Drop Out Masih Tinggi. Kegagalan Pengobatan Dan Kurang Kedisiplinan Bagi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 67

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM

OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI


TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI
PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

oleh:
Jose Adelina Putri

ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang
penting di seluruh dunia dan sangat umum di negara-negara berkembang. Bakteri
yang menyebabkan kasus TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Menurut data
yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, jumlah kasus TB paru
terbanyak di Bandar Lampung adalah berada di daerah Panjang. Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat mengatasi penyakit TB, namun angka
drop out masih tinggi. Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi
penderita TB Paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah
peran Pengawas Minum Obat (PMO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum OAT
pada penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang.
Metode Penelitian: Desian penelitian ini adalah observatif analitik dengan
pendekatan cross sectional. Data diambil pada bulan Februari-Agustus 2015.
Sampel penelitian adalah PMO beserta penderita TB Paru dari Puskesmas Rawat
Inap Panjang yang diambil dengan teknik total sampling dan dianalisis dengan
menggunakan program pengolah data.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan
(p=0,006) antara pendidikan PMO dengan keteraturan minum OAT dan terdapat
hubungan yang signifikan (p=0,003) antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan
minum OAT.
Kesimpulan:Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dan
pengetahuan PMO terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru.
Kata kunci: Pendidikan, pengetahuan, PMO, kepatuhan, penderita TB Paru.
THE CORRELATION BETWEEN EDUCATION AND KNOWLEDGE OF
SUPERVISOR CONSUMING ANTI TUBERCULOSIS DRUGS TO
COMPLIANCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS IN
PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG 2015

By
Jose Adelina Putri

ABSTRACT
Background: Tuberculosis is an important public health problem worldwide and
is very common in developing countries. The bacteria that causes Tuberculosis is
Mycobacterium tuberculosis. According to data obtained from the Health
Departement of Bandar Lampung, the number of cases of pulmonary TB in
Bandar Lampung occur in Panjang district. Anti Tuberculosis has been known to
treat TB, but the numbers of drop out is still high. Failure of treatment and less
discipline for patients with Pulmonary TB are strongly influenced by several
factors. One of them is the role of the Supervisor Consuming anti tuberculosis
drugs. This research was aimed to know correlation between education and
knowledge of the PMO in consuming anti tuberculosis drugs with the compliance
of pulmonary TB pateints.
Method: This research was analytical observation study with cross sectional
methods. Data were collected on Februari-Agustus 2015. Samples of this research
were supervisor consuming drugs and Pulmonary TB Patients from Panjang
Public Health Center with total sampling technique and analyzed by using a data
processing program.
Result: The result showed that the education of supervisor consuming drugs had
significant relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberculosis
drugs (p=0,006) and the knowledge of supervisor consuming drugs had significant
relation with TB Pateint’s compliance in consuming anti tuberkulosis drugs
(p=0,003).
Conclusion: The research concluded that there was a correlation between
education and knowledge of supervisor consuming drugs in consuming anti
tuberculosis drugs with the compliance of pulmonary TB pateints.
Keywords: Education, Knowledge, PMO, Compliance, Pulmonary TB Pateint.
HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT
(PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

Oleh
JOSE ADELINA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
Persembahan untuk Papi, Mami dan
Keluarga Tercinta...
Kalian adalah penyemangat bagiku, aku sangat bersyukur memiliki
keluarga seperti kalian. Kalian yang terbaik.
I Love You all.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cibubur, Jakarta pada tanggal 22 Juli 1994, sebagai anak

satu-satunya dari Bapak dr . Jose Rizal dan Ibu dr. Nofli Yurni. Pendidikan

Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyah Pringsewu Lampung pada

tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Muhammadiyah Pringsewu

Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di

SMPN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas

(SMA) diselesaikan di SMAN 1 Pringsewu Lampung pada tahun 2012. Selama

SD sampai SMA penulis sering mengikuti kejuaran olah vokal solo se-Kabupaten

dan Provinsi. Tahun 2006 penulis mendapatkan juara 1 olah vokal solo tingkat

Kabupaten, tahun 2007 mendapatkan juara 3 olah vokal solo dalam acara

PORSENI tingkat Provinsi Lampung, tahun 2011 mendapat juara 1 kejuaran olah

vokal solo tingkat SMA di Sekolah Dharma Bangsa dan juara 2 dalam kejuaraan

olah vokal solo dalam acara PORSENI tingkat Provinsi Lampung.

Tahun 2012, penulis mengikuti jalur SNMPTN Undangan dan terdaftar sebagai

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selama menjadi

mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi paduan suara FK Unila.


SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat

dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum

Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015”

adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di

Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas

Lampung;

2. dr. Muhartono, M. Kes,Sp. PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung;

3. Dr. Dyah Wulan S.R.W., SKM, M. Kes, selaku Pembimbing Utama atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa

terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

4. dr. Sustianti, M.Sc., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk

memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik dalam proses


penyelesaian skripsi ini. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa

terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

5. dr. TA Larasati, M. Kes, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas

masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan. Beliau juga adalah orang

yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

6. dr. Fitria Saftarina, M. Kes, selaku Pembimbing Akademik saya, terima kasih

atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis

untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

8. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

9. Papi dan Mami tercinta yang selalu menyebut nama saya dalam doanya,

membimbing, menasehati, mendukung, dan memberikan yang terbaik untuk

saya;

10. Kak Vira Weldimira dan kak Muren Weldimira, yang sudah kuanggap sebagai

kakak kandungku, atas semangat, dukungan yang diberikan dan juga sudah

membantu dalam menyelesaikan penelitian ini;

11. Keluarga besar saya yang berada di Bandar Lampung, Jakarta dan Padang.

Terima kasih atas dukungan, doa, nasihat, dan semangatnya selama ini;
12.Noviana Hartika Sari, Widyastuti Ayu Hardita, Vina Zulfiani, Eva Nur Lizar,

Mukhamad Aria Laksana, Zaraz Obella, Fathia Sabila Umar, Devita Wulan,

Imelda Puspita, Sevfianti, Sefira Dwi, Debby Aprilia, Silvi Qiroatul,

Anasthasia Francis, Aulia Sari, Rio Gasa, Septina Ashariani dan Arum Nurzeza

yang sudah setia menemani, menyemangati, dukungan, dan bantuan, sehingga

semuanya berjalan dengan lebih mudah;

13. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,

terima kasih atas kebersamaan selama ini;

14. Teman-teman alumni SMAN 1 Pringsewu khusunya teman XII IPA 1 atas

semangat dan doanya;

15. Sahabat saya, Devina, Dzakiyah, Kiki, dan Elza yang telah memberikan doa

dan semangatnya sampai saat ini;

16. Teman masa kecil saya sampai sekarang, Siti Asiyah dan Annisa Alifa

Ramadhani, atas bantuan, dukungan, dan semangatnya;

17. Ibu Rosowati, yang sudah membantu dalam mencari data penelitian saya di

Puskesmas Panjang.

