P3600216095 - Tesis 1-2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 63

UJIAN AKHIR MAGISTER

AKTA WASIAT YANG TIDAK DIDAFTARKAN OLEH


NOTARIS PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

Oleh :

I L HAM
NIM. P3600216095

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
HALAMAN JUDUL

AKTA WASIAT YANG TIDAK DIDAFTARKAN OLEH


NOTARIS PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister


Pada Program Studi Magister Kenotariatan

Disusun dan diajukan oleh :

I L HAM
NIM. P3600216095

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

i
iii
iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada


Allah Subhanahu W a Ta’ala atas segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula Shalawat serta salam
terhatur kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi W asallam yang
menjadi suri tauladan dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan
kejujuran di muka bumi ini.
Selesainya tesis ini tidak terlepas dari doa dan dukungan dari
kedua orang tua Penulis yang tercinta Ibunda Hj. Syamsiah Rikpi dan
Ayahanda H. Dahlan yang selama ini banyak memberikan dukungan yang
sangat bermanfaat dalam menyemangati penulis untuk melakukan
kegiatan pendidikannya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
dengan penuh kasih sayang dan rasa cintanya yang tak terhingga. Begitu
juga telah merawat dan membimbing saya sehingga terlahir dan dewasa
sampai pada saat ini. Oleh karenanya ucapan terima kasih yang setinggi-
tingginya dengan berharap mereka tetap membimbing saya untuk
menapaki kehidupan yang mendatang.
Penelitian tesis ini, penulis menyadari terdapat kekurangan, untuk
itu besar harapan semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu
syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penelitian tesis ini
tidak akan terwujud tanpa bantuan dari para pembimbing, dosen-dosen
serta berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengucapkan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta jajarannya.
2. Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.

v
3. Dr. Sri Susyanti Nur, S.H.,M.H., selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. dan Dr. Ilham Arisaputra, S.H.,
M.Kn. selaku pembimbing yang senantiasa secara tulus dan ikhlas
bersedia meluangkan waktunya untuk memeriksa serta memberikan
arahan, masukan, dan saran guna membantu penulis menyelesaikan
tesis ini dengan sebaik-baiknya.
5. Dr. Hasbir, S.H.,M.H, Dr. Marwah, S.H., M.H., dan Brillian Thioris, S.H.
selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan
dalam penyusunan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama masa
perkuliahan berlangsung.

7. Seluruh Staf dan Karyawan Akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin. Terkhusus Staf Program Studi Kenotariatan Ibu Eppy dan

Pak Aksa yang telah banyak membantu selama masa perkuliahaan.

8. Teman–teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin (KOMPAR15I).

9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis: Lana, Puput, Dedet, Ajis,

Aminah, Gilang, Kak Ikha, Indah, Rezky, Kak Diba, yang telah menjadi

bagian dari keluarga baru penulis selama masa perkuliahan di

Kenotariatan.

10. Serta kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-

persatu, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

vi
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang

Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin

Yaa Rabbal’alaamiin. Jazakumullah Khairan.

vi
i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................... ix
ABSTRACT ......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ................................................. 6
E. Orisinalitas Penelitian ............................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Tentang W asiat .............................. 11
1. Wasiat Menurut Hukum Barat ............................... 11
2. Wasiat Menurut Hukum Islam .............................. 21
3. Wasiat Menurut Hukum Adat ................................. 27
B. Daftar Pusat Wasiat .................................................. 29
C. Tinjauan Umum Tentang Notaris .............................. 34
D. Landasan Teoritik ...................................................... 42
1. Teori Kepastian Hukum ........................................ 42
2. Teori Pertanggungjawaban Hukum ...................... 44
E. Kerangka Pikir ........................................................... 48
Bagan Kerangka Pikir ................................................ 50
F. Definisi Operasional .................................................. 50

vii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian .......................................................... 53
B. Pendekatan Penelitian .............................................. 53
C. Bahan Hukum Penelitian ........................................... 55
D. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .................... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Akibat Hukum Terhadap Akta Wasiat Yang Tidak
Didaftarkan Oleh Notaris Pada Pusat Daftar Wasiat .. 57
B. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Wasiat
yang Tidak Dilaporkan Pada Pusat Daftar Wasiat .... 98

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................... 113
B. Saran ........................................................................ 114

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 116

viii
viii
viii
viii
ABSTRAK

Ilham (P3600216095), Akta Wasiat Yang Tidak Didaftarkan Oleh


Notaris Pada Daftar Pusat Wasiat (dibimbing oleh Nurfaidah Said dan
Muhammad Ilham Arisaputra).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis akibat
hukum terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan oleh notaris pada
Pusat Daftar Wasiat, serta mengkaji dan menganalisis
pertanggungjawaban notaris terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan
pada Pusat Daftar Wasiat.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer dan sekunder
yang telah disinkronisasi secara sistematis kemudian dikaji lebih lanjut
berdasarkan teori-teori hukum yang ada sehingga diperoleh rumusan
ilmiah untuk menjawab persoalan hukum yang dibahas dalam penelitian
hukum ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum terhadap akta
wasiat yang tidak didaftarkan oleh notaris pada Pusat Daftar Wasiat
adalah dapat menyebabkan akta tersebut terdegradasi menjadi akta
dibawah tangan. Akibat hukum yang lainnya adalah menyebabkan tidak
akuratnya Surat Keterangan W asiat (SKW) yang diterbitakan kemudian
oleh Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum dan HAM serta tidak
akuratnya Surat Keterangan Hak Mewaris (SKHW) yang diterbitkan oleh
Balai Harta Peninggalan atau Notaris atau Kepala Desa/Kelurahan dan
Camat. Bahkan notaris dapat digugat oleh pihak-pihak yang dirugikan
akibat dilanggarnya kewajiban tersebut. Pertanggungjawaban notaris
terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan pada Pusat Daftar Wasiat
adalah bertanggungjawab secara jabatan sebab oleh sebab pelaporan
tersebut merupakan tindakan pejabat dan merupakan beban kewajiban
jabatan, bukan orang selaku pribadi. Untuk itu, maka notaris yang tidak
melaksanakan kewajibannya itu dapat dijatuhi sanksi baik pidana, perdata,
maupun administrasi sebagaimana ditentukan dalam UUJN dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Di samping itu, tindakan notaris yang
melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j UUJN adalah perbuatan
melanggar hukum dalam kriteria bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku dan atas dasar tindakan tersebut ada pihak yang menderita
kerugian, yakni para ahli waris ataupun pihak ketiga.

Kata Kunci: Akibat Hukum, Akta Wasiat, Notaris, Daftar Pusat Wasiat,
Tanggung Jawab.

ix
ABSTRACT

Ilham (P3600216095), Will Deeds Not Registered By Notary


On The Center Of Will (Supervised by Nurfaidah Said and Muhammad
Ilham Arisaputra).
This study aims to examine and analyze the legal consequences
of wills that are not registered by a notary at the Center of Will, as well as
to study and analyze the accountability of notaries for wills that are not
reported at the Center for Will Registry.
This research is normative juridical using a statutory approach
(statute approach) and a conceptual approach (conceptual approach).
Primary and secondary legal materials that have been systematically
synchronized are then further studied based on existing legal theories in
order to obtain a scientific formula to answer legal issues discussed in this
legal research.
The results of the study show that the legal consequences for will
deeds that are not registered by a notary at the Willing Registration Center
can cause the deed to be degraded into underhand deeds. Other legal
consequences include the inaccuracy of the W ills (SKW) published later
by the Center for W ills of the Ministry of Law and Human Rights and the
inaccuracy of the Certificate of Inheritance Rights (SKHW) issued by the
Heritage Hall or Notary or Head of Village / Sub-District and Sub-District
Head . Even notaries can be sued by parties who suffer losses due to
violation of these obligations. The notary's responsibility for will deeds that
are not reported in the Center of Will is responsible in an ex officio
because because the reporting is an act of an official and is a burden on
the job obligation, not an individual. For this reason, notaries who do not
carry out their obligations may be subject to criminal, civil and
administrative sanctions as stipulated in the UUJN and other statutory
regulations. In addition, the actions of a notary who violate the provisions
of Article 16 paragraph (1) letter j of the UUJN are acts of violation of the
law under the criteria that are contrary to the legal obligations of the
perpetrator and on the basis of these actions there are parties who suffer
losses, namely the heirs or third parties.

Keywords: Legal Consequences, Will Deeds, Notary, Central Register


of Wills, Responsibilities.

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tentu akan berusaha memenuhi kebutuhannya sehari-

hari agar tetap dapat bertahan hidup. Namun, tidak semua orang akan

menemui kemudahan dalam berusaha. Bagi mereka yang memiliki

kemampuan lebih, untuk mengumpulkan atau memiliki harta benda tentu

bukanlah suatu yang sulit. Harta yang dikumpulkan semasa hidup,

tentunya tidak akan dibawa mati. Pada umumnya, harta dari seseorang

yang telah meninggal dunia akan jatuh kepada keluarga dan orang

terdekatnya atau yang lebih dikenal juga sebagai ahli waris yang mana hal

ini diatur dalam hukum waris.

