertimbangkan dalam kedatangannya.
Namun demi-kian, transformasi visual dipetakan di sini,
koneksi-koneksi dan oposisi-oposisi saling berjalin. Sejarah ini
masih terlalu baru untuk rekonstruksi yang dilepas, yang akan
memberikan semua kontradiksinya pada waktunya. Tetapi
nominalisme sementara belaka ini jelas tidak cukup juga.
Perubahan dalam seni lukis menyatakan pola yang lebih luas.
Beberapa cara ketetapan yang mengkonseptualisasikan apa
yang tampaknya menjadi ketegangan yang mewakili dalam
postmodernisme dibutuhkan.
Pada asal-usul istilah yang itu juga, seperti yang telah
kita lihat, terdapat pembagian dalam dua cabang (bifurcation).
Ketika De Onís pertama kali menciptakan postmodernisme,
ia mengkontraskannya dengan ultramodernisme, sebagai dua

19
The Return of the Real, hal. 206.

152
ASAL-USUL POST MODERNITAS

reaksi yang berlawanan bagi modernisme Hispanik, yang satu


sama lain berlanjut dalam ruang waktu yang singkat. Lima
belas tahun kemudian, postmodernisme telah menjadi istilah
umum, yang konotasi-konotasi utamanya tetap mendekati
pengertian yang diindikasikan oleh De Onís, tetapi yang juga
tampak melampauinya menuju kutub lain dari konstruksinya.
Untuk menangkap kompleksitas ini, pasangan kata-kata depan
yang lain — internal untuk post-modernisme — dibutuhkan.
Barangkali yang paling tepat dapat dipinjam dari masa lalu
revolusioner. Dalam pidato yang terkenal, tentang Nivose
Tahun II yang ke19, Robespierre membedakan antara dua
kekuatan “citra-revolusioner” dan “ultra-revolusi-oner” di
Prancis — yaitu, kaum moderat yang ingin menarik republik
kembali dari tindakan-tindakan tegas yang dibutuhkan untuk
menyelamatkannya (Danton), dan kaum ekstrimis yang
berusaha untuk mempercepatnya ke depan menuju ekses-
ekses yang tentu saja hanya akan kehilangannya (Hébert).20 Di
sini, dibersihkan dari polemik lokal, adalah warna yang dengan
lebih manis menyampaikan polaritasnya dalam postmodern.
“Citra” dapat diambil sebagai semua kecenderungan
yang, melalui keterputusan dengan modernisme tinggi, telah
cenderung mendudukkan kembali ornamental dan yang
lebih siap tersedia; sementara “ultra” dapat dibaca sebagai
semua yang telah berjalan melampaui modernisme dalam
meradikalisasikan peniadaan-peniadaan kegembiraannya
yang dapat dirasa dan dipahami. Jika kontras antara pop dan
konseptual minimal di galeri postmodern adalah arkhetip,
maka ketegangan yang sama dapat dilacak dalam semua seni
20
Lihat F.-A. Aulard, La Société des Jacobins. Frecueil de documents, Vol.
V, Paris 1985, hal. 601-604. Tidak ada sejarawan yang meragukan bahwa
Danton dan Hébert juga termasuk dalam Revolusi.

153
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang lain. Arsitektur adalah kasus yang khususnya menyolok


dalam pokok ini, dimana postmodern terentang dari seni-seni
drama yang penuh hiasan (florid histrionics) dari Graves atau
Moore pada satu ujung dengan keparahan de-konstruktif
(deconstructive severities) dari Eisenmann atau Liebeskind pada
ujung yang lain: citra-modernisme dan ultra-modernisme untuk
skala monumen-tal. Tetapi ia akan sama-sama mungkin bisa
memetakan — katakanlah — puisi kontemporer dengan gaya
yang sama. Sejarah standard David Perkins, sebenarnya, secara
diam-diam berbuat demikian dengan mendistribusikan jenis-
jenis aliran post-modern secara geografis, seperti antara Inggris
dan Amerika — modernisme yang ada ke dalam Larkin atau
Hughes pada satu sisi Atlantik, dan Ashbery atau Perelman di sisi
yang lain. Kaum entusiastis untuk yang kedua, tentu saja, akan
meniadakan citra dari puisi postmodern,21 sama seperti begitu
juga sebaliknya Jencks akan meniadakan ultra dari arsitektur
postmodern. Salah satu ciri paling menyolok dari tulisan kritis
Jameson adalah negosiasinya yang tanpa kesukaran dari kedua
kutub: Portman dan Gehry, Warhol dan Haacke, Doctorow dan
Simon, Lynch dan Sokurov.
Apakah pembagi formal jenis ini sesuai bagi setiap garis
demarkasi sosial? Dengan mengkonfron-tir budaya modal
(culture of capital), modernisme dapat menyerukan dua dunia
nilai alternatif, yang keduanya memusuhi logika pasar komersial
dan pemujaan keluarga borjuis, jika dari sudut pandang yang
berlawanan. Pemerintahan aristokratis tradisi-onal menawarkan
21
Bandingkan David Perkins, A History of Modern Poetry — Modernism
and After, Cambridge, Mass. 1987, hal. 331-353, dengan Paul Hoover (ed),
Postmodern American Poetry, New York 1994, hal. xxv-xxxix. Apakah orang
akan memperluas skopnya melampaui seni, filsafat menawarkan bidang
yang jelas bagi banyak kontras yang sama — Rorty pada satu ujung, Derrida
pada ujung yang lain.

154
ASAL-USUL POST MODERNITAS

seperangkat ideal yang bisa mengukur diktat-diktat laba dan


kekenesan (tingkah laku yang dibuat-buat) — sprezzatura di atas
kalkulasi vulgar atau larangan sempit. Gerakan buruh darurat
cukup mewujudkan antagonistis lain yang bukan lebih kecil
dengan pemerintahan atau kekuasaan pe-mujaan mutlak dan
komoditas, tetapi yang mencari dasarnya dalam eksploitasi,
dan solusinya dalam masa depan egalitarian, lebih dari masa
lalu hirar-kis.22 Dua kupasan ini mempertahankan ruang eks-
perimen estetis. Para artis yang memperselisihkan konvensi-
konvensi mapan memiliki peluang dari afiliasi metonimik
dengan satu kelas atau kelas yang lain, sebagai gaya moral
atau publik nasional. Seringkali mereka tertarik pada keduanya,
yang termasyhur dengan kritikus-kritikus seperti Ruskin.
Ada juga pilihan-pilihan lain: borjuis kecil kota baru — secara
ramah populer, lebih dari proletarian dengan pandangan tajam
— adalah pertalian pen-ting bagi kaum impresionis, atau bagi
Joyce. Tetapi dua zona utama investasi aktual atau imajiner
ada-lah lingkungan atas waktu luang bertitel dan tenaga kerja
manual yang dalam dan lebih rendah. Strindberg, Diaghilev,
Proust, George, Hofmannsthal, D’annunzio, Eliot, Rilke dapat
berdiri untuk jalur yang pertama; Ensor, Rodchenko, Brecht,
Platonov, Prévert, Tatlin, Léger, untuk jalur kedua.
Cukup terbukti, percabangan (divarication) ini tidak sesuai
dengan suatu pola khusus manfaat estetis. Tetapi yang sama-
sama jelas, divarikasi ini menunjukkan dua perangkat simpati
politik yang berlawanan, yang membatasi tingkat gaya yang
diadopsi oleh masing-masing sisi. Tentu saja, ada pengecualian
penting di sini, seperti Mallarmé atau Céline, dimana hermetik

22
Untuk dualitas ini, lihat terutama Raymond Williams, The Politics of
Modernism, London 1989, hal. 55-57.

155
ASAL-USUL POST MODERNITAS

dan demotik bertukar tanda-tanda ideologis. Tetapi aturan


umum dianggap baik dimana bidang modernisme dilangkahi
oleh dua garis atraksi sosial, dengan konsekuensi-konsekuensi
formal. Seberapa jauh sesuatu bidang yang dibandingkan
dikatakan sebagai postmodernisme? Keberangkatan
aristokrasi, hilangnya borjuisi, erosi kepercayaan kelas pekerja
dan identitas, telah mengubah dukungan-dukungan dan target-
target praktek artistik dengan cara-cara fundamental. Bukan
hanya bahwa pendengar alternatif telah hilang. Kutub-kutub
baru identifikasi yang berlawanan telah muncul pada zaman
postmodern: gender, ras, ekologi, orientasi seksual, keaneka-
ragaman regional atau kontinental. Tetapi ini semua sampai hari
ini telah berwujud sekumpulan anta-gonisme yang lemah.
Warhol dapat diambil sebagai kasus dalam pokok ini.
Dalam bacaan yang simpatetis dan cerdik, Wollen mensituasikan
“teatrikalisasi kehidupan sehari-hari” (theatricalization of
everyday life) sebagai kelanjutan proyek avant-garde historis yang
mengangkat hambatan-hambatan antara seni dan kehidupan,
yang diangkat menjadi bawah tanah, dimana beban politisnya
memberlakukan liberasi gay. Tetapi ada kontradiksi tidak cukup
antara keabsahan dan ketakjuban Warhol kemudian dengan
Reaganisme — fase “potret-potret masyarakat dan TV kabel”.23
Insting-insting subversif utamanya dikuasakan oleh sesuatu
yang jauh lebih besar. Penulisan kembali otoritatif keseluruhan
titik potong modernisme Wollen menekankan bahasa sumber-
sumbernya meletakkan sirkulasi antara budaya rendah dan
23
Raiding the Icebox, hal. 158-161, 208. Untuk bacaan lain yang menarik
dari Warhol awal, dimulai dari kemunduran tahun 1966, lihat Thomas Crow,
Modern Art in the Common Culture, New Haven 1996, hal. 49-65: volume
yang barangkali berisikan yang terbaik — secara estetis inklusif, namun
secara historis tajam — sketsa dialektika orisinil modernisme dan budaya
massa pada seni-seni visual.

156
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tinggi, pinggir dan inti atau pusat, yang hasil orisinilnya jauh
lebih secara tidak beraturan dan begitu subur dibanding estetika
fungsionalis yang kemudian diawasi keras ke dalamnya, demi
modernitas industrial yang dirampingkan, yang terpesona oleh
Amerikanisme dan Fordisme. Tetapi, demikian ia menyatakan,
selalu ada arus-arus bawah heterodoks “perbedaan, ekses,
hibriditas dan polisemi” — yang kadang-kadang dapat dilihat
bahkan di dalam semangat puritas seperti Loos atau Le Corbusier
— yang, dengan krisis Fordisme, dikemukakan kembali dalam
permainan bentuk-bentuk postmodern dekoratif.24
Pada pandangan pertama, ini tampak seperti akhir cerita
dengan pukulan yang tidak keras. Namun ada indikasi-indikasi
cukup dari bentuk-bentuk baru kekuatan korporasi di mana-
mana dalam tulisan Wollen yang menyatakan putusan yang
lebih ambisius. Bagaimanapun, apa yang benar adalah bahwa
kompleks kelembagaan dan tekno-logis yang muncul dari krisis
Fordisme tidak memerlukan bobot seimbang dengan konfigurasi
Fordist sendiri, dalam rekonstruksinya. Semakin kecil detail
yang diberikan semakin longgar kesimpulan. Resikonya di sini
adalah keterangan yang mengecilkan arti perubahan dalam
situasi seni sejak tahun 1970-an, dimana kekuatan-kekuatan
pada karya dalam kebangkitan kembali ornamental dan hibrida
telah tidak dilepas dari bawah. Cara lain untuk menyatakan
hal ini adalah dengan bertanya seberapa jauh judul Raiding the
Icebox yang menarik sepenuhnya kontemporer. Frase turun
rumah Warhol hanya termasuk “elegi nostalgia” (nostalgic
elegy) untuk usia-usia belasan yang hidup di Zaman Emas
Amerikanisme yang, seperti kata Wollen, menentukan Seni Pop
sebagai keseluruhan. Apa yang bisa lebih fiktif dibanding lemari

24
Raiding the Icebox, hal. 206.

157
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pendingin? Antara dua kebetulan yang demikian, perampokan


haptik di antara pemelihara masa lalu dan postmodern kita
masa kini terletak hambatan elektronik. Saat ini, scanning
bank gambar, penjelajahan jaringan, digitalisasi gambar, akan
menjadi operasi-operasi yang lebih aktual — yang kesemuanya,
seharusnya, diperantarai oleh oligopoli-oligopoli tontonan.
Transformasi itulah, adanya pertunjukan di mana-
mana sebagai prinsip industri budaya yang mengatur dalam
kondisi-kondisi kontemporer, yang di atas semuanya, sekarang
membagi bidang artistik. Lapisan antara yang formal dan yang
sosial khususnya terletak di sini. Citra-modern benar-benar
dapat didefinisikan sebagai yang menyesuaikan atau yang
mempunyai daya penarik spektakuler; ultra-modern sebagai
yang berusaha untuk mengelak atau menolaknya. Tidak ada
cara untuk memisahkan kembalinya dekoratif dari tekanan
lingkungan ini. “Rendah” dan “tinggi” membutuhkan pengertian
yang berbeda di sini: yang tidak lagi menunjukkan perbedaan
antara yang populer dan yang elit, tetapi lebih antara pasar dan
mereka yang memerintahnya. Bukan bahwa, lebih dari yang
modern, ada suatu persesuaian sederhana antara hubungan
karya dengan garis demarkasi dan prestasinya. Kualitas estetis
seperti biasanya, selalu berbeda dari posisi artistik. Tetapi apa
yang dapat dikatidakan, dengan kepastian lengkap, adalah
bahwa dalam post-modern, citra tidak terelakkan lebih menonjol
dibanding ultra. Karena pasar menciptakan persediaannya
sendiri pada skala besar-besaran melampaui setiap praktek
yang akan menolaknya. Tontonan menurut definisi adalah apa
yang mempengaruhi maksimal sosial dengan jalan gaib.
Inilah ketidakseimbangan endemik dalam postmodern
yang mengemuka dalam pikiran-pikiran sesudahnya (aftert­

158
ASAL-USUL POST MODERNITAS

houghts) bahkan dari komentator-komentator yang paling


serius dan murah hati. Bab terakhir dari The Return of the Real
(Kembalinya yang Nyata) memiliki judul melankolis: “Apapun
yang terjadi pada postmodernisme?” — yaitu, praktek-praktek
dan teori-teori yang telah dimenangkan oleh penulisnya, saat
ini telah dianggap sebagai reruntuhan muatan kapal karam
yang terapung-apung di laut, yang terdampar di tepian-tepian
waktu oleh arus media ke depan.25 Wollen, dengan melihat
pertunjukan Academy tahun 1997, menemukan seni instalasi
yang semakin terstandardisasi dengan jam kemenangannya,
dan letusan inovasi secara tidak diperkirakan melewati kembali
seni lukis, dalam pertarungannya yang meragukan dengan
lingkungan barunya — atau “ketegangan yang dirasa di dunia
seni antara keabsahan Modernisme yang hilang dengan budaya

25
The Return of the Real, hal. 205-206. Barangkali akan berbahaya
apabila ucapan-ucpapan Foster merefleksikan kekecewaan lebih umum
pada October, jurnal dimana kata-kata tersebut pertama kali muncul,
yang peran kuncinya dalam pengajuan versi-versi radikal kemungkinan-
kemungkinan post-modern pada seni-seni visual, setelah esai-esai yang
mematahkan jalan dari Rosalind Krauss, Douglas Crimp, dan Craig Owens
dari tahun 1979-1980, namun akan didoku-mentasikan dengan benar.
Volume kolektif yang diedit oleh Foster pada tahun 1983, The Anti-Aesthetic,
yang memasukkan pidato Whitney dari Jameson, merupakan wakil dari
momen ini. Untuk perubahan nada pada akhir tahun 1980-an, bandingkan
misalnya, Patricia Mainardi yang menyakitkan hati, “Postmodern History at
the Musée d’Orsay”, October, No. 41, Musim Panas 1987, hal. 32-52. Ini
adalah titik persilangan yang telah ditemukan pada Hassan atau Lyotard.
Sudut-pandang “Citra” tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang sama
—- meskipun barangkali kadang-kadang mereka seharusnya mengalaminya.
Untuk contoh menarik suivisme yang tidak dapat diganggu, yang hanya
menyambut baik apa yang semua dicela, lihat Robert Venturi dan Denise
Scott Brown dengan cerita yang berpuas diri tentang cara “pengungkapan
terdekorasi” (decorated shed) dihapus dari “pembenaman” (duck) di tempat
peristirahatan mereka yang terabaikan: “Las Vegas after its Classic Age”,
dalam Ikonography and Electronics upon a Generic Architecture — A View from
the Drafting Room, Cambridge, Mass., 1996.

