Hukum Keluarga & Harta Perkawinan
Hukum Keluarga & Harta Perkawinan
Hukum Keluarga & Harta Perkawinan
OLEH :
NIM 2382411043
Kelas :B
No WA 082146273264
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
1. Sebutkan secara sederhana (singkat dan jelas) yang dimaksud “hukum keluarga” dan
“hukum harta perkawinan”
2. Salah satu hal yang perlu diketahui dan dimengerti agar lebih mudah memahami
hukum keluarga dan harta perkawinan adalah sistem kekeluargaan/sistem kekerabatan.
Apa yang dimaksud: (a) sistem kekeluargaan; (b) sebutkan beberapa sistem
kekeluargaan yang umum dikenal; dan (c) jelaskan masing-masing sistem kekeluargaan
yang dimaksud.
a. Sistem kekeluargaan adalah sistem keturunan yang dianut oleh suku bangsa
tertentu berdasarkan oleh garis keturunan ayah, ibu atau keduanya.
b. Hukum adat Bali yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan ke purusa orang-orang
yang dapat di perhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan. Garis
pokok pengganti adalah para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan sepanjang
tidak terputus ahaknya sebagai ahli waris. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam
1
Yasir, M., Hasni. (2021). “Prinsip Hukum Islam Dalam Prinsip Hukum Keluarga”. Jurnal Of Islamic Law,
3(2), hlm. 3.
2
Djuniarti, E. (2017). “Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan
Kuh Perdata”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(4), hlm. 446.
garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke
bawah, yaitu anak kandung laki-laki ataupun anak perempuan yang ditingkat kan
statusnya sebagai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana
peperasan). Sistem kekeluargaan ada 3 yaitu3 :
1. Sistem kekeluargaan Patrilineal
2. Sistem kekeluargaan Matrilineal
3. Sistem Parental
c. Sebagaimana diketahui bahwa hukum adat yang berlaku sekarang di Indonesia, pada
umumnya lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat privat utamanya dalam
pengaturan hukum keluarga. Sistem kekeluargaan yang dikenal pada hukum adat ada 3
yaitu :
1. Sistem kekeluargaan Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang dirunut dari garis
laki-laki, dimana keturunan dari hasil perkawinan tersebut adalah mengikuti garis
bapak yang bila dilacak ke atas akan sampai kepada satu leluhur yang sama. Sistem
ini dikenal dalam masyarakat Batak, Minahasa, Bali, dan sebagainya.
2. Sistem kekeluargaan Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang dirunut dari garis
perempuan. Dalam sistem ini, anak adalah merupakan keturunan ibunya
sebagaimana yang dikenal pada masyarakat Minangkabau.
3. Sistem Parental, yaitu sistem kekeluargaan yang mendudukan keluarga ibu dan
bapak adalah sama. Jadi anak yang lahir dalam perkawinan masyarakat bilateral ini
adalah merupakan keturunan ibu dan juga bapaknya. Sistem ini dikenal pada
masyarakat Jawa4.
Masyarakat hukum adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal
sehingga anak yang lahir dari suatu perkawinan adalah mengikuti keluarga
bapaknya. Sistem kekeluargaan kekeluargaan patrilineal di Bali, sangat
berpengaruh pada bentuk perkawinannya, yakni bentuk perkawinan jujur. Dalam
perkawinan yang dilakukan maka pihak laki-laki akan menyerahkan pemberian
kepada keluarga perempuan5.
3
Wayan P. Windia, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Penerbit:Lembaga Dokumentasi
Dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 78.
4
Reynaldi, W, I. (2023). “Keabsahan Perkawinan Poligami Yang Izinnya Ditetapkan Pengadilan Setelah
Perkawinan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Amlapura Nomor.77/Pdt.P/2022/Pn.Amp.)”. Jurnal Kerta
Dyatmika, 21(2). hlm. 87.