18. Semua yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan

satu per satu, terimakasih atas doa serta dukungannya.


Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, Januari 2016

Penulis

Jose Adelina Putri


xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pengelompokan OAT ........................................................................................ 15

2. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-1 ..................................................... 16

3. Dosis Untuk Paduan OAT-KDT Kategori-2 ..................................................... 17

4. Definisi operasional .......................................................................................... 39

5. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia. ........................................ 45

6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................... 46

7. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan .................................................. 46

8. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ................................................ 47

9. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan .............................................. 48

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ......................... 49

11. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ................... 49

12. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT................. 51


xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian.........................................................................................68

2. Dokumentasi Penelitian.....................................................................................74

3. Analisis Statistik................................................................................................75
xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori...........................................................................................34

2. Kerangka Konsep.......................................................................................35

3. Alur Penelitian...........................................................................................41
x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xv

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4

1.3.1 Tujuan umum ............................................................................ 4

1.3.2 Tujuan khusus ........................................................................... 4

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru .......................................................................... 6

2.1.1 Etiologi TB Paru.................................................................... 6

2.1.2 Cara Penularan ...................................................................... 7

2.1.3 Patogenesis Penyakit ............................................................. 7

2.1.4. Klasifikasi TB Paru .............................................................. 8

2.1.5 Diagnosis TB Paru .............................................................. 10


xi

2.1.6 Pengobatan TB Paru ............................................................ 14

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat) .......................................................... 17

2.3 Kepatuhan Pasien TB .......................................................................... 19

2.4 Pendidikan .......................................................................................... 26

2.5 Pengetahuan ......................................................................................... 29

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence green ..................................... 31

2.7 Kerangka Teori .................................................................................... 32

2.8 Kerangka Konsep ................................................................................ 35

2.9 Hipotesis .............................................................................................. 35

BAB III. METODELOGI PENELITIAN .......................................................... 36

3.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 36

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 36

3.2.1 Waktu Penelitian ......................................................................... 36

3.2.2 Tempat Penelitian........................................................................ 36

3.3 Subjek Penelitian.................................................................................. 36

3.3.1 Populasi ........................................................................................ 36

3.3.2 Sampel .......................................................................................... 37

3.3.3 Kriteria Inklusi ............................................................................. 37

3.3.4 Kriteria Eksklusi .......................................................................... 37

3.4 Variabel Penelitian ............................................................................... 38

3.5 Definisi Operasional............................................................................. 38

3.6 Alat Ukur.............................................................................................. 39

3.7 Pengumpulan Data ............................................................................... 40


xii

3.8 Alur Penelitian ..................................................................................... 41

3.9 Pengolahan Data................................................................................... 41

3.10 Analisis Data ...................................................................................... 42

3.10.1 Analisis Univariat ...................................................................... 42

3.10.2 Analisis Bivariat......................................................................... 42

3.11 Etika Penelitian .................................................................................. 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHSAN .............................................................. 44

4.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 44

4.1.1 Analisis Univariat ........................................................................ 45

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia...................... 45

B. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 45

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ............................... 46

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ............................. 46

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ........................... 47

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ........ 48

4.1.2 Analisis Bivariat........................................................................... 49

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT.. 49

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT ...

............................................................................................................ 50

4.2 Pembahasan ......................................................................................... 52

1. Analisis Univariat ............................................................................. 52

A. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia...................... 52

B. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 52


xiii

C. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan .............................. 53

D. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ............................. 53

E. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan .......................... 54

F. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT ........ 54

2. Analisis Bivariat................................................................................ 55

A. Hubungan Pendidikan PMO Terhadap Kepatuhan Minum OAT

Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun

2015 ............................................................................................... 55

B. Hubungan Pengetahuan PMO Terhadap Kepatuhan Minum Pada

Penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 ..

....................................................................................................... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 60

5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 60

5.2 Saran ................................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 62

LAMPIRAN ........................................................................................................ 65
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet atau

percikan dahak yang menyebar ke udara dari orang yang telah terinfeksioleh

bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

Indonesia diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, angka insidensi

TB sebesar 189 per 100.000 penduduk dan angka kematian akibat TB sebesar

27 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Dilihat dari notifikasi kasus

yang ditemukan pada tahun 2013 menunjukan bahwa Indonesia berada di

posisi ke-4 setelah India, Cina, dan Afrika Utara yaitu sebanyak 196.310

kasus (WHO, 2014).

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan

International United Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD)

mengembangkkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi

Directly Observed Treatment Short course (DOTS). Salah satu komponen

dari strategi DOTS adalah pengobatan TB paru dengan obat anti tuberkulosis

(OAT)yang diawasi langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO)

(Depkes, 2013). Obat anti tuberkulosis (OAT) telah diketahui dapat


2

mengatasi penyakit TB. Pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan

kuman TB menjadi resisten terhadap OAT dan dapat menjadi TB Multi Drug

Resistence(MDR). Kasus TB-MDR telah ditemukan di Eropa Timur, Afrika,

Amerika Latin dan Asia berdasarkan WHO/IUATLD Global Project on Drug

Resistance Surveillance dengan prevalensi lebih dari 4% di antara kasus TB

baru (Burhan, 2010).

Disampaikan oleh Nawas dalam Burhan (2010), data awal survei resistensi

obat OAT lini pertama di Indonesia yang dilakukan di Jawa Tengah

menunjukkan angka TB-MDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi

angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (15%).

