Modul 3

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

PEMANFAATAN BATUBARA

MODUL 3
PARAMETER KUALITAS BATUBARA

3.1. Parameter Kualitas Batubara

Batubara adalah bahan organik yang komposisinya sangat kompleks dan semakin
kompleks dengan adanya mineral anorganik yang terdapat didalamnya.
Kualitas batubara ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa
parameter kualitas batubara sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Berbagai Parameter Kualitas Batubara


No. Parameter Basis pelaporan Keterangan
1 Lengas total (TM) as received (ar) Penting dalam transfortasi
dan perhitungan parameter
lain pada basis ar.
2 Analisis proksimat air dried (ad) Sebagai data dasar dalam
• Lengas inherent (IM) mendeskripsikan jenis
• Kandungan abu (A) batubara. Jumlahnya sama
• Zat terbang (VM) dengan 100%.
• Karbon tertambat (FC)
3 Analisis ultimat dry mineral Biasanya ditentukan
• Karbon matter free dengan basis ad dan
• Hidrogen (dmmf) hasilnya dihitung menjadi
• Nitrogen basis dmmf dengan koreksi
• Sulfur kadar lengas dan mineral
• Oksigen matter. Jumlahnya sama
dengan 100 %. Kadar
hidrogen dan oksigen
penting dalam
memperkirakan nilai kalor
bersih (net calorific value)
dari data nilai kalor kotor
(gross calorific value)
4 Bentuk sulfur air dried Memberikan informasi
• Sulfur piritik tentang produk
• Sulfur organik pembakaran sulfur selama
• Sulfur sulfat pembakaran dan
karbonisasi. Jumlahnya
sama dengan sullfur total.
5 Total sulfur air dried Berkaitan dengan masalah
lingkungan
6 Nilai kalori (MJ/kg) kotor, air dried Penting bila batubara
tersebut sebagai bahan
bakar. 1 MJ/kg = 430
Btu/lb = 239 kkal/kg.

36
PEMANFAATAN BATUBARA

7 Analisis abu total abu Penting untuk


• SiO2 memperkirakan sifat abu,
• Al2O3 khususnya untuk
• Fe2O3 mengidentifikasi komponen
• TiO2 tertentu yang dapat
• Mn3O4 memberikan masalah saat
• CaO pemakaiannya.
• MgO
• Na2O
• K 2O
• P 2O 5
• SO3
8 Ash fusion temperature Penting dalam
• ISO – A (IDT) memperkirakan sifat abu.
(ST) Umumnya diukur dibawah
• ISO – B (HT) kondisi oksidasi dan
• ISO – C (FT) reduksi.
9 Hardgrove Grindability air dried Memberikan informasi sulit
Index (HGI) atau mudahnya batubara
untuk digerus.
10 Trace Elements air dried Untuk mengidentifikasi
substansi yang
mengganggu dan berkadar
tinggi. Elemen-elemen lain
dapat dimasukkan bilamana
dianggap perlu.
11 Abrassion Index Penting dalam pengertian
(Yancey, Geer and Price) ekonomi pada
pertambangan, preparasi
dan penggunaan.
12 Free Swelling Index Pada dasarnya penting
dalam mengevaluasi secara
13 Roga Index
rinci sifat-sifat coking dan
14 Gray-King Coke Type caking batubara dan
potensi batubara tersebut
15 Dilatometry untuk dibuat kokas
Softening Temp. (oC)
Resolidifying Temp. (oC)
Max. Contraction (%)
Max. Dilation (%)

3.1.1. Lengas total (TM)


Kadar lengas total dinyatakan sebagai kehilangan berat yang terjadi setelah sampel
batubara digerus sampai berukuran 3 mm, dan langsung dipanaskan di dalam
tungku pada suhu antara 105oC sampai 110oC.

3.1.2. Analisis Proksimat

37
PEMANFAATAN BATUBARA

Analisis yang umum dilakukan pada batubara, baik oleh perusahaan pertambangan
atau oleh pembeli disebut sebagai analisis proksimat. Analisis proksimat ini cukup
sederhana tetapi memerlukan peralatan khusus dan standar. Analisis proksimat
terdiri dari empat nilai analisis dan jika dijumlahkan akan bernilai 100 %.

