Makalah Ilmu Tauhid Kelompok 10
Makalah Ilmu Tauhid Kelompok 10
Makalah Ilmu Tauhid Kelompok 10
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
Harta antara amanah ilahiyyah dan kesenangan dunia.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sumber dan kitab-kitab hadis. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari
apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa harta (mal) merupakan salah satu kebutuhan
primer (al-daruriyat) hidup manusia. Dalam ragam pembahasan ilmu pengetahuan
sebut saja ilmu ekonomi dan juga psikologi, dijelaskan bahwa kebutuhan primer
manusia itu terdiri dari pangan, sandang dan papan.
Parahnya, harta yang pada mulanya disadari menjadi bagian dari kekuasaan yang
maha agung, telah dilepaskan dari simpul tauhidnya. Harta dipandang tidak lagi
bersentuhan dengan sang pemilik yang hakiki. Harta hanya urusan dengan sang
pemilik baru sebenarnya nisbi- manusia.
Dalam konteks inilah menelusuri hakikat harta dan kaitannya dengan teologi
menjadi niscaya.Pembahasan pada bab ini nakan difokuskan pada kajian konsep-
konsep harta dalam Al-Qur’an, urgensinya dalam kehidupan manusia serta pedoman
dan aturan-aturan yang berkaitan dengan harta. Pembahasan tentang jenis-jenis harta
yang halal dan haram baik dari sisi zat ataupun cara memperolehnya menjadi penting
untuk dipaparkan dalam bab ini.
PEMBAHASAN
Harta yang dalam bahasa arab disebut mal terambil dari kata kerja mala-yamulu-
maulan yang berarti mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Dari pengertian
semantic ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta bila dapat dikumpulkan untuk
dimiliki baik bagi kepentingan individu, keluarga maupun masyarakat.[1]
Secara terminologis kata mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki, yaitu
harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi mendefenisikan harta
sebagai sesuatu benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan
jasmani dan rohani atau kebutuhan hidup.[2]
Kata mal dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah,
satu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surah-surah al-Qur’an. Jumlah
ini belum termasuk kata-kata yang semakna dengan mal seperti rizq, mata’, qintar
dan kanz (pebendaharaan).
Urgensi harta di dalam islam tidak saja terlihat dari banyaknya ayat-ayat yang
berbicara tentang harta tapi juga berkenaan dengan aturan-aturan yang mengirinya.
Aturan-aturan itu sendiri, baik dalam tataran produksi juga konsumsinya bertujuan
agar kehidupan manusia dapat terpelihara. Apa yang dilakukan terhadap harta, tidak
akan membawa kerusakan didalam kehidupannya, pribadi, keluarga ataupun
masyarakat.
Menurut penelitian Yahya Bin Josoh M. dalam disertasinya yang berjudul konsep mal
dalam al-Qur’an mencakup hal-hal dibawah ini:
a) Harta adalah milik Allah, karena segala sumber daya alam dari langit dan
bumi, disediakan oleh Allah Maha Pencipta yang mengaturnya untuk patuh
terhadap sunnatullah, agar dapat diproduksi dengan usaha mengeksplorasi
sumber daya alamusaha perdagangan dan pemberian harta dari orang lain
dengan jalan yang telah ditentukan oleh aturan islam.
b) Pengumpulan harta dapat dilakukan dengan usaha mengeksporasi sumber
daya alam usaha perdagangan dan pemberian harta dari orang lain dengan
jalan yang telah di tentukan oleh aturan islam.
c) Pemilikan harta individu terletak dalam batas-batas kepentingan anggota
masyarakat, karena pada harta yang dikumpulkan oleh individu terdapat
hak-hak orang lain.
d) Kebebsan mengumpulkan dan memanfaatkan harta adalah pada barang-
barang yang halal dan baik dan tidak melanggar batas-batas ketentuan
Allah.
e) Harta harus dimanfaatkan untuk fungsi social dengan prioritas awal dimulai
dari individu, anggota keluarga dan masyarakat.
f) Pemanfaatan harta haruslah berpegang pada prinsip kesederhanaan, dalam
arti tidak sampai pada batas menghamburkan harta kepada hal-hal yang
tidak penting dan mubazir, dan tidak pula sampai pada batas-batas kekikiran
yan g mengakibatkan terjadinya penimbunan harta.
g) Harta dapat dikembangkan dengan usaha-usaha yang telah ditentukan syara’
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h) Harta disisi Allah tidak aka nada manfaatnya, apabila kewajiban mentaati
perintah Allah dilalaikan, karena harta hanyalah sekedar sarana untuk
mendekatkan diri dan mencapai keridhaannya di dunia dan akhirat.
