Makalah Cirebon Studies 9 Fix

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SISTEM KESENIAN CIREBON


(Tari Topeng, Sintren, Brai, Ronggeng Bugis)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Cirebon Studies

KHOIRUN NUHA
2281131005
A21

https://youtu.be/hXzKHjHllBw?si=VhXzcwOSWbLer1NC

Dosen Pengampu:
Hero Prayogo, M.Pd

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SIBER SYEKH NURJATI CIREBON (UINSSC)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PJJ ENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2023

i
ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Letak geografis Cirebon yang berada di persimpangan jalan dari berbagai jurusan,
menyebabkan kebudayaan di Kota Pesisir ini terkesan tindih-menindih. Budaya Cirebon
yang kabarnya merupakan budaya serapan Jawa (KerajaanMataram) dan Sunda (Kerajaan
Sunda Kalapa) itu menempati posisi unik. Dua budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di
Cirebon. Budaya serapan itu pun makin lengkap bersintesa dengan spiritualitas Islam.
Inilah keberbagaian budaya Cirebon. Dan keberbagaian tadi mengisi ruang kesenian lokal.
Kesenian bagi masyarakat Cirebon menduduki peranan yang penting. Persepsi
tentang kesenian dibangun dari sistem pengetahuan bahwa kesenian itu tidak hanya
sebagai tontonan akan tetapi juga tuntunan, jadi kesenian itu tontontan-tuntunan.
Tontonan dalam konteks ini adalah sesuatu yang layak ditonton, dinikmati karena akan
memberikan kenikmatan, kesenangan dan kepuasan batin. Di samping itu sebuah bentuk
tontonan juga menyimpan tuntunan atau nilai-nilai yang akan menuntun ke arah yang
lebih baik melalui ajaran, wejangan, atau pituduh tentang hal-hal yang baik. Oleh karena
itu makna kesenian bagi masyarakat Cirebon tidaklah cukup hanya berurusan dengan
keindahan yang akan memberikan kenikmatan dan kepuasan batin, akan tetapi juga harus
mengandung nilai-nilai ajaran hidup yang bernilai luhur.
Cirebon memiliki kekayaan seni dan budaya yang memikat, terutama dalam bentuk
kesenian tradisional. Seni tradisional Cirebon seperti Tari Topeng, Sintren, Brai, Ronggeng
Bugis mencerminkan kekayaan kultural yang perlu dipelajari dan dipahami lebih dalam.
Memahami sistem kesenian di Cirebon, dengan fokus pada seni tradisional yang telah
menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat setempat. Tari Topeng, Sintren,
Brai, Ronggeng Bugis merupakan bentuk seni yang tidak hanya mengandung nilai estetika
tinggi, tetapi juga mencerminkan sejarah, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang
diwariskan dari generasi ke generasi.

3
PEMBAHASAN

A. Tari Topeng

Sejarah dan Perkembangan Tari Topeng Cirebon

Tari Topeng Cirebon berasal dari kata “tup” atau tutup. Kemudian kata ini
ditambah suku kata “eng” sehingga menjadi tupeng, yang kemudian berubah menjadi
“topeng”. Menurut Prof. Vreede yang ditulis oleh Gaos Harja Somantri bahwa topeng
berasal dari kata ping, peng, dan pung yang artinya melekat pada sesuatu dan ditekan
rapat, asal yang sama juga dapat ditemukan dalam kata tepung, taping, damping. Kata
lain arti topeng adalah kedok yang artinya dikenakan akan lengket dan yang
memakainya menjadi pangling. (Somantri, 1978/1979:
Dalam Babad Cirebon Carang Satus yang ditulis oleh Elang Yusuf Dendrabrata
disebutkan bahwa pertama kali topeng Cirebon diciptakan dalam rangka penyebaran
agama Islam (Kartika, 1999: 12). Ketika itu di Krawang ada seorang yang memiliki
kesaktian karena mempunyai pusaka Curug Sewu, orang tersebut bernama Pangeran
Welang. Dengan kesaktiannya, ia ingin mengalahkan Sunan Gunung Jati dan Pangeran
Cakrabuana di Keraton Cirebon. Sunan Gunung Jati menanggapi ancaman Pangeran
Welang tidak dengan peperangan, melainkan dengan diplomasi kesenian. Ia
membentuk kelompok kesenian dengan melakukan pertunjukan keliling dari satu
daerah ke daerah lainnya. Di dalam kelompok kesenian tersebut Sunan Gunung Jati
menampilkan sang primadona Nyi Mas Gandasari, yang berperan sebagai penari
dengan wajah menggunakan kedok (tutup muka). Pangeran Welang terpikat oleh
kecantikan Nyi Mas Gandasari, ia pun meminangnya untuk dijadikan istri. Nyi Mas
Gandasari menerima lamaran tersebut dengan syarat dilamar dengan pusaka Curug
Sewu. Pangeran Welang menerima tawaran Nyi Mas Gandasari sambil menyerahkan
pusaka Curug Sewu. Dengan diserahkan pusaka Curug Sewu tersebut kesaktian
Pangeran Welang pun hilang, ia menyerah kepada Sunan Gunung Jati dan masuk
Islam.

