LP Post SC Peb

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN


PADA PASIEN DENGAN POST SC DENGAN PEB
DI RUANG FATIMAH AZZAHRA
RUMAH SAKIT ISLAM BANJARMASIN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Program Prof Ners
Stase Keperawatan Maternitas

OLEH :
MISLAWATI, S.Kep
NIM. 21.300.0230

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN
PADA PASIEN DENGAN POST SC DENGAN PEB
DI RUANG FATIMAH AZZAHRA
RUMAH SAKIT ISLAM BANJARMASIN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Program Prof Ners
Stase Keperawatan Maternitas

OLEH :
MISLAWATI S.Kep
NIM. 21.300.0230

Banjarmasin, ……. 2022

Mengetahui

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Noormailida Astuti, S.Kep., Ners.,M.Kep Yunita Hayati, S.Kep.,Ns


LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN POST SC DENGAN PEB

I. Konsep Teori Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman Nyeri


I.1 Pengertian Kenyamanan
Kenyamanan merupakan suatu keadaan seseorang merasa sejahtera
atau nyaman baik secara mental, fisik maupun sosial. (Keliat dkk,
2015). Kenyamanan menurut Keliat dkk, (2015) dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
I.1.1 Kenyamanan fisik; merupakan rasa sejahtera atau nyaman
secara fisik.
I.1.2 Kenyamanan lingkungan; merupakan rasa sejahtera atau
rasa nyaman yang dirasakan di dalam atau dengan
lingkungannya
I.1.3 Kenyamanan sosial; merupakan keadaan rasa sejahtera atau
rasa nyaman dengan situasi sosialnya.
I.2 Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman
Menurut Potter & Perry yang dikutip dalam buku Iqbal Mubarak
et al, (2015) rasa nyaman merupakan merupakan keadaan terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan ketentraman (kepuasan yang
dapat meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan
yang telah terpenuhi), dan transenden.
Kenyamanan seharusnya dipandang secara holistic yang
mencakup empat aspek yaitu:
I.2.1 Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh
I.2.2 Sosial, berhubungan dengan interpersonal, keluarga, dan social
I.2.3 Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal
dalam diri seorang yang meliputi harga diri, seksualitas dan
makna kehidupan.Lingkungan, berhubungan dengan latar
belakang pengalaman eksternal manusia seperti cahaya, bunyi,
temperature, warna, dan unsur ilmiah lainnya. Meningkatkan
kebutuhan rasa nyaman dapat diartikan perawat telah
memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan,
dan bantuan. (Iqbal Mubarak et al., 2015)

I.3 Pengertian Gangguan Rasa Nyaman


Gangguan rasa nyaman adalah perasaan seseorang merasa kurang
nyaman dan sempurna dalam kondisi fisik, psikospiritual, lingkungan,
budaya dan sosialnya. (Keliat et al, 2015)
Menurut Keliat dkk, (2015) gangguan rasa nyaman mempunyai
batasan karakteristik yaitu: ansietas, berkeluh kesah, gangguan pola
tidur, gatal, gejala distress, gelisah, iritabilitas, ketidakmampuan untuk
relaks, kurang puas dengan keadaan, menangis, merasa dingin, merasa
kurang senang dengan situasi, merasa hangat, merasa lapar, merasa
tidak nyaman, merintih, dan takut.
Gangguan rasa nyaman merupakan suatu gangguan dimana
perasaan kurang senang, kurang lega, dan kurang sempurna dalam
dimensi fisik , psikospiritual, lingkungan serta sosial pada diri yang
biasanya mempunyai gejala dan tanda minor mengeluh mual (PPNI,
2016)
I.4 Jenis Gangguan Rasa Nyaman
Menurut Mardella (2013) Gangguan rasa nyaman dapat dibagi menjadi
3 yaitu:
I.4.1 Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan keadaan seseorang mengeluh
ketidaknyamanan dan merasakan sensasi yang tidak nyaman,
tidak menyenangkan selama 1 detik sampai dengan kurang dari
enam bulan.
I.4.2 Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah keadaan individu mengeluh tidak nyaman
dengan adanya sensasi nyeri yang dirasakan dalam kurun waktu
yang lebih dari enam bulan.
I.4.3 Mual
Mual merupakan keadaan pada saat individu mengalami sensai
yang tidak nyaman pada bagian belakang tenggorokan, area
epigastrium atau pada seluruh bagian perut yang bisa saja
menimbulkan muntah atau tidak.

I.5 Penyebab Gangguan Rasa Nyaman


Dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2016)
penyebab Gangguan Rasa Nyaman adalah:
I.5.1 Gejala penyakit.
I.5.2 Kurang pengendalian situasional atau lingkungan.
I.5.3 Ketidakadekuatan sumber daya (misalnya dukungan
finansial, sosial dan pengetahuan).
I.5.4 Kurangnya privasi.
I.5.5 Gangguan stimulasi lingkungan.
I.5.6 Efek samping terapi (misalnya, medikasi, radiasi dan
kemoterapi).
I.5.7 Gangguan adaptasi kehamilan.

I.6 Gejala Dan Tanda Gangguan Rasa Nyaman


Gejala dan tanda gangguan rasa nyaman dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu sebagai berikut (PPNI, 2016):
I.6.1 Gejala dan tanda mayor:
1.6.1.1. Data subjektif:
a. Mengeluh tidak nyaman
1.6.1.2. Data objektif:
a. Gelisah
I.6.2 Gejala dan tanda minor
1.6.2.1. Data subjektif:
a) Mengeluh sulit tidur
b) Mengeluh kedinginan/kepanasan
c) Mengeluh nyeri
d) Mengeluh sakit
1.6.2.2. Data objektif
a. Tampak meringis/menangis