Limited and Unrepresentative Hospital Data (2006) menunjukkan kenyataan

bahwa sepertiga kasus TB-MDR resisten terhadap ofloksasin dan ditemukan

satu kasus TB-XDR(Extremely Drug Resistance) diantara 24 kasus TB-MDR.

Untuk menjamin kepatuhan penderita TB paru untuk minum obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

pengawas minum obat. Pengawas minum obat (PMO) sangat penting untuk

mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal. Syarat

untuk menjadi seorang PMO adalah seseorang yang dikenal, dipercaya dan

disetujui oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus segani dam

dihormati oleh pasien. Peran PMO dalam proses pengobatan TB adalah

mengawasi pasien TB dalam meminum OAT sampai selesai pengobatan,

memotivasi pasien untuk berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa

ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.(Depkes,2013).


3

Penelitian yang dilakukan Kusnawati (2005) di Semarang, didapatkan hasil

yang bermakna mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap PMO

keluarga mengenai keberhasilan pengobatan TB paru. Sedangkan dari

penelitian yang dilakukan Suhartono (2010) di Kalimantan

Timur,menyatakan bahwa tingkat pendidikan PMO dengan kepatuhan pasien

TB berobat mempunyai hubungan positif yang secara statistikbermakna

dengan kepatuhan berobat.

Menurut data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung,

jumlah kasus TB paru terbanyak di Bandar Lampung tahun 2014- juni 2015

adalah berada di daerah Panjang. Pada bulan januari–juni 2015, jumlah kasus

baru TB BTA positif di Panjang saat ini adalah 40 penderita. Sedangkan data

yang didapat dari Puskesmas Rawat Inap Panjang, sampai bulan agustus

tahun 2015 terdapat 48 penderita TB paru dan pada bulan januari 2015

terdapat 3 pasien yang drop out dan didapatkan kurang lebih 15 pasien yang

tidak mengalami konversi sputum dari bulan april-juni 2015.

Berdasarkan data dan fenomena tersebut, perlu dilakukan pengkajian lebih

mendalam tentang hubunganpendidikan dan pengetahuan PMO terhadap

kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap

Panjang tahun 2015.


4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah dalam

penelitian ini, yaitu :

Apakah terdapat hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap

kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat

InapPanjang tahun 2015?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubunganpendidikan dan pengetahuan PMO terhadap kepatuhanminum

OAT pada penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun

2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui distribusi frekuensi pendidikan PMO, pengetahuan

PMO, dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di

Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.

2. Mengetahui hubungan pendidikan dan pengetahuan PMO dengan

kepatuhan minum OAT pada penderitaTB paru di Puskesmas

Rawat Inap Panjang tahun 2015.


5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi petugas kesehatan

Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan TB paru di

Puskesmas Rawat Inap Panjang, untuk meningkatkan kepatuhan pasien

TB Paru dalam minum OAT dan membuat promosi kesehatan yang

lebih menarik agar penderita atau masyarakat yang mempunyai risiko

TB dapat mudah memahami tentang materi yang disampaikan.

1.4.2 Bagi peneliti

Bagi peneliti, sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah

dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian dapat memberikan gambaran dan pengetahuan

tentang pentingnya pengaruh PMO dengan kepatuhan minum obat

pada penderita TB paru.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru

2.1.1 Etiologi TB Paru

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini sejenis kuman berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian

besar dinding kuman terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman

lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri

tahan asam (BTA). Kuman dapat tahan hidup pada udara kering

maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam

lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant.

Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan

penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman

hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag.

Makrofag yang semula memfagositasi menjadi disenangi oleh kuman

karena banyak mengandung lipid (Amin & Bahar, 2009).


7

2.1.2 Cara Penularan

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan

sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh

M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan

manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan dengan organ lain.

Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang

mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB

paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung Basil

Tahan Asam (Amin & Bahar, 2009).

2.1.3 Patogenesis Penyakit

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau

dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel

infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung

pada ada tidaknya ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban.

Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat,

ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel ini

dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikrometer.

Kuman akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.

Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag

keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan

sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak

dalam sitoplasma makrofag. Di sini akan terbawa masuk ke organ


8

lainnya. Kuman yang bersarang di dalam paru akan membentuk sarang

tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang

(fokus) Ghon. Sarang ini bisa terdapat di seluruh bagian jaringan paru.

Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman

dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring,

dan kulit, terjadi lomfodenopati regional kemudian bakteri masuk ke

dalam vena dan menajalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal,

tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke

seluruh bagian paru menjadi TB milier. Kuman yang dormant pada

tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai

infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB sekunder). Mayoritas

reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas

menurun, diabetes, AIDS, malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, gagal

ginjal (Amin & Bahar, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006, TB

paru dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

Tuberkulosis Paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran


9

tuberkulosis aktif.Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak

menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b) Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis

aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M.tuberculosis positif.Jika belum ada hasil pemeriksaan

dahak, tulis BTA belum diperiksa.

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a) Kasus baru

Dikatakan kasus baru bila penderita yang belum pernah mendapat

pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang

dari satu bulan (30 dosis harian).

b) Kasus kambuh (relaps)

Dikatakan kasus kambuh bila penderita tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif.
10

Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik

sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa

kemungkinan infeksi sekunder, infeksi jamur atau TB paru

kambuh.

c) Kasus pindahan (Transfer In)

Dikatakan kasus pindahan bila penderita yang sedang

mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian

pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai obat

Dikatakan kasus lalai berobat bila penderita yang sudah berobat

paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,

kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut

kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

2.1.5 Diagnosis TB paru

Dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2006,

untuk mendiagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala

klinik, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologik,

radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.


11

Gejala respiratorik: batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak

nafas, nyeri dada.Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai

tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas

lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Batuk

yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk

diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra

paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis

tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak

napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat

cairan. Gejala sistemik: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya

tidak atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan

segmen posterior ,serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan

jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,

suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

diafragma & mediastinum.


12

Pemeriksaan penunjang TB paru adalah sebagai berikut:

a) Pemeriksaan Bakteriologik.

