Komisi Penyiaran Indonesia

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Komisi Penyiaran Indonesia (disingkat KPI) adalah sebuah lembaga independen

di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas
Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi
Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran
Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas.

Latar belakang

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002
Sebelum KPI terbentuk, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
mengamanatkan terbentuknya Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional
(BP3N), suatu lembaga yang memiliki kewenangan atas penyiaran di Indonesia, yaitu dalam
pemberi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan penyiaran ke pemerintah (awalnya juga
direncanakan diberi hak dalam perizinan siaran) dan diisi oleh tokoh masyarakat, ahli dan
pemerintah.[2] Walau demikian, BP3N tidak sempat didirikan hingga penggantinya, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan.

Sebelum rencana pembentukan BP3N dan KPI, tercatat pengawasan penyiaran di Indonesia
dilakukan oleh Departemen Penerangan (Deppen) dan lembaga turunannya. Terdapat beberapa
lembaga yang tercatat pernah dibentuk oleh Deppen, seperti Dewan Penyantun Siaran Nasional
(1975) dan Dewan Siaran Nasional (Mei 1980) yang keduanya bertugas memberikan masukan
terhadap penyelenggaraan siaran radio dan televisi dan anggotanya terdiri dari berbagai sektor di
masyarakat.[3][4][5] Pada awal kelahiran televisi swasta, sempat hadir juga Komisi Siaran
(Daerah), di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang bertugas mengawasi siaran masing-masing
dari RCTI Bandung dan SCTV Surabaya agar sesuai prinsip lokal,[6][7] maupun komisi siaran
kerjasama antara RCTI dan TVRI di tahun-tahun pertama ketika televisi swasta pertama tersebut
bersiaran.[8][9]

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan KPI.
Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola
oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan
kekuasaan. Hal ini berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya,
yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara
yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa
penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk
semata-mata bagi kepentingan pemerintah.

Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama
ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka
penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi
kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi
pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai
dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat
adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002
yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip
keberagaman kepemilikan).

Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.
Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya
informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program.
Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa
yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja.
Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam
dunia penyiaran di Indonesia.

Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir
dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai
kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat
otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.

Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental
dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia, di mana pada intinya adalah semangat untuk
melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU
ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini
merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent
regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan
adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik
harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun
kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu di mana pengelolaan sistem penyiaran masih
berada ditangan pemerintah (pada masa rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis
tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan
kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk
mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tetapi juga
digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elitpenguasa
dan pengusaha.

Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap
lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus
memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah
tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti
yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat
lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya
masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah
informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan
lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit
keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara
lebih maksimal.

Struktur kelembagaan
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, KPI terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat
provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan
KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi.
Anggaran untuk program kerja KPI Pusat dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan KPI Daerah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing
provinsi. Masa jabatan setiap periode komisioner adalah 3 (tiga) tahun dengan batasan 2 (dua)
kali masa jabatan berturut-turut maupun tidak berturut-turut pada setiap tingkatan komisi dan
daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya
terdiri dari staf pegawai negeri sipil (PNS) serta staf profesional non-PNS.

Daftar komisioner

1. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Pertama (2003-


2006, diperpanjang 1 tahun hingga 2007), terdiri atas:

• Dr. Victor W. Menayang, M.A., Ph.D. (Ketua)


• Dr. S. Sinansari Ecip (Wakil Ketua)
• Bimo Sekundatmo Nugroho, M.Si. (Anggota)
• Amelia Hezkasari Day (Anggota)
• Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja (Anggota)
• Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi, M.Si. (Anggota)
• Ade Armando, M.Sc. (Anggota)
• Dr. Andrik Purwasito, DEA (Anggota)
• Drs. Dedi Iskandar Muda (Anggota)
2. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Kedua (2007-2010) terdiri atas:

• Prof. Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja (Ketua)


• Fetty Fajriati Miftach, M.A. (Wakil Ketua)
• Prof. Dr. S. Sinansari Ecip (Anggota)
• Mochamad Riyanto, S.H., M.Si. (Anggota)
• Drs. Yazirwan Uyun (Anggota)
• M. Izzul Muslimin, S.IP. (Anggota)
• Dr. Amar Achmad, M.Si (Anggota)
• Bimo Sekundatmo Nugroho, M.Si (Anggota)
• Drs. Selamun Yoanes Bosko (Anggota)
3. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Ketiga (2010-2013) terdiri atas:

• Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.H., M.Si. (Ketua)


• Dr. Nina Mutmainnah Armando, M.Si. (Wakil Ketua)
• Ezki Tri Rejeki Widianti, S.H,, M.A. (Anggota)
• Dr. Muchamad Riyanto, S,H, M.Si. (Anggota)
• Drs. Iswandi Syahputra, M.Si. (Anggota)
• Dr. Judhariksawan, S.H, M.H. (Anggota)
• Azimah Subagijo (Anggota)
• Idy Muzayyad, M.Si. (Anggota)
• Drs. Yazirwan Uyun (Anggota)
4. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Keempat (2013-2016) terdiri atas:

• Dr. Judhariksawan, S.H., M.H. (Ketua)


