Etika Akademik 5
Etika Akademik 5
Etika Akademik 5
Disusun Oleh :
Kelompok 5 HKI- II A
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam
mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban dan dalam
mencapai keberhasilan suatu bangsa. Pendidikan secara umum adalah upaya sistematis untuk
membantu anak didik yang berkualitas agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya
berdasarkan etika yang baik. Pendidikan tidak akan tumbuh dengan baik jika tidak disertakan
didikan yang baik pada seluruh generasi.
Secara sederhana dapat kita katakan, bahwa dalam membangun kualitas akademik
yang lebih baik, diperlukan penekanan etika yang bukan hanya pada Murid atau Pembelajar
kademik, tetapi para Pengajar juga turut memiliki peran yang sangat penting demi
membangun kualitas akdemik yang lebih baik dengan etika yang baik pula, seperti Guru,
Dosen dan sebagainya.
Guru, Dosen dan serta para Pengajar lainnya merupkan pihak yang pertama dan utama
untuk penunjukkan dan menampilkan etika akademik, baik dalam konteks pembelajarannya
maupun dalam hubungan dan aktivitas keilmuannya sehari-hari. Makalah ini akan
memberikan wawasan tentang bagaimana etika seorang Guru, Dosen dan Pengajar serta
bagaimana Relevansi etika Pengajar dengan konteks kekinian.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui etikan Guru, Dosen dan Pengajar.
2. Untuk mengetahui Relevansi etika Pengajar dengan konteks kekinian.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Ketujuh, ilmuwan dapat memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan maupun
perkataan. la rutin membaca al-Qur'an, do'a, serta zikir galbi dan lisäni siang dan malam,
melaksanakan ibadah sunat, salat, puasa, haji, dan bershalawat kepada Nabi Muhammad.
Berkenaan dengan bacaan al-Qur'än, Ibn Jamà' ah menganjurkan ilmuwan mempunyai wirid
dan ayat al-Qur'an yang dibaca setiap hari.
Kedelapan, ilmuwan memperlakukan masyarakat dengan akhlak mulia. la harus
berwajah ceria, rajin bertegur sapa dengan salam, dapat menahan amarah, membantu orang
yang ditimpa susah, berlaku adil tetapi tidak selalu menuntut keadilan, bisa menciptakan
suasana santai, berupaya memenuhi kebutuhan sendiri dan tak menggantungkan diri pada
orang lain, senang membantu, lemah lembut kepada orang miskin, para jiran, kerabat, dan
murid-muridnya.
Kesembilan, ilmuwan membersihkan diri dari akhlak buruk dan menumbuhkan
akhlak terpuji. Ibn Jama'ah memberikan uraian contoh akhlak buruk seperti dengki pemarah,
sombong dan riya'; serta contoh akhlak baik, seperti ikhlas, teguh pendirian, tawakkal,
syukur, dan sabar.
Kesepuluh, ilmuwan memperdalam ilmu pengetahuan terus menerus. Ibn Jama'ah
menekankan keseriusan, keuletan, dan konsistensi sebagai prasyarat ilmuwan. Sepanjang
hidup ilmuwan dituntut mengkombinasikan kegiatan ilmiah dan ibadah.2
2
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.88
3
Ketujuh, ilmuwan menjaga majlis tidak menjadi ajang senda gurau, kebisingan, atau
perdebatan yang tidak jelas sebab hanya mengakibatkan kelupaan. Jika terjadi debat tak
terkendali, ilmuwan harus mengingatkan hadirin bahwa hal tersebut tidak baik.
Kedelapan, mengingatkan orang yang dalam debat, atau bingung dalam debat, jelek
tata kramanya & yang mencaci sesama. la harus menegur orang yang tidur dalam majlis,
berbicara sesama, tertawa, mengganggu orang lain, berbuat apa saja yang melanggar etika.
Ibn Jama'ah menganjurkan ilmuwan mengangkat naqib untuk mengatur ketertiban majlis.
Kesembilan, ilmuwan harus bersikap adil dalam memberikan pelajaran. Jika ilmuwan
ditanya sesuatu yang tidak diketahui, ia harus mengakui jujur dan terbuka dengan
mengatakan "saya tidak tahu. Ilmuwan hendaknya sadar bahwa menyatakan ketidaktahuan
bukan lah kelemahan; tetapi kejujuran, keberanian, lambang ketaqwaan serta kebersihan jiwa.