159
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tontonan yang berkuasa, menjadi kekuatan-kekuatan segala


sesuatu yang ditransformasi dan menjadi kemenangan, yang
dihilangkan oleh Clement Greenberg sebagai kitsch. Tatanan
dunia baru di dalam kekuasaan dan dunia seni barangkali tidak
dapat memisahkan diri darinya”. Dengan kedudukan yang sulit
dan berbahaya ini, seni kontem-porer ditarik ke dua arah:
keinginan untuk “menilai kembali tradisi Modernis, dengan
menggabungkan kembali unsur-unsurnya sebagai korektif
dengan budaya visual Postmodern yang baru”, dan dorongan
untuk “melempar diri sendiri tanpa pikir panjang lagi ke dunia
rayuan baru selebriti, komer-sialisme dan sensasi”.26 Beberapa
jalan ini, demikian kesimpulannya, tidak bisa sesuai. Dengan
sifat segala hal, ada keraguan kecil yang kemungkinan akan
memikul lalu lintas yang lebih berat.

C. Infleksi
Apakah tulisan Jameson tentang postmodernisme
menyatakan suatu evolusi tekanan yang sebanding? Catatan-
catatan sama yang tentu saja dibentuk dalam studi Adornonya,
yang hanya dapat dibaca dengan kunci judulnya — Late Marxisme
— tetapi juga sebagai hal yang didapat kembali, dengan semangat
ucapan Wollen, semangat keabsahan dia-lektis modernisme
akhir. Jameson tegas dalam poin ini: “Modernisme Adorno
menghambat asimilasi dengan permainan bebas tekstualitas
postmodernyang dengan mengatakan bahwa gagasan kebenaran
tertentu itu masih dipertaruhkan pada persoalan-persoalan
verbal atau formal ini”, dan contohnya bertahan lama meskipun
dengan nada paling provokatifnya. Pengamatan Hollywood
yang tidak mengenal kasihan pada Dialectic of Enlightenment,

26
“Thacher”s Artists”, London Review of Books, 30 Oktober 1997, hal. 9.

160
ASAL-USUL POST MODERNITAS

apapun kekurangan-kekurangan lainnya, mengingatkan kita


bahwa “barangkali saat ini, jika kemenangan teori-teori budaya
massa yang lebih utopian tampak lengkap dan benar-benar
hegemoni, kita memerlukan teori manipulasi baru yang korek-
tif, dan komodifikasi postmodern yang benar-benar korektif”.27
Dalam kondisi saat ini, apa yang dulunya merupakan limitasi-
limitasi ganjil telah menjadi antidot-antidot esensial. “Adorno
adalah sekutu yang meragukan (doubtful ally) jika ada arus-
arus politik yang melawan dan masih berkuasa darimana sikap
diamnya yang temperamental dapat mengganggu pembaca.
Sekarang, untuk saat dimana arus-arus tersebut dalam dirinya
sendiri tidak bergerak atau diam, empedunya menjadi pelawan
racun (counterpoison) dan pelarut karatan (corrosive solvent)
yang membuat bahagia ke permukaan dari “apakah itu”.28 Inilah
suara politik dari kebutuhan yang sama.
Buku Jameson tentang Adorno ini benar-benar sezaman
dengan Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism
(Postmodernisme, atau Logika Budaya Kapitalisme Lanjut). Karena
itu, dapatkah kita mendeteksi setiap pembengkokan (inflection)
dari pelacakan postmodernnya? Pada bab terakhir buku The
Seeds of Time (Benih-benih waktu) (1994), dengan mengakui
“kejengkelan tertentu dengan diri saya dan orang-orang lain”
karena pernyataan yang berlebihan tentang “kekayaan yang
tidak dapat diatur” (ungovernable richness) bentuk-bentuk
postmodern arsitektural, Jameson malahan mengusulkan
analisis hambatan-hambatan strukturalnya.29 Hasil ini merupa­
kan kombinasi dari posisi-posisi, yang dibatasi dengan

27
Late Marxism — Adorno, or, the Persistence of the Dialectic, London
1990, hal. 11, 143.
28
Late Marxism, hal. 249.
29
The Seeds of Time, New York 1994, hal. xiv.

161
ASAL-USUL POST MODERNITAS

empat tanda — totalitas, inovasi, parsialitas, replikasi — yang


membentuk sebuah sistem tertutup. Pembatasan yang demikian
tidak menentukan tanggapan-tanggapan arsitek dengan
sekumpulan kemungkinannya, tetapi menurunkan retorika
post-modernisme pluralis. Juga yang mengejutkan bahwa di
sini, Jameson terang-terangan mengagumi semua praktisi
teoretikus — Koolhaas, Eisenmann, Graves, Ando, Moore, Rossi,
Frampton — yang men-distribusikan penyelesaian semiotiknya
yang bulat, tidak masalah betapa sama-sama bermusuhannya.
Sesuai dengan ekumenisme ini, meskipun yang sosial seringkali
secara kuat dibangkitkan saat berjalannya tulisan, tetapi tidak
mendukung diskrimi-nasi antara kedua posisi, yang dibedakan
dengan kriteria formal itu sendiri.
Konsekuensi paradoksikal adalah dengan menemukan
pembubuhan Moore atau Graves yang disatukan dengan
kebencian mereka akan Frampton pada kuadran estetis
yang sama — yang kemudian analisis harus dituang ke dalam
kombinasi cabangnya agar bisa memisah-misahkannya.
Frampton, untuk satu hal, bisa menganggap cara memandang
medan pertarungan arsitektural (architectural battle-field) ini
sebagai kritis, namun tidak cukup.30 Benar bahwa arsitektur
menempati posisi ganjil dalam seni, yang dapat membantu
menjelaskan keengganan Jameson yang tampak di sini. Tidak
ada praktek estetis lain yang memiliki dampak sosial seketika
seperti ini, dan — cukup secara logis — tidak ada satupun yang
telah membangkitkan sedemikian banyak proyek rekayasa
sosial (social engineering) yang ambisius. Tetapi karena pada
saat bersamaan, ongkos dan konsekuensi dari sebuah kompleks

30
Bandingkan karyanya, Modern Architecture — A Critical History, London
1992, hal. 306-311.

162
ASAL-USUL POST MODERNITAS

bangunan terbesar adalah lebih besar dari kompleks bangunan


setiap media lain, pelaksanaan aktual dari pilihan bebas —
dari struktur atau lokasi — oleh arsitek, secara khusus lebih
kecil daripada yang ada di manapun: secara berlimpah, klien-
klien korporasi atau birokratis memerlukan suntikan. Kalimat
pertama lamunan programatis Kolhaas, S,M,L,XL, terbaca:
“Arsitektur adalah campuran berbahaya kemahakuasaan dan
impotensi” (architec-ture is a hazardous mixture of omnipotence
and impotence).31 Jika impotensi substantif tertentu merupakan
garis dasar biasa, maka fantasi-fantasi kemahakuasaan itu
hanya dapat menemukan tempatnya dalam bentuk-bentuk.
Akan tetap terlihat seberapa jauh dasar pemikiran jenis
ini terletak di belakang pendekatan Jameson. Namun bisa
diperhatikan, bahwa kom-binasi — yang dinyatakan hanya
sebagai sketsa — sejak itu telah diikuti dengan intervensi-
intervensi cetakan yang lebih ketat, yang mulai menempatkan
pertanyaan-pertanyaan yang dikesampingkannya. Kajian
urban dari panggilan Koolhaas mencampurkan kehangatan
kekaguman pribadi untuk figur dengan proyeksi masa depan
yang menghambat yang ia puji — kota yang dapat dibuang
(disposable city), yang antisipasi terdekatnya adalah Singapura:
ikonoklasme dengan semangat yang meluap-luap (ebullient
ikonoclasm) yang mengidealisasikan sebuah keadaan rumah
pendidikan bagi pemuda yang terlantar secara benar-benar,
sebagai tempat tujuan “barisan depan tanpa misi”32 yang suka
menentang. Akibatnya, Jameson telah mendesakkan “isu
tanggung jawab dan prioritas yang membuat derita” dalam
arsitektur kontemporer, dan kebutuhan akan kritik ideologi
31
OMA, Rem Koolhass, Bruce Mau: S,M,X,XL, Rotterdam 1995, hal. xix.
32
“XXL: Rem Koolhaas”s Great Big Buildingsroman”, Village Voice Literary
Supplement, Mei 1996.

163
ASAL-USUL POST MODERNITAS

bentuk-bentuknya — dimana bagian muka gedung Bofill atau


Graves termasuk pada tata-nan bayang-bayang atau tiruan,
dan “kekayaan pe-nemuan-penemuan yang dilarutkan ke
dalam kelakuan sembrono atau sterilitas”.33 Pada teks akhir The
Cultural Turn, struktur spekulatif keuangan yang diglobalisasikan
itu sendirilah — kekuasaan modal fiksi (reign of fictitious capital),
menurut istilah Marx -- yang menemukan bentuk arsitektural
dalam bagian muka hantu dan volumevolume yang tidak
diwujudkan dari banyak postmodern yang bertingkat tinggi.
Di area-area lain, infleksi ini tampak lebih tajam. Tidak
ada di lain tempat yang sedemikian melebihi esai panjang
yang mengagumkan tentang “Transformasi Gambar” pada titik
pusat The Cultural Turn. Di sini, Jameson mendaftar kembalinya
seluruh tema postmodern yang secara teoretis pernah
diharamkan dengannya: sebuah pernyataan kembali tentang
etika, kembalinya subjek, rehabilitasi ilmu pengetahuan politik,
perdebatan yang diperbaharui tentang modernitas, dan — yang
paling penting — penemuan kembali estetika. Sejauh sebagai
post-modernisme dalam pengertian lebih luas, seperti logika
kapitalisme yang menang atas skala dunia, telah menghapus
spektrum revolusi, pembelokan sekarang ini menggambarkan
bacaan Jameson atas apa yang bisa kita sebut sebagai “restorasi
dalam restorasi”. Objek khusus kritiknya adalah kebang-kitan
kembali estetika keindahan yang dinyatakan dalam sinema.
Contoh-contoh yang ia bicarakan bertingkat dari Jarman atau
Kieslowski pada satu level, sampai direktur-direktur seperti
Corneau atau Solas pada level yang lain, sampai gambar-
gambar aksi Hollywood saat ini; tanpa membicarakan tematik
seni dan agama yang berhubungan dengan hasil karya indah

33
“Space Wats”, London Review of Books, 4 April 1996.

164
ASAL-USUL POST MODERNITAS

yang baru. Kesimpulannya bersifat drakonian: dimana sekali


keindahan dapat menjadi protes bawah tanah melawan pasar
dan fungsi-fungsi utilitasnya, saat ini komodifikasi gambar
universal telah menyerapnya sebagai lapisan kotoran perunggu
dari tatanan mapan yang cacat (treacherous patina of the
established order). “Gambar adalah komoditas untuk saat ini, dan
itu sebabnya gambar sia-sia mengharapkan peniadaan logika
produksi komoditas darinya; itu sebabnya mengapa, akhirnya,
semua keindahan saat ini hanyalah kemencolokan-palsu belaka
(meretricious)”.34
Kegarangan diktum ini tidak sama dengan tulisan
Jameson tentang arsitektur, yang bahkan dengan paling suka
menyendirinya pun jauh lebih toleran tentang pernyataan-
pernyataan bagi kemegahan visual (visual splendour). Apa yang
bisa menjelaskan perbedaan ini? Barangkali kita seharusnya
memikirkan posisi kedua seni yang berlawanan ini — sinema
dan arsitektur — pada budaya populer. Yang pertama benar-
benar dari permulaan perhiasannya yang ada di tengah-tengah,
sementara yang kedua tidak pernah benar-benar memerlukan
banyak pijakan. Tidak ada pasangan fungsionalisme yang filmis.
Di bidang yang lebih langka ini, pembalikan menuju dekoratif
akan kurang dinodai oleh asosiasi segera dengan estetika
hiburan yang sudah berdiri lama dibanding yang paling mengajak
dari seni-seni komersial. Dalam “Transformations of the Image”,
Jameson mengangkat ilustrasi-ilustrasi estetika keindahannya
dari film-film populernya secara langsung yang dikal-kulasi di
tengah-tengah pundak dan sangat eksperi-mental seperti itu.
Tetapi jika sulit meninjau Latino Bar atau Yeelen dengan cara
sama seperti Blue atau The Godfather, maka tekanan untuk

34
Lihat The Cultural Turn, hal. 135.

165
ASAL-USUL POST MODERNITAS

asimilasinya berasal dari kategori terakhir. Ini dapat dilihat


dari fokus serangan orisinil Jameson pada keindahan filmis —
“pemujaan gambar dengan permukaan halus” yang inotentik
pada gambar-gambar nostal-gia box-office, yang “keindahannya
belaka bisa tam-pak kotor” seperti “beberapa pengemasan
alam yang utama dengan tipe kertas kaca dimana sebuah toko
yang elegan ingin memasangnya di jendela-jendelanya”. Dapat
dicatat bahwa untuk kejadian itu, pada sumber keberatan-
keberatannya, Jameson mengkhususkan lawannya: “momen-
momen dan situasi-situasi historis dimana penaklukan
keindahan telah menjadi aksi politik yang memutar-balik:
intensitas warna yang dipulas halusinasi dalam kekakuan dingin
rutin yang kotor, rasa erotis yang pahit-manis di dunia tubuh-
tubuh yang kelelahan dan dibrutalisasi”.35
Jika kemungkinan-kemungkinan itu telah sedemikian
jalin-menjalin saat ini, akal meletakkan “jarak yang sangat
besar di antara situasi modernisme dan situasi postmodern
atau diri kita sendiri” yang tercipta oleh mutasi gambar yang
disamaratakan menjadi tontonan — karena saat ini “apa yang
mencirikan postmodernitas di area budaya adalah supersesi dari
segala sesuatu yang ada di luar budaya komersial, penyerapan
dari semua budayanya, tinggi dan rendah”, ke dalam sebuah
sistem tunggal.36 Transformasi budaya ini, dimana pasar
menjadi semuanya inklusif, disertai dengan metamorfosis-
metamorfosis sosial. Tulisan Jameson tentang perubahan ini,
pada awalnya paling tidak, lebih mendukung. Menunjuk pada
tingkat-tingkat melek huruf yang lebih besar dan berlimpah
ruahnya informasi, cara-cara yang kurang hirarkis serta

35
Signatures of the Visible, hal. 85.
36
Lihat The Cultural Turn, hal. 135

166
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ketergantungan lebih universal pada upah tenaga kerja, ia


menggunakan istilah Brechtian untuk menangkap proses-
proses yang pelevelannya dihasilkan: bukan demokratisasi,
yang akan menyiratkan kedaulatan politis yang secara wujud
hilang, tetapi “proletarianisasi” — perkembangan yang, dengan
semua batasnya, ketinggalan yang hanya dapat disambut baik.37
Tetapi, sesering cara dalam Jameson, kedalaman-kedalaman
dialektis konsep membuka diri hanya secara bertahap.
Refleksi berikutnya tentang perubahan ini dengan
demikian menyolok pada catatan yang sedikit berbeda. Dalam
The Seeds of Time, proletarianisasi mengungkapkan aspek
yang lain — tidak sedemikian banyak mengungkap jarak kelas,
sebagai penundaan perbedaan sosial tour court: yaitu, erosi atau
penindasan setiap kategori yang lain dalam gambaran kolektif.
Apa yang dulu dapat direpresentasikan sebagai alternatif oleh
masyarakat tinggi atau dunia bawah, pribumi maupun asing,
sekarang menghilang ke dalam fantasmagoria status yang
saling dapat ditukar dan mobilitas yang tidak menentu (aleatory
mobility), dimana tidak ada posisi dalam skala sosial yang
pernah tetap, dan yang asing hanya dapat diproyeksikan ke
luar ke dalam replika atau ekstra-keduniawian. Apa yang sesuai
dengan penggambaran ini bukan persamaan objektif lebih besar
— yang, sebaliknya, dimana-mana menyurut dalam postmodern
Barat — tetapi lebih pada pem-bubaran masyarakat sipil
(dissolution of civil society) sebagai ruang privasi dan otonomi,
menjadi daerah tidak bertuan yang ditarik dari kekerasan yang
dideregulasi dan yang merampok tanpa nama: dunia William
Gibson atau Bladerunner.38 Meskipun bukan tanpa kepuasan-

