Arti

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 103

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN

KONSUMEN PRODUK KOSMETIK YANG TIDAK


TERDAFTAR BPOM

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum
(S.H.)Prodi Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan
Jurusan Peradilan pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar

Oleh:

ARTI
NIM: 10100114044

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2018

i
ii
iii
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Assalamu Alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt atas
segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terucap untuk Nabiullah
Muhammad saw. Yang telah membawa kebenaran hingga hari akhir.
Keberadaan skripsi ini bukan sekedar persyaratan formal bagi mahasiswa
untuk mendapat gelar sarjana tetapi lebih dari itu merupakan wadah
pengembangan ilmu yang didapat dibangku kuliah dan merupakan kegiatan
penelitian sebagai unsur Tri Darma Perguruan Tinggi. Dalam mewujudkan ini,
penulis memilih judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan
Konsumen Produk Kosmetik yang Tidak Terdaftar BPOM”.
Kehadiran skripsi ini dapat memberi informasi dan dijadikan referensi
terhadap pihak-pihak yang menaruh minat pada masalah ini. Penulis menyadari
bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan
partisipasi semua pihak, baik dalam sugesti dan motivasi moril maupun materil.
Karena itu penyusun berkewajiban untuk menyampaikan ucapan teristimewa dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada keluarga tercinta khususnya kepada kedua
orang tua penyusun Ibunda tersayang Sunang yang selalu membantu dan
menyemangati saya melalui pesan-pesan dan kasih sayang yang luar biasa dari
beliau dan kepada Ayahanda Muh. Tahir.
Secara berturut-turut penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, M. Si. Selaku Rektor UIN
Alauddin Makassar. Serta para Pembantu Rektor beserta seluruh staf dan
karyawanya.
2. Bapak Prof. Dr. Darussalam, M.Ag, sebagai dekan Fakultas Syariah dan
Hukum beserta seluruh stafnya atas segala pelayanan yang diberikan
kepada penulis

iv
3. Bapak Dr. H. Supardin, M.H.I. selaku Ketua Jurusan dan Ibu Dr. Hj.
Patimah, M.Ag. selaku sekretaris Peradilan Agama serta stafnya atas izin,
pelayanan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. Ibu Drs. Hj. Hartini, M.H.I. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Hj.
Patimah, M.Ag. selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
bimbingan, nasehat, saran dan mengarahkan penulis dalam perampungan
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Hadi Daeng Mappuna, M.Ag. selaku Penguji I dan Bapak
Dr. Abd. Wahid Haddade, Lc, M.H.I. selaku Penguji II yang telah siap
memberikan nasehat, saran dan perbaikan daam perampungan penulisan
skripsi ini.
6. Para Bapak/Ibu dosen serta seluruh karyawan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan pelayanan yang
berguna dalam penyelesaian studi pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar.
7. Kepala perpustakaan UIN Alauddin Makassar beserta stafnya yang telah
melayani dan menyediakan referensi yang dibutuhkan selama dalam
penulisan skripsi ini.
8. Sahabat KKN UIN Alauddin Makassar Angkatan 57 dari Desa Swatani,
Kec. Rilau Ale, Kab. Bulukumba, sukses untuk kita semua kawan.
9. Saudaraku tercinta, Kakak Amal S.Sos

10. Sahabat-sahabatku Endah, Waldi, Fadel, Fitri, Mirna, Ega, Hani, Dila,

Tina, Anca, Rido, Niyo, Eka.

11. Segenap keluarga besar Pondok Malino yang telah menjadi tempat
kediaman selama proses penyusunan skripsi ini berlangsung
12. Seluruh mahasiswa jurusan Peradilan Agama angkatan 2014 yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu yang setiap saat mewarnai hidupku
dalam suka dan duka.

v
Upaya maksimal telah dilakukan dalam menyusun skripsi ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin
yaarabbalalamin.
Billahi taufik wal hidayah
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Makassar, 25 Maret 2018


Penyusun,

Arti
NIM: 10100114044

vi
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................. i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. ii

PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................................iii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi

PEDOMAN LITERASI ..................................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................I-9

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................... 3

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ............................ 4

D. Kajian Pustaka................................................................. 5

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................... 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS ...............................................................10-31

A. Hukum Perlindungan Konsumen .................................. 10

B. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan

Konsumen ..................................................................... 13

C. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen dalam

Hukum Islam ................................................................. 27

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................... 32-36

A. Jenis dan Lokasi penelitian ........................................... 32

B. Pendekatan Penelitian ................................................... 33

vii
C. Sumber Data .................................................................. 33

D. Metode Pengumpulan Data ........................................... 34

E. Instrument Penelitian .................................................... 35

F. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data ......................... 35

G. Pengujian Keabsahan Data ............................................ 35

BAB IV HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ......................... 37-74

A. Gambaran Umum BPOM Kota Makassar .................... 37

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap

Peredaran Kosmetik yang Tidak Terdaftar BPOM

Menurut Hukum Islam dan UU No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen ................................ 46

C. Faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM ........................... 64

D. Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen

Produk Kosmetuk yang Tidak Terdaftar BPOM .......... 66

E. Analisis ......................................................................... 72

BAB V PENUTUP ................................................................................ 75-76

A. Kesimpulan ................................................................... 75

B. Implikasi ....................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN
SINGKATAN
A. Transliterasi Arab –Latin
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada tabel berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ ṡa ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ ḥa ḥ ha (dengan titik bawah)
‫خ‬ Kha kh ka dan ha
‫د‬ Dal d De
‫ذ‬ Żal Ż Zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ Ra R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin sy es dan ye
‫ص‬ ṣad ṣ es (dengan titik bawah)
‫ض‬ ḍad ḍ de (dengan titik bawah)
‫ط‬ ṭa ṭ te (dengan titik bawah)
‫ظ‬ ẓa ẓ zet (dengan titik bawah)
‫ع‬ ‘ain ‘ apostrof terbalik
‫غ‬ Gain G Ge
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Qi
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L El
‫م‬ Mim m Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wau w We
‫ھ‬ Ha H Ha
‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof
‫ى‬ Ya Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa


diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’).

2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

ix
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ا‬ fatḥah A A
‫ا‬ Kasrah I I
‫ا‬ ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan


antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ۍ‬ fatḥah dan yā’ Ai a dan i
‫ىو‬ fatḥah dan wau au i dan u

Contoh:
‫ ﻛﻳﻒ‬: kaifa
‫ ھو ڶ‬: haula

3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda yaitu:
Harakat Huruf dan
Nama Nama
dan Huruf Tanda
‫ ی‬... | ‫ا‬
fatḥah dan alif atau yā’ ā a dan garis di atas

‫ﻲ‬ kasrah dan yā’ ī i dan garis di atas
‫ىو‬ ḍammah dan wau ū u dan garis di atas

Contoh :
َ‫َمات‬ : māta
‫َر َمى‬ : ramā
‫ِق ْى َل‬ : qīla
‫ت‬ ُ ْ‫يَ ُمو‬ : yamūtu

4. Tā’ marbūṭah

Transliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua, yaitu: tā’ marbūṭah yang
hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya
adalah [t]. Sedangkan tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat
sukun, transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpiah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh:

x
‫روضة اْلطفال‬ : rauḍah al-atfāl
‫المدﻳنةالفاضلة‬ : al-madīnah al-fāḍilah
‫الحكمة‬ : al-ḥikmah

5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd (ّ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi syaddah.
Contoh:
‫ربَّنا‬ : rabbanā
‫ن َّجينا‬ : najjainā
‫الحق‬ : al-ḥaqq
‫نعم‬ : nu’’ima
‫عدو‬ :‘aduwwun
Jika huruf ‫ ى‬ber- tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (‫)ىى‬, maka ditransliterasikan dengan huruf maddah menjadi ī.
Contoh:
‫على‬ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly) :
‫عربى‬ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan ‫( ال‬alif
lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf
qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya yang
dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contoh:
‫ال َّشمس‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)
‫لزلزلة‬ َّ ‫ا‬ : al-zalzalah (bukan az-zalzlah)
‫البَلد‬ : al-bilādu

7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila
hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif.
Contoh:
‫تأمرون‬ : ta’murūna
‫شﻲء‬ : Syai’un
‫أمرت‬ : umirtu
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

xi
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-
Qur’ān), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut
menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi
secara utuh, contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur’ān
Al-Sunnah qabl al-tadwīn

9. Lafẓ al-Jalālah (‫)هللا‬


Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal),
ditransliterasi tanpa huruf hamzah.
Contoh:
‫ دﻳن هللا‬dīnullāh ‫با لل‬ billāh
Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ
al-jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh:
‫ھم فﻲ رحمة هللا‬ Hum fī raḥmatillāh
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi lallażī bi Bakkata Mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān
Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī

xii
Abū Nasr al-Farābī
Al-Gazālī
Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan
Abū (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama
terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau
daftar referensi. Contoh:

Abū al-Walīd Muhammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abū al-
Walīd Muhammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd Muhammad Ibnu)

Naṣr Ḥāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi Abū Zaīd, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd,
Naṣr Ḥāmid Abū)
B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:


swt. = Subhanahu wa Ta’āla
saw. = shallallāhu ‘alaihi wasallam
a.s. = ‘alaihi al-salām
H = Hijriyah
M = Masehi
SM = Sebelum Masehi
l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)
w. = Wafat tahun
QS…/…:4 = QS al-Baqarah/2:4
HR = Hadis Riwayat
t.p. = Tanpa penerbit
t.t. = Tanpa tempat
t.th. = Tanpa tahun
h. = Halaman

xiii
ABSTRAK

Nama : Arti
Nim : 10100114044
Judul :Tinjaun Hukum Islam Terhadap Perlindungan Konsumen Produk
Kosmetik Yang Tidak Terdaftar BPOM

Skripsi ini berjudul “Tinjaun Hukum Islam Terhadap Perlindungan


Konsumen Produk Kosmetik Yang Tidak Terdaftar BPOM. Dimana dalam
skripsi ini terdapat 3 (tiga) sub masalah yakni (1) Bagaimana bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik yang tidak terdaftar BPOM
dalam Hukum Islam dan UUPK?, (2) Apa faktor yang menyebabkan terjadinya
peredaran kosmetik yang tidak terdaftar BPOM?, (3) Bagaimana upaya
pemerintah dalam melindungi konsumen produk kosmetik yang tidak terdaftar
BPOM. Untuk menyelesaiakan sub masalah tersebut, maka digunakan metode
pengumpulan data yang bersumber dari studi dokumen, wawancara dan observasi.
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dianalisa secara kualitatif yaitu
suatu cara penelitian yang yang dilakukan guna mencari kebenaran kualitatif
yakni merupakan data yang tidak berbentuk angka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap produk kosmetik tidak terdaftar pada BPOM dalam Hukum
Islam dan UUPK yaitu dalam Hukum Islam pelaku usaha/produsen harus
bertanggung jawab atas perbuatannya dan ganti rugi; ganti rugi karena perusakan
(Dhaman Itlaf), ganti rugi karena transaksi (Dhaman’Aqdin), ganti rugi karena
perbuatan (Dhaman Wadh’u Yadin), ganti rugi karena penahanan (Dhaman al-
Hailulah), ganti rugi karena tipu daya (Dhaman al-Magrur) dan pemerintah
mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan terkait perlindungan konsumen.
namun, konsumen belum terlindungi karena pemerintah belum bisa menghentikan
kosmetik tersebut beredar. (2) Faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran
kosmetik yaitu: produk kosmetik tersebut beredar karena adanya faktor ekonomi,
mahalnya syarat pendaftaran, tingginya permintaan pasar, kurangnya pengetahuan
masyarakat, kurang tegasnya sanksi, dan faktor kurangnya pengawasan. (3) Upaya
pemerintah dalam melindungi konsumen yaitu melakukan program pemberdayaan
masyarakat /produsen, meningkatkan pengawasan, dan penjatuhan sanksi.
Implikasi dari penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada pelaku usaha
agar dalam melaksanakan kegiatan usahanya haruslah mematuhi segala peraturan
dan prosedur yang berlaku. (2) Kepada konsumen agar lebih teliti dalam memilih
produk, serta memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai konsumen. (3)
Kepada BBPOM agar dalam melakukan pengawasan BBPOM tidak hanya
mengawasi penjual kosmetik saja tetapi BBPOM juga melakukan pengawasan
pada distributor.

xiv
1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perekonomian yang pesat, telah menghasilkan beragam

jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan teknologi dan informasi,

perluasan ruang, gerak dan arus transaksi barang dan/atau jasa telah melintasi

batas-batas wilayah negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai

pilihan jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif.