Perspektif dan pandangan islam terhadap harta, bahwa harta itu sendiri sebenarnya
bukanlah tujuan, akan tetapi hanya sebatas sebagai sarana. Juga, harta bukan untuk
ditimbun dan di tumpuk, pandangan dan perspektif ini merupakan “hantaman” islam
pertama untuk meruntuhkan kapitalisme yang zalim.
Hak kepemilikan personal menurut pandangan dan penilaian islam memiliki dua sifat
ganda, yaitu sifat individual dan sifat komunal pada waktu yang sama.
Adapun sifat individual, pada dasarnya hak bukanlah sebuah fungsi, akan tetapi suatu
kekhususan dan keistimewaan yang memberikan kepada pemiliknya suatu hak
memanfaatkan dan menggunakan hasil-hasil miliknya serta hak mentasharufkannya.
Adapun sifat komunal, hal itu tampak jelas terlihat pada pembatasan terhadap hak
kepemilikan pribadi dengan batasan tidak boleh dijadikan sebagai sarana atau jalan
untuk menimbulkan kemudharatan bagi orang lain.
Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah menegaskan harta dapat menjadi alat
yang ampuh untuk mendekatkan diri padanya melalui apa yang disebut al-qur’an
dengan jihad. Didalam al-Qur’an surah al-anfal/8:72 Allah berfirman :
Artinya: sesungguhnya mereka orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah
Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat, infaq, sadaqah, memanfaatkan harta untuk
kepentingan sosial dan bentuk-bentuk lainnya, selama dilakukan semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya
itu dipandang ibadah.
Sebaliknya pemanfaatan harta secara negative yang disbut al-Quran dengan menikuti
jalan syetan (Q.S.al-Isra’/17:64) seperti manfkahkan harta disertai sifat_sifat riya,
(Q.S.al-nisa’/4:38), kikir (Q.S.al-lail/92:8-11), berbangga-bangga dengan harta
(Q.S.al-hadid/57:20), menghambur-hamburkannya, tidak saja menjauhkannya dari
jalan Allah, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan bagi individu dan masyarakat.
Al-Qur’an menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan tidak mengikuti ajaran
Allah hanya akan merugikan, karena pemiliknya akan di azab di akhirat (Q.S.al-
taubah/9:69).
Al-Qur’an memberikan arahan agar harta dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh
manusia untuk kebahagiaan kehidupannya didunia dan diakhirat. Isyarat ini
ditemukan pada Q.S Ali-Imran /3:14.
Artinya: dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Setelah terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan keluarga dan kepentingan social, terlebih lagi orang-orang yang sedang
berada dalam kesulitan. Perintah ini ditemukan pada Q.S.al-isra’/17:26
Artinya: dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan harta.
Cukup menarik bahwa harta dalam islam ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
bagi diri sendiri, anggota keluarga yang menjadi tanggungan, dan anggota masyarakat
keseluruhannya. Harta dapat dibelanjakan atau digunakan untuk keperluan atau
diinvestasikan untuk pengembangan harta, atau disimpan saja untuk kegunaan masa
mendatang. Namun kebebasan pemanfaatan harta ini dibatasi untuk sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, yaitu jalan-jalan yang tidak melanggar ketentuan Allah dan
tidak untuk perkara-perkara haram yang mengakibatkan kerusakan akhlak dan
lingkungan sosial.
Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan kebaikan (ibadah),
menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah pada diri sendiri, anggota
keluarga, dan mampu memberikan harta pada fakir miskin, anak yatim, muallaf,
musafir, orang yang tertindas, tawanan dan orang-orang yang sedang berjuang pada
jalan Allah.
Ditinjau dari kacamata hukum islam, harta itu ada yang bendanya (a’in) halal (boleh
dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram (dilarang
mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memprodukinya). Diantara dua kategori
terebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya). Ini
adalah kategori abu-abu. Perlu kehati-hatian memasuki wilayah syubhat. Bias-bisa
terjerumus ke dalam perbuatan yang haram. Rasul dalam satu hadisnya pernah
mengingatkan, “orang yang bermain-main pada wilayah syubhat tak obahnya seorang
penggembala kambing yang membawa kambingnya dan menggembalakannya di
pinggir jurang”. Tentu saja peluangnya untuk jatuh semakin besar.
Dalam wilayah bisnis kategori islam halal dan haram ini juga berrlaku. Rafiq Isa
Beekun menyebutnya dengan halal and haram business areas.[4]
Dari sisi mendapatkannya atau memperolehnya demikian juga ada yang halal, haram
dan syubhat.