I.7 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri


I.7.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang
timbul bila mana jaringan sedang dirusak yang menyebabkan
individu tersebut bereaksi dengan cara memindahkan stimulus
nyeri ( guyton hall, 2008 dalam syaifullah, 2015).
Nyeri merupakan kondisi perasaan yang tidak
menyenangkan. Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri
berbeda pada setiap orang dalam hal skala maupun
tingkatannya, dan orang tersebutlah yang dapat menjelaskan
atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Nyeri adalah
suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
dirusak sehingga individu tersebut bereaksi untuk rangsangan
nyeri (Uliyah dan Hidayat, 2009).
I.7.2 Fisiologi Nyeri
Uliyah dan Hidayat, (2009) menyebutkan bahwa munculnya
nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin
yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,
persendian, dinding arteri, hati, dan kantong empedu. Reseptor
nyeri dapat dapat memberikan respon karena adanya stimulasi /
rangsangan. Stimulasi yang diterima reseptor ditransmisikan
berupa impulsimpuls nyeri ke sumsum tulang belakang pleh dua
jenis serabut, yaitu serabut A (delta) yang bermielin rapat dan
serabut lamban (serabut C). Impuls-impuls yang ditransmisikan
oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor yang
ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferen yang masuk
ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada
dorsal horn. Dorsal horn tersebut terdiri atas beberapa lapisan
atau lamina yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga
membentuk substansia gelatinosa yang merupakan saluran
utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyebrangi sumsum
tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur
spinal asendens yang paling utama, yaitu spinothalamic tract
(STT) atau jalus spinothalamus dan spinoreticuler tract (SRT)
yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri. Dari
proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri,
yaitu jalur Opiate dan jalur non Opiate. Jalur Opiate ditandai
oleh pertemuan reseptor oleh otak yang terdiri dari jalur spinal
desendens dari thalamus, yang melalui otak tengah dan medulla,
ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi
dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan
neurotransmiter dalam impuls supresif. Sistem supresif lebih
mengaktifkan stimulasi nociseptor yang di transmisikan oleh
serabut A
I.7.3 Klasifikasi
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni
nyeri akut dan kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul
secara mendadak dan cepat mengpost partum normalang, tidak
melebihi enam bulan, serta ditandai dengan adanya peningkatan
tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara
perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, yaitu lebih dari enam bulan. Yang termasuk dalam
kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri
kronis, dan nyeri psikomatis. Table berikut ini menunjukkan
pembagian nyeri ke dalam beberapa kategori ditinjau dari sifat
terjadinya, diantaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.
I.7.4 Stimulus nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain
tolerance), atau dapat mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum
merasakan nyeri (pain threshold). Terdapat beberapa jenis
stimulus nyeri (Uliyah dan Hidayat, 2009), di antaranya:
a. Trauma pada jaringan tubuh. Misalnya karena bedah, akibat
terjadinya
b. kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada
reseptor.
c. Gangguan pada jaringan tubuh. Misalnya karena edema,
akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
d. Tumor, dapat juga menekan reseptor nyeri.
e. Iskemia pada jaringan. Misalnya terjadi blokade pada arteria
koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat
tertumpuknya asam laktat.
f. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
I.7.5 Faktor yang Mempengaruhi
Menurut (Uliyah dan Hidayat, 2009) Pengalaman nyeri pada
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya
adalah:
a. Arti nyeri
Arti nyeri bagi individu banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri tersebut merupakan arti yang negatif,
seperti membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin,
latar belakang sosial kultural, lingkungan, dan pengalaman.

b. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian sangat subjektif,
tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif secara
kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat
memicu stimulasi nociceptor.
c. Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan adanya intensitas
nyeri yang dapat memengaruhi seseorang menahan nyeri.
Faktor yang dapat memengaruhi peningkatan toleransi nyeri
antara lain alcohol, obatobatan, hipnotis, gesekan atau
garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan
lain-lain. Sedangkan faktor yang menurunkan toleransi antara
lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tak
kunjung post partum normalang, sakit, dan lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons
seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas,
menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk
respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti: arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa
lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan
mental,takut, cemas, usia, dan lain-lain.

II. Konsep Dasar Kasus


2.1 Definisi Sectio Cesaria
Sectio cesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Amru Sofian,
2012 dalam Nurarif, 2015).
Sectio cesaria adalah kelahiran janin melalui insisi transabdomen
pada uterus dengan tujuan memelihara kesehatan dan kehidupan ibu dan
janin (Damayanti, 2017)
Sectio cesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)
2.1.1 Jenis SC
1. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di
segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan
teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan
ini adalah:
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri
dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen
bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.
2. Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal
Pada sectio cesaria klasik ini di buat kepada korpus uteri,
pembedahan ini yang agak mudah dilakukan,hanya di
selenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan section
cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen atas uterus.
3. Sectio cesaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk
mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan
kemajuan pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini
sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum
tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4. Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan
indikasi:
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat
Menurut arah sayatan rahim, section caesarea dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Sayatan memanjang ( longitudinal )
b. Sayatan melintang ( transversal )
c. Sayatan huruf T ( T incision )

Berdasarkan saat dilakukan SC:


1. Seksio Sesarea Primer/Efektif
Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan
dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi
kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit (CV kecil dari
8 cm).
2. Seksio Sesarea Sekunder
Mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan),
bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan
gagal, baru dilakukan seksio sesarea.
3. Seksio Sesarea Ulang (Repeat Caecarean Section)
Ibu pada kehamilan lalu mengalami seksio sesarea
(previous caesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya
dilakukan seksio sesarea ulang.
4. Seksio Sesarea Postmortem (postmortem Caesarean Section)
Adalah seksio sesarea segera pada ibu hamil cukup
bulan yang meninggal tiba-tiba sedangkan janin masih hidup.

2.1.2 Etiologi

Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea


adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah
dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin
besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea
diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai
berikut:

1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )

Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar


panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin
yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara
alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa
tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara
alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam
proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang
panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)

Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang


langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih
belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan
eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu
diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan
mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.

3. KPD (Ketuban Pecah Dini)

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum


terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi
inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil
aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.

4. Bayi Kembar

Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal


ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi
komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.
Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau
salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.

5. Faktor Hambatan Jalan Lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang


tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu
sulit bernafas.

6. Kelainan Letak Janin

a. Kelainan pada letak kepala

1) Letak kepala tengadah


Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada
pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah.
Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar
panggul.

2) Presentasi muka

Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian


kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal
ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.

3) Presentasi dahi

Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada


pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada
penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan
berubah menjadi letak muka atau letak belakang
kepala.

b. Letak Sungsang

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin


terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan
bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong
kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin,
2002).

2.1.3 Kontra Indikasi Dilakukan Sectio Cesaria

Kontraindikasi merupakan suatu keadaan dimana SC tidak layak


atau pun tidak boleh dilakukan, pada umumnya kontraindikasi SC
bilamana terdapat keadaan seperti dibawah ini:

1. Bila pada pemeriksaan didapatkan janin yang dikandung


telah mati.
2. Klien dalam keadaan syok.
3. Anemia berat yang belum diatasi.
4. Kelainan kongenital berat pada janin.

2.1.4 Patofisiologi

Sectio caesaria adalah suatu cara mmelahirkan janin dengan


membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan
perut. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala
panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa
dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin
besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami
adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang
pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis
yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan
ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post
de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik
dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah
utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.

Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi


bisa bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih
banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin
sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnoe yang
tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap
tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang
keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang
tidak efektif akibat sekret yang berlebihan karena kerja otot nafas
silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.

Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung


akan terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus.
Kemudian diserap untuk metabolisme sehingga tubuh
memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka
peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka
pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang
pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga
berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi.

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1. Infeksi puerperial: kenaikan suhu selama beberapa hari dalam
masa nifas dibagi menjadi: ringan yaitu suhu meningkat
dalam beberapa hari, sedang yaitu suhu meningkat lebih
tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung,
berat yaitu peritonitis, sepsis dan usus paralitik.
2. Perdarahan: perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat
pembedahan cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau
karena atonia uteri.
3. Kemungkinan ruptur uteri spontan pada kehamilan yang akan
datang.
4. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain: luka kandung
kemih, dan embolisme paru yang sangat jarang terjadi.

5. Resiko cedera janin.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan USG (Ultra SonoGrafi)
Untuk menentukan usia kehamilan
2. Test Nitrazin atau test lakmus
Untuk membantu dalam menentukan jumlah cairan
ketuban dan usia kehamilan, kelainan janin
3. Test LEA (Leucosyt Ester Ase)
Untuk menentukan ada tidaknya infeksi
4. Laboratorium darah
Untuk mengetahui lekosit, trombosit, hemoglobin dan
darah rutin.

2.1.7 Penatalaksanaan

1. Perawatan awal

a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan


b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit
selama 1 jam pertama, kemudian tiap 30 menit jam
berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai
sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan
transfusi, segera kembalikan ke kamar bedah
kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah.

2. Diet

Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah


penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.

Kebutuhan gizi pada masa nifas meningkat 25 % dari


kebutuhan biasa karena berguna untuk proses kesembuhan
sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu yang
cukup. Ibu yang menyusui harus mengkonsumsi tambahan
500 kalori tiap hari, makan dengan diet berimbang untuk
mendapatkan protein, mineral dan vitamin yang cukup,
meminum sedikitnya 3 liter air setiap hari dan ibu sebaiknya
minum setiap kali menyusui, pil zat besi harus diminum
untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40 hari pasca
bersalin, mengkonsumsi kapsul vitamin A (200.000 unit)
agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya melalui
ASInya. Ibu post seksio sesarea harus menghindari makanan
dan minuman yang menimbulkan gas karena gas perut
kadang-kadang menimbulkan masalah sesudah seksio
sesarea.

3. Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :

a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam


setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil
tidur telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler)

e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien


dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan,
dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari
ke5 pasca operasi.

Manfaat mobilisasi bagi ibu post operasi adalah


1) Ibu merasa lebih sehat dan kuat dengan ambulasi dini.
Dengan bergerak, otot–otot perut dan panggul akan
kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat
kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan
demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh
kekuatan, mempercepat kesembuhan, faal usus dan
kandung kencing lebih baik. Dengan bergerak akan
merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas
ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh
bekerja seperti semula.
2) Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli,
dengan mobilisasi sirkulasi darah normal/lancar sehingga
resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat
dihindarkan.

4. Fungsi gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal pada pasien obstetrik yang


tindakannya tidak terlalu berat akan kembali normal dalam
waktu 12 jam. Buang air besar secara spontan biasanya
tertunda selama 2-3 hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini
disebabkan karena tonus otot usus menurun selama proses
persalinan dan pada masa pascapartum, dehidrasi, kurang
makan dan efek anastesi.
Bising usus biasanya belum terdengar pada hari
pertama setelah operasi, mulai terdengar pada hari kedua dan
menjadi aktif pada hari ketiga. Rasa mulas akibat gas usus
karena aktivitas usus yang tidak terkoordinasi dapat
mengganggu pada hari kedua dan ketiga setelah operasi.
Untuk dapat buang air besar secara teratur dapat dilakukan
diet teratur, pemberian cairan yang banyak, makanan cukup
serat dan olahraga atau ambulasi dini. Jika pada hari ketiga
ibu juga tidak buang air besar maka laksan supositoria dapat
diberikan pada ibu.

a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair


b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum
dengan baik

5. Perawatan fungsi kandung kemih

Berkemih hendaknya dapat dilakukan ibu nifas sendiri


dengan secepatnya. Sensasi kandung kencing mungkin
dilumpuhkan dengan analgesia spinal dan pengosongan
kandung kencing terganggu selama beberapa jam setelah
persalinan akibatnya distensi kandung kencing sering
merupakan komplikasi masa nifas. Pemakaian kateter
dibutuhkan pada prosedur bedah. Semakin cepat melepas
kateter akan lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan
ibu semakin cepat melakukan mobilisasi.

a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah


pembedahan atau sesudah semalam
b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai
urin jernih
c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan
kateter terpasang sampai minimum 7 hari atau urin
jernih.
d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan
nirofurantoin 100 mg per oral per hari sampai kateter
dilepas
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus
dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya
terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.

6. Perawatan Perineum

Perawatan khusus perineum bagi wanita setelah


melahirkan bayi bertujuan untuk pencegahan terjadinya
infeksi, mengurangi rasa tidak nyaman dan meningkatkan
penyembuhan.Walaupun prosedurnya bervariasi dari satu
rumah sakit lainnya, prinsip-prinsip dasarnya bersifat
universal yaitu mencegah kontaminasi dari rektum,
menangani dengan lembut pada jaringan yang terkena trauma
dan membersihkan semua keluaran yang menjadi sumber
bakteri dan bau.
7. Perawatan Payudara