Menurut Klassen-Eggens, hukum waris adalah hukum yang

mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dan terjadinya hubungan-

hubungan hukum sebagai akibat kematian seseorang. 1 Hal ini sejalan

dengan ketentuan dalam Pasal 830 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya

disingkat BW) yang menyatakan bahwa pewarisan hanya berlangsung

karena kematian dimana ketentuan ini selanjutnya diatur dalam ketentuan

Pasal 874 BW yang menegaskan bahwa segala harta peninggalan

seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya

menurut undang-undang, sekadar terhadap itu dengan surat wasiat tidak

1
R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2000. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya:
Airlangga University Pres. Hlm. 1

1
telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah. Dalam BW ada dua cara

untuk mendapatkan harta warisan yaitu:

a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab intestate);

b. Karena seseorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).2

Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya

kelak jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan ahli waris.

Untuk itu hukum memperbolehkan si pemilik harta memberikan hartanya

menurut keinginannya sendiri dimana hal ini menyimpang dari ketentuan

hukum waris, ini adalah wajar sebab pada prinsipnya seorang pemilik
3
harta bebas memperlakukan hartanya sesuai keinginannya.

Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit terjadi konflik dalam hal

pembagian harta benda yang ditinggalkan atau yang disebut juga harta

peninggalan oleh si pemilik benda. Berkaitan dengan hal tersebut, pemilik

benda atau dalam hal ini disebut juga pewaris, membuat sebuah wasiat

yang berkaitan dengan harta peninggalannya. Wasiat ini dibuat semasa si

pewaris masih hidup dan baru akan berlaku sejak pewaris meninggal

dunia. Wasiat atau testament itu sendiri menurut Pasal 875 BW ialah

suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang

dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya

dapat dicabut kembali lagi.

Pewarisan dengan akta wasiat sudah dikenal sejak jaman Romawi.

Bahkan pewarisan dengan menggunakan akta wasiat (testament acte)


2
Zainuddin Ali. 2010. Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 82
3
Oemarsalim. 2012. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta. Hlm. 82

2
menjadi suatu hal yang utama. Pada jaman Kaisar Justinianus, hukum

Romawi mengenal 2 (dua) bentuk testament, yaitu lisan dan tertulis. Pada

waktu membuat testament, baik tertulis maupun lisan, harus hadir tujuh

orang saksi. Pada testament yang tertulis, para saksi harus ikut

menandatangani surat yang memuat kehendak terakhir dari si pewaris itu.

Sedangkan pada testament yang lisan, para saksi cukup mendengarkan


4
saja apa yang diterangkan oleh si pewaris.

Wasiat sendiri terdiri dari jenis dan bentuk yang berbagai macam.

Dilihat dari isinya, wasiat terbagi menjadi dua, yaitu wasiat yang berisi

erfstelling atau wasiat pengangkatan waris dan wasiat yang berisi hibah

(hibah wasiat) atau legaat. Sedangkan dari bentuknya, wasiat terbagi atas

wasiat yang harus ditulis sendiri (Olographis Testament), wasiat umum

(Openbaar Testament), wasiat rahasia atau testament tertutup (Geheim),

pembuatan testament di luar negeri, dan pembuatan testament dalam


5
keadaan luar biasa.

Setiap jenis dan bentuk wasiat di atas dapat dibuat baik dalam akta

otentik di hadapan notaris maupun akta bawah tangan. Notaris bertugas

dan berkewajiban untuk menyimpan dan mengirim daftar wasiat yang

telah dibuatnya ke Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Daftar Pusat

Wasiat (DPW).

4
Mireille Titisari Miarti Prastuti. 2006. Peran dan Tanggung Jawab Notaris Atas
Akta Wasiat (Testament Acte) yang Dibuat Di Hadapannya. Tesis. Program Magister
Kenotariatan, UNDIP. Semarang. Hlm. 2.
5
Maman Suparman. 2015. Hukum Waris Perdata. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm.
107.

3
Sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

tanggal 1 Maret 2005 Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia, BHP merupakan Unit Pelaksana

Teknis yang berada di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan HAM,

namun secara teknis bertanggung jawab langsung pada Direktorat

Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktorat Perdata. Dalam

rangka untuk mewujudkan efisiensi dari sistem pendaftaran tersebut, pada

tanggal 28 Maret 2014, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

(selanjutnya disebut Kemenkum HAM RI) mengeluarkan sistem

pendaftaran wasiat secara online oleh Notaris. Selanjutnya, telah

diterbitkan pula Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 60 Tahun

2016 tentang Tata Cara Pelaporan Wasiat dan Permohonan Penerbitan

Surat Keterangan Wasiat Elektronik (selanjutnya disebut Permenkumham

No. 60/2016) sebagai landasan hukum pelaksanaan pelaporan wasiat

yang dilakukan secara online.

Namun demikian, pada prakteknya saat ini masih banyak Notaris

yang belum mendaftarkan wasiat ke Daftar Pusat W asiat. Hal ini terlihat

berdasarkan data laporan bulanan yang masuk ke dalam online sistem

Pusat Daftar Wasiat Subdirektorat Harta Peninggalan Direktorat Perdata

dimana hanya terdapat sekitar 4.000 (empat ribu) Notaris saja yang

4
secara rutin melakukan laporan bulanan, padahal jumlah Notaris di

seluruh Indonesia saat ini mencapai sekitar 15.000 (lima belas ribu).

Pasal 16 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN-P) menentukan kewajiban

bagi Notaris untuk mengirimkan daftar Akta yang berkenaan dengan

wasiat atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar

wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap

bulan berikutnya. Namun demikian, UUJN-P tidak mengatur mengenai

denda dari tiap-tiap keterlambatan, baik keterlambatan tentang daftar akta

wasiat kepada Kemenkum HAM RI maupun keterlambatan tentang

pengiriman pencatatan repertorium.

Selanjutnya Pasal 943 BW menentukan pula bahwa “Notaris yang

menyimpan surat-surat wasiat diantara surat-surat aslinya, dalam bentuk

apa pun juga, setelah meninggalnya pewaris, harus memberitahukannya

kepada orang-orang yang berkepentingan”. Kedua aturan tersebut

menjadi dasar kewajiban bagi notaris untuk melaporkan segala akta yang

berkaitan dengan wasiat, meskipun itu daftar nihil.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

Notaris memiliki fungsi penting dalam pembuatan akta wasiat dari proses

awal hingga akhir sehingga akta wasiat tersebut memiliki kekuatan hukum

yang mengikat. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam

5
tulisan ini penulis mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan Notaris

khususnya mengenai “Akta Wasiat Yang Tidak Didaftarkan Oleh Notaris

Pada Daftar Pusat Wasiat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, rumusan masalah

dalam penelitian ini yaitu :

1. Apakah akibat hukum terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan oleh

notaris pada Pusat Daftar Wasiat?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban notaris terhadap akta wasiat yang

tidak dilaporkan pada Pusat Daftar Wasiat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis akibat hukum terhadap akta wasiat

yang tidak didaftarkan oleh notaris pada Pusat Daftar W asiat.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban notaris

terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan pada Pusat Daftar Wasiat.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan pemikiran teoritis maupun kegunaan praktis. Secara

teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

6
pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di

bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum

kenotariatan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat

memberikan manfaat praktis berupa sumbangan pemikiran kepada

institusi terkait dalam menata dan memperbaiki sistem pelaporan wasiat.

E. Orisinalitas Penelitian

Untuk memastikan orisinalitas dari penelitian ini, maka penulis

terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap penelitian yang pernah

diteliti oleh penulis lainnya. Hal ini untuk memastikan bahwa penelitian

yang penulis kerjakan berbeda dengan penulisan yang sudah ada.

Adapun beberapa penelitian yang terkait dengan tesis ini adalah:

1. Tesis, Tanggung Gugat Notaris dalam pelaksanaan pendaftaran akta

wasiat secara online berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, oleh Mirza Muhammad di

Universitas Surabaya. Rumusan Masalah dalam tesis ini adalah:

Pertama, Bagaimanakah akibat hukum dari wasiat yang tidak

didaftarkan secara online di Kementerian Hukum dan HAM RI sejak

berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor

60 Tahun 2016? Dan Kedua, Bagaimana bentuk pertanggung jawaban

Notaris yang tidak mendaftarkan wasiat secara online pada

Kementerian Hukum dan HAM RI, sejak berlakunya Peraturan Menteri

7
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 60 Tahun 2016? Dalam

kesimpulannya disebutkan, bahwa: Pertama, Keduduka akta wasiat

yang tidak didaftarkan secara online pada Kementerian Hukum dan

HAM adalah tetap sah sebagai akta otentik, dan Kedua, bahwa

tindakan notaris yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 16 Ayat (1)

huruf J UUJN dan menimbulkan kerugian bagi ahli waris, maka ahli

waris dapat menggugat notaris atas dasar perbuatan melanggar

hukum.