Artinya: diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekek, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan
bagimu menyembelih untuk berhala…
Artinya: wahai mausia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat
dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena
sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu.
Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam
menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan
agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya.
Merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan paling tidak tiga cara pengumpulan harta.
Pertama, lewat eksplorasi sumber daya alam. Kedua, lewat usaha perdagangan.
Ketiga, lewat pemberian orang lain.[5]
Eksplorasi sumber daya alam adalah produksi yang memungut langsung hasil bahan-
bahan alamiah yang ada dipermukaan dan di perut bumi.
Berkaitan dengan eksplorasi sumber daya alam, al-Qur’an mengisyaratkan tiga hal.
Pertama, melalui pertanian (Q.S al-kahfi/18:34,39). Pertanian adalah segala sesuatu
yang bertalian dengan tanaman-tanaman atau produksi pertumbuhan tanaman. Kedua,
melalui peternakan (Q.S ‘abasa/80:25-32, Q.S al-nazia’at/79:29-33). Ketiga, adalah
pertambangan.
Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an, topik ini diungkap dengan kata
tijarah (perdagangan) yang berarti menebarkan modal untuk mendapatkan
keuntungan. Perdagangan yang disebut dengan kata tijarah diungkap al-Qur’an
sebanyak 8 kali dan kata bai’un yang bermakna jual beli disebut sebanyak 6 kali.
Cara memperoleh harta yang ketiga adalah melalui pemberian orang lain. Ada isyarat
dari al-Qur’an, pemberian harta dari orang lain dengan jalan-jalan yang dibenarkan
syari’at merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Beberapa ayat al-
Qur’an menunjukkan bahwa sebenarnya pada harta yang dimiliki seseorang terdapat
hak orang lain yang harus segera ditunaikan. Dalam surah al-Ma’arij/70:24 Allah
berfirman:
Artinya: pada harta mereka tersebut ada hak orang lain yang harus ditunaikan.
Pada surah al-zariyat/51:19 yang Artinya: dan pada harta mereka ada hak orang yang
meminta-minta dan orang-orang yang serba kekurangan.
Pemberian harta dari orang lain dapat berbentuk, zakat, sadaqah, infaq, ganimah,
jizyah, fai’, warisan dan sebagainya. Bukan berarti kebolehan untuk mengharapkan
belas kasihan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dibawah ini akan dikemukakan contoh-contoh harta yang haram ditinjau dari segi
memperolehnya berdasarkan informasi yang diberikan oleh al-Qur’an dan hadis.[6]
1.Harta Suap
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) menggunakan sebagai umpan
(untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan
harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui hal itu. (al-
Baqarah:188)
5. Harta Riba
Nabi melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya dan
para pencatatannya (HR.Ibnu Majah).
Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah
memberikan karena aku, lalu berkhianat, dan orang yang member barang
pilihan, lalu makan kelebihan harganya, serta orang yang mengontrak
pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaanya sedangkan
upahnya tidak dibayarkan.
Kedua, dalam tingkat tertentu, seseorang yang memiliki harta berlebih harus
menginfakkan hartanya melalui institusi zakat, infaq, sadaqah, waqaf dan
sebagainya.
Ketiga, seseorang yang memiliki harta harus dapat menjaga dan menjamin
bahwa harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi
orang lain.
Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya dari
segala kerusakan. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling
menolong apakah melalui institusi sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai
menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan bukan hak milik
dari seseorang kepada yang menyewa atau yang meminjam, dan pada saat
itulah penyewa atau peminjam berkewajiban untuk memelihara harta
tersebut sebaik-baiknya.
.
.BAB III
KESIMPULAN
Harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat penting sehingga al-Qur’an
memandang perlu untuk memberikan aturan-aturan yang dapat dikatakan rinci.
Hikmahnya adalah agar manusia tidak terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan
baik pada pengumpulan harta ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kerugian pada individu maupun masyarakat.
Halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram (dilarang
mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memprodukinya) syubhat (tidak jelas
kehalalannya dan keharamannya).
Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam
menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan
agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya.
[1] Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis al-lugat,(Beirut: dar al-Fikr,t.t),juz
v,h.285
[3] Yahaya Bin Jusoh. Konsep Mal Dalam al-Qur’an Disertasi, Program Pascasarjana
IAIN.Jakarta,1997,h.90-91
[4] Rafiq Isa Beekun, Islamic Businees Ethic, Virginia: The Internasional Institut Of
Islamic Thought, 1981.h.31
[6] Lihat, M.ismail Yusanto dan M. karebet widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam,
Jakarta,h.107-113