Perawatan payudara adalah suatu tindakan untuk


merawat payudara terutama pada masa nifas (masa
menyusui) untuk melancarkan pengeluaran ASI. Pelaksanaan
perawatan payudara pasca persalinan dimulai sedini mungkin
yaitu 1 – 2 hari sesudah bayi dilahirkan. Perawatan payudara
dilakukan 2 kali sehari.
Perawatan payudara dapat dilakukan dengan cara (1).
Menjaga payudara tetap bersih dan kering, terutama puting
susu (2). Menggunakan bra yang menyokong payudara (3).
Mengoleskan kolostrum atau ASI yang keluar sekitar puting
susu apabila puting susu lecet dan menyusui tetap dilakukan
dimulai dari puting susu yang tidak lecet (4).
Mengistirahatkan payudara apabila lecet sangat berat selama
24 jam (5). Meminum parasetamol 1 tablet setiap 4-6 jam
untuk menghilangkan nyeri (6). Melakukan pengompresan
dengan menggunakan kain basah dan hangat selama 5 menit
apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI,
mengurut payudara dari pangkal menuju puting atau
menggunakan sisir untuk mengurut payudara dengan arah Z
menuju puting, ASI sebagian dikeluarkan dari bagian depan
payudara sehingga puting susu menjadi lunak, bayi disusui
setiap 2-3 jam dan apabila tidak dapat mengisap seluruh ASI
sisanya dikeluarkan dengan tangan lalu meletakkan kain
dingin pada payudara setelah menyusui.
8. Kebersihan Diri
Kebersihan diri ibu membantu mengurangi sumber
infeksi dan meningkatkan perasaan kesejahteraan ibu. Mandi
di tempat tidur dilakukan sampai ibu dapat mandi sendiri di
kamar mandi yang terutama dibersihkan adalah puting susu
dan mamae dilanjutkan perawatan payudara.
Pada hari ketiga setelah operasi, ibu sudah dapat mandi
tanpa membahayakan luka operasi. Payudara harus
diperhatikan pada saat mandi. Payudara dibasuh dengan
menggunakan alat pembasuh muka yang disediakan secara
khusus.

9. Pembalutan dan perawatan luka

a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar


cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi
beri plester untuk mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih

e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat


jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC

10. Jika masih terdapat perdarahan

a. Lakukan masase uterus


b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam
fisiologik atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg
I.M. dan prostaglandin

11. Penatalaksanaan medis jika terdapat tanda infeksi, berikan


antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam selama
48 jam :

a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam


b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8
jam
c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
12. Penatalaksanaan medis analgesik dan obat untuk
memperlancar kerja saluran pencernaan

a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting


b. Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
d. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6
jam bila perlu

13. Obat-obatan lain

Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita


dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C

14. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan

a. Pasca bedah penderita dirawat dan diobservasi


kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan
hematoma pada daerah operasi
b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah
terjadinya hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring
dengan lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadinya
infeksi
f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang
berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan
yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen
h. Pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas,
karena bila terjadi obstruksi kemungkinan terjadi
gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena
pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena
tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk
mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai
terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu
perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran
selama 2 jam dan 4 jam sekali.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik
berupa nyeri dan kenya-manan psikologis juga perlu
dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan
kegiatan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk
mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang
tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas. Jadwal
pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan
jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya
penyimpangan
k. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi.
Anestesia; regional atau general Perjanjian dari orang
terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes
laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian
oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol
ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan
abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan
kateter fole.

2.2 Pre Eklamsi Berat


2.2.1 Pengertian
Pre eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada
wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi,
edema dan protein uria tetapi tidak menjukkan tanda-tanda
kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan
gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu
atau lebih. (Nanda, 2012). Preeklampsia adalah hipertensi yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria
(Prawirohardjo, 2008).
Pre eklamsi adalah timbulanya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia 20 minggu
atau segera setelah persalinan (Mansjoer dkk, 2006).
Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria
diagnosis preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan
ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil umum
ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya
stasis pembuluh darah.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada
tanda-tanda lain. Kenaikan tekanan sistolik > 30 mmHg dari nilai
normal atau mencapai 140 mmHg, atau kenaikan tekanan
diastolik > 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg dapat membantu
ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan
istirahat.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam
urin 24 jam yang kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau
pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau 1 gram/liter
atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau
midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6
jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus
dianggap sebagai tanda yang serius.
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria
diagnosis pre-eklampsia, namun adanya penumpukan cairan
secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh harus teteap
diwaspadai. Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan
tubuh. Normalnya, wanita hamil mengalami kenaikan berat badan
sekitar 0.5 kg per minggu. Apabila kenaikan berat badannya lebih
dari normal, perlu dicurigai timbulnya pre-eklampsia.
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang
menjadi eklampsia, yang ditandai dengan timbulnya kejang atau
konvulsi. Eklampsia dapat menyebabkan terjadinya DIC
(Disseminated intravascular coagulation) yang menyebabkan jejas
iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat
fatal.

2.2.2 Klasifikasi
Dibagi dalam 2 golongan :
1. Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi rebah terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan
diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30
mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya
pada 2 x pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam,
sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan
berat badan 1 kg atau lebih perminggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif
1+atau 2+ pada urin kateter atau midstream ( Ida
Bagus.1998).

2. Pre-eklampsi berat:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter
c. Oliguria, jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
d. Keluhan subjektif :
1) Nyeri di epigastrium
2) Gangguan penglihatan
3) Nyeri kepala
4) Edema paru dan sianosis
e. Pemeriksaan :
1) Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus
2) Perdarahan pada retina
3) Trombosit kurang dari 100.000/mm ( Ida Bagus. 1998).

2.2.3 Epidemiologi Dan Faktor Resiko Preeklampsia


Preeklampsia dapat di temui pada sekitar 5-10% kehamilan,
terutama kehamilan pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun.
Frekuensi pre-eklampsia pada primigravida lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida
muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor
predisposisi terjadinya pre-eklampsia. Penelitian berbagai faktor
resiko terhadap hipertensi pada kehamilan / preeklampsia
/eklampsia.
1. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada
primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25
tahun insidens > 3 kali lipat.Pada wanita hamil berusia lebih
dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten.
2. Ras/golongan etnik
Penyebab utama dari preeklamsi adalah terjadinya hipertensi.
Menurut penelitian di Journal of the america heart asosiation
menyatakan bahwa orang kulit hitam lebih beresiko tinggi
menderita penyakit hipertensi di bandingkan kulit putih
contohnya pada warga america-afrika. Hubungan ras dan
hipertensi bukan sesuatu yang dapat dijelaskan oleh medis dan
psikologis. Dalam penelitian itu di temukan bahwa perbedaan
tekanan darah pada orang amerika-afrika karenan faktor
makanan dimana jenis makanan yang mereka konsumsi setiap
hari sudah turun temurun dan relatif sangat di sukai. Asupan
makanan yang dikonsumsi penduduk kulit hitam mengadung
garam. Dan padahal orang kulit hitam peka garam.
3. Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek
penderita, faktor resiko meningkat sampai + 25%.

4. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin.
5. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu
(WHO). Penelitian lain kekurangan kalsium berhubungan
dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih
tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
6. Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
7. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah,
namun merokok selama hamil memiliki resiko kematian janin
dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup
selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi
dalam kehamilan.
8. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada
kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada
monozigotik.
9. Diabetes mellitus
Angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan
pre-eklampsia murni, melainkan disertai kelainan
ginjal/vaskular primer akibat diabetesnya.