37
Postmodernism, hal. 306.
38
The Seeds of Time, hal. 152-159.

167
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kepuasan kotornya, proletarianisasi memaksakan penunjukan-


penunjukan pencerahan populer tidak lebih besar, tetapi
bentuk-bentuk kemabukan dan kegilaan yang baru. Inilah tanah
alami puncak kemewahan gambar yang diperdagangkan, yang
dianalisis sedemikian kuat ada di mana-mana oleh Jameson.
Gagasan tentang proletarianisasi (plebeianiza-tion) ini
berasal dari Brecht. Tetapi dengan mendaftar ambiguitas-
ambiguitas tersebut adalah juga sama dengan mengingat
batas sebelum mana, kita dapat berkata, pemikirannya
menjadi goncang. Ada satu realitass amat besar pada seni
Brecht yang tidak pernah berhasil dalam memberikan: tanda
ketidakpastiannya menceritakan kisah sebelum peremehan-
isasinya (trivialization) pada Arturo Ui. Karena Reich Ketiga juga,
secara tidak dapat disangkal, menjadi bentuk proletarianisasi
— barangkali justru paling drastis yang belum dikenal, yang
tidak merefleksikan, tetapi mengejar pemusnahan setiap jejak
dari yang lain. Untuk menuliskan ini bukanlah untuk menolak
bahaya-bahaya fasisme yang diperbaharui, pelaksanaan kanan
dan kiri yang malas yang sejenis saat ini. Tetapi adalah untuk
mengingatkan kita akan keabsahan alternatif dari saat itu, contoh
Gramsci, yang dalam tahun-tahunnya di penjara, dihadapkan
dengan kekuatan politik dan dukungan fasisme rakyat tanpa
penipuan diri paling kecil. Dalam buku-buku catatannya inilah
barangkali analogi paling sugestif bagi transformasi sosial
postmodern dapat ditemukan.
Sebagai orang Italia, Gramsci dipaksa untuk mem­
bandingkan Renaisans dan Reformasi — membangunkan
kembali budaya klasik dan mengutamakan penyuburan seni-
seni negaranya sendiri yang telah dikenal, dan rasionalisasi
teologi serta regenerasi agama besar yang telah hilang. Secara

168
ASAL-USUL POST MODERNITAS

intelektual dan secara estetis, tentu saja, Renaisans dapat


dinilai jauh sebelum Reformasi yang mengikutinya, yang —
jika ditinjau secara sempit — dengan banyak cara melihat
kemunduran menjadi berpandangan sempit yang mentah
dan obskurantisme Injili. Tetapi Reformasi dalam pengertian
itu adalah reaksi konservatif yang menghasilkan kemajuan
historis. Karena Renaisans pada hakekatnya telah menjadi
persoalan elit, terbatas pada minoritas-minoritas yang memiliki
hak istimewa, bahkan di antara mereka yang berpendidikan,
sedangkan Reformasi adalah pemberontakan massa yang
mentransformasikan wawasan separuh rakyat jelata Eropa.
Tetapi dalam rangkaian dari satu ke yang lain, terletak kondisi
Pencerahan.39 Karena kecanggihan budaya Renaisans yang
luar biasa, yang terbatas kepada mereka yang di atas, harus
dikasarkan dan disederhanakan jika keterputusannya dari
dunia abad pertengahan ingin dipancarkan sebagai gerak hati
rasional kepada mereka yang di bawah. Pembaharuan agama
sudah merupakan keharusan, berlalunya kemajuan intelektual
melalui percobaan popularisasi, menjadi dasar sosial lebih luas
dan pada akhirnya lebih kuat dan lebih bebas.
Kualifikasi-kualifikasi empiris yang didapat dari tulisan
Gramsci tidak kita bicarakan di sini. Apa yang berhubungan
adalah figur proses yang ia jelaskan. Karena bukankah ini
sesuatu yang sangat dekat antara hubungan Modernisme
dengan Postmodernisme, yang ditinjau secara historis? Lewat­
nya satu ke lain zaman, sebagai sistem-sistem budaya, tampak
ditandai hanya oleh kombinasi penyebaran dan pencairan.

39
Gramsci mengambil banyak argumennya dari Croce, tetapi
membalikkannya dengan lebih tajam dengan men-dukung Reformasi. Untuk
refleksi-refleksi pokoknya, lihat Quaderni del Carcere, Turin 1977, Vol. II, hal.
1129-1130, 1293-1294; Vol. III, hal. 1858-1862.

169
ASAL-USUL POST MODERNITAS

“Proletarianisasi” dalam pengertian ini tidak berarti perluasan


dasar sosial budaya modern besar-besaran; tetapi dengan
tanda yang sama, juga merupakan perampingan besar
substansi kritisnya, untuk menghasilkan minuman postmodern
yang rata. Kualitas sekali lagi telah dipertukarkan dengan
kuantitas, dalam proses yang dapat dilihat secara alternatif
sebagai emansipasi yang disambut baik dari pembatasan kelas
atau sebagai kontraksi energi-energi yang menemukan. Tentu
saja, fenomena dari pementahan budaya, yang ambiguitas-
ambiguitasnya menangkap perhatian Gramsci, adalah pada
peragaan global. Turisme massa, yang terhebat dari semua
industri tontonan, dapat berdiri sebagai monumennya, dengan
campuran pelepasan dan perusakannya yang membuat ter­
pesona. Tetapi di sini, analogi menempatkan pertanyaannya.
Pada zaman Reformasi, sarana pantas menuju kehidupan
populer adalah agama: gereja-gereja Protestan inilah yang
menjamin lewatnya budaya pasca-pertengahan ke dunia
sekuler dan lebih demokratis. Saat ini, sarana tersebut adalah
pasar. Apakah bank-bank dan korporasi-korporasi menjadi
calon-calon pantas bagi peran historis yang sama?
Cukup kita mengejar sedikit perbandingan, untuk
melihat batas-batasnya. Reformasi dalam banyak cara adalah
penu­runan sosial ketinggian-ketinggian budaya yang semula
diper­tahankan: kesukaan pada Machiavelli atau Michelangelo,
Montaigne atau Shakespeare, tidak akan direproduk-si lagi.
Tetapi tentu saja, ini juga gerakan politik energi yang menyala-
nyala, perang-perang tidak terkendali dan perang-perang sipil,
migrasi dan revolusi, di semua bagian Eropa yang lebih baik.
Dinamika Protestan adalah ideologis; yang didorong oleh
sejumlah kepercayaan yang secara sengit menyerang kesadaran

170
ASAL-USUL POST MODERNITAS

individual, penolakan pada otoritas tradisional, yang diper­


sembahkan untuk wawasan harfiah, permusuhan pada yang
ikonik yang menghasilkan pemikir-pemikir radikalnya sendiri,
yang pada mulanya teologis, dan kemudian lebih terbuka serta
secara langsung menjadi politis: pentasrifan dari Melanchthon
atau Calvin sampai Winstanley atau Locke. Inilah, bagi Gramsci,
peran progresif Reformasi yang membuka jalan bagi zaman
Pencerahan dan Revolusi Prancis. Inilah pemberontakan
melawan tatanan gereja universal yang ideologis pra-modern.
Budaya postmodern adalah sebaliknya. Meskipun
perubahan-perubahan politik hebat telah menyapu dunia
pada perempat abad pertama, namun ini semua jarang yang
menjadi hasil dari perjuangan-perjuangan politik massa.
Demokrasi liberal telah disebar oleh kekuatan contoh ekonomi,
atau tekanan — “artileri komoditas-komoditas” Marx —
bukan dengan pemberontakan moral atau mobilisasi sosial;
dan karena ia telah berbuat demikian, substansinya telah
cenderung saling berjalin, baik di tanah airnya sendiri maupun
di wilayah-wilayahnya yang baru, ketika tingkat partisipasi
suara pemilih jatuh dan kelesuan populer (popular apathy) yang
memuncak terjadi. Zeitgeist tidak diaduk: inilah jam fatalisme
demokratis. Bagaimana jika sebaliknya, jika ketidakadilan sosial
meningkatkan pari passu dengan legalitas politik, dan impotensi
sipil bergandengan tangan dengan hak pilih yang baru? Apa
yang bergerak hanya pasar — tetapi dengan kecepatan yang
semakin meningkat, kebiasaan-kebiasaan, gaya, komunitas,
populasi yang sedang teraduk dalam keadaan terjaga. Tidak
ada pencerahan yang ditakdirkan sebelumnya yang diletakkan
pada akhir perjalanan ini. Rakyat jelata atau kaum proletar
mulai kekurangan hubungan otomatis dengan tujuan filosofis.

171
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Gerakan pembaha-ruan agama mulai dengan perusakan


gambar-gambar; kedatangan postmodern telah memasang
aturan gambar-gambar seperti yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Ikon yang dulunya tersebar dengan hembusan
orang yang ingkar, sekarang diabadikan dalam plaksi-kaca
sebagai universal ex voto.
Budaya tontonan tentu saja, telah menghasilkan ideo­
loginya sendiri. Inilah doxa post-modernisme yang turun
dari momen Lyotard. Secara intelektual, budaya ini tidak
banyak memiliki kepentingan: campuran gagasan-gagasan
tidak menuntut, yang hasil akhirnya sedikit lebih dari
konvensionalisme yang kedodoran. Tetapi karena sirkulasi
ide-ide pada badan sosial khususnya tidak bergantung pada
“koherensinya, tetapi pada kongruensinya dengan kepentingan-
kepentingan material, maka pengaruh ideologi ini tetap sangat
besar — yang sama sekali tidak terbatas pada kehidupan kampus
itu sendiri, tetapi meresap pada budaya rakyat pada umumnya.
Untuk kompleks inilah, Terry Eagleton telah memberikan
kritik yang gemerlap dalam The Illusions of Postmodernism.
Sejak permulaan, Eagleton membedakan secara jelas antara
postmodern yang dipahami sebagai perkem-bangan dalam
seni, dan sebagai sistem idées reçus, serta menjelaskan bahwa
kepentingannya ada pada yang kedua secara berdiri sendiri.
Kemudian ia membicarakan satu setelah kiasan standard lain
retorika anti-fondasionalis, anti-esensialis — peno-lakan setiap
ide tentang sifat manusia; konsepsi-kon-sepsi sejarah sebagai
proses-proses acak; persamaan-persamaan kelas dengan ras
atau gender; pem-buangan cita-cita totalitas atau identitas;
spekulasi-spekulasi subjek yang tidak ditentukan — dan,
dengan ketepatan amat halus, melucuti masing-masing. Jarang

172
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ada perpotongan sedemikian efektif dan komprehensif dari apa


yang secara mengejek digunakan oleh Gramsci sampai Johnson
sebagai omong kosong zaman.
Tetapi tujuan Eagleton bukan hanya sekedar sottisier.
Ia juga akan menempatkan ideologi post-modernisme secara
historis. Kapitalisme maju, demikian katanya, memerlukan
dua sistem pem-benaran yang berlawanan yaitu: metafisika
kebenaran-kebenaran impersonal abadi — perbincang-an
tentang kedaulatan dan hukum, kontrak dan kewajiban — dalam
tatanan politik, dan kasuistis preferensi-preferensi individual
untuk mengubah gaya dan pemuasan konsumsi secara abadi
di dalam tatanan ekonomi. Postmodernisme memberikan eks-
presi paradoks untuk dualisme ini, karena sementara penolakan
subjek yang dipusatkannya mendukung perkawanan aneh
persekongkolan kehendak dengan hedonisme amoral pasar,
penyangkalan setiap nilai yang diberi dasar atau kebenaran-
kebenaran objektif menghancurkan legitimasi negara besar. Apa
yang menjelaskan ambivalanesi yang demikian? Di sini, tulisan
Eagleton ragu-ragu. Penelitiannya dimulai dengan bacaan
postmodernisme yang paling dipertahankan sebagai produk
kekalahan politik kelom-pok Kiri yang berlangsung sampai
hari ini — “pe-mukulan mundur definitif” (definitive repulse).40
Tetapi ini dipresentasikan sebagai perumpamaan yang menarik
daripada sebagai rekonstruksi aktual. Karena dengan simpati
karakteristik, Eagleton menyatakan bahwa postmodernisme
tidak dapat direduksi dengan ini: postmodernisme juga
merupakan kemunculan minoritas-minoritas yang direndahkan
ke atas panggung teoretis, dan “revolusi yang benar-benar”
(veritable revolution) dalam pe-mikiran tentang kekuasaan,

40
The Illusions of Postmodernism¸ Oxford 1997, hal. 1.

173
ASAL-USUL POST MODERNITAS

kehendak, identitas dan tubuh, tanpa inspirasi politik bukan


radikal yang dengan demikian dapat dipikirkan.41
Ambivalensi ideologis postmodern dengan demikian
dapat dihubungkan dengan kontras historis: secara skematis
— kekalahan buruh yang terorganisir dan pemberontakan
mahasiswa yang menyimpulkan dalam akomodasi ekonomi
dengan pasar, munculnya mereka yang terhina dan terluka
yang mengarah pada pertanyaan moralitas politik dan
negara. Beberapa paralelisme yang demikian tentu saja
tersembunyi dalam tulisan Eagleton. Tetapi jika itupun tidak
pernah diucapkan, alasannya terletak pada pendalihan sejak
permulaannya. Di depannya, akan tampak ukuran yang
sedikit umum antara dua perkembangan latar belakang yang
diberikan untuk postmodernisme: satu didorong ke rumah
pada bab depan yang menentukan adegan untuk keseluruhan
buku, sedang yang lain — merupakan kompensasi sindiran
atau kiasan (allusive compensation) untuknya dalam dua
paragraf. Realitas politik akan menyatakan bahwa rasio yang
demikian merupakan pengertian yang bagus. Tetapi realitas
duduk secara tidak mudah dengan gagasan ambivalensi, yang
menyiratkan paritas efek. Barangkali, sadar akan kesulitan
ini, Eagleton untuk sementara melacak kembali satu tangan
yang ia ajukan dengan tangan yang lain. Cerita kekalahan
politik disimpulkan dengan “kemungkinan paling ganjil dari
semuanya”, ketika ia bertanya: “Bagaimana jika kekalahan ini
tidak pernah benar-benar terjadi sejak permulaan? Bagaimana
jika masalah kelompok Kiri lebih sedikit yang muncul ke atas
dan dipaksa kembali, daripada disintegrasi tetap, kegagalan
kegelisahan yang bertahan, paralisis yang merayap perlahan-

