Komisi Penyiaran Indonesia
Komisi Penyiaran Indonesia
Komisi Penyiaran Indonesia
di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas
Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi
Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran
Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas.
Latar belakang
Sebelum rencana pembentukan BP3N dan KPI, tercatat pengawasan penyiaran di Indonesia
dilakukan oleh Departemen Penerangan (Deppen) dan lembaga turunannya. Terdapat beberapa
lembaga yang tercatat pernah dibentuk oleh Deppen, seperti Dewan Penyantun Siaran Nasional
(1975) dan Dewan Siaran Nasional (Mei 1980) yang keduanya bertugas memberikan masukan
terhadap penyelenggaraan siaran radio dan televisi dan anggotanya terdiri dari berbagai sektor di
masyarakat.[3][4][5] Pada awal kelahiran televisi swasta, sempat hadir juga Komisi Siaran
(Daerah), di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang bertugas mengawasi siaran masing-masing
dari RCTI Bandung dan SCTV Surabaya agar sesuai prinsip lokal,[6][7] maupun komisi siaran
kerjasama antara RCTI dan TVRI di tahun-tahun pertama ketika televisi swasta pertama tersebut
bersiaran.[8][9]
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan KPI.
Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola
oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan
kekuasaan. Hal ini berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya,
yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara
yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa
penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk
semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama
ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka
penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi
kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi
pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai
dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat
adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002
yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip
keberagaman kepemilikan).
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.
Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya
informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program.
Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa
yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja.
Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam
dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir
dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai
kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat
otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental
dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia, di mana pada intinya adalah semangat untuk
melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU
ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini
merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent
regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan
adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik
harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun
kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu di mana pengelolaan sistem penyiaran masih
berada ditangan pemerintah (pada masa rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis
tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan
kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk
mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tetapi juga
digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elitpenguasa
dan pengusaha.
Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap
lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus
memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah
tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti
yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat
lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya
masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah
informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan
lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit
keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara
lebih maksimal.
Struktur kelembagaan
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, KPI terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat
provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan
KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi.
Anggaran untuk program kerja KPI Pusat dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan KPI Daerah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing
provinsi. Masa jabatan setiap periode komisioner adalah 3 (tiga) tahun dengan batasan 2 (dua)
kali masa jabatan berturut-turut maupun tidak berturut-turut pada setiap tingkatan komisi dan
daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya
terdiri dari staf pegawai negeri sipil (PNS) serta staf profesional non-PNS.
Daftar komisioner