Bab I

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 57

BAB I PENDAHULUAN

Angina Ludwig adalah proses infeksi yang serius dan cepat sekali yang menyebar dari dasar mulut yang mempengaruhi secara simultan ke spasium submandibular, sublingual dan submental. Infeksi biasanya dimulai sebagai selulitis, kemudian berubah menjadi fasitis, dan akhirnya menjadi abses dengan pembengkakan yang keras dan kering pada dasar mulut dan daerah suprahioid pada kedua sisi atau bilateral, disertai perpindahan dari lidah dan gangguan saluran nafas. Ini digambarkan untuk pertama kalinya pada tahun 1836 oleh Willhelm Frederick von Ludwig sebagai indurasi gangren jaringan lunak pada leher dan dasar mulut. Tanpa pengobatan infeksi ini sering fatal, karena risiko yang mungkin segera terjadi adalah asfiksi sehingga tingkat kematian infeksi ini 50%. Adanya tindakan bedah yang cepat, pengenalan antibiotik dan peningkatan kepedulian akan odontologi menentukan penurunan yang signifikan tingkat kematian menjadi kurang dari 10%. Namun demikian, pada saat ini, proses ini masih merupakan tantangan terapeutik karena dapat menyebabkan komplikasi serius. Walaupun Angina Ludwig jarang sekali disertai diabetes mellitus (DM) dan ketoasidosis diabetik (KAD). KAD adalah salah satu komplikasi yang dikenal lebih serius dari DM tipe 1 dan tipe 2, dengan tingkat kematian antara 2-5%. Beragam situasi (penyakit menular, kelalaian atau dosis insulin tidak tepat, konsumsi alkohol, prosedur bedah, periode pelanggaran puasa atau diet panjang)

dapat mempercepat DM (kadang-kadang tidak ada gejala) dan menentukan bila keadaan menjadi akut disebut sebagai KAD. Lebih dari 20%. Pasien KAD yang dating ke rumah sakit memiliki riwayat DM tidak terdiagnosa sebelumnya, keadaan klinisnya yang dapet terjadi infark miokardium, pankreatitis,

tromboemboli paru atau infeksi, infeksi saluran kencing dan pneumonia lebih sering terjadi. Walaupun beberapa kasus Angina Ludwig pada pasien diabetes telah dilaporkan, tugas kita merupakan konstribusi awal untuk literatur medis dari Angina Ludwig dalam konteks KAD yang merupakan komplikasi DM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Angina Ludwig Definisi Angina Ludwig atau phlegmon dasar mulut adalah infeksi ruang

submandibula berupa selulitis atau flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula. Ruang suprahioid berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hyoid dan m. mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas secara potensial.

Gambar 1. Angina Ludwig atau Phlegmon Dasar Mulut (file:///D:/maTErI%20kuLiaH/phlegmon.html)

2.1.2

Epidemiologi Kebanyakan kasus Angina Ludwig dapat terjadi pada orang sehat secara

dini. Dengan terdapat faktor predisposisi berupa diabetes mellitus, neutropenia, alkoholik, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomyositis, dan sistemik lupus eritematosus. Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah dilaporkan terjadi pada anak berumur 12 hari atau orang tua berumur 84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada laki-laki (3:1 sampai 4:1). Pemeriksaan gigi ke dokter secara teratur dan rutin penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya Angina Ludwig.

2.1.3

Anatomi Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fasia

penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi pada leher. Ruang yang dibentuk oleh berbagai fasia pada leher ini adalah merupakan area yang berpotensi untuk terjadinya infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau abses, dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe. Ruang submandibular merupakan ruang di atas tulang hyoid (suprahyoid) dan otot mylohyoid. Di bagian anterior otot mylohyoid memisahkan ruang ini menjadi dua yaitu di bagian superior adalah ruang sublingualis dan di bagian inferior yaitu otot submaksilaris. Adapula yang membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang sublingualis, ruang submentalis dan submaksillaris.

Gambar 2. Ruang Sublingual, Di Bagian Superior dari Otot Mylohyoid. Ruang Submandibularis yang Berada di Inferior dari Otot Mylohyoid (http://www.aafp.org/afp/990700ap/109.html) Ruang submandibularis dipisahkan dengan ruang sublingualis di bagian superiornya oleh otot mylohyoid dan otot hyoglossus, di bagian medialnya oleh styloglossus dan di bagian lateralnya oleh korpus mandibula. Batas lateralnya berupa kulit, fasia superfisial, otot platysma lapisan superfisial pada fasia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh otot digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan ruang pharyngeal. Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillaris, duktus Wharton, nervus lingualis dan hypoglassal, arteri fasialis, dan sebagian nodus limfe dan lemak. Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang terletak di garis tengah di bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya dibatasi bagian anterior dari otot digastrikus. Dasar pada ruangan ini adalah otot mylohyoid sedangkan atapnya adalah kulit, fasia superficial, dan otot platysma.

Ruang submental mengandung beberapa nodus limfe dan jaringan lemak fibrous. Ruang submaxillaris berada di bawah otot mylohyoid, dan ruang sublingual berada di atasnya tetapi masih di bawah lidah. Ruang-ruang yang sering terkontaminasi adalah leher bagian depan, ruang faringomaksilaris (parafaringeal), retrofaring dan mediastinum superior.

2.1.4

Etiologi Dilaporkan sekitar 50%-90% Angina Ludwig berawal dari infeksi

odontogenik, khususnya dari molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka, infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut. Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita Angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Banteri anaerob seringkali juga diisolasi meliputi bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, dan Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.

2.1.5

Patogenesis Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena

karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam yang merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan Angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringeal.(1) Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi jika terjadi ketegangan antara tulang.

Gambar 3. Linea mylohyoidea, Tempat Perlekatan M. Mylohyoideus. Infeksi Premolar dan Molar Menyebabkan Perforasi, Kemudian Menyebar Keruang-ruang yang Dibatasi oleh M. Mylohyoideus (http://tripoten.info/images/publication_upload0802202067020012034969 51dm_jan_mar_08.pdf) Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas didalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher.

Gambar 4. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga (http://tripoten.info/images/publication_upload0802202067020012034969 51dm_jan_mar_08.pdf) 8

Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.

Gambar 5. Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama (http://tripoten.info/images/publication_upload0802202067020012034969 51dm_jan_mar_08.pdf)

Gambar 6. Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual dan submandibular (http://www.aafp.org/afp/990700ap/109.html) Tulang hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior, dan pembengkakan menyebar di daerah depan leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran Bull neck.