Islam mengatur jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam

kegiatan bisnis, Al-qur’an menjelaskan hak dan batil tidak boleh dicampur, jika

ada suatu keraguan dalam menentukan suatu pilihan dianjurkan untuk

meninggalkan. Seperti halnya praktik bisnis yang diharamkan dalam islam dalam

bentuk penipuan produk barang dan/ atau jasa. Pada hakikatnya islam tidak

membiarkan suatu kegiatan distribusi dan produksi barang dan/atau jasa tidak

memberikan informasi tentang barang/atau jasa secara jujur dan transparan. 1

Kondisi seperti ini, pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena

kebutuhan terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi dengan

beragam pilihan. Namun pada sisi lain, fenomena tersebut menempatkan

kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak seimbang, di mana

konsumen berada pada posisi yang lemah. Karena konsumen menjadi objek

1
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat,
2011), h. 134.
2

aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang besarnya melalui kiat promosi dan

cara penjualan yang merugikan konsumen.2

Di era perdagangan bebas sekarang banyak kosmetik yang beredar di

pasaran dengan berbagai jenis merek. Sehingga keinginan wanita untuk terlihat

cantik di manfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan

memproduksi atau memperdagangan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan

untuk diedarkan kepada masyarakat. Kosmetik yang bermunculan di pasar seperti

bedak, lipstik, cream pemutih, mascara, eyew shadow, dan sebagainya. Dan di

imbangi juga dengan keperluan masyarakat akan kebutuhan kosmetik itu sendiri

semakin meningkat tetapi di lain pihak masih kurangnya pengetahuan masyarakat

tentang memilih kosmetik yang baik, tepat dan aman untuk digunakan dan masih

kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang kosmetik yang berbahaya tanpa izin

edar yang beredar di pasaran sehingga menyebabkan masih banyaknya

masyarakat yang di rugikan karena produk tersebut tidak memenuhi persyaratan

untuk diedarkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan perlindungan hukum bagi

konsumen untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang

telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun I999 tentang Perlindung

Konsumen (selanjutnya di sebut dengan UUPK), konsumen memiliki sejumlah

hak seperti yang termuat dalam Pasal 4, diantaranya hak konsumen atas

kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau

jasa. Sebaliknya pelaku usaha bertanggunng jawab memenuhi kewajibannya

2
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Cet. IX; Jakarta:
PT. RajaGrapindo Persada, 2015), h. 37.
3

dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa tersebut serta memberikan penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.3

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis menganggap

hak-hak konsumen perlu di lindungi terhadap produk kosmetik yang tidak

memenuhi persyaratan dan merugikan konsumen serta pelaku usaha lainnya.

Selain itu juga akan membahas peranan BPOM untuk mengawasi dan menindak

segala bentuk penyimpangan terhadap peredaran kosmetik yang tidak memenuhi

persyaratan, maka penulis tertarik menganalisis tentang bagaimana

“PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK KOSMETIK YANG

TIDAK TERDAFTAR BPOM”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis

merumuskan pokok permasalahan yaitu “Bagaimana perlindungan konsumen

terhadap produk kosmetik yang tidak terdaftar BPOM”, agar permasalahan yang

dibahas lebih fokus, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan beberapa sub

masalah yang sesuai dengan judul diatas, yaitu:

1. Bagaimana bentuk perlidungan hukum bagi konsumen terhadap produk

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM dalam hukum Islam dan UU No.8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

2. Apa faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM?

3
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
4

3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melindungi konsumen produk

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM?

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

a. Fokus Penelitian

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan

Konsumen Produk Kosmetik yang Tidak Terdaftar BPOM”. Peneliti akan

meninjau perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang

tidak terdaftar BPOM berdasarkan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan upaya pemerintah dalam

melindungi kepentingan konsumen produk kosmetik yang tidak terdaftar BPOM.

b. Deskripsi Fokus

1. Tinjaun adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk

memahami), pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari,

dan sebagainya).

2. Hukum Islam adalah Himpunan norma atau petunjuk yang bersumber

kepada wahyu Ilahi untuk mengatur system kepercayaan dan tingkah

laku konkret manusia dalam berbagai dimensi hubungan.

3. Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen

antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.


5

5. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain maupun makhluk hidup itu sendiri dan tidak untuk di

perdagangkan.

6. Kosmetik adalah sediaan ataupun bahan yang siap digunakan pada

bagian luar tubuh (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin

bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah

daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam

keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak dimaksud untuk

mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.

7. Pelaku usaha adalah orang atau badan hukum yang bertindak untuk

atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan

pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang/atau jasa

yang dimiliki /dikuasai.

8. BPOM adalah badan yang mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian mengenai

perlindungan konsumen terhadap penggunaan kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM. Namun sebelumnya sudah ada penulis yang melakukan penelitian

berkaitan dengan perlindungan konsumen terdapat ulasan-ulasan dalam penelitian

skripsi penulit terdahulu atas nama:


6

Pertama, Muhammad Yahya Muhayat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Alauddin Makassar. NIM : 10500108029, 2012. judul Skripsi : “Perlindungan

Terhadap Konsumen dari Peredaran Obat Tradisional Berbahaya Kimia/zat

Berbahaya Berdasarkan UU.No.8 Tahun 1999”. Penulis menganalisis mengenai

ketentuan hukum tentang perlindungan konsumen dan implementasi saksi

hukum.bagi pedagang, produsen, obat tradisional berbahaya kimia berbahaya di

kota Makassar.4

Kedua, Nur Muhammad Fauzan I, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. NIM :11370007, 2015. Judul Skripsi : “Peranan MUI

dalam Melindungi Konsumen Muslim dari Produk Haram”. Permasalahan yang

diangkat dalam peneliti yaitu membahas tentang peranan MUI dalam melindungi

konsumen muslim dari produk haram dan kebijakan LPPOM-MUI dalam

melindungi konsumen produk halal.5

Ketiga, Riza Laely Ikayanti, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan

Kaljaga Yogyakarta. NIM :10380024, 2014. Judul Skripsi : “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

Permasalahan yang diangkat dalam peneliti yaitu membahas tentang hak-hak

4
Muhammad Yahya Muhayat, “Perlindungan Terhadap Konsumen dari Peredaran Obat
Tradisional Berbahaya Kimia/zat Berbahaya Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999”, Skripsi
(Makassar: Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin, 2012), h. 10.
5
Nur Muhamad Fauzan I, “Peranan MUI dalam Melindungi Konsumen Muslim dari
Produk Haram” , Skripsi (Yogyakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015), h. 8.
7

konsumen dalam perundang-undangan Indonesia dan konvensi internasional, serta

dalam hukum islam.6

Keempat, Dalam buku Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, dalam

buku tersebut membahas Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif

Internasional, UUPK, dan Hukum Islam.7

Kelima, Solikhin, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. NIM :09360025, 2014. Judul Skripsi :”Perlindungan Hak-hak

Konsumen Transaksi Jual Beli Online Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

di Indonesia”. Permasalahan yang diangkat oleh peneliti yaitu konsep

perlindungan hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce menurut hukum

islam dan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU ITE.8

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang lainnya

adalah penelitian ini lebih menekankan pada perlindungan konsumen terhadap

produk kosmetik yang tidak terdaftar BPOM berdasarkan tinjauan Hukum Islam

dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

6
Riza Laely Ikayanti, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Konsumen dalam
Transaksi Elektronik” , Skripsi (Yogyakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), h. 7.
7
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), h. 47.
8
Solikhin, “Perlindungan Hak-hak Konsumen Transaksi Jual Beli Online Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia” , Skripsi (Yogyakarta: Fak Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga, 2014), h. 7.
8

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui bentuk perlidungan hukum bagi konsumen terhadap

peredaran kosmetik yang tidak terdaftar BPOM berdasarkan hukum

Islam dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999.

2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM.

3. Untuk mengetahui Bagaimana upaya pemerintah dalam melindungi

konsumen produk kosmetik yang tidak terdaftar pada BPOM.

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas, maka

diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan manfaat dari segi

teoritis maupun praktis:

1. Dari segi akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau

menambah pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum islam,

khususnya dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan bisnis yang

berhubungan dengan pelaku usaha dan konsumen. Bahwa perlindungan

hukum bagi konsumen sangat diperlukan karena terkait dengan hak-hak

konsumen.

2. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

pemahaman masyarakat tentang hukum islam terutama hak-hak

konsumen dalam kegiatan jual beli, serta memberikan kemudahan bagi

masyarakat dalam memilih produk kosmetik yang sesuai dengan


9

ketentuan perundang-undangan dan mengerti akan kecurangan yang

dilakukan oleh pelaku usaha dalam pemasaran suatu produk.


10

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-

kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah

penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya,

dalam kehidupan bermasyarakat. Tegasnya, hukum perlindungan konsumen

merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan, baik undang-undang

maupun maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan

hakim yang subtasinya mengatur mengenai kepentingan konsumen. 9

Perlindungan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya

disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK) menyebutkan “hukum

perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.10

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-

wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan

9
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 23.
10
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. h. 2.
11

ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan

akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga

dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik

dalam bidang Hukum Privat maupun bidang Hukum Publik. 11

Menurut Business English Dictionary, Perlindungan Konsumen adalah

istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan

kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal

yang merugikan konsumen itu sendiri.12

2. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.13

Penjelasan resmi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

11
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 2.
12
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 21.
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
13

Konsumen. h. 4.
12

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materil dan spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.14

3. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 26.
13

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan imformasi serta akses untuk

mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya konsumen

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam

berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.15

B. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

Dalam melakukan upaya perlindungan Konsumen terdapat pihak-pihak

dalam pelaksanaan Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Konsumen

Berbagai pengertian tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah

terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:

15
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. h. 4.
14

Menurut Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Konsumen adalah

pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,bagi kepentingan diri

sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan

kembali. Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, dengan lahirnya UUPK, yang di dalamnya dikemukakan pengertian

konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.16

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu

di berbagai Negara dan saat ini sudah puluhan Negara memilih undang-undang

atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk

penyediaan sarana peradilannya.Sejalan dengan perkembangan itu berbagai

Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai

landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen.Di samping itu telah pula

berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of

Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi

konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan

organisasi konsumen lain di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-

Amerika), atau consumer/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau

16
Ahmadi Miru, Prinsip-PrinsipPerlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia (Cet.
11; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 20.
15

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan

barang.Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk

konsumen kelompok mana pengguna tersebut.17

Sedangkan di Eropa pengertian konsumen berasal dari Product Liability

Directive (selanjutnya disebut Directive) berdasarkan Directive tersebut yang

berhak menuntut ganti rugi kerugian adalah pihak yang menderita kerugian

(kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk cacat

itu sendiri.18

Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan

di atas, maka konsumen dapat dibedakan pada tiga batasan, yaitu:

1. Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi

barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

2. Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan

kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.

