Literatur Reviw

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengkajian nyeri secara sistematik diperlukan sebagai bagian dari proses

perawatan. Pengkajian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi nyeri pada

pasien yang bersifat individual. Instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis

dewasa telah diteliti validitas dan reliabilitasnya, akan tetapi diperlukan

penelitian terbaru mengenai sensitivitas dan spesifisitas pada semua instrumen

pengkajian nyeri yang diterapkan pada pasien kritis yang mengalami

gangguan neuromuscular, agitasi, dan delirium dan dirawat diunit perawatan

intensif.

Unit perawatan intensif merupakan suatu unit yang telah dirancang untuk

memberikan perawatan pada pasien dengan gangguan kesehatan yang

kompleks. Hampir lima juta orang dirawat di unit perawatan intensif setiap

tahunnya. (1) Pasien kritis sering menjalani berbagai macam prosedur

keperawatan yang dilakukan secara rutin oleh perawat ICU. Namun, prosedur

tersebut sering mengakibatkan pasien merasa nyeri dan sangat tidak nyaman.

(2-6) Hampir 50 % dari pasien telah diwawancarai, nilai intensitas nyeri

mereka berada pada skala sedang sampai parah, baik saat istirahat maupun

selama dilakukan prosedur.(7-8) Definisi nyeri menurut IASP, nyeri adalah

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang

menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. (9) Dalam literatur dinyatakan

bahwa nyeri adalah stressor yang sering terjadi di Ruang perawatan intensif,

1
tingginya tingkat nyeri yang tidak terkontrol sangat umum terjadi di ruang

perawatan intensif.

Puntillo dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa nyeri adalah salah

satu gejala yang paling umum muncul pada pasien sakit kritis dan dialami oleh

setiap pasien dalam cara yang unik. Diperkirakan 71 % dari pasien masih ingat

akan pengalaman nyeri yang pernah mereka rasakan selama dirawat. Sebuah

penelitian menyatakan bahwa dari hasil wawancara dengan 24 pasien pasca

perawatan di perawatan intensif, 63% dari pasien tersebut menyatakan bahwa

selama perawatan di perawatan intensif mereka merasakan nyeri dengan

derajat sedang sampai berat, namun penatalaksanaan nyeri yang diberikan

pada mereka masih belum memuaskan

Pasien dewasa yang terpasang ventilator di ruang intensif seringkali

menerima perawatan yang menyebabkan rasa nyeri. Nyeri merupakan gejala

yang paling sering terjadi pada pasien yang terpasang ventilator dan bersifat

individual dengan pengalaman nyeri yang berbeda- beda. Hampir lima juta

pasien yang dirawat di ruang intensif, 71% diantaranya mengalami rasa nyeri

selama perawatan (Stites, 2008). Rasa nyeri yang terjadi pada pasien dewasa

yang terpasang ventilator disebabkan oleh penyakit patofisiologis, dampak

dari terapi dan prosedur yang diberikan pada pasien (Cade, 2008). Prosedur

keperawatan yang sering mengakibatkan nyeri diantaranya yaitu, perubahan

posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi

mekanik, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan kateter

(Puntilo et al, 2004; Dunn et al, 2009; Alderson et al, 2013; Sutari et al, 2014).

Penilaian nyeri yang sistematis dan konsisten dibutuhkan pada pasien kritis

2
yang terpasang ventilator (Rahu et al, 2010). Akan tetapi, sebagian besar

pasien yang terpasang ventilator tidak dapat mengkomunikasikan rasa

nyerinya secara verbal sehingga diperlukan penilaian nyeri yang terstandar

(Coyer et al, 2007). Penilaian tersebut dapat dilihat dari indikator perilaku,

penelitian yang dilakukan pada 1144 pasien di Intensive Care Unit (ICU)

dimana 513 pasien dilakukan penilaian nyeri dan 631 tidak dilakukan

penilaian nyeri menunjukkan hasil bahwa pada pasien yang dilakukan

penilaian nyeri dapat mengurangi durasi lama pemakaian ventilator (8 hari vs

11 hari, p < 0.01) dan mengurangi lama perawatan di ICU (13 hari vs 18 hari,

p < 0.01) (Puntilo et al, 1997, Payen et al, 2009). Beberapa penelitian yang

berkaitan efek penggunaan instrumen nyeri pada pasien dengan ventilator

telah dipublikasikan (Gelinas et al, 2006; Payen et al, 2001; Gelinas et al,

2011). Akan tetapi, perlu dilakukan studi literatur lebih lanjut terkait validasi

dari instrumen nyeri pada pasien dengan ventilator.

American Association of Critical-Care Nurses (AACN), American College

of Chest Physicians (ACCP), Society for Critical Care Medicine (SCCM)

dan American Society for Pain Management (ASPM), menyarankan agar

dalam pelaksanaannya harus menggunakan alat pengkajian nyeri terstandar

yang mencakup beberapa indikator perilaku pada pasien dengan ventilasi

mekanik yang tidak mampu melaporkan rasa nyeri yang dirasakan, atau pada

mereka yang mungkin mampu melaporkan rasa nyeri namun tidak dapat

diandalkan.(18) Hal ini mendorong mereka untuk mengembangkan cara

untuk megukur skala nyeri berbasis perilaku untuk menilai nyeri pada pasien

yang tidak mampu mengungkapkan nyeri yang mereka rasakan.(19) Alat

3
tersebut didasarkan pada identifikasi perilaku, seperti ekspresi wajah,

vokalisasi, refleks menarik dan gerakan motorik lainnya, yang berhubungan

dengan adanya nyeri.(15) Beberapa instrumen berbasis perilaku telah

dikembangkan, diantaranya Nonverbal Pain Scale (NVPS), Behavioral Pain

Scale (BPS), Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT), Pain Assessment

and Intervention Notation (P.A.I.N.).

Nyeri benar-benar subjektif, dan Gold standar penilaian nyeri adalah laporan

dari pasien. Beberapa alat penilaian dapat memfasilitasi penentuan penilaian

intensitas nyeri pasien, dan rumah sakit nasional telah menerapkan kebijakan

dan prosedur menguraikan penggunaan instrumen ini. Alat yang paling umum

digunakan pada pasien yang mampu mengukur rasa sakit mereka adalah skala

nyeri Wong-Baker FACES rating atau Skala Nyeri dari Ekspresi Wajah yang

dinumerikkan dengan angka 1-10; banyak pasien yang bisa melaporkan

nyerinya tetapi tidak dapat mengukurnya. Alat ini membantu dengan memilih

ekspresi wajah yang paling mencirikan diri mereka pada saat nyeri. Namun,

tidak semua pasien dapat melaporkan nyeri dengan menggunakan alat

penilaian tersebut, dan ini merupakan tantangan yang signifikan bagi tim

kesehatan yang harus memastikan sakit yang diderita guna pengobatan tepat.

Ada lima instrumen pengkajian nyeri yaitu, NVPS, P.A.I.N, Comfort

scale, BPS dan CPOT. Instrumen pengkajian CPOT memiliki nilai validitas

dan reliabilitas yang lebih tinggi daripada keempat instrumen lainnya. Kelima

instrumen pengkajian nyeri tersebut telah diukur validitas dan reliabilitasnya,

namun belum pernah dilakukan uji sensitivitas dan spesifisitasnya. Sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut terkait sensitivitas dan spesifisitas dari

4
semua instrumen nyeri pada pasien kritis dewasa Berdasarkan ulasan tersebut,

penulis perlu melakukan studi literatur berkaitan dengan instrumen pengkajian

nyeri yang bertujuan untuk mengidentifikasi validitas dan reliabilitas

instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis dewasa yang terpasang

ventilator

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Literatur Review ini bertujuan untuk mengetahui Cara Menilai Nyeri Pada

Pasien Tidak Sadar

1.2.2 Tujuan Khusus

Setelah menyelesaikan praktek profesi Keperawatan Gawat Darurat

mahasiswa mampu :

1. Mengetahui tentang konsep Nyeri

2. Mengetahui hasil penelitian dari jurnal utama tentang Cara Menilai Nyeri

Pada Pasien Tidak Sadar

3. Mengetahui hasil penelitian dari jurnal penunjang tentang Cara Menilai Nyeri

Pada Pasien Tidak Sadar

1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Profesi

Menambah teori mengenai Cara Menilai Nyeri Pada Pasien Tidak Sadar

dan diharapkan literatur ini dapat dijadikan sebagai perkembangan teori yang

dapat diterapkan dalam teori tambahan dan aplikasi dalam asuhan keperawatan.

1.3.2 Bagi Perawat

5
Menambah wawasan mengenai Cara Menilai Nyeri Pada Pasien Tidak

Sadar dan diharapkan dapat diterapkan diruang Critical Care Rsud

Mm.Dunda.Limboto

1.3.3 Bagi Fasyankes

Sebagai bahan masukan dalam penerapan asuhan keperawatan nyeri pada

pasien dengan penurunan kesadaran di ruang critical care

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada literatur review ini kelompok mengangkat topik sistem neuromuskular,

dimana kami mengambil jurnal utamanya tentang “INSTRUMEN

PENGKAJIAN NYERI PADA PASIEN KRITIS DEWASA YANG

TERPASANG VENTILATOR” yang diteliti oleh Indah Sri Wahyuningsih pada

tahun 2016.