2.1.6

Manifestasi Klinis Gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tenggorokan dan leher

disertai pembengkakan di daerah submandibular yang tampak hiperemis, drooling, dan trismus. Nyeri tekan dan keras pada perabaan (seperti kayu). Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak nafas. Meskipun banyak pasien sembuh tanpa komplikasi, Angina Ludwig dapat berakibat fatal. Pada kasus yang berat dapat terjadi stridor dan obstruksi jalan nafas.

Pembengkakan submental, mulut tidak dapat membuka

Pembengkakan yang menegang, pasien tidak dapat membuka mulutnya

Bengkak meluas ke arah lateral dan pasien mengalami abrasi pada hidung

Gambar 7. Tanda Angina Ludwig pada anak (http://www.aafp.org/afp/990700ap/109.html)

Gambar 8. Abses submandibular pada orang dewasa dengan DM (http://tripoten.info/images/publication_upload080220206702001203496951dm_j an_mar_08.pdf)

10

2.1.7

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa foto polos leher dan

dada, yang mana sering memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, dan penyempitan jalan napas.

Gambar 9. Radiografi Leher dan Dada Menunjukkan Adanya Gas (www.turner-white.com) Pemeriksaan CT-Scan memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, akumulasi cairan, dan juga dapat sangat membantu untuk memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan bantuan. Selain itu foto panoramik rahang dapat membantu untuk menentukan tempat fokal infeksinya.

Gambar 10. CT Scan Menunjukkan Supraglotitits dan Gas Jaringan Lunak (www.turner-white.com) 11

Pemeriksaan

Laboratorium

darah

tampak

leukositosis

yang

mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas untuk menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi. Foto x-ray posisi lateral untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan jaringan lunak dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain adanya obstruksi jalan nafas. Foto panoramik berguna untuk mengidentifikasi lokasi abses serta struktur tulang yang terlibat infeksi.

2.1.8

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis Daria anamnesis didapatkan gejala berupa nyeri pada leher, kesulitan makan dan menelan. Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi atau adanya riwayat higien gigi yang buruk. b. Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan tanda vital biasa ditemukan tanda-tanda sepsis seperti demam, takipnea, dan takikardi. Selain itu juga ditemukan adanya edema bilateral, nyeri tekan dan perabaan keras seperti kayu pada leher, trismus, drooling, disfonia, dan pada pemeriksaan mulut didapatkan elevasi lidah, tetapi biasanya tidak didapatkan pembesaran kelenjar limfe.

12

c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa foto polos leher dan dada, yang mana sering memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, dan penyempitan jalan napas. Pemeriksaan CT-Scan memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, akumulasi cairan, dan juga dapat sangat membantu untuk memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan bantuan. Selain itu foto panoramik rahang dapat membantu untuk menentukan tempat fokal infeksinya.

2.1.9

Diagnosis Banding Diagnosa banding dari Angina Ludwig adalah : karsinoma lingual,

sublingual hematoma, abses glandula salivatorius, limfadenitis, dan peritonsilar abses. Untuk dapat menegakkan diagnosis Angina Ludwig ada empat kriteria yang dikemukakan oleh Grodinsky yaitu: 1. Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga.
2. Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous dengan atau tanpa

pus. 3. Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun tidak melibatkan kelenjar.
4. Penyebaran perkontinuitatum dan bukan secara limfatik.

13

2.1.10 Penatalaksanaan Ada 4 Prinsip utama dalam penatalaksanaan Angina Lugwig : 1. Proteksi dan kontrol jalan napas 2. Pemberian antibiotik yang adekuat 3. Insisi dan drainase abses 4. Hidrasi dan nutrisi adekuat

2.1.10.1

Akut

Penanganan medis pada masalah pernafasan akut antara lain pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik dosis tinggi dan berspektrum luas secara intravena untuk organisme gram-positif dan gram-negatif serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil kultur dan hasil sensitifitas pus. Pengobatan Angina Ludwig pada anak untuk perlindungan jalan napas digunakan antibiotik intravena, selain itu dapat juga digunakan terapi pembedahan. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat antistaphylococcus atau metronidazole. Jika pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edema dan perlindungan jalan nafas.

2.1.10.2

Elektif

Elektif yang digunakan dalam mengatasi masalah pernafasan adalah trakeostomi. Setelah diagnosis Angina Ludwig ditegakkan, maka penanganan

14

yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil melalui intubasi atau trakeostomi yang dilakukan dengan anesthesia lokal. Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam keadaan gawat darurat. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, pada Angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os. hyoid (34 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan korpus mandibula melalui fasia dalam sampai ke kedalaman kelenjar submaksilar. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os. Hyoid sampai batas bawah dagu. Perlu juga dilakukan pengobatan terhadap infeksi gigi untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

Gambar 11. Insisi dan Drainase (Clinical Instructor, Oral and Maxillofacial Surgery, 2007)

15

2.1.10 Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul pada Angina Ludwig yang tidak diterapi secara tepat adalah sebagai berikut : a. Infeksi carotid sheath b. Tromboplebitis supuratif pada vena jugular interna c. Obstruksi jalan napas d. Empiema e. Efusi pleura f. Osteomielitis mandibula g. Pneumonia aspirasi h. Mediastenitis

Gambar 12. Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah satu komplikasi ludwig angina (http://tripoten.info/images/publication_upload080220206702001203496951dm_j an_mar_08.pdf)

16

2.1.11 Prognosis Pada penderita usia muda yang berbahaya terutama ruptur abses spontan dengan aspirasi dan/atau spasme laring. Ada kemungkinan meskipun jarang, jika tidak diobati dapat menyusup ke dalam ruang faring dengan atau tanpa tandatanda luar, menjalar ke bawah dari belakang esofagus menuju ke mediastinum posterior, septikemia, perdarahan, edema, ruptur, dan aspirasi. Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan begitu angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%.

2.1.12 Evaluasi Hasil yang diharapkan atau evaluasi pasien dilihat tanda-tanda vital pasien dalam batas normal, nadi perifer teraba, warna dan suhu ekstremitas pasien normal, daerah insisi kering dan penyembuhan mulai terjadi. Drainase kuning jernih dan tidak berbau. Setelah 72 jam, jika rasa sakit berkurang, bengkak telah mulai untuk menyelesaikan dan suhu normal, aplikasi pad pemanas ke sisi wajah dapat membantu untuk meningkatkan drainase dan mempercepat penyembuhan. Selain menggunakan CT Scan, pemeriksaan klinis terbaik untuk menentukan dilakukannya ektubasi adalah tes kebocoran udara dengan menutup

17

rapat tabung endotrakeal menggunakan jari, untuk menentukan apakah pasien bisa bernafas tanpa tabung endotrakeal.