Kesepuluh, ilmuwan harus memberi penghargaan Sewajarnya terhadap orang asing
(bukan anggota kelas yang hadir secara reguler) yang datang ketika majelis sudah
berlangsung, dengan mempersilahkan dan menerima dengan baik3
3
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.92
4
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.94
4
Keenam, ilmuwan harus sungguh-sungguh dalam mengajar ilmu pengetahuan dengan
selalu mempertimbangkan daya serap. la dapat memulai dengan menyajikan persoalan. lalu
menjelaskan dengan contoh, serta memberitahu sumber informasi pembahasan tersebut.
Ketujuh, selesai menjelaskan masalah, ada baiknya Melemparkan pertanyaan untuk
menguji pemahaman dan ingatan murid. Murid yang mengingat dan memahami persoalan
perlu diberi pujian, sementara yang belum paham mesti dihadapi dengan lembut dan sabar.
Kedelapan, ilmuwan hendaknya mengatur waktu kapan menguji hafalan murid
tentang prinsip dan dalil ber kenaan materi pelajaran. la memuji mereka yang hafal, dan
menganjurkan peningkatan hafalan bagi yang belum, dengan memberi motivasi, sera
memberi penjelasan relevansi materi bagi peningkatan pengetahuan.
Kesembilan, jika ilmuwan melihat murid berusaha terlalu keras dalam belajar, hingga
melampaui kemampuan, ia harus menasehati dengan lemah lembut agar istirahat dan
mengurangi intensitas belajar sementara waktu.
Kesepuluh, ilmuwan harus menjelaskan prinsip dasar ilmu yang diajarkan, serta
memberitahu sumber utama yang tersedia dalam kajian.
Berbeda dengan Hasan Asari yang membahas Kode Etik Guru pada tiga hal, etik
personal, kode etik dalam mengajar dan relasi guru dan murid dan dibahas dengan rinci,
Darojat, hanya membahasnya dan kemungkinan menggabungkannya kepada kode etik guru
yang terbagi kepada lima hal saja.
1. Seorang guru hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
menjalankan sunnah Rasulullah seperti Sholat jama'ah di masjid, membaca Al-Qur'an dan
lain-lain.
2. Berakhlak mulia dan berinteraksi dengan siapapun secara sopan.
3. Ilmu yang dimilikinya tidak dimaksudkan untuk tujuan atau hal- hal yang bersifat
duniawi. Jika dimaksudkan untuk duniawi, maka sama maknanya orang itu merendahkan
ilmu dan pada saat yang sama ia juga merendahkan dirinya.
4. Menjaga ilmu dengan belajar terus menerus.
5. Berkarya dengan menulis. Menulis adalah aktivitas seorang guru dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan
Perspektif Syekh Zarnuji Darojat di dalam artikelnya yang telah disebut di atas tidak
banyak membahas Syekh Zarnuji berkaitan dengan etika guru Berbeda dengan etika murid
sebagaimana terlihat berikut ini. Agaknya hal ini disebabkan isu ini tidak banyak dibahas.
Jika dirujuk karya Syekh Zamuji, tidak ada spesifik yang berbican tentang etika guru.
Kendatipun tidak spesifik sebagaimana halnya Ibn Jama 'ah, di dalam bukunya Syekh 13
Zarnuji menggunakan terminologi penuntut ilmu atau murid dan pada sisi lain juga
digunakan kata orang yang berilmu. Paling tidak bisa dipahami, ketika kata orang yang
berilmu yang digunakan maka maknanya bisa saja guru. Sebagai contoh, menurut Syekh
Zarnuji, orang yang berilmu hendaklah bersikap simpatik, menjauhkan diri sifat irihati dan
cemburu. Orang yang berilmu tidak terlibat dalam permusuhan. 5
5
A. Etika Personal Guru
Pertama, Mengharap Ridha Allah SWT. Menurut Imam Nawawi, seorang guru harus
menjadikan ridha Allah sebagai tujuan belajarnya. Ia tak boleh mejadikan keuntungan
duniawi sebagai tujuan belajar mengajar seperti memperkaya diri sendiri dan lain sebagainya.
Kedua, seorang guru harus senantiasa berprilaku baik. Segala tindak tanduknya harus
sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Imam Nawawi menekankan seorang guru harus hidup
sederhana. Guru sejatinya memiliki sifat-sifat terpuji, rendah hati, berkepribadian kalem dan
tidak banyak bercanda.
