Dokumen tersebut membahas perbedaan antara qawaa'id fiqhiyyah, dhawaabit fiqhiyyah, dan qawaa'id ushuliyyah. Qawaa'id fiqhiyyah lebih umum dari dhawaabit fiqhiyyah karena ruang lingkupnya mencakup seluruh bab fikih. Sedangkan dhawaabit fiqhiyyah hanya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Qawaa'id ushuliyyah berfungsi sebagai pedoman pen
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas perbedaan antara qawaa'id fiqhiyyah, dhawaabit fiqhiyyah, dan qawaa'id ushuliyyah. Qawaa'id fiqhiyyah lebih umum dari dhawaabit fiqhiyyah karena ruang lingkupnya mencakup seluruh bab fikih. Sedangkan dhawaabit fiqhiyyah hanya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Qawaa'id ushuliyyah berfungsi sebagai pedoman pen
Dokumen tersebut membahas perbedaan antara qawaa'id fiqhiyyah, dhawaabit fiqhiyyah, dan qawaa'id ushuliyyah. Qawaa'id fiqhiyyah lebih umum dari dhawaabit fiqhiyyah karena ruang lingkupnya mencakup seluruh bab fikih. Sedangkan dhawaabit fiqhiyyah hanya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Qawaa'id ushuliyyah berfungsi sebagai pedoman pen
Dokumen tersebut membahas perbedaan antara qawaa'id fiqhiyyah, dhawaabit fiqhiyyah, dan qawaa'id ushuliyyah. Qawaa'id fiqhiyyah lebih umum dari dhawaabit fiqhiyyah karena ruang lingkupnya mencakup seluruh bab fikih. Sedangkan dhawaabit fiqhiyyah hanya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Qawaa'id ushuliyyah berfungsi sebagai pedoman pen
A. Perbedaan Qawaa’id Fiqhiyyah dengan Dhawaabit Fiqhiyyah
Istilah qawaid fiqhiyyah dan dhawabith fiqhiyyah terkadang kurang
diperhatikan oleh para penyusun kitab qawaid fiqhiyyah, sehingga keduanya kadang-kadang bercampur baur. Abd al-Ghani al-Nabusi (w. 1143 H) berpendapat bahwa qaidah sama dengan dhabith, karena secara realita bahwa para ulama terkadang suka menyebut qaidah atau semakna dengannya terhadap dhabith. Selain karena perbedaan antara keduanya sangat tipis. Orang yang pertama mengkaji dan meneliti masalah dhawabith fiqhiyyah yaitu Abu al-Hasan Ali bin Husein al-Sughdy (w. 461 H).dengan kitabnya berjudul al- Naftu fi al Fatawa yang di antara isinya menerangkan tentang dhawabith. Begitu pula Ibnu Nujaim menyusun sebuah kitab yang berjudul al-Fawaid al- Zainiyyah fi al fiqh al-Hanafiyyah berisi tentang lima ratus dhawabith, meskipun masih bercampur baur dengan qawaid fiqhiyyah. Al-Subky dalam kitabnya Asybah wa al Nazhair menyebut qaidah kullyyah sedangkan dhawabith disebut dengan istilah qawaid khashshah. Ibnu Nujaim membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan dhawabith fiqhiyyah. Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun beberapa furu' (cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan ashal. Menurut As-Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa sekarang istilah qaidah dan dhabith telah menjadi populer di kalangan para ulama, sehingga mereka membedakan ruang lingkup keduanya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa qawa'id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawa'id fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fikih, tetapi kesemua masalah yang terdapat pada semua bab fikih. Sedang dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena qaidah fiqhiyyah disebut qaidah 'ammah, atau kulliyah dan dhabith fiqh disebut qa'idah khashshah. Contohnya kaidahnya antara lain: ” Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan.” Kaidah tersebut dinamakan qa’idah fiqhiyyah, bukan dhawabith fiqhiyyah, karena kaidah ini masuk pada semua bab fikih, dalam masalah ibadah, muamalah dan lainnya. Sedangkan kaidah : “ Apa yang boleh menyewakannya, maka boleh pula meminjamkannya.” Kaidah tersebut dinamakan dhawabith fiqhiyyah, karena hanya terbatas pada rukun transaksi (muamalah) dan dalam bab pinjaman, atau pinjam meminjam. “Apabila bertemu yang halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah yang haram”. Kaidah tersebut dikategorikan sebagai qaidah fiqhiyyah, karena kaidah ini masuk pada semua bab fikih, ibadat, muamalah, atau yang lainnya. Sedangkan kaidah: “Apa yang tidak boleh menjadi objek jual-beli salam, tidak boleh menjadi qardh (hutang-piutang).” Kaidah tersebut dinamakan dhawabith fiqhiyyah karena hanya terbatas pada syarat transaksi (muamalah) dan dalam bab hutang piutang. B. Perbedaan Qawaa’id Fiqhiyyah dengan Qawaa’id Ushuliyyah