2.1.13 Rehabilitasi Sebagian besar sakit di sekitar abses akan lenyap sesudah pembedahan. Penyembuhan biasanya sangat cepat. Setelah tabung drain diambil keluar, antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa hari. Pembuatan protesa untuk mengganti gigi yang telah diektraksi karena merupakan fokus infeksi dapat dilakukan jika pasien dapat memilihari kebersihan mulutnya dengan baik dan memiliki penyakit sistemik yang terkontrol.

2.1.14 Diskusi Ludwigs angina merupakan suatu kondisi yang jarang dan mulai muncul sejak antibiotik beberapa tahun yang lalu dan mulai meningkatnya standard dalam prakter dokter gigi. Angina Ludwig biasanya berasal dari infeksi gigi, umumnya berawal dari infeksi karies gigi molar rahang bawah (70-90%). Hal ini ditandai dengan nekrosis otot yang penting, meskipun awalnya kecenderungan untuk timbulnya pus tidak terlihat, dan ketika itu muncul, itu tidak terlambat, di samping itu fenomena ini terjadi dengan cepat tanpa adanya pertahanan anatomis. Pengenalan infeksi dengan cepat sangat penting. Penenganan kondisi secara keseluruhan harus jelas, sejak infeksi disertai nyeri servikal, disfagia, dispnea, dan demam. Manifestasi lokal relatif sedikit mencolok. Terlihat pembengkakan suprahioid bilateral, konsistensi keras, tidak ada fluktuasi,

18

dan sakit saat disentuh. Mulut setengah terbuka dan lidah berkontak dengan palatum, ditandai dengan edema pada dasar mulut. Adanya stidor, trismus, sianosis, dan lidah yang terangkat mengindikasikan akan segera terjadi kompromis jalan nafas. Komplikasi serius yang mungkin terjadi antara lain sepsis, pneumonia, empiema, perikarditis, mediastinitis, dan pneumotoraks. Kebanyakan kasus Angina Ludwig dapat terjadi pada orang sehat secara dini, dengan terdapat faktor predisposisi berupa diabetes mellitus. Walaupun Angina Ludwig jarang sekali disertai diabetes mellitus (DM) dan ketoasidosis diabetes (KAD).

2.2

Diabetes Mellitus Definisi Diabetes mellitus adalah gangguan endokrine yang paling umum

2.2.1

ditemukan dalam praktek klinis. Gangguan ini dapat idefenisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh hiperglikemia akibat kelemahan atau kekurangan absolut atau relatif dari insulin dan atau resistansi insulin. Diabetes melitus merupakan sekelompok kelaian heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smelter. 2001: 1220 ). Diabetes melitus adalah hiperglikemia kronik disertai berbagaikelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagaikomplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesipada membrane basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (ed.Mansjoer. 1999: 580).

19

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandaioleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner danSuddarth, 2002). Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorangyang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darahakibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002). Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang berarti kencing dan melitusdalam bahasa latin yang berarti madu atau mel (Hartono, 1995). Penyakit inimerupakan penyakit menahun yang timbul pada seseorang disebabkankarena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekuranganinsulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002). DM tipe II adalah DM yang pengobatannya tidak tergantung pada insulin, umumnya penderitaorang dewasa dan biasanya gemuk serta mudah menjadi koma (Soesirah,1990). Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan ditandai oleh kenaikan kadarglukosa dalam darah atau hiperglikemia (Suzanne C, Smeltzer, 1997). Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

menurunnyakadar gula didalam sel yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antarasuplai insulin dengan kebutuhan tubuh (Polaski,1996). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah suatu penyakit atau sindroma yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai insulin dengan kebutuhan tubuh.

20

Diabetes mellitus primer pada umumnya disubklasitikasikan kedalam insulin dependent diabetes mellitus (diabetes mellitus yang bergantung kepada insulin atau IDDM) dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau diabetes mellitus yang tidak bergantung kepada insulin. Gugus gugus klinis ini berbeda dalam epidemiologinya sifat-sifat klinis dan patotisiologinya. Diabetes mellitus sekunder dapat terjadi dari penyakit pankreatik, penyakit endokine seperti sindorme Cushng, terapi obat, dan jarang disebabkanoleh abnormalitas reseptor insulin.

2.2.2

Klasifikasi dan Etiologi Menurut Smeltzer (2001) klasifikasi utama diabetes melitus adalah :

1.

Tipe I : Diabetes Melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes mellitus/IDDM)

2. 3. 4.

Tipe II : DM tidak tergantung insulin ( non-insulin dependent DM /NIDDM) DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya DM Gestasional ( gestation diabetes mellitus / GDM ) Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus

tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes melitus tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resistensu insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini

21

sepenuhnya. Artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Klasifikasi etiologis DM American Diabetes Assosiation (1997) sesuai anjuran perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah : 1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel B), umumnya menjurus ke definisi insulin absolut : Autoimun Idiopatik

2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai terutama dominan risestensi insulin disertai definisi insulin relatif sampai terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin). 3. Diabetes tipe lain a. Defek generik fungsi sel B Maturity Onset Diabetes Of The Young (MODY) 1,2,3 DNA mitokondria b. Defek generik kerja insulin c. Penyakit eksoskrin pankreas Pankreastitis Tumor / pankreatektomi Pankreatopati fibrokalkulus

d. Endokrinopati : Akromegali, Syndrom Cushing, Feokromositoma dan hipertiroidisme. 22

e. Karena obat / zat kimia. Vacor, pentamidin, asam nikotinat Glukokortikoid, hormon tiroid
Tiazid, dilatin, interferon , dll.

f. Infeksi : Rubela kongenital, sitomegalovirus. g. Penyebab imunologi yang jarang ; antibodi ; antiinsulin. h. Syndrom generik lain yang berkaitan dengan DM : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, dll. 4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

2.2.3

Patogenesis Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang

lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang terbentuk seperti pulau. Karena itu disebut pulau langerhans yang berisi sel B yang mengeluarkan hormon insulin yang sangat berperan mengatur kadar glukosa darah.

Gambar 13. Pangkreas (http://www.gopetsamerica.com/anatomy/pancreas.asp) Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan 23

fisiologis beberapa hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang menurunkan kadar glukosa darah dan hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon yang menurunkan kadar glukosa darah. Insulin dibentuk oleh sel-sel beta pulau langerhans pankreas. Sebaliknya ada beberapa hormon tertentu yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah yaitu : Glukagon, Efinefrin, Glukokartikoid dan Growth Hormon. Ke empat hormon ini membentuk suatu mekanisme counter regulator yang mencegah timbulnya Hipoglikemia akibat insulin.

