Makalah Kelompok 10

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 26

PEMBERIAN MAKAN PADA ANAK/BAYI DENGAN LABIO DAN

PALATOSKIZIS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan Anak II
Dosen Pembimbing :
Linda Ishariani S.Kep Ns. M.Kep.

Disusun oleh kelompok 10

1. Nikke Claudia Wati (202001039)


2. Novriska Aiko Adistia (202001041)
3. Nurul Latifatul Anggraini (202001045)
4. Nurwanda Eka Febriani (202001046)
5. Revi Bintang Gustaman (202001050)
6. Sintia Fariska Ayu Wardhani (202001055)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
PARE KEDIRI 2021
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan pemberian makan pada anak/bayidengan labio dan palatoskizis
telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Pare,

/Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Linda Ishariani S.Kep Ns. M.Kep.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan limpahan rahmat-
Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan Asuhan Keperawatan pada
pasien Hipertiroid disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II jurusan
Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada Pare Kediri.

Dalam penyusunan makalah asuhan keperawatan ini, tentunya kami sebagai penulis
berterima kasih kepada dosen pembimbing yakni Ibu Linda Ishariani S.Kep Ns. M.Kep yang
telah membimbing, memotivasi dan mendampingi kami dalam proses penyusunan makalah
dengan judul pemberian makan pada anak/bayidengan labio dan palatoskizis.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah pemberian
makan pada anak/bayi dengan labio dan palatoskizis tersebut, baik darisegi isi, penyusunan
bahasa, tata letak maupun aspek lainnya. Oleh karena itu, kami selaku penyusun mengharapkan
saran maupun kritik demi menyempurnakan dan memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah pemberian makan pada anak/bayi dengan labio dan
palatoskizis ini bisa menambah pengetahuan para pembaca serta mampu mampu memberikan
pemahaman tentang bagaimana cara kita dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien
yang mempunyai penyakit hipertiroid dengan baik, benar, dan tepat. Namun terlepas dari itu,
kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

ii
DAFTAR ISI

PEMBERIAN MAKAN PADA ANAK/BAYI DENGAN LABIO DAN PALATOSKIZIS


.................................................................................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
1.3Tujuan................................................................................................................................ 2
1.4Manfaat.............................................................................................................................. 3
BAB 2 ........................................................................................................................................ 4
TINJAUAN MATERI ............................................................................................................. 4
2.1 Konsep Teori labio dan palastoskizis .................................................................................. 4
2.1.1 Definisi ...................................................................................................................... 4
2.1.2 Klasifikasi .................................................................................................................. 4
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................................... 5
2.1.4 Manifestasi Klinis ...................................................................................................... 5
2.1.5 Patofisiologi dan WOC.............................................................................................. 6
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................. 8
2.1.7 Penatalaksanaan ......................................................................................................... 8
2.1.8 Komplikasi............................................................................................................... 13
2.2 Konsep Pemberian makan pada bayi/anak dengan labio/palatoskizis ............................... 14
2.2.1 Metode pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis ..................... 14
2.2.2 Metode pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis pasca bedah . 16
2.2.3Syarat dan Prinsip pemberian makan pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis ..... 17
2.2.4 SOP pemberian makan pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis .......................... 18
BAB 3 ...................................................................................................................................... 21
PENUTUP ............................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 21
3.2 Saran ............................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi masalah
tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi yang
lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan bahkan dibiarkan sampai dewasa. Fogh
Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1.47/1000
kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di
Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2.1/1000
penduduk di Jepang.

Penelitian untuk bibir sumbing dengan atau tanpa celah pada langit-langit,
menggambarkan patologi yang sesuai dengan klasifikasi tingkat keparahan distorsi bibir,
hidung, langit-langit primer dan sekunder. Penerapan klasifikasi tingkat keparahan bibir
sumbing dapat digunakan untuk pemilihan pengobatan atau operasi. Clock Diagram adalah
salah satu metode klasifikasi tingkat keparahan bibir sumbing. Metode yang dikembangkan
pengukurannya masih dilakukan secara manual, sehingga rentan akan kesalahan.

Sumatra selatan merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi bibir sumbing tertinggi
di Indonesia, berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi
Sumatra Selatan Tahun 2007 didapatkan bahwa prevalensi bibir sumbing yaitu 10,6%. Dengan
banyaknya kasus bayi lahir yang mengalami bibir sumbing di Sumatera Selatan maka terdapat
juga berbagai karakteristik dari kelainan tersebut. Karakteristik bibir sumbing dapat bervariasi
berdasarkan tipe bibir sumbing dan lokasi bibir sumbing.Bibir sumbing dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kelompok (Davis dan Ritchie, 1922). Sistem ini mengkategorikan bibir
sumbing secara luas menjadi tiga kelompok menurut posisi sumbing. Kelompok I - Celah Pra
alveolar: Bibir sumbing unilateral, bibir sumbing bilateral, bibir sumbing Median. Kelompok
II – Celah post alveolar: Sumbing palatum keras saja, sumbing palatum lunak saja, sumbing
palatum lunak dan palatum keras, Celah sub mukosa. Kelompok III-Celah Alveolar: Sumbing
alveolar unilateral, Sumbing alveolar bilateral, Sumbing alveolar median. Elnassry
mengusulkan klasifikasi berikut di tahun 2007. Ia membagi pasien dengan celah bibir dan
palatum ke tujuh kelas. Kelas I: bibir sumbing unilateral, Kelas II: bibir sumbing unilateral dan
alveolus, Kelas III: bibir sumbing bilateral dan alveolus, Kelas IV: celah bibir dan palatum
unilateral lengkap, Kelas V: celah bibir dan palatum bilateral lengkap, Kelas VI: celah palatum
keras, Kelas VII: Bifed uvula (Shah, Khalid dan Khan, 2011).
1
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang sebagai rumah sakit pendidikan dan rujukan
nasional belum memiliki data mengenai karakteristik pasien anak-anak penderita bibir
sumbing, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aswadi (2015) hanya
didapatkan nilai distribusi pasien cleft lip/palate di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode Januari 2015 s.d. Desember 2015 yaitu sebanyak 42 pasien atau 11,5% dari hasil
observasi data kelainan kongenital padapasien usia di bawah satu tahun.