2. Tesis, Tanggung Gugat Notaris Dalam Pelaksanaan Pendaftaran

Wasiat Secara Online, oleh Fanny Levia, Arni Agustin di Universitas

Airlangga. Adapun rumusan masalah dari tesis tersebut adalah:

Pertama, Akibat hukum dari wasiat yang tidak didaftarkan secara

online di Kementerian Hukum dan HAM RI dan Kedua, Tanggung

gugat notaris yang tidak mendaftarkan wasiat secara online pada

Kementerian Hukum dan HAM RI. Kesimpulan dari artikel tersebut

adalah: Pertama, Dapat dikatakan bahwa kedudukan akta wasiat yang

tidak didaftarkan secara online pada Kementerian Hukum dan HAM

adalah tetap sebagai akta otentik dan tidak memiliki akibat hukum

yang dapat membatalkan akta tersebut, hanya saja akta tersebut tidak

memenuhi asas publisitas yang dapat membuat pihak ketiga atau ahli

waris dianggap tidak mengetahui adanya suatu wasiat yang ditujukan

bagi mereka. Terhadap notaris yang tidak memenuhi kewajibannya

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf j

8
UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(selanjutnya disebut UUJN), maka terhadap notaris tersebut dapat

dijatuhi sanksi administratif yang ditegaskan ketentuannya pada Pasal

16 ayat (11) UUJN. Menurut Pasal 91A UUJN ketentuan mengenai

tata cara penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (11) UUJN tersebut diatur dalam Peraturan Menteri. Sedangkan

pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris yang saat ini sudah tidak diberlakukan lagi, diatur

mengenai akibat hukum dari akta wasiat yang tidak didaftarkan pada

Kementerian Hukum dan HAM, yang menyatakan bahwa akta tersebut

akan terdegradasi menjadi akta bawah tangan dan dapat batal demi

hukum, yang dalam hal ini notaris tidak memenuhi ketentuan Pasal 16

ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris. Dan Kedua, Atas tindakan notaris yang tidak

memenuhi ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j UUJN dan menimbulkan

kerugian bagi ahli waris, maka ahli waris dapat menggugat notaris atas

dasar perbuatan melanggar hukum dimana notaris yang bersangkutan

tidak memenuhi kewajiban hukumnya sebagaimana yang dimaksud

pada Pasal 16 ayat (1) huruf j UUJN. Atas kerugian yang diderita oleh

ahli waris tersebut, berdasarkan UUJN maka notaris dapat dituntut

penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagaimana yang

ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (12) UUJN.

9
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dapat ditarik perbedaan

mendasar dari isu permasalahan yang diangkat bahwa tesis ini berjudul

akta wasiat yang tidak didaftarkan oleh notaris pada Pusat Daftar W asiat

dan rumusan masalahnya adalah: Pertama, Apakah akibat hukum

terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan oleh notaris pada Pusat

Daftar Wasiat? dan Kedua, Bagaimanakah pertanggungjawaban notaris

terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan pada Pusat Daftar Wasiat?

Sehingga pada akhirnya Nanti akan menghasilkan output yang berbeda

pula dengan penulisan sebelumnya.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Wasiat

1. Wasiat Menurut Hukum Perdata Barat

Wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang

tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. 6 Dari

ketentuan tersebut pada asasnya suatu pernyataan adalah keluar dari

suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali

oleh yang membuatnya (herropen). Dengan kata lain, bahwa tidak

segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagai mana diletakkan

dalam wasiat itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan.

Pembatasan penting dari keberadaan wasiat terletak dalam pasal-

pasal tentang legitieme portie.

Wasiat menurut Pasal 875 BW adalah suatu akta yang berisi

pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia

meninggal dunia dan olehnya dapat ditarik kembali. Pernyataan

dimaksud berkaitan dengan harta peninggalan milik seseorang yang

berdasarkan Pasal 874 BW bahwa segala harta peninggalan

seseorang yang meninggal dunia pada prinsipnya adalah kepunyaan

6
Titik Triwulan Tutik, S.H.,M.H. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta. Kencana. Hlm. 269

11
sekalian ahli warisnya. Menurut undangundang, terhadap hal itu

dengan surat wasiat telah diambil suatu ketetapan yang sah. 7

Suatu wasiat (testament) harus dalam bentuk tertulis yang

dibuat dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta otentik.

Akta ini berisikan pernyataan kehendak sebagai tindakan hukum

sepihak, yang berarti pernyataan itu datangnya dari satu pihak saja.

Dengan kata lain, wasiat merupakan pernyataan mengenai suatu hal

sesudah ia meninggal dunia. Jadi, wasiat baru mempunyai akibat


8
sesudah si pewaris meninggal dunia.

Ketentuan lain dalam pembuatan surat wasiat ini adalah bahwa

pembuat wasiat harus menyatakan kehendaknya yang berupa amanat

terakhir ini secara lisan di hadapan notaris dan saksi-saksi. Salah satu

ciri dan sifat yang terpenting dan khas dalam setiap surat wasiat, yaitu

surat wasiat selalu dapat ditarik kembali oleh si pembuatnya. Hal ini

disebabkan tindakan membuat surat wasiat adalah merupakan


9
perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi.

Pasal 930 BW melarang bahwa surat wasiat dibuat oleh dua

orang atau lebih. Ketentuan ini ada hubungannya dengan sifat khusus

dan penting suatu surat wasiat, yaitu bahwa surat wasiat selalu dapat

dicabut. Apabila undang-undang mengijinkan beberapa orang

membuat wasiat dalam surat wasiat, maka dalam hal pencabutan

7
Maman Suparman. Op.Cit. Hlm.105.
8
Ibid
9
Ibid. Hlm. 98.

12
dapat timbul kesulitan. Alasan utama larangan tersebut adalah

kerahasiaan isi wasiat. 10

Pasal 931 BW menentukan bahwa surat wasiat dapat dibuat

dengan tiga macam cara yaitu dengan suatu akta olografis atau ditulis

tangan; dengan akta umum; atau dengan penentuan rahasia atau

tertutup. Pembagian testament menurut bentuknya dapat dilakukan

dalam dua macam, yaitu dengan akta umum dan tidak dengan akta
11
umum, yang dibedakan lagi dalam olografis dan rahasia.

Dilihat dari jenisnya, wasiat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Wasiat yang berisi erfstelling atau wasiat pengangkatan


waris. Pasal 954 BW menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan wasiat pengangkatan waris adalah wasiat dengan
mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada
seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian
(setengah atau sepertiga) dari harta kekayaannya, kalau ia
meninggal dunia.
Orang yang ditunjuk dalam wasiat erfstelling, dinamakan
testamentaire erfenaam, yaitu ahli waris menurut wasiat;
sama halnya dengan ahli waris menurut undang-undang, ia
memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal (onder
algemene title).
b. Di dalam Pasal 957 BW mengatur tentang wasiat yang berisi
hibah (hibah wasiat) atau legaat. Ketentuan ini menyatakan
bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang
khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang
atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari
suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang
bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. 12

10
Tan Thong Kie. 2007. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta.
Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm. 267.
11
R. Soetojo Prawirohamidjojo. Op.Cit. Hlm.176.
12
Maman Suparman. Op.Cit. Hlm. 107.

13
Menurut Pasal 931 BW , ada 3 (tiga) bentuk surat wasiat, yaitu

wasiat yang harus ditulis sendiri (olographis testament), wasiat umum

(openbaar testament), dan wasiat rahasia. Mengenai wasiat yang

harus ditulis sendiri (Olographis Testament), Pasal 932 BW memuat

beberapa ketentuan sebagai berikut:

Wasiat olografis harus seluruhnya ditulis tangan dan


ditandatangani oleh pewaris.
Wasiat ini harus dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk
disimpan.
Dibantu oleh dua orang saksi, Notaris itu wajib langsung
membuat akta penitipan, yang harus ditandatangani olehnya,
oleh pewaris dan oleh para saksi, dan akta itu harus ditulis
dibagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara
terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya
dengan disegel; dalam hal terakhir ini, di hadapan Notaris dan
para saksi, pewaris harus membubuhkan di atas sampul itu
sebuah catatan dengan tanda tangan yang menyatakan bahwa
sampul itu berisi surat wasiatnya.
Dalam hal pewaris tidak dapat menandatangani sampul wasiat
itu atau akta penitipannya, atau kedua-duanya, karena suatu
halangan yang timbul setelah penandatangan wasiat atau
sampulnya, notaris harus membubuhkan keterangan tentang
hal itu dan sebab halangan itu pada sampul atau akta tersebut.

Dari ketentuan Pasal 932 BW tersebut di atas, Ali Afandi 13

menguraikan bahwa:

1. Wasiat harus ditulis sendiri dan ditandatangani oleh pewaris.


2. Harus diserahkan atau disimpan sendiri oleh notaris. Hal-hal
atau peristiwa yang dibuatkan suatu akta disebut akta
penyimpanan notaris (akta van depot) dan akta ini harus
ditandatangani oleh :
a. Yang membuat wasiat;
b. Notaris;
c. Dua orang saksi.

13
Ali Afandi. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta.
Rineka Cipta. Hlm. 17.

14
3. Jika wasiat disampaikan secara tertutup (dalam sampul
tertutup), maka hal tersebut harus dibuat di atas kertas
tersendiri, dan di atas sampul itu harus diberi catatan bahwa
sampul itu berisi surat wasiat dan catatannya harus
ditandatangani. Apabila wasiat diserahkan dalam keadaan
terbuka, maka akta dapat ditulis di bawah surat wasiat itu
sendiri.

