Fahmi
Fahmi
Fahmi
Home
Portofolio
about me
Makalah ini telah diujikan dalam seminar Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tanggal 20 September 2015
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang pasti akan menemui suatu
permasalahan. Permasalahan yang muncul dapat berupa masalah sosial,
politik, ekonomi, moral, agama, budaya dan permasalahan lainnya. Timbulnya
berbagai permasalahan ini dapat disebabkan karena adanya ketimpangan dan
ketidaksesuaian tatanan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Korrie Layun Rampan (dalam Tri Santoso, 2011) menyatakan bahwa karya
sastar dapat dipandang sebagai gambaran sosial masyarakat pada kurun waktu
tertentu yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial pada zaman itu
karena adanya konflik yang mendukungnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat
berperan sebagai perekam peristiwa pada waktu tertentu. Sastra yang baik
adalah sastra yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Suatu karya sastra dapat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Nyoman
Kutha Ratna (2002) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah analisis
terhadap unsur-unsur karya seni sebagai bagian integral unsur-unsur
sosiokultural. Sosiologi sastra memandang karya sastar sebagai hasil interaksi
pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan
psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu,
sebagai kesadaran personal. Tujuan dari sosiologis sastra adalah meningkatkan
pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, dan
menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.
Peneliti memilih novel Nagabumi I karya Seno Gumira Ajidarma sebagai objek
untuk diteliti dengan menggunakan kajian sosiologi sastra karena novel ini
berhubungan erat dengan keadaan sosial pada masa ini. Meskipun latar waktu
yang ditampilkan dalam novel itu pada abad VIII-IX.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya, yaitu:
(1) Bagaimanakah hubungan novel Nagabumi I dengan latar sosial
pengarangnya?
(2) Bagaimanakah gambaran sosial masyarakat yang tercermin dalam novel
Nagabumi I?
2. LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
Peneliti menemukan dua penelitian sejenis yang terkait dengan topik
penelitian ini. Kedua penelitian ini dilakukan oleh Roberta Fitri Haryani (2004)
dan Tri Santoso (2011). Roberta Fitri Haryani (2004) meneliti novel Jalan
Menikung karya Umar Kayam ditinjau dari kajian sosiologis. Hasil dari
penelitian tersebut yaitu sistem nilai budaya Jawa yang digunakan dalam novel
Jalan Menikung meliputi sistem religi, sistem pergaulan, sistem kekerabatan.
Sistem religi meliputi sebagian besar masyarakat Jawa merupakan pemeluk
agama Islam Kejawen. Mereka mempercayai Tuhan Allah berpengaruh pada
kehidupan manusia. Selain itu, selamatan merupakan salah satu tindakan
masyarakat Jawa untuk mencari perlindungan dari roh jahat.
Tri Santoso (2011) meneliti novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini ditinjau dari
kajian sosiologis sastra. Hasil dari penelitian tersebut adalah (1) biografi
pengarang mempunyai pengaruh yang besar dalam karya-karyanya, (2) novel
Jalan Bandungan mengungkapkan keadaan sosial masyarakat di lingkungan
priyayi yang ditunjukkan oleh Nh. Dini melalui tokoh Muryati dan keluarganya,
(3) novel Jalan Bandungan digunakan pengarang untuk menyampaikan nilai-
nilai moral dan religi bagi pembaca. Selain itu gambaran sosial yang tercermin
dalam novel Jalan Bandungan yaitu (a) masyarakat masih menerapkan adat
istiadat, (b) masyarakat tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam
pendidikan, (c) masyarakat memperlakukan perempuan hanya sebagai
pengurus rumah tangga, (d) masyarakat belum tersentuh modernisasi.
B. Landasan Teori
1.Sosiologi sastra
Wiyatmi (2006: 97) mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra
merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya
sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan.
Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya
sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat
mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan (sosial). Untuk dapat menerapkan pendekatan ini, di
samping harus menguasai ilmu sastra, kita juga harus menguasai konsep-
konsep (ilmu) sosiologi dan data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah
oleh sosiologi.
Atar Semi (1989: 46) mengatakan bahwa pendekatan sosiologis sastra bertolak
dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.