Pertumbuhan dan perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh beberapa factor baik
internal maupun factor eksternal. Salah satu factor eksternal yang berpengaruh adalah nutrisi
yang diperoleh anak. Orang tua diharapkan mempunyai pemahaman yang tepat tentang nutrisi
yang diperlukan anak untuk tumbuh dan berkembang, serta zat gizi yang dibutuhkan anak pada
usia tertentu sehingga dapat diberikan dengan tepat.

Kegagalan pertumbuhan pada bayi dengan labioskizis tersebut berkaitan dengan masalah
pemberian makanan prabedah. Adanya celah pada bibir atau palatum akan mengurangi
kemampuan bayi untuk menghisap sehingga mengganggu kompresi daerah aerola dan
menyulitkan pemberian ASI serta susu botol. Cairan yang masuk ke dalam mulut cenderung
mengalir lewat celah dan keluar melalui hidung yang disebut regurgitasi, sehingga dapat
menimbulkan masalah lain yang berbahaya yaitu bias terjadi aspirasi dan harus dicegah dengan
menyiapkan peralatan penyedot setiap saat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, disadari akan banyak kejadian yang mungkin muncul
terkait pemberian nutrisi pada anak dengan labioskizis. Untuk memperoleh pemahaman
mendalam mengenai hal tersebut, perlu dilakukan 3 penelitian lebih lanjut mengenai peran
keluarga dalam mencegah terjadinya gizi kurang pada anak dengan labioskizis (bibir sumbing).
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan strategi case study research.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu bagaimana Tindakan untuk pemberian makan dan pemenuhan
kebutuhan gizi pada bayi/anak labiopalatoskizis (bibir sumbing).

1.3 Tujuan
Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pemberian makan pada bayi/anak dengan labio
dan platoskizis

Tujuan Khusus

2
1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang konsep labio dan palotoskizis yang meliputi
definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan WOC, pemeriksaan
penunjang serta penatalaksanaan dan komplikasi
2. Mahasiswa mengetahui tentang konsep pemberian makan pada bayi/anak dengan labio
dan palatoskizis yang meliputi metode pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio
dan palatoskizis, metode pemberian makan pasca bedah, syarat dan prinsip pemberian
makan serta SOP pemberian makan pada anak dan bayi dengan labio dan palatoskizis

1.4 Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu mempelajari atau mengidentifikasi tentang penyakit
Labiopalatoskizis serta bagaimana pemberian makan pada bayi/anak dengan labio dan
palatoskizis
2. Bagi masyarakat
Masyarakat mampu mengenali gejala atau ciri ciri dari penyakit Labiopalatoskizis
sehingga dapat mencegah penyakit tersebut serta masyarakat memahami bagaimana
cara pemeberian makan yang benar pada anak/bayi dengan labio dan palatoskizis
3. Bagi instansi
Instansi dapat memberikan pengobatan secara maksimal dan melakukan penyuluhan
tentang penyakit Labioplataoskizis dan cara pemberian makan pada bayi/anak dengan
labio dan palatoskizis

3
BAB 2

TINJAUAN MATERI
2.1 Konsep Teori labio dan palastoskizis
2.1.1 Definisi
LabioPalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatosisis (sumbing palatum), dan labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya
jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embroil. (Aziz Alimul
Hidayat, 2006)

LabioPalatoskisis adalah penyakit congenital anomaly yang berupa adanya kelainan bentuk
pada struktur wajah.(Suriadi, S.Kp. 2001)

Labiopalatoskisis adalah kelainan congenital pada bibir dan langit-langit yang dapat
terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur
fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary),
tetapi dapat terjadi akibat faktor non-genetik.

Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah pada bibir atas diantara
mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa celah kecil pada bagian bibir yang berwarna
sampaipada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung.
Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan pada kehamilan trimester pertama yang
menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga dapat
menyebabkan terjadinya kelainan ini adalah kekurangan nutrisi, stress pada kehamilan, trauma
dan factor genetic..

Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial
meliputi infeksi, otitis media, dan kehilangan pendengaran.

2.1.2 Klasifikasi

 Klasifikasi menurut struktur – struktur yang terkena menjadi :


a. Palatum primer : meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum dibelahan
foramen incivisium.
b. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum
sekunder dan dapat unilateral atau bilateral.

4
Kadang – kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini mukosanya utuh dengan
belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.

 Klasifikasi menurut organ yang terlibat :


1. Celah bibir (labioskizis)
2. Celah di gusi (gnatoskizis)
3. Celah dilangit (Palatoskizis)
4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit – langit
(labiopalatoskizis).
 Klasifikasi menurut lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk :
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat,
beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :
1. Unilateral iincomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan tidak
memanjang ke hidung
2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung
3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan memanjang hingga
ke hidung.