• Idy Muzayyad, M.Si. (Wakil Ketua)
• Azimah Subagijo (Anggota)
• Agatha Lily, S.Sos, M.Si (Anggota)
• Sujarwanto Rahmat Muhammad Arifin, S.Si (Anggota)
• Fajar Arifianto Isnugroho, S.Sos, M.Si (Anggota)
• Bekti Nugroho (Anggota)
• Danang Sangga Buwana, M.Si. (Anggota)
• Dr. Amirudin, M.A. (Anggota)
5. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Kelima (2016-2019) terdiri atas:

• Yuliandre Darwis (Ketua KPI Pusat)


• Sujarwanto Rahmat Arifin (Wakil Ketua KPI Pusat)
• Prof. H. Obsatar Sinaga (Anggota)
• Ubaidillah (Anggota)
• Agung Suprio (Anggota)
• Hardly Stefano Fenelon Pariela (Anggota)
• Nuning Rodiyah (Anggota)
• Mayong Suryo Laksono (Anggota)
• Dewi Setyarini (Anggota)
6. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Keenam (2019-2022) terdiri atas:

• Agung Suprio (Ketua KPI Pusat)


• Mulyo Hadi Purnomo (Wakil Ketua KPI Pusat)
• Yuliandre Darwis (Anggota)
• Hardly Stefano Fenelon Pariela (Anggota)
• Nuning Rodiyah (Anggota)
• Aswar Hasan (Anggota)
• Irsal Ambia (Anggota)
• Mimah Susanti (Anggota)
• Mohamad Reza (Anggota)
7. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Ketujuh (2022-2025) terdiri atas:

• Ubaidillah (Ketua KPI Pusat)


• Mohamad Reza (Wakil Ketua KPI Pusat)
• I Made Sunarsa (Koordinator Bidang Kelembagaan)
• Tulus Santoso (Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran)
• Aliyah (Anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran)
• Muhammad Hasrul Hasan (Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan
Sistem Penyiaran)
• Amin Shabana (Anggota Bidang Kelembagaan)
• Mimah Susanti (Anggota Bidang Kelembagaan)
• Evri Rizqi Monarshi (Anggota Bidang Kelembagaan)

Kritik dan kontroversi


Selama ini, cukup banyak pihak yang mengkritik KPI, karena
kinerjanya dianggap tidak maksimal dalam pengawasan penyiaran di
Indonesia. Menurut Remotivi, terdapat tiga masalah yang
menghantui KPI, yaitu kurang berhasil mengawasi konten penyiaran,
gagal menyusun Pedoman Perilaku dan Penyiaran Standar Program
Siaran (P3SPS) yang berpihak kepada publik, dan kurang gesit
menanggapi keluhan masyarakat.[10] Pada beberapa kasus, KPI
bertindak justru setelah banyak diperbincangkan (viral) atau menjadi
polemik di dunia maya.[11] KPI juga dinilai banyak diintervensi
kepentingan politik-ekonomi dan banyak anggotanya yang kurang
kompeten.[12] Ada yang berpendapat, KPI kini kehilangan arah
utamanya yang digariskan undang-undang dengan lebih banyak
mengeluarkan kontroversi di masyarakat.[13]

Pada awal kemunculnya, KPI memang dimaksudkan memiliki


wewenang yang besar, khususnya dalam kontrol atas industri
penyiaran dengan kewenangannya yang kuat di bidang perizinan,
kepemilikan, teknik dan persyaratan, dll bersama pemerintah.
Namun, hasil gugatan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi pada
2004 lalu memangkas kebanyakan klausul mengenai wewenang
tersebut, dengan menyerahkannya secara penuh ke
pemerintah.[2] KPI kini tercatat hanya bisa memberikan sanksi
administratif yang tidak bergigi, khususnya ketika menghadapi
penyimpangan yang dilakukan industri penyiaran. [14][15]

Dipangkasnya kewenangan di bidang-bidang tersebut juga membuat


posisi KPI hanya sebagai "pengawas isi siaran" acara-acara di
televisi yang sayangnya tidak efektif.[16] Aspek yang lebih
dikedepankan selama ini dalam pengawasan siaran tersebut adalah
"moralitas", yang sayangnya tidak jelas (abstrak) dan cenderung
bersifat klise semata; hal ini membuat publik saat ini banyak yang
memandang KPI dengan kacamata yang negatif. Misalnya, ketika
sibuk menegakkan aspek seperti larangan "pria berpenampilan
kewanitaan", menertibkan 42 lagu yang dianggap berbahasa kasar,
dan lainnya, KPI justru sempat tersandung kasus pelecehan
seksual di institusinya dan membiarkan saat pelaku pelecehan
seksual artis Saiful Jamil ditampilkan di layar
televisi.[17][11] Lembaga ini juga dianggap tebang-pilih ketika
melakukan sensor, seperti pernah memberi sanksi pada
program SpongeBob SquarePants namun nampak "masa bodoh"
akan sinetron di Indonesia yang selama ini dirasa tidak
mendidik.[18] KPI pun kemudian juga banyak digunjingkan pada hal
yang sebenarnya bukan kewenangannya, seperti dianggap ada di
belakang sensor dan blur yang berlebihan (khususnya di acara serial
animasi dan beberapa acara seperti lomba renang maupun film
asing).

Anda mungkin juga menyukai