Ketiga, seorang guru harus menjauhi sifat-sifat tercela. Dalam konteks belajar-mengajaria
tidak boleh mengancam muridnya, menghasut ataupun menghina.
Keempat, seorang guru harus mendawamkan (melanggengkan) zikiri-zikirnya danbanyak
membaca kalimat-kalimat thayyibah.
Kelima, seorang guru harus merasa bahwa dirinya berada dalam pengawasan Allah
SWT.Ia tidak boleh sembarangan bersikap dan bertindak.
Keenam, seorang guru tidak boleh menggunakan ilmu. nya sesukanya. Menggunakan
ilmunya untuk membuat orang takut. Ketujuh, seorang guru harus menghindarkan diri dari
perbuatan yang boleh sekalipun namun berpotensi mengandung hal-hal yang dimakruhkan
apa lagi diharamkan.6
B. Etika Belajar
1. Seorang guru harus memiliki sikap rendah hati.
2. Segala aktivitas keilmuan diposisikan sebagai tujuan utama.
3. Seorang guru harus menulis buku sebagai bukti kepakarannya.
4. Perlu waspada dan ekstra hati-hati dalam menuliskan sesuatu.
5. Seorang guru tidak tergesa-gesa untuk mempublikasikan tulisannya.
6. Seorang guru harus mampu menjelaskan konsep keilmuannya sehingga mudah
ditangkap 14 murid-muridnya.
7. Berkenaan karya ilmiah, seorang guru harus mampu menawarkan hal-hal baru
7
C. Etika Mengajar
1. Ketika mengajar, seorang guru harus meniatkannya karena Allah SWT.
2. Guru tidak menghalangi siapapun yang ingin belajar kendatipun bisa jadi niat mereka
belum sepenuhnya benar. 3. Dalam mendidik muridnya hendaknya secara bertahap.
4. Seorang guru harus mencintai ilmu yang ditekuninya atau ilmu yang diajarkannya.
5. Guru harus peduli dengan murid-muridnya. Ia mengenal secara baik murid-muridnya
6
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.102
7
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.104
6
6. Seorang guru memberikan hal yang muridnya sukai atau cintai.
7. Guru ramah dalam menyampaikan pelajarannya sehingga murid-muridnya senang
mengikuti pelajaran darinya.
8. Tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang ia ketahui padahal muridnya telah pula
mempertanyakannya.
9. Guru tidak diperkenankan mengajarkan hal-hal yang belum dapat diterima murid-
muridnya.
10. Tidak boleh mengunggulkan atau menyombongkan dirinya atas guru-guru yang lain.
11. Seorang guru harus semangat dan serius ketika mengajar.
12. Seorang guru hendaklah mengabsen murid- muridnya dan mengetahui keadaan
muridnya yang tidak hadir.
13. Bersungguh-sungguh dalam memberi penjelasan sehingga murid-muridnya benar-
benar paham dengan apa yang disampaikannya.
Perspektif Al-Ghazali
Dengan merujuk Ihya 'Ulum Al-Din dan beberapa kitab Al-Ghazali lainnya, Hasan Asari
menjelaskan bahwa Al-Ghazali dalam melihat relasi guru dengan ilmu, terlebih dahulu
memberi perumpaman yaitu hubungan seseorang dengan harta yang terbagi ke dalam 4
kondisi
a. Kondisi mencari dan mengumpul harta kekayaan.
b. Kondisi menyimpan dan memelihara harta yang telah dikumpulkan dalam jumlah
cukup.
c. Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
d Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan juga untuk
kepentingan orang lain. Biasanya orang jenis ini disebut dermawan.
Adapun kaitannya dengan ilmu, kondisi seseorang alim dengan ilmunya juga terbagi
kepada empat kondisi yaitu:
a Kondisi belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Kondisi mengetahui dan menyimpan
apa yang telah dipelajari. Kondisi merenungkan dan menikmati apa yang telah diketahui.
b. Kondisi mengetahui & menyimpan apa yang dipelajari
c. Kondisi merenungkan dan menikmati apa yang telah diketahui
d. Kondisi menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan
dikuasai kepada orang lain.
8
8
Azhari Akmal Tarigan, Etika Akademik Ikhtiar Mewujudkan Insan Ululalbab, h.105
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
8
DAFTAR PUSTAKA