2.1 Jenis Penulisan

Jenis penulisan yang digunakan adalah sesuai dengan Pedoman penulisan

yakni sistem harvard, nama belakang penulis pertama koma tahun. Semua rujukan

yang dimuat terlihat dalam Daftar Pustaka. Memuat hasil-hasil penelitian

sebelumnya dan memuat tujuan penelitian di paragraph terakhir.

2.2 Metode Penelitian Jurnal

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan desain

penelitian crossectional, before and after study dan observational study. Hasil

pengelompokkan studi sesuai karakteristik penelitian ditemukan lima instrumen

pengkajian nyeri yaitu, NVPS, P.A.I.N, Comfort scale, BPS dan CPOT. Instrumen

pengkajian CPOT memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi

daripada keempat instrumen lainnya. Kelima instrumen pengkajian nyeri tersebut

telah diukur validitas dan reliabilitasnya, namun belum pernah dilakukan uji

sensitivitas dan spesifisitasnya. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terkait

sensitivitas dan spesifisitas dari semua instrumen nyeri pada pasien kritis dewasa

dengan ventilator. Pemilihan sampel dengan cara proporsional random sampling.

Sedangkan lokasi yang akan menjadi kelompok intervensi dan kontrol

7
menggunakan simple random sampling. Analisa data yang digunakan

menggunakan uji statistik non parametrik, yaitu uji Wilcoxon dan Mann-Whitney.

2.3 Lokasi dan Waktu

Lokasi yang digunakan untuk melakukan penelitian pada jurnal ini adalah

Tahun 2016 Semarang, Jawa Tengah

2.4 Etika Literature Review

Dalam melakukan penulisan ini, struktur penulisan yang harus diperhatikan

meliputi: formulasi permasalahan, literature screenning, evaluasi data, analisis

dan interpretasi.

2.4.1 Formulasikan Permasalahan

Merumuskan atau menyusun sesuai topik yang akan diambil dalam bentuk

yang tepat. Dalam pemformulasian masalah yang dibahas, ditulis dalam bentuk

tinjauan pustaka yang mengacu pada jurnal atau hasil studi pustaka. Penulisan

dilakukan secara kronologis dari penelitian–penelitian sebelumnya.

Pengkajian nyeri secara sistematik diperlukan sebagai bagian dari proses

perawatan. Pengkajian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi nyeri pada pasien

yang bersifat individual. Instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis dewasa

telah diteliti validitas dan reliabilitasnya, akan tetapi diperlukan penelitian terbaru

mengenai sensitivitas dan spesifisitas pada semua instrumen pengkajian nyeri

yang diterapkan pada pasien kritis yang mengalami gangguan neuromuscular,

agitasi, dan delirium

Pasien dewasa yang terpasang ventilator di ruang intensif seringkali

menerima perawatan yang menyebabkan rasa nyeri. Nyeri merupakan gejala yang

paling sering terjadi pada pasien yang terpasang ventilator dan bersifat individual

8
dengan pengalaman nyeri yang berbeda- beda. Hampir lima juta pasien yang

dirawat di ruang intensif, 71% diantaranya mengalami rasa nyeri selama

perawatan (Stites, 2008). Rasa nyeri yang terjadi pada pasien dewasa yang

terpasang ventilator disebabkan oleh penyakit patofisiologis, dampak dari terapi

dan prosedur yang diberikan pada pasien (Cade, 2008). Prosedur keperawatan

yang sering mengakibatkan nyeri diantaranya yaitu, perubahan posisi pasien,

penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik, penggantian

balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan kateter (Puntilo et al, 2004; Dunn

et al, 2009; Alderson et al, 2013; Sutari et al, 2014). Penilaian nyeri yang

sistematis dan konsisten dibutuhkan pada pasien kritis yang terpasang ventilator

(Rahu et al, 2010). Akan tetapi, sebagian besar pasien yang terpasang ventilator

tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya secara verbal sehingga diperlukan

penilaian nyeri yang terstandar (Coyer et al, 2007). Penilaian tersebut dapat dilihat

dari indikator perilaku, penelitian yang dilakukan pada 1144 pasien di Intensive

Care Unit (ICU) dimana 513 pasien dilakukan penilaian nyeri dan 631 tidak

dilakukan penilaian nyeri menunjukkan hasil bahwa pada pasien yang dilakukan

penilaian nyeri dapat mengurangi durasi lama pemakaian ventilator (8 hari vs 11

hari, p < 0.01) dan mengurangi lama perawatan di ICU (13 hari vs 18 hari, p <

0.01) (Puntilo et al, 1997, Payen et al, 2009). Beberapa penelitian yang berkaitan

efek penggunaan instrumen nyeri pada pasien dengan ventilator telah

dipublikasikan (Gelinas et al, 2006; Payen et al, 2001; Gelinas et al, 2011). Akan

tetapi, perlu dilakukan studi literatur lebih lanjut terkait validasi dari instrumen

nyeri pada pasien dengan ventilator. Berdasarkan ulasan tersebut, penulis perlu

melakukan studi literatur berkaitan dengan instrumen pengkajian nyeri yang

9
bertujuan untuk mengidentifikasi validitas dan reliabilitas instrumen pengkajian

nyeri pada pasien kritis dewasa yang terpasang ventilator

Metode

Hasil penelusuran literatur diperoleh artikel berjumlah 16 dan diambil 9 artikel

yang sesuai dengan kriteria inklusi. Sedangkan, 5 artikel dieksklusi karena

penelitian dilakukan secara retrospektif. Instrumen pengkajian nyeri yang

ditemukan berjumlah 5 diantaranya yaitu, Nonverbal Adult Pain Assessment

Scale (NVPS), Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm (P.A.I.N),

Comfort Scale, Behavioural pain scale (BPS), dan Critical-Care Pain Observasion

Tool (CPOT).

a. Nonverbal Adult Pain Scale (NVPS) NVPS dikembangkan oleh Odher et al

pada tahun 2003 yang digunakan untuk mengukur nyeri pada pasien dewasa

yang terintubasi dan tersedasi. NVPS merupakan instrumen pengkajian nyeri

pengembangan dari instrumen pengkajian nyeri FLACC (Faces, Legs, Activity,

Cry, Consolability). Komponen dari NVPS antara lain 3 indikator perilaku dan

indikator fisiologi (tekanan darah, denyut jantung, respiratory rate, kulit).

Penilaian dari masing- masing indikator tersebut dari skor 1 sampai 2 dengan

total skor 0 (tidak nyeri) dan 10 (nyeri maksimal). Penelitian Odher et al (2003)

dengan subjek penelitian pasien dewasa yang mengalami luka bakar, hasil

penelitian menunjukkan bahwa NVPS memiliki nilai validitas 0.78 dengan

instrumen pembanding FLACC. Kelebihan dari NVPS adalah nilai validitas

yang cukup tinggi untuk menilai nyeri pada pasien dewasa, kekurangan NVPS

adalah instrumen hanya dapat digunakan pada pasien yang tidak sadar dan

tersedasi.

10
b. Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm (P.A.I.N.) P.A.I.N

Algorithm dikembangkan oleh Puntilo et al pada tahun 1997. Instrumen

tersebut terdiri dari 12 indikator perilaku dan 8 indikator fisiologi. P.A.I.N

digunakan untuk menilai nyeri pasien post operasi di ICU yang terintubasi dan

terpasang ventilator. Instrumen pengkajian nyeri tersebut digunakan untuk

menilai ada tidaknya nyeri pada pasien post operasi, dimana indikator perilaku

pasien dinilai dengan skala Numeric Rating Scale (NRS) dari skor 0- 10. Hasil

penelitian Puntillo et al (1997) menunjukkan bahwa nilai reliabilitas antara

indikator perilaku dengan penilaian NRS oleh perawat dengan nilai r= 0.24-

0.77. Nilai tersebut menunjukkan bahwa instrumen tersebut memiliki nilai

reliabilitas yang sedang. Kelemahan instrumen P.A.I.N adalah memerlukan

waktu yang lama untuk menilai nyeri pada pasien karena tersiri dari 12

indikator perilaku dan 8 indikator psikologis, selain itu penilaian indikator

perilaku dinilai dari skala NRS yang dilihat dari sudut pandang perawat dengan

skor 0-10.

c. Comfort Scale Comfort Scale merupakan instrumen pengkajian nyeri yang

dikembangkan oleh Ambuel et al pada tahun 1992. Comfort scale digunakan

untuk mengukur tingkat distres psikologis pada pasien kritis anak- anak

dibawah usia 18 tahun dan dewasa yang tersedasi dan terpasang ventilator

(Ambuel et al, 1992; Azhkenazy et al, 2011). Komponen penilaian dari comfort

scale terdiri dari 8 item indikator diantaranya, kewaspadaan, ketenangan,

respon pernapasan, gerakan fisik, ketegangan wajah, gerakan otot, tekanan

darah dan denyut nadi. Setiap item diukur dengan skala dari 1- 5, dimana 1

merupakan tingkat tertinggi tidak berespon dan 5 paling tidak nyaman.