Syihab al-Din al-Qarafi adalah ulama yang pertama kali membedakan
antara qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariat yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui pokok (ushul) dan cabang (furu’). Adapun pokok dari syariat tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat qaidah istinbath hukum yang diambil dari lafazh-lafazh berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafazh bahasa Arab itu qaidah adalah tentang kehendak lafazh amr untuk menunjukkan wajib dan kehendak lafazh nahy untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kully (umum). Jumlah qaidah tersebut cukup banyak dan lapangan yang luas, mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap qaidah diambil dari furu’ (cabang) yang terdapat dalam syariat dan tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perincian. Athiyyah Adlan membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah. Adapun Qawaid ushuliyyah merupakan dalil-dalil umum. Sedangkan qawaid fiqhiyyah merupakan hukum-hukum khusus. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbathkan hukum dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah qaidah untuk mengetahui hukum-hukum, memeliharanya dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun masalah- masalah yang berserakan dan mengoleksi makna-maknanya. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, di dalam buku Ade Dedi Rohayana, perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah adalah sebagai berikut: 1. Ilmu ushul fiqh merupakan parameter (tolok ukur) cara beristinbath fiqh yang benar, kedudukan ilmu ushul fiqh (dalam fiqh) ibarat kedudukan ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan penulisan. Qawa’id ushuliyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawa’id ushuliyyah adalah mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci). 2. Qawa’id ushuliyyah merupakan qawa’id kulliyah yang dapat diaplikasikan pada seluruh juz’i dan ruang lingkupnya. Ini berbeda dengan qawa’id fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada sebagian besar juz’inya, karena ada pengecualiannya; 3. Qawa’id ushuliyyah merupakan zari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum syara’ amali. Qawa’id fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hokum- hukum serupa yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya. 4. Eksistensi qawa’id fiqhiyyah baik dalam opini maupun realitas lahir setelah furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan mengoleksi makna-maknanya. Adapun ushul fiqh dalam opini dituntut eksistensinya sebelum eksisnya furu’, karena akan menjadi dasar seorang faqih dalam menetapkan hokum. Posisinya seperti Al-Qur’an terhadap Sunnah dan nash Al-Qur’an lebih kuat dari zhahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’ tidak dapat dijadikan alasan bahwa furu’ itu lahir lebih dahulu, furu’ sebagai inspiratory lahirnya ushul fiqh. Posisinya seperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman terhadap benih. 5. Qawa’id fiqhiyyah sama dengan ushul fiqh dari satu sisi dan berbeda dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduanya sama-sama mempunyai kaidah yang mencakup berbagai juz’I, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam- macam dalil tafshili yang dapat mengeluarkan hukum syara’, kalau kaidah fikih adalah masalah-masalah yang mengandung hukum-hukum fikih saja.
KESIMPULAN
Al-Qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) adalah dasar-dasar atau
asas- asas yang bertalian/berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Al- Qawa’id al-fiqhiyyah secara terminology adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hokum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash. Qawa’id ushuliyyah merupakan cabang keilmuan islam, yang dilahirkan untuk digunakan oleh mujtahid dalam menggali dan mengistinbathkan hukum dari dalil- dalil yang global untuk mengeluarkan hukum syara’ amali. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya. Qawa’id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawa’id fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fikih, tetapi kesemua masalah yang terdapat pada semua bab fikih. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena itu qaidah fiqhiyyah disebut qa’idah ‘ammah, atau kulliyah dan dhabith fiqh disebut qa’idah khashshah.