41
The Illusions of Postmodernism, hal. 24.

174
ASAL-USUL POST MODERNITAS

lahan?” Jika demikian halnya, maka keseimbangan antara


sebab dan akibat akan dipulihkan. Tetapi tergoda meskipun
ia dengan bayangannya yang menghibur ini, Eagleton terlalu
jelas untuk menyatakannya dengan tegas. Bukunya berakhir
saat baru dimulai, “dengan menyesal, pada catatan yang lebih
mengancam”: bukan imbangan banding, tetapi ilusi adalah garis
dasar dari postmodern.42
Kompleks diskursif merupakan objek kritik Eagleton,
seperti yang ia catat, adalah fenomena yang dapat diperlakukan
terlepas dari bentuk-bentuk postmodernisme artistik —
ideologi sebagai hal beda dari budaya, dalam penerimaan
tradisional pengertian atau istilah ini. Tetapi, tentu saja, dalam
pengertian luas, keduanya tidak dapat dipisahkan secara
demikian bersih. Bagaimana kemudian, seharusnya hubungan
keduanya diterima? Doxa postmodern ditetapkan, seperti
yang ditampakkan oleh Eagleton, melalui tarik-menarik utama
dengan katekisme pasar. Apa yang kita cari, akibatnya, di dalam
praktek adalah pasangan “citra” — sebagai cabang yang dominan
dalam budaya postmodern — di bidang ideologis. Sungguh
mengherankan bagaimana kecilnya perhatian Jameson untuk
ini. Tetapi jika kita bertanya pada diri sendiri dimana momen
teori “ultra” antitetis akan ditemukan, jawabannya tidak jauh
jika dicari. Seringkali diamati bahwa seni-seni postmodern
telah menjadi manifes-to-manifesto pendek yang membubuhi
tanda-tanda sejarah modern. Ini dapat dinyatakan dengan
kuat, seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh Kosuth
atau Koolhaas. Tetapi jika programa-programa este-tika masih
dapat ditemukan — meskipun sekarang lebih sering individual
daripada kolektif, apa yang telah hilang secara tidak diragukan

42
Bandingkan The Illusions of Postmodernism, hal. 19, 134.

175
ASAL-USUL POST MODERNITAS

adalah suatu visi revolusioner dari jenis yang diartikulasikan


oleh para perintis historis. Situasionisme, yang meramalkan
sedemikian banyak aspek postmodernisme, tidak memiliki
hasil-hasil lanjutan di dalamnya.
Kejadian teoretis bentuk perintis yang dire-presentasikan
bagaimanapun tidak hilang. Namun fungsinya telah bergeser.
Untuk apa lagi totalisasi postmodernisme Jameson itu sendiri?
Di zaman modernisme, seni revolusioner menghasilkan des-
kripsi-deskripsi waktu atau intimasi masa depannya sendiri,
sementara untuk sebagian besar prakteknya dipandang secara
skeptis, atau yang terbaik secara selektif, oleh pemikir-pemikir
Kiri yang sifatnya politis atau filosofis. Ketegangan Trotsky
terhadap futurisme, penolakan Lukács atas Verfremdung
Brechtian, keengganan Adorno terhadap surealisme, adalah
karakteristik perangkai itu. Di zaman postmodernisme, ada
pembalikan peran-peran. Untaian-untaian radikal dalam seni,
yang menyatakan kembali atau mengembangkan keabsahan
para seniman avant-garde, tidak berkurang. Tetapi tidak
diragukan sebagian karena hidup berdampingannya citra-
modern yang kacau, dari mana tidak ada persamaan sebelumnya,
budaya “ultra-modernis” ini tidak menghasilkan satupun tulisan
yang percaya diri dari zamannya, atau pengertian arahnya yang
umum. Itulah yang menjadi pen-capaian teori postmodern
Jameson. Inilah, jika dipandang secara komparatif, dimana
ambisi kritik dan elan revolusioner seniman avant-garde klasik
telah berlalu. Dalam daftar ini, karya Jameson dapat dibaca
sebagai persamaan kontinyu tunggal dari semua meteorologi
masa lalu yang penuh semangat. Kemutlakan itu sekarang
eksternal; tetapi pergeseran itu termasuk pada momen sejarah
yang dijelaskan oleh teori itu sendiri. Postmodernisme adalah

176
ASAL-USUL POST MODERNITAS

logika budaya kapitalisme yang tidak memerangi, tetapi


berpuas diri melampaui preseden. Perlawanan hanya dapat
dimulai dengan menatap tatanan ini sebagaimana seharusnya.

D. Skop
Seniman avant-garde klasik, tetap Barat, meski-pun aliran-
aliran modernisme heterodoks, darimana mereka membentuk
satu aliran, secara berulang mencari inspirasi dari Timur, Afrika,
Indian-Amerika. Skop karya Jameson melampaui batasan yang
berhubungan dengan Barat ini. Tetapi bisa dipertanyakan,
apakah dengan demikian, karya ini masih memproyeksikan
alam semesta budaya yang homogen secara luas atau tidak,
yang dimodelkan pada sistem Amerika Utara pada intinya.
“Modernisme,” tulis Peter Wollen, “tidak berhasil dengan
postmodernisme Barat yang mentotalisasi, tetapi dengan
cangkokan estetika baru dimana bentuk-bentuk komunikasi
baru dan peragaan baru secara konstan akan dihadapkan
dengan bentuk-bentuk penemuan dan ekspresi logat daerah
yang baru”, yang melampaui “perbincangan Eurosentris yang
melumpuhkan”.43 Jenis keberatan yang sama membutuhkan
bentuk yang lebih doktrinal dalam korpus “teori postkolonial”.
Badan kritikisme ini telah berkembang sejak pertengahan tahun
1980-an, terutama sebagai reaksi langsung terhadap pengaruh
ide-ide postmodernisme di negara-negara metropoli-tan, dan
khususnya untuk pembangunan bidang Jameson sendiri.
Pentingnya beban terhadap teorinya adalah bahwa
ia mengabaikan atau menekan praktek-praktek di daerah
pinggiran yang bukan hanya tidak dapat diakomodasi dalam
kategori-kategori post-modern, tetapi secara aktif menolaknya.
43
Raiding the Icebox, hal. 205, 209.

177
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Untuk para kritikus ini, budaya postkolonial secara inheren lebih


oposisional, dan jauh lebih politis dibanding post-modernisme di
daerah tengah. Dengan menolak pretensi-pretensi yang terlalu
kuat metropolis, khususnya tidak memiliki keraguan dalam
menarik bentuk-bentuk representasi atau realismenya sendiri
yang radikal, sama dengan mengharamkan konven-si-konvensi
postmodern. Kampiun-kampiun post-kolonial “ingin sekali dan
untuk selamanya menye-but dan menyangkal postmodernisme
sebagai neo-imperalis”. Karena “konsep postmodernitas telah
dibangun dengan kurang lebih secara sengaja menghapus
kemungkinan identitas postkolonial” — yaitu, kebutuhan
akan korban-korban imperialisme Barat untuk mencapai rasa
mereka sendiri “yang tidak terkontaminasi dengan universalis
atau konsep-konsep dan gambar Eurosentris”.44 Untuk ini,
apa yang mereka butuhkan bukanlah kategori-kategori busuk
Marxisme Barat yang mentotalisasi, tetapi genealogi-genealogi
dari, katakanlah, Michel Foucault yang memiliki ciri sendiri.
Teori postkolonial (postcolonial theory) telah menarik
serangkaian sekutu yang kuat dan akan tidak berguna untuk
diulang di sini.45 Gagasan “postkolonial” itu sendiri, khususnya
yang digunakan dalam literatur ini, sedemikian elastis sehingga
44
Simon During, “Postmodernism or Postcolonialism?” Landfall, vol.
39, No. 3, 1985, hal. 369. “Postmodernism or Postcolonialisme Today”,
Textual Practice, Vol. 1, No. 1, 1987, hal. 33. Kedua teks dari Selandia baru
ini, masing-masing mengangkat tugas Jameson, yang berisikan pernyataan
tema-tema penting paling awal dan paling jelas dalam literatur ini. Untuk
ucapan-ucapan tentang “tulisan realis yang mendasari” dalam literatur
postkolonial, lihat Stephen Slemon: “Modernism”s Last Post”, dalam Ian
Adam dan Helen Triffin (eds), Past the Last Post, New York 1991, hal. 1-11,
kontribusi dari Kanada.
45
Lihat, terutama, Arif Dirlik, “The Postcolonial Aura: Third World
Criticism in the Age of Global Capitalism”, Critical Enquiry, Musim Dingin 1994,
hal. 328-356; dan Aijaz Ahmad, “The Politics of Literary Postcoloniality”,
Race and Class, Musim Gugur 1995, hal. 1-20.

178
ASAL-USUL POST MODERNITAS

benar-benar kehilangan sisi kritisnya. Secara tempo-ral,


para pendukungnya menyatakan, sejarah post-kolonial tidak
terbatas pada zaman sejak kemerdeka-an negara-negara yang
dulunya terjajah — namun yang lebih menentukan pengalaman
mereka secara menyeluruh sejak saat penjajahan itu sendiri.
Secara ruang, sejarah tidak terbatas pada tanah-tanah yang
ditaklukkan oleh Barat, tetapi meluas ke tanah-tanah yang
ditempati, sehingga menurut logika bahkan juga Amerika
Serikat, puncak dari neo-imperialisme itu sendiri, menjadi
masyarakat postkolonial dalam mencari identitasnya sendiri
secara tanpa putus-putus.46 Peninggian konsep ini, yang
cenderung mencabutnya dari suatu kepentingan operasional,
tidak diragukan berhutang banyak pada asal-usul geo-
politiknya — yang tidak terletak seperti yang diperkirakan, di
Asia atau Afrika, tetapi pada bekas Dominion-dominion Kulit
Putih, yaitu: Selandia Baru, Australia, Kanada, dan barangkali
sesuatu dengan sumber-sumber intelektualnya juga —
pendangkalan kekuatan (banalization of power) pada konsep
Foucault yang berjangkauan luas yang muncul ke pikiran. Pada
semua peristiwa, konsepsi postkolonial ini sama encernya dan
hampir tidak dapat mempengaruhi targetnya.
Bangunan istilah yang lebih pantas ini mengambil awalan­
nya dengan cara yang kurang som-bong, untuk menunjukkan
masa sejarah dimana dekolonialisasi benar-benar telah terjadi,
tetapi do-minasi neo-imperial tetap bertahan — tidak lagi secara
langsung berbasis kekuatan militer, tetapi dalam bentuk-bentuk
persetujuan ideologis yang memerlukan jenis-jenis penolakan

46
Lihat Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Triffin, The Empire Writes
Back: Theory and Practice vs Colonial Literatures, London 1989, hal. 2; para
pengarang menulis dari Australia.

179
ASAL-USUL POST MODERNITAS

politik dan budaya baru.47 Versi ide dunia kontemporer ini,


meski-pun tanda kedua dalam istilah ini masih menghilangkan
bagian dari targetnya, karena negara-negara besar seperti
Cina — objek khusus reinterpretasi ini — atau Iran tidak pernah
dijajah, dan kebanyakan negara Amerika Latin berhenti juga
dijajah hampir dua abad yang lalu. Tetapi bertahannya kekuatan
penetrasi pasar budaya-budaya rakyat yang ada di luar zona
inti kapitalisme maju, berjalan jauh untuk memenuhi — lebih
dari menyaingi — deskripsi dampak postmodernisme dari
Jameson; yang sesungguhnya, pada tingkat detail, dinyatakan
cocok dengannya. Jadi, vitalitas bentuk-bentuk realisme yang
berpindah ke dalam seni-seni daerah pinggiran — dimana,
katakanlah, penggunaan motif-motif ajaib dapat dilihat sebagai
tempat yang khas bagi “senjata-senjata bagi yang lemah” — dan
efeknya yang membuat resah, tempat para kritikus post-kolonial
secara absah menunjuk, tidak mengkontra-diksikan, konfigurasi
daerah pusat. Di samping itu ada postmodernisme, khususnya
di lereng citranya, selalu memasukkan daya tarik realis tertentu,
dan tidak mengalami kesulitan dalam menyatukan puntiran-
puntiran supranatural untuknya.
Keberatan yang lebih substansial untuk kasus Jameson
tentang dominansi global postmodern bukan berasal dari
pernyataan-pernyataan tentang postkolonial, tetapi lebih
hanya dari kurangnya modernisasi kapitalis yang utuh itu
sendiri dalam sedemikian banyak wilayah yang dulunya menjadi
Dunia Ketiga. Dalam kondisi-kondisi dimana kondisi-kondisi
minimal modernitas — melek huruf, industri, mobilitas — pada
dasarnya masih tidak ada atau hanya sebagian ada, bagaimana
47
Lihat Shaobo Xie, “Rethinking the Problem of Postcolonialism”, New
Literary History, Vol. 28, No. 1, Musim Dingin 1977 (Isu tentang “Cultural
Studies: Cina and The West”), hal. 9ff.

180
ASAL-USUL POST MODERNITAS

postmodernitas bisa memiliki arti? Inilah jalan panjang dari


Diamond Dust Shoes sampai Taklamakan atau Irrawaddy.
Argumen Jameson bagaimanapun, tidak bergantung pada
suatu anggapan — yang jelas absurd — bahwa kapitalisme
kontemporer telah menciptakan sekumpulan situasi sosial yang
homogen di seluruh dunia. Pembangunan yang tidak merata
(uneven development) melekat dalam sistem, yang “ekspansi-
ekspansi barunya yang tergesa-gesa sama-sama tidak merata”
jauh melampaui bentuk-bentuk ketidakadilan yang lama dan
melipatgandakan bentuk-bentuk baru “yang bahkan juga
kurang kita pahami”.48 Pertanyaan sebenarnya adalah apakah
ketidakmerataan ini terlalu besar ditahan dengan suatu logika
budaya umum.
Postmodernisme muncul sebagai budaya dominan
pada masyarakat-masyarakat kapitalis kaya seperti yang
belum pernah terjadi sebelumnya, dengan tingkat-tingkat
konsumsi rata-rata sangat tinggi. Pengintaian pertama Jameson
menghubungkannya secara langsung dengan ini semua, dan
sejak itu ia telah menyatakan secara tegas tentang sumber-
sumbernya yang spesifik Amerika. Karena itu, tidakkah masuk
akal jika berpikir bahwa dimana tingkat konsumsi jauh lebih
rendah, dan panggung pengembangan industri jauh kurang
maju, maka konfigurasi akan lebih mendekati modernisme —
seperti yang pernah tumbuh subur di Barat — akan lebih umum
berjalan? Inilah hipotesis untuk mana, pada suatu tingkat, saya
tarik.49 Dalam kondisi-kondisi ini, apakah orang tidak akan
berharap bisa menemukan dualisme bentuk-bentuk tinggi dan
rendah, yang sebanding dengan pembagi Eropa antara seniman

48
Late Marxism, hal. 249.
49
“Modernity and Revolution”, A Zone of Engagement, hal. 40, 54.

181
ASAL-USUL POST MODERNITAS

avant-garde dan budaya massa, kemungkinan dengan jurang


yang tetap lebar antara keduanya? Sinema India tampaknya
akan menawarkan kasus yang ditunjuk: kontras antara film-film
Satyajit Ray dan salju terjun jenis-jenis aliran lagu dan tari dari
studistudio Bombay yang dilihat sama kakunya dengan sesuatu
di dunia maju. Tetapi tentu saja ini adalah contoh dari pasar
nasional yang sangat terproteksi di tahun 1960-an. Saat ini,
sistem-sistem komunikasi global memastikan tingkat penetrasi
budaya lebih besar secara tidak sebanding di area yang dulu
disebut Dunia Kedua dan Ketiga oleh Dunia Pertama. Pada
kondisi-kondisi ini, pengaruh bentuk-bentuk postmodern tidak
bisa dilepaskan — dalam arsitektur kota-kota seperti Shanghai
atau Kuala Lumpur, pertunjukan-pertunjukan seni Karakas
atau Beijing, novel-novel dan film-film dari Moskow sampai ke
Buenos Aires.
Pengaruh, bagaimanapun, tidak harus domi-nansi.
Adanya kelompok-kelompok artis signifikan, atau kumpulan-
kumpulan gedung, yang pertaliannya jelas postmodern tidak
menjamin adanya hege-moni lokal (local hegemony). Menurut
istilah-istilah yang digunakan oleh Jameson sendiri, dengan
mengikuti Raymond Williams, postmodern hanya bisa dengan
baik “muncul” — lebih dari modern yang menjadi “residual”.
Tentu saja, inilah pandangan dari kritikus berkepala batu
seperti Jonathan Arac, yang meneliti masalah-masalah ini di
negara dimana isu lebih panas diperdebatkan dibanding isu di
manapun juga saat ini, yaitu di Republik Rakyat Cina.50 Dengan
hampir satu milyar penduduk yang baru di daratan saja,
kesimpulan ini sulit dibandingkan. Akan terbuka bagi jawaban

50
“Postmodernism and Postmodernity in Cina: an Agenda for Inquiry”,
New Literary History, Musim Dingin 1997, hal. 144.