Keempat nilai ini tidak dapat memberikan gambaran mengenai struktur barubara,
tetapi sangat bermanfaat untuk mengetahui tingkat pemanfaatan didalam industri
pengguna batubara tersebut. Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh
pemanasan batubara pada kondisi yang berbeda-beda, yaitu pada suhu tinggi dan
suhu rendah, serta dengan udara atau tanpa udara.

Lengas yang terdapat dalam batubara, dapat menempel di permukaan partikel


batubara atau berada di dalam batubara. Karena itu dikenal kadar lengas bebas
(free moisture) dan kadar lengas terikat (inherent moisture).
Lengas bebas biasanya akan terlepas ke udara apabila batubara dibiarkan di dalam
ruang pada suhu kamar sampai terjadi kesetimbangan dengan kondisi udara di
sekitarnya.
Kadar lengas terikat diperoleh dari kehilangan berat yang terjadi setelah sampel
batubara tanpa lengas bebas dipanaskan di dalam tungku pada suhu antara 105oC
sampai 110oC.
Pada umumnya kadar lengas terikat semakin tinggi dengan semakin rendahnya
peringkat batubara. Batubara peringkat antrasit mengandung sekitar 1 – 2 % lengas
terikat, batubara low volatile bituminous 1 – 4 % lengas terikat, batubara high
volatile bituminous 5 – 10 % lengas terikat, dan batubara lignit mengandung lengas
terikat diatas 45 %.
Kadar abu batubara secara sederhana didefinisikan sebagai residu anorganik yang
terjadi setelah batubara dibakar sempurna. Kadar abu dihitung dengan cara
membakar sampel batubara di dalam tungku pada suhu 815oC dengan mengalirkan
udara secara lambat ke dalam tungku. Abu batubara terbentuk dari sisa
pembakaran mineral-mineral yang terdapat di dalam batubara. Makin banyak
mineral yang terdapat di dalam batubara maka kadar abunya juga makin tinggi.
Zat terbang adalah bagian batubara yang mudah menguap saat batubara
dipanaskan tanpa udara (di dalam tungku tertutup) pada suhu 900oC. Sebagai
contoh zat terbang dalam batubara adalah gas CH4 atau hasil dari penguraian
senyawa kimia dan campuran kompleks yang membentuk batubara. Untuk

38
PEMANFAATAN BATUBARA

menganalisis zat terbang, sampel ditempatkan di dalam crusibel silika kemudian


dimasukkan ke dalam tungku selama 7 menit. Setelah pemanasan akan tertinggal
residu padat yang sebagian besar terdiri dari karbon dan mineral-mineral yang telah
berubah bentuk (tidak selalu abu).
Karbon tertambat dihitung dari 100 % dikurangi jumlah nilai kadar lengas, kadar
abu dan zat terbang. Dalam bentuk persamaan karbon tertambat dihitung
menggunakan persamaan berikut:
FC = 100 % - (M + A + VM) %
Keterangan:
FC = Fixed Carbon (Karbon tertambat)
M = Moisture (Kadar lengas)
A = Ash (Kandungan abu)
VM = Volatile Matter (Zat terbang)
Contoh hasil analisis proksimat batubara dinyatakan dalam basis adb (air dried
basis) ditampilkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Contoh data Analisis Proksimat Batubara (Basis adb)


Kadar lengas Kadar abu Zat terbang Karbon
(%) (%) (%) tertambat (%) Jumlah
Sumber
(%)
Batubara A 2,2 4,9 41,3 51,6 100
Batubara B 1,4 11,4 31,4 55,8 100

3.1.3. Analisis Ultimat


Analisis ultimat bermanfaat terutama untuk menentukan kelas batubara. Analisis ini
adalah cara yang paling sederhana untuk menunjukkan unsur pembentuk batubara
dan dengan mengabaikan senyawa-senyawa kompleks yang ada dengan hanya
menentukan unsur-unsur kimia pembentuknya yang penting.
Sebagian besar senyawa organik penyusun batubara terdiri dari karbon dan
hidrogen. Jumlah nitrogen yang terdapat dalam batubara biasanya jauh lebih
rendah daripada unsur-unsur lain. Kadar oksigen biasanya dihitung dengan cara
mengurangkan 100 % dengan total unsur=unsur yang lain.