Menurut Code untuk berlakunya testament olographis tidak ada

syarat bahwa harus disimpan oleh notaris. Pewaris dapat

menggunakan seluruh harta peninggalannya dengan surat yang

ditulis, ditandatangani serta ditanggali dan disimpannya sendiri. 14

Kekuatan pembuktian wasiat olographis ditentukan dalam Pasal

933 BW yang menentukan bahwa apabila surat wasiat tersebut

setelah berada dalam penyimpanan notaris, kekuatannya sama

dengan surat wasiat umum (openbaar testament). Dalam hal ini

seluruhya dikerjakan oleh notaris. W asiat olographis ini juga sewaktu-

waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya, hal ini ditegaskan

dalam Pasal 934 BW. Penarikan wasiat ini dapat dilakukan dengan

cara yang bersangkutan datang kepada notaris dimana wasiat itu

disimpan. Selanjutnya ia menyatakan kehendaknya untuk meminta

kembali wasiat yang pernah disimpan tersebut dan dibuatkan akta

tersendiri untuk disimpan oleh notaris.

Pelaksanaan wasiat olographis dan wasiat pada umumnya

sama, yakni setelah orang yang membuat wasiat itu meninggal dunia.

Jika wasiat itu dalam keadaan tertutup, maka notaris yang

14
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Loc.Cit.

15
menyimpannya membawa wasiat itu ke Balai Harta Peninggalan

(selanjutnya disebut BHP). Oleh BHP wasiat itu dibuka karena notaris

tersebut tidak berwenang membukanya. Pembukaan wasiat

olographis harus dibuatkan aktanya yang dinamakan proses verbal

akta dan harus disebutkan pula keadaan isi wasiat tersebut. Setelah

wasiat dibuka dan dibuatkan aktanya, BHP menyerahkan kembali


15
pelaksanaan wasiat tersebut kepada notaris yang menyimpannya.

Selanjutnya adalah wasiat umum atau openbaar testament,

yaitu wasiat yang dibuat oleh notaris. Dalam hal ini, pihak yang ingin

membuat wasiat datang sendiri menghadap notaris dan menyatakan

kehendaknya. Selanjutnya notaris membuatkan wasiat yang

dikehendaki oleh orang yang menghadap tersebut. Wasiat umum ini


16
diatur dalam Pasal 938 dan 939 BW yang oleh Ali Afandi diuraikan

sebagai berikut:

1. Harus dibuat dihadapan notaris dan dihadiri oleh dua orang


saksi atau empat orang saksi khusus untuk pembuatan akta
wasiat di bawah tangan.
2. Pewaris menerangkan kepada notaris apa yang
dikehendaki.
3. Dalam inti atau pokok ketentuan tersebut, notaris menulis
kalimat yang jelas mengenai apa yang diterangkan oleh
pewaris. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat tentang
wasiat umum. Kedua pendapat itu yaitu pertama, wasiat
dapat dilakukan dengan lisan, alasannya adalah (a) Dihadiri
oleh saksi yang harus mendengarkan keterangan itu; (b)
Testament umum disebut juga testament lisan; dan (c)
Kalimat yang ditulis hanya pokoknya saja. Kedua, wasiat
dapat dilakukan secara tertulis, misalnya si pewaris dalam
keadaan sakit, sehingga ia tidak bisa berbicara dan memberi

15
Maman Suparman. Op.Cit. Hlm. 108.
16
Ali Afandi. Op.Cit. Hlm. 18-19.

16
keterangan secara tertulis. Notaris lalu membaca tulisan itu
dan menanyakan apakah betul demikian kehendaknya. Jika
pewaris mengangguk maka keterangan itu dianggap betul.
Pendapat kedua ini juga dianut oleh Wirjono Prodjodikoro.
4. Jika keterangan pewaris dinyatakan tanpa hadirnya para
saksi dan dari wasiat telah dibuat oleh notaris, maka pewaris
harus menerangkan sekali lagi di hadapan para saksi
tentang maksud dibuatnya surat wasiat. Kemudian konsep
itu dibaca lagi dengan hadirnya para saksi. Apabila sudah
betul, maka testament tersebut ditandatangani pewaris,
saksi dan notaris.
5. Apabila pewaris tidak hadir, hal ini disebutkan dalam wasiat
dan penyebab ketidakhadiran pewaris.
6. Surat wasiat juga menyebutkan segala kelengkapan acara
telah dipenuhi.

Hukum waris barat berlaku bagi orang-orang keturunan timur

asing yang bukan Tionghoa. Dalam hal ini berdasarkan Stbl. 1924-

556 Pasal 4, dimungkinkan membuat testament, tetapi hanya dalam

bentuk testament umum saja. 17

Kemudian yang ketiga adalah Wasiat Rahasia atau Testament

Tertutup (Geheim). Testament rahasia diatur dalam Pasal 940 dan

941 BW. Pasal 940 BW menyebutkan bahwa wasiat rahasia adalah

suatu wasiat yang dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan

wasiat tetapi tidak harus ditulis dengan tangan sendiri. Testament ini

harus selalu dalam keadaan tertutup dan disegel. Penyerahan


18
testament ini kepada notaris, harus dihadiri oleh empat orang saksi.

Cara membuat surat wasiat ini adalah sebagai berikut :

1. Wasiat harus ditulis sendiri oleh pewaris atau orang lain atas
namanya dan pewaris menandatanganinya sendiri.

17
Ibid.
18
Benyamin Asri & Thabrani Asri. 1988. Dasar-Dasar Hukum Waris Barat (Suatu
Pembahasan Teoritis dan Praktik). Bandung. Tarsito. Hlm. 46.

17
2. Kertas atau sampul yang memuat tulisan ini harus ditutup
dan disegel.
3. Kertas atau sampul harus diberikan kepada notaris yang
dihadiri empat orang saksi. Pewaris harus menerangkan
bahwa kertas itu berisi wasiatnya yang ia tulis sendiri (atau
ditulis orang lain atas namanya) dan diberi tanda tangan.
4. Keterangan ini oleh notaris harus ditulis dalam akta yang
dinamakan akta superscriptie (akta pengalamatan). Akta itu
harus ditulis di atas kertas atau sampul yang diberi alamat
dan ditandatangani oleh notaris dan empat orang saksi
tersebut.19

Adapun menurut Pasal 942 BW bahwa orang yang

meninggalkan testament rahasia meninggal dunia, maka notaris harus

menyampaikan testament itu kepada BHP untuk selanjutya membuka

testament tersebut. Dalam penerimaan dan pembukaan testament itu,

BHP harus membuat proses verbal, kemudian testament tersebut

harus dikembalikan pada notaris, dimana wasiat itu disimpan.20

Semua jenis testament memuat ketentuan yang diatur dalam

Pasal 930 BW, yaitu testament tidak dibolehkan menguntungkan satu

sama lain dan kepentingan orang ketiga. Dalam hal pembuatan

testament dilakukan di luar negeri diatur dalam Pasal 954 BW yang

menyatakan bahwa seorang W arga Negara Indonesia yang berada di

negeri asing tidak diperbolehkan membuat surat wasiat, melainkan

dengan akta otentik dan dengan mengindahkan tertib cara yang lazim,

di negeri di mana surat wasiat itu dibuatnya.

Sementara itu ia berhak dengan surat bawah tangan membuat

sesuatu ketetapan atas dasar dan cara seperti diatur dalam Pasal 935

19
Ali Afandi. Op.Cit. Hlm. 20.
20
Ibid.

18
BW. Jadi, dimana pun tempat di luar negeri, asalkan terdapat konsul

Republik Indonesia, maka konsul tersebut bisa melaksanakan

perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang notaris di Indonesia. 21

Kecakapan membuat wasiat dan syarat-syarat wasiat yaitu

seseorang yang akan membuat wasiat harus sudah mencapai usia 18

tahun atau sudah dewasa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 897 BW

yang menyatakan bahwa anak-anak di bawah umur yang belum

mencapai umur delapan belas tahun, tidak diperbolehkan membuat

surat wasiat.

Pasal 888 BW memuat ketentuan bahwa dalam surat wasiat,

tiap-tiap syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin

dilaksanakan atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik

harus dianggap sebagai tidak tertulis. Pasal ini menekankan bila

dalam pembuatan suatu wasiat harus tetap memperhatikan asas-asas

kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat. Kemudian Pasal 890

BW menentukan bahwa

Penyebutan suatu alasan yang palsu harus dianggap tidak


ditulis, kecuali bila dan wasiat itu ternyata bahwa pewaris itu
tidak akan membuat wasiat itu, seandainya dia telah
mengetahui kepalsuan alasan itu.

Jika di dalam testament disebut sebab yang palsu dan isi dari

testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat

ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya, maka testament tidaklah

sah. Melalui ketentuan ini dapat dilihat bahwa testament yang dibuat

21
Oemarsalim. Op.Cit. Hlm. 107.

19
tidak boleh berisikan suatu keterangan yang palsu dan dapat

berakibat testament itu dinyatakan tidak sah apabila pemberi wasiat

mengetahui adanya kepalsuan di dalam testament tersebut. Dalam

pembuatan wasiat juga tidak boleh terdapat unsur paksaan, tipuan

atau muslihat sebagaimana diatur dalam Pasal 893 BW yang dapat

menyebabkan wasiat tersebut menjadi batal.

Selanjutnya Pasal 905 BW mengatur bahwa:

Anak di bawah umur tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu


untuk keuntungan pengajarnya, pengasuhnya laki-laki atau
perempuan yang tinggal bersamanya, atau gurunya laki-laki
atau perempuan di tempat pemondokan anak di bawah umur
itu.
Dalam hal ini dikecualikan penetapan-penetapan yang dibuat
sebagai hibah wasiat untuk membalas jasa-jasa yang telah
diperoleh, namun dengan mengingat, baik kekayaan si pembuat
wasiat maupun jasa-jasa yang telah dibaktikan kepadanya.