2.2.4 Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum
diketahui secara pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The
Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang berkaitan dengan
terjadinya preeklampsia adalah :
1) Faktor TrofoblastSemakin banyak jumlah trofoblast semakin
besar kemungkina terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat pada
kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung
pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia
membaik setelah plasenta lahir.
2) Faktor ImunologikPreeklampsia sering terjadi pada kehamilan
pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya.
Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang
tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta.
Pada kehamilan berikutnya, pembentukan “Blocking
Antibodies” akan lebih banyak akibat respos imunitas pada
kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi. Fierlie FM
(1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya
sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia
mempunyai komplek imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system
komplemen pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan
proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa
pendapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan
aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia, tetapi tidak ada
bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan
Preeklampsia.
3) Faktor Hormonal

Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan


Aldosteron antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan
relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air dan natrium,
sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4) Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia /


eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. 2
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada
kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi
Preeklampsia-Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang
menderita Preeklampsia-Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat
Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada ipar mereka.

5) Faktor Gizi

Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang


mengandung asam lemak essensial terutama asam Arachidonat
sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan
“Loss Angiotensin Refraktoriness” yang memicu terjadinya
preeklampsia.
a. Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
b. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda,
mola hidatidosa
c. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus,
kegemukan
d. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun ( Ida Bagus. 1998).
2.2.5 Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan :
1. Pertambahan berat badan yang berlebihan
2. Diikuti edema
3. Hipertensi
4. Akhirnya proteinuria.
Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala – gejala
subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan :
1. Sakit kepala terutama di daerah frontal
2. Gangguan mata, penglihatan kabur
3. Rasa nyeri di daerah epigastrium
4. Mual atau muntah
5. Gangguan pernapasan sampai sianosis
6. Terjadinya gangguan kesadaran.
Gejala – gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan
timbul.
2.2.6 Patofisiologi Pre Eklampsia
Dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik
uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah
plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia,
sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human
Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi
kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan
kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang
mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar
kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium
tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel.
Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan
kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat
menyatakan prostaglandin berperan sebagai mediator poten
reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis prostaglandin dan
peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan
vaskuler terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi
langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor
berkurang, sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler
menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan
hambatan aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi
arterial yang membahayakan pembuluh darah karena gangguan
aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia dan
kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya
Endothelin – 1 yang merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini
menyebabkan kebocoran antar sel endotel, sehingga unsur-unsur
pembentukan darah seperti thrombosit dan fibrinogen tertimbun
pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke
berbagai sistem organ.
Fungsi organ-organ lain
1. Perubahan pada otak
Pada pre-eklampsi aliran darah dan pemakaian oksigen tetap
dalam batas-batasn ormal. Pada eklampsi, resistensi
pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh
darah otak. Edema terjadi pada otak yang dapat menimbulkan
kelainan serebral dan kelainan pada visus. Bahkan pada
keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan.
2. Perubahan pada uri dan rahim
Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan
karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada pre-
eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus rahim dan
kepekaan terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah
partus prematurus.
3. Perubahanp ada ginjal
Filtrasi glomerulus berkurang oleh karena aliran ke ginjal
kurang. Hal ini menyebabkan filfrasi natrium melalui
glomerulus menurun, sebagai akibatnya terjadilah retensi
garam dan air. Filnasi glomerulus dapat turun sampai 50%
dari normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi
oliguria dan anuria.
4. Perubahan pada paru-paru
Kematian wanita pada pre-eklampsi dan eklampsi biasanya
disebabkan oleh edema paru. Ini disebabkan oleh adanya
dekompensasi kordis. Bisa pula karena terjadinya aspires
pnemonia. Kadang-kadang ditemukan abses paru.
5. Perubahan pada mata
Dapat ditemukan adanya edema retina spasmus pembuluh
darah. Bila ini dijumpai adalah sebagai tanda pre-eklampsi
berat. Pada eklampsi dapat terjadi ablasio retinae, disebabkan
edema intra-okuler dan hal ini adalah penderita berat yang
merupakan salah satu indikasi untuk terminasi kehamilan.
Suatu gejala lain yang dapat menunjukkan arah atau tanda
dari pre-eklampsi berat akan terjadi eklampsi adalah adanya:
skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau dalam retina.
6. Perubahan pada keseimbangan air dan elektrolit
Pada pre-eklampsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan
nyata pada metabolisme air, elektrolit, kristaloid dan protein
serum. Dan tidak terjadi ketidakseimbangan elektrolit. Gula
darah,bikarbonasn atrikusd an pH normal. Pada pre-eklampsi
berat dan pada eklampsi : kadar gula darah naik sementara
asam laktat dan asam organik lainnya naik sehingga
cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya disebabkan
oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-zat organik
dioksidasi sehingga natrium dilepas lalu bereaksi dengan
karbonik sehingga terbentuk bikarbonas natrikus. Dengan
begitu cadangan alkali dapat kembali pulih normal ( khaidir.
2009).
2.2.7 Komplikasi
1. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari dinding rahim.
Pada penderita preeklamsi ini terjadi karena adanya
vasospasme pada pembuluh darah yang menyebabkan aliran
darah ke plasenta terganggu. Sehingga nutrisi menuju ke
janin atau plasenta berkurang kemudian terjadi sianosis yang
menyebabkan plasenta lepas dari dinding rahim.
2. Hemolisis
Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis
periportal hati pada penderita pre-eklampsia.
3. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian
maternal penderita eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat
terjadi. Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan
merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya
apopleksia serebri.
4. Edema paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan
perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi.
Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru. Nekrosis hati:
Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol
umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama
dengan enzim.
5. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low
platelet).
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan
fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati
[SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah,
nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran
eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit
di dinding vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor
kuat), lisosom.
6. Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa
kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau gagal
ginjal.
7. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation):
DIC adalah gangguan serius yang terjadi pada mekanisme
pembekuan darah pada tubuh. Pada penderita preeklamsi
terjadi proteinuria yaitu protein yang keluar bersama urin
akibat dari kerusakan ginjal. Sedangkan dalam mekanisme
pembekuan darah di perlukan fibrinogen yang merupakan
protein. Sehingga pada penderita preeklamsi karena terjadi
kekurangan protein dalam darah menyebabkan mekanisme
pembekuan darah terganggu kemudian terjadinya DIC.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya
dan efektif untuk preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan
sebagai indikator preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan
spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar asam
urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik
menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia
superimpose.
1. Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal
kehamilan pada wanita dengan faktor resiko menderita
preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati,
hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total
pada urin 24 jam. Pada wanita yang telah didiagnosis
preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar
albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu
perdarahan dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus
dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas
penyakitprotein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala
kualitatif ), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat,
serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
2. USG : untuk mengetahui keadaan janin
3. NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