39
PEMANFAATAN BATUBARA

Senyawa organik penting pembentuk batubara yerdiri dari 5 unsur utama. Nama
kimia dan rumus kimia unsur utama pembentuk batubara adalah:
Karbon C
Hidrogen H
Nitrogen N
Sulfur S
Oksigen O
Hasil analisis ultimat biasanya dipakai untuk menentukan kualitas dan jenis lapisan
batubara sema penyelidikan cadangan batubara, sehingga batubara dapat
dikelompokkan atas kelasnya atau untuk keperluan teknis lainnya.

Tabel 3.3. Contoh Data Analisis Ultimat Batubara (%)


(C, H, N dan O dry ash free basis, S dry basis)

Karbon Hidrogen Nitrogen Oksigen Sulfur


82,8 5,73 2,0 8,5 0,83
86,8 5,71 1,7 5,1 0,38

3.1.4. Bentuk-bentuk Sulfur dan Total Sulfur


Unsur sulfur umumnya dapat dijumpai di dalam batubara dan jumlahnya bervariasi
mulai dari sangat kecil (traces)sampai 4 %, kadang lebih tinggi. Sulfur di dalam
batubara terdapat dalam tiga bentuk utama yaitu:

• Sulfur piritik
Jumlahnya sekitar 20 – 30 % dari sulfur total dan terasosiasi dalam abu, terjadi
baik sebagai makrodeposit dan mikrodeposit. Suatu piritik umumnya dapat
dihilangkan dengan operasi pencucian, sementara sulfur organik dan sulfur
sulfat sulit dihilangkan.

• Sulfur organik
Jumlahnya sekitar 20 – 80 % dari sulfur total dan secara kimia terikat di dalam
batubara, biasanya berasosiasi dengan sulfat dan sulfida selama proses
pembatubaraan.

• Sulfur sulfat

40
PEMANFAATAN BATUBARA

Kebanyakan sebagai kalsium sulfat, natrium sulfat, dan besi sulfat. Jumlahnya
sangat kecil kecuali pada batubara yang telah terekspos dan telah teroksidasi.
Pirit dapat dihilangkan selama operasi pencucian karena pirit yang melekat secara
fisik pada batubara seringkali dapat dilepaskan dengan cara penggerusan kemudian
dipisahkan. Batubara dengan kadar sulfur tinggi mempunyai nilai jual yang rendah.

Jika batubara dipakai sebagai bahan bakar, selain dapat menimbulkan gas SO2 atau
SO3 yang akhirnya dapat menghasilkan hujan asam, juga dapat merusak sistem
pemanasan lengas di dalam boiler pada pembangkit tenaga listrik. Apabila batubara
dengan sulfur tinggi dipakai sebagai kokas metalurgi (sebagai reduktor) pada
pembuatan baja maka akan menimbulkan masalah dengan kadar sulfur di dalam
baja.

3.1.5. Analisis Abu


Seperti telah dinyatakan sebelumnya, abu adalah residu yang berasal dari mineral
matter hasil dari perubahan batubara. Komposisi kimianya berbeda dan beratnya
lebih kecil dari mineral matter yang ada di dalam batubara asalnya. Selama
perubahan, terjadi perubahan berat karena kehilangan air dari silikat asal, karbon
dioksida dari karbonat dan oksidasi pirit menjadi besi oksida.

Kandungan abu batubara ditentukan dengan menimbang sisa pembakaran sampel


batubara dibawah kondisi terkendali terhadap berat sampel, suhu dan waktu. Suhu
pembakaran agak berbeda berdasarkan stndar pembakaran abu, misalnya ASTM =
700 – 750 oC dan 815oC untuik BSI.

3.2. Kaitan Kualitas Batubara Terhadap Pemanfaatannya


3.2.1. Nilai Kalor
Nilai kalor menunjukkan jumlah panas yang dihasilkan apabila sejumlah tertentu
batubara dibakar. Nilai kalor ditentukan dari kenaikan suhu pada saat sejumlah
tertentu batubara biasanya pada kondisi adb dibakar di dalam alat kalorimeter
(bomb calorimeter) dengan udara berlebih. Nilai yang diperoleh adalah nilai kalor
kotor (GCV) pada volum konstan.