Melalui sastra, pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan
masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari
pandangan itu telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih
banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam
suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan
dan pengembangan tata kehidupan.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis sastra, orang dapat menunjukkan
sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra. Bahkan,
mungkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang
hakikat karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu
karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui
sebelum penelaahan dilakukan.
Andre Hardjana (1985: 71) menyatakan bahwa asumsi yang harus dipegang
sebagai pangkal tolak kritik sastra aliran sosiologi adalah bahwa karya sastra
tidaklah lahir dari kekosongan. Kecenderungan untuk menafsirkan karya sastra
sebagai sumber informasi tata kemasyarakatan, sejarah sosial, latar belakang
biografi pengarangnya, ajaran dan etika sosial menunjukkan dengan jelas
bahwa karya sastra lahir dalam jaringan kemasyarakatan dan bukan dari suatu
kekosongan atau vakum sosial. Karya sastra lahir dari persoalan-persoalan
sosial, menghidangkan persoalan-persoalan sosial senyata mungkin, dan
menggarapnya sejujur mungkin sejauh masih dalam jangkauan daya khayalan
pengarang. Pembahasan terhadap hubungan antara karya sastra dengan
persoalan kemasyarakatan cenderung menunjukkan adanya pola sebab-akibat
atau paling tidak pola yang salin mempengaruhi.
2.Pendekatan-pendekatan dalam sosiologi sastra
Ian Watt (dalam Damono, 1979: 3-4) membicarakan tentang hubungan timbal
balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, latar
sosial sastrawan, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra
dibahas sebagai berikut:
a.Latar sosial sastrawan
Latar sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam hal ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi pengarang
sebagai perseorangan, selain mempengaruhi isi karya sastranya. Oleh karena
itu, hal-hal yang utama untuk diteliti adalah:
• Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Dalam hal ini, hubungan antara
pengarang dan masyarakat sangat penting, karena seringkali jenis masyarakat
yang dituju itu menentukan bentuk dan isi suatu karya sastra.
•Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan
dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
• Sudut pandang ekstrim kaum Romantik, yang menganggap karya sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini tampak
bahwa karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
Wellek dan Warren (dalam Heru, 2012 : 11) mengemukakan tiga paradigma
pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang; inti dari
analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian
dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami
relasi sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang
bermasyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini
berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial alam karya
sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya
dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca; kajian
pada sosiologi pembaca ini mengarah pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi
terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh
sosial yang diciptakan karya sastra. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti
mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya
sastra.
3. ANALISIS
Sastrawan yang satu ini sosok pembangkang. Ayahnya Prof. Dr. MSA
Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain
ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan
pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak terlalu, ia tak
suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah mengapa? Ilmu pasti itu kan
harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno. Dari sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap
peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang
terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak
ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak
tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia
pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah diskors
karena membolos,” tutur Seno.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh
cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang
asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di
film-film ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu
mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia
mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT
Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik
kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia meminta uang kepada ibunya.
Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan
sekolah.
Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam.
Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di
lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya.
Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di
Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.”
Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan
Azwar A.N. “Lalu aku melihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju,
tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu seperti dunia yang menyenangkan,” kata
Seno.
Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi
seniman. Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang
santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi,
kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar
Seno disusul tawa terkekeh.
Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di
beberapa media massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai
cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia
Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis
Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari
Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Berkat
cerpennya Saksi Mata, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary,
1997.
“Namun yang menarik perhatianku adalah kediaman para candala dan kaum
viparita-drsti yang disebut aliran sesat, yang ditempatkan di pinggiran wilayah
pembakaran mayat. Dari jauh terlihat anak-anak kecil berlarian di antara
rumah-rumah gubuk yang usang. Beberapa anak bahkan saling bersilat. Hmm.