2.2.9 Penatalaksanaan PEB


1. Penatalaksanaan Medis

Pada penderita yang sudah masuk ke rumah sakit dengan


tanda-tanda dan gejala-gejala preeklamsi berat segera harus
di beri sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang-
kejang.
Sebagai tindakan pengobatan untuk mencegah kejang-
kejang dapat di berikan:
a. Larutan sulfas magnesium 40% sebanyak 10 ml (4 gr)
disuntikan intramuskulus bokong kiri dan kanan sebagai
dosis permulaan dan dapat di ulang 4 gr tiap 6 jam
menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesium hanya
diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan
kecepatan pernafasan lebih dari 16 per menit. Obat
tersebut selain menenangkan, juga menurunkan tekanan
darah dan meningkatkan diuresis.
b. Klopromazin 50 mg intramuskulus.
c. Diazepam 20 mg intramuskulus
d. Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat
pemberian MgSO4 tidak dipenuhi. Cara pemberian: Drip
10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam
dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang
ICU.

Sebagai tindakan pengobatan untuk menurunkan tekanan


darah:
a. Anti hipertensi
1) Tekanan darah sistolis > 180 mmHg, diastolis > 110
mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis
< 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg) karena akan
menurunkan perfusi plasenta.
2) Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi
pada umumnya.
3) Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya,
dapat diberikan obat-obat antihipertensi parenteral
(tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa
dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press
disesuaikan dengan tekanan darah.
4) Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat
diberikan tablet antihipertensi secara sublingual atau
oral. Obat pilihan adalah nifedipin yang diberikan 5-
10 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam.
b. Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung,
diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
Penggunaan obat hipotensif pada pre-eklamsia berat
diperlukan karena dengan menurunnya tekanan darah
kemungkinan kejang dan apolpeksia serebri menjadi lebih
kecil. Apabila terdapat oliguria, sebaiknya penderita diberi
glukosa 20% secara intravena. Obat diuretika tidak si
berikan secar rutin
2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Prinsip Penatalaksanaan Pre-Eklampsia

1) Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah


2) Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3) Mengatasi atau menurunkan resiko janin (solusio
plasenta, pertumbuhan janin terhambat, hipoksia
sampai kematian janin)
4) Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan
cepat sesegera mungkin setelah matur, atau imatur
jika diketahui bahwa resiko janin atau ibu akan lebih
berat jika persalinan ditunda lebih lama.

b. Penatalaksanaan preeklamsi Ringan

1) Kehamilan kurang dari 37 minggu. (Saifuddin et al.


2002)
Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat
jalan :
a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria),
refleks, dan kondisi janin.
b) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-
tanda bahaya preeklampsia dan eklampsia.
c) Lebih banyak istirahat, tidur miring agar
menghilangkan tekanan pada vena cava inferior,
sehingga meningkatkan aliran darah balik dan
menambah curah jnatung.
d) Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam).
e) Tidak perlu diberi obat-obatan.
f) Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah
sakit :
1) Diet biasa
2) Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin
(untuk proteinuria) sekali sehari.
3) Tidak perlu diberi obat-obatan.
4) Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat
edema paru, dekompensasi kordis, atau gagal
ginjal akut.
5) Jika tekanan diastolik turun sampai normal
pasien dapat dipulangkan :
a) Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan
tanda-tanda preeklampsia berat.
b) Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau
tekanan darah, urin, keadaan janin, serta
gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat;
6) Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat
kembali.Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan,
tetap dirawat. Lanjutkan penanganan dan
observasi kesehatan janin.
7) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat, pertimbangkan terminasi
kehamilan. Jika tidak rawat sampai aterm.
8) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai PE
berat.
2) Kehamilan lebih dari 37 minggu
a) Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan
induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan
serviks dengan prostaglandin atau kateter Foley
atau lakukan seksio sesarea.
c) Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
Tujuannya : mencegah kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif
terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat
yang tepat untuk persalinan. (Angsar MD, 2009;
Saifuddin et al. 2002):
1. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
2. Pengelolaan cairan, monitoring input dan
output cairan.
3. Pemberian obat antikejang.
4. Diuretikum tidak diberikan secara rutin,
kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung. Diuretikum yang dipakai adalah
furosemid.
5. Pemberian antihipertensi
6. Masih banyak perdebatan tentang penetuan
batas (cut off) tekanan darah, untuk
pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥
160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di
RSU Soetomo Surabaya batas tekanan darah
pemberian antihipertensi ialah apabila
tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau
tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
7. Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan
paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x 24 jam.
Obat ini juga diberikan pada sindrom
HELLP.
2.2.10 Pencegahan
Untuk mencegah kejadian pre eklampsia ringan dapat dilakukan
nasehat tentang tentang dan berkaitan dengan:
1. Diet makanan, makanan tinggi protein tinggi karbohidrat,
cukup vitamin, dan rendah lemak. Kurangi garam apabila
berat badan bertanbah atau edema. Makanan berorientasi
pada empat sehat lima sempurna. Untuk meningkatkan
jumlah portein dengan tambahan satu butir telur setiap hari.
2. Cukup istirahat, istirahat yang cukup pada hamil semakin tua
dalam arti bekerja dan disesuaikan dengan kemampuan.
Lebih banyak duduk atau berbaring ke arah punggung janin
sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami
gangguan.
3. Pengawasan antenatal ( hamil), bila terjadi perubahan
perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke
tempat pemeriksaan.
4. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan
mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri
sejak hamil muda.
5. Mencari pada setiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia
dan mengobatinya segera apabila ditemukan.
6. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37
minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda
preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.

2.2.11 Fokus Pengkajian


Data yang dikaji pada ibu bersalin dengan pre eklampsia
adalah :
1. Data Subjektif
a. Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20
tahun atau > 35 tahun
b. Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan
tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah,
penglihatan kabur
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal,
anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
d. Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola
hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan
pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
e. Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik
makanan pokok maupun selingan
f. Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat
menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan
moril untuk menghadapi resikonya.