2.1.3 Etiologi

1. Faktor hereditas (kawin antar kerabat)


2. Obat-obatan
3. Nutrisi (kekurangan zat seperti vitamin B6 dan B kompleks, asam folat)
4. Infeksi sifilis, virus, rubella pada usia kehamilan muda
5. Radiasi
6. Stress emosional
7. Trauma (pada trimester I)
8. Kegagalan fase embrio yang penyebabnya blm diketahui
9. Genatik : abnormal kromosom (trisomy 13 syndrom),mutasi gen

2.1.4 Manifestasi Klinis


 Secara umum
1. Deformitas pada bibir
2. Kesukaran dalam menghisap/makan
3. Kelainan susunan archumdentis.
4. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
5. Gangguan komunikasi verbal

5
6. Regurgitasi makanan.
 Pada Labioskisis
1. Distorsi pada hidung
2. Tampak sebagian atau keduanya
3. Adanya celah pada bibir
 Pada Palatoskisis
1. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, keras dan foramen incisive.
2. Ada rongga pada hidung.
3. Distorsi hidung
4. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
5. Kesukaran dalam menghisap/makan.

2.1.5 Patofisiologi dan WOC


Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase
embrio pada trimester I. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal
medial dan maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu. Palatoskisis adalah
adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan
palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara
7-8 minggu masa kehamilan.

6
7
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Rontgen
2. MRI untuk evaluasi abnormal
3. pemeriksaan fisik.
Beberapa hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien dengan labioskiziz
adalah pemisahan bibir, pemisahan langit‐langit, pemisahan bibir dan langit‐langit,
infeksi telinga berulang, berat badan tidak bertambah serta regurgitasi nasal atau air
susu keluar dari lubang hidung ketika bayi menyusu ibunya.

2.1.7 Penatalaksanaan
Tata laksana sumbing membutuhkan tahapan dan timing yang tepat, karena
membutuhkan penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif. Tata laksana sumbing terdiri
dari berbagai tahapan prosedur bedah maupun nonbedah oleh tenaga kesehatan multidisiplin
yang dimulai sebelum pasien lahir hingga pasien dewasa. Protokol timing tata laksana sumbing
adalah sebagai berikut :

Prenatal : diagnosis, mulai konseling

Lahir : manajemen nutrisi, pemasangan sarana orthopedi, observasi fungsi pendengaran

3 bulan : operasi labioplasti

12 bulan : operasi palatoplasti

0-12 bulan : pemasangan ear tube miringotomi (bila didapatkan otitis media kronik)

1-4 tahun : evaluasi wicara

4-6 tahun : operasi faringoplasti, revisi bibir dan hidung bila diperlukan

6-12 tahun : orthodonti, operasi ABG (alveolar bone grafting)

Remaja-maturasi tulang (12-21 tahun) : operasi perbaikan hidung (rhinoplasti) definitif, bedah
orthognatik [1-3]

Teknik dan pemilihan waktu di atas mungkin berbeda tergantung protokol penatalaksanaan
sumbing yang digunakan. Operasi juga mungkin dilakukan terlambat dikarenakan sulitnya
akses ke fasilitas kesehatan, faktor sosioekonomi, preferensi pasien atau keluarga pasien, dan
adanya komorbiditas. Keseluruhan rangkaian penatalaksanaan tersebut dilaksanakan oleh tim
kraniofasial multidisiplin yang terdiri dari perawat, pekerja sosial, psikolog, dokter gigi, dokter
anak, ahli terapi wicara, dan dokter bedah. Hal ini sesuai dengan pedoman ACPA (American
Cleft Palate-Craniofacial Association).

Diagnosis dan Konseling


8
Terapi komprehensif mencakup pencegahan terjadinya sumbing. Hal ini dapat dilakukan
dengan meminimalisasi faktor risiko seperti paparan rokok, diabetes pregestasional dan
gestasional, konsumsi alkohol, penggunaan antikonvulsan, serta defisiensi asam folat, vitamin
B6, dan B12.

Diagnosis sumbing dapat ditegakkan pada masa prenatal dengan ultrasonografi. USG 2D (2
dimensi) memiliki kemampuan deteksi berkisar antara 0-70%, bergantung pada pengalaman
ultrasonografer, usia kehamilan, dan rutin tidaknya dilakukan pencitraan pada wajah
janin. USG 3D memiliki akurasi yang lebih tinggi.Konseling dilakukan sepanjang tahapan
penatalaksanaan sumbing untuk memberikan dukungan bagi orang tua dan keluarga pasien.
Dukungan bagi pasien maupun keluarga pasien dapat diberikan oleh tenaga kesehatan, pekerja
sosial, dan perhimpunan sumbing.

Manajemen Nutrisi

Pasien sumbing seringkali memiliki masalah menyusui karena kesulitan membentuk segel pada
bibir sumbing dan ketidakmampuan membentuk tekanan negatif pada langit-langit
sumbing. Masalah ini dapat mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi pada pasien, bahkan
depresi pada ibu. Manajemen dilakukan dengan observasi pertumbuhan anak, edukasi teknik
menyusui, dan penggunaan botol khusus. Menyusui bayi dengan bibir sumbing juga sebaiknya
dilakukan sesuai pedoman menyusui yang ada.

Orthopedi atau Adhesi Labial Prabedah

Orthopedi prabedah adalah proses pembentukan tulang dentofasial menggunakan teknik


orthodonti. Tahapan tata laksana ini bermanfaat untuk membentuk arkus alveolus ke
arah normal, mengurangi lebar sumbing, memperbaiki simetri hidung, menambah panjang
kolumela pada sumbing bilateral, dan mendukung kesehatan psikologis keluarga yang merawat
pasien. Molding dapat dilakukan secara pasif (dengan taping bibir) atau aktif (dengan sarana
nasoalveolar molding khusus).Metode alternatif adalah adhesi labial/nasolabial secara bedah
sebelum dilakukan labioplasti definitif. Adhesi labial biasanya dilakukan pada usia 1 bulan.

Taping bibir dilakukan mulai usia 1 minggu. Kedua segmen bibir yang terpisah didekatkan lalu
tape dipasang menyebrangi celah sumbing. Keluarga pasien diedukasi untuk memasang
tape sendiri di rumah. Bila didapatkan komplikasi berupa iritasi kulit, dapat dipasang dressing
untuk melindungi kulit sebelum taping.