Gambar 14. Regulasi Glukosa (http://www.scienceinschool.org/print/73) Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glokusa kedalam sel, untuk kemudian didalam sel glokusa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glokusa dalam darah tidak dapat masuk kedalam sel dengan akibat kadar glokusa dalam darah meningkat. Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes Tipe I.

24

Gambar 15. Diabetes Tipe 1: Insufficient Insulin (http://mengkudunoni.com/terapi-diabetes-tipe-1-dan-2/) Pada diabetes tipe II, tubuh mampu memproduksi insulin secukupnya (terkadang bahkan lebih dari cukup). Namun, insulin yang diproduksi tidak dapat diserap oleh sel tubuh untuk memecah gula menjadi energi. Pada diabetes tipe II, tubuh juga mengalami masalah dalam menggunakan lemak dan protein secara baik. Dari semua jenis diabetes, hampir 90% adalah diabetes tipe II. Kondisi ini sering disebut sebagai diabetes usia lanjut.

Gambar 16. Diabetes Tipe 2 (http://mengkudunoni.com/terapi-diabetes-tipe-1-dan-2/) 2.2.4 Manifestasi Klinis 25

Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah : 1. Keluhan klasik Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah. Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan penurunan prestasi di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lainyaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus. 2. Banyak kencing Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari. 3. Banyak minum Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.

4. Banyak makan

26

Kalori

dari

makanan

yang

dimakan,

setelah

dimetabolisasikan

menjadiglukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderitaselalu merasa lapar Keluhan lainnya: 1. Gangguan saraf tepi atau kesemutan Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki diwaktu malam, sehingga mengganggu tidur. 2. Gangguan penglihatan Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik. 3. Gatal/bisul Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Seringpula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti. 4. Gangguan ereksi Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.

5. Keputihan

27

Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.

2.2.5

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan

darah dan urin. Pemeriksaan daran antara lain pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral standar. Pemeriksaan urin yang dilakukukan antara lain Tes Benedict dan Tes Rothera. Untuk kelompok resiko tinggi DM, seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi, obesitas, dan adanya riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu pemeriksaan penunjang setiap tahun. Bagi beberapa pasien yang berusia tua tanpa faktor resiko, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan setiap 3 tahun. A. Pemeriksaan Darah Tabel interpretasi kadar glukosa darah (mg/dl) Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu Plasma vena Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa Plasma vena Darah kapiler <110 <90 <110 <90 110-199 90-199 110-125 90-109 >200 >200 >126 >110 Belum pasti DM DM

Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO

28

Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tidak dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien dengan manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia Cara pemeriksaannya adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa

2. Kegiatan jasmani cukup


3. Pasien puasa selama 10 12 jam

4. Periksa kadar glukosa darah puasa


5. Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum

dalam waktu 5 menit


6. Periksa kadar glukosa darah saat , 1, dan 2 jam setelah diberi glukosa

7. Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh merokok Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum yang < 200 mg/dl setelah , 1, dan 1 jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah 2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

29

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah

mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

B. Pemeriksaan Urin 1. Tes Benedict Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen Cara kerja : 1. Masukkan 1 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi 2. Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok 3. Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit 4. Perhatikan jika adanya perubahan warna Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan DM, kadar glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan glomerulus ginjal,sehingga pada akhirnya, ginjal mengalami kebocoran dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure, atau Gagal Ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penangananyang benar untuk mengurangi kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai komplikasi sistemik yang pada akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal Ginjal Kronik.

30

Gambar 17. Hasil dari Tes Benedic (http://www.scribd.com/doc/22401057/Pemeriksaan-Penunjang-UntukDiabetes-Melitus) Interpretasi (mulai dari tabung paling kanan) : 0 +1 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa. Bukan DM = Berwarna Hijau . Ada sedikit Glukosa. Belum pasti DM, atau DM stadium dini/awal +2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa. Jika pemeriksaan kadar glukosa darah mendukung/sinergis, maka termasuk DM +3 +4 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa. Positif DM = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa. DM kronik 2. Rothera test Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents, dan amonium hidroxida pekat. Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aseton dan asam asetat dalam urin, yang mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak ditangani. Zatzat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan lipid secara masif oleh

31

tubuhkarena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam keadaan DM, sehingga tubuh melakukan mekanisme glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Zat awal dari aseton dan asam asetat tersebut adalah Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak. Cara kerja :
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi

2. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut


3. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 ml masukkan ammonium

hidroxida secara perlahanlahan melalui dinding tabung


4. Taruh tabung dalam keadaan tegak

5. Baca hasil dalam setelah 3 menit


6. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan

menandakan adanya zat zat keton

2.2.6

Penatalaksanaan Tujuan utama pengobatan diabetes mellitus yaitu :

1. Mengembalikan konsentrasi glukosa darah menjadi senormal mungkin agar penyandang DM merasa nyaman dan sehat. 2. Mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi. 3. Mendidik penderita dalam pengetahuan dan motivasi agar dapat merawat sendiri penyakitnya sehingga mampu mandiri. Penderita diabetes melitus tipe 1 umumnya menjalani pengobatan terapi insulin (Lantus atau Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang

32

berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet). Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah.

2.3 2.3.1

Ketoasidosis Diabetik Definisi Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes melitus

yang serius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi. Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang disebut akselerasi puasa dan merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin. Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kedaruratan endokrinologi yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.

33

Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor : 1. Infeksi 2. Stress fisik dan emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong peningkatan proses katabolik. 3. Menolak terapi insulin

2.3.2

Etiologi Ketoasidosis diabetik lebih sering terjadi pada pasien DM tipe I akibat

ketidakpatuhan penggunaan insulin, namun demikian komplikasi ini sering juga terjadi pada pasien DM tipe II. Pada pasien DM tipe II komplikasi ini muncul akibat penyakit dasar yang memicu peningkatan hormon kontra insulin yaitu infeksi, stroke, pancreatitis akut, iskemia mesenteric, infark miokardial, penggunaan obat-obatan (beta-bloker, thiazide, dan phenytoin), dan penggunaan steroid. Dari berbagai pemicu KAD pada DM tipe II tersebut infeksi merupakan penyebab tersering bahkan pada 25-30% kasus infeksi merupakan manifestasi utama yang menjadi dasar diagnosis diabetes. Pada pasien DM tipe II yang mengunakan insulin, ketidakpatuhan juga sering menjadi penyebab terjadinya KAD. Adanya gangguan dalam regulasi Insulin, khususnya pada IDDM dapat cepat menjadi ketoasidosis diabetik manakala terjadi :
1. Diabetik tipe I yang tidak terdiagnosa

34

2. Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dngan insulin 3. Adolescen dan pubertas 4. Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes 5. Stress yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan

Emosional

2.3.3

Patogenesis Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan

ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin (Gambar 18).