Kemudian Pasal 906 BW mengatur larangan untuk menghibah

mewasiatkan sesuatu kepada tabib atau dokter yang telah melayani

seseorang sewaktu ia menderita sakit sampai akhir hidupnya, kecuali:

a. Segala ketetapan dalam bentuk hibah wasiat, guna membalas

jasa-jasa yang telah diberikan;

b. Segala ketetapan untuk kepentingan suami atau istri dari orang

yang mewariskan;

c. Segala ketetapan untuk keuntungan para keluarga sedarah

sampai derajat keempat seandainya orang yang mewariskan tidak

meninggalkan ahli waris dalam garis lurus.

20
Pasal 907 BW mengatur pula tentang larangan bagi notaris

yang dengan perantaraannya telah dibuat akta wasiat, dan para saksi

yang telah menyaksikan pembuatan akta wasiat tidak diperbolehkan

menikmati dan mengambil keuntungan sedikit pun dari ketetapan

wasiat itu. Kemudian Pasal 911 BW menyatakan bahwa suatu

ketetapan waris yang diambil guna keuntungan seorang yang tidak

cakap untuk mewaris adalah batal. Sekalipun ketetapan itu diambilnya

bagi nama seorang perantara. Perantara yang dimaksud di sini adalah

bapak dan ibu, anak-anak serta keturunan dari anak-anak, dan istri

atau suami orang tidak cakap itu. Jadi wasiat dilarang kepada orang

yang tidak cakap walaupun diberikan melalui perantara.

Pasal 912 BW mengatur tentang larangan kepada orang-orang

tertentu untuk mengambil keuntungan dari surat wasiat, yaitu: 22

a. Mereka yang telah dihukum karena membunuh orang yang


mewariskan;
b. Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan dan
memalsukan surat wasiatnya;
c. Mereka yang dengan paksa atau kekerasan telah mencegah
orang yang mewariskan untuk mengubah atau mencabut
surat wasiat, sekalipun dilakukan oleh istri atau suami dan
anak-anak mereka.

2. Wasiat Menurut Hukum Islam

Secara bahasa wasiat artinya berpesan. Dalam penggunaannya

kata wasiat memiliki arti berpesan, menetapkan, memerintahkan dan

mensyariatkan. Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian

seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat,

22
Benyamin Asri &Thabrani Asri. Op.Cit. Hlm. 50-52.

21
agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat

meninggal. 23

Dalam Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan

bahwa wasiat adalah pemberian sesuatu benda dari pewaris kepada

orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris

meninggal dunia. Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat

penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena

ada diantara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta

peninggalan dengan jalan warisan, padahal ia telah cukup berjasa

dalam pengadaan harta itu, atau seorang cucu miskin terhalang oleh

pamannya yang kaya, atau karena berbeda agama dan sebagainya.

Maka dengan adanya sistem wasiat yang diatur dalam hukum Islam

kekecewaan itu dapat diatasi.

Penerima wasiat hanyalah mereka yang tidak berstatus sebagai

ahli waris atau tidak menerima warisan akibat halangan tertentu. Dari

aturan seperti itu dapat dipahami bahwa ketika seorang suami

berwasiat sebuah harta untuk istrinya, wasiat itu akan sia-sia karena

istri adalah ahli waris dan tidak dibenarkan menerima wasiat dalam

syariat Islam. Berikut landasan terhalangnya ahli waris dari sebuah


24
wasiat :

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kepada setiap


manusia itu hak mereka masing-masing. Oleh karena itu, ahli
waris tidak lagi berhak atas wasiat. (HR. Abu Daud)
23
Titik Triwulan Tutik, S.H.,M.H. Op.Cit. Hlm. 295.
24
Ahmad Bisyiri Syakur, Lc.,M.A. 2015. Panduan Lengkap Mudah Memahami
Hukum Waris Islam. Jakarta. Visi Media Pustaka. Hlm. 94.

22
Dari hadis di atas jelas bahwa setiap orang yang menjadi ahli

waris tidak diperkenankan mendapatkan wasiat dari pewaris. Adapun,

orang yang bukan ahli waris diperbolehkan mendapatkan harta wasiat

pewaris. Contohnya, seorang yang telah lama sakit dan dirawat oleh

seorang professional dan anak kandungnya. Ketika orang tersebut

masih hidup, dia berhak mewasiatkan maksimum 1/3 hartanya

kepada perawatnya, tetapi anak kandungnya sebagai ahli waris hanya

mendapatkan warisan dan tidak berhak atas harta wasiat. Adapun,

waktu pembagian harta wasiat dan waris adalah ketika orang tersebut

(pewaris atau pewasiat) sudah meninggal.

Wasiat artinya pesan dari orang yang hidup kepada orang lain

yang hidup tentang sesuatu yang harus dilaksanakan olehnya setelah

pemberi pesan itu meninggal dunia. Wasiat telah sah disampaikan

oleh seseorang, meskipun hanya secara lisan tanpa tulisan karena

hukum dasar pewasiatan memang dengan lisan. 25

Walau demikian wasiat dengan lisan di zaman modern ini perlu

dikuatkan dengan tulisan dan disaksikan oleh tokoh masyarakat,

ulama, dan notaris (jika memungkinkan) terdekat untuk menghindari

fitnah yang sangat mungkin timbul pada kemudian hari, setelah

pemberi wasiat itu meninggal. Terutama jika isi wasiat itu adalah

pesan-pesan dalam bentuk materi dan kekayaan dalam jumlah besar.

25
Ahmad Bisyiri Syakur, Lc.,M.A. 2015. Panduan Lengkap Mudah Memahami
Hukum Waris Islam. Jakarta. Visi Media Pustaka. Hlm. 95.

23
Hal tersebut diperlukan mengingat semakin menipisnya

kepercayaan antara satu orang dengan yang lain dewasa ini. Apalagi

jika suatu urusan telah menjadi sengketa di pengadilan, keberadaan

dokumen tertulis akan sangat penting dan dibutuhkan.

Wasiat dalam pandangan hukum Islam ada aturannya. Ada

wasiat yang dibenarkan dan ada pula wasiat yang tidak dibenarkan

hukum Islam. Adapun wasiat yang dibenarkan adalah wasiat yang

diperuntukkan kepada selain ahli waris karena Nabi SAW melarang

pemberian wasiat harta kepada ahli waris untuk mencegah

ketidakadilan dalam hadis yang artinya ahli waris tidak boleh

menerima wasiat. Wasiat yang tidak dibenarkan dalam syariat Islam

selain ditujukan kepada ahli waris juga wasiat harta yang nilainya

lebih dari sepertiga seluruh harta warisan yang ditinggalkan. Jika ada

seorang yang harta warisannya Rp. 900, lalu dia mewasiatkan

hartanya Rp. 500, wasiat ini tidak sah karena melebihi aturan

sepertiga yang disyariatkan Islam. Namun jika nilai wasiatnya Rp. 300

tetap bisa dijalankan dan dibenarkan secara syariat.

Wasiat yang tidak dibenarkan dalam syariat Islam adalah

berwasiat dengan pesan yang bertentangan dengan syariat itu sendiri.

Contohnya seorang yang berwasiat dan berpesan sepeninggalnya

nanti pembagian harta waris dilakukan berdasarkan kesepakatan ahli

waris. Hal itu bertentangan dengan syariat Islam dalam QS An-Nisa

ayat 11—14. Wasiat seperti itu tidak sah dan tidak boleh dijalankan.

24
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa harta wasiat menjadi

tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan jika memiliki kualifikasi

sebagai berikut:

1) Bernilai lebih dari sepertiga harta warisan.

2) Diperuntukkan kepada ahli waris yang menerima warisan.

3) Bertentangan dan melanggar syariat Islam. 26

Dalam wasiat seseorang dapat berpesan untuk memberikan

sesuatu kepada orang lain setelah dirinya meninggal sedangkan waris

itu semata-mata pembagian Allah SWT atas sebuah harta kepada

ahli waris yang telah ditentukan oleh-nya. Pemberi wasiat berkuasa

untuk memberikan wasiat kepada siapapun selain ahli warisnya.

Adapun dalam warisan pemilik harta tidak berhak memberikan

warisannya kepada seseorang. Wewenang pemberian dan


27
pembagian hanyalah dimiliki oleh Allah SWT pemilik segalanya.

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum

masih sesuai dengan fikih Islam dalam beberapa ketentuan seperti

maksimal harta wasiat adalah sepertiga dan penerima wasiat

bukanlah ahli waris. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan KHI

Pasal 171 huruf f yang menyatakan wasiat adalah pemberian suatu

benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan

berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

26
Ibid. Hlm. 96.
27
Ibid. Hlm. 97.

25
Namun dalam hal wasiat kepada salah seorang ahli waris itu

diperbolehkan dengan ahli waris lainnya. Hal ini tentu bertentangan

dengan ketetapan hadis Nabi SAW. Ahli waris tidak berhak menerima

warisan secara mutlak. Ahli waris tidak berhak mengubah ketetapan

Nabi SAW tersebut karena mereka belum memilikinya secara nyata.