5
Ibid
3. Mengapa seorang notaris penting memahami sistem kekeluargaan?
Seorang notaris harus memahami sistem kekeluargaan untuk nantinya membagi harta
berupa warisan. Pembagian waris dengan menggunakan akta notaris adalah sebagai
suatu alternatif cara pembagian warisan selain menggunakan institusi pengadilan yang
biasa dipergunakan oleh masyarakat Indonesia di dalam pembagian warisan. Peran
notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan
hukum bagi masyarakat, karena notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna dipengadilan. Alat bukti
sempurna memiliki tiga kekuatan pembuktian yaitu 6:
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijsracht);
2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijsracht);
3. Kekuatan pembuktian material (meteriele bewijsrach).
Salah satu kewenangan Notaris yang berhubungan dengan suatu perjanjian adalah
kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berhubungan dengan pewarisan Hukum
Waris dalam Hukum Adat selalu dimaknai dengan serangkaian peraturan yang
mengatur proses peralihan harta peninggalan atau harta warisan dari satu generasi ke
generasi lain, baik mengenai benda berwujud maupun tidak berwujud yang untuk
eksistensi Hukum Kewarisan Adat.
Masyarakat menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda
antara satu suku dan suku lainnya yang menimbulkan kekerabatan dengan sistem
Keterangan Hak Waris dimana di Indonesia, surat tersebut dibuat oleh seorang
keterangan bagi masyarakat untuk dapat mengetahui dengan tepat dan pasti, pihak-pihak
mana saja yang berhak atas harta peninggalan seorang pewaris. Maka, penting bagi
sistem
6
Fadilah, M, 2021, “Peran Notaris Dalam Pembagian Warisan Berdasarkan KUH Perdata”. (skripsi)
Program Studi Sarjana (S1) Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
kekeluargaan yang ada dalam Hukum Adat di Indonesia agar notaris dapat memberikan
4. Ada beberapa istilah yang dikenal dalam hukum adat Bali untuk menyebut
perkawinan, perceraian, dan harta perkawinan. Sebutkan istilah-istilah yang dimaksud.
a. Perkawinan
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut perkawinan. Ada yang
menggunakan istilah "nikah" atau "pernikahan". Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menggunakan istilah
"perkawinan". Umat Hindu di Bali menyebut "kawin" atau "perkawinan" atau nganten
atau ngantenang (mengawinkan). Sebutan lainnya wiwaha (kawin), mawiwaha
(melangsungkan perkawinan), pawiwahan (perkawinan), kerab (kawin) atau makerab
atau makerab kambe (perkawinan), ngambil (kawin) atau pangambilan (perkawinan).
Orang atau keluarga yang sedang melaksanakan upacara perkawinan disebut ngelah gae
nganten, maduwe karya pawiwahan, atau ngamargiang karya pengambilan.
b. Perceraian
Perceraian di Bali dikenal dengan sebutan, nyapihan, palas, palas makurenan, pegat
makurenan, dan ada juga yang menyebutnya belas makurenan. Selain itu, perceraian
dalam Hukum Adat Bali juga disebut dengan palas pada lasia atau perceraian pada lasia
yaitu perceraian dengan tulus ikhlas.
c. Harta Perkawinan
Istilah Harta perkawinan menurut Hukum Adat Bali dapat dikelompokan sebagai
berikut7 :
1. Harta tetamian atau harta pusaka adalah harta yang didapat melalui warisan
dari orang tua dan/atau leluhur.
2. Harta bebaktan atau tetatadan adalah harta bawaan masing-masing suami istri
yang didapat sebelum perkawinan dilangsungkan dari beberapa kemungkinan,
7
Reynaldi, W, I, op.cit, h. 89.
seperti: jiwa dana (pemberian orang tua atau keluarga lainnya), dakin lima
atau sekaya (hasil kerja atau diperoleh atas usaha sendiri).
3. Harta gunakaya atau pagunakaya adalah harta bersama suami istri yang
didapat selama perkawinan dilangsungkan. Istilah lainnya druwe gabro atau
arok sekaya.
peraturan perundang-undangan.
Syarat perkawinan yang wajib dipenuhi unsurnya tertuang pada pasal 6 UU Perkawinan
yang menjelaskan :
“(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.”
“(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.”