3. Konsumen akhir (ultimate consumer/end user), adalah setiap orang yang

mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan

memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk

17
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Cet. 111; Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 22.
18
Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya
(Ujungpandang: Elips Project, 1996), h. 13.
16

hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk

mencari keuntungan kembali.19

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia telah dicantumkan di dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, secara

ringkas dapat disimpulkan bahwa dalam Bab 1 UUPK mengenai ketentuan umum

yang disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen”.20

Adapun hak-hak konsumen yakni:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/atau jasa yang

digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

19
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (Jakarta: Diadit
Media), 2001, h. 13.
20
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, h. 2.
17

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.21

Konsumen memeliki hak atas kenyamanan,keamanan, dan keselamatan

dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Sebaliknya pelaku usaha bertanggung

jawab memenuhi kewajibannya dengan memberikan informasi yang benar, jelas

dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa tersebut serta

memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

2. Pelaku usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilauah hukum Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi.

Pengertian pelaku usaha tersebut diatas merupakan pengertian yang sangat

luas karena meliputi segala bentuk usaha, sehingga akan memudahkan konsumen,

21
M. Sadar, dkk., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta: Permata Puri
Media, 2012), h. 25.
18

dalam arti banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi

seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam directive,

sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia

akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam

Pasal 3 Directive ditentukan bahwa:

1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah,

atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang

nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk,

menjadikan dirinya sebagai produsen.

2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang

mengimpor suatu produk untuk dijual,dipersewakan, atau setiap bentuk

pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan

dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini, dan akan bertanggung

gugat sebagai produsen.

3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap

leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia

memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak

terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan

produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus

barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak

menunjukkan identitas importer sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(2), sekalipun nama produsen dicantumkan.22

22
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Hukum bagi Konsumen di Indonesia, h. 22.
19

Undang-Undang Perlindungan konsumen tidak hanya memberikan

perlindungan hak kepada konsumen, UUPK juga memberikan hak kepada pelaku

usaha pada Pasal 6 UU. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

mengatakan, hak pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/atau jasa yang

diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturang perundang-undangan

lainnya.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur kewajiban pelaku

usaha pada Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

menyatakan kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.


20

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dean/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

g. Memberi kompesasi, danti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.23

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat

harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang

membawa akibat negative dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan

dari aktivitas perdagangkan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan

akibat negative pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang

menentukan berbagai larangan pada Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan Konsumen,yaitu:

23
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. h. 6.
21

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklim, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan


22

pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku

usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencamtumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

atas barang dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran. 24

3. Departemen atau instansi pemerintah

Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan pasal ini, didasarkan pada

kepentingan yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa kehadiran

Negara antara lain, untuk mensejahterahkan rakyatnya. Amanat ini dijabarkan

24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 64.
23

dalam Pasal 33 UUD 1945.25 Maka hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal

29 UU NO.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, menyatakan:

1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen, dan

pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau

menteri teknis terkait.

3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas

penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4) Pembinaan penyelenggraan perlindungan konsumen sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara

pelaku usaha dan konsumen.

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

c. Meningkatnya kualitas sumber daya serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan

konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Untuk melindugi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat merugikan

kesehatan, BPOM sebagai lembaga yang berwenang untuk itu melakukan

pencegahan beredarnya kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan dengan

25
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 184.
24

melakukan penilaian dan pengujian sebelum kosmetika itu diedarkan.

Berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, BPOM

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Mengenai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diatur

dalam Pasal 44 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menyatakan:

1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat yang memenuhi syarat.

2. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memilikim

kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan

konsumen.

3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi:

a. Menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan

kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa.

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.

c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen.

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen.


25

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksannan perlindungan konsumen.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam

peraturan pemerintah.26

Dalam melakukan pengawasan terhadap kosmetik tidak terdaftar BPOM,

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat menurut pasal 44 ayat

(2) memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan

konsumen. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat mempunyai

tugas yang diatur pasal 44 ayat (3) yang berbunyi tugas lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat meliputi :

a. Menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan

kewajiban dan kehatian-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa.

b. Memberi nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.

c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen.

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima

keluhan atau pengaduan konsumen.

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.

26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 217.
26

Di Indonesia gerakan perlindungan konsumen ditandai dengan berdirinya

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Pada tanggal 11 Mei 1973. YLKI

ini didirikan dengan tujuan untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak

dirugikan dalam mengonsumsi barang dan/jasa.27

Kehadiran YLKI, merupakan langkah maju dalam perlindungan

konsumen, karena dalam upaya mencapai tujuannya YLKI melaksanakan

berbagai kegiatan bidang penelitian berguna bagi konsumen karena melalui

bidang penelitian ini, YLKI berguna bagi konsumen karena melalui bidang

penelitian ini, YLKI akan memberikan informasi kepada konsumen mengenai

mutu barang secara objektif, sehingga konsumen dapat menentukan pilihannya

terhadap suatu produk tertentu secara rasional. Bidang peelitian ini biasanya

melakukan penelitian dengan cara pengujian perbandingan terhadap suatu

komoditi dari semua merk yang dapat ditemui dipasaran berdasarkan suatu

parameter tertentu.

Disamping itu bidang penelitian juga dapat mengadakan pengujian jika

ada pengaduan dari konsumen, banyaknya pertanyaan dari konsumen terhadap

mutu suatu produk, adanya produk yang dicurigai mengandung bahan berbahaya,

serta adanya produk baru yang diperkenalkan masyarakat, sementara khasiat dan

mutunya tidak jelas. Demikian pula jika ada permintaan dari lembaga-lembaga

tertentu. Hasil dari penelitian tersebut dipublikasikan kepada masyarakat.

Bidang penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan dan

pengetahuan konsumen, melakukan kegiatan yang berupa ceramah, penyusunan

27
C. Tantri D dan Sulawei, Gerakan Organisasi Konsumen, (Jakarta:1995), h. 9.
27

materi-materi penyuluhan konsumen, serta membimbing mahasiswa dan pelajar

dalam membuat karya tulis yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

Tujuan pendidikan konsumen ini adalah untuk mengubah perilaku

konsumen, Pendidikan konsumen ini merupakan suatu proses untuk mengajarkan

bagaimana membeli, menggunakan dan mengatur barang yang kadang-kadang

sedikit, namun mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

C. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Hukum Islam

Islam telah menawarkan norma dasar yang wajib dipenuhi dalam transaksi,

adalah sebagai berikut:

Pertama, Al-Qur’an memerintahkan kita untuk senantiasa menepati janji,

menunaikan amanat serta melarang kita untuk memakan harta secara bathil.

Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S An-Nisa/4:29.

         

             

 

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu, dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang
kepadamu.28

28
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Maghfirah Pustaka,
2006), h. 83.
28

Kedua, Al-Qur’an melarang kita merugikan orang lain seperti khianat,

curang dalam berdagang dan mengurangi timbangan serta takaran. Sebagaimana

firman Allah swt dalam Q.S Hud/11:85.

        

      

Terjemahnya:

Dan wahai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan
kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.29
Adapun Hadis tentang larangan mengicuh/menipu dalam jual beli yaitu:

‫طعَ ٍام فَأَدْ َخ َل‬ َ ِ‫صب َْرة‬ َ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ ‫س ْو َل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫ي هُ َري َْرة َ أ َ َّن َر‬
ْ ِ‫ع ْن اَب‬َ
َ َ ‫الطعَ ٍام قَا َل أ‬
َّ ‫صابَتْهُ ال‬
‫س َما ُء‬ َّ ‫ب‬ َ ‫صا ِح‬ َ ‫صا ِبعُهُ بَلَ اًل فَقَا َل َما َهذَا يَا‬ َ َ‫ت أ‬ ْ َ‫يَدَهُ فِيْ َها فَنَال‬
‫ْس ِم ِني (روه‬ َ ‫َش فَلَي‬
َّ ‫اس ِم ْن غ‬ ُ َّ‫ي يَ َراهُ الن‬ ْ َ‫هللا قَا َل أفَ ًَل َجعَلَتْهُ فَ ْوق‬
ْ ‫الطعَ ِام َك‬ ِ ‫س ْو َل‬ ُ ‫ار‬
َ َ‫ي‬
.)‫مسلم‬
Artinya:

”Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah pernah melewati setumpuk


makanan, lalu beliau memasukkan tangannya kedalamnya, kemudian
tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
“apa ini wahai pemilik makanan?” sang pemiliknya menjawab, “makanan
tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa
kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat
melihatnya? Ketahuilah, barang siapa menipu maka dia bukan dari
golongan kami.” (HR.Muslim No.102).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Maghfirah Pustaka,


29

2006), h. 231.
29

Pemahaman hadis: Ketika Rasulullah melewati sebuah pasar, beliau

mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanannya, bias jadi

seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah. Bahan makanan

yang di atas Nampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namaun ketika memasukka

jari jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan tersebut, beliau dapatkan

ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan makanan itu ada yang

cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah agar hanya bagian yang

bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah pun menegur perbuatan tersebut dan

mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti menipu pembeli, yang akan

menyangka bahwa seluruh bahan makanan itu bagus. Seharusnya seorang

mukmin menerangkan keadaan barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila

barang tersebut memiliki cacat ataupun aib.

Syarih berkata : hadis di atas menunjukkan haramnya menyembunyikan

cacat dan wajibnya menerangkan cacat itu kepada pembeli. Perkataan “maka dia

bukan termasuk dari golongan kami” menunjukkan haramnya menipu dan itu

telah menjadi ijma’ ulama.30

Seluruh ajaran Islam yang terkait dengan perdagangan dan perekonomian

berorientasi pada perlindungan hak-hak pelaku usaha/produsen dan konsumen.

karena Islam menghendaki adanya unsur keadilan, kejujuran, dan transparansi

yang dilandasi nilai keimanan dalam praktik perdagangan dan peralihan hak.

30
Majdudin bin Taimiyyah, Nailul Authar (Jilid 4; Surabaya: Bina Ilmu, 2007), h. 1755.
30

Dalam hukum Islam ada enam hak konsumen yang membutuhkan

perhatian serius dari pelaku usaha seperti yang dikemukakan oleh Muhammad dan

Alimin sebagai berikut:

1. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, adil, dan terhindar dari

pemalsuan

2. Hak untuk mendapatkan keamanan produk dan lingkungan sehat

3. Hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa

4. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan keadaan

5. Hak untuk mendapatkan ganti rugi akibat negative dari suatu produk

6. Hak untuk memilih dan memproleh nilai tukar yang wajar31

Terkait dengan hak-hak konsumen, Islam memberikan ruang bagi

konsumen dan produsen untuk mempertahankan hak-haknya dalam perdagangan

yang dikenal dengan istilah khiyar dengan beragam jenisnya, yaitu:

a. Khiyar Majlis

Adalah hak untuk memilih melajutkan atau membatalkan transaksi bisnis

selama masih berada dalam satu tempat (majlis) atau toko.32

b. Khiyar Aib

Adalah hak untuk membatalkan transaksi bisnis apabila objek transaksi

cacat sekalipun tidak ada perjanjian sebelumnya.