Namun apabila pembagian warisan telah dilakukan secara nyata dan

masing-masing telah mengambil bagiannya mereka boleh bersepakat

untuk memberikan bagian mereka kepada ahli waris penerima wasiat

sesuai dengan keikhlasan masing-masing.

Adapun ketentuan pada KHI Pasal 209 tentang wasiat wajibah

tidaklah sesuai dengan syariat Islam. Isi pasal tersebut sebagaimana

berikut :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal


176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas, sedangkan
terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat
anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orangtua angkatnya.

Isi pasal ini tidak memberikan keadilan kepada ahli waris yang

sesungguhnya karena anak angkat itu sebenarnya jangan pernah

merasa berhak atas harta waris orangtua angkatnya dan jangan

pernah menginginkan setelah mereka meninggal. Hal ini karena anak

angkat tidak berhak sama sekali atas harta waris dari orangtua

angkatnya. Anak angkat semestinya bisa berterima kasih atas

kebaikan orangtua angkatnya itu. Apalagi jika anak tersebut diadopsi

26
sejak bayi lalu didik, dirawat, dan dibiayai seperti anak sendiri.

Bukankah hal ini merupakan pemberian orangtua angkat yang tidak

ternilai. Untuk itu sebaiknya anak angkat mengetahui posisinya

sebagai anak angkat yang tidak sama dengan anak kandung.

Dengan adanya Pasal 209 KHI terbuka peluang anak angkat

untuk menuntut harta orangtua angkat dengan jalan wasiat wajibah

yang bernilai 1/3. Hal ini justru bertentangan dengan ajaran Islam

karena akan mengurangi jatah waris dari ahli waris yang

sesungguhnya.

3. Wasiat Menurut Hukum Adat

Dalam hukum adat adakalanya suatu penghibahan pada waktu

seorang pemilik barang masih segar bugar dianggap sebagai

permulaan dari pembagian harta warisan si penghibah. Hukum adat

sama sekali tidak mengatur cara tertentu untuk mengadakan hibah

wasiat.28

Biasanya kemauan terakhir diucapkan pada waktu si peninggal

warisan sudah sakit keras yang menyebabkan wafatnya. Jika ini

terjadi ucapan ini dihadiri oleh beberapa orang dari sanak keluarga

yang dekat tali kekeluargaannya. Ucapan kemauan terakhir ini di

Jawa dinamakan wekas, di Minangkabau disebut umanat, di Aceh

disebut peuneusan, dan di Batak disebut ngeudeskan. Pada

28
Oemar Moechthar, S.H., M.Kn. 2019. Perkembangan Hukum Waris. Jakarta.
Prenada Media Group. Hlm. 187

27
umumnya maksud dari ucapan-ucapan tersebut ialah merupakan

usaha untuk menghindarkan keributan dan cekcok dalam membagi

harta warisan dikemudian hari diantara ahli waris.

Di kota-kota besar terhadap ucapan kemauan terakhir ini

disaksikan oleh notaris. Notaris akan mencatat ucapan itu sebaik-

baiknya dengan disaksikan oleh dua orang saksi kecuali apabila si

peningggal warisan ingin merahasiakan ucapan itu hingga akhir

ayatnya.

Seringkali ucapan kemauan terakhir ini mengandung anjuran

semata-mata kepada ahli waris dengan ikhlas hati memberikan

sebagian harta warisan kepada sanak keluarga yang sedikit jauh tali

kekeluargaannya dan oleh sebab itu tidak berhak atas suatu bagian

dari harta warisan, tetapi ada tali persahabatan yang erat antara ia

dan si peninggal warisan. Ada juga seorang peninggal warisan

mengeluarkan keinginan untuk menunjuk untuk memelihara

seterusnya anak-anak si peninggal warisan yang masih kecil terutama

jika anak-anak itu sudah tidak mempunyai orangtua. Sering seorang

peninggal warisan menuliskan kemauan terakhir dalam suatu surat

yang dibacakan dimuka umum dihadapan beberapa orang sanak

keluarga yang diminta turut menandatangani surat itu.

28
B. Daftar Pusat Wasiat

Daftar Pusat Wasiat (selanjutnya disebut DPW) merupakan salah

satu seksi dari Subdirektorat Harta Peninggalan yang berada dibawah dan

bertanggungjawab langsung kepada Direktorat Jenderal Administrasi

Hukum Umum melalui Direktorat Perdata. 29 Subdirektorat Harta

Peninggalan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan rancangan

kebijakan, pembinaan teknis dan pengawasan atas pelaksanaan tugas

BHP serta penanganan daftar wasiat dan pemberian surat keterangan

wasiat serta pengelolaan arsip dan dokumen. Seksi DPW mempunyai

tugas melakukan penyusunan daftar wasiat (testament) yang dilaporkan

oleh notaris baik testament terbuka, testament tertulis maupun testament

tertutup atau rahasia, serta meneliti daftar formal daftar wasiat dan

penyiapan bahan penyelesaian permohonan surat keterangan wasiat.

Pelaksanaan tugas BHP dalam hal pembukaan dan pendaftaran

surat wasiat, berkaitan erat dengan tugas dan wewenang yang dimiliki

oleh notaris yang diatur dalam UUJN. Pasal 875 BW menyatakan bahwa

yang dinamakan dengan surat wasiat atau testament adalah suatu akta

yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan

terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut

kembali.

Apabila seseorang telah membuat surat wasiat atau meminta

kepada notaris untuk membuatkan surat wasiat, maka surat wasiat

29
Nurhendro Putranto. 2013. Balai Harta Peninggalan Fungsi dan Tugas
Pokoknya. Surabaya. Balai Harta Peninggalan Surabaya. Hlm. 1.

29
tersebut oleh notaris wajib untuk dilakukan pendaftaran kepada BHP

dimana wilayah hukum dari notaris itu berada yang mana wasiat tersebut

juga akan dilaporkan ke DPW untuk selanjutnya diberikan surat tembusan

kepada BHP dan oleh BHP akan dimasukkan ke dalam buku register.

Pendaftaran yang dimaksud dalam hal ini ialah pelaporan mengenai

wasiat yang dibuat di hadapan notaris yang mana pelaporan ini dilakukan

secara manual. Dan pada saat pewaris telah meninggal dunia ahli waris

dapat mengajukan permohonan ke BHP untuk membuka surat wasiat

yang tertutup atau rahasia dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Surat permohonan;

b. Akta Kematian atau Surat Kematian;

c. Semua ahli waris harus hadir di BHP dan Notaris penyimpan wasiat;

d. Surat wasiat;

e. Identitas para pihak;

Surat Keterangan W asiat dari Direktorat Jenderal Administrasi

Hukum Umum (selanjutnya disebut Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Setelah semua persyaratan

tersebut terpenuhi maka oleh BHP atas permohonan tersebut dibuatkan

Berita Acara Pembukaan atas wasiat tertutup atau rahasia tersebut. Oleh

BHP setelah dibuatkan Berita Acara selanjutnya ditandatangani dan diberi

nomor oleh BHP untuk selanjutnya wasiat dikembalikan kepada ahli waris

untuk dilaksanakan.

30
Namun sistem pendaftaran yang demikian ternyata menimbulkan

permasalahan hukum seperti misalnya ketika notaris membuat laporan

terkait adanya suatu wasiat, ternyata surat keterangan tersebut tidak

sampai kepada DPW atau dalam hal notaris lalai atau lupa untuk

membuat laporan tetapi berdalih bahwa ia telah membuat dan

mengirimkan laporan tersebut sementara pada kenyataannya notaris tidak

membuat dan mengirimkan laporan. Berdasarkan permasalahan hukum

yang ada di lapangan dan seiring perkembangan teknologi informasi saat

ini, menuntut seluruh masyarakat pengguna layanan publik terutama jasa

hukum agar dapat dilakukan melalui mekanisme online sistem serta dalam

rangka untuk mewujudkan efisiensi dalam sistem pendaftaran wasiat

tersebut, maka pada tanggal 28 Maret 2014 Kemenkum HAM RI

melakukan launching sistem pendaftaran wasiat secara online oleh

notaris.

Terkait pendaftaran wasiat, terdapat beberapa ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur, antara lain Ordonansi Daftar Pusat

Wasiat (ordonnantie op het Centraal Testarnentenregister) S. 1920- 305

jo. 1921-568 (mb. 1 Januari 1922) (Ord. 15 April 1920), Burgerlijk

Wetboek, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dan

Pasal 41-42 OV. Namun terkait mekanisme pendaftaran wasiat secara

online, secara khusus telah diatur dalam Permenkumham No. 60/2016.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Permenkumham No. 60/2016, Surat

31
Keterangan W asiat didefinisikan sebagai surat yang isinya menerangkan

terdaftar atau tidak terdaftarnya akta wasiat yang dibuat di hadapan

Notaris yang telah dilaporkan pada DPW.

Sebagaimana diuraikan pada Pasal 17 Permenkumham No.

60/2016 tersebut, Surat Keterangan Wasiat tersebut dapat berupa

keterangan mengenai terdaftar atau tidak terdaftarnya akta wasiat atas

nama orang yang dimohonkan keterangan wasiatnya. Adapun hal-hal

yang dimuat dalam laporan wasiat terdaftar tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Nomor dan tanggal akta wasiat;


b. Jenis wasiat (misal : wasiat umum, hibah wasiat, pencabutan
wasiat, wasiat olografis dan lain-lain);
c. Nama pembuat wasiat dan nama dahulu (nama kecil) bila ada;
d. Tempat dan tanggal lahir serta alamat pembuat wasiat;
e. Nama notaris dan kedudukannya serta alamat lengkap notaris;
f. Nomor reportorium.