8
Faizal L, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan (2019),
https://media.neliti.com/media/publications/58206-ID-akibat-hukum-pencatatan-perkawinan.pdf. Diakses pada
8 Oktober 2023
anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan
yang merupakan pula tujuan dari perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan
pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban dari orang tua.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Unsur ini menunjukkan bahwa Undang-undang Perkawinan memandang
perkawinan berdasarkan atas kerohaniaan. Sebagai Negara yang berdasarkan
Pancasila dimana Sila Pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa maka
perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian sehingga
perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani saja tetapi unsur batin
atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Suatu Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
adalah sah apabila dicatatkan menurut perundang-undangan yang berlaku
menurut hukum dan agama masing masing seseorang. Akan tetapi di dalam
hukum, perkawinan harus sah di mata hukum Negara, jika perkawinan tidak
dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Dan
menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang harta bersama maka
perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak tidak adanya hak harta bersama yang
ada hanya harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing pihak9.
9
Ginting R, Sudantra, K, I. (2014) “Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor
Catatan Sipil Terhadap Harta Bersama”. Jurnal Kertha Semaya, 2(6), hlm. 3.
10
Windia, Wayan P., 2023. Mengenal Hukum Adat Bali. Tabanan: Pustaka Ekspresi. h.178.
pasangan suami istri yang berasal dari keluarga lebih dari satu anak. Dalam arti,
calon suami dan calon istri, masing-masing memiliki saudara laki dan peremuan
lebih dari satu. Anak atau keturunan yang dilahirkan mengikuti garis keturunan
keluarga ayahnya, sebagai pihak yang berstatus kapurusa. Seorang anak
perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, akan berstatus ninggal
kedaton terbatas di rumah orang tuanya. Artinya, yang bersangkutan hanya
mungkin melaksanakan tanggung jawab (swadharma) terbatas, sehingga hak
(swadikara) atas warisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya juga dapat
dinikmati secara terbatas.
b. Perkawinan Nyentana
Perkawinan nyentana dikenal pula dengan nganten nyeburin. Dalam hal ini istri
yang berstatus kapurusa (tetap bertempat tinggal di rumahnya), dan pihak suami
(yang berstatus predana), meninggalkan rumah dan keluarganya, serta masuk
menjadi anggota keluarga istrinya. Anak yang dilahirkan mengikuti garis
keturunan ibunya (yang berstatus purusa). Wajib meneruskan penauran tri rna
untuk ibu dan leluhur ibunya, melanjutkan swadharma parhyangasn,
pawongan dan palemahan terhadap desa pakraman ibunya, serta mendapatkan
hak (swadikara) juga dari keluarga ibunya. Bentuk perkawinan nyentana dipilih
oleh calon istri yang lahir sebagai anak tunggal atau memiliki beberapa saudara
tetapi semuanya perempuan. Untuk mengindari kaputungan (karena semuanya
berpeluang nganten ke luar), maka salah seorang di antaranya (biasanya anak
perempuan yang tertua) akan diminta dan ”dikukuhkan” oleh orang tuanya
untuk tetap bertempat tinggal di rumahnya dan berstatus kapurusa, guna
meneruskan penauran tri rna dan melanjutkan swadharma parhayangan,
pawongan dan palemahan terhadap keluarga dan desa pakraman. Anak
perempuan yang berstatus kapurusa ini dikenal dengan sebutan sentana rajeg.
Apabila wanita dengan status sentana rajeg ini melangsungkan perkawinan,
pilihannya sudah pasti bentuk perkawinan nyentana.
c. Perkawinan Pada Gelahang
Secara harfiah pada gelahang berarti “miliki bersama”. Perkawinan pada
gelahang biasanya dipilih oleh calon pasangan suami istri yang tidak mungkin
untuk memilih bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nuentana,
karena masing-masing (pihak pria maupun wanita) berstatus sebagai anak
tunggal, sedangkan masing-masing orang tua dan keluarganya tidak siap mental
untuk putung atau cuput (keluarganya tamat karena tidak memiliki
keturunan). Dalam keadaan seperti ini satu-satunya jalan yaitu memilih
bentuk perkawinan pada gelahang. ternyata alasan persetujuan dan
ketidaksetujuan yang disampaikan, terhubung erat dengan latar belakang
keluarga masing- masing. Dalam artian, pasangan suami istri yang hanya
dikaruniai satu orang anak (satu orang pria atau kebetulan satu orang wanita).
Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan oleh umat Hindu, perkawinan
pada gelahang mengandung arti perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran
agama Hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa dan
juga tidak termasuk perkawinan nyentana, melainkan suami dan istri tetap
berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban
dua kewajiban (swadharma), yaitu meneruskan kewajiban pada keluarga istri
dan juga meneruskan kewajiban pada keluarga suami, sekala maupun niskala,
secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari
kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pasangan calon pengantin
memilih bentuk perkawinan pada gelahang, seperti 11;
1. Tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau perkawinanmnyentana,
karena masing-masing calon pengantin (pria dan wanita) merupakan anak
tunggal/lekad pedidi dalam keluarganya.
2. Masing-masing orang tua calon pengantin pria dan wanita, ngotot tidak mau
berada dalam keadaan putung atau camput atau ceput (tidak memiliki
keturunan).
3. Apabila pasangan suami istri ada dalam keadaan putung atau camput atau ceput,
tidak mungkin bagi yang bersangkutan dapat melaksanakan swadharma
(tanggung jawab) terhadap keluarga dan masyarakat (desa adat). Akibat
selanjutnya, segala swadikara (hak) atas warisan dan warisan yang ditinggalkan
(materi maupun hon mater) akan beralih kepada lingsehan keluarga lainnya
dalam garis kapurusa tertentu, yang melaksanakan swadharma dengan
sebagaimana mestinya.
4. Masing-masing calon pengantin juga ngotot tidak mau putus pacaran atau
perkawinannya dibatalkan karena sadar bahwa hal ini dapat menimbulkan
11
Wayan, P, Windia. (2018). “Pernikahan Pada Gelahang”. Jurnal Bappeda Litbang. 1(3). h.222.
akibat kurang baik terhadap warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan
leluhurnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan pasangan calon pengantin
memilih bentuk perkawinan pada gelahang, seperti.:
1. Tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau perkawinan nyentana,
karena masing-masing calon pengantin (pria dan wanita) merupakan anak
tunggal/lekad pedidi dalam keluarganya.
2. Masing-masing orang tua calon pengantin pria dan wanita, ngotot tidak mau
berada dalam keadaan putung atau camput atau ceput (tidak memiliki
keturunan). Apabila pasangan suami istri ada dalam keadaan putung atau
camput atau ceput, tidak mungkin bagi yang bersangkutan dapat
melaksanakan swadharma (tanggung jawab) terhadap keluarga dan
masyarakat (desa adat). Akibat selanjutnya, segala swadikara (hak) atas
warisan dan warisan yang ditinggalkan (materi maupun non materi) akan
beralih kepada lingsehan keluarga lainnya dalam garis kapurusa tertentu, yang
melaksanakan swadharma dengan sebagaimana mestinya.
4. Masing-masing calon pengantin juga ngotot tidak mau putus pacaran atau
perkawinannya dibatalkan karena sadar bahwa hal ini dapat menimbulkan
akibat kurang baik terhadap warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan
leluhurnya. Adanya keyakinan dikalangan umat Hindu bahwa kalau melahirkan
seorang anak tapa perkawinan yang sah dapat membawa akibat yang kurang
baik yang disebut reged, leteh, cuntaka (aib sekala & niskala).
Selanjutnya, cara melangsungkan perkawinan terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
a. Perkawinan dengan cara ngerorod
perkawinan dengan cara ngrorod (lari bersama) dirasakan sebagai pilihan
terbaik untuk melangsungkan perkawinan. Sampai tahun 1970-an, ngerorod
masih berada di atas perkawinan dengan cara mamadik (meminang).
Perkawinan dengan cara ngrorod menjadi pilihan calon pengantin karena
beberapa alasan, antara lain:
1. Rencana perkawinannya tidak direstui oleh orang tua salah satu pihak
(umumnya orang tua calon pengantin wanita). Ketidaksetujuan biasanya
muncul karena perbedaan status sosial, seperti kemampuan ekonomi, tingkat
pendidikan, dan/ atau perbedaan kawitan (soroh, wangsa, dan ada juga yang
menyebutnya kasta). Dalam hal ini status sosial dan kasta calon pengantin
pria dianggap lebih rendah dari status sosial dan kasta calon pengantin
wanita.
2. Diyakini lebih mencerminkan sikap kesatrya (jantan dan bertanggung jawab)
bagi calon pengantin pria.
3. Ada anggapan perkawinan dengan cara ngrorod lebih praktis, tidak formal
dan bertele-tele, walaupun sebenarnya anggapan ini keliru.
b. Perkawinan dengan cara memadik
Sejalan dengan kemajuan masyarakat dan munculnya semangat saling
menghargai, menyebabkan perkawinan dengan cara ngrorod tidak lagi menjadi
pilihan pertama dan utama dalam perkawinan, melainkan bergeser ke arah
perkawinan dengan cara mapadik (meminang). Padik berarti pinang atau lamar.
Dengan kata lain dapat dikemukakan, perkawinan dengan cara ngrorod,
semakin dirasakan sebagai cara kawin yang kuno, karena tidak sesuai dengan
kemajuan masyarakat dan spirit saling menghargai. Walaupun namanya
ngrorod, tentu tidak dapat dilakukan sesuka hati, melainkan wajib mengikuti
tata krama tau sopan santun mengenai cara melangsungkan perkawinan
ngrorod. Masing-masing cara melangsungkan perkawinan memiliki tata krama
atau sopan santun, baik perkawinan dengan cara memadik maupun perkawinan
dengan cara ngrorod. Baik ngrorod sungguhan maupun pura-pura ngrorod12.
12
Ibid.
“Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.”
Suatu perkawinan dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa faktor, seperti :
1. Apabila dilihat secara hukum nasional, perkawinan dikatakan sah apabila telah
adanya akta perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 3 yang menentukan bahwa :
“Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.”
Karena dilakukannya pelaporan dan pencatatan terhadap suatu peristiwa penting yakni
perkawinan sehingga terciptanya suatu akta perkawinan maka suatu perkawinan dinyatakan
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan dan menjadi bukti administratif telah terjadinya
suatu perkawinan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Bukti
administratif ini pun dimaksud agar negara dapat memberikan perlindungan hukum, dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan, dengan prinsip negara hukum yang
demokeratis. Maka dari itu akta perkawinan menjadi syarat formal untuk legalitas atas suatu
peristiwa dan dapat mengakibatkan konsekuansi yuridis baik dalam hak-hak keperdataan
maupun kewajiban nafkah dan hak waris.
2. Apabila dilihat secara hukum adat, perkawinan dikatakan sah apabila telah
adanya upacara sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan
sekaligus penyucian benih yang terkandung didalam diri kedua mempelai. dengan
melibatkan Tri Upasaksi atau 3 (tiga) kesaksian yaitu:
a. Dewa Saksi (natab banten pawiwahan)
b. Manusa Saksi (disaksikan oleh prajuru adat, dinas, dan ketua warga)
c. Bhuta Saksi (upacara Mabeakala).
Dimana pelaksanaan upacara ini dilakukan di halaman rumah dan dipimpin
oleh pemangku.
Sentana = anak = pelanjut keturunan. Prati sentana = anak gelah (anak kandung).
Sentana paperasan (anak angkat). Sentana paperasan berasal darikata "sentana" =
anak dan"peras" = salah satu bentuk upakara sesuai ajaran agama Hindu. Proses
pengangkatan anak. Menurut hukum adat Bali, baru dapat dikatakan/disebut sah setelah
dilaksanakannya upacara paperasan sesuai dengan Hukum Ada Bali dan agama Hindu.
Itu sebabnya anak angkat itu.Perkawinan sentana menurut hukum adat bali adalah
seorang laki-laki ikut dalam keluarga istri, tinggal di rumah istri, dan semua
keturunannya mengambil garis keturunan sang istri. Pengangkatan Anak Wanita
sebagai sentana ada di Kabupaten Tabanan, terdapat peraturan pengangkatan anak-anak
wanita hanya bagi golongan sudra (kaula jaba), mula-mula diangkatlah dulu si anak
wanita itu dan setelah perkawinannya si menantu lelaki juga dinamakan anak sentana,
akan tetapi hukumnya benar-benar sama sebagai anak sentana selidihi. Di Kabupaten
Tabanan, seorang ayah yang hanya mempunyai anak-anak wanita, lalu mengangkat dan
menetapkan semua anak wanitanya itu menjadi sentana; dalam surat sentana yang
bersangkutan. Ditentukan, bahwa lelaki yang paling dulu kawin dengan salah seorang
dari anak-anak wanita itu, maka ia (si lelaki) harus menjadi sentana di
rumah mertuanya. Nantinya, anak yang lahir dari perkawinan nyentana tersebut akan
menjadi pewaris dari garis keturunan sang ibu.
Masyarakat di bali umumnya menganut sistem patrilineal yang mengakui bahwa
kedudukan dari laki-laki yang menonjol daripada kedudukan Perempuan dan hak
daripada laki-laki juga lebih banyak dibandingkan perempuan (disebut dengan
Kapurusa atau Saking Purusa). Tetapi, pada kenyataannya tidak semua keluarga di Bali
dianugerahi anak laki-laki. Maka, munculah pemikiran untuk merumuskan cara agar
keluarga tersebut tetap dapat melanjutkan garis keturunannya walau hanya mempunyai
anak perempuan saja13.
12. Jelaskan yang dimaksud: (a) undagan keluarga dan lingsehan keluarga; (b) apa
keluarga?
13
Pratama, I.W.B.E, dkk. (2021). “Perkawinan Nyentana Di Bali : Urgensi, Tata Cara, Dan Prospeknya Di
Era Modern”. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(6), hlm. 5.
Undagan keluarga mengandung arti tingkatan keluarga dari atas ke bawah atau dari
bawah ke atas. Lingsehan keluarga mengandung arti semacam klan yang di Bali dikenal
pula dengan istilah soroh atau dadya. Lingsehan keluarga terdiri dari:
(1) Lingsehan keluarga dalam arti sempit meliputi: tutelan (saudara kandung); misan
(saudara sepupu); mindon (saudara sepupu jauh).
(2) Lingsehan keluarga dalam arti luas (tidak lagi jelas apakah hubungannya dalam
batas tugelan, misan, dan mindon), tetapi mereka berada dalam satu ikatan keluarga,
ditandai dengan nama keluarga yang sama, seperti: "pande", "gusti", "predewa",
"cokorda", dll. Lingsehan keluarga dalam arti luas in, dikenal pula dengan debutan
soroh atau dadya (keluarga besar), ditandai dengan tempat persembahyangan
keluarga yang sama, yang disebut Sanggah Gede, Pura Paibon, Pura Dadya, dan Pura
Kawitan14.
b. Pentingnya seorang notaris memahami undagan keluarga dan lingsehan keluarga
Pentingnya Notaris didalam memahami undagan keluarga dan lingsehan keluarga
yaitu agar dalam menjalankan jabatannya Notaris dapat memberikan masukan tau
dalam hal in memberikan penyuluhan hukum terhadap klien yang nantinya
memiliki persoalan mengenai undagan keluarga maupun lingsehan keluarga.
Sehingga Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat dikatakan memenuhi
kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris.
13. Untuk menjamin validitas sebuah silsilah, tidak cukup hanya diketahui oleh
Kepala Lingkungan/Dusun dan Kepala Desa/Lurah, tetapi sebaiknya diketahui
Kelihan Banjar Adat, Bendesa Adat, dan Kelihan Dadya. Jelaskan mengapa demikian
adanya.
Pembuatan silsilah keluarga sangat perlu diketahui dan ditandangani oleh Kelihan
Banjar Adat dan/atau Bendesa Adat, atau lebih baik lagi diketahui dan ditandatangi oleh
Kelihan Dadya selain Kepala Lingkungan dan/atau Dusun dan Kepala Desa dan/atau
Lurah disebabkan karena Kelihan Banjar Adat dan/atau. Bendesa merupakan pihak
yang paling mengetahui asal-usul krama desanya terkait dengan silsilah keluarganya.
Kelihan Banjar Adat dan/atau Bendesa Adat merupakan warga asli Bali dan ditunjuk
pula oleh Krama Desa, sedangkan Kepala Desa belum tentu merupakan warga asli Bali
dan penunjukannya dilakukan oleh pemerintah. Salah satu fungsi Kelihan Banjar
14
Julianto, P, dkk. (2018). “Penerapan Konsep Menyama Braya Dalam Mewujudkan Akuntabilitas
Pengelolaan Keuangan Banjar Pendes, Desa Pakraman Penarukan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng”.
Jurnal Ilmiah Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, 9(2). h. 130.
adalah mengayomi Krama Desanya dalam hal-hal yang berurusan dengan Adat, seperti
kematian, upacara perkawinan Krama Banjar serta upacara-upacara keagamaan.