31
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam
(Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 234.
32
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazdhab Bagian Muamalah II (Darul Ulun Press,
2001), h. 41.
31

c. Khiyar Syarat

Adalah hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan transaksi bisnis

sesuai dengan waktu yang disepakati atau syarat yang telah ditetapkan bersama.33

d. Khiyar Ru’yah

Yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli

yang dilakukan terhadap suatu objek yang belum diketahui ketika akad

berlangsung.34

Sedangkan dalam prinsip-prinsip mu’amalat sebagaimana diterangkan oleh

Ahmad Azhar Basyir sebagai berikut:

1. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan

oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul

2. Mu’amalat dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur paksaan

3. Mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan

menghindarkan mudharat dalam masyarakat. Dengan demikian maka segala

hal yang dapat membawa mudharat harus dihilangkan

4. Mu’amalat harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan,

menghindari unsur-unsur penganiayaan dan pengambilan kesempatan dalam

kesempitan.35

33
Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis (Bogor: Al-
Azhar Press, 2009), h. 312.
34
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalah (Cet. II;
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), h. 139.
35
Ahmada Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: FH UII, 1990), h. 15.
32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode yang bertujuan untuk

mendapatkan hasil penelitian yang objektif.Untuk mendapatkan hasil penelitian

tersebut, diperlukan informasi yang akurat dan data yang mendukung.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu:

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan

melakukan penelitian dalam lingkup masyarakat dengan objek dalam penelitian

ini adalah perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM. Penelitian ini bersifat deskriftif dimana dalam meneliti suatu objek, suatu

kondisi, suatu system pemikiran pada masa sekarang.Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, actual,

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki.Metode deskriftif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

yang deskriftif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang

dapat di observasi dari manusia.36

36
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:Rineka Cipta, 2007) , h. 16.
33

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kantor Badan Pengawasan Obat-obatan dan

Makanan (BPOM) di Jl. Bajiminasa Makassar, Serta penelitian dilakukan dalam

lingkup wilayah kota Makassar, Khususnya pada berbagai perpustakaan yang

terdapat di Makassar dengan asumsi dasar akan memudahkan penulis untuk

memperoleh berbagai macam sumber dan referensi yang dibutuhkan guna

memudahkan penulisan.

B. Pendekatan Penelitian

Adapun metode pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk

mengkaji masalah perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang

tidak terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

berdasarkan ketentuan hukum yang ada dalam Undang-undang.

b. Pendekatan Syar’I, yaitu pendekatan yang menelusuri pendekatan syariat

Islam seperti Al-Qur’an dan hadis yang relevan dengan masalah yang

dibahas.

C. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan menjadi

bahan utama dalam membahas suatu permasalahan. Sumber hukum primer dalam

penyusunan skripsi ini terdiri dari al-Qur’an, Fiqh, dan Undang-undang Nomor 8
34

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang lain yang

berkaitan dengan objek penelitian ini.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yaitu bahan yang menjelaskan bahan primer, seperti

buku-buku ilmiah, hasil penelitian yang berkaitan dengan objek penelitian tentang

perlindungan konsumen terhadap penggunaan kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM.

c. Sumber Tersier

Bahan tersier yaitu bahan tambahan atau bahan yang menjelaskan bahan

primer dan bahan sekunder, yaitu berupa Ensiklopedi maupun kamus ilmiah.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data primer untuk

keperluan penelitian.37 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Penelitian Kepustakaan

Dalam melakukan teknik kepustakaan, penulis mempelajari dan membaca

peraturan perundang-undangan, pendapat ahli, buku-buku, kitab fiqh, al-qur’an,

dan karya-karya tulis lain yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

2. Penelitian Lapangan

Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan cara:

a. Wawancara yaitu tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara

langsung.38 Bertanya langsung kepada beberapa pihak yang yang

37
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet. VII; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 54.
35

berkompeten untuk memberikan informasi, yaitu pimpinan yang terkait

pada Kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Makassar,

b. Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

gejala yang diteliti.39

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang dipakai untuk memperoleh data-data penelitian

saat sesudah memasuki tahap pengumpulan data dilapangan adalah wawancara,

dokumen, observasi, dan media elektronik seperti HandPhone (HP). Instrumen

inilah yang akan menggali data dari sumber-sumber informasi.

F. Metode Pengolahan dan Analisis data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Dalam

penelitian ini , data yang diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer

maupun data sekunder dianalisa secara kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang

dilakukan guna mencari kebenaran kualitatif yakni merupakan data yang tidak

berbentuk angka.40

G. Pengujian Keabsahan Data

Dalam pengujian keabsahan data tersebut dilakukan dua cara sebagai

berikut:

38
Husaini Usman dkk, Metode Penelitian Sosial (Cet V, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004),
h. 58.
39
Husaini Usman dkk, Metode Penelitian Sosial, h.54.
40
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit,2010), h.56.
36

a. Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih

cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan

urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Dengan

meningkatkan ketekunan maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali

apakah data yang ditemukan itu salah atau tidak. Dengan demikian dengan

meningkatkan ketekunan maka, peneliti dapat memberikan deskripsi data yang

akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. Dengan melakukan hal ini, dapat

meningkatkan kredibilitas data.

b. Menggunakan bahan referensi

Yang dimaksud dengan bahan referensi disini adalah adanya pendukung

untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Sebagai contoh, data

hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara sehingga

data yang didapat menjadi kredibel atau lebih dapat dipercaya. Jadi, dalam

penelitian ini peneliti akan menggunakan rekaman wawancara dan foto-foto hasil

observasi sebagai bahan referensi.


37

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK KOSMETIK

YANG TIDAK TERDAFTAR BPOM

A. Gambaran Umum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kota

Makassar

1. Latar Belakang Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Makassar

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Makassar merupakan salah

satu unit pelaksana teknis Badan POM RI di Provinsi Sulawesi Selatan-Sulawesi

Barat, yang mempunyai tugas melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan

Produk Terapetik, Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain, Obat Tradisional,

Kosmetik, Produk Komplemen, Pangan dan Bahan Berbahaya.

Dalam bidang pengawasan ini, masih banyak hambatan dan tantangan

yang harus dihadapi oleh Balai Besar Obat dan Makanan di Makassar dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawasan sekaligus Pembina di

bidang obat dan makanan. Agar dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat

dari kemungkinan beredarnya produk yang tidak bermutu dan tidak aman yang

menganggu kesehatan masyarakat.41

Sebagai Implementasi dari hal tersebut, perlu dilakukan peningkatan

dibeberapa sisi antara lain penanjaman sasaran pengawasan, tindakan produktif

terhadap masalah yang terjadi di wilayah kerja, meningkatkan pembinaan dan

41
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Profil BPOM Makassar, h. 3.
38

pelayanan kepada pelaku usaha di bidang obat dan makanan yang didukung oleh

kemampuan uji mutu dan keamanan yang handal serta di dukung oleh sumber

daya termasuk sumber daya manusia yang harus mampu melaksanakan tugas

dengan sebaik-baiknya, sehingga apa yanh diharapkan organisasi dapat tercapai.

Upaya khusus untuk meningkatkan komitmen seluruh anggota organisasi,

perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang ada di daerah baik ditingkat

Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Untuk itu, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Makassar agar

selalu berupaya untuk mampu memenuhi harapan masyarakat sekaligus mampu

melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga

masyarakat dapat terlindung dari obat dan makanan yang berisiko terhadap

kesehatan.

2. Sejarah Berdirinya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

(BBPOM) di Makassar

Pembentukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)

Makassar diawali oleh terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia (BPOM RI).

BPOM sebenarnya sudah terbentuk sejak zaman Belanda dulu dengan

nama De Dient De Valks Gezonheid (DVG) di bawah naugan perusahaan farmasi

milik Belanda. DVG sendiri berperan sebagai lembaga yang bertugas

memproduksi obat-obatan kimis sekaligus sebagai pusat penelitian farmasi kala

itu. Pada tahun 1964, DVG yang merupakan cikal bakal terbentuknya BPOM ini

resmi menjadi milik pemerintah Indonesia dan berubah nama menjadi Inspektorat
39

Farmasi. Setelah tiga tahun berselang, Inspektorat farmasi berubah nama lagi

menjadi Inspektorat Urusan Farmasi.

Tahun 1976 Inspektorat Urusan Farmasi kembali mengalami perombakan

internal secara keseluruhan dengan nama baru Dirjen Farmasi. Dari sinilah

kemudian sejarah dan system kerja BPOM dimulai. Dirjen Farmasi sendiri

akhirnya menjadi satu-satunya lembaga khusus yang bertugas mengawasi dan

meneliti peredaran obat dan makanan di Indonesia dengan menggandeng sejumlah

lembaga terkait seperti Depkes, Lembaga Farmasi Nasional, dan Industri Farmasi

Negara.

Pengaturan di bidang farmasi dimulai sejak didirikannya Dv.G (De Dients

van De Valks Gezonheid) yang dalam organisasi tersebut ditangani oleh

Inspektorat Farmasi hingga tahun 1964. Dilanjutkan oleh Inspektorat Urusan

Farmasi sampai tahun 1967 dan oleh Direktorat Jenderal Farmasi hingga tahun

1976, dengan tugas pokok mencukupi kebutuhan rakyat akan perbekalan farmasi.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Direktorat Jenderal Farmasi

dibantu oleh:

a. Lembaga Farmasi Nasional dengan tugas melaksanakan tugas

pengujian dan penelitian di bidang kefarmasian.

b. Pabrik Farmasi Departemen Kesehatan.

c. Depot Farmasi Pusat.

d. Sekolah Menengah Farmasi Departemen Kesehatan.

Pada tahun 1975, pemerintah mengubah Direktorat Jenderal Farmasi

menjadi Diektorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, dengan tugas pokok
40

melaksanakan pengaturan dan pengawasan obat, makanan, kosmetika dan alat

kesehatan, obat tradisional, narkotika serta bahan berbahaya. Untuk melaksanakan

tugas tersebut, pada Direktorat ini dibentuk unit pelaksana teknis yaitu Pusat

Pemeriksaan Obat dan Makanan di Pusat dan Balai Pengawas Obat dan Makanan

di seluruh provinsi.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 yang kemudian

diubah dengan Kepres No. 103/2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non

Departemen, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan Non

Departemen (LPND) yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan. Balai Besar Obat

dan Makanan di Makassar merupakan unit pelaksana tertinggi di daerah yang

mengawasi obat dan makanan di Sulawesi Selatan Sulawesi Barat.

Pembentukan Badan POM ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepada

Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : 02001/SK/KBPOM, tanggal 26

Februari 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan

Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor : 34/M.PAN/2/2001 Tanggal 1 Februari 2001. 42

Setelah semua keputusan ini dikeluarkan, Badan POM menjadi Badan

yang ditujukan Independensinya dalam mengawas peredaran obat dan makanan di

tengah masyarakat serta menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejauh ini mungkin kita mengenal Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) hanya sebatas badan pemerintah yang memiliki kewenangan mengawasi

42
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Profil BPOM Makassar, h. 7.
41

peredaran produk makanan dan obat-obatan, padahal ada juga BPOM kosmetik

yang bertanggung jawab terhadap peredaran produk kecantikan dan perawatan

kulit.

Seperti kita ketahui perkembangan teknologi memungkinkan manusia

menciptakan penemuan-penemuan baru mencakup bahan pangan, kosmetik, obat

dan semua produk yang terkait dengan farmasi. Sebenarnya banyak sisi positif

yang dapat diambil dari kemajuan teknologi yaitu untuk kesejahteraan manusia itu

sendiri, namun sejalan dengan itu muncul sisi negative terkait penemuan bahan

pangan, obat, dan kosmetik yang merugikan masyarakat luar. Untuk menyikapi

hal tersebut maka dibentuklah suatu Badan yang Independen yaitu Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengawasi sekaligus meneliti bahan

pangan, kosmetik, serta obat-obatan sebelum diedarkan ke masyarakat.

Balai Besar POM Makassar Sulawesi Selatan telah dipimpin oleh 7 kepala

Balai POM hingga saat ini:

1. Dimulai pada tahun 1978-1984 dipimpin oleh bapak Drs. Subroto, Apt.

2. Pada tahun 1984-1991 dipimpin oleh bapak Drs.H.Abdul Munin, Apt.

3. Pada tahun 1991-2001 dipimpin oleh bapak Drs. H. Sahibuddin A.

Gani, Apt.

4. Pada tahun 2001-2007 dipimpin oleh bapak Drs. Arafah Majid, Apt.

5. Pada tahun 2007-2009 dipimpin oleh bapak Drs. Djoko Triyono, Apt,

MM.

