Stunting Dan Wasting

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PEMBAHASAN

PENURUNAN PREVELENSI STUNTING


DAN WASTING

TAHUN 2022
MUKADIMAH

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan otak. Anak stunting juga memiliki risiko lebih tinggi
menderita penyakit kronis di masa dewasanya. Bahkan, stunting dan malnutrisi
diperkirakan berkontribusi pada berkurangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB)
setiap tahunnya.

Prevalensi stunting selama 10 tahun terakhir menunjukkan tidak adanya


perubahan yang signifikan dan ini menunjukkan bahwa masalah stunting perlu
ditangani segera. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 30,8%
atau sekitar 7 juta balita menderita stunting. Masalah gizi lain terkait dengan stunting
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah anemia pada ibu hamil
(48,9%), Berat Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita kurus atau wasting (10,2%)
dan anemia pada balita

Penurunan stunting memerlukan intervensi yang terpadu, mencakup intervensi


gizi spesifik dan gizi sensitif. Sejalan dengan inisiatif Percepatan Penurunan Stunting,
pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG)
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gernas PPG
dalam kerangka 1.000 HPK.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
masukan sehingga makalah pelaksanaan prevelensi stunting/wasting dapat di
selesaikan. Selanjutnya, makalah ini akan dimutakhirkan secara periodik berdasarkan
pembelajaran dari penerapannya.

Banda Aceh. 04 Agustus 2022

dr. Rahmi Ida Royani


PERENCANAAN DAN
PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang


a. Pengertian
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan
gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi gagal
tumbuh pada anak balita disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu
lama serta terjadinya infeksi berulang, dan kedua faktor penyebab ini dipengaruhi
oleh pola asuh yang tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK. Anak tergolong
stunting apabila panjang atau tinggi badan menurut umurnya lebih rendah dari
standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada buku Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) dan beberapa dokumen lainnya.

Sedangkan Menurut UNICEF, wasting adalah malnutrisi yang paling


sering terjadi dan mengancam jiwa anak-anak. Seorang anak yang mengalami
wasting, tubuhnya terlalu kurus dan sistem kekebalan tubuhnya lemah, sehingga
rentan terhadap penyakit dan kematian. Selain itu anak yang terdampak wasting
juga mengalami keterlambatan dalam perkembangan. Beberapa anak yang
terkena wasting juga mengalami edema gizi, yang ditandai dengan wajah, kaki,
dan pembengkakan anggota tubuh lain. Rata-rata terjadi pada usia 2 tahun,
wasting terjadi akibat malnutrisi ibu, lahir dengan berat badan rendah, perawatan
yang buruk, dan penyakit infeksi yang diperparah dengan keterbatasan terhadap
minum serta makanan sehat.

Penurunan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk menghindari


dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh kembang
anak. Stunting mempengaruhi perkembangan otak sehingga tingkat kecerdasan
anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan produktivitas pada saat
dewasa. Stunting juga menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit. Anak
stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya.
Bahkan, stunting dan berbagai bentuk masalah gizi diperkirakan berkontribusi
pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018


menemukan 30,8% mengalami stunting. Walaupun prevalensi stunting menurun
dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka stunting tetap tinggi dan masih
ada 2 (dua) provinsi dengan prevalensi di atas 40% (Gambar 1.1.).
b. Penyebab
Mengacu pada “The Conceptual Framework of the Determinants of Child
Undernutrition” 4, “The Underlying Drivers of Malnutrition” 5, dan “Faktor Penyebab
Masalah Gizi Konteks Indonesia”6 penyebab langsung masalah gizi pada anak
termasuk stunting adalah rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Penurunan
stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang
berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi
(makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan
anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan
pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana
air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat faktor tersebut mempengaruhi asupan
gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor tersebut
diharapkan dapat mencegah masalah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi
(Gambar 1.2.).

Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan


faktor keturunan. Penelitian Dubois, et.al pada tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor
keturunan hanya sedikit (4-7% pada wanita) mempengaruhi tinggi badan seseorang
saat lahir. Sebaliknya, pengaruh faktor lingkungan pada saat lahir ternyata sangat besar
(74-87% pada wanita). Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan yang
mendukung dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ibu hamil dengan konsumsi asupan gizi yang rendah dan mengalami penyakit
infeksi akan melahirkan bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR), dan/atau panjang
badan bayi di bawah standar. Asupan gizi yang baik tidak hanya ditentukan oleh
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga tetapi juga dipengaruhi oleh pola asuh
seperti pemberian kolostrum (ASI yang pertama kali keluar), Inisasi Menyusu Dini
(IMD), pemberian ASI eksklusif, dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
secara tepat. Selain itu, faktor kesehatan lingkungan seperti akses air bersih dan
sanitasi layak serta pengelolaan sampah juga berhubungan erat dengan kejadian
infeksi penyakit menular pada anak.

Kehidupan anak sejak dalam kandungan ibu hingga berusia dua tahun (1.000
HPK) merupakan masa-masa kritis dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak yang optimal. Faktor lingkungan yang baik, terutama di awal-awal
kehidupan anak, dapat memaksimalkan potensi genetik (keturunan) yang dimiliki anak
sehingga anak dapat mencapai tinggi badan optimalnya. Faktor lingkungan yang
mendukung ditentukan oleh berbagai aspek atau sektor.

Penyebab tidak langsung masalah stunting dipengaruhi oleh berbagai faktor,


meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi,
sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan
pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan prasyarat
pendukung yang mencakup: (a) Komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan; (b)
Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan (c) Kapasitas untuk melaksanakan.
Gambar 1.2. menunjukkan bahwa penurunan stunting memerlukan pendekatan yang
menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung.
c. Dampak dari Stunting
Permasalahan stunting pada usia dini terutama pada periode 1000 HPK, akan
berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Stunting menyebabkan organ
tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Balita stunting berkontribusi
terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta
Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yaitu hilangnya masa hidup sehat setiap tahun.
 Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan
perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta
gangguan metabolisme.
 Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual.
Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan
menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang
akan berpengaruh pada produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, kekurangan
gizi juga menyebabkan gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi,
jantung kroner, dan stroke (Gambar 1.3.).

d. Intervensi Prevelensi Stunting Terintegrasi

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi
spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk
mengatasi penyebab tidak langsung. Selain mengatasi penyebab langsung dan tidak
langsung, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup komitmen politik dan
kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas
untuk melaksanakan. Penurunan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh,
yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung. Kerangka konseptual
Intervensi penurunan stunting terintegrasi (Gambar 1.4.).
Kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi di atas
merupakan panduan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menurunkan kejadian
stunting. Pemerintah kabupaten/kota diberikan kesempatan untuk berinovasi untuk
menambahkan kegiatan intervensi efektif lainnya berdasarkan pengalaman dan praktik
baik yang telah dilaksanakan di masing-masing kabupaten/kota dengan fokus pada
penurunan stunting. Target indikator utama dalam intervensi penurunan stunting
terintegrasi adalah:
1. Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
2. Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
3. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita
4. Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif
6. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7. Prevalensi kecacingan pada anak balita
8. Prevalensi diare pada anak baduta dan balita.

Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi terjadinya


stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan
kesehatan lingkungan. Intervensi spesifik ini umumnya diberikan oleh sektor kesehatan
dan dijelaskan dalam Tabel 1.1.

Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesifik:


a. Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memilik dampak paling
besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua
sasaran prioritas;
b. Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan
kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas
dilakukan.
c. Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan
sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat bencana
(program gizi darurat).
Pembagian kelompok ini dimaksudkan sebagai panduan bagi pelaksana program
apabila terdapat keterbatasan sumber daya.
Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana
sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; (c)
Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c); serta
(d) Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di
luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan
masyarakat dan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sebagaimana
tercantum di dalam Tabel 1-2. Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut
dapat ditambah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi dilaksanakan dengan


menggunakan pendekatan Holistik, Intergratif, Tematik, dan Spatial (HITS). Upaya
penurunan stunting akan lebih efektif apabila intervensi gizi spesifik dan sensitif
dilakukan secara terintegrasi atau terpadu. Beberapa penelitian baik dari dalam
maupun luar negeri telah menunjukkan bahwa keberhasilan pendekatan terintegrasi
yang dilakukan pada sasaran prioritas di lokasi fokus untuk mencegah dan menurunkan
stunting.10 Oleh karenanya, pelaksanaan intervensi akan difokuskan pada area
kabupaten/kota dan/atau desa tertentu. Pada tahun 2017, delapan kabupaten/kota
dijadikan sebagai lokasi percontohan. Selanjutnya, pada tahun 2018, sebanyak 100
kabupaten/kota dan 1.000 desa dijadikan area fokus pelaksanaan intervensi penurunan
stunting terintegrasi. Pada tahun 2019, intervensi penurunan stunting terintegrasi
direncanakan untuk dilaksanakan di 160 kabupaten/kota dan pada tahun 2020-2024
akan diperluas secara bertahap sampai mencakup seluruh kabupaten/kota. Penetapan
lokasi ini akan dilakukan secara tahunan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) seperti dalam Gambar 1.5.

Pemetaan kegiatan sektor atau OPD terkait dengan penurunan stunting untuk
tahun 2019 telah dilakukan. Hasil pemetaan kegiatan sektor OPD terkait dapat dilihat
secara lebih rinci pada tabel 1-3. di bawah ini.
e. Kebijakan Nasional Penurunan Stunting

Komitmen untuk percepatan perbaikan gizi diwujudkan dengan ditetapkannya


Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan, terutama kesehatan ibu,
anak dan pengendalian penyakit dengan pendekatan berbagai program dan kegiatan
yang dilakukan lintas sektor. Implementasi perbaikan gizi juga dituangkan ke dalam
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015-2019.

Penyusunan dan implementasi rencana aksi pangan dan gizi dalam bentuk
Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAD-PG) sedang berlangsung di provinsi dan
kabupaten/kota. Sebagai panduan dalam mengintegrasikan pembangunan pangan dan
gizi, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2017 tentang
Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi yang selanjutnya diikuti penetapan Peraturan
Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi yang menetapkan RAN-PG, Pedoman Penyusunan RAD-
PG, dan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi RAN/RAD-PG.

Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 59 tahun


2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan bagian dari TPB tujuan dua yaitu
mengakhiri kelaparan, memcapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan
mendukung pertanian berkelanjutan. Stunting telah ditetapkan sebagai prioritas
nasional dalam dokumen perencanaan dan TPB. Adapun strategi percepatan perbaikan
gizi dalam dokumen perencanaan RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan
2. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan fokus
utama pada 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil hingga anak usia 2 tahun),
balita, remaja, dan calon pengantin
3. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi, sanitasi,
higiene, dan pengasuhan
4. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi termasuk melalui Upaya
Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM (Posyandu dan Pos PAUD)
5. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi
6. Pengembangan fortifikasi pangan
7. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan spesifik yang
didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana
aksi pangan dan gizi
Sasaran pokok dan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 tersebut di atas
selanjutnya telah diterjemahkan ke dalam perencanaan dan penganggaran tahunan
(Rencana Kerja Pemerintah/RKP) dimana percepatan perbaikan gizi masyarakat telah
menjadi agenda prioritas dalam mulai RKP tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018. Pada
RKP 2018, pembangunan kesehatan difokuskan pada tiga program prioritas mencakup:
(a) peningkatan kesehatan ibu dan anak; (b) pencegahan dan pengendalian penyakit;
dan (c) penguatan promotif dan preventif “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat”.
Perbaikan kualitas gizi ibu dan anak menjadi salah satu kegiatan prioritas pada program
prioritas peningkatan kesehatan ibu dan anak yang dilaksanakan secara lintas sektor
(Gambar1.6.).
Sedangkan pada RKP 2019, program prioritas peningkatan pelayanan
kesehatan dan gizi masyarakat difokuskan pada lima kegiatan prioritas mencakup: (a)
peningkatan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana, dan kesehatan reproduksi; (b)
percepatan penurunan stunting ; (c) penguatan gerakan masyarkat hidup sehat dan
pengenalian penyakit; (d) peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, dan (e)
peningkatan efektifitas pengawasan obat dan makanan (Gambar 1.7.).
Selain peraturan dan kebijakan di atas, pemerintah pusat juga telah menyusun
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting. Periode 2018-2024 (Stranas
Stunting). Tujuan umum Stranas Stunting adalah mempercepat pencegahan stunting
dalam kerangka kebijakan dan institusi yang ada. Tujuan tersebut akan dicapai melalui
lima tujuan khusus sebagai berikut:
a. Memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat
di semua tingkatan;
b. Meningkatkan kesadaran publik dan perubahan perilaku masyarakat untuk
mencegah stunting;
c. Memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan
kegiatan pusat, daerah, dan desa;
d. Meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan
pangan; dan
e. Meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan
pemberian layanan yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan percepatan
pembelajaran.

Intervensi penurunan stunting terintegrasi dilaksanakan melalui 8 (delapan) aksi,


yaitu:
1. Analisis Situasi Program Penurunan Stunting
2. Penyusunan Rencana Kegiatan
3. Rembuk Stunting
4. Peraturan Bupati/Walikota tentang Peran Desa
5. Pembinaan Kader Pembangunan Manusia
6. Sistem Manajemen Data Stunting
7. Pengukuran dan Publikasi Data Stunting
8. Reviu Kinerja Tahunan
Pelaksanaan 8 (delapan) Aksi Integrasi harus disesuaikan dengan jadwal reguler
perencanaan dan penganggaran di masing-masing daerah. Hal tersebut dilaksanakan
untuk memastikan intevensi penurunan stunting dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Aksi integrasi adalah instrumen dalam bentuk kegiatan yang digunakan untuk
meningkatkan pelaksanaan integrasi intervensi gizi dalam pencegahan dan penurunan
stunting. Pelaksanaan intervensi gizi penurunan stunting terintegrasi membutuhkan
perubahan pendekatan pelaksanaan program dan perilaku lintas sektor agar program
dan kegiatan intervensi gizi dapat digunakan oleh keluarga sasaran sasaran rumah
tangga 1.000 HPK.
Strategi Nasional menggunakan pendekatan Lima Pilar Pencegahan Stunting,
yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan komunikasi
perubahan perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat,
daerah, dan desa; 4) Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi,
menetapkan Kementerian/Lembaga penanggung jawab upaya percepatan pencegahan
stunting, menetapkan wilayah prioritas dan strategi percepatan pencegahan stunting,
dan menyiapkan strategi kampanye nasional stunting.

1.2 Dasar Hukum


Landasan hukum terkait dengan intervensi penurunan stunting terintegrasi
adalah:
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
4. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi,
5. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019,
6. Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2018,
7. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan
dan Gizi,
8. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2018 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2019,
9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat,
10. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana
Aksi Pangan dan Gizi yang menetapkan RAN-PG, Pedoman Penyusunan RAD-
PG, dan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi RAN/RAD-PG,
11. Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor 11 Tahun
2014 tentang Tim Teknis Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, dan
12. Surat Keputusan Deputi bidang Sumber Daya Manusia Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 37/D.1/06/2014 tentang Kelompok Kerja Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.

Anda mungkin juga menyukai