Pemeriksaan ini untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai

arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk

pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces

dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

b) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik,

CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi

gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).Gambaran

radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : Bayangan berawan

atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah,kaviti, terutama lebih dari satu,

dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular,bayangan

bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral

(jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu sebagai

berikut:

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

 Kalsifikasi atau fibrotik

 Kompleks ranke
13

 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

c) Pemeriksaan cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu

dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan

diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis

tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta

pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa

darah.

d) Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang

spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama

dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai

indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik

penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon

terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi

tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa

menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam

keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,

tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan

tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

e) Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di

daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah.Di Indonesia dengan

prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin


14

sebagai alat bantudiagnostik kurang berarti, apalagi pada orang

dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi

dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila

kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula (PDPI, 2006).

2.1.6 Pengobatan TB paru

Dalam Depkes (2013), pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan

pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan

rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

obat anti tuberkulosis (OAT).

a. Obat Antituberkulosis (OAT)

OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan

kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB diberikan

dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, kemungkinan besar pasien dengan BTA positif menjadi

BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.


15

2. Tahap lanjutan

Pada tahap ini penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting

untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan.

Tabel1.Pengelompokan OAT

Golongan dan Jenis Obat

Golongan-1 Obat Lini - Isoniazid (H) - Pirazinamid (Z)


pertama - Ethambutol (E) - Rifampicin (R)
- Sreptomycin (S)

Golongan-2 / Obat - Kanamycin (Km) - Amikacin (Am)


suntik/Suntikan lini - Capreomycin
kedua (Cm)

Golongan-3 / Golongan - Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx)


Floroquinolone
- Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4 / Obat -Ethionamide (Eto) - Para amino salisilat
Bakteriostatik lini (PAS)
kedua -Prothionamide (Pto)
- Terizidone (Trd)
- Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / Obat - Clofazimine -Thioacetazone
yang belum terbukti (Thz)
efikasinya dan tidak - Linezolid
direkomendasikan oleh -Clarthromycin (Clr)
WHO - Amoxilin-
Clavulanate(Amx- - Imipenem (Ipm)
Clv)
16

b. Paduan minum OAT

Dalam buku Perhimpunan Dokter, pengobatan tuberkulosis dibagi

menjadi:

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA

positif, pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan

pasien TB ekstra paru.

Tabel2.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 1

Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3 kali


Berat Badan
56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah

diobati sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal, dan

pasien dengan pengobatan setelah putus obat (default).


17

Tabel3.Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 2

Tahap lanjutan 3 kali


Tahap Intensif tiap hari RHZE seminggu RH (150/150)
(150/75/400/275) + S
Berat Badan + E(400)

Selama 56 Selama 28 Selama 20 minggu


hari hari
30-37 kg 2 tab 2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab
4KDT+500 Etambutol
mg
Streptomisin
Inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT + 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
750 mg Etambutol
Streptomisin
Inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4tab 2KDT + 4 tab
100 mg Etambutol
Streptomisin
Inj.
≥71 kg 5 tab + 100 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
mg Etambutol
Streptomisin
Inj.

2.2 PMO (Pengawas Minum Obat)

Dalam Depkes 2013, salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan

OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.Untuk menjamin

keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Adapun persyaratan untuk

menjadi PMO adalah sebagai berikut:

A. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh

pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c.Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


18

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,

pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain.Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,

guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga.

Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara

teratur sampaiselesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau

berobat teratur, mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada

waktuyang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga

pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO

bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit

pelayanan kesehatan.

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada

pasien dan keluarganya adalah sebagai berikut:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan

carapencegahannya.

d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).


19

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

memintapertolongan ke UPK.

2.3 Kepatuhan Penderita TB

Menurut WHO dalam konferensi bulan juni tahun 2001 menyebutkan bahwa

patuh atau kepatuhan merupakan kecenderungan penderita melakukan

instruksi medikasi yang dianjurkan (Gough, 2011). Kepatuhan minum obat

sendiri kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi

pelayanan yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan

untuk jangka waktu pengobatan yang dianjurkan (Petorson, 2012).La Greca

dan Stone (1985) dalam Bart Smet (1997) menyatakan bahwa perilaku

kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis, saran untuk gaya hidup umum

dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, dan pengobatan dengan

efek samping.Menurut Depkes tahun 2000 dalam Wihartini (2009), penderita

TB paru yang patuh berobat adalah yang menyesuaikan pengobatan secara

teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 bulan.

Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa

memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah

sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara

signifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti

yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan

dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatan itu sendiri. Hal-
20

hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang

disengaja dan yang tidak disengaja. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja

terlihat pada penderita yang gagal mengingat atau dalam beberapa kasus

yang membutuhkan pengaturan fisik untuk meminum obat yang sudah

diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja berhubungan dengan keyakinan

tentang pengobatan antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan

(Chambers, 2010)

Menurut Cuneo dan Snider dalam Wihartini (2009), pengobatan yang

memerlukan jangka waktu yang panjang seperti TB paru akan memberikan

pengaruh-pengaruh kepada penderita seperti:

a. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi penderita tanpa keluhan atau

gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan

sekian lama.

b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani

pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan segera berkurang atau

hilang sama sekali sehingga pasien akan merasa sembuh dan malas untuk

meneruskan pengobatan kembali.

c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan

motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan.

d. Pengobatan yang lama merupakan beban yang dilihat dari segi biaya yang

harus dikeluarkan.

e. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak

enak terhadap penderita.


21

f. Sukar untuk menyadarkan pasien untuk terus menerus minum obat selama

jangka waktu yang ditentukan.

Permatasari dalam Sahat (2010) mengemukakan selain faktor medis, faktor

sosial ekonomi dan budaya, sikap, dan perilaku yang sangat mempengaruhi

keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

a. Faktor Sarana: Tersedianya obat yang cukup dan kontinu, dedikasi

petugas kesehatan yang baik, dan pemberian regiment OAT yang adekuat.

b. Faktor Penderita: Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit

TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara

menajaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup

istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merorok, cara

menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak

sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan, jendela

cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari, sikap tidak

perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi

biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar, kesadaran dan

keinginan penderita untuk sembuh.

c. Faktor keluarga dan Masyarakat Lingkungan: Dukungan keluarga sangat

menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu

mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang sangat

menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu

mengingatkan penderita agar minun obat, pengertian yang dalam terhadap

penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin

berobat.
22

Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaiman yang dijelaskan dalam

buku panduan WHO tahun 2003 mengenai pengobatan jangka lama.