4
Sunan Gunung Jati yang telah berhasil mengislamkan Pangeran Welang melalui
pagelaran Tari Topeng tersebut, Tari Topeng kemudian menjadi jenis kesenian yang
disukai masyarakat dan menjadi pementasan hiburan di Cirebon.

B. S i n t r e n

Sejarah dan perkembangan Sintren

Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua suku kata
“sie” dan “tren”. Sie dalam Bahasa Jawa berarti ia atau dia dan tren berarti tri atau
panggilan dari kata putri. sehingga Sintren adalah si putri yang menjadi pemeran
utama dalam kesenian tradisional Sintren.
Selain pengertian diatas, Ada tiga pendapat mengenai asal usul nama sintren.
Pertama, kata sintren berasal dari bahasa Belanda yaitu sinyo trenen, sinyo berarti
muda sedangkan trenen adalah berlatih. Jadi, sintren adalah kesenian tempat
pemuda berlatih (Galba (peny.), 2004: 106; Kasim, 2013: 225).
Kedua, sintren berasal dari kata sinatrian. Kata sinatrian atau sinatria atau ksatria
ini merupakan representasi dari seluruh unsur dalam pertunjukan ini mulai dari tari,
busana, tembang, hingga makna yang terkandung di dalam pertunjukan ini.
Maknanya pada saat itu adalah sikap seorang ksatria dalam menghadapi musuh-
musuhnya (Kasim, 2013: 225).
Ketiga, kata sintren dari bunyinya berhubungan dengan kata tranta, yang
kemungkinan besar dari kata stuti tantra yang artinya nyanyian tantra. Tantra ini
sering dipraktikkan dalam agama Hindu maupun Budha. Dalam ritual ini tujuan
dasarnya sama seperti sintren yaitu penyatuan antara manusia dan energi dewa
yang dipujanya. Penyatuan itu terjadi pada saat trance atau di bawah alam sadar
(Kasim, 2013: 223).
Ada dua versi munculnya seni pertunjukan tari sintren menurut tradisi lisan
masyarakat.
Pertama, sintren dilatarbelakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu atau

5
Bahurekso dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram.
Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan perintah Sultan Agung dan
berangkat ke Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita. Saat berpisah dengan
Rantamsari, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak lama
kemudian dikabarkan bahwa Bahurekso gugur dalam penyerangan tersebut, sehingga
Rantamsari sangat sedih. Rasa cinta Rantamsari yang begitu besar dan tulus pada
Bahurekso, membuat Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso.
Rantamsari melakukan perjalanan menelusuri wilayah Pantai Utara sebagai seorang
penari sintren dengan nama Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian
Bahurekso akhirnya Rantamsari dapat bertemu Bahurekso yang sebenarnya masih
hidup. Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang
gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram. Setelah bertemu dengan
Rantamsari, Bahurekso pergi ke Pekalongan dengan maksud melanjutkan
pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia
lain waktu. Sejak itu Rantamsari dapat hidup bersama dengan Bahurekso hingga akhin
masyarakat yang kedua adalah kisah cinta antara Sulasih dan Raden Sarandon seorang
putra Bupati di Mataram yang bernama Joko Bahu. Hubungan percintaan mereka
tidak direstui oleh Joko Bahu, sementara ibunya memerintahkan untuk bertapa dan
diberikan selembar kain atau sapu tangan. Sapu tangan tersebut nantinya bisa
digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya
selesai. Sulasih sendiri diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih
desa. Sulasih dan Raden Sulandono akhirnya dapat bertemu ketika upacara bersih
desa bertepatan dengan bulan purnama. Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan,
sedangkan Raden Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi sembunyi
dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian
dimasuki kekuatan roh Rantamsari sehingga mengalami trance atau tidak sadarkan
diri. Saat itu juga Raden Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga
Sulasih pingsan. Saat Sulasih mengalami trance inilah ia disebut sintren, sedangkan
saat Raden Sulandono melempar sapu tangannya disebut balangan. Dengan ilmu yang