Berbeda halnya dengan fungsi Kelihan Desa yang fungsinya melakukan pengurusan
administrasi warganya. Dengan perbedaan fungi maka terlihat bahwa kelihan banjar
sebagai pengayom krama desanya akan lebih mengetahui dan paham tentang silsilah
keluarga kramanya.
Kelihan Dadya adalah salah satu orang yang ada di dalam lingkup masih
hubungan keluarga satu nenek moyang atau bisa disebut satu "Sanggah Gede". Dimana
Kelihan Dadya in juga adalah orang yang di tunjuk oleh orang-orang yang satu nenek
moyang dengannya, yang dipercayai mampu mengemban tugas sebagai Kelihan
Dadya. Berdasarkan hal tersebutlah Kelihan Dadya akan lebih mengetaui secara
spesifik dan lebih paham tentang silsilah keluarga dibandingkan dengan oleh Kepala
Lingkungan/Dusun dan Kepala Desa/Lurah, tetapi sebaiknya diketahui Kelihan Banjar
Adat dan Bendesa Adat. Dimana sistem kekerabatan di Bali adalah sistem patrilineal
yang sistem kekeluargaanya, keturunan atau anak yang lahir akan atau mengikuti
garis atau darah sang ayah. Contohnya pada Masyarakat Hindu di Bali Sistem ini di
Bali lebih dikenal dengan sistem kapurusa atau purusa, oleh karena itu silsilah
keluarga ini sangat penting untuk diketahui, khususnya bagi Kelihan Dadya. Kelihan
adalah kepala keluarga, maka kelihan harus mengetahui siapa ahli waris atau
keturunan yang ada dalam keluarga tersebut, karena pewarisan harus berdasarkan
silsilah keluarga yang ada, misalnya dalam hal pewarisan tanah, misalnya sebagai
peralihan15.
Mengenai hak waris atas tanah karena pemilik sertifikat hak guna tanah telah
meninggal dunia, maka sebenarnya ahli waris atas sertifikat hak guna tanah itu
dipertimbangkan dari silsilah yang ada, untuk menghindari kesalahan dalam pewarisan,
pengurangan hak waris. Di sini pentingnya silsilah keluarga juga diketahui oleh Kelihan
Banjar Adat dan Bendesa Adat karena dalam hukum Adat Bali ada istilah
mebraya/saling membantu dalam lingkungan adatnya masing-masing karena jika sudah
besar nanti kita akan mempunyai warisan Parhyangan. Pawongan. mewarisi dan
mewarisi Palemahan dari keturunan sebelumnya. Selain itu, kami harus melakukan
pekerjaan fisik penuh waktu, baik di kawasan Parhyangan, Pawongan, dan Palahan.
15
Wijaya, I, P,S, & Windia, W, I. (2023). “Implementasi Sistem Musyawarah Mufakat Dalam Pemilihan
Bendesa Adat Di Desa Adat Pecatu”. Jurnal Kertha Semaya, 11(4). hlm. 890.
14. Jelaskan: (a) perbedaan anak astra dan anak bebinjat; (b) jelaskan pula tanggung
jawab dan hak masing-masing terhadap (a) harta gunakaya dan (b) harta pusaka
orang tuanya.
a. 1. Anak Astra adalah merupakan anak diluar kawin, dimana kasta si laki-laki
yang menurunkan lebih tinggi daripada kasta ibunya. Dalam hal ini bapak anak ini
diketahui. Tetapi tidak dilaksanakan perkawinan sah. Sebagai anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah, maka anak astra dapat digolongkan sebagai anak tidak sah.
Dengan demikian anak astra pada dasarnya tidak memiliki hak alimentasi terhadap
ayahnya.
2. Anak Bebinjat adalah anak luar kawin yang bapaknya sama sekali tidak
diketahui atau tidak dikenali, atau si ibu tidak dapat menunjukan laki-laki yang
menghamilinya.
b. Tanggung jawab dan hak masing-masing terhadap harta gunakaya dan harta
pusaka orang tuanya
Di dalam hukum adat bali terdapat macam-macam harta kekayaan yaitu ;
15. Ada sentana peperasan (anak angkat) dan ada pula sentana upapira (anak
asuh). Jelaskan perbedaannya dalam hubungan dengan harta keluarga.