Tabel 3.4. mengilustrasikan nilai GCV untuk berbagai batubara yang dinyatakan
pada basis pelaporan yang beragam. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam

41
PEMANFAATAN BATUBARA

Megajoule per kilogram (MJ/kg) atau kilokalori perkilogram (kkal/kg). Data nilai
kalori sangat diperlukan terutama bila batubara dipakai sebagaibahan bakar
misalnya pada boiler pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Tabel 3.4. Nilai Kalori Berbagai Batubara


Lignit Bituminous Antrasit
Lengas total (ar) % 30,0 12,0 8,0 4,0
Lengas inherent (adb) % 20,0 8,0 3,0 1,0

Mineral matter (adb) % 8,0 8,0 8,0 8,0

Zat terbang (adb) % 50,0 35,0 25,0 5,0


Hidrogen (dmmf) % 5,5 5,0 4,5 3,0
Oksigen (dmmf) % 23,0 12,0 5,0 1,5
GCV pada volum konstan
MJ/kg (dmmf) 27,0 31,0 35,0 36,0
(dry) 24,84 28,52 32,20 33,12
(adb) 19,44 26,04 31,33 32,76
(ar) 17,01 24,91 29,72 31,77
NCV pada tekanan konstan
Mj/kg (adb) 18,10 24,95 30,40 32,16
Reduksi GCV ke NCV (adb)
sebagai % dari GCV 6,89 4,19 2,97 1,83

Nilai GCV (pada volum tetap) menyatakan jumlah panas total yang diperoleh
dari suatu batuabara melalui pengukuran standar (dengan bomb calorimeter) dan
semua produk pembakaran dikembalikan ke suhu ruangan. Nilai NCV (nilai kalor
bersih pada tekanan tetap) menyatakan panas yang hilang misalnya panas sensibel
dan panas laten produk pembakaran.
Penurunan nilai GCV menjadi NCV biasanya hanya didasarkan pada panas
yang hilang karena adanya lengas pada produk pembakaran yang terdapat sebagai
uap dan panas laten lengas. Berikut adalah beberapa persamaan standar yang
dapat dipakai untuk menghitung NCV:
ISO R 1928
NCV = GCV – 0,212 [H] – 0,0008 [O] – 0,0245 M (MJ/kg)
BSI 526
NCV = GCV - 0,212 [H] – 0,0007 [O] – 0,0244 M (MJ/kg)
ASTM D-407
NCV = GCV – 0,0024 {9 [H] + M}

Keterangan: [H] = persen berat hidrogen, diluar lengas

42
PEMANFAATAN BATUBARA

[O] = persen berat oksigen, diluar lengas


M = persen berat lengas

Perhitungan NCV menggunakan tiga persamaan diatas memberikan hasil yang


kurang lebih sama. Sebagai contoh perhitungan NCV untuk batubara seperti tertera
pada Tabel 3.4. menunjukkan perbedaan 0,02 % antara metode ISO dan BSI dan
maksimal 0.3 % antara metode ISO dan ASTM.

Apabila batubara akan digunakan sebagai bahan bakar, maka nilai kalori merupakan
parameter utama yang paling penting. Harga suatu batubara umumnya ditentukan
dari harga per unit panas yang dihasilkan, kemudian dihitung harga per ton
batubara. Sementara parameter-parameter lain seperti kadar lengas, kadar abu,
nilai HGI dan sebagainya dihitung untuk dikenakan pinalti atau bonus.

Nilai NCV dapat juga dihitung dari data ultimat dengan memakai persamaan
Dulong: NCV = 81 [C] + 340 [H] – [O]/8) + 22 [S] – 5,84 (9[H]+ [M]
Kkal/kg
Keterangan: [S] = persen berat sulfur, diluar lengas

Persamaan Dulong ini mengasumsilkan bahwa oksigen di dalam batubara terdapat


sebagai H2O dan elemen lainnya mempunyai panas pembakaran dalam keadaan
murni, artinya panas pembentukannya diabaikan. Apabila diinginkan nilai GCV dari
persamaan Dulong maka komponen terakhir persamaan diatas diabaikan.

3.2.2. Ash Fusion Temperature


Informasi yang tepat mengenai komposisi abu sangat penting dalam
memperkirakan sifat dan karakteristik abu dalam berbagai pemanfaatan batubara.
Pengujian sifat abu merupakan salah satu parameter dalam mengevaluasi batubara.

Penentuan komposisi abu bisa dilakukan dengancara kimia biasa, tetapi metode
yang lebih cepat menggunakan spektrometri massa. Karakteristik abu yang harus
diperhatikan meliputi suhu titik leleh abu (ash fusion temperature = AFT), viskositas
terak, nisbah silika, nisbah asam basa, nisbah dolimit, nisbah feritik, indeks slagging
dan indeks fouling.