Molding metode aktif membutuhkan perencanaan, sarana, dan tindak lanjut secara khusus
oleh dokter orthodontis. Model maksila pasien dibentuk pada minggu-minggu pertama
kelahiran, lalu dibuat prostetik nasoalveolar molding (NAM) yang dipasangkan 24 jam
setiap harinya kemudian disesuaikan secara berkala. Prostetik NAM akan membutuhkan
9
banyak penyesuaian, sehingga diperlukan kontrol yang lebih sering (tiap 1-2 minggu) dan
komitmen dari keluarga pasien. Komplikasi metode ini antara lain iritasi kulit, compliance
buruk, dan prostetik yang gagal untuk tetap terpasang.

Labioplasti

Labioplasti adalah operasi penutupan celah sumbing bibir, biasanya dilakukan pada usia 3-6
bulan.Pedoman ACPA menganjurkan labioplasti dikerjakan sebelum usia 12 bulan.Labioplasti
bertujuan untuk mengembalikan kompetensi oral, aproksimasi otot orbicularis oris, serta
mencapai hasil yang simetris dan estetik. Labioplasti dapat dibarengi rhinoplasti primer dengan
reposisi lower lateral cartilage untuk memperbaiki bentuk dan posisi ala nasi dan nasal
tip.Syarat dilakukannya operasi tahap pertama ini adalah rule of ten yang diperkenalkan oleh
Wilhelmsen dan Musgrave, yaitu berat badan 10 pon (5 kg), usia 10 minggu, dan hemoglobin
10 mg/dL.Keluarga harus diedukasi perihal teknik memberi makan pascaoperasi,
kemungkinan perlunya dirawat, perawatan luka pascaoperasi, dan waktu untuk kontrol.
Komplikasi yang mungkin terjadi di antaranya dehisensi luka, parut, deformitas residual yang
mungkin memerlukan operasi revisi, dan fistula nasolabial. Operasi revisi biasa dilakukan pada
usia 4-6 tahun sebelum anak memulai sekolah.

Palatoplasti

Palatoplasti adalah operasi penutupan celah sumbing langit-langit mulut. Palatoplasti bertujuan
mengaproksimasi otot levator palatini dan memperpanjang palatum.Biasanya palatoplasti
dikerjakan antara usia 1-2 tahun. Sesuai pedoman ACPA, palatoplasti dianjurkan sebelum usia
18 bulan. Pemilihan waktu penting diperhatikan, karena prosedur yang dilakukan terlalu dini
berisiko menimbulkan masalah jalan napas dan pertumbuhan tulang maksila. Sementara,
palatoplasti yang terlambat akan mengganggu perkembangan fungsi bicara. Edukasi keluarga
mencakup kemungkinan rawat inap pascaoperasi dan cara memberi makan. Komplikasi yang
mungkin terjadi di antaranya perdarahan, infeksi, edema lidah, kesulitan napas, fistula (dapat
menyebabkan regurgitasi nasal dan suara hipernasal), disfungsi velofaringeal, gangguan
pertumbuhan maksila, dan obstructive sleep apnea (OSA).Beberapa ahli mendebat waktu
pelaksanaan palatoplasti yang dini karena menyebabkan gangguan pertumbuhan
maksila. Schweckendiek mengembangkan metode palatoplasti 2 tahap (penutupan palatum
lunak pada usia 6 bulan dan palatum keras usia 14 tahun), yang dimaksudkan untuk
membantu perkembangan bicara dan mencegah hipoplasia rahang. Meskipun demikian,
didapatkan bahwa metode ini tidak jauh lebih unggul dalam hal trauma yang ditimbulkan.
Hasil fungsi bicara pasien yang harus menggunakan obturator palatum keras juga dianggap
tidak memuaskan.Alternatif metode lain adalah dilakukannya operasi labio dan palatoplasti

10
secara bersamaan. Usia pasien saat dilakukan operasi tersebut pun bervariasi. Meskipun
demikian, data kelompok pasien ini belum cukup memadai untuk evaluasi jangka panjang.

Evaluasi Telinga dan Miringotomi

Pasien anak dengan sumbing palatum berisiko lebih tinggi menderita infeksi telinga tengah
akibat disfungsi tuba Eustachius yang menyebabkan efusi telinga tengah kronik. Sekresi telinga
tengah pada pasien sumbing juga memiliki viskositas lebih tinggi sehingga menyulitkan
drainase. Kondisi telinga tengah yang stagnan tanpa aerasi menjadi nidus inflamasi, sehingga
menyebabkan otitis media.

Terdapat pula peningkatan insidensi kehilangan pendengaran sensorineural, konduktif,


maupun campuran pada anak dengan sumbing.Kelainan telinga yang terjadi dapat berujung
pada disabilitas bicara, bahasa, kognitif, dan emosional.Pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi gangguan pendengaran atau penyakit telinga tengah antara lain
timpanometri, audiometri, otoskopi, skrining pendengaran bayi baru lahir, pengukuran sudut
sphenopalatina, analisis sistem air cell mastoid (dengan Roentgen), wideband reflectance, dan
ABR (auditory brainstem response).Intervensi untuk memperbaiki fungsi pendengaran
termasuk miringotomi dan pemasangan tube timpanostomi (ventilation tube), palatoplasti,
dan/atau alat bantu pendengaran.Bayi yang menyusui dengan durasi lebih lama
diasosiasikan dengan episode otitis media lebih rendah. Pasien pasca adenoidektomi
memiliki insidensi otitis lebih rendah, tetapi prosedur tersebut tidak rutin dilakukan karena
dapat menimbulkan inkompetensi velofaringeal. Follow up lanjutan dilakukan hingga dewasa
untuk mendeteksi gangguan pendengaran dan kolesteatoma.