Apakah yang membuat seseorang menjadi brahmacari dan candala?” (hal 51)
Selain itu, diceritakan juga bahwa cara berpakaian dan jenis busana tertentu
menunjukkan martabat seseorang. Orang yang memiliki kedudukan tinggi
mempunyai hak untuk mengenakan kain dengan pola tertentu, perhiasan dan
mempunyai tempat sirih untuk menunjukkan martabatnya. Hak memasang
payung putih atau payung kuning di depan rumah juga ditentukan berdasarkan
kedudukan penggunanya di antara orang banyak. Saat seorang pejabat tinggi
lewat, rakyat jelata wajib untuk berlutut dan menempelkan kening ke tanah.
Kutipan dalam novel yang menggambarkan hal tersebut, yaitu:
“Namun di antara mereka, terdapat juga yang berbusana lebih mewah dan
tampak lebih kaya, atau mempunyai kedudukan tinggi, sehingga berhak
mengenakan jenis busana tertentu untuk menunjukkan martabatnya tersebut,
seperti kain berpola patah, ajon berpola belalang, berpola kembang, warna
kuning, bunga teratai, berpola biji, kain awali, dulang pangdarahan, dodot
dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain nawagraha,
kain pasilih galuh-bahkan ada juga yang ditandu, dengan iringan ulun atau
budak belian dan hamba sahaya, berpayung kutlimo maupun payung lain yang
bertingkat.” (hal 63)
“Aku teringat, hak untuk mengenakan kain yang bergambar emas bahkan
tertulis dalam sebuah prasasti, seperti juga dengan hak memiliki perangkat
makan sirih. Para pejabat tinggi akan tertandai bukan saja dari payung yang
mengiringinya, tetapi juga dari perhiasan gelang, sisir, dan ikat pinggang emas
dengan perhiasan intan. Hak memasang payung putih atau payung kuning di
depan rumah juga ditentukan berdasarkan kedudukan penggunanya di antara
orang banyak.” (hal 63-64)
Dalam novel tersebut juga terdapat permasalahan sosial yang paling menonjol,
yaitu adanya pembangunan candi Mahayana (Kamulan Bhumisambara) yang
membuat tanah warga sekitar harus dikosongkan dan merelakan tanahnya
diambil untuk mendirikan candi tersebut. Rakyat memberikan tanah yang
sudah digarap secara turun temurun demi pembangunan candi, sementara
janji ganti rugi tidak kunjung dipenuhi. Tetapi rakyat masih dipaksa bekerja
tanpa bayaran karena candi raksasa itu pembangunannya membutuhkan
puluhan ribu tenaga. Selain itu, anak-anak mereka yang bekerja di candi,
diambil untuk bekerja pada pejabat tinggi kerajaan maupun istana penguasa.
Kutipan yang menunjukkan permasalahan sosial yang ditampilkan dalam novel
tersebut:
“Telah kami berikan tanah yang sudah kami garap secara turun temurun demi
pembangunan Kamulan Bhumisambhara, telah kami abaikan janji ganti rugu
yang tak juga kunjung dipenuhi, tetapi masih mereka paksa kami bekerja
tanpa bayaran karena candi raksasa itu pembangunannya membutuhkan
puluhan ribu tenaga. Kami akui candi ini akan menjadi candi termegah dan
sangat indah di tengah semesta, tetapi apakah artinya mengajarkan kebajikan
melalui candi yang dibangun oleh orang-orang yang terpaksa karena
keluarganya disandera?” (hal 95)
“Setelah tanah kami diambil, putra-putri kami menjadi ulun di pura para
pejabat tinggi kerajaan maupun istana penguasa.” (hal 95-96)
“Ternyata bukan tanah mereka desa mereka saja yang ingin dikuasai oleh
istana, tetapi juga tanah desa-desa lain, karena agaknya sedang berlangsung
persaingan dalam kepemilikan tanah, agar di atas tanah itu bisa didirikan
candi, baik dari kelompok Siva maupun Mahayana. Penduduk desa tidak
terpengaruh untuk memilih salah satu dari kedua agama besar yang
menguasai istana, karena kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang
sudah memuaskan kebutuhan beragama mereka, yakni bahwa sesuatu yang
luar biasa memang menguasai kehidupan mereka.” (hal 262)
Kehidupan beragama pada masa itu adalah terdapat dua agama yang dianut
oleh kebanyakan masyarakat, yaitu agama Hindu dan Buddha. Namun, ada
banyak aliran kepercayaan yang berkembang di antara berbagai aliran di dalam
agama Hindu dan Buddha itu sendiri. Dalam setiap agama, terdapat pengikut
yang penafsiran terhadap ajaran agamanya itu berbeda, yang ternyata
mendapatkan pula berbagai bentuk persetujuan dari pengikut lainnya. Ibarat
aliran sungai, penafsiran terhadap suatu ajaran agama dapat bercabang, dan
begitu pula cabang sungai tersebut, diakui maupun tidak diakui, dapat
bercabang lagi.