182
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Jameson bahwa hegemoni global (global hegemony) postmodern


hanyalah — predominansi bersih pada tingkat dunia, yang tidak
meniadakan peran mengebawahkan pada tingkat nasional,
dalam satu kasus yang dibahas. Bagaimanapun itu jadinya, ada
pertimbangan lain yang harus ditimbang dalam skala. Budaya
postmodern bukan hanya sekumpulan bentuk estetis, tetapi
juga paket teknologi. Televisi, yang sedemikian menentukan
dalam berjalannya zaman yang baru, tidak memiliki modernis
masa lalu. Ia menjadi alat paling kuat dari semuanya pada
zaman postmodern itu sendiri. Tetapi bahwa kekuatan itu jauh
lebih besar — secara absolut tidak seimbang dengan pengaruh
semua yang berkombi-nasi lainnya — di bekas Dunia Ketiga
dibandingkan dengan yang terjadi di Dunia Pertama itu sendiri.
Paradoks ini harus memberikan waktu jeda untuk setiap
penolakan ide yang cepat berlalu, dimana keterkutukan bumi
juga telah memasuki kerajaan tontonan (kingdom of spectacle).
Tidak mungkin ia tetap terisolasi. Karena hanya di depan saja
terletak pengaruh teknologi-teknologi simulasi baru — atau
prestidigitasi — yang kedatangannya cukup baru, bahkan juga
di budaya-budaya kaya. Kita sekarang memiliki diorama penuh
kebesaran yang ganjil dari semua ini, yang menurut ucapan
Julian Stallabrass dikenal sebagai Gargantua. Di sini, cukup
tidak diperkirakan, Jameson memerlukan aki-bat dari yang
disebut oleh Adorno dan Horkheimer sebagai “Industri Budaya”
(Cultural Industry), untuk membicarakan bentuk-bentuk
manipulasi yang berikutnya, telah terpenuhi. Tidak ada karya
sejak analisis terkenal itu yang paling cocok dengan ambisinya,
atau suksesi yang sedemikian cocok dire-presentasikan;
meskipun di sini pengaruh Benjamin memiringkan proyek
Adornian jauh dari sistematis secara deklaratif menuju bidang

183
ASAL-USUL POST MODERNITAS

fenomenal yang lebih pointilliste. Stallabrass meneliti fotografi


digital, pertukaran cyberspace dan gamegame komputer —
dan juga lanskap otomobil, mall-mall, grafiti, pecahan karang,
televisi yang lebih familiar sebagai prafigurasi budaya massa
mendatang yang mengancam untuk menghancurkan tontonan
itu sendiri, yang dengan demikian dikenal, dengan menghan-
curkan batasan-batasan antara yang dianggap dan yang
dilaku­kan secara bersamaan. Dengan pengembangan ini,
teknik-teknik baru memberikan kemungkinan alam semesta
simulasi yang menyegel diri bisa menyelubungi — dan sede­
mikian mengisolasi — pengaturan modal secara lebih lengkap
dibanding sebelumnya. Gravitasi nada diam, dan persisi detail,
mencirikan argumen yang tidak pada waktunya.
Tetapi logikanya, pada satu hal penting, berada pada
variansi dengan kerangkanya. Stallabrass akan memiliki truk
kecil dengan suatu pembicaraan tentang postmodern, dan
mendapatkan pemisahan radikal zona-zona kaya dan miskin
dunia yang radikal — yang, menurut pendapatnya, inilah salah
satu fungsi yang ditutupi oleh budaya massa (mass culture).51
Tetapi kesimpulan yang lebih masuk akal menunjuk ke jalan
yang lain. Teknologi-teknologi yang ia selidiki ada dalam
penetapan waktu dan efek postmodern yang paling menonjol,
jika istilah memiliki arti sama sekali; dan yang tentu saja tidak
tetap terbatas untuk Dunia Pertama seperti yang seringkali
tampaknya ia asumsikan. Gamegame komputer telah memiliki
pasar yang tumbuh dengan subur di Dunia Ketiga. Gamegame
ini juga, seperti halnya dengan televisi, kedatangan jenis-jenis
koneksi dan simulasi terbaru akan cenderung lebih menyatukan,

51
Gargantua — Manufactured Mass Culture, London 1997, hal. 6-7, 10-
11, 75-77, 214, 230-234.

184
ASAL-USUL POST MODERNITAS

daripada membagi pusat-pusat kota pada abad mendatang,


bahkan untuk semua perbedaan pada rata-rata pendapatan.
Selama sistem modal terus berjalan, setiap kemajuan baru
dalam industri gambar meningkatkan radius postmodern.
Dalam pengertian itu, dapat dinyatakan, dominansi globalnya
benar-benar ditahbiskan lebih dulu.
Demonstrasi Jameson sendiri berlanjut ke level yang
lain: baginya, seperti selalu demikian, bukti pudding itu ada
di dalam praktek-praktek budaya itu sendiri. Kemenonjolan
postmodern yang tidak lagi bersifat Barat dapat dinilai dari
karya-karya contoh daerah pinggir. Format modernis tulisan
Gide, Counterfeiters, dan resolusi moralnya, bertindak sebagai
patok duga (benchmark) bagi transformasi kontemporernya
yang mengejutkan dalam tulisan Edward Yang, Terrorizer, dan
hubungannya dengan film-film gelombang baru di Taiwan yang,
menurut pandangan Jameson, membentuk “siklus terhubung
yang lebih memuaskan pemirsa daripada suatu sinema nasional
yang saya ketahui (barangkali simpanan produksi tahun 1920-
an dan 1930-an)”. Dengan gaya yang bukan tidak mirip,
konsep Brecht pada Umfunktionierung diperalat kembali dalam
dirinya tanpa bisa diprediksi dalam “kegembiraan riuh yang
bermartabat” (digni-fied hilarity) dari tulisan Kidlat Tahimik,
Perfurmed Nightmare, dimana oposisi-oposisi nasionalisme
budaya standard — Dunia Pertama dan Ketiga, lama dan baru
— diadonkan dari bentuk menjadi campuran-campuran bobrok,
seperti yang bisa disajikan secara pribumi sebagai jeepney
Filipina itu sendiri.52

52
The Geopolitical Aesthetic — Cinema and Space in the World System,
London 1992, hal. 120, 211.

185
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Akan sulit memikirkan simpati-simpati kurang Eurosen­


tris dibanding ini, atau lebih kongruen dengan kekhawatiran
Wollen. Pada kenyataannya, pelukis-pelukis Zaire atau musisi-
musisi Nigeria dengan siapa Raiding the Icebox menyimpulkan,
perencana-perencana kreatif “seni para-turis” (para-tourist art)
yang tidak bisa dipisahkan dari efek-efek perjalanan postmodern,
mengajarkan modernitas sama yang menghomogenisasi akan
semakin ketinggalan zaman”.53 Tekanan akhir pada kedua
kritikus ini sama, yaitu: gejala-gejala sterilitas dan profinsialisme
di metropolis, notasi-notasi pembaharuan imajinatif di daerah
pinggiran. Post-modern bisa juga menandai ini. “Di bekas
kapitalisme dan pada sistem dunianya inilah bahkan pusat,
dimarginalisasi”, tulis Jameson, dimana “ekspresi-ekspresi tidak
merata secara marginal dan dikem-bangkan secara tidak merata
yang keluar dari pengalaman kapitalisme saat ini sering lebih
intens dan kuat”, dan “di atas semuanya menggejala secara
lebih dalam dan penuh arti dibanding segala yang pusatnya
dilemahkan yang masih mendapatkan dirinya sendiri bisa
berbicara”.54

53
Raiding the Icebox, hal. 197, 202-204.
54
The Geopolitical Aesthetic, hal. 155. Komentar-komentar Jameson
tentang kekosongan bentuk-bentuk metro-politan tinggi di Amerika
Utara, dan secara lebih luas di Dunia Pertama, telah secara konsisten —
kadang-kadang, dapat dinyatakan, bahkan terlalu — tajam. Lihat, sebagai
contohnya, wawancaranya dalam Left Curve, No. 12, 1988; “Orang-orang
Amerika yang ke Luar Negri: Eksogami (Perkawinan Campur) dan Surat-
surat tentang Kapitalisme Lanjut” (Americans Abroad: Exogamy and Letters in
Late Capitalism), dalam Steven Bell et al. (eds), Critical Theory, Cultural Politics
and Latin American Narrative, Notre Dame 1991; pengantar untuk South
Atlantic Quarterly isu spesial tentang postmodernisme di Amerika Latin,
Musim Panas 1993.

186
ASAL-USUL POST MODERNITAS

E. Politik
Pembangunan yang tidak merata: arti yang menggejala
(symptomatic meaning). Inilah istilah-istilah seni yang akan
membawa kita ke pokok inti soal terakhir karya Jameson.
Pada judul buku terbesar pertamanya, Marxisme and Form, di
sana terbaca sebuah epigraf dari Mallarmé: “Il n’existe d’ouvert
à la recherche mentale que deux voies, en tout, où bifurque
notre besoin, a savoir, l’esthétique d’une part et aussi l’économie
politique”.55 Dengan mengulangi sekali lagi dalam Postmodernism
sebagai lambang usahanya yang itu juga, Jameson membubuhi
catatan pada diktum sebagai “persepsi sama dari kedua disiplin
gerakan ganda abadi bidang bentuk dan bidang substansi”56 —
keharmonisan tersem-bunyi Hjelmslev dan Marx. Pengertian
dimana oeuvre Jameson dapat dilihat sebagai kulminasi tradisi
Marxis Barat telah ditunjukkan di atas. Setelan lama tradisi
itu selalu estetis, dan Jameson telah memainkan tangan yang
luar biasa dengannya. Tetapi yang mendasari penyelidikan-
penyelidikan estetis barisan pemikir ini, tentu saja, selalu ada
sekumpulan kategori ekonomi yang berasal dari Capital yang
menginformasikan fokus dan arahnya. Karya Lukács atau
Adorno tidak dapat dipikirkan tanpa referensi abadi, konstan
ini. Pada saat bersamaan, tradisi itu sendiri tidak menghasilkan
perkembangan signifikan di bidang ekonomi politik seperti
Marx — atau Luxemburg atau Hilferding — yang memahaminya.
Di sini, tradisi bersandar pada keabsahan intelektual (intellectual
legacy) yang tidak meluas. Tradisi klasik alternatif, yang berusaha

55
“Magie”, Oeuvres, Paris 1945, hal. 399. Jameson menyebutnya sebagai:
“Hanya dua jalan yang tetap terbuka untuk riset mental yaitu: estetika, dan
juga ekonomi politik” (Postmodernism, hal. 427), yang menghilangkan hal
krusial “dimana kebutuhan kita dibagi”.
56
Postmodernism, hal. 265.

187
ASAL-USUL POST MODERNITAS

untuk mengejar analisis ekonomi Marxis ke era Depresi Hebat,


biasanya diabaikan. Menjelang akhir Perang Dunia Kedua,
barisan ini telah tergelincir sendiri.
Jadi, dua puluh tahun kemudian, ketika — pada ketinggian
ledakan pasca-perang — Jameson mulai menulis, perceraian
antara dimensi-dimensi budaya kiri estetis dan ekonomi berada
pada keluasannya. Karyanya sendiri mengangkat tradisi estetika
agung (great aesthetic tradition). Tetapi ketika tradisi-tradisi
ekonomi dihidupkan kembali pada permulaan tahun 1970-
an, ketika kapitalisme dunia memulai peluncurannya menuju
gelombang resesi yang panjang, sangat mengejutkan bagaimana
secara aktif dan secara kreatif ia menanggapinya. Peran
menentukan buku Ernest Mandel berjudul Late Capitalism dalam
menstimulasi pembalikannya menuju teori postmodernisme
telah tercatat. Ini bukanlah pengaruh yang menyimpang. Dalam
The Cultural Turn, Jameson secara menyolok mengem-bangkan
tulisannya tentang postmodern melalui pemberian nama
orisinil Giovanni Arrighi dalam Long Twentieth Century, dimana
sintesis Marx dan Braudelnya menawarkan interpretasi sejarah
kapitalisme secara menyeluruh yang paling ambisius yang
pernah diusahakan sampai hari ini. Inilah dinamika modal uang
(dynamic of finance capital) di atas “bidang substansi” (plane of
substance) melepas gerakan fragmentasi pada “bidang bentuk”
(plane of from), yang dapat dilacak semuanya pada cara dari
kajian filmis sebelumnya dengan kolage-kolage (susunan benda-
benda dan potongan-potongan kertas dan lain-lain yang dapat
ditempelkan pada bidang datar dan merupakan kesatuan karya
seni) sangat biasa dan bersahaja. Dalam setiap hal, pertalian
ekonomi berfungsi bukan sebagai dukungan eksternal, tetapi
sebagai unsur internal bangunan estetika itu sendiri. Teks akhir

188
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pada buku yang sama, “Batu Bata dan Balon” (The Brick and
the Ballon) menunjuk pada cara David Harvey dalam Limits to
Capital memainkan peran yang bukan tidak mirip.57
Dua jalan Mallarmé dengan demikian disatukan kembali.
Tetapi jika tujuannya adalah kelanjutan dari proyek Marx ke
dunia postmodern, apakah estetika dan ekonomi adalah baris-
baris mars yang eksklusif? Dimana ini meninggalkan politis?
Jejaknya tidak terlupakan dalam diktum yang memotivasi.
Mallarmé berbicara bukan tentang ekonomi, tetapi tentang
ekonomi politik. Istilah yang bersifat prinsip atau ajaran ini
bagai­mana­pun kurang tegas daripada tampaknya. Secara
orisinil dituju­kan pada sistem-sistem kelas Smith, Ricardo, dan
Malthus, persisnya inilah objek kritik Marx; tetapi jika teori-teori
neo-klasik Walras, Jevons, dan Menger dimapankan sebagai
ortodoksi, dengan revolusi marginalis, Marx sendiri diasimilasi
dengan para pendahulu dengan siapa ia telah terputus, seperti
sedemikian banyak fosil-fosil prasejarah disiplin (fossils of the
pre-history of the discipline) — kritik ekonomi politik menjadi
tidak lebih dari bab terakhirnya yang dogmatis. Dalam reaksinya,
kaum Marxis setelah itu seringkali akan menyatakan tradisi
sebagai benar-benar tradisi mereka sendiri, kebalikan dengan
formalisme ekonomi “murni” yang dikodifikasikan oleh pewaris-
pewaris para pemikir neo-klasik. Tetapi hal yang demikian, tetap
menjadi kategori residual — “politis” hanya sejauh ia melampaui
kalkulus pasar, menuju referensi sosial yang jika tidak, akan
tertinggal dalam ketidaktentuan. Pengertian lemah ini tidak
pernah cukup untuk mendefinisikan keabsahan khusus Marx.
Tetapi jika pepatah puitis (poetic adage) tidak meninggal­
kan ruang bebas bagi pepatah politis, maka figur-figur ini secara