11
Penelitian Azhkenazy et al (2011) dilakukan pada pasien yang terpasang

ventilator dengan usia dewasa lebih dari 18 tahun menunjukkan bahwa nilai

validitas instrumen yaitu 0.49-0.74 dan reliabilitas dengan cronbach alpha

0.60- 0.66. Instrumen comfort scale memiliki kelebihan dan kelemahan,

kelebihannya memiliki indikator psikologis dan indikator perilaku yang dinilai

dari perilaku pasien sebagai tanda adanya nyeri, namun kelemahannya

instrumen tersebut memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang sedang jika

digunakan untuk pasien dewasa dengan ventilator.

d. Behavioral Pain Scale (BPS) Behavioral Pain Scale (BPS) adalah instrumen

pengkajian nyeri pada pasien kritis yang dikembangkan oleh Payen et al tahun

2001. Komponen penilaian BPS terdiri dari tiga item, yaitu

a. ekspresi wajah,

b. pergerakan bibir atas

c. dan komplians terhadap ventilator.

Skor dari masing- masing item tersebut antara skor 1-4, dengan nilai total dari

BPS berada dalam rentang skor 3 (tidak nyeri) sampai skor 12 (sangat nyeri).

Hasil penelitian Aissaoui et al (2005) mengenai validitas dan reliabilitas pada

pada 30 pasien di ICU dengan 360 pengamatan menunjukkan bahwa BPS

memiliki nilai reliabilitas dengan cronbach alfa 0.72, nilai interrater reliability

antar 3 observer sebesar 0.95, dan nilai validitas sebesar P <0.001. Penelitian

Young et al (2006) menunjukkan bahwa nilai validitas internal pada pasien

dilakukan perubahan posisi dengan Cronbach alpha 0.64 dan nilai interrater

reliability 82%-91% saat istirahat, 36%-46% selama prosedur perubahan

posisi. Penelitian lain Ahlers et al (2008) membandingkan antara BPS dan NRS

12
oleh perawat pada 113 pasien kritis dengan ventilator, hasilnya menunjukkan

bahwa nilai construct validity dengan r=0.55, P<.001 ketika BPS dibandingkan

dengan nilai NRS perawat dan nilai interrater reliability 0.67 (95% CI, 0.54-

0.80). Berdasarkan beberapa penilitian tersebut menunjukkan bahwa kelebihan

dari instrumen BPS adalah dapat digunakan pada pasien yang terintubasi dan

tidak terintubasi pada pasien kritis di ICU dengan nilai validitas dan reliabilitas

yang cukup tinggi.

d. Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) Critical-Care Pain Observasion

Tool (CPOT) merupakan instrumen pengkajian nyeri yang dikembangkan oleh

Gelinas et al pada tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut terdiri dari

4 item penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda, yaitu ekspresi

wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator

untuk pasien terintubasi dan pasien yang tidak terintubasi. Jumlah skor yang

diperoleh dalam rentang 0–8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CPOT

memiliki nilai inter-rater reliability yang cukup tinggi yang dinilai pada saat

pasien istirahat dengan nilai 0,95- 1 dan setelah prosedur dengan nilai 0,86-1.

Penelitian pada pasien bedah jantung menunjukkan bahwa CPOT memiliki

nilai inter-rater reliability sebesar 0,981 (Gelinas et al, 2006; Marmo, 2009).

Penelitian Vazquez et al (2011) pada 96 pasien dengan ventilator yang diteliti

saat pasien istirahat dan prosedur alih baring dengan nilai discriminant validity:

Mean score saat istirahat 0.27 (SD,0.64); selama prosedur 1.93 (SD, 1.41).

Sedangkan, nilai reliabilitasnya dengan uji Kappa dengan nilai 0.97- 1. Hal ini

menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai interrater reliability sangat bagus.

Kelebihan dari CPOT adalah dapat digunakan untuk pengkajian nyeri pada

13
pasien bedah dan non bedah yang ditunjukkan dengan nilai interrater reliability

yang cukup tinggi, sedangkan kelemahannya adalah CPOT belum diujikan

pada pasien dengan agitasi dan delirium pada pasien kritis di ICU.

Bahan dan metode strategi yang digunakan dalam mencari artikel

menggunakan bahasa inggris yang relevan dengan topik. Pencarian dilakukan

secara elektronik dengan menggunakan beberapa database, antara lain sage, sience

direct, proquest, dan google scholar. Keyword yang digunakan adalah

“neuromuskuar”, nyeri”, “icu ”, “ventilator”. Pencarian menggunakan keyword di

atas dengan database sage, sience direct, proquest dan google scholar. Artikel

fulltext dan abstrak yang diperoleh, direview untuk memilih artikel yang sesuai

dengan kriteria inklusi berdasarkan pico frame work (patient, intervention,

comparison, outcome.). Artikel yang digunakan sebagai sampel selanjutnya

diidentifikasi. 1 artikel utama dan 5 artikel yang sesuai, disajikan dalam tabel.

PEMBAHASAN

Hasil dari studi literatur ditemukan 5 instrumen pengkajian nyeri pada pasien

kritis dewasa yang terpasang ventilator. Kelima instrumen tersebut memiliki

indikator penilaian yang berbeda- beda sehingga memiliki kelebihan dan

kekurangan masing masing. Menurut Penulis kelima instrumen tersebut memiliki

kesamaan untuk mengkaji nyeri pasien kritis dewasa dengan ventilator. Pada 3

instrumen NVPS, P.A.I.N, dan comfort scale memiliki beberapa kesamaan yaitu

ketiganya merupakan instrumen pengkajian nyeri yang memiliki indikator

perilaku dan fisiologis yang digunakan untuk menilai nyeri pasien kritis dewasa

dengan ventilator. Namun kekurangannya, ketiga instrumen

14
tersebut memiliki indikator fisiologis berupa tanda- tanda vital, dimana indikator

tersebut kurang sensitif untuk menilai adanya nyeri pada pasien kritis yang

terpasang ventilator. Rose et al (2012) melaporkan bahwa penilaian tanda- tanda

vital (denyut jantung, tekanan darah, respon pernafasan) bukan merupakan

pedoman utama dalam menilai nyeri pada pasien kritis dewasa. Hal tersebut

dikarenakan tanda- tanda vital pasien bersifat fluktuatif, sehingga tidak dapat

menggambarkan adanya nyeri pada pasien kritis. Nilai dari tanda- tanda vital

dapat meningkat, menurun atau stabil selama prosedur yang menyebabkan nyeri

(Arroyo et al, 2008; Payen JF, 2009). Hal ini terlihat dari hubungan antara

fluktuasi tanda- tanda vital dengan skor perilaku dan pelaporan nyeri secara verbal

bersifat lemah (Aissaoui et al, 2005; Gelinas et al, 2014). Sebagian besar

penelitian menunjukkan bahwa BPS dan CPOT merupakan instrumen pengkajian

nyeri yang memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang lebih tinggi. Penelitian

Aissaoui et al (2005) menunjukkan bahwa Behaviour pain scale (BPS) digunakan

untuk mengukur nyeri pada pasien dewasa yang terpasang ventilator dengan

membandingkan penilaian fisiologis sebagai indikator penilaian nyeri yang dilihat

dari subjektivitas perawat. Namun, tidak signifikan hubungan antara BPS dengan

variabel fisiologis dengan nilai r= 0.16 (P= 0.13) untuk denyut jantung dan r= -

0.02 (P= 0.84) untuk MAP. Secara menyeluruh indikator perilaku lebih baik

dibanding indikator fisiologis, karena indikator fisiologis tidak spesifik dalam

menggambarkan adanya nyeri pada pasien (Gelinas et al, 2008). Selain BPS,

instrumen pengkajian nyeri lainnya yang memiliki nilai validitas dan reliabilitas

lebih tinggi adalah CPOT. Instrumen CPOT memiliki empat domain berkaitan

dengan perilaku dan dipergunakan untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang

15
terpasang ventilator atau tanpa ventilator pada kasus bedah, medikal dan trauma di

ICU. CPOT memiliki nilai discriminant validity yang cukup bagus dengan

mengobservasi pasien saat istirahat dan selama prosedur yang menyebabkan nyeri

dengan nilai interrater reliability cukup tinggi yaitu 0.52- 0.88 (Payen et al, 2001;

Gelinas et al, 2006). Selain itu, CPOT juga telah diuji sensitivitas dan

spesifisitasnya dengan gold standard pelaporan nyeri secara verbal oleh pasien

yang telah diekstubasi dengan hasil nilai sensitivitas 86% dan nilai spesifisitas

78% (Gelinas et al, 2009). Akan tetapi, CPOT tidak digunakan untuk menilai

tingkat nyeri, namun untuk mendeteksi adanya nyeri pada pasien kritis dewasa

dengan ventilator. Metode validasi untuk menilai tingkat nyeri pada pasien tidak

berhasil (Pasero, 2005). Diantara kelima instrumen pengkajian nyeri tersebut, BPS

dan CPOT merupakan instrumen pengkajian nyeri yang valid dan reliabel untuk

menilai adanya nyeri pada pasien kritis dewasa yang tidak mampu melaporkan

nyeri secara verbal. Nilai reliabilitas dan validitas pada instrumen BPS dan CPOT

lebih tinggi dari ketiga instrumen lainnya. Akan tetapi, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang lebih

tinggi daripada BPS. Kelebihan instrumen pengkajian nyeri CPOT lebih spesifik

digunakan pada pasien yang tidak mampu mengkomunikasikan nyeri secara

verbal dan telah diimplementasikan pada pasien dengan kasus trauma kepala,post

operasi jantung, penyakit medikal di ICU.