Evaluasi Fungsi Wicara dan Faringoplasti

VPD (velopharyngeal dysfunction, disfungsi velofaringeal) adalah inadekuasi penutupan


velofaring saat berbicara sehingga udara keluar melalui hidung saat menyuarakan huruf
konsonan. Hal ini menyebabkan suara hipernasal. VPD diklasifikasikan menjadi insufisiensi
(akibat defisit struktural/anatomis), inkompetensi (defisit fungsional), dan mislearning
(kesalahan artikulasi dan penempatan/penutupan palatum). Deteksi adanya VPD sebaiknya
dimulai oleh ahli patologis bicara sekitar 18 bulan dan dilanjutkan secara rutin hingga masa
dewasa. Evaluasi fungsi bicara yang adekuat baru dapat dilakukan pada usia 4-5 tahun.
Diagnosis dibantu pemeriksaan nasometri, uji aliran tekanan udara, endoskopi nasal, dan
fluoroskopi video.Terapi wicara dapat merupakan terapi utama terutama pada VPD akibat
mislearning velofaringeal, atau berperan sebagai terapi tambahan pra/pascaoperasi.Operasi
faringoplasti dilakukan berdasarkan pola penutupan velofaringeal pasien yang ditemukan pada
pemeriksaan penunjang. Tindakan dapat berupa augmentasi dinding posterior faring,
pemanjangan palatum, dan atau perubahan velofaring. Celah kecil di tengah dapat diperbaiki
11
dengan faringoplasti injeksi. Pada dehisensi otot levator, palatoplasti Furlow digunakan untuk
reorientasi otot dan memperpanjang palatum. Perubahan velofaring yang dapat dilakukan
faringoplasti sfingter dan flap faringeal posterior. Komplikasi tindakan di antaranya VPD
persisten, dehisensi, dan OSA.

Orthodonti

Anomali gigi adalah salah satu masalah umum pada pasien sumbing. Anomali ini dapat berupa
abnormalitas jumlah, kesalahan erupsi, dan gigi yang ektopik, transposisi, atau berbentuk
ireguler. Terapi orthodonti dikerjakan dengan pemasangan kawat orthodonti untuk membantu
mengembalikan kesegarisan barisan gigi yang optimal, optimalisasi posisi segmen maksila
sebelum dilakukannya operasi, dan ekspansi maksila. Tata laksana orthodonti memerlukan
perencanaan matang oleh tim multidisiplin.

Alveolar Bone Grafting (ABG)

Alveoloplasti dan bone grafting dikerjakan untuk menutup celah pada gusi. Tindakan ini
penting untuk menutup fistula oronasal dan memberikan topangan bagi maksila anterior dan
dasar hidung. ABG yang berhasil akan menghasilkan arkus dental yang adekuat bagi
pertumbuhan gigi atau pemasangan implan gigi.ABG juga membantu kontrol orthodonti
terhadap segmen alveolus dan memperbaiki posisi gigi dalam arkus maksila.Alveoloplasti
diklasifikasikan menjadi primer (bersamaan dengan koreksi jaringan lunak), sekunder (usia 8-
9 tahun sebelum erupsi kaninus permanen), dan tersier (pada pasien dewasa). Bone graft dapat
diambil dari tulang iliaka untuk mengisi celah alveolus.ABG sekunder pada durasi dentisi
campuran tidak menimbulkan restriksi pertumbuhan wajah bila dibandingkan dengan ABG
primer.Pada tahap ini dapat pula dilakukan revisi minor pada bibir jika diperlukan.

Bedah Orthognatik

Pasien sumbing memiliki defisiensi maksila, baik akibat faktor intrinsik embriologi sumbing
itu sendiri, maupun iatrogenik akibat tindakan operasi sebelumnya. Bedah orthognatik adalah
prosedur osteotomi dan penempatan ulang tulang maksila dan atau mandibula untuk mencapai
oklusi normal. Prosedur yang dapat dikerjakan antara lain osteotomi Le Fort 1, BSSO
(bilateral sagittal split osteotomy), dan distraction osteogenesis. Bedah orthognatik
dapat disertai bone grafting dari iliaka untuk mengisi sisa defek palatum atau dasar
hidung.Bedah orthognatik dilakukan sebelum rhinoplasti.

Rhinoplasti

Rhinoplasti dilakukan untuk memperbaiki bentuk hidung yang mengalami deformitas akibat
sumbing. Deformitas hidung dapat terjadi akibat kelainan kartilago, tulang, atau kulit (primer)

12
dan parut jaringan sekitar karena operasi (sekunder). Karena buruknya struktur kartilago,
kesulitan bernapas juga dapat terjadi pada pasien sumbing.Rhinoplasti primer dilakukan
bersamaan dengan labioplasti. Tujuan utama prosedur rhinoplasti pada tahap ini adalah
penutupan dasar hidung, reposisi lower lateral cartilage, dan reposisi dasar ala.Rhinoplasti
definitif umumnya dikerjakan setelah pertumbuhan hidung selesai dan tulang matur, yaitu pada
masa remaja. Usia optimal rhinoplasti untuk pasien laki-laki adalah 16-18 tahun, sementara
perempuan pada 14-16 tahun. Namun intervensi yang lebih dini dapat dilakukan bila terdapat
gangguan jalan napas atau deformitas nasal tip. Tindakan yang dapat dilakukan pada tahap ini
antara lain reseksi septum yang deviasi, reposisi septum, jahitan fiksasi pada kartilago,
graft kartilago (dari septum yang direseksi, concha, atau iga), atau reduksi basis ala nasi.