57
The Cultural Turn, hal. 136-144ff., 184-185ff.

189
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menonjol ada di mana-mana, dengan judul karya teoretis paling


sistematis Jameson di bidang sastra atau literatur itu sendiri.
The Political Unconscious dibuka dengan kata-kata: “Buku ini
akan menyatakan prioritas interpretasi politis teks-teks sastra.
Buku ini menganggap perspektif politis bukan sebagai suatu
metode pelengkap, bukan sebagai kata bantu opsional untuk
metode-metode penafsiran lain saat ini — psiko-analisis atau
mitos kritik, stilistik, etis, struktural — tetapi sebagai wawasan
mutlak semua bacaan, dan semua interpretasi”. Jameson menulis
bahwa posisi ini akan tampak ekstrim. Tetapi artinya dijelaskan
pada beberapa halaman sesudah ini, dengan deklarasi: “Tidak
ada yang bukan sosial dan historis — sesungguhnya, segala
sesuatu adalah politis ‘dalam kejadian terakhir’.“58 Inilah
pengertian istilah komprehensif yang memberikan kekuatannya
pada judul buku. Dalam strategi penafsiran yang mana buku
berlanjut, bagaimanapun, ada ruang politik lain lebih kecil,
yang dipahami dalam pengertian yang lebih terbatas. Dengan
model ini, Jameson menyatakan bahwa ada “tiga kerangka
konsentris yang menandai pengertian dasar teks sosial, melalui
anggapan-anggapan atau gagasan, pertama dari sejarah politik,
dalam pengertian sempit peristiwa tepat waktu dan kejadian-
kejadian dalam waktu yang menyerupai-kronikel; kemudian
dari masyara-kat, yang saat ini dalam pengertian ketegangan
konstitutif yang terikat waktu dan kurang diakronis serta
perjuangan antara dua kelas; dan yang paling utama, dari
sejarah yang saat ini diterima dengan pengertian paling besar
dari rangkaian model-model produksi dan suksesi serta nasib
berbagai formasi sosial manusia, dan kehidupan prasejarah
sampai pada apapun sejarah masa datang yang jauh telah

58
The Political unconscious, hal. 17, 20.

190
ASAL-USUL POST MODERNITAS

disimpan untuk kita”.59


Di sini, ada hirarki yang jelas, yang berjalan dari
fundamental sampai superfisial: ekonomi ke sosial ke
politik. Pada yang terakhir, “sejarah direduksi” — kata kerja
menunjukkan apa yang mungkin akan mengikuti — sampai ke
“agitasi diakronis tahun ke tahun, sejarah bangkit dan jatuhnya
rezim-rezim politik dan model-model sosial, serta kesegeraan
perjuangan-perjuangan penuh semangat antara dua individual
historis”.60 Apa yang disebutkan ini, barangkali lebih dari sesuatu
yang lain, adalah deskripsi l’histoire événementielle yang oleh
Brancel dalam deretan bertingkat masa-masa historisnya yang
terkenal — dimana busa episode-episode yang menghilang dan
insiden-insiden yang ia bandingkan dengan meluncur di atas
gelombang-gelombang dari Afrika, yang dikenang mematahkan
pantai-pantai Bahia di bawah sinar bintang-bintang yang
meredup. Kemiripan-kemiripan formal antara dua skema
rangkap tiga (two tripartite schemas), yang menyesuaikan
tekanan l’histoire immobile secara lebih geografis daripada
ekonomis, cukup terbukti. Apa yang tampaknya sama bagi
keduanya adalah cadangan menuju politik yang dipahami dalam
pengertian yang kuat — yaitu, sebagai bidang aksi independen,
yang penuh dengan konsekuensi-konsekuensinya.
Pada kasus Braudel, sikap berdiam diri ini sesuai dengan
struktur dan program karyanya secara menyeluruh. Pada
kasus seorang Marxis, barangkali diragukan apakah ini bisa
jadi seperti itu. Jameson, bagaimanapun, telah menawarkan
alasan-alasan mengapa harus demikian. Dalam teks-teksnya
yang dihitung paling mengejutkan, ia menyatakan kedekatan

59
The Political Unconscious, hal. 75.
60
The Political Unconscious, hal. 76-77.

191
ASAL-USUL POST MODERNITAS

natural antara salah satu versi paling ekstrim neo-liberalisme


— model universal perilaku manusia sebagai maksimalisasi
utilitas oleh seorang ekonom Chicago, Gary Becker — dan
sosialisme, sejauh keduanya bekerja menjauh dari kebutuhan
setiap pemikiran politik. “Keluhan tradisional tentang Marxisme
adalah kurangnya refleksi politis otonom”, tulisnya, “yang
cenderung memukul orang lebih sebagai kekuatan daripada
sebagai kelemah-an”. Karena Marxisme bukan filsafat politis,
dan sementara “tentu saja ada praktek politik Marxis, maka
pemikiran politik Marxis, jika bukan praktis dengan cara itu,
secara eksklusif harus bekerja dengan organisasi ekonomi
masyarakat dan bagai-mana masyarakat bekerjasama untuk
mengorganisir produksi.” Neo-liberal percaya bahwa dalam
kapitalisme hanya masalah-masalah pasar yang dengan
demikian merupakan sepupu dekat pan-dangan Marxis yang
diperhitungkan untuk sosialisme adalah perencanaan, yang
tidak memiliki wak-tu untuk diskuisisi-diskuisisi menurut hak
mereka sendiri. “Kita memiliki banyak persamaan dengan
neo-liberal, yang pada kenyataannya segalanya sebenarnya —
menyelamatkan yang esensial!”61
Di balik provokasi meluap-luap baris-baris ini, terletak
keyakinan prinsip — bukan formula kebetulan Mallarmé yang
muncul kembali tepat di sini.62 Tetapi juga sesuai dengan
61
Postmodernism, hal. 265.
62
Untuk meditasi paling lengkap Jameson tentang diktum Mallarmé,
dan efek-efeknya bagi konsepsi-konsepsi politik, lihat wawancaranya di
jurnal Cairene Alif, “Tentang Teori Marxis Kontemporer” (On Contemporary
Marxist Theory), No. 10, 1990, hal. 124-129, setelah kursus yang diajarkan
di Mesir.
Sebaiknya dikatakan bahwa Mallarmé sendiri tidak akan diturunkan
menjadi dikotomi Magie. Selama krisis Mac-Mahon tahun 1876-1877, ketika
konstitusi Republik Ketiga tergantung dalam keseimbangan, ia menerbitkan
sebuah artikel di La République des Lettres yang menyatakan bahwa “tidak

192
ASAL-USUL POST MODERNITAS

pengertian prioritas-prioritas segera. Kembali ke skema


ada yang lebih kecil dari kedaulatan rakyat” dipertaruhkan, di bawah rubrik
— sebenarnya — La Politique. Untuk teks ini, lihat P.S. Hambly, “Un article
oublié de Stéphane Mallarmé”, Revue d’Histoire Littéraire de la France, Januari-
Pebruari 1989, hal. 82-84. Dalam konteks inilah —- secara intens penuh
kejadian — dimana ia mengeluarkan pernyataan yang berdering terkenal:
“Partisipasi dengan demikian mengabaikan rakyat di dalam kehidupan
politik Prancis yang merupakan fakta sosial yang akan dihormati seluruhnya
sebagai penutup abad ke19. Hal yang sejajar ditemukan pada persoalan-
persoalan artistik, cara yang dipersiapkan dengan evolusi yang mana publik
jarang mengetahui sebelumnya, dari penampilan pertamanya, kerasnya
pendirian, yang dalam bahasa politik berarti radikal dan demokratis” (dalam
“The Impressionists and Edouard Manet”, September 1876). Dua dekade
kemudian, krisis Panama tahun 1893 inilah yang memasang panggung atas
kembalinya Mallarmé pada komentar politik dengan teks yang menjadi Or,
yang pertama dari “Grands Faits Divers” yang dikoleksi dalam Divagations,
dari mana Magie adalah yang kedua pada saat itu, dari tahun yang sama.
Keduanya bernapaskan kebencian yang tidak dapat dikalahkan terhadap
fetisisme keuangan, alkhemi spekulasi. Fumée le milliard, hors le temps d’y
faire main basse: ou, le manque d’éblouissement voire d’intêret accuse qu’élire
un dieu n’est pas pour le confiner à l’ombre des coffres de fer et des poshes — La
pierre nulle, qui rêve l’or, dite philosophale: mais elle announce, dans la finance, le
futur crédit, précédent le capital ou le réduisant à l’humilité de monnaie! — lihat
Oeuvres, hal. 398, 400. [“Sejuta asap, melampaui waktu untuk mendapatkan
tanganmu di atasnya: atau, kurangnya penyilauan kepentingan bahkan
menunjukkan bahwa dewa tidak dipilih akan dikurung dengan bayangan
kantong dan koper besi — Batu nihil yang mimpi-mimpi emasnya, disebut
filosofis: tetapi yang menyatakan kredit uang masa depan, yang mendahului
modal dan menurunkannya menjadi kerendahan hati yang kontan!] Pikiran-
pikiran top ini sesungguhnya, yang menjadi suku kata kedua dari belakang
judul esai Jameson dalam The Cultural Turn.
Ketika Mallarmé menuliskan serangkaian artikelnya “Variations sur
un Sujet” dalam La Revue Blanche selama tahun 1895, Dreyfus telah
dihukum dan awan-awan politik the Affair sedang berkumpul. Sejak saat itu,
kekecewaannya dengan rezim-rezim parlemen Oportunis saat itu lengkap
sudah. Jaunes effondrements de banques aux squames de pus et le candide
camelot apportant à la rue une réforme qui lui éclate en la main, ce répertoire
— à defaut, le piétinement de Chambres où le vent-coulis se distrait à des crises
ministérielle — compose, hors de leur drame propre à quoi les humains sont
aveugles, le spectacle quotidien — Lihat Oeuvres, hal. 414. [Runtuhnya bank-
bank Kuning dengan skala-skala nanah dan penjaja tidak sadar mengangkat
pembaharuan ke jalan yang meledak di tangannya, repertori ini — atau yang
menjatuhmatikan Dewan-dewan itu dimana hembusan udara mengganggu

193
ASAL-USUL POST MODERNITAS

rangkap tiga ini pada akhir The Geopolitical Aesthetic, Jameson


mengingatkan akan film Tahimik yang sifatnya instruktif
tentang “cara tempat di sinilah dimensi ekonomi yang muncul
untuk mengangkat preseden-si atas dimensi politik yang tidak
ditinggalkan atau ditekan, tetapi untuk momen yang diberi
posisi dan peran subordinat”. Karena inilah pelajaran umum
tentang waktu. Dalam perangkai postmodernitas kali ini, “tugas
paling mendesak kita akan secara tidak mengenal lelah mencela
bentuk-bentuk ekono-mi yang telah datang saat ini untuk

diri mereka sendiri dengan krisis Kementerian — mengkomposisi, melampaui


drama mereka sendiri untuk mana manusia-manusia itu menjadi buta, dan
menjadi tontonan sehari-hari.] Teks dari mana bagian ini berasal, La Cour
(“pour s’aliéner les partis”), adalah yang paling menonjol dalam intervensi-
intervensi Mallarmé pada tahun itu — contoh yang sangat jelas dari
penyatuan motif-motif “aristokratis” dengan “proletarian” pada budaya
avant-garde saat itu. Untuk mengukur masuknya artikel-artikel Mallarmé
dalam La Revue Blanche, kita harus mengingat konteksnya. Artikel-artikel
tersebut muncul dalam terbitan-terbitan jurnal yang sama, bukan hanya
dengan gambaran-gambaran dari Toulouse, Vallotton atau Bonnard,
tetapi berdampingan dengan artikel-artikel Bakunin, Herzen, Proudhon
dan Marx — sebuah kajian terkenal dari Charles Andler tentang publikasi
Volume Ketiga Capital; yang tidak membicarakan serialisasi bagian-sebelas
kenangan-kenangan tentang Jenderal Rossignol the enragé, komandan
Hébertiste dalam penindasan Vendée, yang dihormati dengan representasi
heroik oleh Vuillard. Lihat La Revue Blanche, 1895, VIII, hal. 175-178, 289-
299, 391-395, 450-454; IX, hal. 51-63, dst. Dan untuk catatan pertama
tentang Dreyfus, yang menyerang “penganiayannya yang cerdik di Pulau
Setan”. Lihat VIII, hal. 408.
Penelitian yang teliti tentang perkembangan politik Mallarmé belum
dituliskan. Publikasi tentang bagian substansial karya yang diproyeksikan
Sartre tentang sang penyair, yang dimulai dari tahun 1952, menyatakan
bahwa kita telah kehilangan: lihat “L’Engagement de Mallarmé”, Obliques,
No. 18-19, 1979, yang sekarang tersedia sebagai Mallarmé — La Lucidité
et sa Face d’Ombre, Paris, 1986. Hilangnya naskah utuh harus dijelaskan
sebagai kehilangan terbesar. Fragmen yang berhasil hidup memperjelas
bahwa dengan segala kemungkinan, ini akan menjadi cehf d’ouevre biografis
Sartre yang sebenarnya: lebih kaya dalam detail dan lebih tajam dalam fokus
daripada tulisannya yang berikut tentang Flaubert.

194
ASAL-USUL POST MODERNITAS

menguasai yang utama dan yang tidak tertandingi” — “reifikasi


dan komodifikasi yang telah menjadi sedemikian teruni-
versalisasi yang hampir tampak sebagai satuan-satuan organik
dan natural”.63 Bahkan politik liberasi nasional itu sendiri dapat
dipahatkan dalam peperangan besar ini.
Program teoretis Jameson — kita bisa menye-butnya,
dengan menghormati epigrafnya, sebagai simbolisme materialis
— yang dengan demikian sangat konsisten. Koherensinya dapat
diperiksa dari satu absensi penting pada pemberian repertoire
Marxis Barat. Karena tradisi itu bukan tanpa momen politik
yang utama. Antonio Gramsci adalah satu nama hebat yang
secara substansial hilang dari panggilan ulang Marxism and Form.
Sebagian, tidak diragukan itu karena posisi Italia yang melirik
dalam pemaksaan Jameson dalam pemungutan hasil sumber
daya budaya Eropa secara menyeluruh, dimana Prancis, Jerman,
dan Inggris adalah tanah-tanah referensi. Tetapi juga adalah
bahwa karya Gramsci, hasil dari seorang pimpinan Komunis
di penjara, merefleksikan kekalahan sebuah revolusi dan cara-
cara memungkinkan untuk memenangkan perang yang lain,
tidak cocok dengan pencabangan dua estetika dan ekonomi.
Secara kekal inilah politik, sebagai teori negara dan masyarakat
sipil, dan sebuah strategi untuk transformasi kualitatif. Badan
pemikiran ini dilangkahi dalam pembukaan kembali Marxisme
Barat yang luar biasa dari Jameson.
Siapa yang dapat berkata bahwa intuisi ini salah?
Kehebatan Sardinian diuntaikan saat ini, di tengah-tengah
jalan buntu tradisi intelektual yang ia wakili, yang jelas bisa
dilihat bagi semuanya. Aliran sejarah telah lewat di mana-
mana. Jika warisan-warisan Frankfurt atau Paris atau Budapest

63
The Geopolitical Aesthetic, hal. 212.

195
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tetap tersedia lebih banyak, ini juga karena warisan itu kurang
politis — yaitu, tunduk pada “kemungkinan-kemungkinan
dan pembalikan-pembalikan” yang ganjil bagi l’histoire
événementielle seperti yang telah dilihat oleh Jameson.64
Pemurnian Marxisme Barat dengan estetika dan ekonomi, telah
dipertahankan. Teori postmodernisme sebagai logika budaya
kapitalisme yang baru-baru ini merupakan masalahnya yang
mempesona. Namun pada saat bersamaan, persisnya di sini
adalah penyitaan politis yang menampilkan paradoks. James
menegaskan post-modern sebagai tahap dalam pembangunan
kapitalis, jika budaya sebagai akibat menjadi meluas bersama
dengan ekonomi. Apa kedudukan yang tepat karenanya, untuk
kritikus di dalam budaya ini? Jawaban Jameson terletak pada
pembedaan berkelipatan tiga. Ada selera, atau opini, yang
merupakan sekumpulan preferensi subjektif — kepentingan
kecil dalam dirinya sendiri — untuk karya-karya seni khusus.
Kemudian ada analisis, atau studi objektif “kondisi-kondisi
historis kemungkinan bentuk-bentuk spesifik.” Akhirnya, ada
evaluasi, yang tidak memasukkan penilaian-penilaian estetis
di dalam pengertian tradisional, namun yang lebih berusaha
untuk “menginterogasi kualitas kehidupan sosial menurut teks
atau karya seni individual, atau membahayakan penilaian efek-
efek politik aliran-aliran atau gerakan-gerakan budaya dengan
utilitarianisme lebih kecil dan simpati besar untuk dinamika
kehidupan sehari-hari, daripada imprimatur dan indeks-indeks
tradisi-tradisi sebelumnya”.65
Jameson, meskipun mengakui beberapa entu-siasme
pribadi sebagai konsumen budaya kontem-porer, namun