16
No Nama Jurnal 3
1 Sriwahyuningsih. Studi Literatur: Instrumen Pengkajian Nyeri Pada Pasien 2016

Kritis Dewasa yang Terpasang Ventilator

2 Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan 2016


Critical Pain Observation Tool ruang GICU RSUD Hasan Sadikin Bandung

3 AA.Arsyawina “Perbandingan skala Critical-Care Pain Observation Tool 2014

(CPOT) dan Wong-Baker Faces Pain Rating Scale dalam menilai derajat

nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik Di Ruang ICU RSUD Tugurejo

Semarang”

4 Arief Cahyadi , Kesahihan Behavioral Pain Scale (BPS) Dalam Memprediksi 2015
Nyeri Pada Pasien Sakit Kritis Yang Tidak Sadar Dan Menggunakan
Ventilasi Mekanik Di UPI RSCM = Validation Of Behavioral Pain Scales
(BPS) In Assessing Pain Of Unconscious Critically Ill Patient And Using
Mechanical Ventilation In ICU RSCM

5 Yudiyanta : Assessment Nyeri Pengkajian di RSUP Dr. Sardjito yogyakarta 2015

2014

Muhammad Okyno : Kesahihan skala critical-care pain observation tool


(CPOT) dalam menilai derajat nyeri pasien dengan skala koma glasgow
6 dibawah 14 UPI Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo

BAB III

17
PEMBAHASAN

3.1.1 Pengukuran Kuantitas Nyeri

3.1.2 Dasar Teori

1. Pengertian Nyeri

The International Association for the Study of Pain memberikan defenisi

nyeri, yaitu: suatu perasaan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan suatu jaringan yang nyata atau

yang berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu. Dari definisi ini dapat

ditarik tiga kesimpulan, yakni: nyeri merupakan suatu pengalaman

emosional berupa sensasi yang tidak menyenangkan. Nyeri terjadi karena

adanya suatu kerusakan jaringan yang nyata seperti luka pasca bedah atau

trauma akut, dan nyeri terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata

seperti nyeri kronik atau proses penyembuhan trauma lama, nyeri post

herpetic, phantom atau trigeminal. Dengan demikian pada prinsipnya nyeri

terjadi karena ketidakseimbangan antara aktivitas supressor dibandingkan

dengan depressor pada fase tertentu akibat gangguan suatu jaringan

tertentu. Ujung dari permasalahan muskuloskeletal yang sangat

mengganggu seorang individu adalah timbulnya nyeri dengan segala

deviasinya. Umumnya penderita baru akan merasa dirinya sakit dan tidak

nyaman dalam hidupnya, kemudian mencari pertolongan bila rasa nyeri

sudah terasa mengganggu.

2. Klasifikasi Nyeri

- Berdasarkan durasi terjadinya, nyeri dibagi menjadi:

a. Nyeri akut

18
b. Nyeri kronik

c. Referred pain

- Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi menjadi:

a. nyeri fisiologis adalah sensor normal yang berfungsi sebagai

alat proteksi tubuh

b. nyeri patologis adalah sensor abnormal yang menderitakan

seseorang.

- Berdasarkan sumbernya, nyeri dibagi menjadi:

a. Nyeri Kutan (Cutaneus Pain). Nyeri berasal dari kulit dan

jaringan subkutan. Lokasi sumber nyeri biasanya diketahui

dengan pasti dan nyeri biasanya tajam serta rasa terbakar.

b. Nyeri Somatis Dalam (Deep Somatic Pain). Nyeri berasal dari

otot, tendon, sendi, pembuluh darah atau tulang. Sifat nyeri

biasanya menyebar.

c. Nyeri Visera (Visceral Pain). Nyeri berasal dari organ internal,

misalnya: Ulser pada lambung, appendicitis atau batu ginjal.

Sensasi nyeri disalurkan dari organ melalui saraf simpatis atau

parasimpatis ke susunan saraf pusat.

d. Psychogenic Pain; dipengaruhi oleh pengalaman fisik dan

mental seseorang.

- Berdasarkan penyebabnya, nyeri dibagi menjadi:

a. Neuropatik, berkaitan dengan adanya gangguan/masalah pada

sistem saraf baik pusat maupun perifer, contohnya post-stroke

pain

19
b. Nosciceptive, berkaitan dengan adanya gangguan/masalah pada

jaringan tubuh (musculoskeletal, kutaneus, atau visceral),

contohnya nyeri inflamasi

c. Campuran, berkaitan dengan komponen neuropati dan

nosciceptive, contohnya LBP disertai radiculopathy.

3. Tujuan Pengukuran Nyeri

a. Mengetahui kuantitas nyeri

b. Menuntun menyusun pemilihan modalitas dan metode fisioterapi

nyeri

c. Alat evaluasi

d. Membantu menegakkan diganosa fisioterapi Intensitas nyeri dapat

diukur dengan menggunakan numerical rating scale (NRS), verbal

rating scale (VRS), visual analog scale (VAS) dan faces rating scale.

VAS (Visual Analogue Scale) telah digunakan sangat luas dalam

beberapa dasawarsa belakangan ini dalam penelitian terkait dengan

nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah suatu

instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan

menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–

100 mm dengan rentangan makna: Skala VAS Interpretasi >0 –

4. Pengkajian Nyeri Pada Pasien Penurunan Kesadaran

Pengkajian nyeri secara sistematik diperlukan sebagai bagian dari proses

perawatan. Pengkajian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi nyeri pada

pasien yang bersifat individual. Instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis

dewasa telah diteliti validitas dan reliabilitasnya, akan tetapi diperlukan

20
penelitian terbaru mengenai sensitivitas dan spesifisitas pada semua

instrumen pengkajian nyeri yang diterapkan pada pasien kritis yang

mengalami gangguan neuromuscular, agitasi, dan delirium dan dirawat diunit

perawatan intensif.

Unit perawatan intensif merupakan suatu unit yang telah dirancang untuk

memberikan perawatan pada pasien dengan gangguan kesehatan yang

kompleks. Hampir lima juta orang dirawat di unit perawatan intensif setiap

tahunnya. (1) Pasien kritis sering menjalani berbagai macam prosedur

keperawatan yang dilakukan secara rutin oleh perawat ICU. Namun, prosedur

tersebut sering mengakibatkan pasien merasa nyeri dan sangat tidak nyaman.

(2-6) Hampir 50 % dari pasien telah diwawancarai, nilai intensitas nyeri

mereka berada pada skala sedang sampai parah, baik saat istirahat maupun

selama dilakukan prosedur.(7-8) Definisi nyeri menurut IASP, nyeri adalah

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan

yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut

Nyeri benar-benar subjektif, dan Gold standar penilaian nyeri adalah laporan

dari pasien. Beberapa alat penilaian dapat memfasilitasi penentuan penilaian

intensitas nyeri pasien, dan rumah sakit nasional telah menerapkan kebijakan

dan prosedur menguraikan penggunaan instrumen ini. Alat yang paling umum

digunakan pada pasien yang mampu mengukur rasa sakit mereka adalah skala

nyeri Wong-Baker FACES rating atau Skala Nyeri dari Ekspresi Wajah yang

dinumerikkan dengan angka 1-10; banyak pasien yang bisa melaporkan

nyerinya tetapi tidak dapat mengukurnya. Alat ini membantu dengan memilih

21
ekspresi wajah yang paling mencirikan diri mereka pada saat nyeri. Namun,

tidak semua pasien dapat melaporkan nyeri dengan menggunakan alat

penilaian tersebut, dan ini merupakan tantangan yang signifikan bagi tim

kesehatan yang harus memastikan sakit yang diderita guna pengobatan tepat.