Namun, dalam novel tersebut digambarkan juga bahwa menurut masyarakat
kedua agama itu tidak lebih sebagai kepercayaan yang bukan dari tanah
mereka sendiri. Sehingga, saat raja meminta mereka untuk menganut agama
tertentu dan mewajibkan mereka untuk melakukan upacara-upacara yang
harus dilakukan dalam agama itu, mereka akan melakukannya. Selain itu,
masyarakat menganggap bahwa perbedaan agama bukanlah suatu masalah.
Sehingga, mereka tidak mempermasalahkan jika ada orang yang berpindah
agama karena tertarik dengan agama atau aliran tertentu. Namun, bagi para
penguasanya, agama dimanfaatkan sebagai penanda untuk membedakan
golongannya sendiri dari golongan lainnya. Kutipan mengenai hal tersebut,
yaitu:
“Sejauh yang kuketahui selama hidupku, aliran kepercayaan apa pun yang
muncul selalu bisa dikaitkan dengan agama Hindu atau Buddha, atau dua-
duanya, tepatnya dengan Siva maupun Mahayanan. Dalam setiap agama
terdapat pengikut yang penafsiran terhadapa ajaran agamanya itu berbeda,
yang ternyata mendapatkan pula berbagai bentuk persetujuan dari pengikut
lainnya. Ibarat aliran sungai, penafsiran terhadap suatu ajaran agama dapat
bercabang, dan begitu pula cabang sungai tersebut, diakui maupun tidak
diakui, dapat bercabang lagi.” (hal 49)
“Namun berbeda dengan aliran sungai, dalam budaya agama setiap
percabangan mungkin saja masing-masingnya melebur sebagai aliran baru.
Adapun aliran baru kadang mengandung unsur yang masih bisa dikenali dari
agama dan aliran sumbernya, bahwa ada lebih dari satu agama dan seribu
satu aliran yang diacunya; tetapi ada pula yang sudah tidak bisa dikenali lagi
atas nama usaha memurnikannya.” (hal 49-50)
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yaitu bahwa biografi pengarang mempunyai pengaruh yang besar ke dalam
karya-karyanya. Selain itu, Novel Nagabumi menggambarkan keadaan sosial
masyarakat di pulau Jawa abad VIII – IX . Di mana dalam novel itu juga banyak
ditampilkan situasi-situasi sosial, agama, dan politik yang masih memiliki
relevansi dengan keadaan saat ini.
Gambaran sosial masyarakat yang tercermin dalam novel Nagabumi I, yaitu (a)
masyarakat dibagi dalam kelas-kelas sosial atau kasta. Kasta-kasta tersebut
adalah kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, kasta sudra, kasta paria,
dan kasta candala. (b) Martabat seseorang ditunjukkan dengan cara
berpakaian dan jenis busana tertentu. (c) Adanya persaingan kekuasaan di
antara penguasa, bahkan terkadang di antara pihak yang bertentangan masih
ada pihak lain yang bertentangan. (c) Terkadang perbedaan agama dijadikan
alasan untuk menimbulkan perpecahan. (d) Adanya ideologi bahwa nyawa
rakyat adalah milik raja, sehingga raja berhak untuk melakukan apa saja.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri Haryani, Roberta. 2004. Sistem Nilai Budaya Jawa dalam Novel Jalan
Menikung Karya Umar Kayam : Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra dan
Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMU. Yogyakarta : USD.
Santoso, Tri. 2011. Novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Kajian Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: USD.