6
dimiliki Raden Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya
dapat mewujudkan cita-citanya untuk Bersatu.
Berbeda dengan dua versi tersebut, ada suatu cerita logis yang dikemukakan oleh
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Cirebon, Dr. H. Wahyo,
M. Pd., menceritakan asal mula lahinya sintren merupakan kebiasaan masyarakat
nelayan untuk menghilangkan kebosanan sembari menunggu kedatangan ayah
mereka dari melaut. Namun, siapa yang menciptakan dan kapan pertama kali
diciptakan tidaklah diketahui secara pasti. Pertunjukkan ini kemudian berkembang di
tempattempat lainnya yang memiliki kesamaan ekologi, yaitu masyarakat pesisir
pantai utara. Untuk menjadi seorang sintren,persyaratan yang utama adalah penari
diharuskan masih gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam
keadaan suci dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan
sebelum menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal
ini dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan
berpuasa otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan menjaga
tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak menyulitkan bagi
roh atau dewa yang akan masuk ke dalam tubuhnya. Ada beberapa istilah dalam
kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu tahapan menjadikan sintren
yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon penari sintren bersama dengan
4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari ( Jawa: Widodari patang
puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam
keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Dalam paripurna,
pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap. Tahap pertama, pawang
memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap
kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren diikat
dengan tali yang dililitakan ke seluruh tubuh. Tahap kedua, calon penari sintren
dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan
perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah
berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali. Tahap
ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan
bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap

7
menari. Selain menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang
berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung,
pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti. Istilah yang kedua adalah balangan
(Jawa: mbalang). Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari
arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari sintren. Setiap penari
terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu Pawang dengan
menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan
kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar
roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi.
Kemudian, penonton yang melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari
dengan sintren. Kemudian yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah
penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk
meminta tanda terima.

C. B r a i

Sejarah dan perkembangan Kesenian Brai

Berdasarkan sejarah, kesenian Brai menurut Wahidin diperkirakan muncul


sekitar abad ke-14 Masehi. Bentuknya berupa nyanyian yang dibawakan sekelompok
masyarakat dan dinyanyikan secara berbarengan, kemudian kesenian ini digunakan
sebagai media penyebaran agama Islam.4 Oleh karena itu, syair lagu yang
dinyanyikan dalam kesenian Brai berisikan puji-pujian dan ajakan mendekatkan diri
kepada Allah SWT.

Brai dalam beberapa sumber berasal dari kata birahi atau baroya yang
memiliki makna kasmaran sebagai sebuah ungkapan gairah kecintaan kepada Allah
SWT yang dijembatani dengan alat musik dan syair-syair. Dua unsur tersebut
dibawakan dengan penuh penghayatan sehingga mencapai puncak kenikmatan.
kondisi ini dalam ajaran mahabbah yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta
bisa dicapai melalui beberapa tahapan tegantung kepada kemampuan manusia
untuk membuka hijab antara dirinya dengan Yang Maha Kuasa.

8
Seseorang yang mencapai maqam ini akan lupa kepada segalanya. Saking tenggelam
dalam ‘mabuk’ kenikmatan. Dengan kata lain Seni Brai menjadi media seni
sekumpulan orang-orang yang birahi maring Pangeran atau cinta kepada Allah.
Dengan pertunjukannya, Brai berusaha mengajak penontonnya untuk merasakan hal
yang sama, mencintai Allah SWT. Konsep Brai memiliki kesamaan dengan Tarian
Sema dari wilayah Anatolia, Turki. Tarian yang muncul abad 13 masehi ini diciptakan
oleh Maulana Jalaluddin Rumi yang merefleksikan ajaran sufistik.

Adapun versi lainnya menyebutkan bahwa Brai diambil dari nama Nyi Mas Ratu Brai,
yaitu tokoh wanita yang mempelopori seni Brai. Nyimas Ratu Brai sangat senang
memainkan seni ini, bahkan diceritakan pernah dimainkan bersama Syekh Idhofi dan
juga Syekh Datuk Kahfi di puncak Gunung Jati.
Nyimas Ratu Brai juga yang mempelopori dan menyebarkan kesenian ini ke
berbagai pelosok desa di Cirebon. Anggapan tersebut tumbuh dalam pandangan
komunitas seni Brai Cirebon, terutama dari Desa Bayalangu, Kec. Gegesik Cirebon.
Selain Nyi Mas Ratu Brai, tokoh lainnya yang berjasa mengembangkan kesenian ini
adalah Syarif Abdul Rahman dari baghdad, seorang sufi yang nyeleneh di negerinya.
Seni Brai dimulai dengan melantunkan puji-pujian berisi salam, basmallah,
istighfar,wasilah, kalimat tayyibah dan shalawat nabi, yang dipimpin oleh seorang
imam. Kemudian dlanjutkan dengan beberapa lagu-lagu religi, diantaranya : Witing
Suci, Awal Lahir Kang Kadulu, Awal Butin Tiningalan, Seyogyane Wong Sadaras,

Wahdatul Sifating Ngelmu, Alam Insan, Den Emut Pitutur Ingsun dan Padang Wulan.

Setelah lagu pembuka tersebut dilanjutkan dengan babak rakaat pertama yang
berisi lagu Dzikir Agung, Sanggem Agung, Dzikir Sewu dan Rumasa. Rakaat Kedua berisi
lagu : Sekar Makam, Kelayon, Pare Anom dan Subek. Rakaat ketiga terdiri dari lagu
Lung Gadung dan Pengalasan.
Waditra Brai terdiri dari dua buah terbang dan sebuah gendang model Cirebonan.
Jumlah personilnya sekitar 25 orang terdiri dari lelaki dan wanita. Seragam pria
memakai Iket, baju kampret, kain sarung dan celana sontog.

9
Sedangkan busana wanita terdiri dari Sanggul Kiyomham/Bokor Cina Toh
dengan hiasan bunga melati, baju kurung, selendang, kestagen/bengkung dan kain
batik. Saat ini kesenian Brai hanya terdapat di desa Bayalangu (Kec Gegesik), Desa
Wangunarja (Kec.Klangenan) dan Desa Bakung Lor (Kec. Bakung Lor).
Lirik dari puji-pujian dan ajakan mendekatkan diri kepada Allah SWT
merupakan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf. Lantunan lagu dalam kesenian tersebut
bernuansa Islami dengan menggunakan bahasa Cirebon dan bahasa Arab. Syair dalam
Brai diiringi rebana, ketipung, atau kendang. Kesenian Brai biasanya dilakukan pada
saat terang bulan purnama dan dipertunjukkan di halaman atau pelataran rumah.
Kemudian ada iringin tarian yang seirama dengan musik dan syair, hal ini menjadikan
kesenian Brai menjadi khas dan unik.
Kesenian Brai awalnya ditampilkan di Keraton, namun seiring berjalannya
waktu kini bisa dinikmati siapa saja. Memasuki abad ke-19 kesenian tersebut telah
banyak dimainkan di pesantrenpesantren di Cirebon sebagai seni hiburan oleh para
santri sehingga kesenian tersebut menyebar ke desa-desa di Cirebon. Pada
perkembangan selanjutnya, Seni Brai sering dimainkan oleh warga pada acaraacara
keagamaan maupun syukuran, contohnya pada tanggal belasan sampai dua puluhan
bulan Muharam, malam Lailatul Qadar, Maulid Nabi, kelahiran bayi, selamatan rumah,
dan selamatan di makam. Dengan demikian, kesenian Brai tidak biasa dan memang
bukan dimaksudkan sebagai seni hiburan dalam panggung untuk ditonton oleh banyak
orang.
Namun dengan mulai munculnya beberapa grup Brai yang sering mengadakan
pertunjukan yang tujuannya agar kesenian ini tetap lestari dan tidak punah seiring
berkembangnya zaman, grup Brai di Cirebon mulai menampilkan kesenian itu pada
acara yang ramai pengunjungnya, seperti dalam acara pembukaan Musabaqah
Tilawatil

Alquran (MTQ).

D. Ronggeng Bugis

Sejarah dan perkembangan Ronggeng Bugis

10
Lahirnya Ronggéng Bugis, menurut penuturan narasumber dari kalangan Keraton
Kasepuhan ada keterkaitan dengan sejarah awal berdirinya kerajaan Islam di Cirebon,
pada tahun 1482 Masehi. Sunan Gunung Jati menyatakan kemerdekaan kerajaan Cirebon
dan lepas dari kekuasaan Maharaja Pakuan Padjadjaran. Pada saat itulah Cirebon
mempunyai pasukan Telik Sandi yang diberi nama prajurit Sandi Yuda. Tugasnya
melakukan kegiatan spionase di wilayah Padjadjaran untuk mengetahui reaksi dari
pernyataan kedaulatan penuh kerajaan Cirebon. Pasukan telik sandi ini adalah pasukan
yang anggotanya terdiri atas orangorang yang berani, bermental kuat, cerdas, serta
pandai menyamar. Menurut sumber tradisi lisan, dalam perjalanan waktu yang panjang
kerajaan Cirebon dibantu oleh prajurit prajurit Bugis, baik di zaman Galuh, masa Portugis,
maupun masa kolonial.
Kata ronggéng dalam kesenian ronggéng bugis, adalah penari pria yang berbusana
wanita, sedangkan pengertian kata bugis adalah salah satu suku/ras bangsa di wilayah
Indonesia, yang mendiami pulau Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Kekecualian tersebut
dapat dipahami, karena ronggéng yang dimaksud berbusana wanita tiada lain adalah
wadam atau banci.
Kata Bugis juga berarti nama makanan tradisional Jawa Barat, berwarna hijau, yang
terbuat dari ketan dan entén (kelapa parut yang diberi gula jawa) berbentuk seperti
nagasari/pipis. Makanan itu serupa koci, sehingga disebut juga bugis koci. Makanan ini
merupakan kuliner khas Cirebon yang menyertai upacara upacara adat atau kenduri.
Namun beberapa penelitian meragukan fakta bahwa ronggeng bugis benar-benar
terdiri dari orang bugis (prajurit bugis, pedagang bugis, atau orang bugis yang belajar
agama islam di Cirebon) dengan alasan bahwa tidak ada data atau dokumen yang
mendukung melainkan hanya berupa oral history.
Sumber-sumber Bugis seperti Lontara juga tidak ada memberitakan hal itu. Hal ini
terjadi karena di tanah Bugis, ketika Kerajaan Cirebon terbentuk, masih menganut
kepercayaan animisme. Pengaruh Islam baru terjadi ± 200 tahun kemudian di Sulawesi
bagian Selatan, ketika kerajaan Makassar dan kerajaan-kerajaan Bugis menerima Islam
pada awal abad XVII.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa tidak ditemukan fakta bahwa orang
Bugis dalam bentuk pasukan Bugis membantu Cirebon ketika awal pembentukan kerajaan

11
ini pada tahun 1482. Informasi yang ada masih bersifat oral history. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa ada beberapa orang Bugis yang membantu Sunan Gunung Djati
dimana mereka menetap di Cirebon masa itu. Jika pernyataan ini yang digunakan, maka
kalimat “pasukan Bugis” tidak dapat digunakan tetapi diganti dengan “pasukan Kerajaan
Cirebon yang terdiri dari orang-orang Bugis”.
Dari studi literatur juga tidak ditemukan adanya kerja sama antara Kerajaan kerajaan
Bugis dengan Kerajaan Cirebon dalam hal bantuan pasukan.

Pasukan Bugis terbentuk pada tahun 1663 dibawah pimpinan Aru Palakka, sehingga
terdapat jarak lebih dari 200 tahun antara pembentukan Kerajaan Cirebon dengan
“bantuan” pasukan Bugis.
Bantuan pasukan Bugis bagi Cirebon (sebenarnya untuk Kerajaan Mataram) terjadi
dimasa pemberontakan Trunojoyo (1674-1680). Bantuan ini di kerahkan oleh VOC karena
salah satu pasukan Trunojoyo dipimpin oleh seorang pemuka Kerajaan Makassar yaitu
Karaeng Galesong.
Dalam perkembangannya, Tari Ronggeng Bugis sebagai pasukan telik sandi pernah
digunakan untuk memata-matai aktivitas DI/TII. Tari ini kemudian mengalami masa
kevakuman hingga tahun 1990. Tahun 1990 Ronggeng Bugis kembali diperkenalkan
kepada masyarakat Cirebon tetapi bukan lagi sebagai pasukan telik sandi melainkan
bantuan sebagai salah satu jenis kesenian pertunjukan. Tari ini kemudian mengalami
perkembangan berarti karena telah terlibat aktif dalam pergelaran ketika Festival Keraton
Nusantara I tahun 1994 dan FKN berikutnya dan ditampilkan dalam kegiatan duta-duta
budaya. Kini tari Ronggeng Bugis dapat ditemui di sanggar-sanggar tari yang ada di
Cirebon.
Terlepas dari kekaburan fakta dan sejarahnya, ronggeng bugis pada akhirnya, kesenian
ini menjadi produk budaya untuk kepentingan berbagai peristiwa budaya pada
masyarakat Cirebon yang dipentaskan dalam bentuk helaran maupun pertunjukan di atas
panggung yang berperan sebagai tontonan yang menghibur bagi penontonnya
Pementasan Ronggeng Bugis diiringi oleh gamelan/waditra yang terdiri atas :
kelenang, gong kecil, kendang kecil, kecrek, dan saron.

Para penari semuanya laki-laki yang menggunakan kebaya berwarna menyolok dan
terang. Sanggul kecil ditempelkan di belakang kepala pada posisi miring. Make up

12
menyolok dan gambar bibir yang miring sehingga perpaduan seluruh hiasan yang
digunakan memunculkan kesan lucu yang mengundang tawa. Tata rias dan pakaian yang
digunakan tidak selamanya baku. Semua dapat berubah-ubah sesuai dengan bayangan
kesan yang akan mengundang gelak tawa penonton.
Jumlah penari pada satu pementasan tidak ditentukan secara khusus. Rata-rata
berjumlah antara empat sampai dengan sembilan orang. Jumlah penari akan disesuaikan
dengan luas arena pertunjukkan. Tarian tersebut rata-rata memerlukan arena cukup luas
karena dilakukan dengan gerakan lincah; penuh gerakan atraktif; dan dilakukan oleh
beberapa penari.
Atraksi tari dimulai dengan munculnya seorang penari yang memperagakan gerakan
lucu. Gerakan tarian yang dibawakan beritmik pelan dan gemulai. Setelah itu, muncul
enam penari lain beriringan melakukan gerakan tari yang sama, berlenggang-lenggok
dengan berbagai gerakan. Gerakan selanjutnya adalah gerakan yang mengandung cerita
lucu. Berbagai gerakan lucu tersebut berlangsung antara sepuluh hingga lima belas
menit.
Kelucuan tidak terbatas pada gerakan, juga memanfaatkan hiasan yang dikenakan.
Misalnya sanggul salah seorang penari copot, lalu sanggul tersebut dilemparkan ke arah
pemain gamelan, dan lain sebagainya.
Jalannya pertunjukan, apabila dilakukan pada panggung pertunjukan diawali dengan
tetalu kurang lebih selama 5 menit. Penari keluar pada penampilan pertama gerak tarinya
masih lembut. Pada penampilan berikutnya gerak tarinya lincah dan dinamis, semua
anggota tubuh termasuk mata, mulut dan rambut digerakkan dengan lucu dan di dominasi
oleh gerak mengintai dan mengawasi. Apabila telah dianggap cukup waktunya, maka
pertunjukan diakhiri dengan gerak tari berjalan. Penari Telik Sandi biasa ditarikan oleh
minimum 4 orang bahkan bisa sampai belasan orang. Namun setiap individu penari bisa
melakukan improvisasi gerak sesuai dengan gaya masing-masing.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tari topeng, sintren, brai, dan ronggeng bugis dapat bervariasi tergantung pada
konteks dan sudut pandang yang diambil. Namun, secara umum, tarian-tarian tersebut
mencerminkan kekayaan budaya indonesia, menampilkan warisan tradisional yang kaya
dengan nilai-nilai sejarah, seni, dan identitas lokal. Berikut adalah beberapa potensi
kesimpulan yang dapat diambil:

1. keanekaragaman budaya: tari topeng, sintren, brai, dan ronggeng bugis adalah contoh
nyata dari keanekaragaman budaya indonesia. Setiap tarian mencerminkan kekayaan
warisan lokal dan tradisi masyarakat tempat tarian itu berasal.

2. ekspresi seni tradisional: tarian-tarian ini merupakan bentuk ekspresi seni tradisional
yang telah bertahan selama berabad-abad. Mereka tidak hanya mencerminkan keindahan
gerakan dan kostum, tetapi juga menyampaikan cerita dan makna-makna mendalam yang
melekat pada budaya setempat.

3. pentingnya warisan budaya: tari topeng, sintren, brai, dan ronggeng bugis adalah
bagian integral dari warisan budaya indonesia. Memahami dan mempertahankan tarian-

14
tarian ini adalah cara untuk menjaga dan menghormati akar budaya yang kaya dan
beragam.

4. pentingnya pendidikan seni: melalui pertunjukan dan pengajaran tarian tradisional ini,
generasi muda dapat belajar tentang sejarah, nilai-nilai, dan keterampilan seni yang telah
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pendidikan seni menjadi kunci untuk memastikan
kelangsungan dan apresiasi terhadap budaya tradisional.

5. daya tarik pariwisata: tari topeng, sintren, brai, dan ronggeng bugis memiliki potensi
besar sebagai daya tarik pariwisata. Pertunjukan-pertunjukan ini dapat menarik
wisatawan dari dalam dan luar negeri, memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi
lokal sambil mempromosikan kekayaan budaya indonesia.

REFERENSI

1. Https://Www.Google.Com/Search?Q=Sejarah+Tari+Topeng&Oq=Sejarah+Tari+Tope
ng&Gs_Lcrp=Egzjahjvbwuqbwgaeaaygaqybwgaeaaygaqybwgbeaaygaqybwgceaayga
qybwgdeaaygaqybwgeeaaygaqybwgfeaaygaqybwggeaaygaqybggheeuypnibctewmzg
4 ajbqn6gcalacaa&Sourceid=Chrome&Ie=Utf-8
2. Https://Www.Google.Com/Search?Q=Sejarah+Sintren&Sca_Esv=585181514&Sxsrf
=Am9hkkkwtrb9cfy-
Bcsjnbz4soi8fhoxhq%3a1700886603861&Ei=S3hhzfganiec4Epi8ey4am&Ved=0ahuke
wix0s2uqn6caxuhwtgghysjbjwq4dudcba&Uact=5&Oq=Sej
arah+Sintren&Gs_Lp=Egxnd3mtd2l6lxnlcnaid3nlamfyywggu0lovfjftjifeaaygaqybraa
giaemguqabiabdifeaaygaqybhaagbyyhjigeaayfhgemgyqabgwgb4ycbaagbyyhhgpsntq
a vdvbvjf3gfwangbkaeamagwbkablxuqaqowlje0ljmuns0xuaedyaea-
Aebwgikeaayrxjwbbiwa8icdraagiaegiofgladgepcagoqabiabbikbrhdwgikecmygaqyigu
yj8iccbaagiaegledwgioeaaygaqyiguysqmygwhiawqyacbbiaybkayk&Sclient=GwsWiz-
Serp

3. Https://Www.Google.Com/Search?Q=Sejarah+Brai&Sca_Esv=585181514&Sxsrf=A
m9hkkmtula6a5vmqlp-Dq-

15
Dp65xalalcg%3a1700886694887&Ei=Pnhhzcdanyaxg8up5tmmqag&Ved=0ahukewja
xyhaqn6caxwgy6acheysa4uq4dudcba&Uact=5&Oq=Sejarah+Brai&Gs_Lp=Egxnd3
mtd2l6lxnlcnaidhnlamfyywggynjhatifeaaygaqybraagiaemguqabiabdifeaaygaqybhaag
b
yyhjigeaayfhgemgyqabgwgb4ybhaagbyyhjigeaayfhgemgyqabgwgb5iryxq7any9ivwan
gbkaeamahzaaab0a-
Qaqywljexljg4aqpiaqd4aqhcagoqabhhgnyegladwgikecmygaqyiguyj8icchaagiaegiofge
pcaggqabiabbixa8icdhaagiaegiofgledgimbwgileaaygaqysqmygwhiawqyacbbiaybkayi

&Sclient=Gws-Wiz-Serp

4. Https://Kebudayaan.Kemdikbud.Go.Id/Bpnbjabar/Ronggeng-
Bugis/#:~:Text=Ronggeng%20bugis%20adalah%20ronggeng%20yang,Dari%20keku
asaan%20maharaja%20pakuan%20pajajaran.

16

Anda mungkin juga menyukai