Untuk pasien yang tidak dapat melaporkan rasa sakit melalui metode diatas,

direkomendasikan pendekatan alternatif berdasarkan Hierarchy of Pain

Measures (Tabel). Komponen utama dari hirarki adalah sebagai berikut:

1. Mencoba UntukMemperoleh Laporan Nyeri dari Pasien;

2. Pertimbangkan mendasari patologi atau kondisi dan prosedur yang

mungkin menyakitkan

3. Amati perilaku

4. Evaluasi indikator fisiologis,

5. Dan Melakukan percobaan analgesik.

Tabel. Hierarchy of Pain Measures

1. Mencoba UntukMemperoleh Laporan Nyeri dari Pasien, merupakan

indikator yang paling dapat diandalkan untuk nyeri. Jangan berasumsi

bahwa pasien tidak dapat melaporkan nyeri, pasien dengan gangguan

kognitif banyak yang mampu menggunakan self-report tool, seperti Wong-

Baker FACES Skala/ Skala Wajah Sakit Descriptor Skala-Revisi, atau

verbal.

2. Pertimbangkan kondisi pasien atau paparan prosedur yang dianggap

menyakitkan. Jika sesuai, anggap nyeri itu ada (APP).

22
3. Amati tanda-tanda perilaku (misalnya, ekspresi wajah, menangis, gelisah,

dan perubahan dalam aktivitas). Banyak alat penilaian perilaku nyeri akan

menghasilkan skor perilaku rasa sakit dan dapat membantu untuk

menentukan keberadaan nyeri. Namun, skor perilaku tidak sama dengan

skor intensitas nyeri. Intensitas nyeri tidak diketahui jika pasien tidak

mampu menyampaikannya. Seorang yang tahu keadaan pasien dengan

baik (misalnya, orangtua, pasangan, atau pengasuh) mungkin dapat

memberikan informasi yang dapat menjelaskan nyerinya.

4. Evaluasi indikator fisiologis dengan pemahaman bahwa mereka adalah

indikator paling sensitif untuk nyeri dan mungkin menandakan keberadaan

kondisi selain nyeri (misalnya, hipovolemia, kehilangan darah). Pasien

mungkin memiliki tanda-tanda vital yang normal atau abnormal pada saat

nyeri. Tekanan darah tinggi atau denyut jantung tidak berarti tidak adanya

nyeri.

Melakukan percobaan analgesik untuk mengkonfirmasi adanya nyeri dan

untuk mengembangkan rencana perawatan dasar jika nyeri diyakini ada.

Sebuah percobaan analgesik melibatkan pemberian dosis rendah analgesik

nonopioid atau opioid dan mengobservasi respon pasien. Dosis rendah

mungkin tidak cukup untuk memperoleh perubahan perilaku dan harus

ditingkatkan jika dosis sebelumnya ditoleransi, atau analgesik lain dapat

ditambahkan. Jika tidak ada perubahan perilaku hingga dosis analgesik yang

optimal, kemungkinan harus diselidiki penyebab lain. Pada pasien yang

benar-benar tidak responsif, tidak ada perubahan dalam perilaku akan jelas

dan dosis analgesik dioptimalkan harus dilanjutkan.

23
5. Pilihan Penilaian Nyeri pada Pasien tidak Sadar

Evidence-based guidelines tidak merekomendasikan penilaian intensitas

nyeri oleh siapapun selain orang yang mengalaminya. Pentingnya mengandalkan

laporan diri telah ditegaskan oleh penelitian selama bertahun-tahun, yang telah

menunjukkan adanya hubungan antara persepsi pasien dari rasa sakit dan perawat

serta anggota dari tim kesehatan lain. Selain itu, perbedaan terbesar sering terjadi

di tingkat nyeri tertinggi.

Berbagai penjelasan untuk perbedaan tersebut telah diusulkan, termasuk

pengalaman penyedia layanan, jenis kelamin pasien, hambatan bahasa, dan

kemampuan untuk membedakan perilaku nyeri dari perilaku lainnya. Prinsip

manajemen nyeri menyebutkan bahwa pasien adalah otoritas pada intensitas nyeri,

dan jika dia tidak dapat melaporkan intensitas, maka hal itu tidak diketahui.

Estimasi nyeri oleh orang lain.

Penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang tahu keadaan pasien

dengan baik (misalnya, orang tua, pengasuh) sering melebih-lebihkan atau

meremehkan rasa nyeri pasien. Perbedaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,

termasuk keberadaan dan tingkat penurunan kognitif pasien, jenis kelamin

caregiver, beban yang dirasakan dari pengasuh, anggapan tentang nyeri yang

dirasakan, dan ketakutan efek samping analgesik. Kekhawatiran menampakkan

bahwa nyeri menjadi lebih parah. Meskipun orang yang tahu keadaan pasien tidak

harus ditanya untuk intensitas tingkat nyeri, mereka dapat memfasilitasi penilaian

dengan menyediakan tim kesehatan dengan informasi tentang patologi mendasar

nyeri atau perilaku yang dapat menunjukkan adanya nyeri.

24
Paparan prosedur yang menyakitkan.

Ketika laporan secara langsung tidak dapat diperoleh, Hierarchy of Pain

Measures dapat digunakan sebagai pertimbangan kondisi yang berpotensi nyeri

atau prosedur yang pasien mungkin alami. Dalam kasus pasien yang tak sadarkan

diri, pasien mengalami luka traumatis yang menyakitkan. Dia juga mengalami

gangguan intubasi endotrakeal, ventilasi mekanis, dan suctioning, yang semuanya

telah teridentifikasikan sebagai prosedur yang dapat menghadirkan nyeri. Namun,

ia tidak dapat melaporkan nyeri dan tidak dapat menunjukkan perilaku nyeri.

Menurut Hierarchy of Pain Measures, nyeri harus diasumsikan hadir pada

pasien tersebut dan pengobatan harus dimulai dengan rekomendasikan dosis

analgesik awal yang tepat. Dosis subanesthetic propofol yang digunakan dengan

tujuan sedasi menghasilkan analgesia yang toleran. Ini menggarisbawahi

pentingnya pemberian analgesik yang sesuai, seperti nonopioids dan opioid.

Menilai kembali pengobatan analgesik dapat menjurus tidak adanya perubahan

dalam perilaku pada pasien yang tidak responsif, sehingga dosis analgesik optimal

harus dilanjutkan.

Kemampuan pasien untuk menyampaikan atau kelayakan menggunakan

alat penilaian perilaku nyeri harus dievaluasi secara berkala (misalnya, setiap

shift). Keputusan untuk peralihan asesmen didasarkan pada asumsi patologi nyeri

untuk penggunaan alat penilaian perilaku nyeri atau laporan nyeri pasien selalu

tergantung pada kemampuan pasien untuk menunjukkan perilaku nyeri.

Perilaku/Kebiasaan Pasien.

25
Perilaku pasien sering memberikan petunjuk tentang apakah pasien

memiliki rasa nyeri. Misalnya, ekspresi wajah, gelisah, dan perubahan dalam

aktivitas telah terbukti menjadi indikator rasa nyeri. Alat penilaian perilaku nyeri

memfasilitasi penilaian nyeri. Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU

adalah Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT), yang telah terbukti dapat

diandalkan dan valid dalam berbagai populasi pasien sakit kritis. Alat ini

memerlukan evaluasi dari 4 kategori berikut:

1. Ekspresi

2. wajah;

3. Gerakan tubuh

4. Ketegangan otot,

5. Dan Kepatuhan dengan ventilator (pasien diintubasi) atau vokalisasi

(pasien diekstubasi).

Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon pasien.

Total skor maksimum adalah 8. Keterbatasan dari banyak alat penilaian perilaku

nyeri (seperti CPOT) adalah perlunya perhatian khusus pada setiap gerakan,

sehingga penting bagi perawat untuk hati-hati mengevaluasi setiap kemampuan

pasien untuk menunjukkan perilaku yang diperlukan dalam penilaian. Pada pasien

seperti yang tidak sadarkan diri, perilaku nyeri tidak akan dijumpai, penggunaan

alat penilaian perilaku nyeri menjadi tidak efektif.

Meskipun kemampuan untuk mengandalkan indikator fisiologis, seperti

detak jantung dan tekanan darah, tanda-tanda vital telah terbukti menjadi indikator

paling sensitif pada nyeri, perlu diketahui peruahannya dipengaruhi oleh berbagai

26
faktor lain selain nyeri (misalnya, hipovolemia, kehilangan darah, hipotermia, dan

anestesi dan agen analgesik).

Hasil dari penilaian Sakit

Tim kesehatan yang merawat pasien tak sadarkan diri menggunakan Hierarchy of

Pain Measures sebagai kerangka kerja untuk penilaian nyeri. Pasien yang tidak

responsif, tidak dapat menyampaikan nyerinya, dan tidak menunjukkan perilaku

nyeri. Sebagaimana diarahkan oleh Hierarchy of Pain Measures, nyeri

diasumsikan atas dasar patologi yang mendasari nya merasakan nyeri (misalnya,

trauma kepala dan patah ulnaris) dan prosedur yang invasifnya (misalnya, intubasi

endotrakeal, ventilasi mekanis, dan suctioning). IV morfin secara kontinyu

sebesar 2,5 mg / jam dimulai. Dosis 1 mg morfin bolus. IV diberikan sebelum

prosedur yang invasifnya. Selain itu, dosis dijadwalkan IV acetaminophen dan

IVibuprofen diberikan asekitar se-jam.