43
PEMANFAATAN BATUBARA

Suhu titik leleh abu memberikan gambaran proses saat terjadinya pelunalkan dan
pelelehan abu. Nilai AFT diperoleh dalam dua kondisi atmosfir yang berbeda yaitu
kondisi oksidasi dan kondisi reduksi. Pengamatan dibawah kondisi oksidasi biasanya
menghasilkan nilai yang lebih besar, tergantung pada jumlah komponen oksida besi
di dalam abu batubara. Oksida besi ini mempunyai efek fluksing yang berbeda pada
kondisi teroksidasi dan tereduksi.

Nilai AFT sangat tergantung pada kondisi pengujiannya (oksidasi atau reduksi),
artinya tergantung pada jenis operasi pembakaran batubaranya. Sebagai contoh
pada pabrik pembuatan gas, dipakai kondisi reduksi sehingga AFT diukur pada
kondisi reduksi. Dilain pihak kondisi pada dasar tungku unggun tetap adalah
oksidasi sehingga AFT diukur pada kondisi oksidasi. Pada kasus pembakaran
pulverisasi batubara, kondisinya tidak selalu pasti. Dalam nyala api kondisinya
oksidasi tergantung pada jumlah udara yang diberikan.

Nilai AFT dipengaruhi oleh komposisi abu batubara:

1. senyawa Al2O3.SiO3 (misalnya perbandingan Al2O3/SiO3 adalah 1:1,18


mempunyai suhu flow yang tinggi dan rentang suhu leleh kecil.

2. senyawa CaO, MgO dan Fe2O3 bertindak sebagai fluks dan akan
menurunkan AFT, khususnya bila terdapat SiO2 yang berlebih.

3. senyawa FeO, Na2O dan K2O mempunyai kemampuan tinggi untuk


menurunkan nilai AFT.

4. kadar sulfur yang tinggi dapat menurunkan suhu initial deformation


dan melebarkan rentang suhu leleh.

Nilai AFT umumnya berkisar 1.000 – 1.600 oC. Batubara yang mempunyai nilai AFT
tinggi (misalnya ISO 540-A lebih besar dari 1350oC cocok untuk suatu operasi
dengan sistem dry ash removal. Sementara batubara dengan AFT rendah (ISO 540-
C lebih rendah dari 1300oC), cocok untuk suatu operasi dengan sistem liquid (wet)
ash removal.

AFT merupakan salah satu parameter kualitas nbatubara yang tidak mungkin diubah
nilainya dengan cara apapun, misalnya pencampuran batubara yang mempunyai

44
PEMANFAATAN BATUBARA

nilai AFT rendah dengan batubara yang mempunyai nilai AFT tinggi tidak akan
menghasilkan batubara dengan nilai AFT diantara keduanya.

Untuk menentukan nilai titik leleh abu biasanya dipakai standar ISO 540 Coal and
Coke. Pada standar ini sampel abu batubara, dibuat menjadi bentuk piramid,
kemudian dimasukkan ke dalam tungku pembakaran. Perubahan bentuk piramid
pada berbagai suhu diamati dengan cara difoto dengan foto digital, kemudian
dibandingkan perubahan bentuknya dengan bentuk standar. Dari standar ini
dihasilkan empat titik suhu kritik seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Bentuk Piramida Uji Titil Leleh Abu (AFT) Batubara

a. Suhu deformasi (A) yaitu saat awal terjadi perubahan bentuk ujung piramid

b. Suhu sphere (B) yaitu saat sampel telah menjadi bentuk bulat

c. Suhu hemisphere (C) yaitu sampel piramid telah berbentuk hemispherical,


dimana tingginya 0,5 diameternya

d. Suhu flow (D) yaitu saat sampel piramid telah leleh sempurna dimana tingginya
± 1,5 mm.

Pada Tabel 3.5. ditunjukkan parameter empirik untuk memperkirakan karakteristik


abu batubara. berdasarkan Tabel 3.5 selain dengan melakukan pengamatan
langsung titik leleh abu dapat pula diperkirakan dari komposisi abunya. Berkaitan
dengan titik leleh abu, maka parameter karakteristik abu yang paling penting adalah
indeks slagging dan indeks fouling.