Upaya yang dilakukan oleh Dirjen AHU dengan memberikan

kemudahan kepada masyarakat terkait dengan pendaftaran wasiat secara

online memberikan manfaat yang luar biasa terutama terkait dengan

kepastian terdaftarnya wasiat yang dibuat oleh si pewasiat di hadapan

notaris, karena dengan menggunakan layanan online semua layanan jasa

hukum dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan biaya ringan serta jauh

dari kesan adanya upaya pungutan liar atau pungli. Selain itu adanya

ketentuan mengenai pendaftaran wasiat secara online ini tidak lain adalah

untuk memberikan kemudahan bagi notaris yang dalam hal ini

berkewajiban untuk mengirimkan laporan berkenaan dengan telah

32
dibuatnya suatu wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang

menyelenggarakan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf j

UUJN.

Dengan adanya ketentuan pendaftaran wasiat online sebagaimana

yang diatur dalam Permenkumham No. 60/2016, maka notaris tidak lagi

mengirimkan data fisik secara manual sebagai bukti laporan terkait

adanya suatu wasiat yang telah dibuat. Notaris hanya perlu melakukan

registrasi untuk dapat masuk ke dalam website Dirjen AHU dan

mengirimkan laporan terkait akta wasiat secara online. Kelebihan

pendaftaran wasiat secara online dengan menggunakan teknologi

informasi, kepastian hukum akan terdaftarnya wasiat lebih besar karena

dengan melakukan pendaftaran wasiat secara online, seketika itu juga

akta wasiat yang dikirim melalui online sudah langsung ter-update atau

dengan kata lain langsung masuk ke dalam data base Dirjen AHU online

sehingga sangat kecil kemungkinan akta wasiat tersebut tidak terdaftar

pada DPW. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan

pendaftaran yang dilakukan secara manual dimana akan memakan waktu

yang cukup lama dan terdapat kekhawatiran pendaftaran wasiat tersebut

tidak sampai pada DPW karena terkendala dengan pengiriman, jangkauan

wilayah dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan tidak terdaftarnya

wasiat pada DPW.

33
C. Tinjauan Umum Tentang Notaris

Keberadaan notaris sangat penting di tengah-tengah masyarakat.

Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat

menyangkut pembuatan akta otentik. Akta otentik ini sangat dibutuhkan

hampir disetiap aktivitas kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut

ekonomi, sosial, maupun politik. Pembuatan akta otentik yang

mengandung kebenaran formil ini sangat membutuhkan bantuan jasa

notaris, sehingga akta otentik itu akan dapat dipahami dan diterima oleh

semua pihak serta memiliki jaminan kepastian hukum ditengah-tengah

masyarakat. Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

kepentingan masyarakat, notaris harus benar-benar mampu memberikan

jasanya secara baik kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat

yang dirugikan.

Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN dijelaskan bahwa “Notaris adalah

pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN”. Definisi yang

diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang

dijalankan oleh Notaris. Artinya bahwa Notaris memiliki tugas sebagai

pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta

kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN. Berbeda dengan rumusan

UUJN yang baru tersebut, Peraturan Jabatan Notaris yang lama, yaitu

34
Ordonansi Staatsblad 1860 Nomor 3 (selanjutnya disingkat PJN),

mendefinisikan Notaris sebagai:30

Pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta


autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan
memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Bila rumusan ini diperbandingkan, maka rumusan UUJN lebih luas

dibandingkan dengan PJN, namun keduanya memiliki esensi yang sama

tentang notaris, yakni sebagai pejabat umum yang berwenang membuat

akta. Terminologi berwenang dalam PJN maupun UUJN diperlukan

karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata.

Pengertian Notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang

berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam

UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dimaksudkan untuk

memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang

mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat lainnya. Perkataan

uitsluitend bila dihubungkan dengan bagian kalimat terakhir PJN

mempunyai arti dengan mengecualikan setiap orang lain (met uitsluiting

van ider ander). Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat umum,

sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah

sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk

30
Abdul Ghofur Anshori. 2009. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif
Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press. Hlm. 13.

35
suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta autentik, maka hal itu

hanya dapat dilakukan dengan suatu akta Notaris, terkecuali peraturan

perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tegas bahwa selain

dari notaris juga pejabat umum lainnya turut berwenang atau sebagai

yang satu-satunya berwenang untuk itu.31

Menurut Habib Adjie32 bahwa:

Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai


wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan notaris
sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum,
bukan publik sebagai khalayak umum.

Lebih lanjut Habib Adjie33 menyatakan bahwa:

Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat


publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari
produk masing-masing pejabat publik tersebut. Notaris sebagai
pejabat publik hasil akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta
tidak memenuhi syarat.

Kewenangan notaris itu sendiri dapat dilihat pada Pasal 15 UUJN,

yaitu sebagai berikut:

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan penetapan, yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta
autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
Akta, semua itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

31
G.H.S Lumban Tobing. 1992. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.
Hlm. 34.
32
Habib Adjie. 2008. Sanksi Perdata dan Adminitratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Bandung: Refika Aditama (selanjutnya disingkat Habib Adjie I). Hlm. 31
33
Ibid

36
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
e. Membuat penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan Akta;
f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Soegondo Notodisoejo bahwa: 34

Pejabat umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan


oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk
melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta
melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada
kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul
suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan
lainnya dalam masyarakat.

Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh negara, bekerja juga

untuk kepentingan negara, namun demikian notaris bukanlah pegawai,

sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorarium atau fee

dari klien. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak

menerima gaji dari pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah,

akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu,

34
R. Soegondo Notodisoerjo.1993. Hukum Notariat di Indonesia; Suatu
Penjelasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 44.

37
bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya,

yaitu masyarakat pengguna jasa notaris.35


36
Soegondo Notodisoerjo menyatakan bahwa “Semenjak saat itu,

akta-akta notaris tidak lagi dibuat hanya sebagai alat untuk mengingat

kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, melainkan dibuat untuk

kepentingan kekuatan pembuktian”. Tugas yang diemban notaris

merupakan tugas pemerintah, oleh karena itu hasil pekerjaan notaris

mempunyai akibat hukum, dibebani sebagian kekuasaan negara dan

memberikan pada akta yang dibuatnya kekuatan otentik dan eksekutorial.

Jabatan notaris, selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-

masalah teknis hukum, juga harus berpartisipasi aktif dalam

pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, notaris harus senantiasa

selalu menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh.

Notaris harus selalu mengikuti perkembangan hukum Nasional yang pada

akhirnya notaris mampu melaksanakan profesinya secara profesional.

Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, seorang notaris harus

berpegang teguh pada kode etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu harkat

dan martabat profesionalisme akan hilang.

Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan Nasional

yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin

berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha

yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini
35
Suhrawardi K. Lubis. 2006. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Hlm.34.
36
R. Soegondo Notodisoerjo. Op.Cit. Hlm. 19.

38
tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan

oleh notaris. Pemerintah (sebagai yang memberikan sebagian

wewenangnya kepada notaris) dan masyarakat banyak tentunya

mempunyai harapan agar pelayanan jasa diberikan oleh notaris benar-

benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.

Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai

karakteristik, yaitu: 37

a. Sebagai Jabatan. UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan

Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk

undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga

segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada

UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan

oleh negara, menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu

bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum

untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan

sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Setiap wewenang yang

diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai

batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik, dan tidak

bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila seseorang

pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang

37
Habib Adjie. 2009. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). Bandung: Refika Aditama (selanjutnya
disingkat Habib Adjie II). Hlm. 15-16.

39
telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar

wewenang.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Menteri adalah menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Meskipun

Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh

pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang

mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya (1)

Bersifat mandiri (autonomous); (2) Tidak memihak siapapun (impartial),

dan (3) Tidak tergantung kepada siapapun (independent) yang berarti

dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak

yang mengangkatnya atau pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya Notaris

diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak menerima gaji

dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium

atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). Notaris juga wajib

memberikan jasa hukum di bidang kenotarisatan secara cuma-cuma

kepada orang yang tidak mampu sebagaiman dimaksud dalam Pasal

37 UUJN. Jabatan Notaris bukan suatu jabatan yang digaji, Notaris

tidak menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai

negeri, akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah

pegawai penerintah tanpa gaji pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh

pemerintah tanpa mendapat pensiun dari pemerintah.

40
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Kehadiran

Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan

Akta autentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris

mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat

dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya, ganti

rugi dan bunga jika ternyata Akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak

sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk

akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.

Pasal 15 UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai

tugas notaris. Menurut G.H.S. lumbang Tobing38 bahwa:

Selain untuk membuat akta-akta otentik, notaris juga ditugaskan


untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan surat-surat atau
akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan
nasehat hukum dan menjelaskan mengenai undang-undang
kepada pihak yang bersagkutan.