3.2 Pembahasan 5 Artikel Penunjang

3.2.1 Pembahasan Artikel Penunjang Pertama

27
Artikel pertama merupakan penelitian Dari AA.Arsyawina “Perbandingan

skala Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) dan Wong-Baker Faces

Pain Rating Scale dalam menilai derajat nyeri pada pasien dengan ventilasi

mekanik Di Ruang ICU RSUD Tugurejo Semarang” studi pendahuluan

yang dilakukan oleh peneliti , diperoleh bahwa rata-rata jumlah pasien

unit perawatan intensif RSUD Tugurejo Semarang setiap tahun sebanyak

537 orang, yang menggunakan ventilasi mekanik rata- rata sebanyak 32

orang setiap bulannya. Di Ruang ICU RSUD Tugurejo Semarang saat ini

menggunakan skala penilaian nyeri Wong-Baker FACES pain rating scale.

Skala tersebut merupakan alat pengukuran yang valid dan reliabel untuk

mengkaji intensitas nyeri pada anak berusia 3 tahun atau lebih dan bisa

juga digunakan pada orang dewasa dengan kelainan kogntif. Nyeri pada

pasien dengan ventilasi mekanik dapat dianalogikan seperti nyeri pada

anak-anak, keduanya memiliki persamaan karakteristik yaitu tidak mampu

menyampaikan rasa nyeri secara verbal. Sehingga sampai saat ini Wong-

Baker FACES Pain Rating Scale masih di gunakan di beberapa Unit

Perawatan Intensif. Pengkajian nyeri sangat menentukan manajemen

pemberian sedasi, waktu penggunaan ventilator dan lama perawatan, yang

berujung pada angka kejadian infeksi nasokomial. Sampai saat ini belum

ada satupun penelitian yang membandingkan antara skala nyeri CPOT dan

Wong-Baker FACES pain rating scale. Berdasarkan uraian di atas maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan

skala Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) dan Wong-Baker Faces

28
Pain Rating Scale dalam menilai derajat nyeri pada pasien dengan ventilasi

mekanik Di Ruang ICU RSUD Tugurejo Semarang”

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu :

1. Pada penelitian sebelumnya CPOT digunakan untuk mengukur

nyeri pada pasien ICU dengan kasus bedah jantung dan pada

pasien ICU dengan berbagai kasus umum (heterogen), pada

penelitian ini CPOT hanya digunakan untuk mengukur nyeri pada

pasien dengan ventilasi mekanik (homogen)

2. Pada penelitian sebelumnya Wong-Baker FACES Pain Rating

Scale digunakan pada populasi perawatan anak, pada penelitian ini

akan digunakan pada populasi pasien ICU dengan ventilasi

mekanik.

3. Pada penelitian sebelumnya pengujian validitas dan reliabilitas

(psikometri) hanya menggunakan satu instrumen, pada penelitian

ini pengujian validitas,reliabilitas dan ketanggapan akan

menggunakan dua instrumen yaitu CPOT dan Wong-Baker

FACES Pain Rating Scale. Kemudian akan dibandingkan hasil

psikometri dari kedua instrumen tersebut.

3.2.2 Pembahasan Artikel Penunjang kedua

Artikel kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Yudiyanta di rumah

sakit Di RS Dr Sardjito, assessment ulang nyeri dilakukan pada pasien yang

dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan rasa nyeri, sebagai berikut: 1.

Lakukan assessment nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan pemeriksaan

fisik pada pasien 2. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah

29
tatalaksana nyeri, setiap 4 jam (pada pasien yang sadar/bangun) atau sesuai jenis

dan onset masing-masing jenis obat, pasien yang menjalani prosedur

menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah

sakit. 3. Pada pasien nyeri kardiak (jantung), lakukan assessment ulang setiap 5

menit setelah pemberian nitrat atau obat-obatan intravena. 4. Pada nyeri

akut/kronik, lakukan assessment ulang tiap 30 menit-1 jam setelah pemberian obat

anti-nyeri.

Semua tindakan assessment dan penanganan nyeri didokumentasikan

dalam catatan rencana pengelolaan, implementasi, catatan perkembangan

terintegrasi dan lembar monitoring terpadu rawat inap, rawat jalan, maupun rawat

khusus rekam medis. Staf yang terlibat dalam penanganan nyeri semuanya

kompeten. Rumah sakit memiliki proses untuk mendidik staf mengenai

manajemen nyeri dengan melaksanakan pelatihan manajemen nyeri.3

Evaluasi nyeri secara psikologik terutama pada nyeri kronis, meliputi: 1.

Gangguan mood (pada 50% nyeri kronis) 2. Gejala somatis 3. Gangguan tidur dan

nafsu makan 4. Libido 5. Ide bunuh diri 6. Pengaruh nyeri dalam kehidupan sehari

hari: aktifi tas sehari-hari, pekerjaan dan keuangan, hubungan personal, kebutuhan

akan rekreasi.

Evaluasi pasien nyeri secara keseluruhan dapat menggunakan instrumen

Patient Comfort Assessment Guide (Lampiran 16) yang terdiri atas 11 pertanyaan

tentang status nyeri, pengurangan nyeri, gejala lain, dan efek samping sebagai

tolok ukur status fungsional pasien. Assessment ini membantu monitor dan

dokumentasi status pasien dan respons pasien terhadap pengobatan.

3.2.3 Pembahasan artikel Penunjang Ketiga

30
Artikel ketiga adalah penelitian yang diteliti Ayu Prawesti Priambodo

merupakan observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel

penelitian adalah 48 pasien kritis dengan penurunan kesadaran dan ventilasi

mekanis yang menjalani perawatan di ruang General Intensive Care Unit (GICU)

di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Penelitian menggunakan Consecutive

sampling, dengan kriteria sampel berusia ≥ 18 tahun, tidak dapat melaporkan rasa

nyerinya, menggunakan ventilasi mekanik, pasien dengan tingkat kesadaran

somnolens dan stupor, memiliki hemodinamik stabil.

Pasien dilakukan pengkajian nyeri pada saat pasien istirahat dan pada saat

prosedur yang menyakitkan (nociceptive) yaitu perubahan posisi (repositioning).

Pengkajian nyeri dilakukan menggunakan BPS yang berdasarkan pada tiga

domain : ekspresi wajah, gerakan ekstremitas atas, dan kepatuhan dengan ventilasi

mekanik (compliance ventilated). Pada pasien yang sama kemudian dilakukan

pengkajian nyeri dengan CPOT yang berdasarkan pada empat domain: ekspresi

wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanis

untuk pasien dengan intubasi dan vokalisasi untuk pasien ekstubasi. Pasien dinilai

0, 1, atau 2 pada empat domainnya, CPOT memberikan nilai keseluruhan dari 0

(tidak ada rasa sakit) sampai 8 (sakit maksimum) (Gelinas, Fillion, et al, 2006).

Pengujian nilai kesesuaian antara alat ukur CPOT dengan BPS, melalui beberapa

tahap yaitu: 1. Uji beda rerata respon skor nyeri saat istirahat dan saat mobilisasi

pada dua alat ukur Behavioural Pain Scales (BPS) dan Critical Pain Observation

Tools (CPOT). 2. Uji hubungan dari dua alat ukur, Behavioural Pain Scales

(BPS) dan Critical Pain Observation Tools (CPOT) dalam mengkaji nyeri pada

pasien kritis dengan penurunan tingkat kesadaran (unconscious) dan ventilasi

31
mekanik. 3. Uji kesesuaian (agreement) alat ukur Behavioural Pain Scales (BPS)

dengan Critical Pain Observation Tools (CPOT) dengan kappa.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur nyeri yaitu BPS

dan CPOT memiliki keandalan dalam menilai rasa nyeri pada pasien kritis, bagi

pasien yang tidak mampu melaporkan rasa nyerinya secara verbal. Hal ini

ditunjukkan pada hasil analisis uji beda skor respon nyeri saat istirahat dengan

skor respon nyeri saat positioning pada alat ukur BPS dan CPOT adalah bermakna

(p < 0, 05). Hal ini menjelaskan bahwa kedua alat ukur BPS dan CPOT dapat

mengukur perbedaan tingkat respon nyeri. Alat ukur BPS dan CPOT dapat

mengukur perbedaan tingkat respon nyeri pada saat istirahat dengan respon nyeri

saat positioning pada pasien kritis. Terdapat hubungan antara hasil pengukuran

respon nyeri oleh Behavioural Pain Scales (BPS) dengan hasil pengukuran oleh

Critical Pain Observation tool (CPOT). Hasil ukur CPOT memiliki tingkat

kesesuaian (agreement) yang baik dengan hasil ukur BPS pada pengukuran yang

dilakukan pada saat istirahat dan positioning CPOT merupakan alat ukur nyeri

yang cukup aplikatif untuk digunakan di area perawatan kritis karena memiliki

definisi operasional yang jelas pada setiap butir observasinya. CPOT juga

memiliki domain observasi nyeri pada pasien yang mampu melaporkan rasa

nyerinya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui pengaruh

penggunaan alat ukur pengkajian nyeri terhadap praktik manajemen nyeri dan

outcome pada pasien

3.2.4 Pembahasan artikel Penunjang Keempat

32
Artikel keempat mengambil penelitian Muhammad Okyno : Kesahihan

skala critical-care pain observation tool (CPOT) dalam menilai derajat nyeri

pasien dengan skala koma glasgow dibawah 14 UPI Rumah Sakit Cipto

Mangunkusomo. Latar belakang: Penilaian nyeri pada pasien-pasien UPI cukup

sulit dikarenakan kendala komunikasi yang mereka dapatkan. Untuk penilaian

pada pasien UPI digunakan skala evaluasi seperti Critical-Care Pain Observation

Tool (CPOT). Skala CPOT dikembangkan oleh Gellinas pada tahun 2006, dibuat

dalam bahasa Prancis lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan sudah dinilai

kesahihannya. Pemakaian skala CPOT di UPI RSCM bisa dilakukan, namun jika

diterjemahkan akan mempermudah sosialisasi dan pemahaman dalam penilaian

skala CPOT. Sebelum suatu alat ukur yang diterjemahkan dapat diterapkan pada

populasi, harus dinilai kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah

menilai kesahihan CPOT dalam penggunaannya menilai nyeri pada pasien dengan

Skala Koma Glagow di bawah 14 di UPI RSCM. Metode: Studi observasional,

potong lintang dengan pengukuran berulang dilakukan terhadap pasien yang

dirawat di UPI RSCM April – Mei 2013. Kesahihan BPS dinilai dengan uji

korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan Cronbach α dan Intraclass

Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai dengan Besar efek. Hasil:

Selama penelitian terkumpul 33 pasien dengan Skala Koma Glasgow di bawah 14

baik terintubasi maupun tidak di UPI RSCM. Skala CPOT memiliki kesahihan

yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.145, 0.393 dan –

0.205 untuk laju nadi, MAP dan skor Ramsay. Keandalan CPOT baik dengan ICC

0.981 (p .

3.2.5 Pembahasan Artikel Penunjang Kelima

33
Artikel kelima adalah penelitian yang diteliti oleh Arief Cahyadi (2015)

Kesahihan behavioral pain scale (BPS) dalam memprediksi nyeri pada pasien

sakit kritis yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi mekanik di UPI RSCM =

Validation of behavioral pain scales (BPS) in assessing pain of unconscious

critically ill patient and using mechanical ventilation in ICU RSCM Latar

belakang: Nilai Behavioral Pain Scale (BPS) merupakan alat evaluasi nyeri untuk

pasien unit perawatan intensif (UPI) yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi

mekanik. BPS dikembangkan oleh Payen pada tahun 2001 dalam bahasa Inggris.

Penerjemahan BPS ke dalam bahasa Indonesia dilakukan untuk mempermudah

sosialisasi dan pemahaman mengenai kriteria dalam BPS. Sebelum suatu alat ukur

yang diterjemahkan dapat diterapkan pada populasi, harus dilakukan penilaian

kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai

kesahihan BPS pada pasien UPI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Studi observasional, potong lintang dengan pengukuran berulang

dilakukan terhadap pasien yang dirawat di UPI RSCM Maret-Mei 2013.

Kesahihan BPS dinilai dengan uji korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan

Cronbach α dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai

dengan besar efek. Hasil: Selama penelitian terkumpul 56 pasien yang tidak sadar

dan menggunakan ventilasi mekanik di UPI RSCM. BPS memiliki kesahihan

yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.376, 0.403 dan -

0.147 untuk laju nadi, tekanan arteri rata-rata dan nilai Ramsay. Keandalan yang

baik dengan nilai ICC 0.941 p =

Tabel 1. Tabel Literature Review

34
Peneliti Perlak Kont
Judul Responden Prosedur Temuan
& Tahun uan rol
A Studi Literatur: artikel berjumlah 16 dan - - Penelusuran literatur Hasil dari studi
Sriwahyun Instrumen diambil 9 artikel yang dimulai pada tahun terbit literatur ditemukan
ingsih. Pengkajian Nyeri sesuai dengan kriteria antara 20002015 untuk 5 instrumen
direview. Kriteria inklusi pengkajian nyeri
(2016) Pada Pasien Kritis inklusi. Sedangkan, 5
dari penelusuran literatur pada pasien kritis
Dewasa yang artikel dieksklusi karena didapatkan dari jurnal dewasa yang
Terpasang penelitian dilakukan dengan tipe penelitian terpasang
Ventilator secara retrospektif crossectional, before- ventilator. Kelima
after study dan instrumen tersebut
observational study. memiliki indikator
Adapun kriteria penilaian yang
responden dalam review berbeda- beda
literatur adalah pasien sehingga memiliki
kritis dewasa yang kelebihan dan
terpasang ventilator di kekurangan masing
ICU. masing. Menurut
Penulis kelima
instrumen tersebut
memiliki kesamaan
untuk mengkaji
nyeri pasien kritis
dewasa dengan
ventilator.

Ayu Pengkajian Nyeri Sampel penelitian adalah 48 Penelitian menggunakan Hasil penelitian ini
Prawesti Pasien Kritis 48 pasien kritis dengan Consecutive sampling, menunjukkan
Priambodo Menggunakan penurunan kesadaran dan dengan kriteria sampel bahwa kedua alat
(2016) Critical Pain ventilasi mekanis yang ukur nyeri yaitu
berusia ≥ 18 tahun, tidak
Observation Tool menjalani perawatan di BPS dan CPOT
ruang GICU ruang General Intensive dapat melaporkan rasa memiliki keandalan
RSUD Hasan Care Unit (GICU) nyerinya, menggunakan dalam menilai rasa
Sadikin Bandung ventilasi mekanik, pasien nyeri pada pasien
dengan tingkat kesadaran kritis, bagi pasien
somnolens dan stupor, yang tidak mampu
memiliki hemodinamik melaporkan rasa
nyerinya secara
stabil. Pasien dilakukan
verbal. Hal ini
pengkajian nyeri pada ditunjukkan pada
saat pasien istirahat dan hasil analisis uji
pada saat prosedur yang beda skor respon
menyakitkan nyeri saat istirahat
(nociceptive) yaitu dengan skor respon
perubahan posisi nyeri saat
positioning pada
(repositioning).
alat ukur BPS dan
Pengkajian nyeri CPOT adalah
dilakukan menggunakan bermakna (p < 0,
BPS yang berdasarkan 05). Hal ini
pada tiga domain : menjelaskan bahwa
ekspresi wajah, gerakan kedua alat ukur
ekstremitas atas, dan BPS dan CPOT
dapat mengukur
kepatuhan dengan
perbedaan tingkat
ventilasi mekanik respon nyeri pada

35
(compliance ventilated). saat istirahat
Pada pasien yang sama dengan respon nyeri
kemudian dilakukan saat positioning
pada pasien kritis.
pengkajian nyeri dengan
Pada pasien kritis,
CPOT yang berdasarkan rasa nyeri dapat
pada empat domain: dirasakan,
ekspresi wajah, gerakan meskipun dalam
tubuh, ketegangan otot, kondisi istirahat
dan kepatuhan dengan (chanques et al.,
ventilasi mekanis untuk 2007) ataupun
selama tindakan
pasien dengan intubasi
yang menimbulkan
dan vokalisasi untuk rasa nyeri (puntillo
pasien ekstubasi. Pasien et al., 2014)
dinilai 0, 1, atau 2 pada termasuk
empat domainnya, positioning,
CPOT memberikan nilai sehingga sejumlah
keseluruhan dari 0 (tidak indikator perilaku
nyeri dapat diamati
ada rasa sakit) sampai 8
menggunakan BPS
(sakit maksimum) maupun CPOT
(Gelinas, Fillion, et al, (Gelinas et al.,2006;
2006). Gelinas & Johnston
2007).

AA.Arsya Perbandingan populasi pasien ICU 31 pada penelitian ini Hasil penelitian ini
wina 2014 skala Critical-Care dengan ventilasi mekanik pasien pengujian validitas menunjukan bahwa
Pain Observation tidak reliabilitas dan CPOT merupakan
Tool (CPOT) dan sadar ketanggapan akan alat ukur yang lebih
Wong-Baker menggunakan dua reliabel, valid
Faces Pain Rating instrument yaitu CPOT danbesar efek
Scale dalam dan Wong-Baker FACES antara 5,0-5,4
menilai derajat Pain Rating Scale. sedangkan Wong-
nyeri pada pasien Kemudian akan Baker memiliki
dengan ventilasi dibandingkan hasil nilai besar efek
mekanik Di Ruang psikometri dari kedua antara 0,8-2,2.
ICU RSUD instrumen tersebut Kesimpulan : Hasil
Tugurejo penelitian ini
Semarang” menunjukan bahwa
CPOT merupakan
alat ukur yang lebih
reliabel, valid dan
tanggap untuk
menilai nyeri pada
pasien dengan
ventilasi mekanik
dibandingkan skala
WongBaker.
Arief Kesahihan l56 pasien yang tidak 156 Studi observasional, BPS memiliki
Cahyadi behavioral pain sadar dan menggunakan potong lintang dengan kesahihan yang
(2015) scale (BPS) dalam ventilasi mekanik pengukuran berulang baik dengan nilai
memprediksi nyeri
dilakukan terhadap korelasi bermakna
pada pasien sakit

36
kritis yang tidak pasien yang dirawat di secara berurutan
sadar dan UPI RSCM Maret-Mei 0.376, 0.403 dan -
menggunakan 2013 0.147 untuk laju
ventilasi mekanik
nadi, tekanan arteri
di UPI RSCM
rata-rata dan nilai
Ramsay. Keandalan
yang baik dengan
nilai ICC 0.941 p =

Muhamma Kesahihan 33 pasien dengan 33 Studi observasional, Skala CPOT


d Okyno skala critical- Skala Koma potong lintang dengan memiliki kesahihan
(2014) pengukuran berulang yang baik dengan
care pain Glasgow di bawah dilakukan terhadap nilai korelasi
observation 14 baik terintubasi pasien yang dirawat di bermakna secara
tool (CPOT) maupun tidak UPI RSCM April – Mei berurutan 0.145,
dalam menilai 2013. Kesahihan BPS 0.393 dan – 0.205
derajat nyeri dinilai dengan uji untuk laju nadi,
korelasi Spearman. MAP dan skor
pasien dengan Keandalan dinilai dengan Ramsay. Keandalan
skala koma Cronbach α dan CPOT baik dengan
glasgow Intraclass Correlation ICC 0.981 (p .
dibawah 14 Coefficient (ICC).
UPI Rumah Ketanggapan dinilai
dengan Besar efek
Sakit Cipto
Mangunkusom
o.

Dari hasil literature review terhadap satu artikel nasional dan didukung 5 artikel

jurnal, dapat dijelaskan bahwa intervensi keperawatan pengkajian nyeri pada

pasien penurunan kesadaran dengan ventilator mekanik berupa Nonverbal Adult

Pain Scale (NVPS), Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm

(P.A.I.N), Comfort Scale, Behavioural pain scale (BPS), dan Critical-Care Pain

Observasion Tool (CPOT). dapat dikategorikan sebagai intervensi yang aman

dan cukup efektif dalam Instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis dewasa

telah diteliti validitas dan reliabilitasnya yang diterapkan pada pasien kritis yang

mengalami gangguan neuromuscular, agitasi, dan delirium dan apabila akupresur ..

37
Prosedur keperawatan yang sering mengakibatkan nyeri diantaranya yaitu,

perubahan posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan

ventilasi mekanik, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan

kateter (Puntilo et al, 2004; Dunn et al, 2009; Alderson et al, 2013; Sutari et al,

2014). Penilaian nyeri yang sistematis dan konsisten dibutuhkan pada pasien

kritis yang terpasang ventilator (Rahu et al, 2010). Akan tetapi, sebagian besar

pasien yang terpasang ventilator tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya

secara verbal sehingga diperlukan penilaian nyeri yang terstandar (Coyer et al,

2007).

Penilaian nyeri merupakan langkah awal dalam menentukan penanganan

nyeri yang tepat. Walaupun dokter dan perawat pada unit perawatan kritis selalu

berusaha untuk memperoleh laporan tingkat nyeri yang disampaikan sendiri oleh

pasien, banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan pasien dalam

mengungkapkan rasa nyeri secara verbal termasuk penggunaan obat sedasi,

ventilasi mekanik dan perubahan tingkat kesadaran (Shannon, 2003).

Ketidakmampuan pasien untuk melaporkan nyeri sendiri secara verbal maka

observasi perilaku nyeri dan gejala fisiologis menjadi indikatot penting untuk

menilai nyeri pada pasien (HamillRuth, 1999).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

38
4.1 Kesimpulan

1. Nyeri merupakan suatu pengalaman emosional berupa sensasi yang tidak

menyenangkan. Nyeri terjadi karena adanya suatu kerusakan jaringan yang

nyata seperti luka pasca bedah atau trauma akut, dan nyeri terjadi tanpa

adanya kerusakan jaringan yang nyata seperti nyeri kronik atau proses

penyembuhan trauma lama, nyeri post herpetic, phantom atau trigeminal.

Dengan demikian pada prinsipnya nyeri terjadi karena ketidakseimbangan

antara aktivitas supressor dibandingkan dengan depressor pada fase

tertentu akibat gangguan suatu jaringan tertentu.

2. Instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis dewasa telah diteliti

validitas dan reliabilitasnya, akan tetapi diperlukan penelitian terbaru

mengenai sensitivitas dan spesifisitas pada semua instrumen pengkajian

nyeri yang diterapkan pada pasien kritis yang mengalami gangguan

neuromuscular, agitasi, dan delirium dan dirawat diunit perawatan intensif.

3. Bahwa intervensi keperawatan pengkajian nyeri pada pasien penurunan

kesadaran dengan ventilator mekanik berupa Nonverbal Adult Pain Scale

(NVPS), Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm (P.A.I.N),

Comfort Scale, Behavioural pain scale (BPS), dan Critical-Care Pain

Observasion Tool (CPOT). dapat dikategorikan sebagai intervensi yang

aman dan cukup efektif dalam Instrumen pengkajian nyeri pada pasien

kritis dewasa telah diteliti validitas dan reliabilitasnya yang diterapkan

pada pasien kritis yang mengalami gangguan neuromuscular, agitasi, dan

delirium

4.2 Saran

39
1.1.1. Bagi Program Studi Profesi Ners

Diharapkan literature review ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam

intervensi Keperawatan pengkajian nyeri, khususnya pada pasien dengan

penurunan kesadaran dan menggunakan ventilator mekanik.

1.1.2. Bagi Perawat

Diharapkan literature review ini khususnya bagi perawat dapat melakukan

pengkajian nyeri, khususnya pada pasien dengan penurunan kesadaran dan

menggunakan ventilator mekanik.

1.1.3. Bagi Fasyankes

Diharapkan penggunaan pengkajian nyeri, khususnya pada pasien dengan

penurunan kesadaran dan menggunakan ventilator mekanik dalam upaya

peningkatan pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Daftar Pustaka

40
A Sriwahyuningsih. (2016). Studi Literatur: Instrumen Pengkajian Nyeri Pada
Pasien Kritis Dewasa yang Terpasang Ventilator .JAKARTA
www.portalgaruda.org

AA.Arsyawina.2016 “Perbandingan skala Critical-Care Pain Observation Tool


(CPOT) dan Wong-Baker Faces Pain Rating Scale dalam menilai derajat
nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik Di Ruang ICU RSUD
Tugurejo Semarang” Diakses dari https://scholar.google.co.id.

Ayu Prawesti Priambodo (2016) Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan


Critical Pain Observation Tool ruang GICU RSUD Hasan Sadikin
Bandung Diakses dari www.portalgaruda.org.

Arief Cahyadi 2015. Kesahihan behavioral pain scale (BPS) dalam memprediksi
nyeri pada pasien sakit kritis yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi
mekanik di UPI RSCM. Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis

Coyer et al, 2007.”penilaian nyeri yang terstandar” Jakarta: EGC

Elizabeth J. Narcessian, MD, Clinical Chief of Pain Management, Kessler


Institute for Rehabilitation, Inc. Diakses dari www.ajog.org

Gelinas C, Fillion L, Puntillo KA. 2006. Viens C, Fortier M. Validation of the


Critical-Care Pain Observation Tool in adult patients. Am J Crit Care
15:420e427.

Puntillo, K.A., Max, A., Timsit, J.F., Vignoud, L., Chanques, G., Robleda, G., et
al. (2014). Determinants of procedularal pain intensity in the intensive care
unit. Am J Respir Crit Care Med., 189, 39–47.Jakarta: EGC. .

Rahu et al, 2010 Penilaian nyeri yang sistematis dan konsisten dibutuhkan pada
pasien kritis yang terpasang ventilator Diakses dari www.ajog.org

Rahu, M., & Grap, M. (2010). Facial expression and pain in the critically ill non-
Communicative patient: state of science review. Intensive Critical Care
Nursing, 26:343–52.

Sutari, M., Abdalrahim, MS., Hamdan-mansour, AM., & Ayasrah,SM. (2014).


Pain among mechanically ventilated patients in critical care units. Journal
of Research in Medical Science

41

Anda mungkin juga menyukai