6. Pada tahun 2009-2011 dipimpin oleh bapak Drs. Maringan Silitonga,

Apt, M. Kes.
42

7. Dan pada tahun 2011 hingga saat ini sebagai kepala Besar POM adalah

bapak Dr. H. Muhammad Guntur, Apt., Dipl.Se.,M.Kes.

3. Visi dan Misi Badan POM

Visi Badan POM adalah menjadi institusi terpercaya yang diakui secara

internasional di bidang pengawasan obat dan makanan untuk melindungi

masyarakat. Sedangkan Misi Badan POM adalah:

a. Meningkatkan Sistem Pengawasan Obat Dan Makanan Berbasis Risiko

Untuk Melindungi Masyarakat.

b. Mendorong Kemandirian Pelaku Usaha Dalam Memberikan Jaminan

Keamanan Obat Dan Makanan Serta Memperkuat Kemitraan Dengan

Pemangku Kepentingan.

c. Meningkatkan Kepasitas Kelembagaan BPOM

4. Tugas Pokok dan Fungsi Badan POM

Tugas pokok Badan POM adalah melaksanakan kebijakan di bidang

pengawasan obat dan makanan yang meliputi pengawasan atas produk terapetik,

narkotika, psikotropik, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik. Produk komplemen,

pangan dan bahan berbahaya. Sedangkan fungsi Badan POM adalah:

a. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.

b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium,pengujian dan penilaian

mutu produk terapetik, narkotik, psikotropik, zat adiktif, obat

tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan

berbahaya.
43

c. Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium pengujian dan penilaian mutu

produk secara mikrobiologi.

d. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan

pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi.

e. Pelaksanaan investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.

f. Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu

yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM RI.

g. Pelaksanaan kegiatan Layanan Infomasi Konsumen.

h. Evalusi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.

i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtangaan.

j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM RI,

sesuai dengan bidang tugasnya.

5. Tujuan dan Sasaran Badan Pengawas Obat dan Makanan

a. Tujuan utama

Meningkatnya perlindungan masyarakat dari produk obat dan makanan

yang berisiko terhadap kesehatan dan melaksanakan kebijakan di bidang

Pengawas Produk Terapetik, Narkotika, Psikotropika dan Zat aditif lain, Obat

Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen.

b. Sasaran strategis

Terkendalinya penyaluran produk Terapetik dan Napza.

1) Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk

obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran.
44

2) Tercegahnya resiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai

akibat pengolahan yang tidak memenuhi syarat.

6. Wilayah Kerja Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)

di Makassar

a. Luas Wilayah Kerja

Provinsi Sulawesi Selatan : 46.083,94 km2

Provinsi Sulawesi Barat : 16.937,16 km2

Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan POM No.

50018/SK/KBPOM Tahun 2001 Jo. Surat Keputusan Kepala Badan POM RI

Nomor 14 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di Lingkungan

Badan POM RI. Wilayah Kerja Balai Besar POM di Makassar terdapat 3 Kota, 21

Kabupaten, 305 Kecamatan, 3041 Desa dan Kelurahan.43

Kota Makassar Kabupaten Luwu Utara

Kota Palopo Kabupaten Maros

Kota Parepare Kabupaten Pangkajene

Kabupaten Bantaeng Kabupaten Selayar

Kabupaten Barru Kabupaten Pinrang

Kabupaten Bulukumba Kabupaten Sidrap

Kabupaten Bone Kabupaten Sinjai

Kabupaten Enrekang Kabupaten Soppeng

Kabupaten Gowa Kabupaten Takalar

43
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Profil BPOM Makassar, h. 35.
45

Kabupaten Jeneponto Kabupaten Toraja

Kabupaten Luwu Kabupaten Toraja Utara

Kabupaten Luwu Timur Kabupaten Wajo

b. Data Kependudukan

TAHUN 2016

Sulawesi Selatan 8.520.304 jiwa

1 Kepulauan Selayar 130.199 jiwa

2 Bulukumba 410.455 jiwa

3 Bantaeng 183.366 jiwa

4 Jeneponto 355.599 jiwa

5 Takalar 286.906 jiwa

6 Gowa 722.702 jiwa

7 Sinjai 236.099 jiwa

8 Maros 339.300 jiwa

9 Pangkep 323.597 jiwa

10 Barru 171.217 jiwa

11 Bone 742.912 jiwa

12 Soppeng 226.116 jiwa

13 Wajo 393.218 jiwa

14 Sidrap 289.787 jiwa

15 Pinrang 366.789 jiwa

16 Enrekang 199.789 jiwa


46

17 Luwu 350.218 jiwa

18 Luwu Utara 302.687 jiwa

19 Luwu Timur 275.595 jiwa

20 Tana Toraja 225.516 jiwa

21 Makassar 1.449.401 jiwa

22 Parepare 138.699 jiwa

23 Palopo 168.894 jiwa

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Kosmetik yang Tidak

Terdaftar BPOM

Bentuk Perlindungan hukum terhadap produk kosmetik tidak terdaftar

BPOM adalah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen yang mana di dalam Undang-Undang tersebut

terdapat beberapa aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta hak dan

kewajiban pelaku usaha. Sebenarnya konsumen telah dilindungi dengan payung

hukum yaitu adanya UUPK Tahun 1999, Namun apakah aturan tersebut

dipergunakan atau tidak itu yang menjadi persoalan. Mengenai hak-hak konsumen

yang dilindungi terkait beberapa hal yaitu kepedulian pemerintah melalui instansi

terkait, kepedulian pelaku usaha akan kesadaran akan melindungi hak-hak

konsumen dan juga kepedulian konsumen itu sendiri memproteksi diri sendiri.

Bentuk Perlindungan Konsumen dalam Hukum Islam, pelaku

usaha/produsen harus bertanggung jawab atas perbuataanya yang merugikan


47

konsumen. tanggung jawab jika dihubungkan dengan penyebab adanya ganti rugi

(dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu; 44

1. Ganti rugi karena perusakan (Dhaman Itlaf)

2. Ganti rugi karena transaksi (Dhaman’Aqdin)

3. Ganti rugi karena perbuatan (Dhaman Wad’u Yadhin)

4. Ganti rugi karena penahanan (Dhaman al-Hailulah)

5. Ganti rugi karena tipu daya (Dhaman al-Magrur)

Dhaman Itlaf adalah ganti rugi akibat dari perusakan barang. Ganti rugi

Itlaf tidak hanya berhubungan dengan kerusakan harta benda saja tetapi juga

menyangkut jiwa dan anggota tubuh manusia. Dhaman’aqdin adalah terjadinya

suatu aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung

jawab. Ganti rugi wadh’u yadin adalah ganti rugi akibat kerusakan barang yang

masih berada di tangan penjual apabila barang belum diserahkan dalam sebuah

aqad yang sah dan ganti rugi karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa

izin. Dhaman al-hailulah adalah ganti rugi pada jasa penitipan barang (al-wadi)

jika terjadi kerusakan atau hilang, baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan

karena kelalaian atau kesengajaan orang yang dititipi. Dhaman al-magrur adalah

ganti rugi akibat tipu daya. Dhaman al-magrur sangat efektif diterapkan dalam

perlindungan konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan

44
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, h.
235.
48

orang lain pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuataanya

itu.45

Menurut Ahmad Yani selaku Kepala Bidang Pengawasan BPOM

Makassar dalam melakukan perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak

terdaftar BPOM pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan

Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2995

Tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.46 Yang mana pasal 2

Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.00.05.42.2995 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik

menyebutkan bahwa:47

1) Yang berhak memasukan kosmetik impor ke dalam wilayah Indonesia

adalah importer, distributor, industry kosmetik dan atau industry farmasi

yang memiliki izin impor sesuai peraturan perundang-undangan yang

diberi kuasa oleh produsen Negara asal.

2) Kosmetik yang dapat dimasukan kedalam wilayah Indonesia untuk

diedarkan adalah kosmetik yang telah memiliki izin edar.

Dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetika

perlu pengaturan izin produksi kosmetik, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Menteri Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VII/2010 Tentang Izin

45
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, h.
239.

46
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
47
Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik. h. 3.
49

Produksi Kosmetika pasal 2 ayat (1) menyebutkan kosmetk yang beredar harus

memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Pasal 4 ayat (1)

menyebutkan industri kosmetik yang akan membuat kosmetik harus memiliki izin

produksi. Izin produksi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Industri kosmetik dalam membuat kosmetik wajib menerapkan Cara Pembuatan

Kosmetik yang Baik (CPKB). Industri yang memenuhi persyaratan CPKB

diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan.48

Pada pasal 8 Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor

1175/MENKES/PER/VII/2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika izin produksi

industry kosmetik diberikan dengan persyaratan:49

a. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab.

b. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produksi yang akan dibuat.

c. Memiliki fasilitas laboratorium dan

d. Wajib menerapkan CPKBP

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik mengatur mengenai wadah

kosmetik yaitu:50

1. Wadah kosmetik harus dapat:

a. Melindungi isi terhadap pengaruh dari luar

b. Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya

48
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. h. 4.
49
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. h. 5.
50
Republik Indonesia, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. h. 7.
50

2. Untuk melindungi wadah selama peredaran, wadah dapat diberi

pembungkus. Pembungkus harus terbuat dari bahan yang dapat melindungi

wadah selama diperedaran.

3. Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi informasi

yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Pada etiket wadah dan atau

pembungkus harus dicantumkan informasi/keterangan mengenai:

a. Nama produk

b. Nama dan alamat produsen atau importir/penyalur

c. Ukuran, isi atau berat bersih

d. Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kode kosmetik Indonesia

atau nomenklatur lainnya yang berlaku

e. Nomor izin edar

f. Nomor batch/kode produksi

g. Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas

penggunaanya

h. Ukuran, isi, atau berat bersih dicantumkan dengan ”netto”

i. Bulan dan tahun kadaluawarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang

dari 30 bulan

j. Penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.

Kepala BPOM juga mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawasan

Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang


51

Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika.51 Pada pasal 7 pada Peraturan Kepala

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015

tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika mengatur mengenai sanksi

Administratif bagi pelanggar ketentuan ini yang berupa:52

1. Peringatan tertulis

2. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara

3. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,

kemanfaatan, mutu dan penandaan dari peredaran

4. Pemusnahan kosmetika

5. Pembatalan notofikasi dan/atau

6. Pengehentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran

kosmetika.

Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan, dan untuk

petunjuk teknis dalam hal kosmetik dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Izin Produksi

Kosmetika yang mana pada pasal 2 angka (1) menyebutkan kosmetika yang

beredar harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.53 Pasal

23 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

51
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
52
Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. h. 5.
53
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. h. 3.
52

1175/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika mengatur

mengenai sanksi yang mana pasal 23 menyebutkan:54

1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan

sanksi administatif berupa:

a. Peringatan tertulis

b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah

untuk penarikan kembali produk dari peredaran bagi kosmetika yang

tidak memenuhi standar dan persyaratan mutu,keamanan, dan

kemanfaatan

c. Perintah pemusnaan produk, jika terbukti tidak memenuhi mutu,

keamanan, dan kemanfaatan

d. Penghentian sementara kegiatan

e. Pembekuan izin produksi

f. Pencambutan izin produksi

2) Sanksi administatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,b,c, dan

huruf d di berikan oleh kepala badan.

3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan

huruf f diberikan oleh Direktur Jenderal atas rekomendasi Kepala Badan

atau Kepala Dinas setempat.