Tabel 3.5. Parameter Empirik Perkiraan Sifat Abu Batubara

45
PEMANFAATAN BATUBARA

Parameter Rumus kimia

Nilai silika SiO2 x 100/(SiO2 + Fe2O3 + CaO + MgO)

Nisbah basa/asam Total basa/total asam

Total basa Fe2O3 + CaO + MgO + K2O + Na2O

Total asam SiO2 + Al2O3 + TiO2

Nisbah silika/alumina SiO2/Al2O3

Nisbah feri/lime Fe2O3/CaO

Dolimit (CaO + MgO) x 100/total basa

Nisbah feri/dolimit Fe2O3/(CaO + MgO)

Slagging dan Fouling

Slagging adalah keadaan dimana abu batubara meleleh di zone pembakaran akibat
suhu operasi yang melebihi titik leleh abu (suhu spherical). Sedangkan fouling
terjadi pada suhu yang lebih rendah dari suhu pembentukan terak (slag).

Fouling terutama terjadi karena adanya interaksi antara uap natrium dan kalium
dengan oksida belerang, membentuk garam dengan titik leleh rendah (± 400
o
C) yang kemudian membentuk semi fluida yang lengket didalam boiler. Fouling
biasanya terjadi bila kadar Na2O dan K2O di dalam abu batubara melebihi 3 % dan
intensitas fouling meningkat dengan naiknya kadar sulfur.

3.2.3. Hardgrove Grindability Index (HGI)


Nilai HGI menyatakan kemampuan gerus suatu batubara. Dalam uji standar,
sejumlah tertentu sampel batubara yang sudah dipreparasi digerus dalam
penggerus bola, produk yang dihasilkan diayak dan nilai HGI dihitung dari jumlah
material yang telah digerus lolos ayakan 74 µm. nilai HGI bervariasi mulai dari 20
sampai lebih besar dari 110, dimana nilai yang lebih tinggi menyatakan batubara
tersebut lebih muda untuk digerus.

Uji HGI dilakukan dengan cara menempatkan sampel seberat 50 gram ke dalam
penggerus (ball ring type mill), kemudian diputar sebanyak 60 putaran. Setelah itu

46
PEMANFAATAN BATUBARA

dilakukan pengayakan dengan ayakan 200 mesh. Pengujian untuk setiap


laboratorium harus dilakukan empat kali, kemudian dibuat grafiknya. Nilai HGI
sampel lainnya diperoleh dari jumlah berat material lolos yang kemudian dikalibrasi
ke grafik standar yang telah dibuat (Gambar 3.2.).
Nilai HGI batubara berkaitan dengan desain dan operasi peralatan penggerus.
Batubara dengan nilai HGI rendah akan menurunkan unjuk kerja penggerusan.
Makin besar nilai HGI malin mudah batubara digerus, sebaliknya makin kecil nilai
HGI batubara makin sulit untuk digerus. Fasilitas penggerusan biasanya didesain
untuk batubara dengan nilai HGI 50 – 55. Di Australia kebanyakan peralatan
penggerusan dapat menangani batubara dengan nilai HGI 35 – 50.

Gambar 3.2. Grafik Kalibrasi Nilai HGI Batubara

3.2.4. Abrasion Index


Abrasiveness batubara penting dalam pengertian ekonomi pada pertambangan,
preparasi dan penggunaan. Batubara adalah material abrasif, karena itu keausan
pada pemboran, cutting, dan alat angkut sangat tinggi. Demikian juga pada waktu
crushing dan grinding untuk menghasilkan pulverized coal, keausan alat yang tinggi
mengakibatkan mahalnya ongkos.

47
PEMANFAATAN BATUBARA

Penelitian menunjukkan abrasiveness batubara tidak sama, beberapa keausannya


tinggi dan yang lain lebih rendah. Hal ini disebabkan karena batubara merupakan
material heterogen yang mempunyai komponen berbeda-beda sifatnya.

Penelitian menunjukkan beban abrasiveness lebih ditentukan oleh macam dan


banyaknya impurities di dalam batubara. Dengan demikian operasi pencucian yang
bertujuan mengurangi impurities juja mengurangi abrasiveness.

3.2.5. Trace Elements


Dalam batubara juga terdapat unsur-unsur minor yang dapat membantu ahli
geokimia mempelajari lebih lanjut tentang pengendapan batubara dengan diikuti
sejarah geologi batubara. Beberapa unsur yang ada dalam jumlah sangat kecil
(trace elements) adalah boron, arsen, klor, fluor, dan fosfor. Boron digunakan
sebagai indikator tingkat salinitas lingkungan selama proses pembentukan batubara.