Gambar 18. Perkembangan Ketoasidosis Diabetik (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3473/1/biokimiasyahputra2.pdf) 35

Peningkatan kadar katekolamin yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar insulin menyebabkan penurunan penggunaan glukosa di jaringan perifer. Peningkatan kadar glukosa di sirkulasi dan penurunan utilisasinya di jaringan perifer menjadi penyebab hiperglikemia pada pasien KAD. Hiperglikemia menyebabkan glukosa berlebihan dikeluarkan dari urin melalui ginjal. Glukosuria menyebabkan diuresis osmotik sehingga caian dalam tubuh akan terkuras sampai pasien mengalami dehidrasi. Diuresis akibat hiperglikemia bisa mencapai 5-7 liter pada pasien KAD. Pada kasus tertentu kadar gula darah pasien dapat norma, kondisi ini dinamakan KAD euglikemik dan terjadi pada sekitar 10% total kasus KAD. Euglikemik KAD khususnya ditemui pada ibu hamil yang mengalami KAD. Secara umum tingkat mortalitas pada ibu hamil dengan KAD euglikemik tidak meningkat namun demikian tingkat mortalitas pada anaknya meningkat hingga mencapai 35%. Peningkatan hormon kontra regulator insulin juga memiliki efek terhadap lipid yaitu terjadinya lipolisis melalui aktivasi Hormone-Sensitive lipase. Hormon ini bekerja dengan memecah trigliserida menjadi asam lemak. Asam lemak yang terbentuk beredar dalam sirkulasi dan dirubah oleh hati menjadi badan keton melalui proses ketogenesis. Patogenesis komplikasi DM akut dapat dilihat pada Gambar 19.

36

Gambar 19. Patogenesis komplikasi akut Diabetes Mellitus (http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiahkedokteran/endokrinologi-metabolik-penyakit-dalam/2011/04/12/ketoacidosisdiabetik/) Proses ketogenesis diawali oleh tingginya kadar glukagon. Glukagon yang tingi menyebabkan diaktifkannya enzim carnitine palmitoltransferase I yang bekerja untuk memfasilitasi masuknya asam lemak ke dalam sel di organ mitokondria. Dalam mitokondria asam lemak akan diubah menjadi asetil koenzim A oleh enzim carnitine palmitoltransfearse II. Asetil koenzim A yang berlebihan akan dirubah menjadi asam asetoasetat dan asam b-hidroksibutirat, keduanya merupakan asam derivat keton yang bisa menyebabkan asidosis pada pasien KAD. Reaksi biokimia pembentukan badan keton pada KAD dapat dilihat pada Gambar 20.

37

Gambar 20. Reaksi biokimia pembentukan keton pada KAD (http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiahkedokteran/endokrinologi-metabolik-penyakit-dalam/2011/04/12/ketoacidosisdiabetik/) Asam asetoasetat akan mengalami dekarboksilasi spontan dalam sirkulasi menjadi aseton dengan perbandingan linear artinya semakin banyak asam asetoasetat semakin banyak pula aseton yang terbentuk. Asam b-hidroksibutirat dapat berubah menjadi asam asetoasetat begitupun sebalinya. Dengan demikian ketosis pada KAD disebabkan oleh 3 zat yaitu asam asetoasetat, asam bhidroksibutirat, dan aseton. Benda-benda keton tersebut difiltrasi melalui urin dan sebagian dieksresikan melalui urin sehingga keberadaanya bisa di deteksi melalui urin khususnya asam asetoasetat dan asam b-hidroksibutirat. Ketoasidosis diabetik sering disertai dengan dehidrasi berat yang mengakibatkan berkuranganya filtrasi benda keton sehingga retensi keton dalam sirkulasi bertambah.

2.3.4

Gejala Klinis Pada umumnya gejala-gejala KAD didahului gejala awal berupa polidipsi,

poliuria dan polifagi disusul oleh nafsu makan yang kurang, mual dan muntah-

38

muntah. Muntah-muntah disusul oleh gejala lemah badan, mengantuk, stupor dan terjadi koma. Kadang-kadang sebelum koma penderita mengeluh nyeri dada dan nyeri perut yang semuanya ini disebabkan oleh asidosis. Kadang-kadang keadaan ini dikacaukan dengan appendicitis akut atau kolik ureter. Pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda dehidrasi berupa tekanan darah turun, nadi melemah, temperatur menurun atau normal, pupil midriasis, isokor, tekanan bola mata lunak,pernapasan cepat dan dalam disebut sebagai pernapasan Kusmaull, napas berbau aseton, kulit kering,tonus otot menurun dan refleks fisiologis menurun. Pada keadaan ini kesadaran penderita menurun sampai koma.

2.3.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah : a. Pemeriksaan gula darah meningkat antara 300-600 mg%, dapat meningkat sampai 1000 mg% b. Ketonemi dengan ditemukannya benda-benda keton dalam darah (normal l0-15 mg%) c. Pemeriksaan pH darah menurun (normal 6,9-7,3) d. CO2 darah menurun l0-l5 mEq/liter. e. Kadar elektrolit darah: ion Na, Ca, Cl menurun atau normal. Kadar K, Mg, PO4 normal atau meningkat. Pemeriksaan urine : - Reduksi urine positif kuat

39

- Benda-benda keton positif Tabel 1. Kriteria Diagnosis KAD Kadar glukosa > 250 mg% pH < 7,35 HCO3 rendah Anion gap yang tinggi Keton serum positif