64
Ibid.
65
Postmodernism, hal. 298ff.

196
ASAL-USUL POST MODERNITAS

tidak memiliki simpanan khusus tentangnya. Tugas analisis


historis dan formal, di lain pihak, telah menjadi bagian terbesar
dari karyanya sebagai seorang teoretikus dan kritikus —
yang diartikulasi secara paling sistematis dalam The Political
Unconscious. Bagaimana kemudian dengan evaluasi? Jika kita
melihat Postmodernism, apa yang kita temukan adalah sketsa-
sketsa kualitas kehidupan yang tidak dapat dilupakan dalam
bentuk historis, dengan hasil bagi penderitaan internal dan
potensialitas tertentu transfigurasi lahiriah dan batiniah yang
juga mendukung atau mengatasi”.66 Tetapi kalibrasi “efek-
efek politik dari gerakan-gerakan budaya,” secara signifikan
lebih sedikit. Gerakan Sosial Baru memfigurkan, yang
sekarang sebagai topos standard, dalam survai postmodern
Jameson, dimana gerakan dilihat dengan simpati, tetapi juga
menjadi sebuah peringatan hati-hati terhadap pernyataan-
pernyataan yang ditinggikan yang dibuat atas namanya. Tetapi
pembangkitan tanpa detail atau diferensiasi itu, barangkali
karena sejak pertama gerakan itu — seperti yang disiratkan
nama-namanya — bukan gerakan-gerakan budaya yang sama
sekali stricto sensu. Hal yang lebih pantas ditawarkan oleh
konseptualisme anti kelembagaan yang diwakili oleh artis-artis
seperti Haacke, yang strateginya “menghancurkan gambar
melalui gambar itu sendiri” ditangkap secara grafis, meskipun
secara singkat.67 Tetapi inilah referensi yang secara relatif
terpisah, yang hanya cenderung untuk menghancurkan fakta
bahwa tidak ada banyak referensi yang lain.
Tetapi adakah refleksi wajar keterhentian gerakan-
gerakan budaya aktual oposisional — atau benar-benar

66
Postmodernism, hal. 302.
67
Postmodernism, hal. 409.

197
ASAL-USUL POST MODERNITAS

banyak yang posisional — dalam post-modern? Tentu saja,


kecondongan gerakan seniman avant-garde terorganisir
dan menurunnya politik-politik kelas yang merupakan latar
belakang historisnya yang lebih luas, didaftar kuat oleh
Jameson pada halaman-halaman yang sama ini. Tetapi
tampaknya itu tidak cukup — karena tidak ada yang absolut
— untuk menjelaskan jarak antara janji dan pemenuhan. Inilah
kesulitan lebih dalam yang akan terjadi. Perkawinan estetika
dan ekonomi dari Jameson menghasilkan totalisasi budaya
post-modern yang menakjubkan sebagai keseluruhan yang
operasi “pemetaan kognitifnya” bertindak — dan memang
inilah intensinya — sebagai tempat penyimpan penolakan
dialektis untuk itu. Tetapi pokok pengungkitannya harus tetap
di dalam pengertian yang ada di luar sistem itu. Di dalamnya,
Jameson lebih tertarik untuk memantau daripada memutuskan.
Pada level ini, secara konsisten ia telah memperingatkan
bahaya terlalu mudahnya pencaci-makian bentuk-bentuk atau
kecenderungan-kecenderungan khusus, sebagai perangkap
tersembunyi moralisme steril. Itu tidak berarti, di arah yang lain,
setiap konsesi untuk populisme, dimana Jameson tidak pernah
banyak memiliki kecenderungan. Di sana, kemarahannya
pada studistudi budaya dapat dianggap sebagai motto umum:
“Standardisasi kon-sumsi seperti penghambat yang pantas,
yang menghadapi euphoria populisme sebagai fakta hidup dan
hukum fisik pada pencapaian sistem atas”.68
Juga tetap benar bahwa Postmodernism tidak berisikan
serangan yang dipertahankan pada suatu badan kerja atau
gerakan khusus dalam budaya yang digambarkan, dengan
pengertian istilah yang konvensional. Sebagian, tidak diragukan

68
“On Cultural Studies”, Social Text, No. 34, 1993, hal. 51.

198
ASAL-USUL POST MODERNITAS

inilah pertanyaan ekonomi batin (psychic economy) — sesuatu


yang bagaimanapun tidak pernah banyak menarik energi
Jameson; dari masing-masing sesuai dengan temperamennya.
Tetapi bahwa ada juga masalah teoretis yang dipertahankan,
dapat dilihat, barangkali, dari ketegangan signifikan — yang
sangat tidak biasa pada penulis ini — pada penanganan tema
kepentingan pokok pemikiran Jameson: yaitu, kerinduan
utopian. Itulah goncangan yang ditunjukkan oleh Peter Fitting.69
Di satu pihak, ia bersikeras — inilah salah satu temanya yang
paling beda dan berani — bahwa impuls-impuls utopian secara
inheren berada dalam karya pada produk-produk budaya
komersial massa yang direifikasi juga, karena ini semua “tidak
bisa menjadi ideologis tanpa badan yang satu dan pada saat
yang bersamaan secara implisit atau secara eksplisit utopian
juga; impuls-impuls tersebut tidak dapat memanipulasi jika
tidak menawarkan suatu goresan isi sebagai suapan fantasi
bagi publik yang akan sedemikian dimanipulasi” — suapan atau
sogokan yang akan ada pada beberapa figurasi, tidak masalah
betapa menyimpang atau tersembunyinya, tatanan kolektif
yang didapatkan kembali. Fungsi inilah yang oleh Jameson
diistilahkan sebagai “potensial transendennya (transcendent
potential) — yang dimensinya bahkan menjadi tipe budaya massa
yang paling rendah” yang tetap “negatif dan kritis dari ta-tanan
sosial dari mana ia melompat sebagai produk dan komoditas”.70
Film-film yang mengilustrasikan argumen tersebut adalah Jaws
dan The Godfather.
Di lain pihak, representasi-representasi utopia
pantas pada budaya tinggi (high culture) — dari More sampai
69
Makalah pada konferensi tentang postmodernisme yang diseleng­
garakan di Changsha, Hunan, pada Juni 1997.
70
Signatures of the Visible, hal. 29.

199
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Platonov ke Le Guin — yang secara tidak berubah ditahan


untuk memperlihatkan bahwa hanya inilah apa yang tidak
dapat kita bayangkan. “Subjek terdalam utopia” berbalik
“persisnya men-jadi ketidakmampuan kita untuk menerimanya,
ketidaksanggupan kita untuk memproduksinya sebagai visi,
kegagalan kita untuk memproyeksikan yang Lain (the Other) dari
apakah itu, kegagalan yang, seperti halnya dengan kembang-
kembang api yang terlarut kembali ke langit malam, sekali
lagi harus meninggalkan kita sendirian dengan sejarah ini”.71
Impotensi, demikian penegasan Jameson, sifatnya dasar atau
pokok. Apa yang dapat diketahui dengan baik sekali oleh budaya
massa (mass culture), tidak dapat diwujudkan oleh fiksi utopian
(utopian fiction). Adakah ukuran sama antara Independence Day
dan Chevengur, atau ini hanya aporia? Pokok yang paling relevan,
barangkali, ada di mana-mana. Tidak ada kriteria politik yang
diberikan untuk membedakan antara figurasi-figurasi berbeda
kerinduan utopian (utopian longing), baik dengan penyamaran
komersial (commercial disguise) atau dengan imajinasi ramalan
(prophetic imagination). Tetapi bagaimana bentuk-bentuk
yang demikian dapat dipisahkan dari substansinya — bentuk
impian politik? Dapatkah penilaian-penilaian antara keduanya
dihindarkan? Inilah, yang ditampilkan dengan bentuknya
yang paling akut, problem lebih umum dengan memposisikan
postmodern di antara estetika dan ilmu ekonomi.
Karena yang hilang dalam percabangan dua (bifurcation)
ini adalah rasa budaya sebagai medan pertarungan, yang
membagi protagonis-protagonisnya. Itulah bidang politik, yang
dipahami sebagai ruang dengan haknya sendiri. Kita tidak harus
menghasilkan godaan-godaan sektarian dalam Marxisme, atau

71
The Ideologies of Theory, Vol. 2, hal. 101.

200
ASAL-USUL POST MODERNITAS

konsepsi-konsepsi avant-garde yang terlalu memanas, untuk


menyadarinya. Pemahaman yang demikian berasal dari Kant,
untuk siapa filsafat itu sendiri diwujudkan sebagai Kampfplatz —
gagasan di udara Pencerahan Jerman, yang teorisasi militernya
muncul pada generasi berikutnya dalam Clausewitz. Inilah
pemikir Kanan terbesar yang memberikan ekspresi sebagai
konsekuensi atas tekanan di bidang politik. Definisi politik
dari Schmitt sebagai tidak dapat dipisahkan dari divisi antara
kawan dan lawan, tentu saja, tidak mendalam. Tetapi bahwa
definisi menangkap dimensi semua politik yang tidak dapat
dieliminasi jarang diragukan; dan inilah pengertian politik yang
mengangkat budaya postmodern. Untuk menyebutkan kembali
hal ini bukannya bermaksud sebagai mencampuri. Estetika dan
politik tentu saja tidak akan dipersamakan atau dibingungkan.
Tetapi jika keduanya dapat diperantarai, itu karena keduanya
memiliki satu hal yang sama. Keduanya secara inheren dijalankan
dengan penilaian kritis (critical judgement): diskriminasi antara
karya-karya seni dengan bentuk-bentuk negara. Abstensi
dari kritisisme, adalah subskripsi. Postmodernisme, seperti
modernisme, adalah medan ketegangan (field of tensions).
Pembagian ini merupakan kondisi keterlibatan di dalamnya
yang tidak dapat dilepaskan.
Ini hanya bisa dilihat dari teks-teks Jameson sejak
Postmodernism, sebagai infleksi dari tulisannya tentang
postmodern yang secara ajeg semakin tajam. Karena apa yang
dilacak, sebagai hasilnya, adalah involusi. Postmodernisme,
demikian sekarang Jameson menyatakan, siap dapat
diperiodisasikan. Setelah kreatif pertamanya dilepas pada
tahun 1970-an — dengan “melepas energi-energi bergemuruh”
(thunderous unblocking of energies), yang reliefnya secara orisinil

201
ASAL-USUL POST MODERNITAS

ia tuliskan72 — telah diikuti kemunduran yang bisa dilihat pada


sebagian besar periode saat ini, dan dijelaskan dalam esai-esai
ten-tang “Akhir Seni” (the End of Art) dan “Transformasi Citra”
(Transformations of the Image) dalam The Cultural Turn. Di satu
pihak, postmodern dilepas dari ikatan-ikatan Sublime modern
(“yang berdiam di antara monumen-monumen yang mati”),
yang secara orisinil adalah sebuah emansipasi, telah cenderung
mendegenerasi menjadi pemujaan baru Yang Indah, yang
menggambarkan “kolonisasi realitas secara umum oleh bentuk-
bentuk visual dan ruang” yang juga menjadi “komodifikasi realitas
sama yang secara luas terjajah pada skala dunia”.73 Dengan
estetisisme yang direndahkan ini, seni tampaknya tenggelam
sekali lagi ke dalam kondisi dikebelakangkan (culinary condition).
Pada saat bersamaan, pembebasan intelektual yang ditempa
dengan kedatangan Teori, sebagai penerobosan hambatan-
hambatan antara disiplin-disiplin yang telah mengeras dan
munculnya gaya-gaya pemikiran yang lebih ambisius dan tidak
diperkirakan, telah menjalani regresi juga. Untuk fase terakhir
telah dilihat adanya pengembalian semua autarki (swasem-
bada ekonomi nasional) yang usang pada kedudukan semula
dimana impuls-impuls post-modernis yang mendediferensiasi
berusaha untuk menghanyutkannya, dimulai dengan etika dan
estetika itu sendiri.
Residivisme yang demikian, bagi Jameson, bukan tidak
dapat dibalikkan: semangat postmodern dapat mengambil
pembalikan-pembalikan yang lain. Tetapi jika kita bertanya
pada diri sendiri, apakah luncuran budaya yang ia kritisi akan
sesuai, maka jawabannya secara kronologis sudah jelas. Ketika

72
Postmodernism, hal. 313.
73
Lihat The Cultural Turn, hal. 87.

202
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Jameson pertama kali mulai menuliskan post-modernis pada


awal tahun 1980-an, pemerintahan Reagan dan Thatcher telah
menetapkan langkahnya di Barat, Uni Soviet berada di bawah
akhir pemerintahan Brezhnevisme yang terakhir, dan pem­
bebasan nasional menjadi memori yang semakin meng­hilang
di kebanyakan Dunia Ketiga. Tetapi kemenangan kapital­isme
tingkat dunia baru saja datang. Bahkan ketika ia menye­lesaikan
tulisannya pada Postmodernism, di ambang tahun 1990-an,
negara Soviet secara nominal masih ada. Inilah pemus­nahan
lengkap alternatif Komunis, peng-hapusannya yang benar-
benar dari catatan sejarah, diikuti dengan kemajuan neoliberal­
isme yang tiada henti-hentinya di seluruh Dunia Ketiga, dan
menghapuskan satu bekas dari otonomi ekonomi setelah bekas
yang lain — sebuah proses yang sekarang bergulir melalui
benteng-benteng pertahanan Asia Timur sendiri — yang mem­
bentuk latar belakang bagi nada tulisan Jameson yang saat ini
semakin tidak mengenal kompromi. Tema-tema ideologis akhir
sejarah, berhentinya waktu saat kelahiran kapitalisme liberal,
menjadi objek ironi yang mendetotalisasi dalam “Antinomies of
Post-modernity” (1994) yang amat megah, dengan desain ulang
kategori-kategori Kantian untuk pencerahan kontemporer kita;
dan kemudian sekali lagi secara lebih langsung pada “End of Art —
End of History?” (1996) itu sendiri, yang secara dingin memutar
baris Kojève dan Fukuyama menjadi ujung-ujung peng-habisan
yang tidak terjadwal”.74 Teks-teks lain menyuarakan “keadaan
berhutang” (state of the debt) untuk Marx. Karya terbesar
tentang Brecht akan segera hadir bagi kita.75

74
Lihat The Cultural Turn, hal. 50-72 dan 73-92.
75
Lihat “Marx”s Purloined Letter”, New Left Review, No. 209, Januari-
Pebruari 1995; dan Brecht and Method (yang akan datang), London-New
York 1998.