Sedangkan menurut Muh.Kamal mengatakan perlindungan terhadap

konsumen produk kosmetik, yang dilakukan BBPOM dengan cara BBPOM terus

54
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. h. 10.
53

melakukan pengawasan terhadap produk kosmetik tidak terdaftar BPOM. Selain

dari BBPOM yang terus melakukan pengawasan, konsumen juga berhak memberi

laporan apabila konsumen merasa dirugikan akibat menggunakan produk

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM. Setelah menerima laporan tersebut BPOM

langsung memeriksa kosmetik tersebut dan jika kosmetik tersebut positif

menggunakan bahan berbahaya maka dari BPOM langsung membuat peringatan

tertulis untuk melarang mengedarkan kosmetik tersebut. Dan konsumen yang

melapor karena kerugian akibat produk kosmetik tersebut berhak mendapatkan

ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi

kosmetik tersebut hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila

mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau

penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa

berhak untuk mendapatkannya. Tidak akan ada penggantian kerugian selain

karena dimohonkan terlebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu. 55

Dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat

khususnya konsumen kosmetik yang tidak terdaftar BPOM melalui 3 cara yaitu:

1. Perlindungan Hukum Dari Aspek Administratif

Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan melalui Hukum Administratif

terhadap kosmetik yang tidak terdaftar BPOM dilakukan terhadap pelaku usaha

yang melanggar tanggung jawabnya untuk memberikan ganti rugi kepada

konsumen yang dirugikan oleh produk kosmetik yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan olehnya.

55
Muh.Kamal (38 tahun), Staf Layanan Informasi Konsumen BPOM Makassar,
Wawancara, Makassar, 05 Juli 2017.
54

Sanksi administratif yang dijatuhkan bagi pelaku usaha diatur pada pasal

60 UUPK, menyebutkan sanksi administratif dijatuhkan kepada pelaku usaha

yang melanggar pasal 19, pasal 20, pasal 25 dan pasal 26 UUPK tersebut berupa

penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Adanya bukti bahwa sanksi yang dimaksud bukan sanksi administratif

tetapi sanksi perdata bukan saja ditujukan oleh angka Rp.200.000.000 (dua ratus

juta) yang ditentukan di dalam pasal tersebut. Melainkan juga oleh adanya

penunjukan Pasal 19, pasal 20, pasal 25, dan pasal 26. Pasal-pasal tersebut adalah

pasal yang menuntut tanggung jawab pembayaran ganti kerugian dari pelaku

usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa

yang diberikan atau diperdagangkan, tanggung jawab kerugian akibat iklan yang

menyesatkan. Tanggung jawab pembayaran ganti kerugian akibat tidak

menyediakan suku cadang atau fasilitas perbaikan pada pihak konsumen dan

tanggung jawab pembayaran ganti kerugian akibat pelaku usaha tidak memenuhi

jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.56

Berdasarkan pasal 60 ayat (2) diatas berarti, jika produsen lalai untuk

memenuhi tanggung jawabnya, maka pelaku usaha tersebut dapat dijatuhkan

sanksi yang jumlahnya maksimum Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Ganti

kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggung gugatan terbatas, sehingga

secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam

56
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 275.
55

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menganut prinsip ganti

kerugian subjektif terbatas.57

Masalah lain yang muncul dari rumusan pasal 60 ayat (2) tersebut adalah

untuk siapa uang Rp.200.000.000 tersebut. Apabila untuk konsumen yang

dirugikan, maka bagaimana kalau jumlah konsumen yang dirugikan cukup

banyak? Masalah-masalah inilah yang harus diatur secara tegas dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut tentang cara penetapan sanksi

administratif tersebut.

Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umunya, tetapi

justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil

produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan

Pemerintah RI kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-

izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Kaidah-kaidah hukum

perdata umunya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hukum perdata adat,

yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-

perkara tertentu. Aspek hukum perlindungan konsumen makin terasa sangat

penting mengingat semakin lajunya teknologi yang merupakan motor penggerak

bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya

dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung

atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan

dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang

57
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
(Surabaya: 2000), h. 102.
56

memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan

mendesak, untuk segera dicari solusinya terutama di Indonesia, mengingat

sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan

konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang. 58

2. Perlindungan Hukum bagi Aspek Pidana

Secara umum pelaku usaha seharusnya menjaga mutu barang sehingga

tetap sepadan dengan pengeluaran konsumen yang ingin mendapatkan produk

tersebut, ini berarti pengaturan dibidang perlindungan bisnis yang sehat dan jujur.

Terhadap pelaku usaha yang memproduksi kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM, bentuk perlindungan hukum konsumen yang dilakukan melalui penentuan

pidana terhadap pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 61 UUPK yang

menyebutkan bahwa “penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha

dan/atau pengaruhnya”.

Ketentuan ini memperlihatkan suatu bentuk pertanggung jawaban pidana

yang tidak sengaja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada

perusahaan. Hal ini menurut Nurmatjo meruapakan upaya yang bertujuan

menciptakan sistem bagi perlindungan konsumen. ketetuan pasal ini perusahaan

dinyatakan sebagai subjek hukum pidana.59

58
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maja, 2000), h. 33.
59
Nurmadjito, Kwsimpulan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Mandar Maja, 2000), h. 30.
57

Pasal 62 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen juga menyebutkan:60

1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 3 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf

a, huruf b, huruf c, huruf e ayat (2) dan pasal 18 dipidanakan dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp.2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah).

2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat

(1) hurud d dan huruf f dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 2

tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta).

3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

tetap atau kematin diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Ketentuan pasal 62 ini memberlakukan dan aturan hukum sesuai tingkat

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakitberat,

cacat tetap, atau kemudian diberlakukan hukum pidana sebagaimana diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), sementara di luar dari tingkat

pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang telah

memproduksi atau mengedarkan kosmetika yang tidak terdaftar BPOM memenuhi

60
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, h.23.
58

ketentuan pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa:61

a. Perampasan barang tertentu

b. Pengumuman keputusan hakim

c. Pembayaran ganti rugi

d. Perintah penghentian

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran

f. Pencabutan izin

3. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Perdata

Hubungan konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan perdata

dimana proses beli barang dan/atau jasa yang terjadi antar mereka merupakan

penerapan pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik selain dengan sepakat kedua

belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan

cukup. Untuk itu suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.62

Hal inilah yang menyebabkan bentuk perlindungan hukum bagi konsumen

lebih sering dilihat dari segi masalah perdata, misalnya saja terkait dengan

masalah ganti ruginya. Dasar gugatan perdata terhadap pelaku usaha yang

memproduksi kosmetik yang tidak terdaftar BPOM sehingga memberi dampak

negative bagi kesehatan konsumen adalah pasal 1365 KUHPerdata yaitu “tiap

61
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, h.23.
62
Republik Indonesia, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338, h. 239.
59

perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian itu mengganti kerugian

tersebut”.63

Bentuk ganti rugi yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada

konsumen yang telah dirugikannya tersebut apabila sampai menyebabkan luka

atau cacatnya suatu anggota badan selain dapat berupa penggantian biaya-biaya

penyembuhan konsumen yang dirugikan tersebut dapat menuntut penggantian

kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut, hal ini diatur dalam pasal

1371 KUHPerdata.64

Perlindungan hukum bagi konsumen kosmetik yang mengandung beberapa

zat berbahaya yang terkandung didalam kosmetik tersebut, terdapat tiga cara yang

digunakan oleh pihak yang berwenang untuk melindungi hak-hak konsumen yang

dirugikan oleh pelaku usaha , berdasarkan hasil wawancara di BPOM Makassar

yaitu:

a. Pencambutan izin edar kosmetik dan izin industri kosmetik

Untuk melindungi kepentingan masyarakat terhadap hal-hal yang dapat

merugikan kesehatan akibat beredarnya kosmetik yang tidak memenuhi

persyaratan, perlu dilakukan penilaian dan pengujian terhadap suatu produk

kosmetik dan industry kosmetik yang memproduksi produk kosmetik. Terhadap

pelaku usaha kosmetik yang memiliki izin edar produk kosmetik serta izin

industri kosmetik, BPOM Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai lembaga yang

berwenang melakukan penilaian, pengujian serta memberikan izin edar serta izin

63
Republik Indonesia, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338, h. 242.
64
Republik Indonesia, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338, h. 243..
60

industri kosmetik, apabila terbukti bila dalam melakukan kegiatan usahanya

tersebut pelaku usaha tidak beritikad baik maka BPOM dapat mencabut kembali

izin edar kosmetik serta izin industri yang telah diberikan kepada pelaku usaha.

b. Penarikan produk kosmetik yang mengandung zat-zat berbahaya dari peredaran

Terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran yang mana

memperdangankan dan atau memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan

perundang-undangan, maka pelaku usaha dilarang memperdagankan barang

dan/atau jasa tersebut serta wajib melakukan penarikan barang dan/atau jasa dari

peredaran.

c. Penerapan sanksi dan ganti rugi

Penerapan sanksi dan ganti rugi adalah salah satu bentuk perlindungan

hukum bagi konsumen kosmetik. Pada dasarnya ganti rugi atau kerugian yang

diderita konsumen berfungsi sebagai pemulihan hak-hak yang telah dilanggar,

pemulihan atas kerugian materil atau immaterial yang telah dideritanya dan

pemulihan pada keadaan semula. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap konsumen kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM yaitu Nirmalasari, seorang mahasiswi UIN Alauddin Makassar

mengatakan ia tergiur untuk menggunakan cream pemutih yang digunakan oleh

temannya. Awal mula pemakain ia merasa banyak terdapat perubahan dari


61

pemakaian kosmetik tersebut seperti hilangnya jerawat, bintik-bintik pada wajah

dan wajahnya juga terlihat lebih putih selama pemakaian kosmetik tersebut. Selain

harganya murah kosmetik tersebut mudah didapatkan dipasaran dan hasilnya

mudah terlihat. Namun setelah pemakaian 3 bulan, wajah Nirmalasari terasa gatal

dan memerah, awalnya ia mengira karena alergi terhadap makanan, ia pun tetap

melanjutkan pemakaian produk kosmetik tersebut. Setelah seminggu pemakain

kosmetik setelah muka Nirmalasari mengalami gatal dan memerah lalu timbul

bintik-bintik kecil pada muka Nirmalasari, ia mengaku ternyata penyebab dari

mukanya gatal dan memerah lalu timbul bintik-bintik adalah kosmetik yang

selama ini ia gunakan.65

Selanjutnya Hasrianti, mahasiswi UIN Alauddin Makassar mengatakan

pada saat itu wajah Hasrianti sangat kusam lalu ia memutuskan membeli cream

putih lewat online, dalam beberapa minggu wajah Hasrianti sudah banyak terlihat

perubahan. Dia menggunakan cream tersebut selama 5 bulan, setelah berhenti

menggunakan cream tersebut tiba-tiba wajah Hasrianti tumbuh banyak sekali

jerawat.66

Rika selaku konsumen produk kosmetik tidak terdaftar BPOM mengatakan

akibat dari ia menggunakan lipstick tidak terdaftar BPOM bibir Rika langsung

membengkak dan proses penyembuhan untuk kembali seperti biasa memakan

waktu yang lama sekitar 3 bulan. Padahal Rika hanya menggunakan lipstik

65
Nirmalasari (20 tahun), Mahasiswi UIN Alauddin Makassar, Wawancara, Samata, 05
September 2017.
66
Hasrianti (20 tahun), Mahasiswi UIN Alauddin Makassar, Wawancara, Samata, 05
September 2017.
62

tersebut sekitar 2 kali pemakaian. Rika menggunakan produk lipstik tersebut

karena ia suka melihat warna dari lipstik tersebut.67

Hal serupa juga dialami oleh Arni mahasiswi UIN Alauddin Makassar, ia

memakai lipstik tidak terdaftar BPOM, berbeda dengan Rika, dampak yang

dialami bibir Arni menjadi pecah-pecah dan gatal setelah memakai lipstik

tersebut.68

Gusni juga selaku korban dari penggunaan kosmetik tidak terdaftar

BPOM, dia mendapatkan produk tersebut dari pasar sentral. Dalam hal ini dia

menggunakan bedak padat yang tidak terdaftar BPOM, setelah beberapa kali ia

menggunakan bedak padat tersebut muka Gusni menjadi merah-merah.69

Dari kerugian konsumen yang menggunakan produk kosmetik tidak

terdaftar BPOM yang diuraikan diatas berdasarkan hasil penelitian terhadap 5

konsumen pengguna kosmetik tidak terdaftar BPOM, mereka tidak ada yang

melakukan komplain karena mereka tidak mengetahui konsumen yang mengalami

kerugian tersebut dapat melaporkan kerugian mereka kepada pemerintah untuk

mendapatkan ganti kerugian atas kesalahan dari pelaku usaha. Selain itu alasan

mereka tidak melakukan komplain karena menurut mereka efek dari kosmetik

tersebut tidak berlangsung lama dan proses penyembuhannya juga tidak

berlangsung lama. Mereka juga mengatakan produk kosmetik lain, sekalipun

67
Rika (23 tahun), Wiraswasta, Wawancara, Samata, 06 September 2017.
68
Arni (21 tahun), Mahasiswi UIN Alauddin Makassar, Wawancara, Samata, 07
September 2017.
69
Gusni (20 tahun), Mahasiswi UIN Alauddin Makassar, Wawancara, Samata, 05
September 2017.
63

produk tersebut juga tidak terdaftar BPOM meskipun mereka mengetahui dampak

negatif setelah menggunakan produk kosmetik tersebut.