Hakekat tugas notaris ialah mengatur secara tertulis dan otentik

hubungan hukum antara pihak secara mufakat meminta jasa notaris. Di

sini terlihat bahwa notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan salah

satu pihak, ia tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah

sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum

terdapat ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang

tertentu tidak diperbolehkan sebagai sebagai saksi atau sebagai pihak

yang berkepentingan pada akta yang dibuat di hadapannya.

38
G.H.S. Lumbang Tobing. Op.Cit. Hlm. 37.

41
D. Landasan Teoritik

1. Teori Kepastian Hukum

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum

menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara

tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada penyimpangan

(fiat justitia et pereat mundus atau hukum harus ditegakkan meskipun

langit akan runtuh). Kepastian hukum akan memberikan perlindungan

hukum kepada yustisiabel dari tindakan sewenang-wenang pihak lain,

dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban masyarakat. 39

Sudikno Mertokusumo lebih lanjut menyatakan bahwa selain

itu, masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan. Akan tetapi

harus diingat bahwa hukum itu tidak identik dengan keadilan, karena

hukum bersifat umum, mengikat setiap orang dan bersifat

menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan keadaan status atau

pun perbuatan yang dilakukan manusia. Begitu hukum, setiap

kejahatan yang berperkara, maka dijatuhkan pidana atau hukuman

yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam

undang-undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama

dengan keadilan masyarakat.40

39
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 131.
40
Ibid.

42
Berdasarkan pandangan tersebut di atas maka ditegaskan

bahwa aturan hukum harus diterapkan, dilaksanakan, ditegakkan

secara tegas bagi setiap orang dan peristiwa sehingga tidak boleh

ada penyimpangan dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan untuk

mendapatkan kepastian hukum, walaupun hukum itu tidak identik

dengan keadilan karena keadilan menurut hukum belum tentu sama

dengan keadilan moral atau keadilan masyarakat.

Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit, security,

rechtszekerheid adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu

dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik. Kepastian hukum

menyangkut masalah Law Sicherkeit durch das Recht, seperti

memastikan bahwa pencurian, pembunuhan, menurut hukum

merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah Scherkeit des Recht

selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum.


41
Menurut Yance Arizona , kepastian hukum merupakan

pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan

sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur

secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-

raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem

norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

41
Yance Arizona. 2008. Apa Itu Kepastian Hukum?. Sumber:
https://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/

43
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari

ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi

norma atau distorsi norma.

Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum

merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu,

kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang

sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti

ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh

Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia

lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas

yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai

suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari

pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis

merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran

pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola


42
keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.

2. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Salah satu konsep yang berhubungan dengan konsep

tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara

hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul

tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab

42
Ibid

44
atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. 43 Menurut

Hans Kelsen bahwa:44

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan


oleh hukum disebut “kekhilapan” (negligence); dan kekhilapan
biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari “kesalahan”
(culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi
karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa
maksud jahat, akibat yang membahayakan.

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban

dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability

merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua

karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau

yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara

aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya

atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-

undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan

atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan,

kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung

jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan

penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada

pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan

yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.45

43
Hans Kelsen. 2007. General Theory Of law and State (Teori Umum Hukum
dan Negara). Alih Bahasa oleh Somardi. Jakarta: BEE Media Indonesia. Hlm. 81.
44
Ibid. Hlm. 83
45
Ridwan H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hlm . 335-337.

45
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut

Kranenburg dan Vegtig ada 2 (dua) teori yang melandasinya yaitu: 46

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan


bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada
pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan
bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada
instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini
tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan
berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya
suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang
harus ditanggung.

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dapat dibedakan sebagai berikut:47

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan.


Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability atauliability based on fault) adalah prinsip yang
cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya
pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada
unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan
hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok,
yaitu (a) adanya perbuatan; (b) adanya unsur kesalahan;
(c) adanya kerugian yang diderita; dan (d) adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Yang
dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan
dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan
dan kesusilaan dalam masyarakat.

46
Ibid. Hlm. 365.
47
Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hlm. 73-79.

46
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab.
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab (presumption of liability principle),
sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”
adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat
membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia
dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua
tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya
kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada
pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian
terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam
kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup
relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban
untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku
usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-
bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen
tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi
konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat
balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan
kesalahan tergugat.
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada
hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada
bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa
dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung
jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku
usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu
ada pada konsumen.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering
diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut
(absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli
yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada
pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure.
Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab

47
tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut
E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute
liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila
kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang
dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.
e. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha
untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam
perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci
cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci
atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat
kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi
ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

E. Kerangka Pikir

Penelitian ini akan mengkaji mengenai “Akta Wasiat yang Tidak

Didaftarkan Oleh Notaris Pada Pusat Daftar Wasiat”. Untuk membahas

judul tersebut telah dibuat 2 (dua) isu pokok penelitian yang akan dikaji

lebih jauh, yakni akibat hukum terhadap akta wasiat yang tidak didaftarkan

oleh notaris pada Pusat Daftar Wasiat sebagai variabel X1 serta

pertanggungjawaban notaris terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan

pada Pusat Daftar Wasiat sebagai variabel X2.

Pada variabel X1 dengan isu pokok adalah akibat hukum terhadap

akta wasiat yang tidak didaftarkan oleh notaris pada Pusat Daftar W asiat

akan dikaji aturan-aturan yang terkait dengan pelaksanaan jabatan

notaris, termasuk Kode Etik Notaris. Kajian terhadap aturan-aturan

tersebut kemudian dikombinasikan dengan doktrin-doktrin yang ada

sehingga akan didapatkan gambaran yang jelas mengenai isu pokok yang

dikaji. Pada isu pokok pertama atau variabel X1 ini, penulis akan

48
membahas mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang notaris sebagai

pejabat umum, kewajiban dan larangan notaris sebagai pejabat publik,

kewajiban notaris untuk mendaftarkan akta wasiat, dan kepastian hukum

atas pelaksanaan jabatan notaris.

Selanjutnya pada variabel X2 dengan isu pokok adalah

pertanggungjawaban notaris terhadap akta wasiat yang tidak dilaporkan

pada Pusat Daftar W asiat akan dikaji pula aturan-aturan mengenai

tanggung jawab notaris terhadap wewenang, tugas, dan kewajibannya

yang kemudian akan dikombinasikan dengan doktrin hukum yang ada

terkait pertanggungjawaban hukum. Untuk variabel X2 ini, penulis akan

membahas mengenai wewenang notaris membuat akta wasiat, hubungan

notaris dengan pusat daftar wasiat, serta tanggung jawab notaris sebagai

pejabat publik terhadap wewenang, tugas, dan kewajibannya.

Dari kajian atas variabel X1 dan X2 tersebut diharapkan dapat

menghasilkan suatu gambaran perwujudan pelaksanaan jabatan notaris

yang profesional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap

orang yang menjabat sebagai notaris dibebankan untuk senantiasa

menjaga keluhuran jabatan notaris sehingga notaris diberikan kewajiban

untuk bertindak profesional dan berintegritas dalam menjalankan

jabatannya. Setiap kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam

pelaksanaan jabatannya harus dipertanggungjawabkan secara hukum,

baik pidana, perdata, maupun administrasi.

49
Bagan Kerangka Pikir

AKTA WASIAT YANG TIDAK DIDAFTARKAN OLEH NOTARIS


PADA DAFTAR PUSAT WASIAT

Akibat Hukum Terhadap Akta Pertanggungjawaban Notaris


Wasiat Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Akta Wasiat yang
Oleh Notaris Pada Pusat Daftar Tidak Dilaporkan Pada Pusat
Wasiat Daftar Wasiat

 Pelaksanaan tugas dan 


Wewenang Notaris membuat
wewenang Notaris sebagai Akta Wasiat
pejabat umum 
Hubungan Notaris dengan
 Kewajiban dan larangan Pusat Daftar Wasiat
Notaris sebagai pejabat publik 
Tanggung jawab Notaris
 Kewajiban notaris untuk sebagai pejabat publik
mendaftarkan akta wasiat terhadap wewenang, tugas,
 Kepastian hukum atas dan kewajibannya
pelaksanaan jabatan notaris

TERWUJUDNYA PELAKSANAAN JABATAN NOTARIS YANG


PROFESIONAL SESUAI KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

F. Defenisi Operasional

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan undang-undang lainnya

50
2. Akta adalah tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan

sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus

ditandatangani.

3. Wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang

dikehendaki setelahnya ia meninggal. Dari ketentuan tersebut

pada asasnya suatu pernyataan adalah keluar dari suatu pihak

saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang

membuatnya (herropen). Dengan kata lain, bahwa tidak segala

yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam

wasiat itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan.

4. Surat Keterangan W asiat adalah surat yang isinya menerangkan

terdaftar atau tidak terdaftarnya Akta Wasiat yang dibuat

dihadapan Notaris yang telah dilaporkan pada Daftar Pusat

Wasiat.

5. Daftar Pusat W asiat adalah merupakan salah satu seksi dari

Subdirektorat Harta Peninggalan yang berada dibawah dan

bertanggungjawab langsung kepada Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum melalui Direktorat Perdata.

6. Kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir)

dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan

51
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik

norma.

7. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala

sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan

sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.

52

Anda mungkin juga menyukai