Sentana peperasan (anak angkat) adalah pengangkatan anak meniadi sentana yang telah
di upacarai (diperas) untuk masuk kedalam keluarga orang yang mengangkatnya,
pengangkatan anak ini dilandasai oleh upasaksi sekala dan niskala, Kedudukan hukum
sentana peperasan sama dengan anak kandung, baik dalam hubungan hukum
kekeluargaan, hukum pewarisan, serta dalam hubungan kemasyarakatan. Sedangkan
Arti sentana upapira (anak asuh) adalah anak yang diberi biaya pendidikan (oleh
seseorang), tetapi tetap tinggal pada orang tuanya. Artinya anak sentana upapira
(anak ash) tidak keluar dari keluarga aslinya, orang yang mengasuhnya hanya
membiayai kebutuhan anak tersebut. perbedaannya dalam hubungan dengan
pewarisan adalah sentana peperasan atau anak angkat, adalah pelanjut keturunan serta
berhak penuh sebagai ahli waris terhadap orang tua angkatnya.
16. Uraikan dengan singkat apa yang dimaksud: (a) ”perjanjian perkawinan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
apa bedanya dengan ”janji perkawinan” dan “pasobaya mewarang”.
17. ”Sebaiknya masalah itu diselesaikan dengan cara kekeluargaan”. Apa maksud
ungkapan kedua ungkapan “diselesaikan dengan cara kekeluargaan”?
Maksud dari dengan cara kekeluargaan adalah penyelesaian yang dilakukan dengan
mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan yang mana hasil akhirnya tanpa merugikan
salah satu pihak, seperti yang ditekankan dalam poin pemulihan pada keadaan yang semula.
Tetapi dengan perbedaan tersebut mereka bisa hidup bersama, hal ini dikarenakan mereka
saling/sama-sama menghargai perbedaan tersebut. Jadi bilamana ingin menyelesaikan
permasalahaan secara kekeluargaan, maka harus saling meghargai atas kebenaran dan
kesalahan masing-masing, dan saling menghargai atas kebaikan atau keburukan masing-
masing. Sehingga dalam penyelesaian masalah tidak akan ada yang merasa paling benar
atau paling dirugikan, yang ada hanyalah saling menghargai. pihak-pihak yang
mengalami masalah in menyelesaikannya dengan saling menghargai dan saling
menghormati perbedaan satu dengan yang lainnya. Sehingga tercipta penyelesaian
masala dan bisa mengakrabkan diri dengan orang disekitarya karena dengan adanya
perbedaan dapat menciptakan suatu kesatuan. Dalam istilah kekeluargaan kita juga
mengatakan bahwa dimana ada perbedaan disitu ada persatuan. Dan itu saling
menguntungkan; Artinya dalam pernyataan mempunyai satu kesatuan keluarga juga
terdapat perbedaan. Oleh karena itu,
16
Wayan, P, Windia., op.cit, h. 223.
“kekeluargaan” dapat dipahami sebagai: “Perbedaan dalam kesatuan; Bhinneka Tunggal
Ika”, sebagaimana dikemukakan di atas, baik dengan “kekeluargaan”.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan :
Buku :
Wayan P. Windia, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali,
Penerbit:Lembaga Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
h. 78.
Windia, Wayan P., 2023. Mengenal Hukum Adat Bali. Tabanan: Pustaka
Ekspresi. h.178.
Jurnal :
Djuniarti, E. (2017). “Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-
Undang Perkawinan Dan Kuh Perdata”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(4), hlm.
446.
Pratama, I.W.B.E, dkk. (2021). “Perkawinan Nyentana Di Bali : Urgensi, Tata
Cara, Dan Prospeknya Di Era Modern”. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(6), hlm. 5.
Yasir, M., Hasni. (2021). “Prinsip Hukum Islam Dalam Prinsip Hukum
Keluarga”. Jurnal Of Islamic Law, 3(2), hlm. 3.
Skripsi :
Fadilah, M, 2021, “Peran Notaris Dalam Pembagian Warisan Berdasarkan
KUH Perdata”. (skripsi) Program Studi Sarjana (S1) Ilmu Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Internet :
Faizal L, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan (2019),
https://media.neliti.com/media/publications/58206-ID-akibat-hukum-pencatatan-
perkawinan.pdf. Diakses pada 8 Oktober 2023