2.3.6

Penatalaksanaan

Pengobatan ketoasidosis diabetik (KAD) dibagi 2 tahap : Tahap I : l. Pemberian cairan 2. Pemberian insulin 3. Pemberian elektrolit : bikarbonat dan kalium 4. Pemberian antibiotik Tahap II : Pemberian cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dengan pemberian NaCl 0,9% dan Martos l0 atau Dextrose 5 % . A. Pemberian cairan Tujuan pemberian cairan adalah : - mengatasi gangguan cairan dan elektrolit - mengatasi asidosis Cairan yang diberikan adalah Na Cl 0,9% sebanyak 2 liter dalam waktu 2-3 jam pertama. Bila keadaan dehidrasi tetap ada maka infus NaCl 0,9% dilanjutkan dengan 3 liter dalam 6 jam. Selama pemberian cairan monitor dehidrasi dengan CVP kateter dan tekanan darah. Bila tidak memungkinkan CVP kateter maka 40

monitor dehidrasi dengan produksi urine. Bila glukosa darah kurang 250 mg% maka infus NaCl 0,9% dapat diganti dengan Martos l0 atau dextrose 5%. B. Pemberian insulin Pemberian insulin pada KAD dipakai dosis kecil dan diberikan secara drips atau intravena secara kontinu (continuous intravenous insulin drips). Caranya: 1. Bila kadar glukosa darah lebih 300 mg% berikan Actrapid 6 unit perjam. 2. Bila kadar glukosa darah 200-300 mg% berikan Actrapid 3 unit perjam 3. Bila kadar glukosa darah kurang 200 mg% berikan Actrapid l,5 unit perjam. Untuk mendapatkan takaran insulin 6 unit perjam dapat dilakukan dengan pompa automatik dari Braun dengan memasukkan Actrapid 20 unit kedalam semprit 20 ml yang berisi NaCl 0,9%. Pompa diatur dengan kecepatan 6 ml perjam maka diperoleh takaran insulin atau actrapid sebanyak 6 unit perjam. Untuk memperoleh takaran insulin 3 unit perjam maka pompa diatur dengan kecepatan 3 ml perjam. Bila tidak ada pompa automatik maka dapat dipakai pediatric giving set l00 ml diisi dengan l00 ml NaCl 0,9% dengan 24 unit Actrapid. Dengan kecepatan 25 ml/jam yaitu kira-kira 38 mikrodrips permenit memberikan 6 unit Actrapid perjam. Bila cara tersebut diatas tidak memungkinkan maka dapat dilakukan pemberian insulin secara intravena tiap jam sesuai kadar glukosa darah. dan Bila kadar glukosa darah sudah mencapai atau kurang dari 250 mg% maka cara

41

pemberian insulin infus atau drips atau intravena dapat diganti dengan cara pemberian subkutan tiap 6-8 jam atau secara intra muskuler tiap 2-4 jam. C. Pemberian antibiotik Antibiotik diberikan untuk menghilangkan infeksi atau mencegah meluasnya infeksi. Mulai dengan antibiotik yang mempunyai spektrum luas dan dosis yang adekuat sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas mikroba D. Pemberian kalium Pemberian kalium pada KAD perlu karena sering menyebabkan hipokalemia. Bila penderita sudah sadar maka diberikan KCl peroral dosis 500 mg perhari dan pada penderita yang masih koma dan jelas ada hipokalemia maka diberikan KCl intravena 4-6 gram. E. Pemberian bikarbonat Bikarbonat dapat diberikan bila ada indikasi yaitu apabila pH darah kurang 7,1 atau kadar bikarbonat darah lebih kecil 5 mEq/L atau ditemukan tanda-tanda aritmia jantung atau hipotensi. Pemberian bikarbonat harus berhati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa karena dapat fatal. Diberikan Meylon 1 ampul (mengandung 44 mEq perliter bikarbonat) dalam larutan NaCl 0,45 %.

2.3.7

Komplikasi Beberapa komplikasi dapat terjadi akibat dari KAD atau komplikasi akibat

pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokardium akut, dan komplikasi iatrogenik berupa hipoglikemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia.

42

Insulin gula darah rendah (hipoglikemia) memungkinkan gula memasuki sel. Hal ini menyebabkan tingkat gula darah menurun. Kalium yang rendah (hipokalemia). Cairan dan insulin digunakan untuk mengobati diabetes

ketoasidosis dapat menyebabkan kadar potasium turun terlalu rendah. Tingkat kalium yang rendah dapat mengganggu kegiatan otot-otot jantung dan saraf. Pembengkakan di otak (edema serebral). Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0,71,0% pada anak-anak dengan KAD. Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur dua puluhan. Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku, angka kematian tinggi (>70%), dengan hanya 714% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD.

43

2.3.8

Prognosa

Prognosis KAD tergantung pada :


1. Ada tidaknya komplikasi seperti infark miokard akut, pankreatitis

hemorargis,

nekrosis

tubuler

akut .Jika

terdapat komplikasi

maka

prognosisnya jelek.
2. Derajat asidemia. 3. Lama dan derajat koma ketoasidosis.

Perubahan metabolik yang berhubungan dengan KAD memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan sel yang signifikan, penyakit atau kematian. Namun untungnya banyak perawatan telah dikembangkan untuk membantu mengurangi risiko ini. Hari ini prognosis keseluruhan KAD sangat baik. Dengan pengobatan yang agresif, kebanyakan orang dengan ketoasidosis diabetik dapat mengharapkan pemulihan lengkap. Kematian dianggap langka dan hanya terjadi sekitar 2% dari waktu. Orang tua, pasien dengan presentasi yang parah dan mereka dengan penyakit lain pada risiko terbesar konsekuensi berat. Penyebab utama kematian adalah sirkulasi terhenti, hipokalemia, infeksi, dan edema serebral.

2.3.9

Evaluasi Evaluasi KAD didefinisikan sebagai perbaikan umum dalam gejala-gejala,

seperti kemampuan untuk mentolerir nutrisi oral dan cairan, keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.

44

Normalisasi keasaman darah (pH>7.3), dan tidak adanya keton dalam darah (<1 mmol/l) atau urin. Setelah ini telah dicapai, insulin dimasukkan seperti biasa melalui subkutan, satu jam setelah pemberian intravena dapat dihentikan. Pada pasien KAD yang diduga DM tipe 2, penentuan antibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat dan sel-sel islet dapat membantu dalam keputusan apakah melanjutkan pemberian insulin jangka panjang (jika antibodi terdeteksi), atau apakah untuk mencoba pengobatan dengan obat oral.

2.3.10 Rehabilitasi Mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecacatan tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk pengendalian penyakit DM. Jika pasien telah melaksanakan program makan dan latihan jasmani teratur, namun pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat hipoglikemik baik oral maupun insulin.

45

BAB III LAPORAN KASUS

Angina Ludwig dan Ketoasidosis Sebagai Manifestasi Awal dari Diabetes Mellitus (Journal of the Medicine Oral Patol Oral Cir Bucal of Oral surgery July 2010 1;15 (4):e624-7. Servicio de Ciruga Oral y Maxilofacia, Hospital Universitario Virgen del Roco, Av. Manuel Siurot 41013-Sevilla, Spain)

1.1 Nama Umur

Identifikasi Pasien : An. X : 26 tahun : Laki-laki

Jenis kelamin

3.2

Anamnesa Seorang pasien dirujuk untuk diperiksa infeksinya yang berasal dari gigi

molar ketiga rahang bawah. Pasien ini resisten terhadap pengobatan rawat jalan dan menunjukkan kondisi umum yang buruk, dehidrasi, dan kondisi trismus yang parah setelah satu minggu kemajuan. Pasien telah diobati amoksisilin / klavulanat 1 gr/ 62,5 mg dua kapsul dua kali sehari, deflazacort 30 mg satu tablet sehari, dan parasetamol 1 gr tiga tablet sehari.