203
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan intervensi-


intervensi politik dengan kemiringan penuh. Di masa lalu, tulisan
Jameson seringkali dibebani dengan cara tidak cukup terlibat
dengan dunia konflik-konflik material dunia — perjuangan-
perjuangan kelas (class struggles) atau kebangkitan nasional
(national risings) — sehingga dianggap “bukan-politis”. Inilah
yang selalu menjadi salah pembacaan pemikir yang bekerja
dengan teguh. Di sini, kita telah mencatat pembalikan teoretis
menuju divisi-divisi tepat waktu di arena budaya — yang tentu
saja, dapat dilacak dengan kebencian untuk menghasilkan
otonomi bagi politik, tetapi melawan pengingkaran dirinya:
namun lebih pada penyerapannya menjadi bentuk totalitasnya
sendiri yang itu juga. Ini telah berubah, menuju triage yang
lebih hebat. Tetapi pertimbangan-pertimbangan seperti ini
menunjuk ke dalam, pada masalah-masalah teori budaya yang
sedemikian. Dalam hubungan yang lebih besar dari badan
tulisan ini dengan dunia luar, suara Jameson telah menjadi
suara tanpa kesamaan dalam kejelasan dan kefasihan bicara
penolakannya dengan arah waktu. Ketika golongan Kiri lebih
banyak jumlahnya dan lebih percaya diri, tulisan teoretisnya
membuat jarak tertentu dengan peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Ketika golongan Kiri semakin terisolasi dan
terkepung, dan kurang mampu membayangkan suatu alternatif
terhadap tatanan sosial yang ada, Jameson pernah berbicara,
bahkan secara lebih langsung kepada karakter politik zaman
itu, dengan mematahkan serangan dari sistem tersebut:
dengan apa kebajikan kekerasan dibeli
ongkos apa yang dihasilkan oleh keadilan berisyarat
apa yang salah dengan hak-hak domestik yang terlibat
apa yang dikejar
kebisuan ini

204
ASAL-USUL POST MODERNITAS

(with what violence benevolence is bought


what cost in gesture justice brings
what wrongs domestics rights involve
what stalks
this silence)

205
ÓÎ

Indeks

A
Adenauer, Konrad 153
Adorno, Theodor 79-81, 105- 106, 108, 123-124, 127, 136, 196-197, 215, 225,
230
Ahmad, Aijaz 219
Albers, Josef 173
Althusser, Louis 127, 132, 136
Anaximander 17
Andler, Charles 238
Ando, Tadao 198
Andrade, Mario de 4
Antin, David 23, 174
Apollinaire, Guillaume 24
Arac, Jonathan 223
Arrighi, Giovanni 231
Ashbery, John 29
Ashcroft, Bill 219
Asher, Michael 184
Auden, Wystan 23
Aulard, François-Alphonse 186
B
Bakunin, Mikhail 238
Balzac, Honoré de 84, 133
Barnet, Miguel 133
Barth, John 29
Bartheleme, Donald 29
Barthes, Roland 80, 84-87
Bataille, Georges 65, 68
Baudelaire, Charles 62, 154, 156

207
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Baudrillard, Jean 46, 89


Becker, Gary 235
Beckett, Samuel 27, 119
Bell, Daniel 40, 63, 69
Belting, Hans 177-180, 182-183
Benamou, Michael 40
Benjamin, Walter 79-81, 124, 136, 225
Benn, Gottfried 66, 68
Berque, Jacques 27
Blanqui, Auguste 164
Bloch, Ernst 79, 80, 124, 127
Bofill, Ricardo 200
Bonnard, Pierre 238
Borges, Jorge Luis 3
Bové, Paul 25
Braudel, Fernand 231, 235
Brecht, Bertolt 80-81, 154, 189, 204, 205, 215
Breton, André 126
Brezhnev, Leonid 165, 249
Broodthaers, Marcel 184
Brown, Denise Scott 33, 194
Buchloh, Benjamin 176
Buren, Daniel 185
Burroughs, William 119
Butterwick, George 12

C
Cabral, Amilcar 164
Cage, John 28, 46, 173
Callinos, Alex 139-140, 142, 165
Calvin, Jean 209
Caramello, Charles 40
Carter, Jimmy 168
Castoriadis, Cornelius 46
Céline, Louis-Ferdinand 189
Chiang Kai-Shek 11
Churchill, Winston 153
Cissé, Souleymane 134
Clark, T.J. 150
Clausewitz, Karl von 247
Conrad, Joseph 133
Corneau, Alain 201
Cournot, Auguste 182
Craxi, Bettino 154
Creeley, Robert 8, 16
Crimp, Douglas 194
Croce, Benedetto 207

208
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Crow, Thomas 191


Cunningham, Merce 46
D
D’Annunzio, Gabriele 189
Danto, Arthur 177-178, 180, 182-183
Danton, Georges 186
Darío, Rubén 1
Davis, Mike 140
De Gasperi, Alcide 153
De Gaulle, Charles 153
De Man, Henri 182
De Man, Paul 107
Della Volpe, Galvano 124
Derrida, Jacques 188
Diaghilev, Sergei 189
Dickens, Charles 133
Dirlik, Arif 219
Doctorow, E. L. 106, 188
Dreyfus, Alfred 237-238
Duchamp, Marcel 29, 31, 40, 49-50, 173, 181, 185
During, Simon 218

E
Eagleton, Terry 139, 165, 211-214
Eichendorff, Josef von 133
Eisenhower, Dwight 8
Eisenmann, Peter 100, 187, 198
Eliot, Thomas Stearns 12, 23, 169, 189
Emerson, Ralph Waldo 105
Ensor, James 189
Etzioni, Amitai 21

F
Fanon, Franz 132
Fichte, Johann Gottlieb 183
Fiedler, Leslie 20-21, 99, 111, 113
Fitting, Peter 245
Flaubert, Gustave 133, 153, 156
Flavin, Dan 185
Foster, Hal 183-184
Foster, Norman 38
Foucault, Michel 29, 65, 68, 107, 218, 220
Fourier, Charles 73, 164
Frampton, Kenneth 198
Freitas, Bezerra de 4

209
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Fried, Michael 101, 108


Fuller, Buckminster 28

G
Gates, Bill 154
Gaudi, Antonio 37
Gehlen, Arnold 182
Gehry, Frank 100
George, Stefan 189
Gibson, William 205
Gide, André 227
Giscard d’Estaing, Valery 48
Gober, Robert 105
Godard, Jean-Luc 137, 151
Gramsci, Antonio 75, 122-123, 131, 136, 146, 206-209, 211, 240
Graves, Michael 38, 187, 198, 200
Greenaway, Peter 183
Greenberg, Clement 102, 149, 173, 180, 195
Greimas, Algirdas 80
Griffiths, Gareth 219
Grosz, Georg 154
Guevara, Ernesto 164

H
Haacke, Hans 105, 184, 188, 243
Habermas, Jürgen 61-64, 66-69, 72-78, 94, 100, 108, 113
Harvey, David 139-140, 231
Hassan, Ihab 26-33, 35, 38-40, 43, 77-78, 94, 99, 113, 119
Hébert, Jacques René 186
Hegel, Georg Wilhelm 178, 180-183
Heidegger, Martin 16, 26
Hemingway, Ernest 133
Herzen, Alexander 238
Hilferding, Rudolf 230
Hitler, Adolf 144
Hjemslev, Louis 229
Ho Chi Minh 164
Hofmannsthal, Hugo von 189
Hollein, Hans 71
Hoover, Paul 188
Horkheimer, Max 123
Howe, Irving 18-19, 21
Hughes, Robert 161
Hughes, Ted 187

210
ASAL-USUL POST MODERNITAS

I
Ibsen, Hendrik 154
Izenour, Steven 33

J
James, William 31
Jameson, Fredric v-vi, 79-138, 139-140, 152, 160, 164, 166-168, 188, 196-205,
214-217, 220-233, 235, 239-246, 248-252
Jarman, Derek 201
Jencks, Charles 35-38, 43, 51-52, 77-78, 100, 113, 188
Jevons, William 232
Johns, Jasper 173, 185
Johnson, Samuel 211
Jorn, Asger 151
József, Attila 24
Joyce, James 169, 189
Judd, Donald 175, 185

K
Kafka, Franz 27, 169
Kant, Immanuel 52, 247
Karatani, Kõjin 133
Khlebnikov, Velemir 24
Khrushchev, Nikita 163
Kier, Leon 71
Kieslowski, Krzysztof 201
Kojève, Alexander 182
Koolhaas, Rem, 100, 198-199, 215
Korsch, Karl 122
Kosuth, Joseph 185, 215
Krauss, Rosalind 194

L
La Revue Blanche 237-238
Lacan, Jacques 45
Lang, Beryl 177
Lange, Oskar 9
Lao She 133
Larkin, Philip 187
Le Corbusier (Charles Edouard Jeanneret) 71-72, 191
Le Guin, Ursula 245
Leduc, Paul 134
Lefebvre, Henri 90-91, 123-124, 126-127
Léger, Fernand 189

211
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Lenin, Vladimir 164


Levesques, René 40
Levin, Harry 19, 99, 113
Lévinas, Emmanuel 42
Lewis, Wyndham 120-121
Lewitt, Sol 185
Liebeskind, Daniel 187
Locke, John 209
Loos, Adolf 191
Lorca, Federico Garcia 3, 24
Lowell, Robert 23
Lu Xun 133
Lukács, Georg 79-81, 83, 122, 124, 126-127, 130, 132, 136, 215, 230
Luxemburg, Rosa 164, 230
Lynch, David 188
Lyotard, Jean-François 39-40, 41-49, 51-60, 62, 76-78, 91-94, 100, 113, 166, 180,
210

M
MacEwan, Malcolm 36
Machado, Antonio 3
Machiavelli, Niccolò 208
McLuhan, Marshall 28
Mac-Mahon, Marie Edmé 236
Mainardi, Patricia 194
Mallarmé, Stéphane 189, 229, 231-232, 236
Malthus, Thomas 232
Mandel, Ernest 88-89, 130, 140, 230
Mann, Thomas 153
Mao Zedong 11-12, 14, 163-164
Marcuse, Herbert 123-124, 127
Marinetti, Filippo Tommaso 24, 161
Marx, Karl 10, 41, 45-46, 79-138, 139, 141, 154, 164, 196, 200, 209, 218, 229-232,
235-236, 240-241, 247, 251,
Melanchthon, Philip 209
Melville, Herman 9
Menger, Karl 232
Michael, Walter Benn 108
Michelangelo (Buonarroti) 208
Mies van der Rohe, Ludwig 33
Milken, Michael 154
Mills, C. Wright 18, 21
Monnet, Jean 153
Montaigne, Michel de 208
Moore, Charles 38, 90, 187, 198
More, Thomas 245
Morris, Robert 175

212
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Motherwell, Robert 149

N
Nahas, Mustafa 27
Nehru, Jawaharlal 11
Neruda, Pablo 3, 15, 24
New Left Review 93-94
Nietzsche, Friedrich 29, 115
Nixon, Richard 26, 154

O
October 194
O’Hara, John 154
Olson, Charles 8-9, 11-12, 15-18, 23-24, 26, 28, 135, 173
Onís, Federico de 2, 31-32, 38, 185-186
Ortega y Gasset, José 2
Owen, Robert 73
Owens, Craig 194

P
Parsons, Talcott 41
Payne, Robert 11
Perelman, Bob 187
Perkins, David 187
Pevsner, Nicholas 35
Platonov, Andrei 189, 245
Pound, Ezra 9, 15, 17
Prévert, Jacques 189
Proudhon, Pierre Joseph 238
Proust, Marcel 133, 169, 189
Pynchon, Thomas 29

R
Rauschenberg, Robert 28-29, 173, 185
Ray, Satyajit 223
Reagan, Ronald 53, 143, 165, 167-168, 190, 249
Riboud, Jean 11
Ricardo, David 232
Rilke, Rainer Maria 189
Rimbaud, Arthur 17, 25, 154
Robespierre, Maximilien 186
Rodchenko, Alexander 189

213
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Rogers, Richard 38
Roosevelt, Franklin Delano 9
Rorty, Richard 188
Rosenquist, James 174
Rossi, Aldo 198
Rossignol, Jean 238
Rothko, Mark 46, 149
Rudolph, Paul 90
Ruskin, John 34, 189

S
Sartre, Jean-Paul 79, 118, 120-121, 123-124, 127, 132, 136-137, 154, 238
Schmitt, Carl 66, 68, 247
Schumpeter, Joseph 152
Scully, Vincent 90
Sembène, Ousmane 133
Shakespeare, William 208
Sidky, Ismail 27
Simon, Claude 188
Sjahrir, Sutan 11
Slemon, Stephen 218
Smith, Adam 232
Smithson, Robert 175
Snow, Michael 40
Sokurov, Alexander 188
Solas, Humberto 133, 201
Sontag, Susan 119
Soseki, Natsume 133
Spanos, William 25-26
Sprinker, Michael 137
Stalin, Josef 144
Stallabrass, Julian 225-226
Stein, Gertrude 24
Steinberg, Leo 174
Stella, Frank 185
Stern, Robert 35
Stravinsky, Igor 106
Strindberg, August 189

T
Tafuri, Manfredo 91
Tahimik, Kidlat 133, 227, 239
Tanaka, Kakuei 154
Tate, Allen 23
Tatlin, Vladimir 161, 189
Terry, Quinlan 71

214
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Thatcher, Margaret 165, 249


Thompson, Edward 36
Tinguely, Jean 29
ToulouseLautrec, Henri de 238
Touraine, Alaine 40
Toynbee, Arnold 4-7, 19, 39
Triffin, Helen 218-219
Trotsky, Leon 215
Truman, Harry 10

U
Unamuno, Miguel de 2
V
Vallejo, César 3
Vallotton, Félix 238
Van Gogh, Vincent 104
Vasari, Giorgio 178
Venturi, Robert 33-36, 71, 90, 194
Vuillard, Edouard 238

W
Walras, Léon 232
Warhol, Andy 29, 32, 104, 119, 174, 181, 183, 185, 188, 190, 192
Weber, Max 66, 108, 152, 158
Weiss, Peter 67
Wiener, Norbert 16
Williams, Raymond 112, 189, 223
Williams, William Carlos 15, 24
Winstanley, Gerard 209
Wittgenstein, Ludwig 42, 44, 66, 68,
Wollen, Peter 125-126, 149-150, 190-192, 195-196, 217, 227,

X
Xie, Shaobo 220

Y
Yang, Edward 133, 227
Yeats, William Butler 17

Z
Zayyat, Latifa 27

215
ÓÎ

Tentang Penulis

PERRY ANDERSON dianggap sebagai “salah satu dari


para pemikir Marxis kontemporer yang paling terkemuka.”
Seorang olympian baik secara substansi dan corak, oeuvre
Anderson meluas dari eksepsional-isme Inggris ke absolutisme
Eropa, dari politik tran-sisi Amerika Latin ke pergeseran
kontur Marxisme Barat, dari asal-usul postmodernisme ke
ekstrimisme dan Perang Dingin. Dua volume karya magisterial-
nya tentang absolutisme Eropa dan transisi feodal-isme,
diterbitkan ketika di usianya pertengahan 30-an, dengan
sangat baik digambarkan dalam The New York Review of Books
sebagai “prestasi intelektual yang hebat”, secara istimewa
untuk “deretan ke-mampuan arsitektural dan konsepsi yang
mempeso-na”. Sebagai kontributor reguler untuk The London
Review of Books, Anderson menikmati pengakuan yang
menonjol dalam kehidupan intelektual publik Eropa. Karyanya
selalu ditandai oleh internasional-isme yang patut ditiru, apakah
kepentingannya yang cukup lama di dunia Lusophone, suntingan
kosmopo-litannya dari New Left Review atau dalam apa yang
ia sebut survei-survei “intra-mural”-nya dari dunia in-telektual

217
ASAL-USUL POST MODERNITAS

Kiri revolusioner. Anderson pindah ke Cina di mana ayahnya


ditempatkan saat bekerja pada Bea Cukai Maritim Kerajaan.
Setelah melewati waktu tahun-tahun peperangan di Amerika,
keluarganya kembali ke selatan Irlandia tempat ia dibesarkan.
Anderson melanjutkan ke Universitas Worcester, Oxford,
tahun 1956 di mana kepentingan-kepenting-annya bergeser
dari “keagungan-keagungan mo-dern” ke filsafat dan psikologi
ke bahasa-bahasa mo-dern (Rusia dan Prancis). Kedatangannya
di Oxford bertepatan dengan penyerbuan Soviet atas Hungaria
dan krisis Suez serta dengan berkembangnya Kiri Baru Inggris,
yang mana ia menjadi aktor utamanya. Jika ada diskontinuitas
dan perpecahan dalam karir intelektual Anderson, di situ juga
ada kontinuitas-kontinuitas yang sangat besar, tidak kurang
dalam perhatiannya pada longue durée perubahan historis
dan politik. Karya-karya terbarunya meliputi The Origins of
Postmodernity, The Question of Europe dan laporan sinoptik
yang penting dari politik sayap kiri berjudul “Pembaharuan”
diterbitkan dalam isu mile-nial New Left Review. c

218

Anda mungkin juga menyukai