2.1.8 Komplikasi
1. Kesulitan makan

Salah satu masalah yang dikhawatirkan setelah lahir dengan kondisi ini adalah cara
makan.Kebanyakan bayi dengan bibir sumbing masih bisa menyusui, tetapi lebih susah
dilakukan pada bayi dengan celah langit.Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor
bayi susah makan.

2. Infeksi telinga

Bayi yang terlahir dengan kondisi ini memiliki risiko adanya cairan telinga lebih banyak dari
batas wajar.Dengan begitu, kemungkinan besar mengalami infeksi sehingga pendengaran pun
terganggu.

3. Masalah pada gigi

Apabila celah atau sumbing melebar hingga ke gusi bagian atas, pertumbuhan gigi bayi
mungkin akan mengalami beberapa gangguan.Oleh sebab itu, bibir sumbing bisa menjadi salah
satu penyebab masalah gigi dan mulut pada bayi

4. Kesulitan berbicara

Perlu diketahui bahwa bayi dengan kondisi ini memiliki bentuk mulut yang berbeda atau tidak
normal.Maka dari itu, perbedaan ini tidak menutup kemungkinan anak akan mengalami
kesulitan dalam berbicara yang normal.

5. Rentan mengalami stres

Anak yang memiliki kondisi ini mungkin akan mengalami masalah sosial, emosional, dan
perilaku.Hal ini bisa terjadi karena sering menjalani perawatan intensif yang berbeda-
beda.Selain itu, anak bisa mengalami minder karena merasa berbeda dengan anak normal
lainnya.
13
2.2 Konsep Pemberian makan pada bayi/anak dengan labio/palatoskizis
2.2.1 Metode pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis
Menghisap adalah keterampilan penting yang harus dimiliki bayi untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Bayi yang lahir dengan celah bibir dan atau palatum seringkali
mengalami kesulitan untuk menghisap ASI dari payudara atau botol, perlu beberapa
penyesuaian posisi dan metode makan, bayi harus mendapatkan pengalaman makan,
sehingga mendapatkan kecukupan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan, melatih otot-
otot maksilaris serta terbina ikatan batin antara ibu dan anak. Ada 2 metode yang bisa
digunakan untuk pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis:

1. ASI dan menyusui


Jika celah terdapat disatu sisi, tempatkan puting susu kedalam mulut bagian kiri
atau kanan bukan yang berlubang. Dengan demikian celah akan terselip ke dalam
jaringan payudara sehingga bayi mudah untuk menghisapnya, serta mengurangi
jumlah udara yang terhisap saat menyusu. Penggunaan posisi “football” ketika
menyusui dapat membantu bayi menghisap ASI, atau juga bisa posisi bayi di bangku
ibu dengan posisi tegak

Saat menyusui posisi bayi harus tegak atau semifowler, dengan cara
mendudukan bayi dipelukan, bayi dihadapkan kearah ibu dan memakai bantal untuk
sandaran punggung dan kepala bayi. Selama menyusui ibu harus tetap relaks supaya
susu dapat mengalir turun ke perut bayi dengan mudah, dan mencegah agar bayi tidak
tersedak serta susu tidak masuk ke hidung dan saluran telinga.
Menyusui akan lebih sulit bagi bayi yang memiliki celah di kedua sisi bibir,
karena mereka mengalami kesulitan menutup udara sekitar puting. Untuk bayi dengan
celah langit-langit (palatoskizis), menyusui sebagai metode pemberian susu saja tidak
akan berhasil dalam memenuhi kebutuhan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan.
Adanya celah pada palatum menyebabkan bayi sulit untuk menghisap ASI secara
langsung dari payudara.

2. Botol susu dan Sendok

14
Ada pilihan botol dan dot tersedia untuk bayi dengan labiopalatoskizis. Dot
dirancang khusus untuk membantu bayi menghisap susu dari botol bahkan dengan tekanan
yang sangat sedikit dari lidah terhadap dot. Berikut ini ada beberapa jenis botol dan dot
dipakai untuk anak dengan labiopalatoskizis, yait:

1) Dot domba (dot panjang, ujung halus dengan lubang besar)

2) Botol yang bisa diperas (Compressible bottle)

Teknik memberi makan dengan menggunakan botol yang bisa diperas


(Compressible bottle) yaitu pertama kali harus berlatih meremas botol yang diisi air
terlebih dahulu sebelum menyusui. Tujuannya untuk mengetahui cara yang tepat
menggunakan botol tersebut sehingga mendapatkan aliran susu, mengetahui iramanya dan
biarkan bayi menelan susu sebelum meremas lagi. Botol yang bisa diperas (Compressible
bottle) dengan puting yang dipotong menyilang, ditekan dengan lembut dan mengarahkan
puting melewati celah dapat membantu bayi menghisap dan menelan. Puting yang
dipotong silang bertujuan supaya aliran susu yang keluar lebih banyak dan cepat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan compressible bottle (botol yang
bisa diperas) menurut Reid (2004) adalah sebagai berikut :

-Tidak ada formula khusus dirancang untuk bayi dengan kondisi ini, jika ragu formula
mana yang paling cocok, konsultasikan dengan dokter, perawat anak atau dokter anak.

-Membersihkan area di sekitar celah dengan cermat setiap selesai makan dengan air dan
cotton bud steril.

-Sterilkan botol dan dot pemeras dalam larutan tidak lebih dari satu jam
sehingga akan bertahan lebih lama.

Jika menggunakan sendok maka gunakan sendok dengan cekungan yang tidak terlalu
15
dalam untuk memudahkan anak saat makan dan meminum susu. Sebagian bayi sudah dapat
menjalani operasi bibir sumbing sebelum berusia 6 bulan. Akan tetapi, ada pula kasus bibir
sumbing yang lebih parah, di mana operasi baru dapat dilakukan setelah anak berusia 12-18
bulan.
Pada kasus seperti ini, maka perlu memberikan makanan pendamping ASI hingga anak cukup
umur untuk menjalani operasi. Bisa menggunakan sendok dengan memberikan makanan
bertekstur lumat seperti buah yang telah dihaluskan, bubur tim saring dan bubur sumsum.
Ketika anak berusia 12 bulan, amka kita dapat memberikan makanan dewasa seperti balita
pada umumnya. Namun buatlah tekstur nya menjadi lebih halus.

2.2.2 Metode pemberian nutrisi pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis pasca bedah
1. Pemberian nutrisi pascabedah labioskizis (keiloplasti).
Upaya utama dalam periode pascabedah yaitu untuk melindungi luka operasi. Air susu
atau sekret serosanguineus dari luka operasi yang melekat pada tempat jahitan
dibersihkan secara hati-hati dengan lidi kapas yang dicelupkan pada larutan salin
normal. Salep antibiotik dioleskan tipis-tipis dapat dilakukan pada jahitan luka sesudah
luka tersebut dibersihkan.
Minuman dan cairan yang jernih dapat diberikan setelah bayi sadar sepenuhnya dari
proses pembiusan, dan pemberian susu biasanya dimulai kembali sesudah toleransi
pada bayi. Susu atau cairan bisa diberikan melalui spuit dan slang karet lunak yang
ditempatkan pada pipi dan jauh dari alur jahitan, jangan menggunakan dot/botol susu
yang biasa, karena menghisap dot menyebabkan terlalu banyak tekanan pada alur
jahitan. Nutrisi yang diberikan harus bertahap dengan porsi sedikit tapi sering,
kemudian lanjutkan asupan sesuai usia. Posisi pemberian makan pada bayi setelah
pembedahan yaitu posisi tegak atau didudukkan pada kursi khusus bayi, posisi ini dapat
membantu bayi yang memiliki kesulitan dalam penanganan sekretnya. Aspirasi sekret
dari dalam mulut dan nasofaring harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
aspirasi dan komplikasi respiratori. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, ada botol
khusus yang dirancang untuk bayi pascabedah labioskizis, botol susu 90 ml yang
lembut dapat diremas bisa digunakan bersama jarum suntik atau cawan. Aliran susu
mudah diatur dan dihentikan. Lubang dot bisa dipotong untuk mendapatkan aliran yang
cepat dan besar untuk mengeluarkan susu formula, makanan yang lembek seperti bubur,
setelah pelaksanaan operasi.
2. Pemberian nutrisi setelah operasi palatum (palatoplasti)
Setelah operasi sampai otot-otot telah menyatu dengan lengkap , bayi akan merasakan
sakit, dan mereka enggan untuk minum susu secara oral yang menyebabkan batuk dan
muntah. Mereka senang untuk mengambil makanan padat karena dapat mengontrolnya

16
dengan mudah. Untuk alasan ini para perawat spesialis menganjurkan untuk menyapih
bayi palatoskizis (celah langit-langit) lebih awal dari yang dianjurkan yaitu 6 bulan
(DH, 2003 dalam Kent & Martin, 2009) sehingga bayi yakin bisa mengkonsumsi
makanan padat sebelum mereka palatoplasti. Mencoba memberi makanan cair untuk
bayi pascapalatoplasti pada umumnya mengalami kesulitan karena mereka sering
muntah, tersedak, menahan nafas, menggeliat dan menjerit. Pemberian makan secara
paksa dapat menyebabkan bayi menolak untuk diberi makan, pneumonia karena
aspirasi, mual dan muntah (Hockenberry & Wilson, 2007 dalam Kent & Martin, 2009).
Nasogastric tube (NGT) merupakan salah satu metode dan cara yang ditawarkan untuk
mengatasi masalah pemberian makan pada bayi pascapalatoplasti. Selain bisa
memenuhi kebutuhan nutrisi, pada saat yang sama NGT ini digunakan untuk memberi
obat analgesik dan antibiotik. Para ahli bedah spesialis anastesi memasang NGT ini
pada akhir operasi, dan segera setelah bayi cukup terlindungi jalan napasnya sehingga
bolus makanan bisa diberikan. NGT juga berguna untuk pemberian obat-obatan, karena
bila diberikan lewat mulut, sulit untuk ditelan jika dipaksakan dapat menyebabkan
pneumonia. Anjurkan orang tua untuk memberi nutrisi diet cair murni yang berkalori
tinggi, selama 3 minggu pertama setelah pembedahan (Speer, 2008). Selain itu, orang
tua perlu berhati-hati supaya anak tidak memakan makanan yang keras seperti roti
bakar, kue kering, keripik kentang karena makanan ini dapat merusak palatum yang
baru diperbaiki (Wong, et al. 2009).

2.2.3 Syarat dan Prinsip pemberian makan pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis
1. Bayi yang mengalami palatoskizis atau labiopalatoskizis, harus diperhatikan selama
pemberian makan karena kemungkinan terjadi regurgitasi nasal (susu keluar melalui
hidung) ketika bayi minum susu, susu yang keluar lewat hidung harus diseka.
2. Ibu perlu menyesuaikan puting dan payudara agar menutupi celah pada bibir, langit-
langit, mulut ataupun gusi bayi.
3. Jika bayi kesulitan menyusu, berikan jeda waktu menyusui selama 10 menit
4. Ibu membantu menekan payudara secara perlahan untuk meningkatkan aliran ASI
5. Posisikan bayi duduk di pangkuan menghadap payudara ibu atau memposisikan bayi
dengan posisi menyususi football
6. Gunakan botol khusus yang diperuntukkan bagi bayi dengan labio dan palatoskizis dan
pastikan botol steril
7. jangan memindahkan botol susu terlalu sering selama pemberian makan karena
melepas dot terlalu sering dapat melelahkan, atau membuat bayi frustasi sehingga
pemberian makan tidak maksimal

17
8. biarkan bayi mengisap susu dari botol selama bebrapa menit. Jika bayi tampak tak
nyaman, lepaskan botol sejenak hingga ia bernapas kembali dengan normal
9. batasi waktu menyusui selama 30 menit. Setelah itu berikan jeda selama 10 menit agar
bayi bisa bersendawa
10. Jika bayi sudah berumur 6 bulan dan belum di operasi maka berikan MPASI dengan
bertektur lumat seperti buah yang telah dihaluskan, bubur tim, dan bubur sumsum,
ketika sudah berusia 12 bulan maka bisa diberikanan makanan dewasa seperti balita
pada umum nya. Namun, buatlah teksturnya menjadi lebih lunak. Serta posisikan anak
agarduduk tegak selama makan dan gunakan sendok dengan cekungan yang tidak
terlalu dalam untuk memudahkan anak saat makan

2.2.4 SOP pemberian makan pada anak/bayi dengan labio/palatoskizis

Deskripsi Pemberian nutrisi kepada bayi dengan labio dan palatoskizis merupakan
suatu metode untuk memberikan asi,makanan,minuman yang cukup
kepada bayi dengan gangguan bibir sumbing agar terpenuhi kebutuhan
nutrisinya, tentunya dalam pemberian makanan pada bayi dengan labio
dan palatoskizis ini harus diperhatikan, karena jika dalam pemberian
tidak tepat maka nutrisi yang masuk kedalam tubuh tidak terpenuhi
dengan sempurna, bahkan terkadang dalam pemberian asi mereka banyak
menghisap udara kedalam tubuh, bisa masuk kedalam paru-paru atau
keluar melalui hidung, kemungkinan juga nutrisi yang didapat tidak
penuh total atau tercampur dengan udara.
Indikasi 1. Pasien dengan labio dan palatoskizis
Tujuan 1. Untuk memenuhi kebtuhan nutrisi pada pasien
Persiapan alat 1. Sendok dengan cekungan yang tidak terlalu dalam atau botol susu
dan bahan khusus untuk labiopalatoskizis
2. Tissue
3. Botol khusus untuk bayi labiopalatoskisis
4. Susu formula atau ASI yang sudah di panaskan

Persiapan 1. Bina hubungan saling percaya


pasien dan 2. Jaga privasi px
lingkungan 3. Informed consent
Prosedur 1. Minta ibu memangku bayi dengan posisi duduk tegak/fowler jika
pelaksanaan

18
2. Posisikan puting/dot pada mulut yang tidak bercelah

3. Minta ibu membantu menekan payudara/dot untuk meningkatkan


aliran susu (menekan secara lembut agar laju ASI tidak terlalu
deras)

4. Jika terjadi regurgitasi nasal maka segera seka menggunakan


tissue
5. biarkan bayi mengisap susu selama bebrapa menit. Jika bayi
tampak tak nyaman, lepaskan botol sejenak hingga ia bernapas
kembali dengan normal
6. batasi waktu menyusui selama 30 menit. Setelah itu berikan jeda
selama 10 menit agar bayi bisa bersendawa
7. lakukan penggosokan punggung anak dari bawah ketas dengan
lembut agar bayi bersendawa lebih sering, posisikan bayi pada
bahu.

Evaluasi 1. respon pasien selama tindakan


2. Evaluasi Kondisi pasien
3. Evaluasi diri perawat
Dokementasi 1. catat waktu pelaksanaan tindakan
2. catat berapa nutrisi yang masuk

19
20
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
LabioPalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatosisis (sumbing palatum), dan labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya
jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embroil. (Aziz Alimul
Hidayat, 2006). . Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan pada kehamilan trimester
pertama yang menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga
dapat menyebabkan terjadinya kelainan ini adalah kekurangan nutrisi, stress pada kehamilan,
trauma dan factor genetic..
Patofisiologinya adalah karena adanya kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan
lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trimester I. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena
kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan
susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara
7-8 minggu masa kehamilan.

3.2 Saran
Mahasiswa harus mampu memahami mengenai pengertian, penyebab, klasifikasi,
penatalaksanaan labio/palatoskizis. Mahasiswa mampu menerapkan SOP pemberian makan
pada Anak/Bayi dengan palastokizis dengan benar, sehingga tercapai pemenuhan nutrisi pada
anak/bayi.

Mahasiswa juga dapat memperbanyak ilmu dengan mengunjungi seminar dan membaca
dari berbagai sumber.

21
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, AZIZ Alimun A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta. Salemba
Medika

(Sri Lestari, 2018)Kromosom, A., & Pratiwi, L. A. S. (n.d.). MATA KULIAH ANATOMI FISIOLOGI
DAN PATOLOGI.
Sri Lestari, G. (2018). ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS PATOLOGI PADA BY. NY. D UMUR 2
HARI DENGAN KELAINAN KONGENITAL LABIOPALATOSKIZIS DI RSUD KRATON
PEKALONGAN. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Hallo sehat, (2019). Tips Memberikan Makan Anak dengan Bibir Sumbing Agar Nutrisinya
Tercukupi. https://today.line.me/id/v2/article/Mp8Dpy. Diakses pada 4 Maret 2022
Lactation tema, (2017). Menyusui bayi dengan Celah Bibir dan/atau Langit-langit: Bagaimana
melakukannya. http://www.praborinilactationteam.com/2017/08/19/menyusui-bayi-dengan-celah-
bibir-danatau-langit-langit-bagaimana-melakukannya/ . diakses pada 4 Maret 2022

Cendekia Utama, (2019). Jurnal Keperawatan da Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama,


http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/stikes/article/view/212/160 , diakses pada 5
Maret 2022

22

Anda mungkin juga menyukai