46

3.3
1.

Pemeriksaan Klinis Status umum : Delirium (gelisah) : Bingung :

Kesadaran Ekspresi muka Tanda-tanda Vital

T : tidak ada data N : tidak ada data R : tidak ada data, pasien takipnea (> 20 x/mnt) S : 37,5 oC 2. Status Lokasi a. Ekstra Oral Pembengkakan difus pada daerah submental dan menyebar pada kedua sudut rahang serta ke daerah parotis. Indurasi : positif Nyeri tekan : terasa sakit jika disentuh.
b. Intra Oral

Dasar mulut Lidah Fluktuasi Perkusi

: terasa keras : berkontak dengan palatum : negatif : positif pada gigi molar ketiga rahang bawah

3.4

Pemeriksaan Penunjang

47

1. Pemeriksaan Laboratorium (Tes Darah) Leukosit Glukosa puasa pH Bikarbonat Kalium Natrium : 45.000 (93% PMN) : 678 mg/dl (glikemia) : 6,99 : 2,5 mEq : 4,9 mmol/L : 130 mmol/L

2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi menggunakan foto panoramik dan contrast-enhanced TC pada wajah dan leher.

Gambar 21. Aksial CT Scan dimana terlihat kumpulan gumboil di tingkat supra-inframilohioid dan ruang submandibular dengan adanta udara bebas di antara lapisan otot dari dasar mulut. Dari hasil pemeriksaan maka pasien di diagnosa dengan ketoasidosis diabetic (KAD) tanpa sebelumnya di dignosa dengan diabetes mellitus, dalam hubungannya dengan Angina Ludwig yang berasal dari gigi geligi.

48

3.5

Terapi Perawatan dengan memberikan antibiotik intravena dengan kombinasi

klindamisin (600 mg/setiap 8 jam) dan tobramisin (100 mg/setiap 12 jam). Selain itu, meningkatkan kontribusi cairan dan pemberian insulin

intravena dimulai. Mengingat keseriusan dari gejala klinis pasien dirawat di ICU. Selama 48 jam dibawah anastesi umum menggunakan intubasi nasotrakheal fiberoptik dilakukan operasi pembedahan, gigi molar ketiga sebagai fokus infeksi dicabut, dan drainase ekstra oral dengan melakukan insisi pada daerah submandibular dan submental untuk tempat keluar pus.

Gambar 22. Drainase Kultur mikrobiologi yang diperiksa ternyata positif Streptococcus constellatus. Pseudomonas aeruginosa and Streptococcus mitis diisolasi dalam hemocultives. Pada hari ke-4 pasien mulai diberikan sesuai dengan tes antibiogram yaitu dengan piperacilin-tazobactam 4 gr secara intravena selama 6 jam dan ciprofloxacine 400 mg secara intravena selama 12 jam, dilakukan selama 10 hari. Untuk mengontrol glukemia dan metabolik ditingkatkan secara bertahap 49

dalam hubungan dengan pengurangan perawatan kortikoid dan pengobatan infeksi gejala klinis. Pasien diektubasi pada hari ke-6 dan dikirim ke ruang rawat inap pada hari ke-8. Drinase servikal dilepas pada hari ke-12 dan pasien pulang pada hari ke-16. Pasien ditindaklanjuti untuk di rujuk ke bagian endokrinologi sebagai pasien rawat jalan. Kontrol glukemik baik setelah dilakukan terapi insulin multidosis. Peptide C 3,73 dan 4,48 ng/mL (normal 1,10-4,40 ng/dL), HbA1c awalnya 12,2% dan turun menjadi 7,8% (normal 4-6%) dan dari hasil tes darah antibodi antiGAD, antiIA2, dan antiinsulin normal atau negatif (1,21 U/L, 3,85 U/L, 2,32 U/mL), dari hasil pemeriksaan pasien di diagnosa DM tipe 2 dengan cadangan pankreas.

3.6

Prognosa Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Namun

dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan begitu angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%. Prognosis keseluruhan KAD sangat baik. Dengan pengobatan yang agresif, kebanyakan pasien dengan ketoasidosis diabetik dapat mengharapkan pemulihan lengkap. Kematian dianggap langka dan hanya terjadi sekitar 2%.

50

3.7

Evaluasi Hasil yang diharapkan atau evaluasi pasien dilihat tanda-tanda vital pasien

dalam batas normal, nadi perifer teraba, warna dan suhu ekstremitas pasien normal, daerah insisi kering dan penyembuhan mulai terjadi. Drainase kuning jernih dan tidak berbau. Evaluasi KAD didefinisikan sebagai perbaikan umum dalam gejala-gejala, seperti kemampuan untuk mentolerir nutrisi oral dan cairan, keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Normalisasi keasaman darah (pH>7.3), dan tidak adanya keton dalam darah (<1 mmol/l) atau urin.

3.8

Rehabilitasi Sebagian besar sakit di sekitar abses akan lenyap sesudah pembedahan.

Penyembuhan biasanya sangat cepat. Setelah tabung diambil keluar, antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa hari. Mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecacatan tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk pengendalian penyakit DM. Jika pasien telah melaksanakan program

51

makan dan latihan jasmani teratur, namun pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat hipoglikemik baik oral maupun insulin.

3.9

Diskusi Angina Ludwig biasanya berasal dari infeksi gigi, umumnya berawal dari

infeksi karies gigi molar rahang bawah (70-90%). Penyebab lainnya yang telah dijelaskan dapat berasal dari infeksi faring dan tonsil, infeksi sekunder dari squamosa sel karsinoma lidah dan dasar mulut.sepertiga kasus berhubungan dengan penyakit sistemik seperti glomerulonephritis kronis, sistemik lupus eritematosus, anemia aplastik, neutropenia, penyakit sistem imum kompromis (HIV positif, AIDS), dan DM. Peptostreptococcus (Streptococcus betahemoltico, staphylococcus, dan anaerob) dan Bacteroides berpigmen diisolasi sebagai mikroorganisme penyebab. Escherichia coli dan Borrelia vincentii juga terlibat. Hal ini ditandai dengan nekrosis otot yang penting, meskipun awalnya kecenderungan untuk timbulnya pus tidak terlihat, dan ketika itu muncul, itu tidak terlambat, di samping itu fenomena ini terjadi dengan cepat tanpa adanya pertahanan anatomis. Pengenalan infeksi dengan cepat sangat penting. Penenganan kondisi secara keseluruhan harus jelas, senjak infeksi disertai nyeri servikal, disfagia, dispnea, dan demam. Manifestasi lokal relatif sedikit mencolok. Terlihat pembengkakan suprahioid bilateral, konsistensi keras, tidak ada fluktuasi, dan sakit saat disentuh. Mulut setengah terbuka dan lidah berkontak dengan palatum, ditandai dengan odema pada dasar mulut. Adanya stidor, trismus,

52

sianosis, dan lidah yang terangkat mengindikasikan akan segera terjadi kompromis jalan nafas. Komplikasi serius yang mungkin terjadi antara lain sepsis, pneumonia, empiema. Perikarditis, mediastinitis, dan pneumotoraks. Pasien dengan kontrol diabetes yang buruk dapat terlihat faktor penting dari komorbiditas. Hal tersebut menyebabkan pasien cenderung terjadi infeksi bakteri kerena melemahnya sistem imunologi disebabkan oleh hiperglikemia konstan dan kontrol kronis yang buruk. Tetapi selama infeksi, peningkatan produksi endogen dari glukosa dan resisten mayor terhadap efek insulin juga terjadi, hal itu bisa terjadi karena adanya faktor dari ketoasidosis diabetik (KAD). Daslam kasus kami, perawatan awal dengan kortikoid sebagai cara yang bisa dilakukan pada pasien rawat inap dapat meningkatkan lipolisis dan meningkatkan ketoasidosis dalam keadaan yang relatif kekurangan insulin dan resisten insulin mayor. Penggunaan kaotikoid yang tidak tepat bisa mengubah gejala klinis dari infeksi odontogenik dan dapat menyebabkan komplikasi menjadi lebih buruk. Pertimbangan terapi pertama pada pasian Angina Ludwig adalah penanganan jalan nafas, karena itu diharuskan segera dilakukan intubasi nasotrakeal fiberoptik atau trakeostomi. Pada pasien kami, monitoring intubasi melalui fiberoptik sudah sesuai dengan prosedur karena kita menghindari trakeostomi yang menyebabkan potensi risiko penyebaran infeksi ke saluran pernafasan bawah. Pemberian antimikroba yang berbeda disarankan untuk etiologi polimikrobial spektrum luas (gram positif, gram negatif, anerob, dan anaerob). Antibiotik yang digunakan sebelumnya dikultur dan hasil antibiogram antara lain penisilin G secara intravena, klindamisin atau metronidazol.

53

Amininoglukosid juga telah digunakan dalam beberapa penelitian. Alternatif lain yang telah dijelaskan adalah tikarsilin, sulbaktam-ampisilin atau piperasilintazobaktam. Insisi servikal dan debrimen bedah diindikasikan untuk pasien dengan risiko segera komplikasi atau tidak ada kemajuan setelah 24-48 jam setelah pemberian antibiotik intravena. Operasi yang telambat dilakukan bisa berisiko meningkatkan kematian. Pada kasus ini, pasien dibawa ke ruang operasi dalam 48 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan dan segera dibawa ke ruang ICU. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa eliminasi awal dari fokus infeksi gigi mengurangi waktu pemulihan.

54

BAB IV KESIMPULAN

AnginaLudwig adalah infeksi yang berpotensi menyebabkan kematian. obstruksi jalan nafas dan penyebaran ke mediastinum merupakan komplikasi yang paling berbahaya. Ini adalah alasan mengapa penanganan untuk keselamatan jalan nafas dan pengobatan agresif segera dalam kasus ini sangat penting. Pasien dengan komorbiditas seperti diabetes mellitus dan fokus infeksi gigi memerlukan pertimabangan khusus, karena akan menyebabkan komplikasi medis serius seperti ketoasidosis diabetil (KAD) dan dapet berkembang serius menjadi infeksi servikal yang mematikan.

55

DAFTAR PUSTAKA Boscolo-Rizzo P, Da Mosto MC. Submandibular space infection: apotentially lethal infection. Int J Infect Dis. 2009;13:327-33. Britt JC, Josephson GD, Gross CW. Ludwigs angina in the pediatric population: report of a case and review of the literature. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2000;52:79-87. Delaney MF, Zisman A, Kettyle WM. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinol Metab Clin North Am. 2000;29:683-705. Shahgoli S, Shapiro R, Best JA. A dentoalveolar abscess in a pediatric patient with ketoacidosis caused by occult diabetes mellitus: a case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.1999;88:164-6. Ho MP, Tsai KC, Yen SL, Lu CL, Chen CH. A rare cause of Ludwigs angina by Morganella morganii. J Infect. 2006;53:e191-4. Chou YK, Lee CY, Chao HH. An upper airway obstruction emergency:Ludwig angina. Pediatr Emerg Care. 2007;23:892-6. Jimnez Y, Bagn JV, Murillo J, Poveda R. Odontogenic infections. Complications. Systemic manifestations. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2004;9 Suppl:143-7; 139-43. Larawin V, Naipao J, Dubey SP. Head and neck space infections. Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;135:889-93. Chen MK, Wen YS, Chang CC, Lee HS, Huang MT, Hsiao HC. Deep neck infections in diabetic patients. Am J Otolaryngol. 2000;21:169-73. Bross-Soriano D, Arrieta-Gmez JR, Prado-Calleros H, Schimelmitz-Idi J, JorbaBasave S. Management of Ludwigs anginawith small neck incisions: 18 years experience. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:712-7. Miloro, Michael. 2004. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed. BC Decker Inc. London http://www.aafp.org/afp/990700ap/109.html http://tripoten.info/images/publication_upload080220206702001203496951dm_ja n_mar_08.pdf file:///D:/maTErI%20kuLiaH/phlegmon.html 56

http://www.gopetsamerica.com/anatomy/pancreas.asp http://www.scienceinschool.org/print/73 http://mengkudunoni.com/terapi-diabetes-tipe-1-dan-2/) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3473/1/biokimia-syahputra2.pdf http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiah kedokteran/endokrinologi-metabolik-penyakitdalam/2011/04/12/ketoacidosis-diabetik/ http://www.scribd.com/doc/12807255/Laporan-Pendahuluan Diabetik-KAD Ketoasidosis-

http://www.diabetesmelitus.comli.com/pengobatan.html http://www.scribd.com/doc/53007097/LAPORAN-PENDAHULUANDIABETES-MELITUS-wibbi http://www.scribd.com/doc/22401057/Pemeriksaan-Penunjang-Untuk-DiabetesMelitus

57

Anda mungkin juga menyukai