Untuk mengatasi agar tidak lagi terjadinya kerugian yang dialami

konsumen karena menggunakan kosmetik tidak terdaftar BPOM, Ahmad Yani

mengatakan perlindungan terhadap konsumen pengguna kosmetik yang dilakukan

BBPOM dengan cara BBPOM terus melakukan pengawasan terhadap produk

kosmetik tidak terdaftar BPOM. Selain dari BBPOM yang terus melakukan

pengawasan, konsumen juga berhak memberi laporan apabila konsumen merasa

dirugikan akibat menggunakan produk kosmetik tidak terdaftar BPOM. Setelah

menerima laporan tersebut BPOM langsung memeriksa kosmetik tersebut dan jika

kosmetik tersebut positif menggunakan bahan berbahaya maka dari BPOM

langsung membuat peringatan tertulis untuk melarang mengedarkan kosmetik

tersebut. Konsumen yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi kosmetik

tersebut hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan

permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan

penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa berhak untuk

mendapatkannya. Tidak aka ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan

terlebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu. Namun, selama ini pihak BBPOM

Makassar belum pernah mendapatkan laporan terhadap kerugian yang dialami

pengguna kosmetik tidak terdaftar BPOM. 70

70
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
64

C. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Peredaran Kosmetik Yang Tidak

Terdaftar BPOM

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak berjalan seperti yang

diharapkan, banyaknya konsumen meresa dirugikan akibat dari produk kosmetik

yang tidak terdaftar BPOM, Di era modern ini, untuk terlihat sempurna sangat

mudah, dengan menggunakan kosmetik dapat membuat mereka terlihat lebih

cantik, bersih, dan wangi, meskipun terdapat kosmetik yang mengandung bahan

berbahaya namun konsumen tidak pernah takut akan hal itu karena mereka

menggangap kosmetik tersebut dapat mengubah segalanya dalam waktu yang

sangat singkat. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa faktor yang

menyebabkan terjadinya peredaran kosmetik adalah sebagai berikut:

1. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi atau motivasi pelaku usaha dalam memalsukan kosmetik

untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyakanya sebab kosmetik asli

biasanya harganya jauh lebih mahal.

2. Mahalnya syarat untuk pendaftaran

Sesuai dengan pasal 2 angka 2 menyebutkan “kosmetik yang dapat

dimasukkan kedalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah kosmetik yang

telah memiliki izin edar. Dengan adanya aturan bahwa produk kosmetik yang

diedarkan harus memiliki izin edar, mengharuskan pelaku usaha untuk

mendaftarkan produk kosmetik yang akan diedarkan. Menurut Muh.Kamal faktor

beredarnya kosmetik tidak terdaftar BPOM adalah biaya pendaftaran untuk

mendapatkan label BPOM tergolong mahal. Sehingga pelaku usaha tidak


65

melakukan pendaftaran produk kosmetik karena biaya pendaftaran lebih mahal

jika dibandingkan dengan keuntungan saat mengedarkan produk kosmetik.71

Namun, hasil dari wawancara dengan Ahmad Yani, beliau mengatakan

biaya pendaftaran produk kosmetik sebesar Rp.500.000 (Lima Ratus Rupiah)

berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Beliau mengatakan yang

membuat mahal pada saat pendaftaran bukan biaya pendaftaran, namun

persyaratan untuk mendapatkan izin produksi72 yang diatur pada Peraturan

Menteri Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VII/2010.

3. Faktor tingginya permintaan pasar

Faktor penyebab terjadinya peredaran kosmetik tidak terdaftar BPOM

menurut Ahmad Yani selaku kepala bidang Badan POM Makassar adalah

permintaan masyarakat yang tinggi maka beredar kosmetik-kosmetik tidak

terdaftar BPOM dipasarkan dan digunakan oleh masyarakat banyak. Permintaan

masyarakat yang tinggi salah satu faktor utama penyebab terjadinya peredaran

kosmetik yang tidak terdaftar BPOM. Produsen juga memanfaatkan pasar untuk

menjual kosmetik tidak terdaftar BPOM . jika tidak ada permintaan pasar yang

tinggi untuk dapat menggunakan kosmetik tersebut, maka pelaku usaha juga tidak

akan mengedarkan kosmetik tersebut dikarenakan tidak adanya permintaan pasar

untuk mengkonsumsi kosmetik tidak terdaftar BPOM. 73

71
Muh.Kamal (38 tahun), Staf BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 05 Juli 2017.
72
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
73
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
66

Menurut Muh.Kamal, kosmetik tidak terdaftar BPOM sudah banyak

tersebar dipasaran, karena meningkatnya permintaan pasar sehingga produsen pun

mengikuti keinginan pasar.74

4. Faktor kurangnya pengetahuan masyarakat

Salah satu faktor peredaran kosmetik adalah kurangnya pengetahuan

masyarakat untuk membedakan kosmetik asli dengan palsu membuat peredaran

barang ini marak terjadi, umumnya masyarakat hanya tertarik pada harga yang

murah.

5. Faktor kurang tegasnya sanksi

Salah satu faktor beredarnya kosmetik adalah sanksi terhadap pelaku usaha

yang memproduksi atau menjual kosmetik tidak membuat efek jera.

6. Faktor kurangnya pengawasan

Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh BBPOM Makassar juga

dikarenakan pihak BBPOM hanya mengawasi penjual dari produk kosmetik saja.

Sedangkan penjual kosmetik mendapatkan produk kosmetik tersebut dari

distributor tidak resmi. Pihak BBPOM juga harus dapat mengawasi distributor

tersebut karena jika tidak ada distributor tersebut maka penjual juga tidak menjual

produk kosmetik tidak terdaftar BPOM.

D. Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen Produk Kosmetik Yang

Tidak Terdaftar BPOM

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1

dinyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan

74
Muh.Kamal (38 tahun), Staf BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 05 Juli 2017.
67

penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak

konsumen dan pelaku usaha serta dilaksankannya kewajiban konsumen dan


75
pelaku usaha. Upaya pemerintah dalam melindungi pengguna kosmetik yang

tidak terdaftar BPOM adalah melalui pemberdayaan masyarakat/konsumen,

pengawasan dan penegakan sanksi.

1. Pemberdayaan masyarakat/konsumen

Pemberdayaan masyarakat melibatkan tiga pilar/sub sistem, ketiga sub

sistem tersebut yaitu pemerintah, produsen dan konsumen/masyarakat. Masing-

masing sub sistem tersebut perlu dilakukan peningkatan pengetahuan serta

pemberdayaan. Kepada insitusi pemerintah dilakukan melalui berbagai pelatihan.

Kepada produsen dan konsumen diberikan pengetahuan berbagai aspek tentang

produk kosmetik. Oleh karena itu Balai Besar POM Makassar telah melaksanakan

beberapa program pemberdayaan masyarakat/produsen seperti di bentuknya Unit

Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) serta dilakukan Komunikasi Informasi

Edukasi (KIE), penyebaran informasi, sosialisasi, dan pelatihan, kegiatan

penyebaran informasi dalam bentuk penyuluhan langsung, pameran, melalui

media elektronik seperti dialog di televisi local dan radio, serta melalui media

social Facebook dan Instagram.

Adapun sosialisasi terkait peredaran kosmetik yang tidak terdaftar BPOM

yang telah dilakukan oleh Badan POM Makassar adalah:

a. Sosialisasi melalui media elektronik

75
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. h. 13.
68

Dalam upaya menanggulangi maraknya peredaran kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM, Badan POM Makassar telah melakukan tindakan dan

menemukan situs website yang memasarkan kosmetik khususnya krim wajah

illegal atau palsu dan tidak memenuhi syarat. Seperti diketahui pada contoh

kosmetik krim wajah banyak sekali diperjual belikan secara online. Tahun ini dari

bulan Januari sudah ditemukan 15 kasus, dan terbanyak adalah kasus kosmetik

yang dijual secara online.

b. Sosialisasi dengan masyarakat

Upaya Badan POM Makassar dalam memberantas kosmetik yang tidak

memenuhi izin edar, telah dilakukan dengan cara mengundang para masyarakat

dan juga biasanya yang memiliki usaha salon atau toko kosmetik untuk

melakukan sosialisasi dan menjelaskan dan melakukan pembekalan bagaimana

kosmetik yang aman. Pihak Badan POM juga menghimbau kepada masyarakat

khususnya mahasiswa jangan terlalu percaya dengan produk kosmetik yang dijual

secara online karena kebanyakan ilegal.

Masyarakat juga dapat berperan langsung dalam melakukan pengawasan

terhadap kosmetik yang telah dibeli. Untuk memastikan apakah kosmetik aman,

masyarakat juga dapat mengecek nomor registrasi disetiap kemasan produk

kosmetik yang dibelinya dengan membuka alamat website www.pom.go.id.

Masyarakat juga dihimbau agar berhati-hati dalam menggunakan produk

kosmetik, masyarakat diminta untuk memeriksa kemasan dan label serta masa

kedaluwarsa produk tersebut.


69

Tujuan yang diinginkan dari penyebaran informasi ini adalah

meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga akan berdampak pada perubahan

perilaku dalam memilih produk kosmetik yang memenuhi syarat izin edar.

Dalam upaya melakukan pengawasan terhadap produk kosmetik yang

tidak terdaftar BPOM, yang menjadi sasaran untuk pengawasan kosmetik yaitu:

a. Terjun langsung ke lapangan atau tempat yang diduga banyak menjual

kosmetika seperti supermarket, minimarket, toko kosmetik, dan salon

kecantikan;

b. Membuka dan meneliti kemasan kosmetika;

c. Melihat kemasan apakah kosmetik tersebut memenuhi syarat atau tidak.

Ahmad Yani juga mengatakan bahwa di tahun 2016 ini total kosmetik

ilegal yang berhasil diungkap senilai Rp770 juta rupiah. Adapun seluruh kosmetik

yang diamankan merupakan kosmetik ilegal tanpa izin edar dan mengandung

bahan berbahaya. Dari total 600 item merk dan jenis yang diamankan itu

berjumlah lebih dari Rp700 juta rupiah, kebanyakan merupakan kosmetik ilegal

dari luar negeri seperti Eropa, Thailand, Fhilipina, India dan Vietnam.76

Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat menurut pasal 44 ayat (2)

memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan

konsumen.77 Ahmad Yani mengatakan sebagai upaya preventif pihaknya

melakukan sosialisasi kepada konsumen, yaitu memberi informasi terkait produk

kosmetik yang diedarkan harus terdaftar BPOM. Sosialisasi tersebut biasanya

76
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
77
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. h. 17.
70

dilakukan secara tidak resmi, yaitu memberi informasi kepada pihak terdekat

seperti keluarga, saudara, teman dan lain-lain. Pihaknya juga melakukan

sosialisasi dalam bentuk Talk Show melalui stasium televisi TVRI Makassar.

Sosialisasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk

berhati-hati dalam hal memilih produk kosmetik. Kegiatan sosialisasi dilakukan

agar konsumen melaporkan bila ada peredaran kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM.

2. Penegakan sanksi

Dalam melakukan upaya untuk mencegah beredarnya kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM secara terus-menerus melakukan pengawasan. Pengawasan yang

menjadi sasaran untuk pengawasan kosmetik, Badan POM masuk di supermarket,

minimarket, toko kosmetik,pasar swalayan dan salon kecantikan.

Pada saat Balai POM Makassar turun kelapangan melakukan pemantauan

dan pengawasan, jika terdapat kosmetik beredar tidak memenuhi ketentuan maka

Balai Besar POM Makassar melaporkan ke Badan POM Pusat karena menurut

Ahmad Yani tidak hanya di Makassar saja yang mendapatkan kosmetik tidak

memenuhi ketentuan. Jika ada Balai POM lain menemukan juga kosmetik yang

sama maka BPOM Pusat memerintahkan untuk menarik barang dan BPOM Pusat

mengeluarkan public warning. Setelah kosmetik tersebut masuk di daftar public

warning Badan POM terus memantau kelapangan. Jika konsumen tersebut masih

beredar di pasaran maka produk kosmetik akan dimusnahkan.

Terhadap pelaku usaha yang mengedarkan kosmetik public warning tidak

ada toleransi, produk kosmetik tersebut akan disita dan BPOM mengeluarkan
71

surat peringatan bahwasanya pelaku usaha dilarang memproduksi/menjual

kosmetik tersebut. Setelah pelaku usaha mendapat surat peringatan maka BPOM

sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan penilaian dan pengujian

BPOM tetap terus melakukan pemantauan terhadap pelaku usaha tersebut, apabila

pelaku usaha tetap memproduksi/menjual kosmetik tersebut. Maka BPOM

memberikan peringatan keras berupa surat. Hanya saja peringatan keras ini adalah

peringatan terakhir kepada pelaku usaha. Jika pelaku usaha tetap

memproduksi/menjual kosmetik tersebut maka BPOM limpahkan ke Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pada saat PPNS menemukan produk kosmetik

masih diperdagangkan, maka masuk di Pro Justitia.

Sanksi yang tegas yang pernah dijatuhkan oleh H.Rusli salah satu pemilik

toko terbesar di Makassar yang terletak di Jalan Karuwisi, Maccini Raya

Makassar. Dalam penggeledahan ditemukan kurang lebih 100 jenis item yang

tidak jelas dan semuanya di racik tanpa dasar kewenangan dan keahlian. Kosmetik

tersebut mengandung bahan mercury dengan efek samping sangat berbahaya bila

digunakan terus menerus, yang dikemas di toko milik H.Rusli dalam kemasan

kecil berukuran 100 ML dan dipasarkan di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

Dalam kasus ini H.Rusli dikenakan Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun

2009 Pasal 196 dengan hukuman penjara 10 tahun dan Pasal 197 hukuman

penjara paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp.1,5 miliar.78

E. Analisis Hukum Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.8

Tentang Perlindungan Konsumen

78
Ahmad Yani (45 tahun), Kepala Bidang BPOM Makassar, Wawancara, Makassar, 04
Juli 2017.
72

Islam mengharamkan penipuan dan kecurangan dalam semua aktifitas

manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan

dan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk,

menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik.

Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli. Maka dalam Islam sangat

mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi

barang yang hendak dijual harus dijelaskan kekurangan dan cacatnya. Jika

menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman. Padahal, jika kejujuran dalam

bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan akan menciptakan kepercayaan

antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonisan dalam

masyarakat.

Adapun hadis yang telah dipaparkan di atas, Rasulullah telah dengan tegas

mengatakan, bahwa bertransaksi dibumbui dengan ketidakjujuran tersebut tidak

akan berkah. Dan beliau menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menipu kami,

bukanlah dari golongan kami (Riwayat Muslim).

Ketidakjujuran dalam bertransaksi saat ini memang sulit ditemui. Banyak

kita menjumpai pedagang yang hanya mengatakan barang yang dijualnya adalah

barang yang sempurna, paling bagus, yang membuat konsumen tergiur, tetapi

tidak dikatakan atau dijelaskan cacatnya barang tersebut. berbuat curang dalam

jual beli berarti berbuat zalim kepada orang lain dalam urusan hartanya dan

memakan harta mereka dengan cara yang bathil. Walaupun hanya sedikit, harta

yang didapatkan dengan jalan berbohong, menyembunyikan kecacatan atau


73

mengurangi timbangan adalah harta yang haram. Sudah seharusnya kita

menjauhkan diri kita dari harta-harta semacam itu.

Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S Hud/11:85.

        

      

Terjemahnya:

Dan wahai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan
kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Dalam hukum perlindungan konsumen Undang-undang No.8 Tahun 1999

disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam

perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang

selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat

bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk

melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan

konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative

dan komprensif dapat dilindungi.

Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan konsumen, maka

kita sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilih barang/jasa yang

ditawarkan dan adapun hal-hal yang perlu diperhatikan bagi konsumen, seperti:

1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk


74

2. Teliti sebelum membeli

3. Biasakan belanja sesuai rencana

4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek

keamanan, keselamatan, kenyamanan dan kesehatan

5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

6. Perhatikan label, keterangn barang dan masa kadaluarsa.


75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap produk kosmetik tidak terdaftar pada BPOM

di tinjau dari Hukum Islam yaitu pelaku usaha harus bertanggung jawab atas

perbuatannya yang telah merugikan konsumen berupa ganti rugi karena

transaksi, perusakan, perbuatan, penahanan dan ganti rugi karena tipu daya.

Dan pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang Perlindungan

Konsumen, Peraturan perundang-undangan terkait Peredaran Kosmetik.

Namun, masih saja ditemui konsumen yang mengalami kerugian akibat

menggunakan produk kosmetik tidak terdaftar BPOM, pengguna kosmetik

belum terlindungi karena pemerintah belum bisa menghentikan kosmetik

tersebut beredar.

2. Faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM karena adanya faktor ekonomi, mahalnya syarat

pendaftaran, tingginya permintaan pasar, kurangnya pengetahuan

masyarakat, kurang tegasnya sanksi, dan faktor kurangnya pengawasan.

3. Upaya pemerintah dalam melindungi konsumen produk kosmetik yang tidak

terdaftar BPOM adalah BBPOM Makassar telah melaksanakan beberapa

program pemberdayaan masyarakat/produsen seperti Unit Layanan

Pengaduan Konsumen (ULPK), BBPOM juga melakukan pengawasan dan


76

penjatuhan sanksi kepada pelaku usaha kosmetik yang tidak terdaftar

BPOM.

B. Implikasi Penelitian

1. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sebaiknya beriktihad baik dan

memberikan informasi yang jelas atas barang dan/atau jasa yang diedarkan

serta berupaya memperhatikan hak-hak konsumen dan kewajibannya

sebagai pelaku usaha yang telah dirumuskan dalam UUPK

2. Disarankan kepada konsumen agar konsumen lebih teliti dan bijak dalam

memilih produk kosmetik. Dan juga diharapkan agar konsumen

melaporkan kepada BPOM apabila diduga adanya produksi dan peredaran

kosmetik tidak terdaftar BPOM

3. Disarankan kepada pemerintah dalam hal ini BBPOM agar dalam

melakukan pengawasan BBPOM tidak hanya mengawasi penjual kosmetik

tetapi BBPOM juga melakukan pengawasan pada distributor. Dalam hal

ini hakim juga disarankan perlu menetapkan sanksi yang tegas kepada

pelaku usaha. Hal ini dapat memberikan efek jera kepada pelaku usaha.
77

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Maghfirah


Pustaka, 2006.

Undang-undang/Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia. “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen”.

Republik Indonesia. ”Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI


Nomor HK.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik”.

Republik Indonesia. “Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika”.

Republik Indonesia. “ Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI


Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik”.

Republik Indonesia. “Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI


Nomor 18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika”.

Republik Indonesia. “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.

Skripsi

Muhayat, Muhammad Yahya. “Perlindungan Terhadap Konsumen dari Peredaran


Obat Tradisional Berbahaya Kimia/zat Berbahaya berdasarkan UU No.8
Tahun 1999”. Skripsi. Makassar: Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin, 2012.

Nur Muhamad Fauzan I. “Peranan MUI dalam Melindungi Konsumen Muslim


dari Produk Haram”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga, 2015.

Riza Laely Ikayanti. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Konsumen


dalam Transaksi Elektronik”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2014.

Solikhin. “Perlindungan Hak-hak Konsumen Transaksi Jual Beli Online


Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2014.
78

Buku-buku

Abbas, Nurhayati. Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya.


Ujungpandang: Elips Project, 1996.

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit, 2010.

Al-Jaziri Abdurrahman. Fiqh Empat Mazdhab Bagian Muamalah II. Darul Ulum
Press, 2001.

As-Sabatin Yusuf. Bisnis Islam dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis.
Bogor: Al-Ashar Press, 2009.

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Basyir, Ahmada Azhar. Asas-asas Hukum Muamalat . Yogyakarta: FH UII, 1990.

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. Laporan Tahunan. Makassar: 2016.

Harahap, Sofyan.S. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Empat,
2011.

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalah. Cet. II;
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. IX:
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:


Rajawali Pers, 2013.

Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di


Indonesia. Cet. 11: Jakarta : Rajawali Pers, 2013.

Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di


Indonesia. Surabaya: 2000.

Muhammad dan Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi


Islam. Yogyakarta: BPFE, 2004.
79

Nasution, Z. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit


Media, 2001.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Cet. VII; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nurmadjito. Kesimpulan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang


Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Mandar Maja, 2000.

Sadar, M, dkk. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesi. Jakarta: Permata Puri


Media, 2012.

Syawali Husni dan Neni Sri Imaniyati. Hukum Perlindungan Konsumen.


Bandung: Mandar Maja, 2000.

Taimiyyah, Majdudin bin. Nailul Authar. Surabaya: Bina Ilmu, 2007.

Tri Siwi Kristiyanti, Celina. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. 111; Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.

Usman, Husaini, dkk. Metode Penelitian Sosial. Cet. V; Jakarta: PT Bumi Aksara,
2004.

Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Prenada Media Group, 2013.


FOTO PENELITIAN DI BPOM KOTA MAKASSAR
KOSMETIK YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT IZIN EDAR
WAWANCARA DENGAN KONSUMEN KOSMETIK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Arti lahir di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan

pada tanggal 18 September 1996 anak ke Dua (2) dari

buah hati Bapak Muh. Tahir dengan Ibu Sunang.

Pendidikan formal dimulai di SD Inpres Palanro dan

lulus pada tahun 2010 melanjutkan kebangku SMPN 3

Mallusetasi lulus pada tahun 2012, setelah itu penyusun

mendaftarkan dirinya ke SMAN 1 Mallusetasi

dinyatakan lulus pada tahun 2014, tidak sampai disitu penyusun melanjutkan

pendidikannya di Universitas Islam Negeri Alauddin jurusan Peradilan Agama

hingga saat ini. Beberapa organisasi yang diikuti selama menempuh pendidikan

diantaranya Anggota Koperasi Mahasiswa (KOPMA) Alauddin Makassar,

Anggota Ikatan Penggiat Peradilan Semu (IPPS) UIN Alauddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai