KD 3.7
KD 3.7
KD 3.7
LEMBAR PENGAMATAN Cara Pengawetan dan Pengolahan Hijauan Pakan Ternak (Hay dan silase) Di
Lingkungan Sekitar Sekolah
Kehidupan ternak tidak dapat lepas dari pemenuhan kebutuhan pakannya. Secara alami pakan ternak
telah tersedia di alam bebas, dan manusia dapat memanfaatkannya dengan leluasa. Namun demikian
sesuai dengan karakteristik kondisi alamnya, pada saat musim hujan kita dapat langsung mengambil dan
memanfaatkan pakan ternak yang tersedia di alam bebas secara melimpah, sedangkan pada musim
kemarau kita dihadapkan pada kondisi pakan ternak yang persediaannya di alam bebas sangat terbatas,
sehingga tidak dapat memberikan pakan kepada ternaknya sebagaimana mestinya. Dengan pengetahuan
yang telah dikaruniakan-Nya, manusia dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara optimal
dan melakukan upaya agar pakan dapat tersedia sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan
berkualitas. Upaya yang dimaksud adalah melalui pengawetan dan pengolahan. Untuk melakukan
pengawetan dan pengolahan pakan ternak dituntut upaya yang sungguh – sungguh, kreatif, ulet, teliti,
bertanggung jawab dan pantang menyerah. Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa mempunyai
iklim tropis, yang dalam kurun waktu setahun terdapat dua musim, yaitu musim penghujan dan musim
kemarau. Pada musim penghujan tentunya keberadaan Hijauan Pakan Ternak (HPT) sangat berlimpah
karena memang sangat dipengaruhi oleh distribusi air hujan disetiap bulannya, sebaliknya produksi HPT
menurun baik kualitas maupun kuantitasnya pada musim kemarau bahkan dengan semakin kurangnya
air, produksi HPT terhambat sampai tidak berproduksi sama sekali. Padahal HPT merupakan pakan utama
ternak ruminansia, harus disediakan demi kelangsungan hidup ternak, dan untuk kelangsungan
berproduksi. Kondisi fluktuasi ketersediaan HPT yang besar sangat berpengaruh bagi kelanjutan usaha
ternak ruminansia sehingga harus ada upaya agar HPT tersedia sepanjang tahun dengan kualitas nutrisi
tidak jauh berbeda. Upaya yang maksud adalah melakukan pengawetan dan pengolahan HPT tersebut.
Pengawetan dilakukan melalui pembuatan hay (awetan hijauan kering) dan silase (awetan hijauan segar),
sedangkan pengolahan dapat dilakukan dengan pengolahan secara fisik (pencacahan, penggilingan atau
pemanasan), secara kimia (perlakuan alkali dan amoniasi) dan secara biologi yang umumnya dilakukan
dengan metode fermentasi yang menggunakan jasa mikrobia selulolitik
a. Hay 1) Pengertian Hay. Pembuatan hay merupakan salah satu cara pengawetan HPT yang
sederhana dan telah populer dikalangan peternak Indonesia. Hay adalah hijauan makanan
ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar bisa diberikan kepada ternak pada
kesempatan yang lain. Pengertian hay yang lain adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa
rumputrumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering dengan kadar air 15 -20%.
Namun kadar air hay yang baik adalah 15-16%, dalam kondisi ini hijauan pakan tidak akan
membusuk bila disimpan. Bila penjemuran dilakukan dengan sinar matahari, caranya setelah
HPT dipotong, langsung dijemur dengan cara menebar di lantai jemur atau pada rak-rak
penjemuran, setiap 2 jam sekali dibalik. Kegiatan penjemuran dilakukan antara 3 – 4 hari.
Pembuatan hay biasanya dilakukan pada akhir bulan Maret pada saat surplus produksi hijauan
pakan, dan panas matahari cukup.
b. Prinsip dari pengeringan yaitu menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan dalam
arti dapat menghentikan/menghambat aktivitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari
mikrobia yang terdapat di dalamnya sehingga aman untuk disimpan. Hay merupakan metode
konservasi yang banyak dilakukan (mencapai 20% dari total produksi hijauan di negara maju)
dengan pengelolaan yang relatif sederhana dan mudah dilakukan. 2) Tujuan Pembuatan Hay
Pembuatan hay bertujuan untuk: a) menyeragamkan waktu panen agar tidak menganggu
pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna
yang lebih tinggi b) agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan
untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan
hijauan pada musim kemarau. 3) Metode Pembuatan Hay Pembuatan hay dapat dilakukan
dengan beberapa metode antara lain metode hamparan dan metode pod. a) Metoda hamparan,
merupakan metode sederhana, dilakukan dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah
dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari. Setiap hari hamparan dibolak balik
hingga kering. Hay yang dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air 20-30% dengan tanda
warna kecoklat-coklatan.
c. c) Metoda Pod, dilakukan dengan menggunakan semacam rak sebagai tempat penyimpanan
hijauan yang telah dijemur selama 1-3 hari (kadar air ± 50%). Rak tempat penyimpanan dapat
berupa rak kaki tiga yang ujung bagian atasnya menjadi satu (tripod) atau kaki empat (tetrapod).
d. Apapun metode pembuatan hay yang dilakukan yang penting adalah hijauan yang akan dibuat
hay dipanen pada saat menjelang berbunga ketika kandungan protein tinggi dan kandungan air
serta seratnya optimal, proses pengeringan dilakukan dengan sempurna, 118 dan disimpan di
tempat yang kering, terlidung dari air hujan, sehingga akan diperoleh hay yang berkualitas baik.
4) Peralatan dan Bahan Pembuatan Hay a) Peralatan yang digunakan : · Sabit rumput/mesin
pemanen rumput. · Pelataran untuk menjemur rumput dan rak untuk menghamparkan rumput
yang akan dikeringkan. · Alat pengukur kandungan air (Delmhorst digital hay meter and bale
sensor). · Tali untuk mengikat hay yang sudah kering. · Gudang untuk menyimpan hay. b) Bahan
yang diperlukan : Hijauan yang berbatang halus, sehingga mudah dikeringkan. 5) Proses
pembuatan hay : a) Sabit/potong hijauan di kebun rumput! b) Lakukan penimbangan berat
hijauan yang diperoleh! c) Lakukan pengeringan rumput dengan sinar matahari di lantai jemur!
Apabila penjemuran dilakukan menggunakan para-para yang mendatar atau miring, hijauan
hendaknya dibalik tiap 2 jam. Lama pengeringan tergantung tercapainya kandungan air, yaitu 12-
20% (kira – kira 1-3 hari). d) Lakukan pengukuran kandungan air hay dengan menggunakan alat
pengukur kandungan air! e) Jika hay sudah jadi, buatlah hay dalam bentuk gulungan –gulungan
dan diikat menggunakan tali rafia. f) Simpan hay di dalam gudang penyimpanan. g) Lakukan
pengontrolan secara periodik untuk mengetahui kualitas hay dalam penyimpanan.
e. 6) Keuntungan dan Kerugian Hay a) Keuntungan Pembuatan Hay Keuntungan pembuatan hay
adalah: · kwantitas nutrisi relatif lebih lama dapat dipertahankan, · kehilangan nutrisi di
lapangan dapat dikurangi dengan pemotongan hijauan pada stadium pertumbuhan yang tepat
yaitu saat menjelang berbunga (stage of maturity). · kehilangan nutrisi selama pengawetan dan
penyimpanan dapat dikurangi bila menggunakan peralatan tambahan pada waktu penjemuran
dan hay yang dihasilkan dari proses pengawetan yang baik dapat dipertahankan keawetannya
dalam waktu yang lama dengan sedikit kehilangan zat makanan yang dikandungnya. b) Kerugian
Pembuatan Hay Kerugian pembuatan hay dapat terjadi pada saat pra pembuatan, proses
pembuatan maupun pada pasca pembuatan. · Kerugian Pra Pembuatan Hijauan yang akan
diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan kadar
air optimal), Jika kadar air terlalu tinggi, sementara proses pembuatannya tidak sempurna, maka
hay yang diperoleh berjamur sehingga menyebabkan kualitasnya rendah. Di Indonesia limbah
pertanian terutama jerami padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah, tidak
perlu menanam khusus tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat
populer, meskipun rendah nutrisi. Sehingga perlu perlakuan khusus dengan penambahan garam
atau baking soda atau pengawet lainnya untuk
f. meningkatkan palatabilitas dan menekan pertumbuhan jamur. Selain itu pencacahan menjadi
ukuran lebih kecil juga sangat penting untuk meningkatkan kecernaan · Kerugian Proses
Pembuatan Kerugian yang terjadi pada pembuatan hay di lapangan dapat disebabkan oleh
shattering, respirasi dari hijauan yang dipotong sampai sel-sel tanaman mati, kerugian akibat
fermentasi dan bleaching dan kerugian nutrisi karena leaching. Shattering, khususnya harus
diperhatikan pada tanaman legum. Bila pemotongan/pemanenan tanaman ditunda terlalu lama,
daun cenderung menjadi rusak atau hancur sewaktu penanganan. Kerugian ini sangat penting
artinya karena daun mengandung dua sampai tiga kali lebih besar prosentase proteinnya dari
pada batang. Daun lebih kaya dalam hal mineral dan vitamin dari pada batang dan rendah serat
kasarnya. Respirasi, ketika hijauan dipotong, hijauan tersebut masih dapat melakukan respirasi
yang aktif sampai sel-sel menjadi mati, sebagai hasilnya berupa sel-sel yang sudah kering.
Perubahan yang disebabkan karena respirasi sebagian besar terjadi terhadap karbohidrat di
dalam tanaman. Besarnya kerugian tergantung dari lamanya sel-sel menjadi mati. Tanaman
sesudah dipotong tetap melakukan metabolisme secara kontinyu dan metabolisme ini dapat
menghilangkan sejumlah zat-zat makanan. Keuntungan pada pengawetan yang cepat adalah
menghentikan metabolisme yang berlebihan. Pada kenyataannya dengan mereduksi kadar air
secara cepat adalah penting sekali terhadap efisiensi pada pengawetan tersebut.
Respirasi dapat menyebabkan kerugian pada fraksi karbohidrat yang dapat larut. Gula dioksidasi menjadi
karbón dioksida dan air. Kehilangan fraksi karbohidrat ini mengakibatkan naiknya prosentase dinding sel,
khususnya selulosa dan lignin sehingga menaikan kadar serat kasat. Fermentasi, fermentasi terjadi pada
zat-zat makanan organik, khususnya gula dan pati, yang mengalami oksidasi menjadi karbón dioksida dan
air. Jika keadaan cuaca menguntungkan dan hay diawetkan dengan metode yang layak, kerugian akibat
fermentasi relatif kecil, namun sebaliknya, kalau terjadi fermentasi berlebihan akibatnya hay menjadi
berwarna merah tua atau coklat. Kerugian oleh fermentasi tidak berakhir pada waktu pengawetan, juga
pada saat penyimpanan hay dalam gudang karena akan timbul fermentasi dan panas, sehingga
kualitasnya menjadi turun. Fermentasi berlebihan dapat dicegah dengan cara mereduksi kadar air
hijauan melalui proses pengeringan yang cepat. Bleaching terjadi disebabkan oleh destruksi
(penghancuran) kloropil oleh sinar matahari. Bila hay mengalami bleaching, hay akan menjadi rapuh,
kualitas menurun karena turunnya palatabilitas dan digestibilitas, warna menjadi buruk, aroma hilang
dan nilai berkurang. Aksi bleaching meningkat jika terkena hujan dan embun. Jika hay mengalami
bleaching akibat penyinaran matahari yang lama, hampir semua karoten hilang. Leaching , bila selama
periode pengawetan hay mengalami kehujanan, maka akan terjadi penipisan / pengeluaran nutrisi
(leaching) atau terjadi kehilangan nutrisi yang larut dalam air.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat proses pengawetan yaitu penggunaan
atap dari plastik transparan dan para – para pada saat penjemuran. Karena jika tidak menggunakan atap
lebih banyak kehilangan bahan kering akibat fermentasi dan rontok daun dibanding yang menggunakan
atap. Jika tidak menggunakan atap dan para - para menyebabkan tejadinya penurunan kadar protein,
karena terjadi peristiwa leaching, rontok daun dan muncul jamur, serta menyebabkan menurunnya total
pigmen, karena terjadi bleaching. Kandungan nutrisi hay dari proses pengeringan dengan menggunakan
atap dan para – para lebih tinggi, maka hay tersebut memiliki daya cerna bahan kering dan bahan
organik yang lebih tinggi. · Kerugian Pasca Pembuatan Kualitas hay yang disimpan dipengaruhi oleh
kadar air terakhir waktu hay akan disimpan, lamanya waktu penyimpanan dan kelembaban lingkungan
sekitarnya. Kadar air terakhir waktu hay akan disimpan berkisar antara 15-16%. Penyimpanan hay yang
dilakukan sebelum cukup kering / mengandung kadar air yang berlebihan akan mudah tumbuh jamur,
hal ini tidak baik untuk pakan ternak. 7) Kualitas Hay a) Ciri – ciri Hay yang berkualitas Hay yang
berkualiatas baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: · Warna hijau mengkilau/ kekuning-kuningan ·
Daun-daunnya masih utuh, tidak banyak banyak yang rusak, bentuk hijauan masih tetap utuh dan jelas,
tidak terlalu kering sebab akan mudah patah Lemas, mudah dibengkokan. 123 · Rasio daun lebih banyak,
batang lebih sedikt. · Tidak kotor dan tidak berjamur. · Bau harum khas hay · Nilai gizinya tetap tinggi ·
Disukai ternak. b) Faktor – faktor yang mempengaruhi Kualitas Hay Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai nutrisi hijauan pakan ternak dalam bentuk kering /hay adalah: · Kondisi tanah Kondisi tanah
(kesuburan tanah) akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman hijauan pakan dan akan
mempengaruhi kandungan nutrisinya. · Species tanaman, Setiap spesies tanaman hijauan pakan secara
genetik memiliki kandungan nutrisi yang berbeda – beda. · Tingkat pertumbuhan tanaman dan waktu
pemanenan Untuk mendapatkan hay yang berkualitas, hay harus dibuat dari hijauan yang dipotong pada
stadium pertumbuhan yang tepat. · Banyaknya daun Tanaman hijauan pakan yang memiliki daun yang
rimbun lebih berkualitas dibanding dengan tanaman hijauan pakan yang kondisi daunnya sedikit dan
kurus. · Bentuk fisik Tidak banyak daun yang rusak, bentuk hijauan masih tetap utuh dan jelas, tidak
kotor dan tidak berjamur. · Perubahan kimia dan kehilangan selama pengeringan. 124 Hasil pengeringan
berkorelasi positif dengan cuaca. pada cuaca baik akan dihasilkan hay yang baik, tetapi pada cuaca jelek
akan dihasilkan hay yang jelek. Kandungan nutrient dalam hay yang berkualitas jelek sudah sangat miskin
terutama karbohidrat non struktural dan pro vitamin A. Pada konservasi yang baik sedikit terjadi
penurunan kualitas hijauan pakan. · Penyimpanan. Penyimpanan hay yang dilakukan sebelum cukup
kering dapat dirusak oleh proses pembakaran spontan dan hay yang mengandung kadar air berlebihan,
cenderung berjamur. Hai ini tidak baik digunakan sebagai pakan ternak. 8) Penggunaan Hay Penggunaan
hay untuk pakan ternak perlu dibatasi, hal ini karena kualitas hay tidak akan pernah sama dengan
kualitas hijauan segar. Kesetaraan hay disbanding dengan rumput segar berkisar antara 85 - 90%.
Sehingga pemberian harus dibatasi disamping kualitas menurun dan palatabilitas juga menurun.
Pemberian hay disarankan tidak lebih dari 35% jumlah pakan yang diberikan, jika lebih dari 35% maka
harus ditambah pakan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Jadi idealnya kombinasi hijauan
segar, hay dan konsntrat b. Silase 1) Pengertian Silase Kekurangan hijauan pakan ternak (dalam keadaan
segar) sering kali terjadi dan dirasakan oleh peternak di Indonesia. Pada kondisi yang demikian peternak
terpaksa memberi pakan pada ternaknya dengan pakan seadanya dengan kualitas yang rendah, bahkan
kuantitasnya juga tidak memenuhi sesuai dengan kebutuhan ternaknya. Pemberian pakan yang demikian
sangat mempengaruhi produktivitas ternak, terlihat dari 125 lambatnya pertumbuhan atau minimnya
peningkatan berat badan (BB) bahkan sampai mengalami sakit. Pembuatan silase diharapkan dapat
mengatasi permasalahan kekurangan hijauan segar sepanjang waktu, terutama pada musim kemarau,
dengan kualitas nutrisi yang tinggi. Silase adalah hijauan pakan ternak yang disimpan dalam keadaan
segar setelah mengalami proses ensilase. Sebagai bentuk penyimpanan hijauan pakan ternak dalam
keadaan segar, kadar air hijauan berkisar antara 60-70%. Silase dibuat dan disimpan dalam suatu tempat
yang disebut dengan silo. Pembuatan silase sebaiknya dilakukan pada saat surplus hijauan, sementara
sinar matahari kurang. Kira – kira bulan Desember – januari. 2) Tujuan Pembuatan Silase Tujuan
pembuatan silase antara lain : a) Mengantisipasi keterbatasan sumber pakan ternak dimusim
kemarau/paceklik b) Memanfaatkan kelebihan pakan ternak berupa hijauan yang tersedia sepanjang
musim hujan c) Mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk
dimanfaatkan pada masa mendatang, 3) Prinsip Pembuatan Silase Prinsip pembuatan silase adalah
menghilangkan udara dengan cepat agar tercapai suasana anaerob, menghasilkan asam laktat yang
membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan
jamur dan bakteri pembusuk selama penyimpanan, sehingga hijauan pakan dapat disimpan dalam
keadaan segar dalam waktu yang lama. Untuk memperoleh suasana an aerob dilakukan dengan cara:
126 a) Pemadatan bahan silase (hijauan) yang telah dicacah dengan cara ditekan menggunakan alat atau
diinjak-injak. Jika perlu menggunakan mesin vacum. b) Tempat penyimpanan (silo) harus ditutup rapat,
dan dijaga jangan sampai terjadi kebocoran, jika perlu tumpukan hijauan diberi pemberat beberapa batu
besar atau balok – balok kayu. c) Mempercepat pembentukan suasana asam dengan cara menambah
bahan pengawet atau bahan tambahan (aditif) secara langsung dan tidak langsung. Beberapa jenis
bahan pengawet secara langsung antara lain: · Natrium bisulfat · Sulfur oxida · Asam chlorida · Asam
sulfat · Asam propionat. Pemberian bahan pengawet / bahan tambahan (aditif) secara tidak langsung
dengan bahan-bahan yang mengandung karbohidrat yang siap diabsorpsi oleh mikroba, antara lain : ·
Molasses : 2,5 kg/100 kg hijauan. · Onggok : 2,5 kg/100 kg hijauan. · Tepung jagung : 3,5 kg/100 kg
hijauan. · Dedak halus : 5,0 kg/100 kg hijauan. · Ampas sagu : 7,0 kg/100 kg hijauan. Fermentasi terjadi
dengan tahapan sebagai berikut: Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan
oksigen, maka mereka melakukan respirasi untuk membentuk energi yang dibutuhkan dalam aktivitas
normalnya. Respirasi merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Respirasi bermanfaat untuk
menghabiskan oksigen yang terkandung, beberapa saat setelah bahan dimasukan dalam silo.
Setelah oksigen habis, maka proses fermentasi dimulai. Proses fermentasi menyebabkan penurunan
kadar pH sampai dengan pH tertentu sehingga tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dalam silo,
artinya silase dapat menekan proses aktivitas bakteri pembusuk yang akan menurunkan mutu hijauan
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama sampai tiba waktunya diberikan kepada ternak.
Fermentasi juga dapat meningkatkan nilai gizi bahan pakan itu sendiri. Pembuatan silase dibantu oleh
mikroorganisme anaerob/hampa udara (air tight) yang mengubah karbohidrat atau gula tanaman (plant
sugars) menjadi asam laktat. Mikroorganisme / bakteri tersebut dinamakan bakteri asam laktat (BAL).
Bakteri asam laktat tersebut diantaranya adalah Lactobacillus plantarum, Streptococcus lactis dan jenis
fungi seperti Aspergilus niger, Aspergilus oryzue. Manfaat probiotik sebagai bahan aditif ditunjukkan
dengan meningkatnya ketersediaan lemak dan protein bagi ternak, selain itu probiotik juga
meningkatkan kandungan vitamin B kompleks melalui fermentasi makanan. Pada dasarnya proses
fermentasi dapat berjalan secara alami, namun hasilnya tidak optimal, karena tercemar bakteri
pembusuk. Oleh karena itu perlu ditanam bakteri fermentasi yang berasal dari biakan murni, agar lebih
mampu bersaing dengan bakteri pembusuk dan silase yang dihasilkan lebih sempurna. Proses fermentasi
juga memerlukan starter untuk merangsang perkembangan bakteri asam laktat. Starter bisa berupa tetes
tebu (molasses) atau gula pasir, atau bahan lain sebagai sumber karbohidrat yang mudah dicerna. 4)
Tahapan – Tahapan yang Terjadi dalam Pembuatan Silase Proses fermentasi pada bahan organik disebut
ensiling atau ensilase. Ensiling merupakan metode pengawetan pakan ternak secara langsung melalui
proses fermentasi asam laktat secara anaerob. Fermentasi asam laktat akan mengoksidasi WSC
(karbohidrat mudah larut) menghasilkan 128 asam laktat dan sedikit asam asetat. Karena BAL
memproduksi asam laktat dan asam asetat, pH pada bahan organik akan turun, dan dapat menghambat
aktivitas mikroorganisme yang tidak diinginkan. Setelah bahan organik dimasukkan, dipadatkan dan
dikeluarkan udaranya (anaerob) maka akan terjadi 4 proses, yaitu : d) Phase I (tahap aerob) Tujuan
utama yang harus tercapai pada fase ini adalah memaksimumkan pencegahan masuknya udara (oksigen)
ke dalam silo sehingga keadaan anaerob secepatnya dapat tercapai. Pada tahap ini hanya memerlukan
waktu beberapa jam, oksigen yang keluar akibat proses respirasi tanaman /bahan semakin lama semakin
berkurang karena dimanfaatkan oleh organisme fakultatif aerob, seperti yeast/ragi dan Enterobakteria.
e) Phase II (tahap fermentasi) Phase ini dimulai ketika bahan ensiling menjadi anaerob, yang berlanjut
beberapa hari dan beberapa minggu (tergantung bahan ensiling yang digunakan dan kondisi ensiling itu
sendiri). Maka pada tahap inilah akan dimulai proses fermentasi, dengan dimulai tumbuh dan
berkembangnya bakteri lactic acid. Bakteri tersebut akan menyerap karbohidrat dan menghasilkan lactic
acid sebagai hasil akhirnya. Pertumbuhan asam laktat ini sangat diharapkan, karena disamping
bermanfaat untuk ternak ruminansia juga menurunkan kadar pH di dalam silo (di bawah 5.0).