Meskipun oleh sebagian orang mengatakan bahwa kepatuhan tentang

bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu

patuh, namun tidak bisa dihilangkan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kepatuhan individu tersebut. Berikut dijelaskan faktor

yang dianggap sebagai 5 dimensi dimaksud ialah sebagai berikut:

a. Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor

tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang status

ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal

yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang

secara signifikan dapat mempengaruhi kepatuhan ialah status ekonomi

sosial, kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran,

kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang tidak stabil, jarak

ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang mahal,

situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan terhadap

sakit dan pengobatan, serta dukungan keluarga.

Dukungan keluarga menurut Friedman dalam Saragih (2010), dibagi

dalam 4 bentuk, yaitu;

1. Dukungan Penilaian

Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami

kejadian depresi dengan baik dan strategi koping yang dapat

digunakan dalam menghadapi stressor. Individu mempunyai


23

seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi

melalui ekspresi pengharapan positif kepada individu lain,

penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang

dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu.

2. Dukungan Instrumental

Dukungan ini melipui dukungan jasmaniah meliputi pelayanan,

bantuan finansial, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental

Support Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa

akan membantu memecahkan masalah termasuk didalamnya

bantuan langsung seperti seseorang memberi atau meminjamkan

uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan,

menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit.

3. Dukungan Informasi

Jenis dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab

bersama termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah,

memberikan nasehat pengarahan, saran atau umpan balik tentang

apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan

informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik

bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu dalam melawan

stressor.

4. Dukungan Emosional

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara

emosional, sedih dan kehilangan harga diri. Jika depresi

mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai.


24

Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman,

merasa dicintai saat mengalami stress, bantu dalam bentuk

semangat, empati, rasa percaya perhatian sehingga individu yang

menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini

keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.

b. Faktor Penderita

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh

gejala penyakit, harapan dan pengalaman. Mereka meyakini bahwa

dari pengobatan akan memberikan sejumlah efek samping yang dirasa

mengganggu, selain itu kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan

ketergantungan juga mereka pikirkan.

Pengetahuan dan kepercayaan penderita tentang penyakit mereka,

motivasi untuk mengatur pengobatan, dan harapan terhadap

kesembuhan penderita dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan

penderita. Sedangkan faktor penderita yang mempengaruhi kepatuhan

itu sendiri ialah:lupa, stres psikososial, kecemasan akan keadaan yang

lebih parah, motivasi yang rendah, kurangnya pengetahuan dan

ketidakmampuan untuk me-manage gejala penyakit dan pengobatan,

kesalahpahaman dan ketidakterimaan terhadap penyakit,

ketidakpercayaan terhadap diagnosis, kesalahpahaman terhadap

instruksi pengobatan, tidak ada harapan dan perasaan negatif, frustasi

dengan petugas kesehatan, cemas terhadap kompliktisitas regimen

pengobatan, dan merasa terstigma oleh penyakit.


25

Motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan dipengaruhi oleh nilai

dan tempat dimana mereka berobat (baik biaya maupun kepercayaan

terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat

kepatuhan penderita, maka petugas kesehatan perlu meningkatkan

kemampuan manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang

meyakinkan kepada penderita.

c. Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya

komplektisitas regimen obat, durasi pengobatan, kegagalan

pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan

terhadap adanya efek samping, serta ketersediannya dukungan tenaga

kesehatan terhadap penderita.

d. Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors)

Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang dihadapi oleh

penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi kepatuhan ialah

keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya

pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut

tergantung bagaimana persepsi penderita, namun hal yang paling

penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan dan menjadikan

yang prioritas.

e. Faktor Tim/Sistem Kesehatan (Team Factors/Health Care System)

Penelitian yang menghubungkan antara sistem kesehatan dan

kepatuhan penderita sendiri masih sedikit. Meski demikian hubungan

yang baik antara tenaga kesehatan dan penderita dapat meningkatkan


26

kepatuhan penderita dalam pengobatan. Beberapa faktor yang dapat

memberi pengaruh negatif antara lain kurangnya pengembangan

sistem kesehatan yang dibiayai oleh asuransi, kurangnya sistem

distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan kepada tenaga

kesehatan tentang me-manage penyakit kronik, jam kerja yang

berlebihan, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga

kesehatan, konsultasi yang sebentar, ketidakmampuan membangun

dukungan komunitas dan manajemen diri penderita, kurangnya

pengetahuan tentang kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk

meningkatkannya.

2.4 Pendidikan

Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu

rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani). Pendididkan juga berarti

lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita–cita (tujuan) pendidikan,

isi, sistem dan organisasipendidikan.Lembaga–lembaga ini meliputi keluarga,

sekolah dan masyarakat (Ikhsan, 2005).Pendidikan, seperti sifat sasarannya

yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks.

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan

pewarisan budaya dari generasi satu ke genari yang lain. Sebagai proses

pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang

sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik

(Tirtarahardja et al., 2005). Menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi :


27

a. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari

pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat.

Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan sehari-

hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi.

b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur,

bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat.pendidikan ini

berlangsung di sekolah.

c. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu

dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang kekat.

Tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang

ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat

kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran. Tingkat

pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi (Ikhsan, 2005).

a. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan

keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam

masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti

pendidikan menengah.Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan

pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan,

baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Karena itu, bagi setiap

warga negara harus disediakan kesempatan untuk memperoleh pendidikan

dasar.Pendidikan ini dapat berupa pendidikan sekolah ataupun pendidikan


28

luar sekolah, yang dapat merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan

luar biasa.Tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar.

b. Pendidikan Menengah

Pend mn mjidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan

mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan

alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam

dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah terdiri dari

pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah

kejuruan.Pendidikan menengah umum diselenggarakan selain untuk

mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi, juga untuk

memasuki lapangan kerja.Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan

untuk memasuki lapangan kerja atau mengikuti pendidikan keprofesian

pada tingkat yang lebih tinggi.Pendidikan menengah dapat merupakan

pendidikan biasa atau pendidikan luar biasa.Tingkat pendidikan menengah

adalah SMP, SMA dan SMK.

c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat kemampuan

tinggi yang bersifat akademik dan atau profesional sehingga dapat

menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan

kesejahteraan manusia.
29

Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga

lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan

masyarakat. Pendidikan Tinggi terdiri dari Strata 1, Strata 1, Strata 3.