Arsen, selenium, dan merkuri sering ada dalam jumlah trace di dalam batubara dan
dapat berbahaya pada lingkungan jika ia dibebaskan pada waktu pembakaran
batubara.

Batubara kemungkinan juga dapat digunakan sebagai sumber logam jarang (rare
element). Misalnya sekarang ini abu dianggap sebagai sumber potensial dari galium
dan germanium, dua unsur yang merupakan bahan semikonduktor.

3.2.6. Free Swelling Index (FSI)


FSI menunjukkan sifat pengkokasan batubara yaitu kecenderungan melelehnya
batubara menjadi material yang mencair dan kemudian mengeras membentuk
kokas, jika batubara dipanaskan. Nilai FSI digunakan untuk menguji batubara yang
akan dibuat kokas.

Pengujian ini dilakukan dengan cara memanaskan sampel batubara sebanyak 1


gram pada suhu 820oC dengan pemanas gas atau listrik. Kecepatan kenaikan suhu
pemanasan diatur sedemikian rupa sehingga waktu pemanasannya selama 2,5
menit. Setelah pemanasan ini contoh batubara akan berubah atau mengembang
membentuk coke button kecil dengan bentuk yang khas. Ukuran dan bentuk dari

48
PEMANFAATAN BATUBARA

profil coke button ini dibandingkan dengan gambar dan diberi nomor kode dari 0
sampai 9 dengan pertambahan 1/2, yang dipakai untuk menentukan sifat-sifat
kokas batubara. Gambar profil standar dan swelling numbernya dapat dilihat pada
Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Profil Coke Button dan CSN

Batubara yang dapat dipakai sebagai kokas metalurgi biasanya mempunyai


nilai CSN antara 4 sampai 9 dan lebih disukai jika kurang dari 5. Selain untuk
pembuatan kokas nilai CSN juga penting apabila batubara dipakai sebagai bahan
bakar dimana pembakarannya dilakukan diatas kisi-kisi (grate). Nilai CSN dibawah 3
menyebabkan terjadinya penggumpalan batubara didasar tungku, sehingga
mengurangi kemampuan pengalirannya.

3.2.7. Dilatometry
Perubahan volum selama masa mencair diukur dengan menggunakan alat
dilatometer. Dengan uji ini tingkah laku pengerutan/pemuaian batubara akan
diketahui.

Dilatometer test dilakukan untuk menentukan variasi panjang sampel batubara


ketika dipanaskan menurut laju yang telah ditentukan. Sampel 2 gram bubuk
batubara dicetak membentuk pensil yang panjangnya 60 mm dan diameter 6,5 mm,

49
PEMANFAATAN BATUBARA

diletakkan di dalam tabung sempit dan diberi piston yang berdiameter 7,5 mm dan
berat 150 gram diatasnya.

Suatu pointer yang dipasang pada piston dapat mengamati gerakan vertikal.
Tabung sempit bersama sampel di dalamnya dimasukkan ke dalam tungku listrik
dan dipanaskan mulai dari suhu 200oC dengan laju 3 oC per menit.
Pengamatan/pembacaan dilakukan secara teratur terhadap perpindahan piston
sebagai fungsi suhu dan panjang pensil semula.
Data penting yang didapat dari hasil pengujian adalah:
• Ts, suhu pelunakan
• Tc, suhu penyusutan
• Tm, suhu pemuaian
• C, penyusutan maksimum %
• E, pemuaian maksimum %
Ts + Tm C+E
G = ---------------- x -----------------------
2 Ts x E + Tm x C

Rangkuman:
1. Untuk menentukan kualitas batubara perlu dilakukan beberapa analisis, yaitu
analisis proksimat dan analisis ultimat
2. Pengetahuan keterkaitan antara parameter kualitas batubara dengan
pemanfaatan batubara merupakan hal yang sangat penting

Soal-soal Latihan:
1. Jelaskan 5 jenis parameter kualitas batubara secara umum dan yang
berkaitan dengan pemanfaatannya
2. Jelaskan perbedaan analisis proksimat dan analisis ultimat batubara
3. Jelaskan bentuk-bentuk sulfur dan trace elements dalam batubara
4. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai AFT batubara
5. Jelaskan perbedaan slagging dan fouling dalam pembakaran batubara

50

Anda mungkin juga menyukai