Perkembangan bakteri asam laktat akan menurun akhirnya berhenti. f) Phase III (tahap setabil) Pada
tahap ini, udara yang mungkin masuk dalam silo sangat kecil. Sebagian mikroorganisme yang tidak tahan
pada kondisi anaerob ini akan menurun tingkat populasinya. Beberapa organisme yang tahan 129 pada
kondisi asam seperti Clotsridia dan Baciili yang hidup sebagai spora organik tidak aktif pada kondisi ini.
Semakin menurunnya kadar pH akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan bakteri anaerob
lainnya yang memproduksi asam laktat. Jika pada proses fermentasi ini berhasil mengembangkan atau
bakteri asam laktat telah organik tumbuh/hidup, berarti dapat menurunkan asam lainnya. Pencapaian
akhir kadar pH tergantung dari jenis bahan baku yang diawetkan, dan kondisi saat dimasukan dalam silo.
Hijauan pada umumnya akan mencapai kadar pH 4,0-4,5. Kadar pH saja tidak dapat mengindikasi baik
atau buruknya proses fermentasi. Hijauan yang mengandung kadar air di atas 70% akan mengalami
proses berlainan, dimana bakteri penghasil asam laktat tidak tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bakteri anaerob (Clotstrida) ini akan memproduksi asam butirat (butyric acid) bukan asam laktat (lactic
acid), yang akan menyebabkan bahan organik terasa asam. Hal ini terjadi karena pH dalam bahan masih
di atas 5.0. g) Phase IV (tahap kerugian aerobic) Proses ini dimulai setelah bahan organik hasil fermentasi
terkena udara. Selama bahan organik dikeluarkan, kerugian ini tidak dapat dihindari karena
memungkinkan dirusak oleh mahluk lain seperti tikus/burung. Kerugian dapat dibedakan menjadi 2
yaitu: penurunan tingkat asam organik oleh yeast dan kadang-kadang oleh BAL sendiri. Hal ini
menyebabkan pH kembali meningkat sehingga kerugian tahap kedua dimulai, terkait dengan
peningkatan suhu. Kerugian aerobic terjadi hampir pada semua hasil fermentasi bahan organik yang
terbuka/terkena udara. Namun tingkat kerusakan tergantung pada jumlah dan aktivitas mikroorganisme
dalam bahan organik. 130 5) Pembuatan Silase Pembuatan silase dilakukan di dalam silo. Silo adalah
tempat penyimpanan hijauan pakan ternak yang dapat dibuat di dalam tanah ataupun di atas tanah.
Bahan pembuatan silo pada umumnya dapat terbuat dari tanah, beton, baja, papan, bilik bambu, bahkan
dari kantong atau karung plastik. a) Jenis – Jenis Silo Berdasarkan bentuknya silo dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis yaitu: · Tower Silo Adalah silo yang berbentuk bangunan silender, tegak seperti
menara, dan dapat terbuat dari besi atau beton.
Pit Silo (Silo Berbentuk Sumur) Silo ini dibentuk ditempat yang kering, agar tidak mudah kebanjiran atau
adanya rembesan air tanah. Diameter silo dibuat 131 agak lebar, untuk memudahkan pengisian dan
pengeluaran hijauan yang disimpan.
· Trence Silo (Parit Memanjang Di Tanah) Silo ini dibuat berbentuk parit memanjang dibawah permukaan
tanah dan pada umumnya berdinding miring, lantai diperkuat dengan bata atau batako, demikian pula
dindingnya.
· Stack Silo (Silo Berdinding Belahan Papan/Pagar Papan) Cara ini kurang dianjurkan, karena masih
terjadinya kontak udara luar, sehingga kualitas silase kurang baik. Untuk 132 meningkatkan kualitas
silase, maka silo ini perlu ditutup rapat dengan plastik sebelum hijauan dimasukkan ke dalam.
Silo Kantong Plastik Silo plastik (bag silo) merupakan modifikasi dari jenis – jenis silo yang ada. Silo plastic
relative fleksibel, dapat dibuat dalam bentuk besar maupun kecil disesuaikan dengan jumlah hijauannya.
Apabila bahan silase yang akan dibuat jumlahnya sedikit, proses pembuatan silase dapat dilakukan di
dalam kantong plastik. Silo sederhana ini bagian dalamnya terbuat dari kantung plastik dan bagian
luarnya karung plastic
b) Proses Pembuatan Silase Proses pembuatan silase dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 133 ·
Hijauan dipanen pada saat pertumbuhan vegetatif menjelang generatif, dengan cara dipotong dengan
menggunakan sabit atau alat yang lain, · Hijauan dikumpulkan, dan diangkut ke tempat dekat dengan
silo. · Sebelum dibuat silase, hijauan diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian dipotong-potong
(dicacah) menggunakan alat coper, dengan ukuran 3-5 cm. · Hijauan yang telah dipotong-potong
(dicacah) ditambah atau dicampur dengan salah satu atau gabungan beberapa bahan pengawet (seperti :
tetes, dedak, menir, tepung jagung, atau bahan pengawet lainnya) dengan perbandingan tertentu.
Kemudian diaduk / dicampur sampai rata. · Saran penggunaan bahan pengawet dengan beberapa
alternatif sebagai berikut: o Menggunakan tetes, dengan perbandingan 3 kg tetes per 100 kg hijauan. o
Menggunakan dedak halus, dengan perbandingan 5-6 kg per 100 kg hijauan. o Menggunakan tepung
jagung, dengan perbandingan 3 kg per 100 kg hijauan o Menggunakan menir, dengan perbandingan 3,5
kg per 100 kg hijauan pakan ternak. · Setelah dicampur rata selanjutnya dimasukkan kantong plastik
sambil dipadatkan untuk meminimalisir sisa udara di dalam kantong plastik. Jika perlu menggunakan alat
vacum untuk menyedot / mengisap udara yang ada di dalam plastik. · Kantong platik yang sudah berisi
bahan silase dalam keadaan padat dan relatif kedap udara, selanjutnya diikat dengan tali 134 rafia
sampai kencang hingga tidak mungkin lagi udara dari luar masuk ke dalam kantong plastik. · Kemudian
disimpan di tempat yang ternaungi dari sinar matahari secara langsung. · Silase sudah jadi setelah
berlangsung selama 3 – 4 minggu, kemudian silase dapat dibongkar dan diangin – anginkan sebelum
diberikan kepada ternak. 6) Keuntungan dan Kerugian Pembuatan Silase a) Keuntungan Pembuatan
Silase · Bila ensilase berjalan dengan baik, maka akan menghasilkan bahan pakan yang berkualitas tinggi.
Silase mempunyai keistimewaan yaitu kadar airnya tinggi. · Menghasilkan hijauan pakan per satuan luas
yang lebih banyak. · Tidak “sangat” tergantung pada cuaca. · Tidak terjadi kebakaran spontan. · Tidak
terdapat parasit. · Sedikit terjadi kehilangan zat makanan b) Kerugian Pembuatan Silase · Memerlukan
banyak tenaga dan biaya. · Kegagalan ensilase. Jika pembuatan silase kurang sempurna, diantaranya
masih terdapat udara di dalam silo, tercemar bakteri pembusuk atau jamur, dapat menyebabkan
kegagalan proses ensilase sehingga silase yang dihasilkan kurang baik, banyak bagian silase yang
menggumpal, berjamur bahkan terjadi pembusukan. 7) Kualitas Silase Kualitas dan nilai nutrisi
fermentasi bahan organik dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti spesies tanaman, fase pertumbuhan,
dan kandungan bahan kering saat panen serta mikroorganisme yang terlibat 135 dalam proses tersebut.
Proses pembuatan silase akan berjalan optimal pada kisaran suhu 27°–35°C. Kualitas silase yang baik
dapat diidentifikasi secara organoleptik, dengan ciri – ciri sebagai berikut: · pH sekitar 4 · Kandungan air
60 – 70% · Berwarna kehijau- hijauan · Bau segar, tidak berbau busuk · Disukai ternak · Tidak berjamur
· Tidak berlendir · Tekstur tetap baik, tidak menggumpal