2.5 Pengetahuan

Menurut Soekidjo Notoatmodjo dalam buku Promosi Kesehatan edisi revisi

2010, pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan

persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan

(mata). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas

atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar, terdapat 6 (enam) tingkat

pengetahuan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

hanya dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.


30

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi

bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis

adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan,

mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas

objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi

yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan sesorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini

dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.


31

2.6 Perubahan Perilaku Menurut Lawrence Green

Menurut Precede Procede model yang dikemukakan oleh Lawrence Green

dalam Widyaningsih (2004) dinyatakan bahwa ada tiga faktor yang

menentukan perubahan perilaku yaitu Predisposing factor, reinforcing factor,

dan enabling factor.

Teori Green diaplikasi terhadap perilaku PMO dalam pengawasan penderita

tuberkulosis paru sebagai berikut:

a. Faktor yang mempermudah (predisposing factor), yaitu faktor pencetus

yang mempermudah terjadinya perilaku, terwujud dalam pengetahuan,

sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan karakteristik demografi yang terdapat

dalam diri individu atau kelompok.

b. Faktor yang memungkinkan (enabling facto), yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan perilaku individu, kelompok yang

dikarenakan antara lain tersedianya fasilitas-fasilitas, sarana-sarana

kesehatan.

c. Faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau kelompok referensi dari perilaku

masyarakat, seperti suami, orangtua, tokoh masyarakat.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Widyaningsih (2004) terdapat hal yang

berhubungan dengan perilaku PMO dalam kaitannya dengan pelaksanaan

kegiatan pengawasan penderita tuberkulosis paru dalam menelan minum obat,

yaitu:
32

1. Keyakinan PMO terhadap pelaksanaan kegiatan pengawasan penderita

tuberkulosis secara teratur dapat mencegah terjadinya putus berobat,

resistensi dan lain-lain. Dimana pelaksanaan kegiataan PMO tersebut

dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku PMO terdiri dari karakteristik,

pengetahuan, sikap, dan motivasi.

2. Keuntungan-keuntungan norma yaitu ketersediaan fasilitas

anjuran/informasi, pelatihan tentang PMO.

3. Norma-norma subyektif yaitu petugas kesehatan (dokter, paramedis),

orangtua, kader kesehatan.

2.7 Kerangka Teori

Menurut Kemenkes RI tahun 2013, untuk menjamin kepatuhan pasien

menelan obat anti tuberkulosis, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang

pengawas minum obat (PMO).Seorang PMO harus memiliki pengetahuan

yang baik mengenai TB paru. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

kepatuhan minum obat sesuai konferensi WHO tahun 2003 yaitu faktor

sosial ekonomi dan sosial diantaranya adalah status ekonomi sosial,

kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran, kurangnya dukungan

sosial, jarak ke tempat pengobatan, transportasi yang mahal, budaya dan

kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, dan disfungsi keluarga. Faktor

penderita diantaranya adalah pengetahuan penderita tentang penyakitnya

sendiri, efek samping yang mengganggu, motivasi yang rendah, lupa minum

obat, kesalahpahaman terhadap instruksi pengobatan, dan frustasi dengan

petugas kesehatan. Faktor terapi diantaranya adalah komplektisitas regimen,


33

durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam

pengobatan, kesiapan terhadap efek samping, ketersediaan dukungan tenaga

kesehatan terhadap penderita. Faktor kondisi diantaranya keparahan gejala,

lingkungan yang berubah-ubah, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya

pengobatan yang efektif. Faktor tim kesehesatan diantaranya adalah

kurangnya distribusi obat, kurangnya pelatihan kepada tenaga kesehatan

mengenai penyakit kronis, jam kerja yang berlebihan, imbalan biaya yang

tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, dan konsultasi yang sebentar.

Pembahasan sebelumnya dapat dilihat dalam bentuk kerangka teori yang

dapat dilihat pada gambar 1.


Faktor sosial dan ekonomi: Faktor Penderita: Faktor Tim Kesehatan: Faktor Terapi: Faktor Kondisi:
Karakteristik PMO: - Kemiskinan - Pengetahuan tentang - Kurangnya sistem - Durasi pengobatan - Keparahan gejala
- Umur - Dukungan Keluarga: penyakit distribusi obat - Kegagalan - Tingkat Kecacatan
- Pendidikan Dukungan Penilaian - Efek samping yang - Kurangnya pengetahuan pengobatan - Progres Penyakit
- Pengetahuan Dukungan Instrumental mengganggu dan pelatihan terhadap sebelumnya - Adanya pengobatan
Dukungan Informasi - Motivasi yang rendah penyakit kronis - Komplektisitas yang efektif
- Jenis Kelamin Dukungan emosional - Kesalahpahaman terhadap - Konsultasi yang sebentar regimen obat
- Pekerjaan instruksi pengobtanan
- Jarak rumah ke tempat
pengobatan
- Budaya dan kepercayaan

Kepatuhan penderita

Keterangan:

: Faktor yang di teliti

Gambar 1.Kerangka Teori (WHO, 2003; Kemenkes RI 2013;Friedman, 2010) dengan modifikasi.

34
35

2.8 Kerangka konsep

Peneliti akan mengkaji hubungan variabel bebas yaitu pendidikan dan

pengetahuan PMO dengan variabel terikat yaitu kepatuhan minum OAT pada

penderita TB paru. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat padagambar 2.

Variabel Independent Variabel dependent

Pendidikan PMO

Kepatuhan Minum OAT Pada


Penderita TB Paru

Pengetahuan PMO

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.9 HIPOTESIS

1. H0: Tidak ada hubungan antara pendidikan PMO dengan kepatuhan

minum OAT pada penderita TB paru.

Ha:Ada hubungan antara tingkat pendidikan PMO dengan kepatuha

minum OAT pada penderita TB paru.

2. H0: Tidak ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan

minum OAT pada penderita TB paru.

Ha: Ada hubungan antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum

OAT pada penderita TB paru.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cross

sectional, yaitu mengambil variabel independent dan variabeldependent pada

satu waktu (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015.

3.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Rawat Inap Panjang, Bandar

Lampung.

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua

PMOdan penderita TB paru BTA positif yang masih mendapatkan

pengobatan OAT yang berada di Puskesmas Rawat Inap

Panjangperiode januari-agustus 2015 yaitu sebanyak 48 orang.


37

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Arikunto (2006) jika populasi kurang dari 100 maka lebih baik

diambil seluruhnya. Populasi dalam penelitian ini kurang dari 100 yaitu

sebesar 48 orang, sehingga menggunakan total populasi yang berarti

semua PMO dan penderita TB paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang

tahun 2015.

3.3.3 Kriteria Inklusi

Adapun kriteri inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita TB paru yang sedang mengalami pengobatan.

2. Subjek merupakan pasien rawat jalan di Puskesmas Rawat Inap

Panjang.

3. Berumur lebih dari 15 tahun (sesuai dengan program nasional TB).

4. PMO tinggal bersama dengan penderita TB paru.

3.3.4 Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria ekskuli dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. PMO dan penderita TB yang menolak untuk diminta menjadi

responden.

2. PMO dan penderita TB yang tidak mengisi kuesioner dengan

lengkap.

3. Penderita TB meninggal dunia.


38

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu

penelitian (Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari

varibel independentyaitupendidikan dan pengetahuanPMOsedangkanvariabel

dependent yaitu kepatuhanminum OAT pada penderita TB paru.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati atau

diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat

ukur (Notoatmodjo, 2012).


39

Tabel 4.Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Independent: Pendidikan terakhir Kuesioner Rendah, bila Ordinal


Pendidikan yang telah diselesaikan pendidikan tidak
PMO sampai dengan saat lulus SD, SD dan
penelitian dilakukan, SMP.
yang ditandai dengan Tinggi, bila
ijazah kelulusan. pendidikan SMA
dan Perguruan
Tinggi.
(Rasely, 2011).
Pengetahuan Pengetahuan PMO Kuesioner Kurang baik jika Ordinal
PMO tentang TB paru. skore jawaban
responden
<56%.

Baik, bila skor


benar ≥56%.
(Arikunto,
2006).
Dependent: Tingkat perhatian Kuesioner dan Total nilai 3-8 Nominal
Kepatuhan pasien dalam Dokumentasi kepatuhan
minum OAT melaksanakan kartu berobat rendah
instruksi pengobatan
berdasarkan Morisky Total nilai 1-2
Medication Adherence kepatuhan
Scale (MMAS). sedang

Total nilai 0
kepatuhan tinggi
(Moriskyet al,
1986)

3.6 Alat Ukur

Alat pengumpulan data mengenai pendidikan PMO adalah lembar identitas

yang tersedia dalam formulir kuesioner. Untuk pengetahuan PMO tentang

penyakit TB paru adalah lembar kuesioner yang telah divalidasi oleh Nunuk

Widyaningsih tahun 2004, kuesioner tersebut berisi 18 pertanyaan dengan


40

angka reliabilitas 0,5940 sehingga kuesioner tersebut reliabel. Dikatakan

pertanyaan tersebut positif adalah jika jawaban ya diberi nilai satu dan

jawaban tidak diberi nilai nol. Sedangkan untuk pertanyaan negatif adalah

jawaban tidak yang diberi nilai satu dan jawaban ya diberi nilai nol.

Sedangkan alat pengukur kepatuhan minum OAT pada penderita TB adalah

kuesioner dan kartu berobat. Kuesioner kepatuhan adalah kuesioner baku

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pertanyaan

yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia. Penentuan jawaban

kuesioner menggunakan skala Guttman, yaitu jawaban responden hanya

terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Variabel kepatuhan mengadopsi

dari interpretasi kuesioner asli oleh Morisky, dimana kategori penilaian

dibagi menjadi 3 cut of point, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

3.7 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pendidikan dan pengetahuan PMO adalah

pengisian kuesioner (data primer), sedangkan teknik pengumpulan data

kepatuhan minum OAT adalah data primer dan data sekunder, yaitu dengan

kuesioner dan observasi kartu berobat kedalam checklist kemudianlangsung

dikumpulkan pada hari itu juga.


41

3.8 Alur Penelitian

Meminta izin untuk melakukan


penelitian di Puskesmas Rawat Inap
Panjang

Mengunjungi rumah pasien TB


setempat untuk mendapatkan data
primer dengan menggunakan kuesioner,
kartu berobat pasien.

Menyiapkan kuesioner yang sesuai


dengan tujuan penelitian

Pengisian lembar persetujuan oleh


responden

Membagikan kuesioner kepada


responden yang sudah ditentukan

Melakukan pengolahan data

Hasil dan kesimpulan

Gambar 3. Alur Penelitian

3.9 Pengolahan Data


Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah

kedalam bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan program

pengolahan datadenganα = 0,05. Proses pengolahan data menggunakan

program komputer ini terdiri beberapa langkah :


42

a. Editing, kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau

kuesioner.

b. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang

dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang sesuai untuk

keperluan analisis.

c. Data entry, memasukkan data ke dalam program komputer.

d. Tabulasi, pengecekan ulang data dari setiap sumber data atau responden

untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan,

dan kemudian dilakukan koreksi (Notoatmodjo, 2010).

3.10 Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis. Analisis data

dilakukan menggunakan distribusi frekuensi presebatse univariat dan

bivariat.

a) Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik tiap variabel penelitian.Analisis univariat untuk mengetahui

gambaran masing-masing variabel.

b) Analisa Bivariat

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Chi

Square alternatif uji Fisherdengan jenis tabel 2x2 yang berfungsi untuk

menguji hubungan antara pendidikan dan pengetahuan PMO terhadap

kepatuhan minum obat antiberkulosis pada penderita TB paru di


43

Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015, dengan menggunakan

program pengolahan data.

3.11Etika Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk mendapatkan surat

keterangan lolos kaji etik sehingga penelitian dapat dilakukan.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pendidikan dan

pengetahuan PMO terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru

di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015 maka didapatkan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Sebanyak 75% PMO yang memiliki pendidikan rendah dan 25% PMO

yang memiliki pendidikan yang tinggi.Sedangkan pengetahuan PMO

didapatkan sebanyak 58,3% yang memiliki pengetahuan yang kurang baik,

27,1% PMO yang memiliki pengetahuan yang cukup dan 14,6% PMO

yang memiliki pengetahuan yang baik. Kepatuhan penderita TB Paru di

Puskesmas Rawat Inap Panjang Tahun 2015 lebih banyak yang memiliki

kepatuhan yang kurang baik, yaitu sebanyak 58,3%, kepatuhan yang

sedang adalah sebanyak 27,1% dan kepatuhan yang tinggi adalah sebanyak

14,6%.

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan (p=0,006)dan

pengetahuan PMO (p=0,003) terhadap kepatuhan minum OAT pada

penderita TB Paru di Puskesmas Rawat Inap Panjang tahun 2015.


61

5.2 Saran

1. Bagi responden, yaitu PMO, diharapkan lebih meningkatkan lagi

kinerjanya dalam mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum

obat, agar kepatuhan penderita TB Paru lebih baik sehinggan penderita

dapat sembuh sesuai dengan masa pengobatan yang dijalani.

2. Bagi Instansi

a.Puskesmas Rawat Inap Panjang, diharapkan petugas kesehatan

memberikan penjelasan yang lebih jelas lagi dan menarik untuk PMO

tentang penyakit TB Paru, agar PMO lebih memiliki pengetahuan untuk

meningkatkan kepatuhan penderita TB Paru dalam minum obat

dikarenakan peminuman obat jangka panjang yang harus dijalani oleh

penderita.

b. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Kedokteranm diharapkan dapat

bekerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan kepada

PMO tentang penyakit TB Paru, agar PMO dapat lebih mengenal

tentang penyakit tersebut, sehingga dapat miningkatkan perannya dalam

mengawasi langsung penderita TB Paru dalam meminum obat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum OAT

pada penderita TB Paru, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk

menunjang keberhasilan program penanggulangan TB.


62

DAFTAR PUSTAKA

Amin Z., Bahar A.2009.Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Edisi V.Jakarta:Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.hlm. 2230-2233.

ArikuntoS.2010.Prosedur Penelitian (Ed. Revisi 2010).Jakarta:Rineka Cipta.hlm.


173-174.

Burhan E.2010.Majalah Kedokteran Indonesia.Tuberculosis Multi Drug


Resistance (TB-MDR).Volum.60.Nomor 12.hlm.535-536.

Chambers J.A.,Ronan E.C.,Hamilton B.,Whittake J., Johnston M., Sudlow, C.,et


al.2010.Adheren to medication in stroke survivors: a Qualitive comparison
of low and high adherence.

Debby, R., Suyanto, Restuastuti, A.2014.Peran Pengawas Menelan Minum Obat


(PMO) Tuberkulosis dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat Pada
Pasien Tuberkulosis Paru di Kelurahan Sidomulyo Barat
Pekanbaru.Riau:Faklutas Kedokteran Riau.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2013. Pedoman Pengendalian


Tuberkulosis.Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009.Pedoman Nasional


Penganggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.Edisi 2.Cetakan tahun 2011.

Erawatyningsih E., Purwanta. subekti H. 2009. Faktor-faktor Yang


Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis
Paru. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Berita
Kedokteran Maysrakat, Vol. 25, No. 3, September 2009.

Fauzi A.2008.Gambaran Harapan Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap


Pengawas Minum Obat di Daerah Pedesaan Kabupaten Sleman
Yogyakarta.(Skripsi)[email protected].
63

Gough, A., Kauffman, G.2011.Pulmonary Tuberculosis:clinical feature and


patient management. Nursing standart.July 27:vol 25, no 47.hlm. 48-56.

Hapsari R.2010.Hubungan Kinerja PMO dengan Keteraturan Berobat Pasien TB


Paru strategi DOTS di RSUD DR,Moewardi Surakarta.(Skripsi).Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2012.Strategi Nasional
Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.hlm.12

KusnawatiU.2005.Peran PMO Keluarga Dalam Keberhasilan Pengobatan TBC


DI BP4 Semarang.Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Dipenogoro.

Maulidia DF.2014.Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dan Kepatuhan Minum


Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat Tahun
2014.Skripsi.Jakarta:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehetan Universitas
Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta.

Notoatmodjo S.2012.Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka


Cipta.hlm.37,111,115.

Notoatmodjo S.2010.Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan(Ed.


Revoisi).Jakarta: Rineka Cipta.140-142.

PDPI.2006.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Available


URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb-html

Rasely MC.2011.Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Pengawas Minum Obat


(PMO) Terhadap Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis (OAT) Pada
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tulang Bawang
Barat.Skripsi.Lampung:Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Rohmana O., Suhartini, Suhendra A. 2014. Faktor-Faktor Pada PMO Yang


Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Kota
Cirebon. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, Vol. 10, No. 1 Maret
2014.

Saragih R. 2010. Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien Dengan


Penyakit Kanker Terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Darma
Agung: Medan.

Suhartono.2010.Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah, Dan


Penetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat (di Puskesmas
Kembang Janggut Kabupaten Kuati Kartanegara).UNS.
64

Tirtarahardja U.2005.Pengantar Pendidikan (Ed.Revisi 2005).Jakarta:Rineka


Cipta.hlm.130-132

Sabri R, Erlinda V.2005. Penggunaan Modul Pada Pelatihan Dan Penyuluhan


Pengawas Minum Obat (PMO) Untuk Mencegah Droop Out Pengobatan
TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Padang.Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

Smet B. 1997.Psikologi Kesehatan.Jakarta:PT Grasindo.hlm. 253-257

Widyaningsih N.Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik


Pengawasan Menelan Obat (PMO) Dalam Pengawasan Penderita
Tuberkulosis Paru Di Kota Semarang.(Tesis).Universitas Dipenogoro
Semarang.

Wihartini. 2009.Hubungan Antara Peran Pengawas Minum Obat Dengan


Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Kecamatan Tirto
Kabupaten Pekalongan.Skripsi.Semarang:Universitas Muhammadiyah.

World Health Organization. 2003. Adherence To Long-Term Therapies


(Evidence For Action). Tuberculosis. Hlm. 123

World Health Organization.2014.Global Tuberculosis Report 2014.TB case


notification and treatment outcomes. Hlm.39

Anda mungkin juga menyukai