2. Data Objektif
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu
24 jam
2) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi
edema
3) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui
adanya fetal distress
4) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai
syarat pemberian SM ( jika refleks + )
b. Pemeriksaan penunjang
1) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau
tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam
2) Laboratorium : protein uri dengan kateter atau
midstream ( biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau
+1 hingga +2 pada skala kualitatif ), kadar hematokrit
menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini
meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
3) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
4) Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda
adanya kelainan pada otak
5) USG ; untuk mengetahui keadaan janin
6) NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

2.2.12 Analisa Data

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1. 1. Laporan secara verbal (nyeri, skala Agen cedera fisik (luka Gangguan rasa
nyeri, PQRST, ataupun rasa tidak post operasi SC) nyaman (Nyeri)
nyaman)
2. Kaji tingkah laku ekspresif (gelisah,
merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh
kesah).
2 1. Laporan secara verbal (nyeri, skala Ekspulsi fetal Nyeri persalinan
nyeri, PQRST, ataupun rasa tidak (pengeluaran bayi)
nyaman)
2. Kaji tingkah laku ekspresif (gelisah,
merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh
kesah).
3 1. Kaji pola eleminasi BAB Faktor resiko agens Perubahan pola
2. Pantau karakteristik warna, dan bau farmaseutikal, penurunan eleminasi BAB
khas feses motilitas gastrointestinal. (konstipasi)
3. Kaji adanya kesulitan BAB
4. Kaji adanya feses bercampur darah
dan lender
4 1. Pantau pola aktifitas Ancaman status Ansietas
2. Kaji adanya Kelemahan dan kesehatan saat ini
kelelahan yang dirasakan.
3. Penuhi ADL secara mandiri atau
dengan bantuan.
5 1) Pantau pola aktifitas Program pembatasan Hambatan mobilitas
2) Kaji adanya keterbatasan gerak gerak. fisik
3) Kaji adanya kelemahan
4) Pantau mobilisasi
6 1. Awasi tanda infeksi pada luka Faktor luka operasi Resiko infeksi
operasi
2. Pastikan luka operasi selalu kering
dan bersih
3. Edukasi untuk menjaga personal
hygiene
7 1. Kaji pengetahuan ibu tentang Kurangnya pengetahuan Resiko gangguan
perawatan bayi secara mandiri tentang cara merawat proses parenting
(memandikan, menyusui, merawat bayi.
tali pusat).

2.2.13 Diagnosa Keperawatan


 Gangguan rasa nyaman (Nyeri) b.d Agen cedera fisik (luka
post operasi SC)
 Nyeri persalinan b.d Ekspulsi fetal (pengeluaran bayi)
 Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b.d Faktor resiko
agens farmaseutikal, penurunan motilitas gastrointestinal.
 Ansietas b.d Ancaman status kesehatan saat ini
 Hambatan mobilitas fisik b.d Program pembatasan gerak
 Resiko infeksi b.d Faktor luka operasi
 Resiko gangguan proses parenting b.d Kurangnya pengetahuan
tentang cara merawat bayi

2.2.14 Nursing Care Planning (NURSING CARE PLANNING


(NCP)

DIAGNOSA NOC NIC


No.
KEPERAWATAN (Nursing Outcome) (Nursing Intervention Clasification)
1. Nyeri akut Pain level, Pain control Perawatan pasca anastesi
berhubungan dengan
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji ulang alergi pasien
agen cedera fisik keperawatan selama 2 x 60 2. Berikan oksigen dengan tepat
(luka post operasi SC) menit nyeri teratasi dengan: 3. Monitor oksigenasi
4. Ventilasi dengan tepat
kriteria hasil: 5. Monitor kualitas dan jumlah pernafasan
6. Dukung pasien bernafas dalam dan batuk
1. Mampu mengontrol nyeri
7. Dapatkan laporan dari perawat ruang operasi dan
2. Menyatakan rasa nyaman
dari anastesi.
3. Mengungkapkan penurunan
8. Monitor dan catat tanda vial meliputi pengkajian
nyeri
4. Menggunakan tehnik yang nyeri, setiap 15 menit atau lebih sering.
tepat untuk mempertahankan 9. Monitor suhu
kontrol nyeri. 10. Berikan berikan tindakan menghangatkan seperti
menggunakan selimut
11. Monitor urine output
12. Sediakan pereda nyeri yang nonfarmakologi atau
.
farmakologi sesuai kebutuhan
13. Monitor kembalinya fungsi sensori dan motoric
14. Monitor tingkat kesadaran
15. Cek catatan pasien untuk menentukan tanda-tanda
vital dasar dengan tepat.
16. Bandingkan status saat ini dan sebelumnya untuk
mengetahui kemajuan atau kondisi memburuk dari
klien
17. Sediakan stimulasi verbal atau taktil dengan tepat
18. Sediakan laporan pasien pada unit perawatan post
operasi
19. Pindahkan pasien pada perawatan level berikutnya

Pain Management
1. Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman nyeri dan
penerimaan klien terhadap respon nyeri
4. Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup( napsu makan, tidur, aktivitas,
mood, hubungan sosial)
5. Tentukan faktor yang dapat memperburuk nyeri
6. Lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan
lain tentang ukuran pengontrolan nyeri yang telah
dilakukan
7. Berikan informasi tentang nyeri termasuk
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan hilang,
antisipasi terhadap ketidaknyamanan dari prosedur
8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon ketidaknyamanan klien( suhu ruangan,
cahaya dan suara)
9. Hilangkan faktor presipitasi yang dapat
meningkatkan pengalaman nyeri klien( ketakutan,
kurang pengetahuan)
10. Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi
(distraksi, guide imagery, relaksasi)
11. Kolaborasi pemberian analgesic
2. Nyeri persalinan Pain level, Pain control Pain Management
berhubungan dengan
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk
ekspulsi fetal keperawatan selama 1 x 15 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
(pengeluaran bayi) menit nyeri teratasi dengan: intensitas nyeri dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
kriteria hasil: 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman nyeri dan
1. Mampu mengontrol nyeri
penerimaan klien terhadap respon nyeri
2. Menyatakan rasa nyaman
4. Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap
3. Mengungkapkan penurunan
kualitas hidup( napsu makan, tidur, aktivitas,
nyeri
mood, hubungan sosial)
4. Menggunakan tehnik yang
5. Tentukan faktor yang dapat memperburuk nyeri
tepat untuk mempertahankan
6. Lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan
kontrol nyeri.
lain tentang ukuran pengontrolan nyeri yang telah
dilakukan
7. Berikan informasi tentang nyeri termasuk
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan hilang,
antisipasi terhadap ketidaknyamanan dari prosedur
8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon ketidaknyamanan klien( suhu ruangan,
cahaya dan suara)
9. Hilangkan faktor presipitasi yang dapat
meningkatkan pengalaman nyeri klien( ketakutan,
kurang pengetahuan)
10. Ajarkan cara penggunaan terapi non
farmakologi (distraksi, guide imagery, relaksasi)

3. Resiko konstipasi Eliminasi usus Manajemen konstipasi


dengan faktor resiko
Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
agens farmaseutikal,
keperawatan selama 2 x 24 jam konstipasi
penurunan motilitas konstripasi dapat teratasi dengan 2. Monitor tanda-tanda ruptur bowel.
3. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan pada
gastrointestinal kriteria hasil: pasien
4. Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan
1. Mengenali keinginan untuk
dan penurunan bising usus
defekasi.
5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi
2. Mengeluarkan feses
yang menetap
3. Tekanan sfingter memadai
6. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan
untuk mengontrol BAB
serat) terhadap eliminasi
4. Menggambarkan hubungan
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
asupan makanan dengan
terapi medis.
konsistensi feses

4. Ansietas berhubungan Anxiety Self-control Anxiety Reduction


dengan ancaman
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
status kesehatan saat selama 1 x 60 menit ansietas menyakinkan.
ini teratasi dengan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
klien
kriteria hasil: 3. Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien
1.Melaporkan berkurangnya dengan perasan yang mungkin muncul pada saat
kecemasan dilakukan tindakan
2.Menggunakan teknik relaksasi 4. Berikan informasi tentang diagnose, prognosis dan
untuk mengurangi kecemasan tindakan
5. Dengarkan klien
6. Motivasi klien utnuk mengungkapkan perasaan,
pengharap dan ketakutan
7. Bantu klien untuk mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan

5 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan intervensi Pengaturan posisi


fisik berhubungan keperawatan selama 3X24 jam
diharapkan masalah dapat 1. Tempatkan pasien di atas tempat tidur terapeutik
dengan nyeri, 2. Jelaskan kepad apasien sebelum melakukan
teratasi dengan:
program pembatasan tindakan pengaturan posisi.
kriteria hasil : 3. Dorong latihan ROM aktif dan pasif
gerak
4. Jangan menempatkan pasien pada posisi yang
1. Memposisikan penampilan dapat meningkatkan nyeri.
tubuh
2. Ambulasi : berjalan Latihan dengan Terapi Gerakan ( Exercise
3. Menggerakan otot Therapy Ambulation )
4. Gerakan/mengkolaborasikan 1. Kosultasi kepada pemberi terapi fisik mengenai
gerakan rencana gerakan yang sesuai dengan kebutuhan
2. Sediakan tempat tidur dengan ketinggian yang
sesuai.
3. Dorong untuk duduk di sisi tempat tidur.
4. Bantu pasien untuk berpindah.
5. Dorong untuk bergerak secara bebas namun masih
dalam batas yang aman

Bantuan perawatan diri

1. Pertimbangkan budaya pasien ketika menigkatkan


perawatan diri.
2. Monitor kemampuan perawatan diri secara
mandiri.
3. Monitor kebutuhan pasien terkait dengan alat-alat
kebersihan, alat bantu untuk berpakaian, eliminasi
dan makan.
4. Berikan lingkungan yang terapeutik.
5. Berikan bantuan sampai pasien mampu melakukan
perawatan diri mandiri.
6. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas normal
sehari-hari sampai batas kemampuan pasien.
7. Dorong kemandirian pasien tetapi bantu saat
pasien tidak mmampu.
8. Ajarkan keluarga untuk mendukung kemandirian
pasien dengan hanya membantu apabila pasien
tidak mampu.
9. Ciptakan rutinitas perawatan diri.
6. Resiko infeksi Risk Control : Infectious Infection Control
berhubungan dengan Control
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai klien lain
faktor luka operasi. Setelah dilakukan tindakan 2. Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan
keperawatan selama 6 x 60 saat berkunjung dan setelah berkunjung
menit masalah resiko infeksi 3. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
pada pasien dapat teratasi 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
dengan: keperawatan
5. Gunakan universal precaution dan gunakan
kriteria hasil : sarung tangan selma kontak dengan kulit yang
tidak utuh
Tidak terjadi proses infeksi
6. Berikan terapi antibiotik bila perlu
7. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi
seperti kemerahan, panas, nyeri, tumor
8. Kaji temperatur tiap 4 jam
9. Catat dan laporkan hasil laboratorium, WBC
10. Kaji warna kulit, turgor dan tekstur, cuci kulit
dengan hati-hati
11. Ajarkan keluarga bagaimana mencegah infeksi

Infection protection
1. Monitor karakteristik, warna, ukuran, cairan dan
bau luka
2. Bersihkan luka dengan normal salin
3. Rawat luka dengan konsep steril
4. Ajarkan klien dan keluarga untuk melakukan
perawatan luka
5. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala dari infeksi
6. Kolaborasi pemberian antibiotik
7. Resiko gangguan Setelah dilakukan tindakan a. Beri kesempatan ibu untuk melakukan perawatan
proses parenting b/d keperawatan dalam 1 x 24 jam bayi secara mandiri.
kurangnya diharapkan Gangguan proses b. Libatkan suami dalam perawatan bayi.
pengetahuan tentang parenting tidak ada. c. Latih ibu untuk perawatan payudara secara
cara merawat bayi. Kriteria hasil: mandiri dan teratur.
1. ibu dapat merawat bayi secara d. Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan
mandiri (memandikan, dan diet TKTP.
menyusui, merawat tali e. Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila
pusat). tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Emmelia AF. 2017. Bahan Ajar Kuliah Maternitas Sectio Caesaria.
Program Studi Ilmu Keperawatan. Banjarbaru: Fakultas Kedokteran.

Herdman, T. Heater dan Shigemi Kamitsuru. 2015. Nanda International Inc.


Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:
EGC.
Nurjannah, Intansari. 2016. ISDA Intan’s Screening Diagnoses Assesment Versi
Bahasa Indonesia (2016). Yogyakarta: Mocomedia.
Nurjannah, Intisari. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi Keenam Edisi Bahasa Indonesia.
Indonesia: Elsevier.
Nurjannah, Intisari. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi Kelima Edisi Bahasa Indonesia.
Indonesia: Elsevier.
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana, Jakarta : EGC

Muchtar. 2005. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC

Nurarif Huda Amin, Kusuma Hardhi.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction Publishing.
Saifuddin, AB. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono
prawirohardjo

Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai